Riset dan Inovasi
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Sektor konstruksi memegang peranan vital dalam perekonomian global, namun terus menghadapi kritik mengenai efisiensi, keterlambatan proyek, dan minimnya inovasi. Disertasi doktoral Lena Borg (2015) dari KTH Royal Institute of Technology menjadi kontribusi penting dalam menganalisis bagaimana kontrak pengadaan dapat mendorong inovasi dan produktivitas sektor ini. Terdiri dari lima studi utama, karya ini mengurai hubungan antara desain kontrak, insentif inovasi, dan pengukuran produktivitas di sektor konstruksi Swedia. Resensi ini menyajikan ringkasan kritis, studi kasus, serta refleksi atas temuan dan dampak praktis dari penelitian tersebut.
Latar Belakang: Tantangan Konstruksi Global
Meskipun sektor konstruksi menyumbang 10% terhadap PDB global (UNEP, 2015), produktivitasnya stagnan dibanding sektor lain. Di Swedia, investasi konstruksi mencakup 9,6% dari PDB (2014), namun sektor ini dikenal konservatif dan lambat beradaptasi.
Beberapa kritik umum:
Ketidakpastian kontrak
Kualitas bangunan buruk
Kurangnya insentif inovasi
Ketidakakuratan data produktivitas
Dengan realitas ini, Lena Borg menawarkan pendekatan sistematis berbasis studi empiris dan kerangka teoritis untuk memahami dan memperbaiki kinerja sektor konstruksi.
Tujuan dan Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini menjawab tiga pertanyaan utama:
Bagaimana desain kontrak pengadaan mempengaruhi inovasi?
Bagaimana cara mendorong inovasi "baik" dalam konstruksi?
Bagaimana mengukur produktivitas dengan lebih akurat?
Kelima studi dalam disertasi dibagi ke dalam tiga topik riset:
Kontrak Pengadaan
Inovasi
Produktivitas
Studi dan Temuan Utama
Strukturisasi Kontrak Pengadaan
Kontribusi utama adalah kerangka sistematis untuk mengklasifikasi kontrak berdasarkan:
Tanggung jawab desain vs konstruksi
Durasi kontrak (jangka pendek vs panjang)
Pembagian risiko
Kerangka ini membantu klien dan pembuat kebijakan memilih model kontrak yang tepat. Kontrak DBB (Design-Bid-Build) tetap dominan, meski terbukti kurang mendorong inovasi.
Kontrak Terpadu Berbasis Layanan
Studi ini mengevaluasi kontrak yang menggabungkan desain, konstruksi, dan pemeliharaan. Meski teorinya kontrak ini memberi insentif inovasi jangka panjang, praktiknya tidak otomatis meningkatkan profit.
Isu yang muncul:
Moral Hazard: Kontraktor mungkin menekan kualitas selama fase desain demi efisiensi jangka pendek.
Risiko Alih Tanggung Jawab: Kontrak terpadu bisa menjadi alat untuk mengalihkan risiko ke kontraktor, bukan menciptakan kolaborasi sejati.
Inovasi Baik vs Buruk
Kritik utama pada pendekatan konvensional adalah fokus pada kuantitas inovasi, bukan kualitasnya. Lena Borg mengusulkan klasifikasi inovasi:
Inovasi Baik: Meningkatkan kualitas, efisiensi jangka panjang, atau keberlanjutan.
Inovasi Buruk: Meningkatkan profit jangka pendek, namun menurunkan kinerja jangka panjang.
Temuan penting:
Insentif internal perusahaan lebih efektif mendorong inovasi daripada kebijakan pemerintah.
Transparansi dan klasifikasi inovasi dibutuhkan untuk menghindari "pseudo-innovations".
Studi Kasus Laundry di Apartemen Swedia
Perubahan regulasi mendorong pengembang beralih dari laundry komunal ke mesin cuci di unit. Ini inovatif secara desain namun memiliki:
Efek positif: Ruang lebih fleksibel bagi penghuni.
Efek negatif: Peningkatan penggunaan energi jika tidak diimbangi teknologi efisien.
Temuan ini menunjukkan bahwa inovasi desain bisa berdampak eksternal yang tidak terduga.
Akurasi Pengukuran Produktivitas
Produktivitas sektor konstruksi sering kali diremehkan karena pengukuran tidak memperhitungkan:
Peningkatan kualitas produk akhir
Kompleksitas desain
Efek geografis dan regulasi
Borg dan Song menyarankan penggabungan variabel kualitatif seperti fitur bangunan dalam indeks harga agar lebih mencerminkan nilai tambah sesungguhnya.
Analisis Lintas Studi
Kekuatan:
Studi menyeluruh berbasis data Swedia dan teori ekonomi organisasi.
Menjembatani kesenjangan antara akademik dan praktik industri.
Kelemahan:
Fokus geografis pada Swedia mengurangi generalisasi global.
Beberapa studi memiliki sampel kecil (misal: hanya dua wawancara pada Paper II).
Perbandingan dengan Studi Lain
Latham (UK, 1994) dan Egan Report (1998) juga mendorong kolaborasi kontraktual, sejalan dengan ide Borg.
Studi di Australia dan Kanada menekankan pendekatan terstandardisasi, mirip dengan kerangka kontrak di Paper I.
Di Indonesia, rendahnya produktivitas banyak dikaitkan dengan ketidakterpaduan proses desain dan pembangunan, mendukung argumen Borg mengenai pentingnya kontrak DB.
Implikasi Praktis
Rekomendasi untuk Sektor Konstruksi:
Gunakan Kontrak Terpadu Secara Selektif: Hindari penggunaan hanya untuk transfer risiko.
Kembangkan Sistem Evaluasi Inovasi: Fokus pada dampak jangka panjang, bukan sekadar jumlah.
Perbaiki Pengukuran Produktivitas: Tambahkan indikator kualitas dan kompleksitas.
Dorong Kolaborasi Lebih Awal: Libatkan kontraktor sejak fase desain untuk solusi yang efisien.
Tingkatkan Kompetensi Klien: Agar lebih mampu menilai solusi teknis jangka panjang.
Kesimpulan
Disertasi Lena Borg membuka diskusi penting mengenai akar permasalahan produktivitas dan inovasi sektor konstruksi. Ia menyoroti pentingnya membangun sistem insentif yang mendorong inovasi berkualitas dan pengukuran kinerja yang adil. Kontribusi utama terletak pada pemahaman bahwa keberhasilan kontrak bukan sekadar struktur formal, tetapi hasil dari interaksi kompleks antara desain kontrak, perilaku aktor, dan kondisi pasar.
Meski berfokus pada Swedia, temuan-temuan ini sangat relevan secara internasional, termasuk Indonesia, yang tengah gencar membenahi infrastruktur dan sistem pengadaan proyek.
Sumber Referensi
Borg, L. (2015). Procurement Contracts, Innovation and Productivity in the Construction Sector: Five Studies. Doctoral Thesis, KTH Royal Institute of Technology. https://www.diva-portal.org/smash/record.jsf?pid=diva2%3A853275
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi merupakan tulang punggung pembangunan fisik dan ekonomi di banyak negara, termasuk Swedia. Namun, masalah klasik seperti keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan kualitas hasil yang tidak konsisten sering kali berakar pada satu isu utama: rendahnya produktivitas tenaga kerja. Penelitian oleh Pia Malin Bartoschek dan Filip Kamenov Kirchev (2021) menyajikan analisis komprehensif tentang bagaimana produktivitas tenaga kerja berkontribusi terhadap keberhasilan proyek konstruksi, khususnya dari sudut pandang manajer proyek di industri konstruksi Swedia.
Resensi ini bertujuan membedah temuan utama studi tersebut, menyajikan data dan wawasan praktis, serta memperkaya pembahasan dengan opini kritis dan perbandingan dengan praktik global.
Latar Belakang Penelitian
Swedia dan Tantangan Produktivitas di Sektor Konstruksi
Swedia mengalami peningkatan 35,4% lapangan kerja di industri konstruksi antara 2010 hingga 2020. Nilai industri ini pada 2019 mencapai 53,3 miliar euro. Namun, menurut Jonsson (2005), produktivitas tenaga kerja tetap rendah akibat perencanaan buruk, minimnya kepemimpinan, dan tingginya biaya konstruksi.
Definisi dan Pentingnya Produktivitas Tenaga Kerja
Produktivitas tenaga kerja diukur dari output per jam kerja. Ini mencerminkan efisiensi tenaga kerja dalam menghasilkan hasil proyek. Florez dan Cortissoz (2016) menyebutkan bahwa biaya tenaga kerja menyumbang 30–50% dari total biaya proyek, menjadikannya faktor utama dalam optimasi biaya.
Tujuan Penelitian dan Pertanyaan Kunci
Penelitian ini bertujuan menjawab: "Bagaimana kesuksesan proyek dapat dicapai melalui optimalisasi produktivitas tenaga kerja?" Fokusnya adalah pada persepsi manajer proyek mengenai faktor-faktor penentu produktivitas dan bagaimana mereka mengelola faktor tersebut sepanjang siklus proyek.
Metodologi
Pendekatan Kualitatif Deduktif
Penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara mendalam dengan manajer proyek dari tiga perusahaan besar di Swedia: JM AB, Svevia, dan Atrium Ljungberg. Lima wawancara dilakukan, dianalisis dengan content analysis.
Framework Teoretis
Kerangka utama yang digunakan adalah 10-Factor Model dari Pinto dan Slevin (1988), yang mengidentifikasi faktor-faktor kunci keberhasilan proyek: komunikasi, dukungan manajemen puncak, perencanaan proyek, konsultasi klien, rekrutmen personel, tugas teknis, penerimaan klien, pemantauan, serta troubleshooting.
Temuan Lapangan
Faktor Pendorong Produktivitas Tenaga Kerja
Dari wawancara, faktor-faktor yang konsisten muncul sebagai pendorong utama produktivitas adalah:
Perencanaan awal yang matang
Dukungan manajemen puncak
Gaya kepemimpinan yang suportif
Komunikasi lintas fungsi yang efektif
Pelatihan dan pengalaman tim
Teknologi digital seperti BIM (Building Information Modeling)
Studi Kasus: Atrium Ljungberg
Sebagai perusahaan properti, Atrium bertindak sebagai kontraktor utama dan mengelola proyek secara menyeluruh. Mereka menekankan pentingnya desain awal, risk assessment berkala, serta komunikasi terpusat melalui BIM. Manajer proyek menyatakan bahwa investasi di awal siklus proyek, meskipun mahal, menghindari masalah besar di fase eksekusi.
Studi Kasus: JM AB dan Svevia
JM AB fokus pada pembangunan perumahan, sementara Svevia pada infrastruktur. Kedua perusahaan menyoroti pentingnya keterlibatan tim sejak awal, pelatihan berkala, serta gaya kepemimpinan kolaboratif. Salah satu manajer menyatakan bahwa proyek sukses bergantung pada "perencanaan mikro dan kemampuan merespons risiko secara dinamis".
Analisis Faktor Produktivitas
Faktor Organisasi
Top management support menentukan akses ke sumber daya dan validasi keputusan teknis. Struktur organisasi yang terlalu hierarkis cenderung menghambat respons cepat di lapangan.
Faktor Personal dan Kepemimpinan
Manajer proyek yang kompeten menunjukkan kombinasi kemampuan teknis, komunikasi, dan kepemimpinan partisipatif. Kelemahan pada salah satu aspek ini berdampak langsung pada moral dan output tim.
Faktor Eksternal
Cuaca ekstrem, perubahan regulasi, dan tekanan pasar merupakan faktor luar yang berpengaruh besar. Namun, banyak manajer proyek di Swedia telah mengembangkan sistem mitigasi risiko berbasis teknologi.
Perbandingan Global
Studi Nigeria, Turki, dan Indonesia
Di Nigeria (Paul & Adavi, 2013), komunikasi dua arah dianggap sebagai kunci meningkatkan produktivitas.
Di Turki (Kazaz et al., 2008), motivasi kerja adalah determinan utama.
Di Indonesia (Jarkas, 2010), buildability design berkontribusi besar terhadap efisiensi konstruksi.
Penelitian Bartoschek dan Kirchev mengonfirmasi bahwa faktor-faktor ini juga berlaku di Swedia, menunjukkan sifat universal dari produktivitas tenaga kerja konstruksi.
Kritik dan Opini
Kekuatan Penelitian:
Studi lapangan mendalam melalui wawancara langsung.
Penggunaan teori klasik (Pinto & Slevin, Belassi & Tukel) sebagai dasar analisis.
Kelemahan:
Jumlah responden terbatas (hanya lima orang).
Tidak mencakup aspek kuantitatif untuk mengukur dampak faktor secara statistik.
Fokus pada perusahaan besar, kurang mewakili UKM konstruksi.
Saran Tambahan:
Penelitian lanjutan sebaiknya:
Menggunakan mixed method (wawancara dan survei kuantitatif).
Menyoroti perbedaan produktivitas antara proyek publik dan swasta.
Menganalisis peran teknologi AI dan otomasi di masa depan.
Rekomendasi Praktis untuk Industri
Digitalisasi Proses Proyek: Gunakan BIM, dashboard KPI real-time, dan sistem ERP untuk efisiensi informasi.
Pelatihan Berkelanjutan: Fokus pada soft skill (komunikasi, manajemen konflik) dan hard skill teknis.
Pemetaan Risiko Awal: Lakukan assessment menyeluruh pada tahap perencanaan.
Desentralisasi Keputusan: Beri keleluasaan manajer proyek untuk mengambil keputusan strategis.
Kultur Organisasi Kolaboratif: Dorong komunikasi terbuka antar-departemen dan pengakuan atas kontribusi individu.
Kesimpulan
Produktivitas tenaga kerja konstruksi adalah kombinasi antara manusia, proses, dan sistem. Studi ini memperlihatkan bahwa dengan pengelolaan yang tepat—terutama oleh manajer proyek yang kompeten dan sistem pendukung yang efektif—produktivitas dapat dioptimalkan, dan kesuksesan proyek dapat tercapai. Meski berfokus pada Swedia, temuan ini relevan secara global, termasuk di Indonesia, mengingat kemiripan tantangan di sektor konstruksi.
Sumber Referensi
Bartoschek, P. M., & Kirchev, F. K. (2021). Labor Productivity Influence in the Construction Industry. Jönköping University. https://www.diva-portal.org/smash/record.jsf?pid=diva2%3A1550289
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Proyek konstruksi memainkan peranan vital dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara berkembang. Namun, efektivitas implementasinya kerap terganggu oleh masalah keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga dampak lingkungan. Dalam paper berjudul "The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries" karya Joseph Makori, disajikan kerangka teoritis untuk mengevaluasi kinerja proyek konstruksi berdasarkan enam indikator utama: waktu, biaya, kualitas, keselamatan, minimnya sengketa, dan dampak lingkungan. Artikel ini tidak hanya menyuguhkan analisis literatur, tetapi juga membangun proposisi hubungan antara faktor keberhasilan dan kinerja proyek secara menyeluruh.
Menggugat Paradigma Tradisional: Dari Segitiga Besi ke Pendekatan Holistik
Selama beberapa dekade, evaluasi proyek konstruksi hanya berpusat pada tiga elemen klasik: waktu, biaya, dan kualitas, yang dikenal dengan sebutan "iron triangle." Namun pendekatan ini dianggap terlalu sempit. Penelitian Makori mendorong evolusi paradigma dengan menambahkan indikator keselamatan, minim sengketa, dan dampak lingkungan sebagai metrik penting dalam menilai keberhasilan proyek. Hal ini sejalan dengan pendekatan keberlanjutan dan peningkatan kepuasan masyarakat dalam proyek publik.
Kerangka Evaluasi: KPI dan Faktor Keberhasilan Kritis (CSF)
Penelitian ini menyusun enam Key Performance Indicators (KPI):
1. Waktu penyelesaian
2. Biaya proyek
3. Kualitas bangunan
4. Keselamatan kerja
5. Minim sengketa di lokasi
6. Dampak terhadap lingkungan
Untuk mengukur KPI ini, ditetapkan pula enam Critical Success Factors (CSF):
Faktor terkait proyek (lokasi, ukuran, kompleksitas)
Faktor terkait klien (pengalaman, kemampuan membayar)
Faktor konsultan (kejelasan desain, dokumen proyek)
Faktor kontraktor (keterampilan teknis, pengelolaan lokasi)
Faktor rantai pasok (material, tenaga kerja, alat)
Faktor eksternal (kondisi ekonomi, cuaca, kebijakan publik)
Studi Kasus: Survei Pakar dan Penerapan Lapangan
Makori menguji kerangka teoritis ini melalui survei kepada lima pakar di Kenya yang terdiri dari akademisi, kontraktor, dan pejabat publik. Hasilnya, seluruh KPI dan CSF dianggap relevan. Menariknya, indikator kepuasan masyarakat akhirnya dikesampingkan karena dipandang lebih sebagai akibat dari performa proyek, bukan ukuran langsungnya.
Di tahap lanjutan, kerangka kerja diuji pada 12 responden dari 10 proyek berbeda di Busia County, Kenya. Hasilnya menunjukkan bahwa para pelaku proyek memahami pentingnya KPI dan CSF, namun klasifikasi antar faktor masih tumpang tindih.
Analisis Kritis: Kekuatan dan Keterbatasan Pendekatan Makori
Nilai Tambah:
Komprehensif dan relevan: Menggabungkan dimensi keberlanjutan dan sosial yang selama ini diabaikan.
Adaptif terhadap konteks lokal: Dengan studi kasus di Kenya, kerangka ini dapat direplikasi pada konteks negara berkembang lain seperti Indonesia.
Struktur sistematis: Diagram hubungan antar faktor (lihat Gambar 1 dalam paper) memudahkan pemetaan penyebab dan akibat.
Keterbatasan:
Kurangnya pengujian empiris: Meskipun kerangka kerja solid, validitasnya belum diuji secara statistik.
Potensi tumpang tindih antar CSF: Sejumlah faktor bisa masuk ke lebih dari satu kategori, yang dapat menimbulkan kebingungan saat implementasi.
Tidak ada data kuantitatif: Penelitian masih dalam tahap teoritis dan survei terbatas.
Perbandingan dengan Penelitian Sejenis
Berbeda dengan penelitian Atkinson (1999) yang juga menggugat model "iron triangle" namun tidak menyertakan dimensi lingkungan, Makori melangkah lebih jauh dengan menjadikan dampak lingkungan dan sengketa sebagai variabel utama. Sementara itu, penelitian oleh Chan dan Tam (2000) memetakan penyebab keterlambatan dan penurunan kualitas, tetapi tidak menyusun kerangka evaluasi seperti yang dilakukan Makori.
Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi
Bagi manajer proyek, kerangka ini dapat dijadikan panduan komprehensif untuk:
Penutup: Arah Baru Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi
Makori memberikan kontribusi penting terhadap literatur manajemen proyek di negara berkembang. Dengan menggabungkan KPI tradisional dan kontemporer serta menetapkan hubungan sistemik antara CSF dan KPI, kerangka ini dapat menjadi fondasi bagi sistem evaluasi proyek yang lebih adil, berkelanjutan, dan akuntabel.
Sumber:
Makori, Joseph. The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries. International Scientific Conference on Economic, Social and Environmental Sustainability, Malta, 2023. Tersedia di: https://www.issbs.si/press/
Manajemen Kualitas
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Kualitas dalam industri konstruksi bukan sekadar slogan, melainkan penentu keberhasilan proyek dan reputasi perusahaan. Dalam dunia yang semakin kompetitif, khususnya di Indonesia, pendekatan sistematis terhadap biaya kualitas menjadi krusial. Sayangnya, banyak kontraktor masih belum menyadari pentingnya perencanaan dan pencatatan biaya kualitas yang memadai.
Makalah berjudul "Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects" karya Puti F. Marzuki dan M. Wisridani (2014), memaparkan bagaimana dua perusahaan konstruksi besar—satu milik negara dan satu swasta—merancang biaya kualitas dalam tiga proyek besar di Jakarta. Penelitian ini tidak hanya mengklasifikasikan biaya kualitas, tetapi juga mengungkapkan praktik nyata dan kekurangannya dalam dunia proyek konstruksi Indonesia.
Definisi dan Kategori Biaya Kualitas
Biaya kualitas dalam konteks konstruksi mengacu pada seluruh pengeluaran yang timbul akibat:
1. Biaya Pencegahan (Prevention Cost): Langkah-langkah untuk mencegah kesalahan sebelum terjadi.
2. Biaya Penilaian (Appraisal Cost): Kegiatan untuk menilai dan menguji kualitas pekerjaan.
3. Biaya Kegagalan (Failure Cost): Biaya yang muncul karena kesalahan, baik yang ditemukan sebelum (internal) atau sesudah (eksternal) proyek diserahkan.
Menurut Lam et al. (1994), biaya kualitas bisa mencapai 8–15% dari total anggaran proyek. Namun, belum banyak kontraktor Indonesia yang menerapkan pendekatan ini secara terstruktur.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini melibatkan tiga proyek konstruksi di Jakarta:
Proyek 1 dan 2: Dikerjakan oleh kontraktor milik negara (Kontraktor A)
Proyek 3: Dikerjakan oleh perusahaan swasta (Kontraktor B)
Responden berasal dari tim quality control dan cost control. Semua kontraktor tersertifikasi ISO 9001 dan memiliki departemen khusus manajemen mutu.
Hasil Penelitian dan Analisis
1. Perencanaan Biaya Pencegahan
Proyek 1: 0,304% dari nilai kontrak
Proyek 2: 0,860%
Proyek 3: 0,948%
Fokus utama: proses kontrol mutu (63%–64%) seperti ITP dan remunerasi staf QC.
Kekurangan: Tidak ada anggaran untuk kontrak review, audit mutu internal, atau pelatihan bersertifikasi. Alokasi untuk pelatihan rata-rata <1%.
Analisis: Investasi yang minim pada pencegahan mengindikasikan lemahnya pemahaman jangka panjang. Padahal, TQM menekankan bahwa biaya pencegahan akan menurunkan biaya kegagalan.
2. Perencanaan Biaya Penilaian
Proyek 1: 0,883%
Proyek 2: 1,790%
Proyek 3: 2,324%
Elemen terbesar: inspeksi dan pengujian (±74%). Komponen ini mencakup pengujian lapangan, evaluasi material, dan kalibrasi alat.
Catatan: Beberapa kegiatan seperti inspeksi pabrik masih tidak dipertimbangkan. Namun, pendekatan ini lebih sistematis dibanding biaya pencegahan.
3. Biaya Kegagalan: Tidak Direncanakan
Biaya kegagalan hanya diketahui setelah proyek selesai:
Proyek 1: 1,35%
Proyek 2: 1,028%
Proyek 3: 0,55%
Komponen terbesar:
Proyek 1: 66,7% dari biaya kegagalan adalah scrap material
Proyek 3: 72,7% adalah biaya rework
Kritik: Tidak ada perencanaan ataupun pencatatan sistematis terhadap kegagalan internal maupun eksternal. Hal ini membuat evaluasi mutu jadi reaktif, bukan preventif.
Studi Perbandingan Proyek: BUMN vs Swasta
Proyek 3 (swasta) mengalokasikan total biaya kualitas tertinggi (3,822%), namun menunjukkan kegagalan paling rendah (0,55%).
Implikasi: Semakin tinggi investasi pada pencegahan dan penilaian, semakin rendah kegagalan yang muncul. Ini mendukung prinsip "right the first time" dari TQM.
Hambatan dan Tantangan
1. Tidak ada sistem akuntansi biaya kualitas
2. Data tidak terdokumentasi dengan baik
3. Aktivitas mutu tidak dijadikan indikator kinerja utama
4. Kegagalan eksternal seperti komplain klien tidak dianggarkan
Dampaknya: Perusahaan kesulitan mengevaluasi efektivitas sistem mutu yang sudah dijalankan.
Rekomendasi
Kembangkan sistem pencatatan biaya kualitas terintegrasi
Masukkan biaya kualitas ke dalam sistem ERP proyek
Jadikan indikator mutu sebagai KPI utama
Tingkatkan pelatihan terkait konsep biaya kualitas
Relevansi dengan Tren Industri Saat Ini
Dengan masuknya proyek-proyek berskala besar seperti IKN dan meningkatnya tuntutan keberlanjutan (green building, ESG), perusahaan konstruksi Indonesia dituntut untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas mutu. Kontraktor yang bisa membuktikan efisiensi kualitas lewat data akan lebih unggul dalam kompetisi proyek.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa perencanaan biaya kualitas di industri konstruksi Indonesia masih dalam tahap awal. Tanpa sistem yang baik, biaya mutu hanya dianggap beban, bukan investasi. Namun, ketika direncanakan dengan baik, biaya kualitas dapat menjadi alat strategis untuk efisiensi, pengendalian risiko, dan peningkatan daya saing.
Sumber:
Marzuki, P. F., & Wisridani, M. (2014). Identifying Contractors' Planned Quality Costs in Indonesian Construction Projects. Journal of Engineering and Technological Sciences, Vol. 46, No. 4. DOI: https://doi.org/10.5614/j.eng.technol.sci.2014.46.4.2
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Keterlambatan dalam proyek konstruksi jalan telah lama menjadi persoalan serius di berbagai negara berkembang, termasuk Tanzania. Dengan sektor jalan menyumbang 8% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional dan melibatkan lebih dari 1,9 juta pekerja, kelambanan proyek tak hanya berdampak pada efisiensi, tetapi juga pada pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Penelitian Jenifa Simon (2017) yang berjudul "The Factors Causing Delays in Road Construction Projects in Tanzania: A Case of TANROADS Dar es Salaam City" mencoba mengidentifikasi akar masalah dari fenomena ini.
Melalui pendekatan kualitatif dan kuantitatif, penelitian ini menelaah persepsi dari berbagai pihak seperti pejabat TANROADS, kontraktor, konsultan, dan pemangku kepentingan lainnya. Penemuan menarik muncul: faktor politik mendominasi sebagai penyebab utama keterlambatan, bahkan melampaui isu teknis dan sumber daya.
Delays dalam Konstruksi: Konsep dan Klasifikasi
Dalam dunia konstruksi, "delay" merujuk pada keterlambatan penyelesaian proyek dibandingkan dengan jadwal yang telah disepakati. Delay ini diklasifikasikan menjadi:
Pemahaman klasifikasi ini penting agar manajer proyek bisa mengantisipasi risiko dan menetapkan strategi mitigasi secara tepat.
Tujuan dan Metode Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengidentifikasi penyebab keterlambatan secara umum
2. Menentukan penyebab yang paling dominan
3. Menyigi perbedaan persepsi antara kontraktor, konsultan, dan klien terhadap faktor penyebab keterlambatan
Sebanyak 60 kuesioner disebar ke responden dari TANROADS, kontraktor, konsultan, dan pemangku kepentingan lainnya. Tingkat respons mencapai 75% atau 45 responden. Pendekatan analisis yang digunakan adalah kombinasi statistik (SPSS) dan analisis konten.
Temuan Utama: 7 Penyebab Utama Keterlambatan Proyek Jalan
Berikut adalah variabel utama beserta persentase responden yang mengakui kontribusinya terhadap keterlambatan proyek:
1. Intervensi politik: 68,9%
2. Manajemen konstruksi yang buruk: 60%
3. Desain yang tidak memadai: 55,6%
4. Hubungan kontraktual yang lemah: 57,8%
5. Ketersediaan sumber daya: 51,1%
6. Keterlibatan pihak ketiga yang tidak efektif: 44,4%
7. Kondisi lingkungan: 42,2%
Rata-rata seluruh variabel memberikan kontribusi sebesar 54,3% terhadap keterlambatan proyek.
Studi Lapangan: Proyek-Proyek di Dar es Salaam
Penelitian dilakukan di tiga distrik utama: Ilala, Kinondoni, dan Temeke. Mayoritas proyek dikelola oleh TANROADS, institusi negara yang bertanggung jawab atas pembangunan jalan. Data di lapangan menunjukkan bahwa:
Efek dari Keterlambatan
Keterlambatan proyek jalan tak hanya berdampak finansial, tetapi juga sosial. Berikut adalah tujuh efek utama keterlambatan yang diidentifikasi oleh responden:
1. Time overrun: 77,8%
2. Cost overrun: 73,3%
3. Dampak sosial negatif: 71,1%
4. Kualitas kerja menurun: 64,4%
5. Tertundanya keuntungan klien: 62,2%
6. Stres pada kontraktor: 57,8%
7. Sengketa dan arbitrase: 55,6%
Analisis Tambahan: Faktor Politik sebagai Isu Paling Kritis
Menariknya, intervensi politik justru muncul sebagai variabel paling berpengaruh, berbeda dengan hasil-hasil penelitian lain di Malaysia dan Timur Tengah yang menempatkan perencanaan kontraktor dan masalah material sebagai penyebab utama.
Beberapa praktik yang memperburuk situasi:
Perbandingan dengan Penelitian Internasional
Dari perbandingan ini, dapat dilihat bahwa politik menjadi faktor khas yang lebih menonjol di Tanzania.
Rekomendasi Praktis
1. Reformasi Kebijakan Publik: Pemerintah harus membuat regulasi yang membatasi intervensi politik dalam proyek infrastruktur.
2. Peningkatan Kompetensi Manajerial: Kontraktor dan manajer proyek perlu dibekali pelatihan manajemen risiko dan mutu.
3. Desain Lebih Matang: Audit desain sebelum lelang proyek harus diwajibkan.
4. Penguatan Komunikasi Lintas Pihak: Sistem komunikasi antar kontraktor, konsultan, dan klien harus lebih efisien.
5. Perencanaan Musim Hujan: Jadwal proyek perlu disesuaikan dengan kondisi cuaca.
Dampak Luas terhadap Industri Konstruksi Tanzania
Penelitian ini membuka wawasan tentang pentingnya governance dalam pengelolaan proyek. Isu teknis dan sumber daya memang penting, tetapi tanpa tata kelola yang bersih, proyek jalan akan terus terlambat dan merugikan publik. Dengan reformasi menyeluruh, industri konstruksi di Tanzania bisa lebih efisien, transparan, dan profesional.
Kesimpulan
Penelitian Jenifa Simon berhasil mengidentifikasi secara rinci penyebab keterlambatan proyek jalan di Tanzania. Dominasi faktor politik menunjukkan perlunya pendekatan lintas sektor dalam perbaikan sistem proyek. Selain itu, hasil ini memperkuat urgensi integrasi manajemen risiko, akuntabilitas, dan profesionalisme dalam sektor konstruksi publik.
Sumber:
Simon, Jenifa. (2017). The Factors Causing Delays in Road Construction Projects in Tanzania: A Case of TANROADS Dar es Salaam City. Open University of Tanzania. Tersedia di: https://core.ac.uk/display/79425368
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Dalam konteks pembangunan nasional, proyek konstruksi memainkan peran strategis dalam menciptakan infrastruktur vital dan mendukung pertumbuhan ekonomi. Namun, salah satu masalah paling kronis yang terus menghantui sektor ini adalah keterlambatan proyek. Artikel ilmiah berjudul "The Effects of Delays in Algerian Construction Projects: An Empirical Study" karya Roumeissa Salhi dan Karima Messaoudi (2021) membedah dampak keterlambatan proyek konstruksi secara mendalam, khususnya di Aljazair.
Melalui pendekatan statistik dan model struktural berbasis SMART-PLS, penelitian ini tidak hanya memetakan berbagai efek keterlambatan, tetapi juga menjelaskan hubungan antar kelompok dampak secara logis dan ilmiah. Artikel ini memberikan wawasan penting, terutama dalam merancang solusi manajemen proyek yang lebih tanggap dan akurat terhadap keterlambatan.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Mengingat kompleksitas proyek konstruksi dan banyaknya aktor yang terlibat, keterlambatan kerap muncul sebagai konsekuensi dari kurangnya koordinasi, perencanaan yang buruk, dan kendala eksternal seperti kondisi cuaca atau fluktuasi ekonomi. Tujuan utama dari penelitian ini adalah:
Studi ini juga menjadi pelopor dalam pengkajian khusus terhadap dampak keterlambatan di wilayah Aljazair dengan metode empiris yang terstruktur.
Metodologi Penelitian
Peneliti menggunakan metode survei dengan menyebarkan kuesioner kepada 160 profesional konstruksi, dan berhasil mengumpulkan 114 respon valid (71,25%).
Komposisi responden:
43% kontraktor
38,6% konsultan
18,4% pemilik proyek
Sebagian besar responden (74,6%) berusia antara 25–40 tahun, dan lebih dari 50% memiliki pengalaman kerja lebih dari 5 tahun.
Teknik analisis yang digunakan:
Reliabilitas kuesioner terkonfirmasi dengan nilai Cronbach’s Alpha sebesar 0,896.
Hasil dan Pembahasan
10 Efek Keterlambatan Teratas (berdasarkan RII)
1. Keterlambatan Waktu (Time Overrun) – RII: 4,13
2. Gagal Mencapai Tujuan Proyek (Non-Achievement of Objectives) – RII: 3,91
3. Pembengkakan Biaya (Cost Overrun) – RII: 3,88
4. Menurunnya Kualitas Pekerjaan (Poor Quality) – RII: 3,79
5. Kegagalan Proyek (Project Failure) – RII: 3,76
6. Dampak Negatif terhadap Ekonomi Nasional – RII: 3,76
7. Citra Kota Tercemar (Negative City Image) – RII: 3,71
8. Penurunan Produktivitas – RII: 3,69
9. Pemborosan Sumber Daya (Wastage of Resources) – RII: 3,68
10. Gangguan Program dan Jadwal – RII: 3,65
Perbedaan Persepsi antar Aktor Proyek
Analisis ANOVA menunjukkan bahwa 29 dari 31 efek memiliki persepsi yang serupa di antara kontraktor, konsultan, dan pemilik proyek. Namun dua poin menunjukkan perbedaan signifikan:
Sengketa dan Klaim Hukum: Pemilik cenderung menganggap ini sebagai efek minor, berbeda dengan kontraktor yang sering menanggung beban hukum.
Produktivitas yang Hilang: Kontraktor menganggap ini sebagai masalah serius karena langsung berdampak pada efisiensi operasional mereka.
Klasterisasi Efek melalui Analisis Faktor
31 efek diklasifikasikan ke dalam 5 klaster utama:
1. Persepsi Publik dan Kerugian Sosial Ekonomi (18,05%)
Dampak terhadap citra pemerintah, meningkatnya pengangguran, dan kekecewaan publik
2. Pemborosan dan Mutu Buruk (12,31%)
Terjadi akibat percepatan kerja yang memaksa pengorbanan kualitas
3. Kegagalan dan Gangguan Proyek (12,19%)
Berujung pada batalnya proyek atau tak tercapainya milestone
4. Disrupsi dan Konflik (11,59%)
Ketegangan internal, sengketa antar pemangku kepentingan, dan ketidakseimbangan kerja
5. Kerusakan Korporasi (10,16%)
Termasuk penalti kontraktual, kebangkrutan perusahaan, hingga hilangnya profitabilitas
Model Struktural Antar Efek: Hasil SMART-PLS
Dengan SEM berbasis SMART-PLS, ditemukan 10 hubungan signifikan antar faktor, seperti:
Model ini menunjukkan bahwa dampak keterlambatan saling berkaitan dan dapat menimbulkan efek domino.
Analisis Tambahan dan Opini
Penelitian ini menyajikan pemetaan yang komprehensif dan sangat relevan. Nilai lebih dari studi ini antara lain:
Namun, studi ini belum menjawab aspek penyebab keterlambatan atau strategi mitigasi secara langsung.
Bandingkan dengan studi lain: Penelitian di negara seperti Mesir dan Uni Emirat Arab lebih fokus pada faktor penyebab seperti masalah keuangan dan perizinan, bukan efek berantai seperti yang diteliti Salhi dan Messaoudi.
Implikasi Praktis
Berikut rekomendasi untuk industri konstruksi di Aljazair dan negara berkembang lain:
1. Sistem Manajemen Proyek Digital: Pengawasan progres dan keuangan secara real-time
2. Pelatihan Manajemen Risiko Konstruksi: Terutama untuk manajer proyek dan konsultan
3. Perencanaan Berbasis Data Historis: Menggunakan proyek sebelumnya sebagai referensi waktu dan anggaran
4. Sanksi Keterlambatan yang Proporsional: Untuk menghindari kontraktor yang tidak profesional
5. Kolaborasi Lebih Intensif Antarpihak: Agar ekspektasi dan jadwal sinkron sejak awal
Kesimpulan
Studi ini menjadi terobosan penting dalam memahami keterlambatan proyek dari sudut efek berantai yang timbul. Dengan pendekatan berbasis data dan analisis struktural, artikel ini memberikan kerangka kuat bagi regulator, pemilik proyek, dan kontraktor untuk menyusun strategi pencegahan yang lebih tepat sasaran.
Sumber:
Salhi, R., & Messaoudi, K. (2021). The Effects of Delays in Algerian Construction Projects: An Empirical Study. Civil and Environmental Engineering Reports, 31(2), 218–254. DOI: https://doi.org/10.2478/ceer-2021-0027