Latar Belakang: Kebutuhan Mendesak Sertifikasi Kompetensi di Industri Konstruksi
Industri konstruksi merupakan salah satu pilar pembangunan nasional yang menyerap banyak tenaga kerja. Namun, hingga saat ini, sebagian besar pekerja konstruksi di Indonesia masih berasal dari latar belakang pendidikan rendah, dan sebagian besar belum memiliki sertifikasi kompetensi, seperti yang diwajibkan dalam UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi. Hal ini menimbulkan tantangan serius, khususnya bagi pemerintah daerah dan pelaku industri yang ingin meningkatkan kualitas serta daya saing sektor konstruksi nasional.
Penelitian ini bertujuan untuk menyelidiki sejauh mana hubungan antara kemampuan dan pengalaman tukang bangunan tradisional terhadap kompetensinya, serta implikasi terhadap kebutuhan sertifikasi resmi. Fokus lokasi penelitian adalah Kota Padang, sebagai salah satu wilayah dengan kegiatan pembangunan yang berkembang.
Tujuan Penelitian
-
Menggambarkan penyebaran pekerja konstruksi yang telah dan belum tersertifikasi.
-
Menganalisis pengaruh kemampuan dan pengalaman kerja terhadap kompetensi kerja.
-
Menilai relevansi sertifikasi dengan kondisi tenaga kerja lokal berdasarkan data lapangan.
Metodologi: Pendekatan Kuantitatif melalui Survei Lapangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif melalui kuesioner yang disebarkan ke 90 responden dari 7 proyek konstruksi di Kota Padang. Responden terdiri dari:
-
Mandor (9%)
-
Tukang (36%)
-
Pekerja harian (55%)
Instrumen penelitian menggunakan skala Likert 1–4, dan data dianalisis menggunakan SPSS dengan uji validitas, reliabilitas, regresi linier berganda, serta uji asumsi klasik (normalitas, linearitas, multikolinearitas, heteroskedastisitas).
Temuan Utama: Potret Realitas Tenaga Kerja Konstruksi Padang
1. Pendidikan dan Sertifikasi
-
66% pekerja belum tersertifikasi
-
Mayoritas lulusan SMP (38%) dan SD (30%)
-
Hanya 16% lulusan SMA
2. Pengalaman dan Posisi Kerja
-
64% responden punya pengalaman kerja > 1 tahun
-
Sebagian besar bekerja sebagai “pekerja” bukan tukang ahli
3. Distribusi Sertifikasi
-
Hanya 34% pekerja memiliki sertifikat kompetensi
-
Ini berpotensi bertentangan dengan UU No. 2 Tahun 2017, yang mewajibkan pekerja tersertifikasi untuk dapat dipekerjakan secara resmi dalam proyek konstruksi formal.
Analisis Statistik: Hubungan Kemampuan dan Pengalaman terhadap Kompetensi
Melalui analisis regresi linier berganda, ditemukan bahwa:
-
Kemampuan tukang (X1) berkontribusi 36% terhadap kompetensi kerja.
-
Pengalaman kerja (X2) menyumbang 33,29%.
-
Secara simultan, kedua variabel menjelaskan 43,9% dari variasi kompetensi (Y), dengan Adjusted R² = 0,439.
Artinya, faktor lain (pendidikan, motivasi, akses pelatihan) masih menyumbang 56,1% terhadap kompetensi secara keseluruhan.
Interpretasi Persamaan Regresi
Berdasarkan hasil regresi:
Y=4,333+0,529X1+0,386X2Y = 4,333 + 0,529X1 + 0,386X2
Artinya:
-
Jika kemampuan tukang naik 1 unit, maka kompetensi akan meningkat 52,9%.
-
Jika pengalaman kerja meningkat 1 unit, maka kompetensi naik 38,6%.
-
Nilai konstanta menunjukkan bahwa kompetensi tetap memiliki baseline meski tidak dipengaruhi oleh dua faktor tersebut.
Opini Kritis dan Tambahan Wawasan
Kekuatan Penelitian
-
Menggunakan data primer langsung dari proyek konstruksi, bukan asumsi sekunder.
-
Memberikan gambaran konkret tentang rendahnya penetrasi sertifikasi kompetensi.
-
Menggunakan analisis statistik menyeluruh dengan pengujian asumsi klasik yang lengkap.
Catatan Kritis
-
Penelitian hanya melibatkan pekerja di satu kota, sehingga tidak dapat digeneralisasi ke wilayah lain dengan dinamika industri yang berbeda.
-
Tidak mempertimbangkan dukungan institusional seperti Dinas Tenaga Kerja atau LPK dalam proses sertifikasi.
Studi Kasus dan Tren Terkini
Sebagai contoh, di provinsi Jawa Barat, pemerintah bekerja sama dengan Balai Latihan Kerja (BLK) dan asosiasi kontraktor untuk menyelenggarakan sertifikasi gratis bagi tukang konstruksi. Hasilnya, terdapat peningkatan signifikan dalam daya saing tenaga kerja lokal dan kemudahan akses pekerjaan formal, terutama pada proyek-proyek besar seperti pembangunan jalan tol dan gedung pemerintah.
Penelitian ini memberikan sinyal bahwa pendekatan serupa sangat mungkin diterapkan di Sumatera Barat, terutama di Padang, jika dibarengi dengan kemauan politik dan dukungan anggaran.
Implikasi Praktis: Rekomendasi untuk Pemerintah dan Industri
-
Pelatihan Pra-Sertifikasi Gratis
Pemerintah perlu menggelar pelatihan teknis singkat berbasis SKKNI agar pekerja siap disertifikasi tanpa biaya besar. -
Penguatan Kolaborasi Swasta–Publik
Kolaborasi antara asosiasi kontraktor, Dinas Tenaga Kerja, dan BLK bisa memperluas cakupan sertifikasi. -
Pemetaan Kompetensi Tenaga Kerja Lokal
Pemerintah kota dapat menggunakan data seperti dalam penelitian ini sebagai dasar perencanaan kebutuhan pelatihan dan alokasi anggaran pembangunan sumber daya manusia (SDM).
Kaitan Global: Profesionalisasi Tenaga Kerja sebagai Strategi Pembangunan
Di banyak negara seperti Australia, Jepang, dan Jerman, sertifikasi keahlian adalah syarat mutlak dalam sektor konstruksi. Keuntungan bukan hanya pada kualitas bangunan, tapi juga pada perlindungan tenaga kerja dan penguatan ekosistem profesionalisme industri.
Jika Indonesia ingin mencapai standar yang sama, maka strategi harus dimulai dari basis pekerja paling bawah — yakni tukang bangunan dan pekerja tradisional.
Kesimpulan: Mengisi Celah antara Realita dan Regulasi
Penelitian ini memberikan gambaran yang jujur dan berbasis data tentang kesenjangan antara regulasi formal (UU Jasa Konstruksi) dan realitas lapangan. Dengan hanya 34% tenaga kerja tersertifikasi, jelas dibutuhkan intervensi struktural untuk menjembatani kebutuhan industri dengan kapasitas SDM yang ada.
Sumber Referensi
Embun Sari Ayu, Indra Khaidir, Willy Widrev. (2022). Analisis Hubungan Kemampuan dan Pengalaman Pekerja Konstruksi terhadap Sertifikasi Kompetensi Jasa Konstruksi. Jurnal Rekayasa Sipil, Vol. 18, No. 2, Juli 2022.
DOI: https://doi.org/10.25077/jrs.18.2.91-101.2022