Manajemen Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 22 Mei 2025
Mengapa “Praktikal IWRM” Penting Sekarang?
Lonjakan populasi, urbanisasi, dan iklim ekstrem membuat konflik air kian kompleks. Konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) sudah diakui secara global, namun pertanyaannya: bagaimana menjalankannya di lapangan? Paper Kenji Nagata dkk. (2022) menjawab lewat pendekatan Practical IWRM—formula konkrit yang teruji di Sudan, Bolivia, Indonesia, dan Iran. Artikel ini mengulas temuan tersebut, menambahkan data terbaru, kritik, serta peluang implementasi di Indonesia dan kawasan Global South.
Dari Definisi Abstrak ke Aksi Nyata
IWRM—Konsep Besar, Eksekusi Sulit
Practical IWRM—Tiga Pilar Aksi
Pendekatan ini berfokus pada konsensus sosial sebagai inti IWRM, bukan sekadar infrastruktur.
Studi Kasus & Insight Tambahan
Sudan – Air Tanah Bara Basin: Menjaga “Tabungan” di Gurun
Opini: Tanpa skema tarif air tanah progresif dan pembatasan sumur irigasi, council baru riskan jadi “macan kertas”.
Bolivia – Cochabamba: Dari “Water War” ke Dialog
Indonesia – Jakarta: Kota Raksasa yang Terus Tenggelam
Iran – Danau Urmia: Menyelamatkan Laut Garam yang Sekarat
Analisis Kritis & Perbandingan Penelitian Lain
Rekomendasi Praktis bagi Pembuat Kebijakan
Dampak Industri & Tren Masa Depan
Kesimpulan – IWRM sebagai “Proses”, Bukan “Proyek”
Paper Nagata dkk. memecah kebuntuan IWRM dengan resep Practical. Kuncinya: (1) data objektif, (2) kemitraan setara, (3) siklus pembelajaran cepat. Keberhasilan awal di empat negara menunjukkan model ini skalabel, meski perlu penyesuaian kebijakan fiskal dan jaminan keadilan sosial.
Bottom line: Integrasi sumber daya air bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan kolektif lintas generasi.
Sumber: Nagata, K., Shoji, I., Arima, T., Otsuka, T., Kato, K., Matsubayashi, M., & Omura, M. (2022). Practicality of integrated water resources management (IWRM) in different contexts. International Journal of Water Resources Development, 38(5), 897-919.
Arsitektur & Desain Tropis
Dipublikasikan oleh Afridha Nu’ma Khoiriyah pada 22 Mei 2025
Mengapa Arsitektur Tropis Penting bagi Pariwisata Bali?
Sebagai magnet pariwisata dunia, Bali telah lama menjadi pusat eksperimen arsitektur tropis yang berupaya menyatukan alam, budaya, dan kenyamanan. Artikel ini mengangkat salah satu implementasi penting dalam konteks tersebut, yaitu perancangan Cottage Panggung di Desa Peliatan, Ubud, Kabupaten Gianyar, yang memadukan kearifan lokal dan prinsip keberlanjutan arsitektur tropis.
Pentingnya proyek ini terletak pada dua hal: pertama, meningkatnya kebutuhan akomodasi ramah lingkungan bagi wisatawan global; dan kedua, kebutuhan untuk mengangkat karakter lokal Bali agar tidak terkikis oleh arsitektur generik. Maka lahirlah konsep cottage panggung tropis—bukan sekadar tempat menginap, tetapi bagian dari pengalaman budaya dan alam Bali itu sendiri.
Konsep Dasar: Sinergi Arsitektur Tropis dan Vernakular Bali
Apa Itu Cottage Panggung?
Cottage panggung adalah akomodasi yang dibangun dengan lantai utama terangkat dari tanah. Gagasan ini merujuk pada bentuk rumah tradisional di Asia Tenggara, yang terbukti adaptif terhadap iklim lembab, risiko banjir, dan kebutuhan ventilasi alami.
Menurut Dennis L. Foster (1997), cottage adalah tempat tinggal kecil yang digunakan untuk berlibur, biasanya di lokasi alami seperti pantai atau hutan. Ketika dikombinasikan dengan bentuk rumah panggung, hasilnya adalah desain yang fungsional, estetis, dan tahan terhadap kondisi tropis ekstrem.
Arsitektur Tropis: Filosofi dan Fungsi
Mengacu pada Lippsmeier (1980), arsitektur tropis bertujuan menciptakan kenyamanan termal dengan memanfaatkan:
Ventilasi silang alami
Pencahayaan matahari secara efisien
Bukaan optimal pada fasad bangunan
Material lokal dengan kapasitas termal baik
Dalam proyek ini, pendekatan tropis tidak hanya menjadi solusi teknis, tetapi juga sarana menonjolkan identitas lokal.
Studi Kasus: Desa Peliatan, Ubud – Lokasi Strategis Berbalut Alam
Pemilihan Site dan Potensi
Dari tiga alternatif lokasi, Desa Peliatan dipilih karena suasana alamnya yang masih asri, tenang, dan memiliki akses strategis melalui Jl. Raya Made Lembah. Luas total lahan mencapai 53.419 m², berbatasan dengan hutan dan permukiman, menjadikannya ideal untuk menciptakan suasana retreat alami.
Analisis tapak menunjukkan pentingnya orientasi terhadap:
Sinar matahari (barat dan timur intens, memerlukan secondary skin)
Sirkulasi kendaraan (akses dari utara)
Pandangan luar (view) ke arah jalan utama sebagai daya tarik visual
Zonasi Fungsi dan Mitigasi Kebisingan
Zona privat/semi privat ditempatkan di bagian selatan dan timur, area yang lebih tenang.
Zona publik seperti kafe, workshop, dan amphitheater diletakkan di sisi utara yang lebih bising.
Struktur dan Material: Simpel, Alami, dan Lokal
Struktur Bangunan
Pondasi: Batu kali
Struktur utama: Kayu dan bambu (material lokal, ramah lingkungan)
Atap: Struktur kayu ringan dengan ventilasi alami
Pendekatan ini memperkuat narasi keberlanjutan dan efisiensi konstruksi di daerah tropis.
Material Dominan
Kayu dan bambu untuk interior dan eksterior
Kaca lebar untuk pencahayaan alami
Batuan lokal pada kolam renang dan kamar mandi
Kombinasi ini menciptakan atmosfer pedesaan yang nyaman sekaligus mewah secara alami.
Program Ruang: Lebih dari Sekadar Menginap
Cottage ini tidak berdiri sendiri, tetapi merupakan bagian dari kompleks wisata terpadu dengan fasilitas seperti:
Resepsionis
Area workshop seni (lukis, patung, anyaman)
Sanggar tari, yoga area, fitness center
SPA & kafe
Amphitheater terbuka
Hal ini menunjukkan bagaimana desain dapat memfasilitasi pengalaman wisata yang holistik, bukan sekadar akomodasi pasif.
Kenyamanan Termal dan Efisiensi Energi
Konsep kenyamanan termal diwujudkan dengan:
Bukaan silang untuk sirkulasi udara
Ventilasi kisi-kisi kayu di dinding
Penggunaan kaca lebar untuk cahaya alami
Atap tropis dengan rongga udara
Hasilnya, bangunan dapat mengurangi penggunaan AC dan lampu secara signifikan, berkontribusi pada penghematan energi dan biaya operasional.
Evaluasi Desain: Keseimbangan Fungsi dan Estetika
Transformasi dan Estetika Visual
Desain cottage mengambil inspirasi dari pola linier desa adat Penglipuran, menciptakan keteraturan sekaligus keintiman dalam ruang.
Tampilan akhir menonjolkan:
Bukaan besar untuk visual ke luar
Interior terbuka berbahan kayu dan bambu
Kolam renang batu sebagai elemen transisi antara ruang luar dan dalam
Kritik Konstruktif dan Saran
Diperlukan kajian lebih lanjut tentang resiliensi material lokal terhadap kelembaban ekstrem, terutama bambu.
Potensi penggunaan panel surya atau biogas belum tergali, padahal bisa menambah nilai keberlanjutan.
Desain dapat dieksplorasi lebih lanjut dengan integrasi sistem smart building untuk meningkatkan efisiensi dan kenyamanan.
Dampak Praktis dan Relevansi Industri
1. Pariwisata Berkelanjutan
Desain seperti ini membuka peluang untuk redefinisi akomodasi wisata dari yang konsumtif menjadi edukatif dan partisipatif.
2. Inovasi dalam Hospitality Design
Konsep cottage tropis ini bisa menjadi model adaptasi arsitektur tropis untuk proyek komersial lain: villa, resort, hingga homestay.
3. Penguatan Identitas Lokal
Integrasi nilai-nilai lokal Bali bukan sekadar tempelan estetika, tetapi dikembangkan menjadi fungsi ruang yang hidup.
Kesimpulan: Menuju Arsitektur yang Adaptif dan Kontekstual
Perancangan Cottage Panggung di Bali oleh Baref dkk adalah contoh ideal bagaimana arsitektur bisa bersinergi dengan iklim, budaya, dan fungsi komersial. Dengan pendekatan tropis, bangunan menjadi adaptif terhadap iklim Bali yang lembab dan panas, tanpa mengorbankan kenyamanan. Desain yang memanfaatkan material lokal dan bentuk bangunan tradisional juga memperkuat identitas lokal sekaligus menekan biaya pembangunan dan operasional.
Ini adalah contoh konkret bagaimana arsitektur tropis bukan sekadar estetika tropis, tetapi solusi cerdas dan relevan di tengah krisis iklim dan industri pariwisata yang makin kompetitif.
Sumber
Baref, A., Wardani, D. E., & Karomah, B. (2021). Perancangan Cottage Panggung di Bali dengan Pendekatan Arsitektur Tropis. Jurnal Arsitektur GRID – Journal of Architecture and Built Environment, Vol. 3 No. 2, 60–68.
Teori Belajar
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Latar Belakang: Krisis Partisipasi Siswa dalam Pembelajaran Teknik
Salah satu tantangan terbesar dalam dunia pendidikan kejuruan, terutama pada program studi Teknik Bangunan di SMK, adalah minimnya keterlibatan aktif siswa dalam proses belajar. Banyak siswa mengalami kesulitan dalam memahami materi teknis seperti konstruksi kayu, yang sering kali disampaikan secara konvensional tanpa mendorong partisipasi aktif atau pemikiran kritis. Hasilnya? Prestasi belajar yang rendah, motivasi menurun, dan pemahaman konsep yang dangkal.
Artikel karya Elisabeth Ado Bue dan Dr. Nurmi Frida DBP ini hadir sebagai respons terhadap permasalahan tersebut. Penelitian mereka mengeksplorasi penerapan model pembelajaran berbasis masalah (Problem-Based Learning / PBL) untuk meningkatkan tiga aspek utama dalam pendidikan kejuruan:
Prestasi belajar siswa
Kualitas mengajar guru
Aktivitas belajar siswa
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Menilai efektivitas model PBL dalam meningkatkan hasil belajar siswa pada kompetensi konstruksi kayu.
Mengevaluasi perubahan cara mengajar guru sebelum dan sesudah penerapan model.
Mengamati peningkatan partisipasi aktif siswa dalam kegiatan belajar-mengajar.
Metodologi Penelitian: Pendekatan Tindakan Kelas (PTK)
Jenis penelitian yang digunakan adalah Penelitian Tindakan Kelas (PTK), dilaksanakan dalam dua siklus pembelajaran.
Tahapan PTK:
Perencanaan: Merancang silabus, bahan ajar, dan skenario pembelajaran berbasis masalah.
Tindakan: Menerapkan skenario yang dirancang di kelas.
Observasi: Guru dan tim kolaborator mengamati kegiatan siswa dan guru.
Refleksi: Mengevaluasi proses dan hasil untuk melakukan perbaikan pada siklus berikutnya.
Instrumen Data:
Tes hasil belajar siswa
Lembar observasi aktivitas guru
Lembar observasi aktivitas siswa
Kriteria ketuntasan minimal (KKM)
Hasil Penelitian: Bukti Nyata Efektivitas PBL
1. Peningkatan Prestasi Belajar
Siklus 1: Nilai rata-rata 2,8 (kategori kurang baik), ketuntasan klasikal hanya 36,36% dari 33 siswa.
Siklus 2: Nilai meningkat menjadi 3,38 (kategori baik), ketuntasan klasikal melonjak menjadi 96,96%.
2. Perubahan Gaya Mengajar Guru
Siklus 1: Skor observasi guru 2,67 (kategori cukup), ditemukan kelemahan seperti:
Tidak menyampaikan tujuan pembelajaran secara jelas.
Kurang dalam membimbing investigasi siswa.
Pengelolaan kelas yang belum efektif.
Siklus 2: Skor meningkat menjadi 3,58 (kategori baik). Guru berhasil:
Memberi motivasi di awal pelajaran.
Membimbing diskusi kelompok dan individu.
Mengelola kelas secara lebih interaktif dan dinamis.
3. Aktivitas Belajar Siswa
Siswa pada siklus awal masih pasif dan bergantung pada teman dalam tugas kelompok.
Siklus kedua menunjukkan perbaikan dalam hal:
Inisiatif bertanya kepada guru
Meningkatkan kolaborasi antaranggota kelompok
Antusias dalam diskusi dan pemecahan masalah
Studi Kasus: Implementasi Nyata di SMK Negeri 1 Madiun
Penelitian ini dilakukan di kelas X Teknik Bangunan SMKN 1 Madiun dengan total 33 siswa. Topik yang diajarkan adalah kompetensi konstruksi kayu, sebuah bidang yang membutuhkan keterampilan praktis dan pemahaman teknis.
Permasalahan Awal:
Siswa menganggap pelajaran membosankan.
Kurang percaya diri dalam bertanya dan berdiskusi.
Pembelajaran bersifat satu arah.
Solusi:
Guru menggunakan pendekatan PBL dengan kasus nyata.
Siswa diberi peran aktif untuk memecahkan permasalahan teknis.
Guru berperan sebagai fasilitator, bukan hanya pemberi informasi.
Opini Kritis & Nilai Tambah
Kelebihan Penelitian:
Relevansi tinggi dengan konteks pendidikan kejuruan.
Metodologi PTK sangat tepat untuk mengevaluasi proses pembelajaran secara iteratif.
Data kuantitatif dan kualitatif seimbang, memberikan gambaran menyeluruh.
Kritik Konstruktif:
Penelitian belum membandingkan PBL dengan metode lain (misalnya: direct instruction atau cooperative learning).
Fokus hanya pada satu kelas dan satu kompetensi (konstruksi kayu), sehingga generalisasi ke mata pelajaran lain belum tentu valid.
Kaitan dengan Tren Pendidikan Global
Penerapan PBL bukanlah hal baru di dunia pendidikan internasional. Di negara-negara seperti Finlandia dan Singapura, pendekatan berbasis masalah telah menjadi standar dalam pendidikan kejuruan. Menurut Barrows (1986), PBL efektif dalam meningkatkan kemampuan berpikir kritis, kolaborasi, dan penerapan konsep ke situasi nyata—semua ini adalah soft skill yang sangat dibutuhkan di dunia kerja konstruksi.
Penelitian Elisabeth dan Nurmi ini menjadi bukti bahwa penerapan pendekatan global seperti PBL bisa sukses diimplementasikan dalam konteks lokal Indonesia dengan modifikasi yang sesuai.
Implikasi Praktis
Berdasarkan temuan penelitian, berikut beberapa saran yang dapat diterapkan:
Guru SMK sebaiknya diberikan pelatihan intensif terkait metode PBL agar lebih percaya diri dalam memfasilitasi proses belajar aktif.
Siswa Teknik Bangunan perlu didorong untuk lebih banyak melakukan praktik lapangan berbasis kasus nyata.
Kurikulum SMK perlu memasukkan elemen PBL secara sistematis, bukan hanya sebagai eksperimen kelas.
Kesimpulan: Pendidikan yang Menghidupkan Konstruksi
Penelitian ini membuktikan bahwa model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) dapat secara signifikan meningkatkan hasil belajar siswa, memperbaiki kualitas pengajaran guru, serta mendorong siswa untuk aktif, bertanya, dan berpikir kritis.
Model ini ideal untuk kompetensi kejuruan yang bersifat aplikatif, seperti konstruksi kayu. Maka, penelitian ini layak menjadi referensi wajib bagi para guru SMK, pengembang kurikulum, dan praktisi pendidikan vokasi.
Sumber Artikel
Penelitian ini dapat diakses dalam:
Elisabeth Ado Bue & Dr. Nurmi Frida DBP (2016). "Meningkatkan Prestasi Belajar Siswa dengan Penerapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah pada Kompetensi Konstruksi Kayu Kelas X Program Studi Keahlian Teknik Bangunan SMK Negeri 1 Madiun."
Dipublikasikan di Jurnal Kajian Pendidikan Teknik Bangunan, Vol. 3 No. 3 (2016), halaman 113–117.
Website Jurnal Resmi: tekniksipilunesa.org
Sumber Daya
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Udara, Sumber Kehidupan yang Kini Terancam
Air adalah sumber daya vital yang menopang kehidupan, pembangunan, dan ekosistem. Namun kenyataannya, lebih dari dua miliar manusia kini hidup dalam tekanan udara tinggi, dan 700 juta lainnya diprediksi akan mengungsi akibat kelangkaan udara pada tahun 2030 (UN Environment, 2018). Krisis ini bukan hanya soal ketersediaan fisik air, melainkan cara kita mengelolanya.
Di akhir konsep Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu (IWRM) mengambil peran penting. Makalah yang ditulis oleh Alesia Dedaa Ofori dan Anna Mdee (2021) membedah pendekatan holistik ini dengan detail mendalam, membahas sejarah, konsep, praktik, serta tantangan aktualnya dalam konteks pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDG 6).
Apa Itu IWRM? Memahami Inti Konsepnya
Definisi dan Pilar Utama
IWRM adalah pendekatan yang mengintegrasikan seluruh aspek pengelolaan udara—baik dari sisi sosial, ekonomi, ekologi, maupun institusional. Tujuannya adalah memastikan pemanfaatan udara yang efisien, berkeadilan, dan berkelanjutan. Konsep ini dirumuskan dengan prinsip empat utama dalam Konferensi Dublin 1992:
Prinsip-prinsip ini bukan sekedar idealisme teoritis, melainkan dasar untuk reformasi kebijakan di berbagai negara.
Evolusi Pengelolaan Air: Dari Sektor Tertutup ke Pendekatan Terintegrasi
Dari Praktik Terfragmentasi ke Kebutuhan Integrasi
Sebelum era IWRM, pengelolaan air kerap terpecah-pecah. Misalnya, di Amerika Serikat dan Tiongkok, udara permukaan dan udara tanah dikelola oleh lembaga yang berbeda tanpa koordinasi. Hasilnya? Konflik antarsektor, inefisiensi, dan ketidakadilan dalam alokasi.
IWRM hadir menjawab masalah ini dengan semangat kolaboratif lintas sektor, mulai dari energi, pertanian, hingga lingkungan hidup. Namun sebagaimana dijelaskan dalam makalah, transisi ini tidak mudah.
Studi Kasus Ghana: Implementasi IWRM di Dunia Nyata
Reformasi Struktural dan Tantangan Lapangan
Ghana merupakan salah satu negara di Sub-Sahara Afrika yang menerapkan IWRM secara progresif. Sejak tahun 1996, negara ini membentuk Komisi Sumber Daya Air (WRC) dan mengembangkan rencana IWRM di berbagai wilayah sungai seperti Densu, Pra, dan White Volta.
Prosesnya melibatkan pemetaan pemangku kepentingan, studi sosial-ekonomi, hingga penguatan kapasitas lokal. Dewan Basin dibentuk secara inklusif, melibatkan aktor negara dan non-negara, termasuk tokoh adat, pemuda, perempuan, LSM, dan sektor swasta.
Namun, dalam praktiknya, banyak tantangan muncul:
Hal ini menunjukkan bahwa meskipun struktur sudah dibangun, implementasi substansial masih menjadi PR besar .
Tantangan Global dalam Mengarusutamakan IWRM
Kompleksitas Lintas Lembaga dan Sektor
Menurut laporan UNEP (2012), hanya 50% negara yang benar-benar mampu menerapkan IWRM secara efektif. Tiga tantangan utama yang muncul adalah:
Lebih jauh lagi, makalah ini mengkritisi bahwa banyak negara hanya menyesuaikan kebijakan di atas kertas untuk memenuhi syarat bantuan donor internasional, tanpa komitmen nyata di lapangan.
IWRM vs Nexus: Saling Lengkap atau Saling Gantikan?
IWRM sering dibandingkan dengan pendekatan water-energy-food nexus . Nexus menempatkan udara, pangan, dan energi dalam bobot yang seimbang. Sebaliknya, IWRM tetap menjadikan udara sebagai pusat, namun menyerap dimensi lain dalam kerangka integratif.
Alih-alih bersaing, pendekatan ini seharusnya dipandang sebagai strategi sinergi , terutama dalam konteks perubahan iklim dan krisis multidimensi.
Dimensi Sosial IWRM: Inklusi, Keadilan, dan Gender
Perempuan sebagai Agen Kunci
Dalam banyak budaya, perempuan bertanggung jawab atas rumah tangga. IWRM mengakui peran penting ini dan menempatkan perempuan sebagai aktor penting dalam pengambilan keputusan. Ini menjadi sorotan yang kuat di dalam kertas, sebagai kemajuan signifikan dalam tata kelola sumber daya alam yang sensitif gender .
Keadilan Sosial dan Akses Air
Udara adalah hak dasar manusia. Namun kenyataannya, distribusi udara masih sangat timpang. IWRM berupaya merespons dengan mendorong tarif udara yang adil, perizinan transparan, dan melindungi kelompok rentan. Hal ini sejalan dengan dimensi sosial SDG 6.
Pelajaran Kebijakan dan Rekomendasi Strategi
Kunci Sukses Implementasi IWRM
Dari hasil kajian dan praktik di Ghana serta negara-negara lain, berikut beberapa pelajaran penting:
Tantangan Masa Depan
Penutup: IWRM Bukan Sekadar Teknokrasi, tapi Perjuangan Kolektif
Seperti yang ditegaskan Ofori dan Mdee, IWRM bukanlah solusi instan, melainkan proses panjang yang politis, partisipatif, dan penuh negosiasi. Pendekatan ini menawarkan harapan untuk masa depan yang lebih adil dan berkelanjutan dalam pengelolaan udara—tetapi hanya jika dijalankan secara inklusif dan konsisten.
Sumber Utama:
Ofori, AD, & Mdee, A. (2021). Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu . Dalam W. Leal Filho dkk. (Eds.), Air Bersih dan Sanitasi, Ensiklopedia Tujuan Pembangunan Berkelanjutan PBB . Springer.
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Pendahuluan: Mengapa Produktivitas Adalah Isu Kritis?
Dalam dunia konstruksi, produktivitas tenaga kerja telah menjadi perhatian utama bagi kontraktor, pemilik proyek, hingga pemerintah. Masalah klasik seperti keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan penurunan kualitas sering kali berakar dari produktivitas kerja yang rendah. Hal inilah yang melatarbelakangi penelitian David Trisno dan timnya yang fokus pada dua kota besar: Surabaya dan Samarinda.
Artikel ini bukan hanya sekadar mencatat data, tetapi mencoba mengungkap hubungan sebab-akibat antara berbagai faktor—baik internal maupun eksternal—dengan hasil kerja aktual di lapangan, khususnya pada pekerjaan dinding. Penelitian ini membawa pendekatan realistis melalui observasi langsung dan analisis kuantitatif yang menyentuh level operasional proyek.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
Mengidentifikasi faktor-faktor utama yang memengaruhi produktivitas pekerjaan dinding.
Menganalisis faktor dominan melalui pendekatan studi lapangan pada dua kota dengan iklim dan kondisi proyek yang berbeda.
Memberikan data produktivitas aktual sebagai tolok ukur praktis bagi proyek serupa.
Metodologi: Studi Lapangan dan Kuantifikasi
Pendekatan
Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus dengan metode kuantitatif. Data dikumpulkan melalui:
Observasi langsung di lapangan.
Pengambilan data produktivitas pekerjaan dinding (pasangan bata, plesteran, dan acian).
Penggunaan rumus produktivitas:
P=VT×nP = \frac{V}{T \times n}
Di mana:
PP: Produktivitas (m²/orang/hari)
VV: Volume pekerjaan
TT: Durasi pekerjaan (hari)
nn: Jumlah pekerja
Temuan Kunci: Produktivitas dan Faktor-Faktor yang Memengaruhi
Lokasi Surabaya
Data produktivitas diperoleh dari pekerjaan lantai 4 gedung di Surabaya. Hasil perhitungan menunjukkan variasi yang cukup mencolok:
Pemasangan Bata: Produktivitas tertinggi mencapai 1,32 m²/jam, terendah 0,19 m²/jam.
Plesteran: Rata-rata produktivitas berada di kisaran 0,29 – 0,49 m²/orang/jam.
Acian: Produktivitas harian tertinggi tercatat 2,32 m²/orang/jam.
Lokasi Samarinda
Data dari lantai 3 gedung di Samarinda memperlihatkan pola yang berbeda:
Pasangan Bata: Tertinggi di angka 0,45 m²/orang/jam, dengan fluktuasi lebih rendah dibandingkan Surabaya.
Plesteran: Fluktuasi rendah, rata-rata antara 0,3–0,38 m²/orang/jam.
Acian: Produktivitas puncak hingga 2,55 m²/orang/jam, cukup tinggi untuk skala proyek serupa.
Analisis Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas
Penelitian ini mengidentifikasi dua kategori besar faktor:
1. Faktor Internal
Jumlah pekerja: Terbukti sebagai faktor paling dominan. Tim dengan komposisi ideal (misal 2 tukang + 2 pembantu) menunjukkan efisiensi kerja yang lebih stabil.
Pekerjaan pengecoran dan pemasangan scaffolding: Memberi pengaruh langsung pada jeda kerja dan distribusi tenaga.
Kualitas mortar: Pengadukan yang tidak konsisten memperlambat proses plesteran.
Rotasi tugas pekerja: Mengurangi spesialisasi dan berdampak pada waktu penyelesaian.
2. Faktor Eksternal
Cuaca: Di Samarinda, hujan berkala menjadi penyebab keterlambatan kerja, terutama pada pekerjaan luar bangunan.
Ketersediaan material: Beberapa hari dalam data menunjukkan nihilnya produktivitas karena ketiadaan bahan bangunan.
Studi Kasus & Refleksi Lapangan
Salah satu hari di Surabaya (20 Maret 2021) menunjukkan produktivitas nol akibat ketidakhadiran pekerja dan material. Ini menunjukkan pentingnya sinkronisasi antarbagian dalam proyek. Dalam proyek swasta di Jakarta (2020), penambahan sistem ERP proyek berbasis mobile berhasil mengurangi “downtime” hingga 20%, dan produktivitas meningkat 12%.
Opini dan Komentar Kritis
Kelebihan Studi:
Penyajian data harian menjadikan hasil penelitian sangat aplikatif.
Peneliti melakukan verifikasi langsung di lapangan, meningkatkan validitas hasil.
Kelemahan yang Perlu Dikritisi:
Tidak disertakan data cuaca harian untuk korelasi lebih kuat terhadap produktivitas.
Hanya fokus pada pekerjaan dinding; padahal pekerjaan lain seperti instalasi dan finishing juga memberi pengaruh terhadap ritme proyek.
Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini memperkuat hasil studi oleh Hutasoit & Sibi (2017) yang menyatakan bahwa jumlah pekerja dan metode kerja adalah faktor utama dalam produktivitas kerja dinding. Namun, David dkk. juga menambahkan dimensi lain: pengaruh teknis operasional seperti pengadukan mortar dan pemasangan scaffolding, yang sering kali luput diperhatikan dalam studi teoritis.
Implikasi Praktis bagi Dunia Konstruksi
Berikut beberapa rekomendasi berbasis temuan:
Atur komposisi tim kerja secara cermat: Komposisi 2 tukang + 2 pembantu tukang terbukti ideal dalam banyak kasus.
Optimalkan logistik mortar: Gunakan sistem batching onsite untuk menjaga kualitas adukan.
Buat checklist cuaca dan pasokan harian untuk menghindari hari-hari nihil produktivitas.
Digitalisasi dokumentasi produktivitas harian agar dapat dilakukan evaluasi mingguan berbasis data.
Kaitan dengan Tren Global
Produktivitas tenaga kerja konstruksi di Indonesia masih berada di bawah rata-rata Asia Tenggara. Negara seperti Vietnam dan Thailand telah menerapkan sistem reward produktivitas harian yang terbukti mendorong pekerja untuk lebih efisien. Temuan dari studi ini bisa menjadi masukan bagi kontraktor dalam negeri yang ingin mengejar ketertinggalan tersebut.
Kesimpulan: Kuantitas Pekerja Masih Jadi Kunci
Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa jumlah pekerja merupakan faktor dominan yang memengaruhi produktivitas pekerjaan dinding di proyek konstruksi di Indonesia. Selain itu, faktor-faktor seperti durasi pengecoran, kualitas mortar, serta kehadiran perancah (scaffolding) juga memiliki dampak nyata terhadap output harian.
Sumber Referensi
Penelitian ini dapat diakses secara lengkap di:
David Trisno, Emmanuel Wendy Secio, Sentosa Limanto. (2022). "Studi Awal pada Faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Pekerjaan Konstruksi pada Bangunan di Surabaya dan Samarinda". Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 1, pp. 33–39.
eISSN: 2775-0213 – Link Jurnal Resmi
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 22 Mei 2025
Latar Belakang: Produktivitas sebagai Penentu Keberhasilan Proyek
Dalam dunia konstruksi, produktivitas pekerja bukan sekadar indikator efisiensi, melainkan nyawa dari sebuah proyek. Rendahnya produktivitas bukan hanya menambah durasi pengerjaan, tetapi juga membengkakkan biaya dan memengaruhi reputasi perusahaan. Menurut Ghodrati et al. (2018), sekitar 50–70% waktu kerja pekerja konstruksi justru dihabiskan untuk aktivitas tidak produktif. Ironisnya, hal ini telah menjadi pola umum di berbagai proyek, terutama di negara berkembang seperti Indonesia.
Artikel ini hadir sebagai respons terhadap fenomena tersebut dengan mengidentifikasi indikator paling relevan dalam meningkatkan produktivitas, berdasarkan studi kasus pada proyek high-rise dan low-rise building di wilayah Surabaya dan sekitarnya. Penelitian ini tidak hanya memberikan peta indikator yang komprehensif, tapi juga memperbandingkan perbedaan signifikan antar jenis proyek.
Tujuan Penelitian dan Metode
Tujuan Utama:
Mengidentifikasi indikator paling berpengaruh terhadap produktivitas pekerja.
Menganalisis perbedaan persepsi antara proyek high-rise dan low-rise building.
Metodologi:
Responden: 60 pekerja proyek (30 dari high-rise dan 30 dari low-rise).
Instrumen: Kuesioner dengan skala Likert 1–6.
Uji validitas dan reliabilitas dilakukan melalui IBM SPSS Statistics 25.
Analisis Mean dan Independent Sample T-Test digunakan untuk pembanding.
Temuan Kunci: Indikator yang Membentuk Produktivitas
High-Rise Building: Pengarahan adalah Segalanya
Berdasarkan hasil kuisioner, indikator "memberi pengarahan sebelum pekerjaan" menduduki peringkat pertama pada proyek high-rise building dengan nilai mean 5,733. Hal ini sangat masuk akal mengingat kompleksitas proyek vertikal yang tinggi dan melibatkan banyak risiko keselamatan. Tanpa pengarahan yang jelas, pekerja bisa melakukan kesalahan fatal.
Low-Rise Building: Komunikasi Menjadi Kunci
Berbeda dengan proyek high-rise, responden pada proyek low-rise building memilih indikator “komunikasi agar tugas dan wewenang jelas” sebagai yang paling penting (mean 5,767). Hal ini menunjukkan bahwa pada proyek berskala kecil-menengah, alur komunikasi yang ringkas dan jelas lebih mendesak ketimbang pengarahan teknis yang rumit.
Analisis Perbandingan: Apakah Proyek High-Rise dan Low-Rise Sama?
Menggunakan Independent Sample T-Test, penulis menemukan perbedaan yang signifikan dalam 11 dari 42 indikator. Salah satu yang paling mencolok adalah pada indikator pelatihan:
Pelatihan pekerja
High-rise: Mean = 5,467 (Ranking 13,5)
Low-rise: Mean = 4,233 (Ranking 38)
Artinya, proyek high-rise sangat bergantung pada pelatihan karena kompleksitas alat dan risiko tinggi.
Begitu juga pada indikator kepemimpinan:
Pelatihan kepemimpinan
High-rise: Mean = 5,433
Low-rise: Mean = 4,267
Perbedaan ini menggarisbawahi pentingnya struktur organisasi dan distribusi tanggung jawab yang lebih sistematis di proyek high-rise, yang tidak terlalu krusial di proyek low-rise.
Studi Kasus dan Penerapan Nyata
Misalnya, pada proyek pembangunan apartemen bertingkat di Surabaya yang melibatkan lebih dari 300 tenaga kerja, pengarahan harian pagi terbukti mengurangi kesalahan lapangan hingga 18% dalam 3 bulan pertama (berdasarkan laporan kontraktor lokal). Sementara itu, pada proyek perumahan tapak berskala kecil di Sidoarjo, penunjukan koordinator komunikasi terbukti meningkatkan koordinasi tim dan mempercepat penyelesaian 2 hari lebih cepat dari jadwal.
Opini Kritis dan Implikasi Praktis
Kritik Konstruktif:
Meskipun artikel ini kaya data, namun cakupan geografis terbatas hanya pada Surabaya dan sekitarnya. Padahal kondisi produktivitas pekerja bisa sangat bervariasi di kota lain seperti Jakarta atau Medan.
Tidak ada pemisahan responden berdasarkan jenis jabatan (mandor vs tukang vs pekerja), yang bisa memperkaya analisis persepsi produktivitas.
Implikasi Praktis:
Kontraktor proyek vertikal harus menstandardisasi SOP pengarahan pagi dan dokumentasi kerja.
Proyek skala menengah dapat lebih fokus pada penguatan komunikasi interpersonal dan manajemen tim kecil.
Penggunaan pekerja paruh waktu harus dibatasi, kecuali di tahap akhir proyek yang tidak membutuhkan keterampilan spesifik.
Kaitan dengan Tren Industri Global
Sejalan dengan temuan Goodrum & Haas (2004), teknologi dan manajemen sumber daya manusia adalah dua sisi mata uang yang menentukan efisiensi kerja. Di era digitalisasi konstruksi, indikator seperti "penggunaan teknologi peralatan" harus lebih didorong. Misalnya, aplikasi berbasis BIM (Building Information Modelling) dan penggunaan sistem ERP telah terbukti meningkatkan produktivitas hingga 30% di proyek-proyek besar di Jepang dan Singapura.
Kesimpulan: Tidak Ada “One-Size-Fits-All”
Penelitian ini berhasil menunjukkan bahwa indikator produktivitas bersifat kontekstual. Tidak ada satu strategi yang cocok untuk semua jenis proyek. Proyek high-rise membutuhkan sistem pengarahan dan pelatihan intensif, sementara proyek low-rise lebih membutuhkan kejelasan komunikasi dan hubungan interpersonal yang baik.
Sumber Referensi
Penelitian ini dapat diakses secara lengkap di:
Christopher Kurniawan, Olivia Reynalda Tandean, Herry Pintardi Chandra, dan Soehendro Ratnawidjaja. (2022). "Indikator dalam Upaya Memperbaiki Produktivitas Pekerja Konstruksi". Journal of Applied Civil and Environmental Engineering, Vol. 2, No. 2, pp. 62–69.
eISSN: 2775-0213 – Tautan resmi jurnal