Infrastruktur

Menguasai Dividen Ketahanan: Peta Jalan Riset Infrastruktur Global untuk 2050

Dipublikasikan oleh Raihan pada 31 Oktober 2025


Jalan Menuju Infrastruktur Tangguh 2050: Analisis Risiko, Metrik Keuangan, dan Arah Riset ke Depan

Infrastruktur adalah tulang punggung perekonomian dan fondasi untuk pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Namun, dunia menghadapi kesenjangan infrastruktur yang melebar, diperparah oleh peningkatan kerugian dan kerusakan akibat bahaya geologis dan iklim. Bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah (Lower- and Middle-Income Countries/LMICs), defisit ini berkonspirasi melawan pembangunan sosial-ekonomi. Kegagalan untuk berinvestasi dalam ketahanan infrastruktur di era perubahan iklim adalah risiko terbesar, yang dapat menyebabkan stagnasi pembangunan, aset terdampar (stranded assets), dan peningkatan risiko eksistensial. Menyadari ancaman ini, laporan Global Infrastructure Resilience menyajikan analisis berbasis bukti yang kuat, mengubah perspektif ketahanan dari sekadar biaya tambahan menjadi peluang investasi yang menghasilkan Dividen Ketahanan (Resilience Dividend).

Parafrase Isi Paper: Jalur Logis Penemuan

Laporan ini secara logis merangkai argumennya melalui tiga pilar utama: mengukur risiko, memahami solusi sistemik, dan memobilisasi pendanaan.

Jalur penemuan dimulai dengan menegaskan sifat ganda dari ketahanan: sebagai infrastruktur yang tangguh (kapasitas aset untuk menyerap dan pulih) dan infrastruktur untuk ketahanan (kontribusi infrastruktur terhadap pembangunan sosial, ekonomi, dan ketahanan sistemik yang lebih luas). Untuk membuat konsep luas ini operasional dan dapat diukur, laporan ini memperkenalkan inovasi metodologis utama, yaitu Global Infrastructure Risk Model and Resilience Index (GIRI).

GIRI merupakan model probabilistik multi-bahaya global pertama yang secara komprehensif mengidentifikasi dan memperkirakan risiko yang terkait dengan bahaya utama (seperti gempa bumi, banjir, siklon tropis, tanah longsor) pada aset infrastruktur di berbagai sektor (listrik, jalan, telekomunikasi, air, dll.) di semua negara. Model ini tidak hanya memberikan perkiraan risiko di bawah kondisi iklim saat ini, tetapi juga memproyeksikannya di bawah dua skenario perubahan iklim di masa depan.

Metrik risiko keuangan utama yang dihasilkan oleh GIRI adalah Average Annual Loss (AAL). AAL adalah metrik ringkas yang mengukur kerugian yang diharapkan atau rata-rata yang mungkin dialami dalam jangka panjang, dan yang lebih penting, mengestimasi kewajiban kontinjensi yang diinternalisasi dalam sistem infrastruktur setiap negara. Pemahaman yang jelas tentang kewajiban fiskal ini menjadi jalur logis untuk memvalidasi langkah berikutnya: investasi.

Dengan mengukur AAL (biaya yang dihindari), laporan ini membangun kasus ekonomi yang kuat untuk Dividen Ketahanan. Dividen ini dipahami sebagai manfaat penuh yang timbul dari investasi ketahanan, yang mencakup penghindaran kerugian aset, berkurangnya gangguan layanan, peningkatan kualitas layanan publik (kesehatan, pendidikan), percepatan pertumbuhan ekonomi, dan manfaat sistemik seperti peningkatan keanekaragaman hayati dan pengurangan emisi karbon.

Secara substansial, laporan ini menyoroti bagaimana penguatan ketahanan sistemik dapat dicapai dengan meningkatkan Nature-based Infrastructure Solutions (NbIS), yang berfungsi untuk melengkapi, mengganti, atau melindungi infrastruktur "abu-abu" tradisional. NbIS menawarkan solusi yang lebih tangguh dan berkelanjutan, tetapi penerapannya secara luas saat ini terhambat oleh kesenjangan pengetahuan dan kapasitas.

Akhirnya, dengan bukti risiko (AAL) dan peluang (Dividen Ketahanan), laporan beralih ke tantangan pembiayaan. Meskipun kesenjangan pendanaan infrastruktur sangat besar, terdapat modal swasta yang tidak teralokasi yang dapat mengisi kesenjangan tersebut. Namun, investasi dalam ketahanan masih sering dianggap sebagai biaya tambahan, bukan peluang. Oleh karena itu, laporan ini menyimpulkan dengan menyoroti perlunya tata kelola yang kuat dan metrik risiko keuangan yang kredibel untuk memobilisasi modal swasta dan menciptakan kelas aset infrastruktur yang tangguh.

Sorotan Data Kuantitatif Secara Deskriptif

Metodologi GIRI berhasil menciptakan dasar analisis risiko yang secara eksplisit memasukkan risiko iklim ke dalam perancangan model. Temuan ini menetapkan Average Annual Loss (AAL) sebagai metrik utama untuk mengukur kewajiban kontinjensi yang diinternalisasi dalam sistem infrastruktur.

Laporan ini secara deskriptif menggambarkan potensi finansial investasi ketahanan: Dividen Ketahanan yang dihasilkan dari investasi dalam ketahanan secara normal beberapa kali lebih besar daripada investasi tambahan yang diperlukan. Hal ini menunjukkan hubungan kuat antara pemahaman risiko finansial yang eksplisit (AAL) dan potensi jangka panjang untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan sosial.

Selanjutnya, laporan ini memperkenalkan Indikator Komposit Ketahanan Infrastruktur GIRI. Indikator ini mengintegrasikan metrik risiko finansial AAL dengan tiga kapasitas utama negara—kapasitas untuk menyerap, merespons, dan pulih—yang selanjutnya dipengaruhi oleh faktor sosial dan ekonomi. Metrik ini bertindak sebagai proksi yang kuat untuk memantau kemajuan, menunjukkan bahwa walaupun dua negara mungkin memiliki nilai komposit ketahanan yang sama, kurva ketahanan mereka dapat berbeda secara signifikan—misalnya, satu negara mungkin lemah dalam kapasitas menyerap tetapi kuat dalam merespons dan pulih.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Laporan ini memberikan kontribusi yang signifikan bagi bidang ketahanan infrastruktur dengan melakukan lebih dari sekadar mengukur kerugian historis; laporan ini memetakan risiko masa depan dan menyajikan kasus investasi yang proaktif.

  1. Pengembangan Model Risiko Probabilistik Global (GIRI): Kontribusi paling mendasar adalah pengembangan GIRI, alat penilaian risiko multi-bahaya probabilistik global pertama untuk aset infrastruktur di semua sektor. Ini mengubah penilaian risiko infrastruktur dari metodologi statis yang berdasarkan kerugian masa lalu menjadi perkiraan risiko finansial (AAL) yang terdepan, relevan untuk perencanaan investasi dan fiskal.
  2. Pergeseran Paradigma ke Dividen Ketahanan: Laporan ini secara eksplisit mengartikulasikan dan mengukur (melalui AAL sebagai kerugian yang dihindari) Dividen Ketahanan, yang menjadikannya kasus ekonomi, keuangan, dan politik yang meyakinkan untuk investasi. Pergeseran dari kerugian yang dihindari (avoided cost) ke nilai tambah (value creation) adalah kontribusi utama yang membuka jalan bagi mobilisasi modal swasta.
  3. Kerangka Kerja Ketahanan Holistik: Laporan ini memperluas konsep ketahanan di luar masalah teknik aset untuk mencakup ketahanan layanan, sistemik, dan fiskal. Pendekatan ini mengakui bahwa kelemahan dalam tata kelola atau kapasitas fiskal sama pentingnya dengan kelemahan struktural suatu aset.
  4. Konsep Operasional untuk Tata Kelola: Laporan ini membentuk konsep operasional ketahanan melalui Indikator Komposit Ketahanan Infrastruktur GIRI. Indikator ini memadukan risiko fisik (AAL) dengan kapasitas negara (menyerap, merespons, memulihkan) dan kesenjangan infrastruktur. Metrik ini menyediakan dasar yang dapat ditindaklanjuti untuk pemantauan dan penentuan target dalam kebijakan ketahanan nasional.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun laporan ini merupakan studi yang monumental, ia juga mengakui batasan metodologis dan konseptual yang membuka jalan bagi penelitian ke depan.

  1. Keterbatasan Data dan Bahaya GIRI: GIRI, meskipun komprehensif, memiliki batasan dalam skala dan aplikasi, terutama terkait estimasi risiko non-fisik atau bahaya sekunder yang kompleks. Selain itu, indikator komposit mengandalkan proksi untuk mengukur kapasitas negara, seperti Indeks Efektivitas Pemerintah. Pertanyaan Terbuka: Bagaimana data risiko non-fisik (misalnya, kegagalan tata kelola, korupsi dalam rantai pasok) dan bahaya sekunder (misalnya, efek domino antar sektor) dapat diinternalisasi secara kuantitatif ke dalam model GIRI untuk menghasilkan AAL yang lebih akurat?
  2. Pembentukan Pasar untuk Solusi Berbasis Alam (NbIS): Mengubah NbIS dari pendekatan yang 'eksotis' menjadi 'biasa' membutuhkan mengatasi hambatan pengetahuan, kapasitas, dan regulasi. Meskipun manfaat sistemiknya jelas (keanekaragaman hayati, udara bersih) , tantangannya adalah bagaimana membuat business case NbIS menarik secara finansial bagi investor. Pertanyaan Terbuka: Apa mekanisme pasar dan instrumen keuangan yang paling efektif untuk memobilisasi modal swasta untuk proyek NbIS yang teragregasi dalam skala besar, melampaui studi kasus lokal, dan bagaimana manfaat lingkungan dapat dimonetisasi kembali ke investor?
  3. Mekanisme Realisasi dan Distribusi Dividen Ketahanan: Kesenjangan pendanaan antara kebutuhan dan investasi saat ini masih besar. Laporan menunjukkan modal swasta yang tidak teralokasi dapat mengisi kesenjangan tersebut, tetapi mekanisme untuk menarik modal ini belum sepenuhnya beroperasi. Pertanyaan Terbuka: Dengan asumsi Dividen Ketahanan telah diidentifikasi dan diukur, bagaimana cara terbaik untuk mendistribusikan manfaat finansial yang teridentifikasi ini kembali ke investor swasta (misalnya, melalui insentif regulasi, instrumen blended finance) untuk menciptakan kelas aset infrastruktur yang tangguh secara mandiri dan menarik?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Arah riset ke depan harus berfokus pada penguatan validitas metrik risiko GIRI, mengatasi kesenjangan implementasi solusi, dan menciptakan insentif pasar yang diperlukan untuk mengalirkan modal.

  1. Validasi Empiris Proksi Tata Kelola Terhadap AAL Relatif
    • Justifikasi Ilmiah: Laporan ini menyoroti bahwa tata kelola infrastruktur yang lemah menyebabkan keusangan dini dan risiko tinggi. Indikator Komposit GIRI menggunakan Indeks Efektivitas Pemerintah sebagai proksi kapasitas pemulihan. Namun, hubungan kuantitatif langsung antara metrik tata kelola yang terperinci dan pengurangan kerugian fisik belum divalidasi secara luas.
    • Rekomendasi: Melakukan studi korelasi mendalam (metode: analisis regresi berganda dan pemodelan jalur struktural) antara variabel-variabel tata kelola spesifik (misalnya, transparansi pengadaan, kemandirian lembaga pengawas) dan variasi dalam metrik AAL relatif (AAL dibandingkan nilai aset) antar negara (variabel baru yang dianalisis: indeks kualitas tata kelola sektor).
    • Perlunya Riset Lanjutan: Untuk memperkuat argumen bahwa peningkatan tata kelola secara langsung dan kuantitatif mengurangi kewajiban kontinjensi fiskal, sehingga memberikan insentif politik dan regulasi yang lebih kuat untuk reformasi.
  2. Monetisasi Manfaat Sistemik NbIS Jangka Panjang
    • Justifikasi Ilmiah: NbIS menawarkan manfaat sistemik yang luas (peningkatan keanekaragaman hayati, jasa ekosistem) , yang jauh melampaui biaya aset awal. Namun, manfaat ini sulit diukur dan dimonetisasi, menghambat pengembangan business case yang kuat.
    • Rekomendasi: Mengembangkan model valuasi ekonomi ekosistem (TEEB) yang terintegrasi (metode: valuasi kontingensi dan harga hedonik) untuk mengukur dampak finansial (variabel baru yang dianalisis: nilai jasa ekosistem) dari implementasi NbIS skala besar (konteks baru: proyek konservasi pesisir yang melindungi aset pelabuhan).
    • Perlunya Riset Lanjutan: Untuk menyediakan metrik keuangan yang kredibel bagi investor dan lembaga keuangan, memungkinkan mereka untuk memasukkan nilai lingkungan jangka panjang ke dalam keputusan investasi, dan mempermudah pengintegrasian NbIS ke dalam perencanaan nasional dan pembiayaan swasta.
  3. Mengukur Kecepatan Pemulihan Layanan (Resilience Curve) dan Redundansi Fungsional
    • Justifikasi Ilmiah: Ketahanan layanan sangat penting, dan proses pemulihan dipengaruhi oleh kerentanan komunitas dan kapasitas negara. Kecepatan pemulihan, yang diwakili oleh kurva ketahanan (resilience curve), secara langsung memengaruhi total kerugian pasca-bencana.
    • Rekomendasi: Melakukan riset operasional (metode: studi kasus komparatif dan pemodelan dinamika sistem) untuk mengukur waktu henti layanan esensial (variabel baru yang dianalisis: durasi pemadaman/gangguan layanan) setelah peristiwa bahaya, dengan memfokuskan pada peran Redundansi dan Fleksibilitas Fungsional Sistem (variabel baru) antar-sektor infrastruktur (misalnya, ketersediaan cadangan daya antar-jaringan).
    • Perlunya Riset Lanjutan: Untuk menetapkan standar kinerja pemulihan yang dapat diukur dan memberikan insentif operasional (bukan hanya desain aset) bagi operator infrastruktur untuk berinvestasi dalam koneksi cadangan dan protokol darurat, secara efektif mengurangi area di bawah kurva kerugian.
  4. Penciptaan Metodologi De-Risking untuk Kelas Aset Infrastruktur Tahan Bencana
    • Justifikasi Ilmiah: Laporan ini menggarisbawahi perlunya menciptakan kelas aset baru untuk menarik modal swasta yang tidak teralokasi, yang cukup untuk mengisi kesenjangan pendanaan. Investasi di LMICs tetap berisiko tinggi.
    • Rekomendasi: Penelitian terapan (metode: pemodelan keuangan dan analisis portofolio) untuk mengembangkan metodologi de-risking yang inovatif (misalnya, blending finance, instrumen seperti Debt-for-Climate Swaps) yang dapat digunakan untuk mengagregasi proyek ketahanan skala kecil (variabel baru yang dianalisis: tingkat mitigasi risiko politik dan pasar) ke dalam portofolio yang menarik bagi investor institusional (konteks baru: proyek pipa air dan sanitasi di negara berpenghasilan rendah).
    • Perlunya Riset Lanjutan: Untuk memetakan jalur konkret bagi modal swasta untuk memasuki pasar infrastruktur yang tangguh di negara-negara yang paling membutuhkan, yaitu dengan mengubah risiko pasar yang tidak diinginkan menjadi risiko yang dapat dihitung.
  5. Disagregasi Risiko dan Dampak Sosial Berbasis GIRI Hingga Level Komunitas
    • Justifikasi Ilmiah: Risiko bencana didistribusikan secara tidak proporsional, dipengaruhi oleh faktor sosial seperti gender, status, dan kemiskinan. Kerentanan komunitas lokal, diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (HDI), memengaruhi proses pemulihan.
    • Rekomendasi: Mengembangkan GIRI Lokalisasi/Sub-Nasional (metode: integrasi data GIRI dengan survei kerentanan sosial) yang mencakup indikator sosial (variabel baru yang dianalisis: Indeks Kerentanan Sosial-Ekonomi atau akses dan kontrol sumber daya) untuk mengukur risiko secara lebih akurat pada tingkat komunitas terisolasi atau rentan (konteks baru: wilayah yang didominasi oleh populasi berpenghasilan rendah).
    • Perlunya Riset Lanjutan: Untuk memastikan investasi ketahanan mengarah pada solusi yang inklusif dan memitigasi dampak yang tidak proporsional terhadap komunitas yang paling rentan, sehingga investasi infrastruktur dapat berkontribusi pada pembangunan yang adil.

Ajakan Kolaboratif dan Acuan Utama

Penelitian lebih lanjut untuk mengoperasionalkan GIRI, memonitor kurva ketahanan, dan memetakan mekanisme keuangan harus melibatkan institusi akademik dan teknis (untuk memvalidasi model), pemerintah nasional (untuk integrasi tata kelola dan data), dan institusi keuangan multilateral serta investor swasta (untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil dalam konteks pasar).

Baca paper aslinya di sini: Baca paper aslinya di sini.

 

Selengkapnya
Menguasai Dividen Ketahanan: Peta Jalan Riset Infrastruktur Global untuk 2050

Teknik Sipil

Menggunakan Kekuatan Berita: Kerangka Kerja Terpadu untuk Transportasi Jalan Tahan Banjir di Greater Bay Area

Dipublikasikan oleh Raihan pada 31 Oktober 2025


Resensi Riset Akademik: Meningkatkan Manajemen Banjir Sistem Transportasi Jalan melalui Analitik Data Media Berita dan Penilaian Kerentanan

Sistem jaringan jalan merupakan komponen vital dari infrastruktur perkotaan, memfasilitasi pergerakan barang, logistik, dan manusia, baik dalam situasi normal maupun darurat. Namun, kerentanan sistem ini terhadap banjir air permukaan (), diperburuk oleh perubahan iklim dan urbanisasi yang cepat, menimbulkan tantangan signifikan bagi manajemen bencana perkotaan. Penelitian yang beredar telah merekomendasikan perlunya strategi yang lebih fleksibel dan adaptif untuk mengatasi kondisi yang tidak terduga dan dinamis. Dalam konteks ini, penelitian ini menawarkan kerangka kerja terintegrasi yang inovatif, berpusat pada pemanfaatan analitik data media berita sebagai aset yang kurang dimanfaatkan untuk meningkatkan manajemen banjir dalam sistem transportasi jalan, dengan mengambil Greater Bay Area (GBA) di Tiongkok sebagai studi kasus.

Penelitian ini secara eksplisit menjawab pertanyaan sentral: "Bagaimana manajemen banjir dalam sistem transportasi jalan dapat ditingkatkan melalui analitik data media berita?". Melalui tiga fase fokus manajemen banjir—kesiapsiagaan dan peringatan dini, respons dan pemulihan, serta mitigasi, risiko, dan pemodelan kerentanan—temuan-temuan yang saling terkait memberikan lensa baru untuk tata kelola bencana.

Jalur Logis Perjalanan Temuan

Kerangka kerja yang diusulkan dibangun di atas model konseptual Source-Pathway-Receptor-Consequence (SPRC), memetakan hubungan antara pemicu (curah hujan), jalur transmisi (aliran air permukaan), penerima (jalan permukaan), dan konsekuensinya (kerugian dampak). Penelitian ini menggunakan data riwayat media berita dari proyek GDELT (Global Database of Events, Language, and Tone) GKG dari 2015 hingga 2021, diperkuat dengan data konvensional seperti jaringan jalan OpenStreetMap (OSM) dan informasi curah hujan.

Fase 1: Kesiapsiagaan dan Peringatan Dini (Aktivitas Media Berita)

Analisis data media berita GDELT, menggunakan indeks perhatian media (jumlah artikel) dan sentimen berita (skor nada artikel), menghasilkan pola spasial dan temporal yang jelas.

  • Pola Spasial: Perhatian media secara signifikan terkonsentrasi di kota-kota GBA yang padat penduduk dan maju secara ekonomi (misalnya, Guangzhou, Shenzhen, dan Hong Kong). Analisis korelasi Pearson menunjukkan hubungan positif yang kuat dan signifikan antara perhatian media dengan populasi (, ) dan PDB (, ). Namun, sentimen berita tidak menunjukkan bias yang signifikan terhadap populasi atau PDB, dengan koefisien korelasi yang sangat lemah dan tidak signifikan. Temuan ini menunjukkan bahwa media berita berperan sebagai cermin objektif dalam melaporkan kerusakan transportasi, tetapi fokus liputannya didorong oleh potensi dampak sosial-ekonomi yang besar.
  • Pola Temporal: Liputan media mencapai puncaknya selama musim basah (Mei hingga September), sejalan dengan curah hujan, dan menunjukkan sentimen yang lebih negatif dibandingkan dengan musim kemarau. Lebih lanjut, perhatian media terhadap kerusakan transportasi menunjukkan pola V-terbalik terbalik (inverted V-shaped), di mana sebagian besar artikel diterbitkan selama periode banjir, bukan mendahuluinya. Hal ini menggarisbawahi perlunya peningkatan signifikan dalam penyebaran informasi dan peringatan dini.

Fase 2: Respons dan Pemulihan (Kolaborasi Agensi Pemerintah)

Fase ini menggunakan analisis jaringan dari agensi pemerintah yang disebutkan dalam artikel berita untuk menilai keterlibatan dan kolaborasi selama lima peristiwa banjir parah (2017-2021).

  • Jaringan dan Sentralitas: Agensi-agensi seperti Departemen Keamanan Publik, Departemen Keuangan, Departemen Sumber Daya Alam, Departemen Meteorologi, dan Departemen Transportasi terbukti paling aktif dan memiliki nilai sentralitas tertinggi (Degree, Betweenness, dan Closeness). Hal ini menempatkan mereka sebagai simpul-simpul kritis yang sangat diperlukan untuk koordinasi sumber daya dan penyebaran informasi yang efisien.
  • Pola Kolaborasi: Kolaborasi agensi ditemukan lebih erat selama banjir akibat topan dibandingkan banjir non-topan, menunjukkan bahwa tingkat keparahan bencana mendorong peningkatan kerja sama. Meskipun demikian, terdapat keterbatasan kolaborasi antara Departemen Transportasi dan Departemen Meteorologi, dengan sedikit atau tanpa kemunculan bersama dalam berita di beberapa peristiwa banjir. Padahal, integrasi data meteorologi sangat penting untuk manajemen transportasi yang efektif selama banjir.

Fase 3: Mitigasi, Risiko, dan Pemodelan Kerentanan (Dampak Potensial)

Fase terakhir mengintegrasikan penilaian kerentanan infrastruktur jalan (dampak langsung/tangible) dengan analisis media berita tentang gangguan transportasi (dampak tidak langsung/tangible).

  • Kerentanan Infrastruktur Jalan: Penilaian menggunakan metode berbasis indeks dan bobot CRITIC menemukan bahwa distrik dengan jalan yang jarang dan bergradasi tinggi lebih rentan secara fisik terhadap banjir. Secara spasial, kerentanan cenderung lebih rendah di distrik-distrik di GBA Barat dibandingkan di GBA Tengah dan Timur. Uniknya, Distrik Sentral Bisnis (CBD) kota menunjukkan kerentanan yang rendah atau sangat rendah, berkat waktu respons darurat yang cepat dan kepadatan jalan, jembatan, dan gorong-gorong yang relatif lebih tinggi, mengimbangi eksposur tinggi. Distrik-distrik tertentu, seperti Yau Tsim Mong di Hong Kong, menunjukkan kerentanan yang sangat rendah meskipun eksposurnya tinggi, yang dikaitkan dengan kemampuan pengurangan bencana yang sangat tinggi.
  • Dampak Transportasi Tidak Langsung: Analisis frekuensi kata pada data media berita mengidentifikasi logistik transportasi sebagai kategori kerusakan yang paling sering dilaporkan, diikuti oleh transportasi publik. Menariknya, terdapat hubungan terbalik antara frekuensi dampak dan tingkat keparahan sentimen: kecelakaan lalu lintas memiliki frekuensi terendah tetapi sentimen paling negatif (), menunjukkan kerusakan yang jarang tetapi sangat serius. Sebaliknya, gangguan logistik sering terjadi tetapi menimbulkan sentimen yang sedikit negatif. Selain itu, investigasi jalan rawan banjir menyoroti jalan-jalan utama seperti Shennan Avenue di Shenzhen sebagai titik fokus perhatian media tertinggi, mengindikasikan tingkat dampak yang parah.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan kontribusi teoritis yang kuat dengan mengembangkan metodologi terintegrasi yang secara efektif menggabungkan analitik data media berita, yang dikenal objektif dan andal, dengan penilaian kerentanan konvensional. Kontribusi utamanya adalah mengalihkan fokus dari analisis media sosial yang subjektif ke analisis media berita untuk manajemen bencana.

Penelitian ini memelopori penggunaan analitik media berita untuk mengukur kinerja tata kelola bencana dengan menyediakan perspektif dan metode untuk analisis jaringan agensi pemerintah. Dengan mengukur keterlibatan agensi dan kolaborasi melalui data berita, penelitian ini menawarkan cara yang lebih objektif untuk mengevaluasi efektivitas respons dan kepatuhan terhadap kebijakan yang dirancang.

Secara praktis, temuan ini memberikan wawasan yang dapat ditindaklanjuti untuk otoritas kota. Misalnya, mengidentifikasi pola V-terbalik dalam liputan media mengarah pada rekomendasi langsung untuk meningkatkan informasi peringatan dini sebelum banjir. Selain itu, hasil penilaian kerentanan memberikan arahan yang tepat untuk perencanaan jalan dan desain infrastruktur yang tangguh (misalnya, meningkatkan kepadatan jalan di distrik rentan, membangun Blue-Green Infrastructure (BGI) di CBD).

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kerangka kerja terintegrasi ini merupakan langkah maju, penelitian ini memiliki keterbatasan yang menunjuk pada perlunya studi lanjutan.

  • Mekanisme Dampak yang Tidak Jelas: Keterhubungan antara tingkat aktivitas media berita dan konsekuensi banjir (misalnya, kerugian transportasi aktual) masih tidak jelas. Tidak adanya data kerusakan transportasi nyata (real transport damage data) mencegah analisis korelasional yang dapat memastikan apakah liputan media yang lebih banyak benar-benar menghasilkan pengurangan kerugian yang efektif.
  • Jaringan Non-Pemerintah (NGO): Analisis jaringan hanya berfokus pada agensi pemerintah. Kualitas data yang terbatas dalam proyek GDELT GKG menyulitkan ekstraksi informasi yang andal mengenai Organisasi Non-Pemerintah (NGO). Peran pelengkap dan kritis NGO dalam kesiapsiagaan, respons, dan pemulihan, oleh karena itu, tidak dapat dinilai.
  • Dampak Tidak Berwujud Makroskopik: Analisis dampak terbatas pada konsekuensi langsung dan tidak langsung yang nyata (kerusakan fisik dan gangguan transportasi) pada tingkat makroskopik. Pengaruh gangguan transportasi terhadap seluruh sistem perkotaan, termasuk kegiatan sosio-ekonomi, masih terbatas, yang memerlukan integrasi model hidrologi dan lalu lintas yang kompleks.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan (dengan Justifikasi Ilmiah)

Berikut adalah lima jalur riset ke depan yang berbasis temuan dan keterbatasan dalam studi ini, ditujukan khusus untuk komunitas akademik dan penerima hibah:

  1. Mengkorelasikan Aktivitas Media Berita dengan Kerugian Transportasi Riil:
    • Basis Temuan: Hipotesis bahwa perhatian media yang lebih tinggi dapat mengurangi kerugian transportasi belum teruji karena kurangnya data kerusakan nyata.
    • Metode/Variabel Baru: Penelitian lanjutan harus berfokus pada pengumpulan data kerusakan transportasi riil (misalnya, penutupan jalan, biaya perbaikan, durasi gangguan) melalui perjanjian bagi data dengan departemen transportasi atau metode berbasis citra (image identification) dari media. Variabel baru ini akan memungkinkan analisis korelasi yang definitif untuk mengukur efektivitas reduksi kerusakan sebagai fungsi dari intensitas dan timing liputan media.
    • Perlunya Lanjutan: Validasi ini sangat penting untuk memberikan justifikasi ilmiah bagi alokasi dana publik pada strategi komunikasi dan peringatan dini berbasis media dalam manajemen bencana.
  2. Pemodelan Jaringan Kolaborasi Agensi Multi-Pihak:
    • Basis Temuan: Penelitian ini menunjukkan eratnya kolaborasi antar agensi pemerintah selama banjir topan, tetapi mengesampingkan peran NGO karena tantangan data.
    • Metode/Variabel Baru: Penelitian di masa depan harus menyusun daftar NGO yang terlibat dalam manajemen banjir dan mengembangkan algoritma penambangan teks untuk mengekstrak informasi NGO dari GDELT dan sumber sekunder (misalnya, media sosial). Selanjutnya, analisis jaringan harus dilakukan untuk memetakan keterlibatan dan kolaborasi antara pemerintah dan NGO (Government-NGO network).
    • Perlunya Lanjutan: Menganalisis jaringan multi-pihak ini akan mengidentifikasi kesenjangan koordinasi dan memformulasikan strategi untuk memperkuat kemitraan publik-swasta dalam meningkatkan kapasitas respons dan pemulihan bencana.
  3. Analisis Dampak Tidak Berwujud Sosio-Ekonomi Jangka Panjang:
    • Basis Temuan: Studi ini terbatas pada dampak fisik dan gangguan transportasi; pemahaman tentang bagaimana gangguan ini memengaruhi kegiatan sosio-ekonomi masih terbatas.
    • Metode/Variabel Baru: Mengintegrasikan model simulasi (seperti model hidrodinamik dan model lalu lintas) dengan data sosio-ekonomi (misalnya, PDB per kapita, data penggunaan lahan) untuk mengukur sensitivitas sosio-ekonomi yang disebabkan oleh kerusakan transportasi.
    • Perlunya Lanjutan: Pendekatan holistik ini akan memungkinkan prediksi dampak jangka panjang dan penetapan prioritas investasi mitigasi yang memaksimalkan manfaat sosial dan ekonomi.
  4. Optimalisasi Desain Infrastruktur Jalan Tahan Banjir Berbasis Kerentanan:
    • Basis Temuan: Penelitian ini menemukan bahwa distrik dengan kerentanan tinggi (misalnya, Dongguan, Longmen) perlu fokus pada peningkatan kepadatan jalan atau konstruksi jalan/jembatan bergradasi tinggi, sedangkan CBD mendapat manfaat dari Blue-Green Infrastructure (BGI).
    • Metode/Variabel Baru: Menerapkan model optimasi spasial (spatial optimization models) yang menggabungkan hasil kerentanan, kriteria biaya-manfaat (cost-benefit criteria), dan proyeksi perubahan iklim/urbanisasi untuk mengoptimalkan alokasi BGI dan lokasi pembangunan jalan baru.
    • Perlunya Lanjutan: Ini akan menginformasikan perencanaan infrastruktur GBA 15 tahun ke depan, memastikan bahwa investasi di bidang transportasi selaras dengan tujuan ketahanan banjir yang berkelanjutan.
  5. Peramalan Kinerja Transportasi dalam Skenario Compound Flood:
    • Basis Temuan: GBA sering menghadapi compound flood hazards (kombinasi curah hujan, gelombang badai, dan efek pasang surut). Penelitian ini berfokus pada analisis peristiwa tunggal.
    • Metode/Variabel Baru: Mengembangkan model skenario berbasis risiko yang memperhitungkan probabilitas dan dampak gabungan beberapa ancaman (compound flood) dan memprediksi penurunan kinerja sistem transportasi (misalnya, capacity reduction). Model ini harus memanfaatkan data meteorologi canggih (misalnya, CMIP6 projections) untuk memproyeksikan skenario masa depan.
    • Perlunya Lanjutan: Pemahaman tentang ancaman gabungan akan memungkinkan Departemen Transportasi untuk mengembangkan protokol respons dan evakuasi yang lebih kompleks dan andal, yang saat ini menjadi perhatian utama di kota-kota pesisir Tiongkok.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi Universitas Nottingham Ningbo China, Institute of Urban Environment, Chinese Academy of Sciences, dan otoritas GBA (khususnya Departemen Transportasi dan Meteorologi) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, terutama dalam hal berbagi data operasional yang krusial.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Menggunakan Kekuatan Berita: Kerangka Kerja Terpadu untuk Transportasi Jalan Tahan Banjir di Greater Bay Area

Perubahan Iklim

Jalur Adaptif untuk Ketahanan Infrastruktur: Agenda Riset 10-Poin dari Konferensi Teknis CDRI 2022

Dipublikasikan oleh Raihan pada 31 Oktober 2025


 

Resensi Riset dan Arah Riset ke Depan: Jalur Adaptif untuk Infrastruktur yang Lebih Tangguh

Pendahuluan

Kolaborasi untuk Infrastruktur Tangguh Bencana (Coalition for Disaster Resilient Infrastructure/CDRI) secara eksplisit bertujuan untuk memperluas pemahaman dan tindakan global mengenai infrastruktur tangguh iklim dan bencana (DRI) melalui penciptaan, kurasi, dan penyebaran pengetahuan. Dokumen ini, yang merupakan Proceedings dari Konferensi Teknis DRI 2022, berfungsi sebagai fondasi penting untuk memetakan arah riset ke depan, dengan fokus pada tema sentral 'Jalur Adaptif untuk Ketahanan Bencana' (Adaptive Pathways for Disaster Resilience).

Kerangka Adaptive Pathways muncul sebagai respons langsung terhadap tantangan modern: infrastruktur, yang secara tradisional direncanakan untuk horizon 10 hingga 50 tahun, kini menghadapi guncangan tak terduga akibat bencana yang belum pernah terjadi sebelumnya dan dampak akselerasi perubahan iklim. Interkoneksi sistemik yang semakin kompleks antaraset infrastruktur (misalnya, energi, transportasi, air) semakin menambah kerentanan baru. Oleh karena itu, Adaptive Pathways diusulkan sebagai pendekatan yang memungkinkan perbaikan inkremental dan progresif dari waktu ke waktu, memastikan sistem infrastruktur dapat menghadapi bencana saat ini dengan kesiapsiagaan yang lebih baik sambil membangun ketahanan jangka panjang terhadap bahaya di masa depan. Dokumen ini menyajikan agenda tindakan komprehensif yang dirumuskan dari wawasan 25 makalah penelitian berkualitas tinggi, yang secara khusus ditujukan untuk komunitas akademik, peneliti, dan lembaga pemberi hibah.

Parafrase Isi Paper: Jalur Logis Perjalanan Temuan

Perjalanan temuan dalam dokumen ini mengikuti jalur logis dari kebutuhan konseptual hingga solusi spesifik dan agenda aksi.

1. Kebutuhan Konseptual dan Sistemik: Kerangka kerja dimulai dari pengakuan bahwa ketahanan harus terintegrasi dalam desain sistem dengan proses fleksibel yang memungkinkan peningkatan berkelanjutan tanpa mengganggu kinerja sistem secara keseluruhan. Penilaian sistemik terhadap kerentanan infrastruktur kritis akibat dampak perubahan iklim dan bencana adalah persyaratan dasar. Hal ini terlihat dari studi kasus mengenai jaringan transportasi di empat negara Afrika, yang secara jelas menunjukkan implikasi mendalam dari kerentanan dan manfaat spesifik dari ketahanan. Selain itu, upaya untuk membangun ketahanan menuntut pengelolaan pemangku kepentingan yang beragam, yang mengharuskan mereka menyelaraskan tujuan yang saling bersaing melalui kemitraan yang terstruktur.

2. Pengembangan Kerangka Kerja dan Alat Penilaian: Untuk mendukung implementasi, kerangka kerja dan alat pendukung keputusan harus dikembangkan untuk memungkinkan penilaian kinerja yang sadar dengan umpan balik yang jelas bagi pembuat kebijakan, industri, dan masyarakat. Sebuah metodologi yang diusulkan adalah Penilaian Kinerja Ketahanan (Resilience Performance Assessment/RPA), yang menggabungkan analisis biaya-manfaat dari berbagai jalur adaptasi—termasuk solusi fisik dan finansial (seperti asuransi atau pembebasan pajak). Selain itu, terdapat kebutuhan yang ditekankan untuk mengubah paradigma valuasi investasi. Model yang ada harus diperluas dari sekadar Net Present Worth untuk secara eksplisit memasukkan risiko bencana, kerugian terkait, dan manfaat yang dihindari, sehingga membuat investasi ketahanan menjadi lebih menarik secara finansial.

3. Solusi Teknis dan Kontekstual yang Muncul: Konferensi ini menyoroti sejumlah solusi adaptif yang dapat ditindaklanjuti. Alat digital terintegrasi memainkan peran penting, seperti aplikasi web InfraRiveChange yang dikembangkan oleh CDRI fellows untuk memetakan migrasi sungai dan risiko terhadap jembatan. Di bidang mitigasi fisik, kerentanan infrastruktur eksisting dapat ditingkatkan melalui retrofitting dengan biaya marginal, seperti penggunaan isolasi dasar (base isolations) untuk bangunan rumah sakit menggunakan unbonded fibre-reinforced elastomeric isolators untuk ketahanan gempa. Di ranah perkotaan, perencanaan adaptif juga dapat memanfaatkan ruang terbuka sebagai alat mitigasi banjir dan panas, yang secara bersamaan memberikan manfaat non-fisik (co-benefits) seperti peningkatan kualitas udara dan gaya hidup.

4. Kebutuhan Kapasitas dan Implementasi Inklusif: Jalur logis diakhiri dengan kebutuhan untuk membangun kapasitas spesifik di antara para pemangku kepentingan dan menyesuaikan kurikulum pendidikan tinggi untuk mengarusutamakan inovasi teknis dan praktik interdisipliner. Terakhir, perencanaan adaptif harus bersifat inklusif, merancang sistem dengan mempertimbangkan anggota masyarakat yang paling rentan, seperti penyandang disabilitas atau kelompok usia rentan.

Sorotan Data Kuantitatif

Meskipun artikel ini merupakan rangkuman dan bukan makalah riset primer, temuan spesifik dari makalah yang direferensikan menawarkan metrik kuantitatif yang kuat:

  • Pemanfaatan Ruang Terbuka Perkotaan: Sebuah temuan simulasi skenario menunjukkan bahwa penempatan pohon pada hotspot pulau panas perkotaan (urban heat island) dapat menyebabkan penurunan suhu permukaan hingga 5°C. Temuan ini menunjukkan potensi kuat untuk objek penelitian baru di bidang pemodelan iklim mikro perkotaan dan Rekayasa Sistem berbasis alam (Nature-based Solutions/NbS).
  • Pemantauan Risiko Migrasi Sungai: Aplikasi InfraRivChange menunjukkan pergeseran signifikan pada posisi saluran aktif Sungai Ghaghara (India) antara tahun 1990 dan 2020. Penilaian menggunakan alat tersebut menghasilkan Indeks Jaccard (0.15) dan Koefisien Kesamaan Dice (0.26) yang sangat rendah, menunjukkan potensi risiko tinggi terhadap infrastruktur jembatan kritis di wilayah dinamis ini. Angka-angka ini memperkuat perlunya pengawasan aset real-time menggunakan teknologi penginderaan jauh berbiaya rendah dan membuktikan kelayakan pemindahan metodologi ke pengaturan sungai dinamis lain di Asia Tenggara.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Kontribusi utama dari dokumen prosiding ini adalah penekanan kolektif pada pergeseran paradigma dari Disaster Risk Assessment statis menuju Adaptive Pathways yang dinamis dan berfokus pada solusi.

  • Pengenalan Kerangka Kerja Sistemik: Prosiding ini secara tegas mendorong pendekatan sistemik untuk ketahanan, mengakui bahwa kompleksitas dan interdependensi aset infrastruktur menuntut ketahanan kolektif, bukan hanya ketahanan aset individu. Ini adalah kontribusi penting bagi bidang rekayasa infrastruktur yang secara tradisional fokus pada ketahanan aset tunggal.
  • Advokasi Valuasi Baru: Kontribusi krusial lainnya adalah seruan untuk mengubah paradigma valuasi investasi. Dengan menghubungkan konsep asuransi dan valuasi, para peneliti mendorong agar analisis ekonomi memasukkan kerugian yang dihindari (avoided losses) dan manfaat jangka panjang. Perluasan ini memposisikan ketahanan bukan sekadar biaya, melainkan peluang investasi yang menguntungkan, yang sangat relevan bagi lembaga pembiayaan dan penerima hibah riset.
  • Peta Jalan Interdisipliner: Konferensi ini secara aktif menjembatani kesenjangan antara disiplin ilmu (interdisiplinaritas), yang saat ini menjadi hambatan bagi aksi ketahanan yang optimal. Dokumen ini menyediakan cetak biru untuk kolaborasi antara akademisi, industri, dan pembuat kebijakan, yang merupakan terobosan dari model penelitian silo tradisional.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menyajikan agenda aksi yang ambisius, dokumen ini secara implisit menyoroti beberapa keterbatasan dan pertanyaan terbuka yang memerlukan penelitian mendesankan dari komunitas akademik.

  • Kesenjangan Leksikal dan Konsistensi: Keterbatasan pertama adalah tidak adanya kosakata umum yang konsisten untuk Disaster Resilient Infrastructure (DRI). Persepsi yang berbeda tentang DRI di antara berbagai pemangku kepentingan (pemerintah, swasta, akademisi) menghambat komunikasi dan koordinasi yang efektif. Pertanyaan Terbuka: Bagaimana kerangka kerja leksikal yang seragam dapat divalidasi secara universal melintasi batas geografis dan sektoral untuk mengukur kemajuan DRI secara konsisten?
  • Transisi Riset-Aksi: Terdapat kesenjangan signifikan antara pengetahuan yang dihasilkan oleh riset dan adopsi praktisnya. Meskipun solusi teknologis tersedia (seperti isolator gempa atau aplikasi GIS), ekosistem inovasi untuk mengubah temuan penelitian menjadi inovasi yang dapat ditindaklanjuti masih lemah. Pertanyaan Terbuka: Model bisnis dan insentif kebijakan apa yang paling efektif dalam mendorong Riset Terjemahan (Translational Research) dan transfer teknologi dari laboratorium ke lapangan, terutama bagi UKM dan pemerintah daerah?
  • Metodologi Kuantifikasi Manfaat: Meskipun perlunya analisis ekonomi tentang kerugian yang dihindari disorot, kerangka kerja dan model untuk mengkuantifikasi manfaat finansial (misalnya, return on investment/ROI) dari investasi ketahanan masih kurang. Pertanyaan Terbuka: Bagaimana kita dapat mengembangkan metodologi standar untuk secara akurat mengukur nilai moneter dari manfaat non-tangible (co-benefits), seperti peningkatan kualitas hidup dari ruang terbuka hijau, yang dapat diintegrasikan ke dalam analisis Biaya-Manfaat (Cost-Benefit Analysis/CBA) makroekonomi?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Untuk mendorong implementasi Adaptive Pathways ke depan, rekomendasi riset ini secara eksplisit disusun bagi para peneliti dan penerima hibah riset, dengan fokus pada pengisian kesenjangan yang disoroti oleh temuan kolektif.

1. Riset Translasi Penilaian Risiko Sistemik dan Senario Majemuk

Rekomendasi: Mengembangkan protokol riset translasi yang dapat digunakan secara rutin untuk penilaian risiko sistemik yang memperhitungkan bahaya yang bersifat majemuk (compounding), berjenjang (cascading), dan bersamaan (concurrent). Penelitian harus berfokus pada pembangunan model skenario berbasis kejadian (scenario-based event models) untuk mengakomodasi peningkatan frekuensi peristiwa yang "belum pernah terjadi sebelumnya" (unprecedented events).

Justifikasi Ilmiah: Temuan menunjukkan bahwa interdependensi sistem infrastruktur (misalnya, kegagalan listrik menyebabkan kegagalan air) menciptakan kerentanan yang kompleks. Riset saat ini masih didominasi oleh penilaian risiko aset tunggal. Penelitian lanjutan harus menggunakan pendekatan agent-based modeling atau system dynamics untuk mensimulasikan kegagalan berjenjang di seluruh sektor kritis (energi, transportasi, air) di bawah kombinasi bahaya (misalnya, gempa bumi + kegagalan panas yang berkepanjangan). Tujuannya adalah untuk menghasilkan data kinerja ketahanan pada level sistem yang dapat memandu alokasi sumber daya berbasis risiko.

2. Analisis Ekonomi Komprehensif: Mengukur Nilai Avoided Losses

Rekomendasi: Merancang dan memvalidasi kerangka kerja analisis ekonomi yang melampaui analisis biaya-manfaat tradisional (CBA) dengan menyajikan metodologi yang kokoh untuk mengkuantifikasi kerugian yang dihindari (avoided losses) dari investasi ketahanan. Fokus harus pada pengembangan model yang dapat mengaitkan secara langsung intervensi spesifik (misalnya, retrofitting jembatan atau adopsi base isolation pada rumah sakit) dengan peningkatan Net Present Value (NPV) proyek.

Justifikasi Ilmiah: Agar investasi sektor swasta dan pemerintah dalam ketahanan menjadi masif, diperlukan bukti kuat yang dapat dipertanggungjawabkan secara finansial. Saat ini, kesenjangan signifikan ada pada kerangka kerja untuk analisis ekonomi investasi adaptasi. Riset lanjutan harus mengintegrasikan konsep dari aktuaria dan asuransi dengan penilaian risiko teknik sipil untuk mengembangkan metrik finansial baru—seperti Koefisien Kenaikan Nilai Ketahanan—yang menunjukkan bagaimana keputusan investasi dapat meningkatkan manfaat investasi dan menambah nilai.

3. Integrasi Pengetahuan Pribumi dengan Teknologi Resolusi Tinggi

Rekomendasi: Melakukan penelitian lapangan dan kolaboratif (participatory bottom-up research) untuk mengidentifikasi dan mendokumentasikan bukti ilmiah yang kredibel tentang potensi pengetahuan tradisional, keterampilan, dan kearifan lokal dalam membangun ketahanan. Hasilnya kemudian harus diintegrasikan dengan alat dan solusi digital bergranularitas dan resolusi tinggi (seperti aplikasi GIS dan penginderaan jauh yang canggih) untuk menciptakan intervensi yang dapat ditindaklanjuti dan tepat waktu.

Justifikasi Ilmiah: Meskipun teknologi modern (seperti InfraRivChange ) menawarkan akurasi dan pemantauan real-time, kearifan lokal seringkali memberikan pemahaman kontekstual yang mendalam tentang risiko dan solusi berbasis lingkungan. Kesenjangan saat ini adalah memadukan kedua domain ini. Riset harus mengembangkan antarmuka model hibrida yang memungkinkan peneliti, insinyur, dan praktisi lokal untuk menggabungkan data berbasis lahan (dari pengetahuan tradisional) dengan data satelit (resolusi tinggi) untuk meningkatkan akurasi penilaian risiko dan perencanaan adaptasi di tingkat lokal.

4. Pengembangan Model Multidimensi untuk Co-Benefits dan Inklusivitas

Rekomendasi: Merumuskan dan menguji model iklim multidimensi yang secara eksplisit mengkuantifikasi dan memetakan co-benefits (manfaat bersama) dari intervensi ketahanan adaptif. Penelitian harus meluas dari dampak fisik (seperti pengurangan banjir/panas ) ke dampak sosial, seperti keadilan iklim dan inklusivitas, dengan secara sistematis memasukkan kekhawatiran spesifik dari kelompok rentan (disabilitas, lansia, atau berdasarkan gender) ke dalam proses desain infrastruktur.

Justifikasi Ilmiah: Peningkatan iklim perkotaan, seperti yang ditunjukkan oleh simulasi penurunan suhu 5°C dari penanaman pohon, menunjukkan bahwa tindakan adaptif memiliki manfaat ganda. Namun, model saat ini jarang mengukur manfaat co-benefits ini secara komprehensif. Riset lanjutan harus mengembangkan kerangka kerja penilaian dampak sosial dan lingkungan untuk setiap proyek adaptasi infrastruktur. Metodologi ini harus menghasilkan data yang dapat membenarkan investasi tambahan berdasarkan hasil positif ganda, memajukan tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs), dan memastikan bahwa infrastruktur tidak menciptakan ketidaksetaraan baru.

5. Kurikulum Pendidikan Tinggi Antardisiplin dan Ekosistem Kapasitas

Rekomendasi: Merancang dan menguji coba kurikulum pendidikan tinggi untuk Disaster Resilient Infrastructure (DRI) yang bersifat antardisiplin, menjembatani teknik sipil, manajemen bencana, ilmu sosial, dan perencanaan kebijakan. Penelitian harus memetakan kebutuhan pembelajaran (learning needs) yang spesifik dan mengembangkan strategi yang dapat ditindaklanjuti untuk membangun kapasitas pembuat kebijakan dan praktisi dalam mengarusutamakan ketahanan.

Justifikasi Ilmiah: Terdapat kebutuhan mendesak untuk mengembangkan profesional khusus dan mengatasi kesenjangan kapasitas yang ada. Saat ini, kapasitas dan riset DRI tersebar di berbagai disiplin ilmu. Riset lanjutan harus berfokus pada pemetaan kapabilitas saat ini di pasar tenaga kerja dan lembaga akademik, mengidentifikasi kekurangan, dan kemudian merancang modul pendidikan formal (sarjana/pascasarjana) dan pelatihan profesional yang mengintegrasikan inovasi teknis terkini, praktik industri, dan perencanaan kebijakan. Hasilnya akan memungkinkan CDRI untuk menjadi jangkar dalam jaringan pusat penelitian dan industri untuk memperkuat kapasitas antardisiplin.

Kesimpulan dan Ajakan Kolaboratif

Agenda riset ini mengarahkan komunitas akademik untuk secara kolektif menjawab tantangan ketidakpastian iklim dengan solusi adaptif dan sistemik. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi penelitian terkemuka (untuk riset translasi), lembaga pendanaan dan bank pembangunan multilateral (untuk memvalidasi model ekonomi avoided losses), dan pembuat kebijakan di tingkat nasional dan kota (untuk mengarusutamakan kurikulum dan kerangka kerja inklusif) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil yang tinggi.

Baca paper aslinya di sini

 

Selengkapnya
Jalur Adaptif untuk Ketahanan Infrastruktur: Agenda Riset 10-Poin dari Konferensi Teknis CDRI 2022

Infrastruktur & Pembangunan Berkelanjutan

Mewujudkan Infrastruktur Berkelanjutan: Pentingnya Multistage ESIA dalam Proyek Jalan Nasional

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 31 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Pedoman yang diterbitkan oleh United Nations Economic and Social Commission for Asia and the Pacific (ESCAP, 2001) menjadi tonggak penting dalam memperbaiki praktik pembangunan jalan yang ramah lingkungan dan sosial di kawasan Asia-Pasifik. Dokumen ini menekankan bahwa kerusakan lingkungan akibat proyek jalan—seperti degradasi tanah, polusi air/udara, hingga gangguan sosial dan hilangnya warisan budaya—seringkali bersifat permanen.

Temuan utamanya menyoroti perlunya proses Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) yang bersifat multistage dan berkelanjutan, bukan sekadar formalitas pada tahap perencanaan awal. Pendekatan multistage ini memastikan bahwa dampak lingkungan dan sosial dipantau dari tahap konsepsi, desain, konstruksi, hingga pascaoperasi.

Bagi Indonesia, temuan ini sangat relevan. Proyek infrastruktur jalan nasional seperti Jalan Tol Trans Jawa dan Jalan Trans Papua sering menghadapi kritik terkait dampak lingkungan dan sosial yang kurang terkelola. Integrasi multistage ESIA dapat menjadi landasan kebijakan baru dalam green infrastructure governance.

Untuk mendukung implementasi kebijakan ini, pelatihan profesional sangat dibutuhkan. Kursus yang relevan untuk meningkatkan kompetensi ini antara lain Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup, yang membahas pentingnya AMDAL (setara ESIA di Indonesia).

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan ESIA secara bertahap dan berkelanjutan menawarkan sejumlah keunggulan, namun juga menghadapi tantangan kelembagaan dan teknis.

Dampak Positif

  • Peningkatan Kualitas Keputusan: Mencegah kerusakan lingkungan permanen dengan mengintegrasikan hasil ESIA ke dalam desain teknik di setiap tahapan proyek.

  • Transparansi dan Kepercayaan Publik: Keterlibatan publik dalam proses screening dan evaluation meningkatkan akuntabilitas dan mengurangi potensi konflik sosial.

  • Efektivitas Mitigasi: Pemantauan berkelanjutan (monitoring and post-evaluation) menjamin bahwa upaya mitigasi yang direncanakan benar-benar efektif di lapangan.

Hambatan Utama

  • Kualitas Data: Kurangnya data lingkungan dan sosial yang akurat dan up-to-date mempersulit analisis awal yang komprehensif.

  • Koordinasi Kelembagaan: Tidak adanya struktur kelembagaan yang jelas (single window) dalam ESIA menyebabkan lemahnya koordinasi antar lembaga (PUPR, KLHK, Bappenas).

  • Partisipasi Rendah: Rendahnya kesadaran dan partisipasi publik, terutama di daerah terpencil, menghambat efektivitas kebijakan berbasis konsultasi.

Peluang

  • Digitalisasi Data: Penggunaan sistem geo-mapping dan data lingkungan terpadu membuka peluang untuk analisis dampak berbasis bukti (real-time).

  • Dukungan Global: Dukungan dari lembaga internasional (ADB, UNEP, OECD) dapat memfasilitasi adopsi standar ESIA komprehensif di Asia Tenggara.

  • Peningkatan Kapasitas Lintas Disiplin: Pelatihan seperti Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat memperkuat kapasitas aparatur dalam mengelola proyek yang kompleks.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Untuk mengadopsi prinsip multistage ESIA dari ESCAP, Indonesia dapat menerapkan langkah-langkah berikut:

  1. Wajibkan Multistage ESIA untuk Proyek Strategis: Proses ESIA harus mencakup tahap screening, examination, analysis, monitoring, dan evaluation dengan laporan terbuka untuk publik di setiap fase.

  2. Bangun Kelembagaan Koordinatif Antarinstansi: Bentuk unit lintas kementerian (PUPR, KLHK, Bappenas) yang memiliki mandat jelas untuk memastikan kepatuhan ESIA di seluruh tahapan proyek.

  3. Tingkatkan Keterlibatan Publik dan Transparansi: Sediakan forum konsultasi dan sistem pengaduan masyarakat yang mudah diakses dan aktif, bukan sekadar memenuhi syarat formal.

  4. Integrasikan Pelatihan Profesional Berkelanjutan: Tingkatkan kompetensi teknis melalui pelatihan khusus seperti Penerapan Environmental Management System ISO 14001:2015 atau kursus lain yang fokus pada Social Safeguard Management.

  5. Gunakan Teknologi Pemantauan dan Database Terpadu: Kembangkan dashboard nasional yang memanfaatkan citra satelit dan GIS untuk memantau dampak lingkungan dan sosial setiap proyek jalan secara real-time.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan multistage ESIA berpotensi gagal bila hanya dijadikan formalitas administratif tanpa komitmen implementatif yang kuat. Risiko kegagalan utamanya meliputi:

  • Disintegrasi Desain: Laporan ESIA tidak terintegrasi ke dalam desain teknik proyek, sehingga mitigasi dampak diabaikan saat konstruksi.

  • Penegakan Hukum Lemah: Minimnya sanksi atau penegakan hukum terhadap pelanggaran rekomendasi lingkungan dan sosial.

  • Akuntabilitas Profesional: Kurangnya akuntabilitas profesional dari konsultan ESIA dan pelaksana proyek.

Tanpa reformasi kelembagaan dan mekanisme sanksi yang tegas, pendekatan multistage ESIA berpotensi hanya menjadi dokumen tanpa makna substantif.

Penutup

Pedoman ESCAP ini menegaskan bahwa pembangunan infrastruktur jalan yang berkelanjutan memerlukan keseimbangan antara kemajuan ekonomi dan kelestarian lingkungan. Pendekatan multistage ESIA menghadirkan model tata kelola pembangunan yang lebih adaptif, transparan, dan partisipatif.
Dengan menerapkan prinsip ini, Indonesia dapat memperkuat ketahanan sosial-lingkungan dalam proyek infrastruktur besar dan menghindari dampak jangka panjang yang merugikan.

Sumber

United Nations ESCAP. (2001). Multistage Environmental and Social Impact Assessment of Road Projects: Guidelines for a Comprehensive Process. New York: United Nations.

Selengkapnya
Mewujudkan Infrastruktur Berkelanjutan: Pentingnya Multistage ESIA dalam Proyek Jalan Nasional

Ekonomi Pembangunan & Infrastruktur Berkelanjutan

Mengintegrasikan Nilai Lingkungan dalam Analisis Biaya-Manfaat untuk Pembangunan Infrastruktur yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 31 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Laporan Environmental Protection Agency (EPA, 2002) menyoroti kelemahan krusial dalam Analisis Biaya-Manfaat (CBA) tradisional proyek jalan: pengabaian dampak lingkungan. Selama ini, penilaian cenderung fokus pada efisiensi ekonomi jangka pendek (penghematan waktu, biaya transportasi), sementara biaya sosial jangka panjang dari kerusakan ekosistem, kebisingan, dan polusi udara jarang dihitung secara moneter.

Temuan ini sangat penting karena kebijakan investasi infrastruktur harus mencerminkan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Mengabaikan dampak ekologis dapat menyebabkan:

  1. Kebijakan Investasi Tidak Berkelanjutan: Proyek yang secara ekonomi tampak menguntungkan ternyata menimbulkan biaya sosial dan lingkungan yang jauh lebih besar di masa depan.

  2. Ketidakadilan Antarwilayah: Daerah dengan kualitas lingkungan yang baik rentan dikorbankan demi efisiensi transportasi.

Bagi Indonesia, temuan ini relevan untuk perencanaan proyek jalan strategis seperti Tol Trans Jawa dan Ibu Kota Nusantara (IKN). Integrasi nilai ekonomi dari faktor lingkungan adalah kunci untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya cepat, tetapi juga berkelanjutan dan inklusif.

Pelatihan di bidang ini sangat penting. Kursus seperti Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup dapat memperkuat pemahaman aparatur mengenai cara menginternalisasi biaya dan manfaat ekologis.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Dampak positif:

  • Mengintegrasikan faktor lingkungan dalam CBA dapat menghasilkan kebijakan jalan yang lebih berkelanjutan dan efisien.

  • Penggunaan data valuasi lingkungan membantu pemerintah menilai manfaat sosial yang lebih luas seperti kualitas udara dan keanekaragaman hayati.

Hambatan utama:

  • Keterbatasan data lingkungan dasar dan nilai ekonomi ekologis.

  • Kapasitas teknis rendah untuk mengaplikasikan metode valuasi seperti contingent valuation atau hedonic pricing.

  • Ketidakpastian ilmiah dalam mengukur preferensi masyarakat terhadap kualitas lingkungan.

Peluang:

  • Kemajuan teknologi spasial dan ekonomi lingkungan membuka jalan untuk penerapan CBA berbasis data.

  • Pelatihan di bidang Analisis Dampak Sosial dan Ekonomi Infrastruktur Publik dapat memperkuat kemampuan teknokrat lokal.

  • Kolaborasi lintas lembaga (lingkungan, transportasi, dan ekonomi) dapat mempercepat adopsi pendekatan berbasis bukti.

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

  1. Masukkan Valuasi Lingkungan dalam CBA Nasional
    Setiap proyek jalan besar perlu menghitung nilai ekonomi kerugian lingkungan dan manfaat ekologis.

  2. Bangun Basis Data Ekonomi-Lingkungan Terpadu
    Kembangkan sistem data spasial yang memuat indikator seperti kualitas udara, kebisingan, dan biodiversitas.

  3. Perkuat Kapasitas Teknis Aparatur Daerah
    Melalui kursus dan pelatihan seperti Kursus Analisis Dampak Ekonomi Infrastruktur, aparatur dapat memahami metodologi valuasi lingkungan.

  4. Gunakan Pendekatan Multi-Kriteria (MCA)
    Kombinasikan aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan untuk menilai proyek secara holistik.

  5. Dorong Partisipasi Publik dalam Penilaian Proyek
    Gunakan survei stated preference untuk merekam persepsi masyarakat terhadap dampak lingkungan proyek jalan.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan dapat gagal jika valuasi lingkungan hanya dilakukan secara formalitas atau tanpa data valid. Penilaian yang tidak akurat dapat menyebabkan bias dalam keputusan investasi. Selain itu, jika penentuan nilai ekonomi lingkungan hanya menggunakan asumsi dari negara lain tanpa adaptasi lokal, hasilnya bisa menyesatkan.

CBA yang terlalu menekankan efisiensi ekonomi juga berpotensi mengabaikan aspek keadilan sosial dan keberlanjutan ekologis. Oleh karena itu, dibutuhkan tata kelola berbasis multi-level governance agar keputusan pembangunan mempertimbangkan kepentingan masyarakat lokal.

Penutup

Laporan EPA menunjukkan bahwa menginternalisasi dampak lingkungan dalam CBA bukan sekadar langkah teknis, tetapi keharusan moral dan strategis. Indonesia perlu mengembangkan kerangka kerja penilaian ekonomi infrastruktur yang mengakui nilai ekologis dan sosial.

Melalui kebijakan berbasis data, partisipasi publik, dan peningkatan kapasitas kelembagaan, pembangunan jalan di Indonesia dapat menjadi simbol kemajuan yang tidak merusak, tetapi justru memperkuat keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan sosial.

Sumber

Environmental Protection Agency (EPA). (2002). Environmental Impacts and Parameters for Inclusion in the Economic Valuation of Road Schemes (2000-DS-1-M2). Economics for the Environment Consultancy (eftec).

Selengkapnya
Mengintegrasikan Nilai Lingkungan dalam Analisis Biaya-Manfaat untuk Pembangunan Infrastruktur yang Berkelanjutan

Kebijakan Publik

Memperkuat Peran ESIA sebagai Instrumen Strategis Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Marioe Tri Wardhana pada 31 Oktober 2025


Mengapa Temuan Ini Penting untuk Kebijakan?

Laporan Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) menegaskan bahwa proyek infrastruktur besar, seperti pembangunan jalan, bendungan, atau fasilitas energi, memiliki dampak lingkungan dan sosial yang kompleks. ESIA berperan penting untuk memastikan bahwa pembangunan tidak hanya menguntungkan secara ekonomi, tetapi juga berkelanjutan dan berkeadilan sosial.

Temuan ini sangat penting bagi kebijakan publik karena ESIA bukan sekadar dokumen administratif, melainkan alat strategis untuk menyeimbangkan antara pertumbuhan ekonomi dan perlindungan lingkungan. Proses ini wajib mengidentifikasi risiko terhadap ekosistem, masyarakat lokal, serta dampak terhadap mata pencaharian penduduk terdampak.

Bagi Indonesia, hasil studi ESIA sangat relevan untuk memperkuat penerapan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Lembaga seperti Kementerian PUPR, KLHK, dan BRIN perlu memastikan bahwa setiap proyek infrastruktur nasional—seperti pembangunan IKN, jalan tol, dan bendungan—melalui kajian ESIA yang komprehensif.

Pelatihan yang relevan dapat memperkuat kapasitas aparatur dalam menilai dampak lintas sektor secara objektif. Contoh pelatihan yang mendukung kompetensi ini adalah Pembangunan Infrastruktur dan Pelestarian Lingkungan Hidup.

Implementasi di Lapangan: Dampak, Hambatan, dan Peluang

Penerapan ESIA yang baik di lapangan telah menunjukkan hasil positif, meskipun menghadapi sejumlah tantangan.

Dampak Positif Utama

  • Perlindungan Keanekaragaman Hayati – Melalui penerapan zona konservasi atau mitigasi habitat di sekitar area proyek.

  • Mitigasi Dampak Sosial – Seperti pemberian kompensasi yang adil bagi masyarakat terdampak dan implementasi program pemulihan ekonomi lokal.

  • Peningkatan Tata Kelola Proyek – Dengan kewajiban transparansi dan pelibatan masyarakat dalam proses konsultasi publik, mengurangi potensi konflik.

Hambatan Implementasi di Indonesia

  • Keterbatasan Data – Kurangnya data lingkungan dan sosial yang mutakhir membuat analisis ESIA terkadang kurang akurat dan berbasis asumsi.

  • Kapasitas Teknis Terbatas – Khususnya di daerah, kapasitas teknis lembaga pelaksana dan penyusun ESIA masih perlu ditingkatkan.

  • Rendahnya Partisipasi Publik – Keterlibatan masyarakat lokal seringkali bersifat formalitas, bukan konsultasi substantif.

Peluang

  • Integrasi Digital – Memanfaatkan sistem perencanaan digital seperti Sistem Informasi Lingkungan Hidup Daerah (SILHD) untuk memantau efektivitas mitigasi.

  • Inovasi Berbasis Data – Kerja sama dengan akademisi dan sektor swasta untuk mengembangkan analisis dampak lingkungan berbasis data real-time (GIS dan remote sensing).

5 Rekomendasi Kebijakan Praktis

Untuk mengoptimalkan peran ESIA sebagai alat kebijakan strategis, diperlukan langkah-langkah berikut:

  1. Perkuat Standar Nasional ESIA: Pemerintah perlu memperbarui panduan pelaksanaan ESIA agar selaras dengan prinsip pembangunan hijau dan ekonomi sirkular.

  2. Bangun Kapasitas SDM Evaluator Lingkungan dan Sosial: Pelatihan Manajemen Konstruksi dan Infrastruktur dapat menjadi mitra strategis dalam melatih aparatur, konsultan, dan akademisi di bidang analisis dampak proyek.

  3. Dorong Transparansi dan Akses Publik terhadap Hasil ESIA: Hasil kajian dampak proyek harus dapat diakses publik secara daring untuk meningkatkan akuntabilitas dan kepercayaan masyarakat.

  4. Integrasikan ESIA dalam Siklus Penganggaran Proyek: Evaluasi sosial dan lingkungan wajib dilakukan sebelum alokasi dana proyek, bukan sesudahnya, agar mitigasi dapat menjadi bagian dari desain awal.

  5. Kembangkan Sistem Monitoring Berkelanjutan: Gunakan teknologi seperti Geographic Information System (GIS) dan remote sensing untuk memantau dampak proyek terhadap ekosistem dan komunitas secara periodik dan independen.

Kritik terhadap Potensi Kegagalan Kebijakan

Kebijakan ESIA berpotensi gagal bila hanya dijadikan syarat administratif tanpa tindak lanjut nyata. Kegagalan dapat terjadi jika:

  • Terdapat formalitas dalam pelaksanaan konsultasi publik, tanpa memasukkan masukan substantif dari warga terdampak.

  • Kurangnya mekanisme evaluasi pascaproyek, sehingga dampak lingkungan dan sosial jangka panjang tidak terpantau dan tidak ada perbaikan berkelanjutan.

  • Minimnya sanksi bagi proyek yang melanggar rekomendasi ESIA, yang menghilangkan daya paksa dari laporan tersebut.

Untuk menghindari hal ini, pemerintah harus memperkuat fungsi pengawasan dan memastikan bahwa pelaksanaan ESIA menjadi bagian integral dari kebijakan pembangunan berkelanjutan di Indonesia.

Penutup

Pelaksanaan Environmental and Social Impact Assessment adalah pilar penting menuju pembangunan yang adil dan berkelanjutan. Melalui penerapan ESIA yang transparan, berbasis data, dan partisipatif, Indonesia dapat menyeimbangkan antara ambisi ekonomi dan tanggung jawab ekologis.

Sumber

Environmental and Social Impact Assessment (ESIA) Final Report, 2021.

Selengkapnya
Memperkuat Peran ESIA sebagai Instrumen Strategis Pembangunan Berkelanjutan di Indonesia
page 1 of 1.266 Next Last »