Teknik Sipil
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025
Pendahuluan
Dalam dunia pendidikan vokasional, khususnya Teknik Sipil di tingkat SMK, penguasaan materi dasar seperti konstruksi balok sederhana merupakan fondasi penting bagi siswa. Penelitian Windri Eka Candri (2021) yang dilakukan di SMK Negeri 1 Cibinong hadir sebagai respons terhadap rendahnya nilai siswa dalam mata pelajaran Mekanika Teknik, khususnya pada kompetensi menghitung konstruksi balok sederhana. Dengan mengombinasikan model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) dan metode Drill, penelitian ini memberikan pendekatan baru yang terbukti mampu meningkatkan hasil belajar siswa secara signifikan.
Latar Belakang dan Permasalahan
Hasil pengamatan menunjukkan bahwa lebih dari 65% siswa tidak memenuhi Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM) pada materi konstruksi balok sederhana. Penyebab utama rendahnya hasil belajar ini di antaranya:
Rendahnya pemahaman siswa terhadap konsep dasar.
Kurangnya latihan dan keterlibatan siswa dalam proses pembelajaran.
Metode ceramah yang monoton dan minim interaksi.
	 
Masalah-masalah ini memunculkan kebutuhan mendesak akan strategi pengajaran yang lebih partisipatif dan kontekstual.
Metodologi Penelitian
Penelitian dilakukan dengan pendekatan tindakan kelas (Classroom Action Research) dalam dua siklus yang masing-masing terdiri dari dua pertemuan. Subjek penelitian adalah 34 siswa kelas X BKP 2 SMKN 1 Cibinong yang terdiri dari 18 laki-laki dan 16 perempuan. Penelitian dilaksanakan selama Agustus hingga Desember 2019.
Data dikumpulkan melalui:
Lembar observasi aktivitas siswa dan guru
Pre-test dan post-test (siklus I dan II) untuk menilai pengetahuan siswa
Refleksi dan evaluasi siklus untuk menentukan efektivitas tindakan
	 
Hasil Penelitian
Peningkatan Kompetensi Siswa
Pre-test menunjukkan hanya 13 dari 34 siswa (38,2%) yang mencapai nilai di atas KKM (76).
Setelah siklus I dengan penerapan PBL + Drill, jumlah siswa kompeten meningkat menjadi 21 siswa (58,8%).
Pada akhir siklus II, terjadi peningkatan drastis: 29 dari 34 siswa (85,3%) mencapai nilai kompeten.
	 
Aktivitas Siswa dan Guru
Aktivitas siswa meningkat dari 79% (cukup aktif) di siklus I menjadi 87% (aktif) di siklus II.
Aktivitas guru meningkat dari 84% (baik) menjadi 90% (sangat baik).
	 
Grafik peningkatan skor siswa dan keaktifan baik siswa maupun guru menunjukkan bahwa strategi pembelajaran ini mendorong keterlibatan dan pemahaman siswa secara menyeluruh.
Studi Kasus: Dampak Langsung di Lapangan
Sebagai contoh nyata, salah satu siswa bernamal R yang sebelumnya hanya mendapatkan nilai 65 pada pre-test, berhasil meningkat hingga 83 pada siklus II. Melalui diskusi kelompok berbasis masalah dan penguatan soal dengan drill, R menjadi lebih percaya diri dalam memahami perhitungan beban dan gaya pada balok sederhana.
Analisis dan Nilai Tambah
A. Kekuatan Pendekatan
PBL mendorong keterlibatan aktif siswa, bukan sekadar pasif mendengarkan ceramah.
Metode Drill memperkuat penguasaan teknis dan rutinitas perhitungan.
Kombinasi keduanya menciptakan keseimbangan antara pemahaman konsep dan kemampuan menyelesaikan soal.
	 
B. Kelemahan dan Catatan
Penelitian hanya mencakup satu kelas dalam satu tahun ajaran, sehingga diperlukan replikasi lebih luas untuk generalisasi.
Tidak disebutkan keberlanjutan pemahaman siswa dalam jangka panjang.
	 
C. Perbandingan dengan Penelitian Lain
Studi ini sejalan dengan penelitian Priyasudana (2016) dan Mardiah et al. (2016) yang juga menunjukkan bahwa PBL meningkatkan hasil belajar siswa Teknik Sipil. Namun, nilai tambah Candri terletak pada integrasi Drill, yang menjembatani antara pemahaman konseptual dan keterampilan teknis harian.
Implikasi Praktis untuk Pendidikan Teknik
Guru Teknik Sipil dapat mengadopsi model ini untuk topik lain seperti struktur rangka atau analisis beban.
Sekolah dapat memfasilitasi pelatihan PBL bagi guru, mengingat metode ini mendorong pembelajaran aktif.
Kebijakan pendidikan vokasi perlu mendorong riset tindakan kelas sebagai alat peningkatan mutu.
	 
Kesimpulan
Penelitian Windri Eka Candrimembuktikan bahwa kombinsasi Problem Based Learning dan Drill merupakan strategi efektif untuk meningkatkan kompetensi siswa dalam menghitung konstruksi balok sederhana. Peningkatan signifikan baik dari aspek nilai maupun keterlibatan siswa menegaskan pentingnya model pembelajaran aktif dan kontekstual dalam pendidikan kejuruan.
Sebagai penutup, studi ini tidak hanya menyumbang pengetahuan empiris, tetapi juga memberikan inspirasi praktik nyata yang aplikatif bagi guru dan pembuat kebijakan pendidikan vokasional.
Sumber: Windri Eka Candri. (2021). Peningkatan Kompetensi Konstruksi Balok Sederhana melalui Model Pembelajaran Problem Based Learning dipadukan dengan Metode Drill. Jurnal Pensil: Pendidikan Teknik Sipil, 10(1), 34–39. DOI: 10.21009/jpensil.v10i1.18505
Pendidikan dan Pelatihan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025
Pendahuluan
Indonesia sebagai negara yang berada di jalur cincin api (ring of fire) dunia sangat rentan terhadap gempa bumi. Dalam rentang 2009 hingga 2019 saja, tercatat lebih dari 71.000 kejadian gempa di tanah air. Situasi ini menjadi tantangan serius bagi sektor konstruksi, karena kegagalan struktur akibat gempa dapat menimbulkan kerugian besar, baik dari sisi materi maupun korban jiwa.
Tantangan ini semakin kompleks mengingat mayoritas tenaga kerja konstruksi di Indonesia, khususnya tukang dan mandor, masih mengandalkan pengalaman praktis serta proses belajar autodidak. Pelatihan formal dan sistematis mengenai teknik bangunan tahan gempa sangat jarang diakses oleh mereka. Menjawab kebutuhan tersebut, Grup Riset SMARTQuake dari Universitas Sebelas Maret (UNS) menggagas program pelatihan peningkatan kompetensi tenaga kerja konstruksi yang berfokus pada kesadaran dan kesiapsiagaan terhadap bencana gempa.
Latar Belakang Program
Dengan menggandeng Dinas PUPR Kabupaten Pacitan, Jawa Timur daerah dengan risiko gempa tinggi program ini menargetkan peningkatan kualitas tukang, mandor, hingga pelayan tukang di wilayah tersebut. Pacitan sendiri pernah mengalami gempa besar (7.8 Mw) pada 1994 dan kembali diguncang gempa berkekuatan 5.3 Mw pada 2016.
Kegiatan pelatihan dirancang dalam tiga tahap:
Tahap pertama (2022): Edukasi dasar mengenai seismisitas Indonesia dan mitigasi bencana.
Tahap kedua: Teknik pencampuran material beton sesuai standar bangunan tahan gempa.
Tahap ketiga: Pekerjaan detailing baja tulangan untuk struktur sederhana.
	 
Metodologi Program
Program ini dilaksanakan dalam empat tahapan:
Identifikasi masalah mitra melalui dialog dengan Dinas PUPR Pacitan.
Persiapan selama tiga bulan: penyusunan materi, undangan peserta, hingga kuisioner pre dan post-test.
Pelaksanaan pelatihan selama satu hari di Kantor Dinas PUPR.
Monitoring dan evaluasi berbasis pre-test dan post-test untuk mengukur peningkatan kompetensi.
	 
Sebanyak 39 peserta dari beragam latar belakang usia dan profesi mengikuti kegiatan ini. Kelompok usia 41–50 tahun menjadi yang paling dominan, sebuah rentang yang secara sosial diasumsikan memiliki posisi strategis dalam memengaruhi lingkungan kerja mereka.
Hasil Program dan Data Kunci
Pelatihan menghasilkan peningkatan rata-rata skor post-test sebesar 33% dibandingkan pre-test:
Rerata pre-test: 50 (rentang nilai 20–80)
Rerata post-test: 66 (rentang nilai 30–100)
	 
Grafik persebaran skor menunjukkan peningkatan kompetensi merata di hampir semua peserta, terutama dalam pengetahuan seismik dasar, karakteristik gempa bumi, dan strategi mitigasi. Hasil ini menegaskan bahwa penyampaian materi yang sistematis dan aplikatif memberikan dampak positif.
Studi Kasus: Dampak Nyata
Seorang kepala tukang berusia 47 tahun dari Kecamatan Punung mengaku bahwa sebelumnya ia tidak tahu pentingnya detailing tulangan untuk menghindari keruntuhan bangunan. Setelah mengikuti pelatihan, ia mengadopsi teknik pengikatan yang lebih rapi dan kuat, dan membagikannya kepada 6 rekan tukangnya. Efek domino seperti ini menandakan keberhasilan program tidak hanya pada peserta langsung, tetapi juga menyebar ke lingkungan kerjanya.
Kritik dan Nilai Tambah
A. Kelebihan Program:
Menargetkan kelompok rentan (pekerja informal) yang selama ini terabaikan dalam pelatihan resmi.
Menggunakan pendekatan terstruktur dan berbasis riset.
Mengedepankan kolaborasi pemerintah daerah dan universitas.
	 
B. Keterbatasan:
Cakupan geografis terbatas (hanya Kabupaten Pacitan).
Materi tahap lanjut belum terlaksana (hanya tahap 1 terealisasi pada 2022).
Tidak mengukur perubahan praktik kerja di lapangan pasca pelatihan.
	 
Perbandingan dengan Studi Sebelumnya
Penelitian serupa di Palu (Amir et al., 2013) dan Merauke (Doloksaribu et al., 2019) juga menunjukkan bahwa pelatihan berbasis mitigasi gempa sangat diperlukan di daerah rawan. Namun, model SMARTQuake unggul karena dibangun dalam kurikulum bertahap dan memiliki rencana keberlanjutan jangka panjang.
Implikasi dan Rekomendasi
Untuk Pemerintah Daerah: Replikasi program ke wilayah lain dengan risiko seismik tinggi seperti Lombok, Padang, dan Jayapura.
Untuk Sektor Konstruksi Swasta: Menjadikan pelatihan ini sebagai prasyarat perekrutan.
Untuk Akademisi: Mendorong keterlibatan mahasiswa teknik sipil dalam program pelatihan berbasis masyarakat.
	 
Kesimpulan
Program pelatihan kompetensi tenaga kerja konstruksi oleh SMARTQuake UNS merupakan contoh ideal sinergi antara akademisi dan pemerintah dalam menghadapi tantangan gempa bumi di sektor konstruksi. Meski masih berada pada tahap awal, keberhasilan program ini menunjukkan arah positif dalam membentuk tenaga kerja yang tidak hanya mahir secara teknis, tetapi juga sadar risiko bencana.
Dengan kelanjutan ke tahap teknis dan perluasan wilayah, program ini berpotensi menjadi model nasional pelatihan konstruksi berbasis mitigasi gempa di Indonesia.
Sumber:
Erik Wahyu Pradana, dkk. (2022). Peningkatan Kompetensi Tenaga Kerja Konstruksi untuk Menumbuhkan Kesadaran dan Kesiapsiagaan terhadap Bencana Gempa. Jurnal Masyarakat Mandiri, 6(6), 4689–4699. DOI: 10.31764/jmm.v6i6.11075
Ekonomi Kreatif Berkelanjutan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025
Pendahuluan: Ubud sebagai Sentra Ekonomi Kreatif Bali
Ubud di Kabupaten Gianyar, Bali, bukan hanya destinasi wisata budaya yang terkenal secara global, tetapi juga pusat pertumbuhan ekonomi kreatif yang dinamis. Salah satu sektor unggulan adalah kerajinan rotan, yang tidak hanya mencerminkan estetika lokal, tetapi juga menjadi tulang punggung ekonomi masyarakat setempat.
Artikel ini merefleksikan temuan dari penelitian lapangan oleh Diah Ayu dan rekan-rekan (2022), yang menyoroti potensi kolaborasi dan inovasi produk kerajinan rotan dalam mendukung pariwisata berkelanjutan.
Kerajinan Rotan: Antara Tradisi dan Inovasi (H2)
Rotan sebagai Material Berkelanjutan (H3)
Rotan menjadi pilihan material utama karena sifatnya yang:
Tumbuh cepat dan mudah dikonservasi.
Ramah lingkungan karena mudah terurai.
Tahan lama dan cocok untuk berbagai produk rumah tangga.
Menurut wawancara dengan perajin bernama Dafi, rotan tidak hanya memenuhi aspek estetika tetapi juga keberlanjutan. Pemerintah Bali melalui Pergub No. 97 Tahun 2018 juga mendorong penggunaan bahan ramah lingkungan sebagai solusi atas polusi plastik.
Kolaborasi sebagai Strategi Bertahan di Tengah Persaingan (H2)
Kolaborasi Horizontal dan Vertikal di Ubud (H3)
Studi menunjukkan bahwa sebagian besar perajin rotan bekerja sama dalam bentuk:
Tukar informasi bahan dan teknik produksi.
Saling berbagi jaringan pasar dan pelatihan.
Namun, kolaborasi lintas sektor, seperti dengan akademisi dan desainer, masih minim. Padahal, inisiatif seperti program Designers Dispatch Services (DDS) dan Future Craft terbukti mampu mendorong produk lokal ke pasar ekspor.
Studi Kasus: Sumber Shop 1000
Sumber Shop 1000 yang dimiliki oleh Dafi menjadi contoh bagaimana:
Pelatihan dan diversifikasi produk menaikkan nilai jual.
Penekanan pada kualitas dan teknik tradisional menambah keunikan produk.
Produk-produk seperti rak, kerangka lampu, dan tudung saji, kini banyak diminati restoran dan penginapan bergaya vintage di Ubud.
Inovasi Produk sebagai Kunci Keberlanjutan (H2)
Evolusi Desain dan Permintaan Pasar (H3)
Inovasi mencakup pengembangan:
Furnitur multifungsi.
Anyaman unik dengan warna alami.
Produk rotan yang sesuai dengan gaya hidup modern (eco-living).
Data dari Kementerian Perdagangan menunjukkan bahwa program pelatihan desain seperti DDS telah meningkatkan kapasitas 50 UMKM sejak 2019.
Rotan vs Plastik: Transformasi Gaya Hidup (H2)
Krisis sampah plastik mendorong perajin mengadopsi prinsip green production. Plastik memang murah dan praktis, tetapi menimbulkan dampak lingkungan jangka panjang. Dalam konteks ini, rotan tampil sebagai solusi lokal untuk masalah global.
Statistik Relevan:
Produksi plastik global meningkat 20x dalam 60 tahun terakhir.
Pergub Bali berhasil menurunkan penggunaan kantong plastik hingga 52% dalam dua tahun pertama.
Sinergi Ekonomi Kreatif dan Pariwisata (H2)
Pariwisata sebagai Motor Ekonomi Rotan (H3)
Wisatawan domestik dan mancanegara di Ubud menjadi konsumen utama produk kerajinan. Produk rotan bukan hanya cinderamata, tapi juga bagian dari interior penginapan dan kafe.
Menurut Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, kontribusi ekonomi kreatif terhadap PDB Bali meningkat 9,3% setelah pandemi, dengan kerajinan sebagai subsektor utama.
Tantangan dan Rekomendasi (H2)
Tantangan:
Rendahnya penetrasi teknologi desain modern.
Terbatasnya akses pembiayaan UMKM.
Lemahnya kolaborasi akademisi-industri.
Rekomendasi:
Mendorong kolaborasi lintas sektor melalui inkubasi bisnis.
Penguatan regulasi terhadap klaim budaya dan perlindungan produk lokal.
Pengembangan platform digital untuk memperluas pasar ekspor.
Kesimpulan: Merajut Masa Depan Ubud dengan Rotan (H2)
Kerajinan rotan di Ubud bukan sekedar warisan budaya, tetapi aset masa depan dalam membangun ekonomi lokal yang tangguh dan ramah lingkungan. Kolaborasi dan inovasi menjadi fondasi penting bagi para perajin untuk tetap bersaing dalam industri global tanpa kehilangan identitas lokalnya. Dalam konteks ini, strategi berkelanjutan bukan pilihan, tapi keharusan.
Sumber
Diah Ayu, Lintang Eliza, Melati Dian, Tri Sasongko. (2022). Analisis Peluang Kolaborasi dalam Pengembangan Inovasi Produk dengan Penggunaan Sustainable Material pada Kerajinan Rotan di Ubud Bali. Dalam "Dinamika Usaha Kepariwisataan Bali". Surabaya: Universitas Negeri Surabaya & CV Pramudita Press.
Energi Berkelanjutan dan Infrastruktur
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025
Pendahuluan: Transformasi Energi dan Tanggung Jawab Sosial
Proyek Penguatan Distribusi Tenaga Listrik di Jawa Timur dan Bali oleh PT PLN (Persero) bukan hanya sebatas pembangunan infrastruktur listrik. Proyek ini menjadi simbol dari upaya menyelaraskan kemajuan teknologi dengan keberlanjutan sosial dan lingkungan. Dokumen Environmental and Social Management Planning Framework (ESMPF) yang diterbitkan Januari 2020 menjadi pondasi manajemen risiko sekaligus strategi mitigasi komprehensif dalam memastikan setiap kilometer jaringan distribusi listrik ramah lingkungan dan sosial.
Konteks dan Tujuan Proyek (H2)
PLN menargetkan pembangunan 17.000 km jaringan distribusi serta pemasangan ribuan trafo di Jawa Timur dan Bali. Proyek ini bertujuan:
Memperluas akses listrik yang andal.
Mengurangi susut distribusi.
Mendukung RUPTL 2019–2028.
Menerapkan praktik pembangunan berkelanjutan sesuai standar AIIB (Asian Infrastructure Investment Bank).
Distribusi Listrik dan Kategori Proyek (H3)
Proyek diklasifikasikan sebagai Kategori B menurut AIIB karena dampaknya dianggap moderat, tidak memerlukan pembebasan lahan besar, dan dapat dimitigasi. Kegiatan utamanya meliputi:
Pemasangan tiang dan jaringan distribusi (tegangan menengah dan rendah).
Pemasangan trafo jenis pole-mount dan pad-mount.
Pemangkasan vegetasi untuk jalur kabel.
Pengeboran horizontal di area padat.
Risiko dan Dampak Lingkungan Sosial (H2)
Risiko Sosial (H3)
Risiko sosial bersifat minim, namun tetap ada potensi:
Gangguan visual dan suara saat konstruksi.
Penggunaan lahan milik pribadi (dengan izin tertulis, bukan pembebasan).
Penghilangan vegetasi tanpa kompensasi, karena status non-tanah.
Risiko Lingkungan (H3)
Dampak pada fauna seperti burung dan primata.
Limbah berbahaya dari minyak trafo bekas.
Risiko kecelakaan kerja (jatuhnya tiang, ledakan trafo).
Langkah mitigasi dirancang secara spesifik dan ketat, mengacu pada standar PLN, AIIB, dan kebijakan lingkungan Indonesia.
Strategi Mitigasi dan ESMP (H2)
Kerangka ESMPF: Pilar Pelaksanaan Proyek (H3)
Dokumen ESMPF memberikan pedoman pada setiap fase:
Perencanaan: Penapisan lokasi, analisis risiko, dan persetujuan masyarakat.
Konstruksi: Penempatan rambu keselamatan, pelatihan pekerja, dan manajemen limbah.
Operasionalisasi: Pemantauan keberlanjutan dan pelaporan berkala.
Studi Kasus: Pemasangan Tiang di Lahan Pribadi (H3)
PLN mewajibkan persetujuan tertulis dengan materai dari pemilik lahan jika tiang ditempatkan di properti pribadi. Tidak ada ganti rugi finansial, namun sosialisasi dilakukan untuk membangun kesepahaman. Ini mengurangi konflik sosial dan mempercepat pelaksanaan proyek.
Komitmen pada Konsultasi Publik dan Transparansi (H2)
Keterlibatan Masyarakat (H3)
Konsultasi publik telah dilakukan sejak 2019:
Sosialisasi di Bali dan Jawa Timur.
Kolaborasi dengan pemerintah daerah.
Saluran pengaduan melalui Call Center 123, web PLN, dan loket pelayanan.
Perbaikan GRM (Grievance Redress Mechanism)
Proyek ini memperkuat GRM dengan:
Pendekatan sensitif gender dan inklusif.
Dokumentasi keluhan secara digital.
Peningkatan kapasitas respons hotline.
Sistem Monitoring dan Pelatihan SDM (H2)
Pengawasan Proyek (H3)
Monitoring dilakukan oleh unit-unit di bawah UID (Unit Induk Distribusi), termasuk:
UP3, UP2D, UP2K.
Biro K3L di setiap wilayah.
Pengembangan Kapasitas (H3)
PLN telah:
Mendirikan Akademi HSSE di Semarang.
Menyusun kurikulum pelatihan: Audit lingkungan, PROPER, dan K3L tingkat lanjut.
Analisis Tambahan: Tantangan dan Rekomendasi (H2)
Tantangan:
Keterbatasan data ekologis spesifik lokasi.
Minimnya insentif bagi masyarakat terdampak.
Kurangnya integrasi gender dalam pelaksanaan proyek.
Rekomendasi:
Mengintegrasikan teknologi GIS untuk penapisan lingkungan.
Memberikan kompensasi non-tunai seperti perbaikan akses jalan atau fasilitas umum.
Meningkatkan partisipasi perempuan dalam konsultasi dan pelatihan.
Kesimpulan: Menyelaraskan Kemajuan dan Keberlanjutan (H2)
Proyek distribusi listrik PLN di Jawa Timur dan Bali adalah bukti bahwa pembangunan infrastruktur tidak harus bertentangan dengan prinsip sosial dan lingkungan. Dengan dokumen ESMPF sebagai pemandu, proyek ini tidak hanya memperluas akses listrik, tetapi juga menjadi model bagaimana pembangunan masa depan harus dilakukan: transparan, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber
PT PLN (Persero). (2020). Kerangka Perencanaan Pengelolaan Lingkungan dan Sosial Proyek Penguatan Distribusi Tenaga Listrik Jawa Timur - Bali.
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025
Pendahuluan: Saatnya Meninggalkan Fragmentasi dalam Proyek Konstruksi
Industri konstruksi Indonesia terus berkembang, namun masih terperangkap dalam kontradiksi sistemik antara tujuan proyek jangka panjang dan model kerja jangka pendek yang bersifat kompetitif. Salah satu akar masalahnya terletak pada sistem pengadaan proyek yang masih didominasi oleh model design-bid-build (DBB).
Dalam paper ini, Sari dkk. (2024) memaparkan secara kritis bagaimana pendekatan DBB yang terfragmentasi telah menjadi batu sandungan kolaborasi, serta menawarkan strategi konkret untuk meningkatkan tingkat partnering menuju Integrated Project Delivery (IPD) yang lebih sinergis dan berkelanjutan.
Apa yang Salah dengan DBB?
Struktur DBB: Praktis, Tapi Terlalu Kompetitif
Model DBB, yang memisahkan entitas perancang dan pelaksana, memang menawakan kejelasan peran dan tahapan kerja. Namun struktur ini justru menciptakan silo antarpihak. Setiap tahapan dari tender perancang, pelaksanaan desain, tender kontraktor, hingga pelaksanaan konstruksi berlangsung dalam iklim persaingan (kompetisi) yang kaku.
Dalam analisis partnering oleh Thompson et al. (1998), DBB umumnya berada pada level “kompetisi”, level terendah dari skala kedalaman kolaborasi.
Dampak Nyata: Proyek Molor dan Boros
Berdasarkan studi tiga proyek gedung di Indonesia dengan nilai di atas 10 miliar rupiah, ditemukan bahwa ketiganya mengalami keterlambatan signifikan. Faktor penyebabnya mencakup:
Perubahan desain mendadak
Keterbatasan tenaga kerja terampil
Keterlambatan pengadaan material
Lambannya pengambilan keputusan
Efek pandemi COVID-19
	 
Hasil analisis statistik menunjukkan deviasi standar yang besar pada grafik kemajuan proyek, menandakan ketidaksesuaian antara target dan realisasi.
Partnering: Dari Kompetisi Menuju Koalisi
Empat Tingkatan Partnering
Berdasarkan teori Larsson dan Thompson, partnering terbagi dalam empat tingkatan:
Kompetisi: Relasi transaksional dan jangka pendek, tidak ada pembagian risiko.
Kooperasi: Mulai ada komunikasi dan saling percaya.
Kolaborasi: Fokus strategis jangka panjang, pengukuran kinerja bersama.
Koalisi (Coalescence): Transparansi total, integrasi budaya kerja, pembagian risiko penuh.
	 
Sayangnya, mayoritas proyek DBB di Indonesia masih berada pada tahap kompetisi, jauh dari kedalaman koalisi seperti yang ditemukan pada sistem IPD.
Mengenal IPD: Proyek Kolaboratif Sejak Hari Pertama
Integrated Project Delivery adalah sistem pengadaan yang menyatukan semua aktor utama (owner, desainer, kontraktor, vendor) sejak tahap nol persen desain. Dibandingkan DBB, IPD memiliki karakter:
Kontrak multipihak tunggal
Pembagian risiko dan keuntungan
Komitmen pada transparansi dan tujuan bersama
Fokus jangka panjang dan peningkatan berkelanjutan
Studi Kasus Internasional
Menurut Asmar et al. (2013), proyek dengan pendekatan IPD menunjukkan performa superior dalam aspek waktu, biaya, dan kualitas dibandingkan DBB dan DB. Bahkan, IPD mampu mengurangi pengulangan pekerjaan hingga 50% dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sebesar 10%.
Strategi Transformasi: DBB yang Lebih Kolaboratif
Apakah DBB Bisa Diubah Tanpa Mengganti Sistemnya?
Jawabannya: bisa. Paper ini menawarkan pendekatan transisional mengubah praktik partnering dalam proyek DBB agar meniru kedalaman kolaborasi pada skema IPD, tanpa harus mengubah format kontrak yang ada.
Rekomendasi Praktis
Pemilihan Perancang Tanpa Tender Kompetitif
	Owner sebaiknya menunjuk perancang berdasar pengalaman dan visi sejalan, bukan sekadar harga termurah.
Keterlibatan Kontraktor Sejak Awal
	Mengundang kontraktor dalam tahap desain untuk meminimalkan miskomunikasi dan variasi teknis.
Kemitraan Jangka Panjang dengan Vendor
	Tidak lagi memilih pemasok berdasar tender harga, tetapi melalui kerja sama jangka panjang yang saling menguntungkan.
	 
Visualisasi Model Perubahan
Transformasi DBB yang semula penuh persaingan dapat diarahkan menjadi kerja sama berbasis koalisi, sebagaimana digambarkan dalam skema model partnering (Gambar 8 dalam paper).
Tantangan Implementasi di Indonesia
Meskipun IPD menjanjikan banyak manfaat, implementasinya di proyek pemerintah di Indonesia masih terkendala oleh:
Kurangnya standar hukum dan kontrak multipihak
Ketidakpercayaan antar-pemangku kepentingan
Praktik tender yang masih berorientasi biaya
Namun, seperti disarankan penulis, peningkatan kualitas relasi dan keterlibatan sejak awal sudah cukup untuk menciptakan dampak besar — bahkan dalam sistem DBB.
Perspektif Industri: Relevansi dan Tren Terkini
Dengan meningkatnya tekanan terhadap efisiensi dan keberlanjutan, pendekatan seperti IPD menjadi relevan, apalagi di era pascapandemi di mana risiko proyek semakin kompleks. Model kerja berbasis kolaborasi juga sejalan dengan prinsip lean construction dan pendekatan agile yang kini mulai diadopsi oleh perusahaan besar seperti PT PP dan Wijaya Karya dalam beberapa proyek EPC.
Opini dan Komentar Tambahan
Paper ini sangat relevan karena tidak hanya menawarkan teori, tetapi juga strategi pragmatis yang bisa diadopsi tanpa harus merevolusi sistem. Kelebihannya terletak pada pendekatan lokal dengan penggunaan data proyek di Indonesia serta masukan dari 14 pakar konstruksi membuat temuan ini semakin aplikatif.
Namun, penelitian ini bisa lebih kuat jika ditambah:
Simulasi dampak finansial dari perubahan model partnering
Studi longitudinal proyek DBB yang berhasil mengadopsi prinsip IPD
Analisis hukum atas kemungkinan legalisasi kontrak multipihak di sektor publik
	 
Kesimpulan: Jalan Menuju Proyek Konstruksi yang Lebih Baik
Transformasi dari DBB ke IPD bukan hanya soal mengganti sistem, tapi soal mengubah pola pikir dan perilaku para pelaku proyek. Pendekatan partnering yang lebih dalam, saling percaya, dan terbuka bisa dicapai bahkan tanpa merombak format kontrak. Paper ini menjadi panduan praktis menuju industri konstruksi Indonesia yang lebih kolaboratif, berkelanjutan, dan resilien menghadapi krisis.
Sumber
Sari, E.M., Irawan, A.P., Wibowo, M.A., et al. (2024). Design-Bid-Build to Integrated Project Delivery: Strategic Formulation to Increase Partnering. Journal of Infrastructure, Policy and Development, 8(1), 2242. https://doi.org/10.24294/jipd.v8i1.2242
Proyek Kontruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025
Mengapa Partnering Jadi Kunci Proyek Konstruksi Masa Kini?
Dalam industri konstruksi Indonesia yang dikenal kompleks dan rentan konflik, pendekatan partnering bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Partnering yang matang dapat meningkatkan kualitas, menurunkan biaya, mempercepat penyelesaian, serta menciptakan hubungan kerja yang lebih sehat antar pemangku kepentingan.
Namun hingga saat ini, masih sedikit studi yang benar-benar mengukur bagaimana kedalaman partnering diterapkan pada setiap fase proyek. Paper ini menjawab celah tersebut dengan menawarkan indikator konkret serta teknik evaluasi yang bisa langsung diadopsi di lapangan.
Gambaran Umum: Partnering dalam Proyek Konstruksi
Definisi dan Nilai Partnering
Partnering adalah filosofi kerja sama jangka panjang antara pihak-pihak dalam proyek, termasuk owner, kontraktor, desainer, hingga vendor. Nilai kunci dalam partnering mencakup:
Kepercayaan
Akuntabilitas
Responsivitas
Kemandirian
Keadilan
	 
Jika nilai-nilai ini diterapkan konsisten, maka hasil proyek cenderung lebih positif secara kinerja, waktu, biaya, dan kualitas.
Permasalahan Utama Konstruksi di Indonesia
Berdasarkan berbagai literatur yang dirangkum, industri konstruksi nasional menghadapi masalah seperti:
Sebagian besar masalah ini bersumber dari lemahnya hubungan antar pemangku kepentingan. Di sinilah partnering memainkan peran strategis.
Tujuan Penelitian: Menyusun KPI Kedalaman Partnering
Penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan pentingnya partnering, tetapi juga merumuskan alat ukur kedewasaan partnering di seluruh fase proyek, khususnya proyek Design and Build (DB). Untuk itu, penulis menyusun Key Performance Indicators (KPI) berdasarkan:
Literatur akademik dan praktik lapangan
Konsensus melalui metode Delphi dengan 9 pakar konstruksi
Analisis data lapangan dari 6 proyek DB di Indonesia bernilai > Rp100 miliar
Fase Partnering dalam Siklus Hidup Proyek
1. Inisiasi
Partisipasi stakeholder sejak awal
Indikator: indeks performa biaya, pertumbuhan biaya, kesadaran lingkungan
2. Desain
Optimalisasi biaya melalui value engineering
Keterlibatan pemasok sejak desain awal
Indikator: penghematan biaya, konformitas spesifikasi
	 
3. Konstruksi
Indikator: jam kerja teknik/unit produk, duplikasi kerja, kecelakaan kerja, keterlambatan
4. Penutupan
Umpan balik pelanggan, audit, konflik yang belum diselesaikan
Sertifikasi laik fungsi dan green SOP
	 
Delphi Method: Menyaring Faktor Penentu Partnering yang Matang
Putaran 1–3: Seleksi dan Validasi
Melibatkan:
2 CEO perusahaan
2 desainer senior
3 kontraktor senior
2 akademisi
	 
26 faktor penting ditentukan. Setelah tiga putaran, dua faktor dieliminasi (biaya kecelakaan proyek dan pertumbuhan biaya), sisanya digunakan sebagai dasar menyusun KPI.
Simulasi Lapangan: Menguji KPI pada 6 Proyek DB
Proyek yang Dikaji:
Lokasi: Jakarta, Bukittinggi, Kalimantan Timur
Nilai: USD 9–18 juta
	 
Temuan Utama:
DB “C” dan “E”: mencapai level institutionalized (partnering menyatu dalam budaya organisasi)
DB “D” dan “F”: level managed
DB “A” dan “B”: masih basic, minim kerja sama, banyak konflik
	 
Dampaknya:
Proyek dengan partnering matang menunjukkan:
Deviasi waktu dan biaya lebih kecil
Tingkat perubahan desain rendah
Kolaborasi antarpihak lebih tinggi
		 
Analisis Tambahan: Perbandingan dengan Studi Lain
Studi El Asmar et al. (2013) juga menunjukkan bahwa proyek dengan pendekatan IPD yang menekankan partnering menunjukkan:
Penghematan biaya rata-rata 12%
Peningkatan produktivitas 10%
Pengurangan pekerjaan ulang hingga 50%
	 
Temuan ini sejalan dengan hasil paper, menegaskan bahwa kedalaman partnering punya korelasi langsung dengan performa proyek.
Nilai Tambah dan Implikasi Praktis
5 Rekomendasi Strategis:
Bangun budaya partnering sejak fase inisiasi
	Mulai dengan pelatihan dan kick-off project yang menekankan nilai TARIF.
Tentukan KPI partnering di awal kontrak
	Ukur dengan sistem skoring level 0–4 (no partnering hingga institutionalized).
Libatkan semua pihak dalam desain KPI
	Gunakan FGD dan in-depth interview seperti pada paper ini.
Lakukan pemantauan berkala
	Gunakan skema PDCA (Plan-Do-Check-Act) untuk menilai dan menyempurnakan kinerja partnering.
Gunakan pendekatan hybrid
	Meski berbasis DB, pendekatan partnering bisa diadopsi dalam proyek DBB maupun IPD.
	 
Kritik & Kelebihan Paper
Kelebihan:
Pendekatan mixed method yang kuat (kuantitatif dan kualitatif)
Studi empiris dari proyek aktual
Panduan KPI yang aplikatif
Kekurangan:
Terbatas pada proyek DB
Belum mencakup integrasi teknologi digital seperti BIM dalam pengukuran partnering
Kesimpulan: Membangun Budaya Partnering demi Proyek Berkinerja Tinggi
Partnering bukan sekadar metode manajemen, melainkan budaya kolaborasi yang harus ditanamkan sejak dini. Paper ini telah menunjukkan bagaimana pendekatan yang terstruktur, berbasis KPI, dan dukungan aktif dai stakeholder sejak awal mampu meningkatkan performa proyek konstruksi secara signifikan. Dengan mengadopsi teknik ini, industri konstruksi Indonesia dapat menjadi lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan.
Sumber
Thohirin, A.; Wibowo, M.A.; Mohamad, D.; Sari, E.M.; Tamin, R.Z.; Sulistio, H. (2024). Tools and Techniques for Improving Maturity Partnering in Indonesian Construction Projects. Buildings, 14(6), 1494. https://doi.org/10.3390/buildings14061494