Pencemaran Udara
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Di Balik Wajah Sejuk Malang, Tersimpan Krisis Air
Kota Malang selama ini dikenal sebagai kota berhawa sejuk dan kaya akan sumber mata air. Namun, di balik itu, kota ini tengah menghadapi krisis udara yang kian serius. Artikel oleh Brahmantyo Satrioyudo Wicaksono, yang diterbitkan pada tahun 2024 di ResearchGate, mengungkap kenyataan yang mengejutkan: Malang mengalami masalah 3T — Too Much , Too Little , dan Too Dirty — yang mencerminkan krisis banjir, kekeringan, dan pencemaran udara sekaligus.
Studi ini tidak hanya menjabarkan masalah, tetapi juga menawarkan pendekatan solutif yang berbasis kolaborasi multiaktor. Artikel ini menjadi penting bagi para pengambil kebijakan, aktivis lingkungan, akademisi, dan warga kota.
Terlalu Banyak: Banjir dan Alih Fungsi Lahan yang Tak Terkendali
Meskipun Malang hanya menerima curah hujan menengah (51–150 mm per bulan), fenomena banjir semakin sering terjadi. Sejak tahun 2019 hingga 2022, terjadi lebih dari 700 kejadian banjir, dengan 211 kejadian hanya dalam satu tahun terakhir.
Penyebab utama banjir bukan semata-mata karena hujan ekstrem, tetapi:
Tanpa tindakan korektif terhadap tata ruang, Malang terancam menjadi kota yang tidak layak huni saat musim hujan.
Terlalu Sedikit: Kekeringan Mengancam di Musim Kemarau
Ironisnya, saat musim kemarau tiba, Malang juga kekurangan air bersih. Studi yang dirujuk dalam artikel (Millah, 2019) menunjukkan bahwa kecamatan seperti Jabung, Singosari, dan Lawang masuk kategori sangat kritis dengan indeks kekeringan di atas 200%.
Faktor penyebab:
Perhitungan kebutuhan udara domestik menunjukkan bahwa konsumsi masyarakat melebihi 75% dari ketersediaan udara, menandakan tingkat krisis yang memprihatinkan.
Terlalu Kotor: Sungai yang Menjadi Tempat Sampah Raksasa
Pencemaran air menjadi masalah akut lainnya. Studi DLH Kota Malang menunjukkan bahwa 26 dari 27 titik sungai yang dipantau sudah masuk kategori kritis. Penyebab utama:
Data dari Wahyono dkk. (2021) menunjukkan bahwa dari 32 sampel air sungai, 23 di antaranya melebihi batas BOD, COD, dan TSS berdasarkan PERMEN LH No. 68 Tahun 2018. Artinya, air sungai tidak layak dikonsumsi bahkan untuk menetes sekalipun.
Dampak Nyata bagi Warga: Sakit, Mahal, dan Tidak Setara
Akibat kombinasi 3T ini, masyarakat menghadapi:
Fenomena ini menunjukkan bahwa air kini telah menjadi isu ketimpangan sosial , bukan sekadar lingkungan.
Solusi Terpadu: Dari Beton hingga Kesadaran
Penulis menawarkan tiga pendekatan utama sebagai solusi krisis air Malang:
1. Infrastruktur: Perbaikan dari Hulu hingga Hilir
Langkah ini harus melibatkan warga sejak tahap perencanaan agar proyek tidak menjadi monumen kosong.
2. Regulasi: Perda Konservasi Air Harus Ditegakkan
Regulasi tanpa pengawasan adalah mimpi tanpa arah.
3. Edukasi: Ubah Perilaku, Mulai dari Rumah
Kesadaran kolektif hanya bisa tumbuh melalui edukasi yang konsisten dan melibatkan komunitas.
Kritik dan Tambahan Opini: IWRM Belum Jadi Arus Utama
Air Satu kekurangan yang mencolok dari kebijakan air Kota Malang adalah belum diterapkannya pendekatan Integrated Water Resources Management (IWRM) . Padahal, pendekatan ini terbukti efektif di banyak kota dunia karena mengintegrasikan aspek lingkungan, sosial, dan ekonomi ke dalam satu kerangka.
IWRM mendorong:
Malang bisa mengambil contoh dari Kota Surabaya yang lebih progresif dalam mengembangkan sistem drainase berkelanjutan dan konservasi udara berbasis komunitas.
Kesimpulan: Malang Butuh Rencana Air Masa Depan
Artikel ini membuka mata bahwa krisis air di Malang bukan lagi isu masa depan, tetapi sedang terjadi saat ini. Dengan pendekatan kolaboratif antara pemerintah, swasta, dan masyarakat, Kota Malang masih memiliki peluang besar untuk menyelamatkan sumber dayanya.
Namun, solusinya tidak bisa hanya tambal sulam proyek. Diperlukan:
Ini bukan hanya soal lingkungan, tapi tentang keadilan sosial dan keberlanjutan kota . Malang harus segera memilih: berbenah hari ini atau krisis esok hari.
Sumber Referensi:
Wicaksono, BS (2024). Pengelolaan Sumber Daya Air di Kota Malang: Tantangan dan Solusi di Tengah Pertumbuhan PerkotaanTersedia. Universitas Pancasila
Arkeologi Indonesia
Dipublikasikan oleh pada 21 Mei 2025
Mengungkap Pola Risiko Stunting di Jawa Timur: Inovasi Visualisasi Spasial Temporal dengan Metode Fuzzy Mamdani
Stunting, sebuah kondisi terhambatnya pertumbuhan anak balita akibat kekurangan gizi kronis dan infeksi berulang, telah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang mendesak di Indonesia. Tingkat prevalensi stunting di Indonesia masih tergolong tinggi, bahkan melebihi standar yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 20%. Data tahun 2019 menunjukkan prevalensi stunting nasional mencapai 27,67%, meskipun pada tahun 2021 angka ini sedikit menurun menjadi 24,4%. Jawa Timur, sebagai salah satu provinsi dengan angka prevalensi 23,5% pada tahun 2021, menunjukkan bahwa isu ini bukan hanya skala nasional, melainkan juga menuntut perhatian serius di tingkat regional.
Pemerintah Indonesia, melalui Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, telah menetapkan target ambisius untuk menurunkan angka stunting balita hingga 14%. Pencapaian target ini memerlukan intervensi multidisiplin, dan salah satu kontribusi signifikan dapat datang dari ranah teknologi informasi. Paper berjudul "Visualisasi Spasial Temporal Tingkat Risiko Stunting di Jawa Timur Menggunakan Metode Fuzzy" oleh Arna Fariza, Rengga Asmara, dan Galuh Nurul Istiqomah, yang diterbitkan dalam Jurnal Teknologi dan Informasi edisi Maret 2023, menawarkan sebuah terobosan krusial dalam memahami dan mengatasi masalah ini. Penelitian ini berfokus pada pengembangan sistem visualisasi pemetaan tingkat risiko stunting di Jawa Timur berbasis website yang memanfaatkan metode Fuzzy Mamdani serta analisis spasial temporal dari tahun 2017 hingga 2021. Pendekatan inovatif ini tidak hanya menyajikan data secara visual dan mudah diakses, tetapi juga memberikan analisis mendalam mengenai pola sebaran risiko stunting, yang sangat vital sebagai dasar pengambilan keputusan kebijakan kesehatan.
Analisis Mendalam Pendekatan Metodologis: Kekuatan Fuzzy Mamdani dalam Ketidakpastian Data Kesehatan
Penelitian ini mengadopsi metode action research yang komprehensif, mencakup perencanaan, pelaksanaan, pengamatan, dan refleksi. Pusat dari metodologi ini adalah penerapan Logika Fuzzy, khususnya model Mamdani, untuk menentukan tingkat risiko stunting. Pemilihan metode Fuzzy didasari oleh kemampuannya dalam mengelola ketidakpastian dan kompleksitas data, menjadikannya sangat cocok untuk isu-isu kesehatan yang seringkali melibatkan variabel-variabel dengan interpretasi yang tidak selalu mutlak. Keunggulan Mamdani terletak pada kemampuannya menarik kesimpulan yang akurat dalam situasi yang tidak pasti, serta memberikan keputusan yang lebih spesifik dengan mempertimbangkan kondisi setiap himpunan daerah secara menyeluruh. Meskipun demikian, perlu dicatat bahwa salah satu kelemahan metode ini adalah keterbatasannya pada data kuantitatif pada tahap awal pemrosesan
Variabel input kunci yang digunakan dalam penentuan tingkat risiko stunting didasarkan pada pendekatan ecological analysis, yang mengidentifikasi faktor-faktor yang secara signifikan berkaitan dengan kejadian stunting. Faktor-faktor tersebut meliputi:
Data untuk variabel-variabel ini dikumpulkan dari berbagai sumber, termasuk buku profil kesehatan Jawa Timur dari tahun 2019 hingga 2021 dan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) untuk tahun 2017 dan 2018. Proses pengolahan data dengan Fuzzy Mamdani melalui tiga tahapan utama:
Studi Kasus dan Temuan Kunci: Dinamika Risiko Stunting 2017-2021
Analisis terhadap data stunting di Jawa Timur dari tahun 2017 hingga 2021 menghasilkan gambaran dinamis tentang tingkat risiko di berbagai kabupaten/kota. Hasil defuzzyfikasi menunjukkan bahwa pada tahun 2021, mayoritas wilayah (23 kabupaten/kota) memiliki tingkat risiko stunting yang rendah. Sementara itu, 6 kabupaten/kota berada pada tingkat risiko sedang, dan 2 kabupaten/kota masih menunjukkan tingkat risiko tinggi
Data komparatif antara tahun 2017 dan 2021 memperlihatkan beberapa tren menarik:
Pentingnya peran variabel input terlihat jelas dalam penentuan hasil tingkat risiko. Sebagai contoh, jika dua atau lebih faktor berada pada himpunan fuzzy rendah, dan dua faktor lainnya berada pada himpunan rendah atau sedang, terutama jika kasus stunting berada pada himpunan tinggi, maka tingkat risiko yang dihasilkan akan tinggi. Sebaliknya, jika data masukan stunting berada pada himpunan rendah, maka secara otomatis akan menghasilkan tingkat risiko stunting yang rendah. Implikasi aturan yang tepat dan kurva keanggotaan yang akurat sangat menentukan akurasi hasil akhir.
Visualisasi Spasial Temporal: Memberi Warna pada Data untuk Pengambilan Keputusan
Salah satu kekuatan utama penelitian ini adalah visualisasi spasial temporal tingkat risiko stunting. Hasil perhitungan risiko pada setiap kabupaten/kota di Jawa Timur divisualisasikan menggunakan peta berbasis website, dengan pewarnaan yang intuitif: hijau untuk risiko rendah, kuning untuk sedang, dan merah untuk tinggi. Visualisasi ini memungkinkan pemantauan tren risiko stunting secara temporal dari tahun 2017 hingga 2021
Analisis spasial, dalam konteks epidemiologi, sangat krusial untuk memahami pola geografis penyebaran penyakit. Dengan memvisualisasikan data pada peta, pembuat kebijakan dapat dengan cepat mengidentifikasi "zona merah" atau area prioritas yang memerlukan perhatian segera. Kemampuan untuk melihat perubahan tingkat risiko dari tahun ke tahun (analisis temporal) juga memberikan wawasan berharga tentang efektivitas program intervensi yang telah berjalan, serta membantu dalam perancangan strategi pencegahan di masa depan. Misalnya, penurunan risiko di Pacitan yang disebutkan sebelumnya akan terlihat jelas sebagai perubahan warna dari merah ke hijau pada peta, memberikan bukti visual keberhasilan program.
Nilai Tambah dan Kritik Konstruktif: Melangkah Lebih Jauh dari Sekadar Pemetaan
Penelitian ini memberikan nilai tambah yang signifikan dalam upaya penanggulangan stunting di Indonesia.
Meskipun demikian, ada beberapa area yang dapat menjadi fokus pengembangan dan kritik konstruktif:
Relevansi dengan Tren Industri dan Tantangan di Lapangan
Penelitian ini sangat relevan dengan tren global dalam e-health dan smart city, di mana teknologi digunakan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat. Visualisasi data kesehatan berbasis geografis adalah komponen kunci dari public health informatics, memungkinkan pemantauan penyakit, identifikasi hotspot, dan alokasi sumber daya yang efisien. Dalam konteks Indonesia, yang sedang gencar membangun infrastruktur digital dan mendorong pemanfaatan data untuk kebijakan publik, platform semacam ini memiliki potensi besar untuk direplikasi dan diadaptasi di berbagai provinsi lain.
Tantangan di lapangan terkait stunting sangat kompleks, mulai dari masalah gizi, sanitasi, akses layanan kesehatan, hingga faktor sosial budaya. Penelitian ini menyediakan sebuah alat diagnostik yang kuat untuk memahami dimensi spasial dan temporal dari masalah ini. Dengan mengetahui "di mana" dan "kapan" risiko stunting tinggi, pemerintah dapat menggeser fokus dari intervensi yang bersifat umum menjadi intervensi yang lebih bertarget dan presisi. Misalnya, di kabupaten/kota yang menunjukkan risiko tinggi secara konsisten, upaya dapat difokuskan pada peningkatan kualitas layanan puskesmas, program penyuluhan gizi intensif, atau pembangunan fasilitas sanitasi yang layak.
Kesimpulan: Masa Depan Pencegahan Stunting Berbasis Teknologi
Penelitian "Visualisasi Spasial Temporal Tingkat Risiko Stunting di Jawa Timur Menggunakan Metode Fuzzy" adalah langkah maju yang signifikan dalam upaya penanggulangan stunting. Dengan memadukan kekuatan Logika Fuzzy Mamdani dan Sistem Informasi Geografis (SIG), para peneliti telah berhasil menciptakan sebuah alat yang tidak hanya secara akurat mengidentifikasi tingkat risiko stunting, tetapi juga memvisualisasikannya secara intuitif dan temporal. Hasil penelitian ini, yang menunjukkan penurunan risiko di sebagian besar wilayah Jawa Timur namun juga menyoroti area dengan risiko yang tetap tinggi, memberikan peta jalan yang jelas bagi pembuat kebijakan.
Di masa depan, pengembangan lebih lanjut pada aspek validasi model, integrasi data yang lebih kaya, penambahan rekomendasi intervensi spesifik, serta kemampuan prediksi, akan semakin memperkuat peran teknologi dalam mengatasi masalah stunting. Pada akhirnya, penelitian ini bukan sekadar sebuah publikasi ilmiah, melainkan sebuah prototipe fungsional untuk masa depan pencegahan stunting yang lebih cerdas, lebih efisien, dan berbasis data. Dengan adopsi yang lebih luas dan pengembangan berkelanjutan, visi Indonesia bebas stunting dapat menjadi kenyataan yang semakin dekat.
Sumber Artikel:
Fariza, A., Asmara, R., & Istiqomah, G. N. (2023). Visualisasi Spasial Temporal Tingkat Risiko Stunting di Jawa Timur Menggunakan Metode Fuzzy. Jurnal Teknologi dan Informasi, 13(1), 83-91. DOI: 10.34010/jati.v13i1
Privatisasi Udara
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
Krisis Air di Tengah Melimpahnya Sumber: Masalah Tata Kelola
Indonesia dikenal sebagai negara dengan ketersediaan air yang sangat besar—bahkan 25 kali lipat dari rata-rata dunia. Namun, ironi muncul ketika banyak daerah justru mengalami krisis udara. Dalam makalahnya yang terbit di Jurnal Cakrawala Hukum , Galih Puji Mulyono menggugat kenyataan ini melalui perspektif hukum: mengapa krisis udara bisa terjadi di negara kaya air seperti Indonesia?
Tulisan ini menyelidiki kebijakan hukum tata kelola udara yang ada, dampaknya terhadap masyarakat, dan perbandingan dengan sistem luar negeri, khususnya privatisasi udara di Inggris.
Implementasi Landasan Hukum dan Ketimpangan
Penelitian ini menggunakan pendekatan hukum normatif (doktrinal) untuk mengulas bagaimana hukum Indonesia mengatur pemanfaatan sumber daya air. Beberapa temuan kuncinya:
Hal ini menunjukkan bahwa regulasi hukum masih jauh dari cukup untuk menjamin keadilan dan ketidakberhentian dalam pengelolaan air.
Studi Kasus: Dampak Hotel Terhadap Akses Air Warga
Makalah ini juga menyoroti dampak nyata lemahnya tata kelola melalui kasus-kasus di lapangan:
Studi-studi ini menggambarkan bagaimana kebijakan sering tunduk pada kepentingan investasi, mengabaikan hak masyarakat atas akses air bersih.
Peran Swasta: Investasi atau Eksploitasi?
Makalah ini juga menyoroti ambiguitas peran swasta dalam pengelolaan udara. Di satu sisi, swasta dibutuhkan untuk investasi infrastruktur. Di sisi lain, komersialisasi air bisa menghilangkan hak dasar masyarakat.
Menurut Mahkamah Konstitusi, negara wajib membatasi pengusahaan udara oleh swasta demi:
Namun penerapannya tidak seragam, membuka ruang tumpang tindih antara pengusaha, masyarakat adat, dan pemerintah.
Perbandingan Internasional: Inggris dan Sistem Privatisasi Udara
Untuk menyempurnakan analisis, penulis membandingkan sistem pengelolaan udara di Indonesia dengan Inggris, negara-negara yang dikenal sukses mendistribusikan udara bahkan ke negara lain seperti Singapura.
Fitur Sistem Inggris:
Privatisasi di Inggris berjalan relatif sukses karena disertai dengan pengawasan ketat, transparansi data, dan regulasi tarif yang adil . Hal inilah yang tidak ditemukan dalam konteks Indonesia saat UU SDA 2004 masih berlaku.
Opini Kritis: Privatisasi Udara di Indonesia, Harus atau Tidak?
Penulis menyampaikan bahwa Indonesia belum siap menerapkan privatisasi seperti Inggris. Beberapa alasan utamanya:
Namun, penulis tidak menutup kemungkinan privatisasi terbatas asalnya dilakukan dengan prinsip transparansi , akuntabilitas , dan regulasi ketat .
Putusan MK dan Jalan Hukum yang Masih Terjal
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) No. 85/PUU-XI/2013 menjadi tidak penting. MK menyatakan bahwa:
Putusan ini memaksa pemerintah menyusun regulasi baru, seperti PP No. 121/2015 tentang Pengusahaan SDA dan PP No. 122/2015 tentang SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum). Namun keduanya masih dalam tahap awal dan belum mampu membenahi izin kekacauan dan tata kelola yang ada.
Arah Kebijakan Baru: Perlindungan Inklusif, Bukan Eksklusif
Penulis menekankan perlunya kebijakan air yang:
Air bukan sekadar komoditas, tetapi hak dasar yang harus dijamin oleh negara. Dalam konteksyang harus dijamin oleh negara. Dalam konteks ini, kebijakan hukum perlu diubah dari pendekatan ekonomi menjadi pendekatan hak asasi manusia.
Kesimpulan: Saatnya Regulasi Air yang Tegas, Adil, dan Kontekstual
Makalah ini memberikan kritik tajam namun konstruktif terhadap kebijakan hukum udara di Indonesia. Galih Puji Mulyono berhasil menunjukkan bahwa akar masalah bukan pada ketersediaan udara, melainkan pada lemahnya tata kelola, regulasi hukum, dan kontrol negara atas sektor vital ini.
Dibandingkan dengan Inggris memberi pelajaran penting: privatisasi bisa berhasil, asal regulasi kuat dan berpihak pada publik. Di sisi lain, Indonesia harus lebih serius menyusun hukum baru yang:
Sumber Referensi:
Mulyono, GP (2019). Perlindungan Hukum terhadap Tata Pengelolaan Udara di IndonesiaT. Jurnal Cakrawala Hukum, 10(1).
Kritik IWRM
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
IWRM: Antara Idealisme dan Kenyataan
Dalam dua dekade terakhir, istilah Integrated Water Resources Management (IWRM) telah menjadi semtelah menjadi semacam mantra dalam dunia tata kelola udara. Dengan janji holistik—mengintegrasikan udara, tanah, dan sumber daya terkait demi kesejahteraan ekonomi dan sosial—konsep ini terlihat sempurna di atas kertas. Namun menurut Asit K. Biswasbanyak , salah satu tokoh paling berpengaruh dalam bidang kebijakan udara global, IWRM justru lebih banyak menjadi slogan daripada solusi yang nyata.
Dalam artikelnya yang berjudul “Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu: Penilaian Ulang” , Biswas menantang dominasi IWRM dalam diskursus pengelolaan air dan penilaian menuntut ulang terhadap kelayakannya dalam implementasi di dunia nyata.
Sejarah IWRM: Bukan Konsep Baru, Tapi Lama yang Didaur Ulang
Meskipun banyak yang mengira IWRM lahir dari Dublin Principles (1992), Biswas mengungkap bahwa gagasan ini sudah ada sejak lebih dari 60 tahun yang lalulalu, termasuk dalam Konferensi Air PBB di Mar del Plata tahun 1977. Sayangnya, meskipun konsep ini terus dikutip dan didorong oleh lembaga-lembaga internasional seperti Global Water Partnership (GWP), implementasinya di lapangan tetap minim bahkan tak terukur .
Kritik Utama: Definisi IWRM Terlalu Kabur dan Tidak Operasional
Definisi IWRM yang paling sering dikutip berasal dari GWP (2000), yaitu:
“Sebuah proses yang mempromosikan pengembangan dan pengelolaan terkoordinasi udara, tanah, dan sumber daya terkait, untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial secara adil tanpa mengorbankan ekosistem vital.”
Bagi Biswas, definisi ini terdengar muluk namun tidak memiliki makna operasional yang jelas. Ia memaparkan serangkaian pertanyaan kritis:
Konsep ini, menurutnya, lebih banyak menggunakan kata-kata indah tanpa kejelasan aksi nyata —seperti kata Hamlet: “Words, Words, Words.”
Konflik Praktis: Ketika Integrasi Menjadi Ilusi
Biswas menunjukkan bahwa integrasi lintas sektor dan kelembagaan , sebagaimana disarankan IWRM, tidak realistis dalam banyak konteks. Beberapa tantangan yang diungkapkan:
Dalam studi kasus, seperti upaya penyatuan laboratorium irigasi dan pertanian di Mesir tahun 1970-an, hasilnya justru kontraproduktif dan akhirnya dibatalkan.
IWRM dan Ketergantungan Konseptual: Sekadar Tren Baru?
Biswas membandingkan popularitas IWRM dengan konsep-konsep masa lalu seperti “konservasi” pada awal abad ke-20—semua orang mendukungnya, meski tidak tahu maknanya. Ia menyatakan bahwa banyak aktor dan institusi menggunakan label IWRM untuk meningkatkan citra atau mendapatkan dana, tanpa perubahan nyata dalam praktik .
Daftar Integrasi: Misi Mustahil IWRM
Dalam analisisnya, Biswas menyusun 35 kategori aspek yang termasuk dalam literatur yang perlu diintegrasikan ke dalam IWRM: mulai dari air permukaan & bawah tanah, kuantitas & kualitas udara, energi, pertanian, lingkungan, gender, hingga antargenerasi.
Kritiknya sederhana: Tak mungkin semua itu bisa diserap secara serempak.
Contoh Nyata: Udara & Energi yang Tidak Terpisahkan
Biswas mengangkat hubungan udara-energi sebagai ilustrasi kompleksitas. Di India, misalnya:
Namun, kementerian udara dan energi berjalan sendiri-sendiri. Maka, mengintegrasikan udara tanpa menyentuh energi akan gagal sejak awal .
IWRM: Jalan Tanpa Tujuan?
Banyak pendukung IWRM yang menyebutnya sebagai “perjalanan, bukan tujuan.” Namun Biswas menolak analogi ini:
“Bagaimana kita bisa menggunakan peta jalan jika kita tidak mengetahui titik awal dan tujuan?”
Tanpa definisi, ukuran keberhasilan, dan kerangka pelaksanaan yang jelas, maka IWRM hanyalah peta tanpa kompas .
Dampak Nyata atau Retorika Belaka?
Menurut Biswas, tidak ada cukup bukti bahwa IWRM telah meningkatkan efektivitas kebijakan udara secara makro. Sebaliknya, banyak negara masih menjalankan proyek air dengan cara lama, hanya mengganti kemasan dengan jargon IWRM. Ini menunjukkan bahwa popularitas tidak sama dengan keberhasilannya .
Opini Tambahan: Jalan Alternatif dari Kritik yang Konstruktif
Kritik Biswas tidak berarti menolak kolaborasi atau koordinasi. Ia justru mendorong:
IWRM berguna, tapi harus dijelaskan ulang dengan pendekatan realistis dan adaptif.
Kesimpulan: Saatnya Evaluasi, Bukan Glorifikasi
Tulisan Biswas mengingatkan kita bahwa dalam tata kelola sumber daya, konsep besar tidak selalu berbanding lurus dengan dampak besar . IWRM, dengan segala idealismenya, belum membuktikan diri sebagai paradigma transformatif. Tanpa reformulasi operasional dan adaptasi lokal, konsep ini akan berakhir sebagai jargon masa lalu.
Seperti kata Biswas: “Kita duduk di kompartemen kedap udara, tapi berkhotbah soal pendekatan holistik.”
Sumber Referensi
Biswas, AK (2004). Manajemen Sumber Daya Air Terpadu: Sebuah Penilaian Ulang . Water International, 29(2), 248–256.
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 21 Mei 2025
Pendahuluan: Produktivitas, Masalah Abadi di Dunia Konstruksi
Dalam dunia konstruksi, efisiensi bukan sekadar jargon teknis—ia adalah penentu hidup-mati proyek. Salah satu titik krusial efisiensi adalah produktivitas tenaga kerja. Terlambat satu hari, membengkak satu juta. Itulah kenapa sektor konstruksi terus mencari pendekatan terbaik untuk mengukur dan meningkatkan produktivitas, salah satunya melalui metode MPDM (Method Productivity Delay Model).
Tesis Fiqri Anra Wijaya dari Universitas Islam Indonesia ini memberikan kontribusi penting dalam memahami faktor-faktor yang menurunkan produktivitas kerja, khususnya pada pekerjaan pemasangan keramik. Penelitian ini tak hanya mendokumentasikan keterlambatan, tetapi menyajikan solusi berbasis pengukuran kuantitatif langsung di lapangan.
Tujuan Penelitian
Tesis ini bertujuan menjawab tiga pertanyaan kunci:
Seberapa tinggi produktivitas tukang keramik pada proyek pembangunan Masjid Muhammadiyah Boarding School, Lombok Barat?
Apa penyebab utama keterlambatan produktivitas?
Bagaimana perbandingan produktivitas di lapangan dengan standar Permen PUPR No. 28/PRT/M/2016?
Metodologi: Studi Kasus, MPDM, dan Perbandingan Regulator
Lokasi & Subjek:
Proyek: Masjid Muhammadiyah Boarding School, Narmada, Lombok Barat
Obyek: Pemasangan keramik lantai 60x60 cm
Responden: 4 tukang batu
Metode Pengumpulan Data:
Pengamatan langsung 10 siklus kerja
Siklus terdiri dari tiga aktivitas utama:
Menuangkan & meratakan spesi
Meletakkan keramik
Mengetuk & mengatur keramik
Pengukuran Produktivitas:
Menggunakan rumus dasar:
Produktivitas = Luas (m²) / Waktu kerja (jam)
Data diklasifikasikan berdasarkan jenis delay (tundaan): lingkungan, alat, tenaga kerja, material, dan manajemen.
Hasil Penelitian: Angka yang Menggugah
Temuan Kunci:
Produktivitas lapangan: 4,771 m²/jam
Produktivitas ideal: 6,255 m²/jam
Standar Permen PUPR: ~1,19 m²/jam
Produktivitas aktual lebih tinggi 4,008x dibanding Permen PUPR
Grafik Learning Curve menunjukkan bahwa tukang menunjukkan peningkatan efisiensi secara signifikan dari siklus ke siklus.
Analisis: Menelusuri Akar Tundaan
MPDM memungkinkan identifikasi faktor penyebab keterlambatan produktivitas. Temuan menunjukkan faktor material sebagai penyebab utama, diikuti oleh:
Material (Emt) – Sering kali keramik tidak tersedia atau tidak sesuai spesifikasi.
Tenaga kerja (Ela) – Pekerja mengobrol, merokok saat jam kerja, atau kurang kompetensi.
Manajemen (Emm) – Koordinasi antarpekerja & pengawas belum maksimal.
Peralatan (Eeq) – Ketiadaan alat bantu atau alat tidak berfungsi optimal.
Lingkungan (Een) – Minim, karena cuaca dan kondisi lokasi cenderung mendukung.
Dampak Delay pada Produktivitas:
Tiap delay disusun dalam model persentase kontribusi, yang dihitung menggunakan Relative Severity Index dan kemungkinan kejadian (probability).
Pembahasan: Apa Arti Semua Ini?
Kekuatan Studi:
Pengukuran real-time langsung dari siklus kerja
Kuantifikasi delay, bukan sekadar asumsi
Menggunakan MPDM, metode yang sudah diakui secara internasional (Halpin & Riggs, 1992)
Insight Tambahan:
Produktivitas yang jauh melampaui standar Permen PUPR No. 28/2016 menandakan bahwa regulasi tersebut terlalu konservatif atau sudah tidak relevan di lapangan modern.
Kebiasaan kerja dan perilaku pekerja memainkan peran krusial—lebih dari sekadar keahlian teknis.
Kelebihan & Nilai Tambah MPDM
Akurat: karena berbasis pada pengamatan aktivitas aktual, bukan perkiraan.
Adaptif: bisa diterapkan di berbagai jenis pekerjaan konstruksi (keramik, plesteran, bata, dll.)
Detil: mampu memisahkan penyebab keterlambatan dengan akurat.
Namun, kelemahan MPDM adalah prosesnya memerlukan observasi intensif dan waktu analisis lebih lama dibanding metode konvensional.
Opini & Rekomendasi
Kritik:
Penelitian masih terbatas pada satu lokasi & 4 tukang. Perlu skala lebih besar.
Tidak ada dimensi digitalisasi atau teknologi seperti penggunaan alat bantu pemasangan otomatis.
Saran Implementasi:
Revisi regulasi produktivitas nasional berbasis studi empiris lapangan.
Terapkan sistem insentif berbasis produktivitas riil, bukan estimasi.
Libatkan MPDM dalam perencanaan anggaran proyek, untuk menghindari over/under budgeting.
Implikasi Praktis: Untuk Siapa dan Apa?
Kontraktor: bisa mengoptimalkan waktu & tenaga kerja berdasarkan data real
Pemerintah/LPJK: dapat merevisi standar produktivitas
Akademisi: bisa melanjutkan riset ke sektor konstruksi lainnya
Manajer proyek: mampu menyusun jadwal kerja lebih realistis
Penutup: Produktivitas Bukan Sekadar Angka
Tesis ini memperlihatkan bahwa pekerjaan sekecil pemasangan keramik pun punya potensi besar meningkatkan efisiensi proyek secara keseluruhan jika dikelola dengan data dan metode yang tepat.
Pendekatan berbasis MPDM adalah angin segar bagi pengukuran produktivitas yang selama ini hanya mengandalkan intuisi. Dengan data seperti ini, kita bisa menyusun kebijakan, standar kerja, dan pelatihan tenaga kerja secara lebih presisi.
Sumber
Fiqri Anra Wijaya (2022).
Analisis Produktivitas Tenaga Kerja Konstruksi Pada Pekerjaan Pemasangan Keramik Menggunakan MPDM (Method Productivity Delay Model)
Tesis Magister, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
URL: https://academic.uii.ac.id (akses institusional)
Konservasi Sumber Daya
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 21 Mei 2025
IWRM: Solusi Menyeluruh untuk Krisis Air Dunia
Di dunia yang krisis akibat pertumbuhan populasi, menghadapi perubahan iklim, dan eksploitasi berlebihan, pendekatan sektoral tidak lagi relevan. Integrated Water Resources Management (IWRM) hadir sebagai pendekatan ekologi holistik yang memadukan aspek, sosial, ekonomi, dan budaya dalam pengelolaan sumber daya air. Manual ini, disusun oleh Stockholm International Water Institute (SIWI), memberikan landasan kokoh bagi para pemangku kepentingan—baik teknisi, pembuat kebijakan, hingga masyarakat—untuk menerapkan IWRM secara praktis dan terarah.
Apa Itu IWRM dan Mengapa Penting?
IWRM adalah pendekatan yang menekankan koordinasi antarsektor dalam pengelolaan udara, dengan tujuan utama:
Dilihat dari Dublin Principles (1992) dan diperkuat dalam Agenda 21 (Rio Summit), IWRM menekankan bahwa udara:
Studi Kasus: Danau Hawassa di Ethiopia
Manual ini menggunakan Danau Hawassa sebagai studi utama. Danau ini merupakan sumber air utama bagi ±113.000 penduduk, dan menjadi pusat aktivitas ekonomi: pertanian, industri, pariwisata, serta perikanan. Namun, dalam 25 tahun terakhir, permukaan danau terus meningkat, menyebabkan banjir musiman dan kerusakan pertanian. Hal ini menunjukkan pentingnya pendekatan IWRM untuk menyeimbangkan kebutuhan sosial dengan kapasitas ekologis.
Data Menarik:
Ancaman Sumber Daya Air: Ulah Manusia dan Tekanan Alam
Bab awal manual ini menjelaskan bahwa air tawar hanya 3% dari total air dunia , dan hanya kurang dari 1% yang dapat langsung dimanfaatkan manusia. Di Danau Hawassa, ancaman terbesar datang dari:
Akibatnya, kualitas air menurun, keanekaragaman hayati terancam, dan terjadi konflik antar pengguna.
Empat Pilar IWRM: Prinsip Dasar Pengelolaan Air Terpadu
1. Air adalah Sumber Daya Terbatas
Pengelolaan udara tidak boleh mengabaikan fakta bahwa udara tidak akan bertambah. Pemanfaatan berlebih dan polusi mempercepat krisis.
2. Pendekatan Partisipatif
IWRM menekankan perlunya partisipasi seluruh pemangku kepentingan: dari masyarakat adat, perempuan, petani, hingga pembuat kebijakan. Kebijakan kesuksesan tidak bisa tercipta dari atas saja.
3. Peran Sentral Perempuan
Perempuan, khususnya di komunitas pedesaan, adalah pengguna dan penjaga air utama. Ketika perempuan dilibatkan dalam pengambilan keputusan, efektivitas pengelolaan udara meningkat secara signifikan.
4. Air Sebagai Barang Ekonomi
Air perlu dikenakan biaya berdasarkan nilai penggunaan—tetapi harus tetap menjamin akses bagi masyarakat miskin. Penggunaan air yang tak terkendali sering terjadi karena menganggap air adalah barang gratis.
Pendekatan IWRM dalam Praktik: Mekanisme Intersektoral
Dalam bab praktik, manual ini menyoroti pentingnya kolaborasi antar sektor melalui pendekatan antar sektor dan antar tingkat . Ini terlihat dalam dua studi nyata:
Sukses: Komisi Sungai Mekong (Asia Tenggara)
Empat negara (Kamboja, Laos, Thailand, Vietnam) membentuk badan pengelola bersama melalui dialog formal lintas sektor dan tingkat. Mekong menjadi contoh sukses implementasi IWRM multinasional .
Gagal: Sungai Tana di Kenya & Sungai Langat di Malaysia
Kegagalan IWRM disebabkan oleh tumpang tindih otoritas, minimnya partisipasi, dan perencanaan yang tidak berbasis data. Pembelajaran penting: IWRM gagal bukan karena konsepnya, tapi karena buruknya implementasi.
Manfaat IWRM: Dari Ekologi hingga Politik
IWRM tidak hanya menjaga udara, namun juga berdampak luas:
Kritik dan Refleksi: Apakah IWRM Selalu Efektif?
bahwa IWRMManual ini cukup realistis dalam mengakui bahwa IWRM bukan resep tunggal untuk semua lokasi . Tantangan implementasi antara lain:
Namun, pendekatan IWRM tetap relevan karena fleksibel. Hal ini dapat disesuaikan dengan konteks lokal, bersifat adaptif, dan mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs).
Kesimpulan: IWRM sebagai Arah Masa Depan Pengelolaan Air
Manual ini menyajikan panduan praktis dan konsep yang kuat untuk membangun sistem pengelolaan air yang adil, efisien, dan lestari. Dalam menghadapi krisis udara global, IWRM menawarkan cara untuk:
Sumber Referensi:
Air StockholmInstitut Air Internasional Stockholm. (2020). Prinsip dan Praktik Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu – Manual 1 SIWI.T. SIWI.