Mengapa Partnering Jadi Kunci Proyek Konstruksi Masa Kini?
Dalam industri konstruksi Indonesia yang dikenal kompleks dan rentan konflik, pendekatan partnering bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Partnering yang matang dapat meningkatkan kualitas, menurunkan biaya, mempercepat penyelesaian, serta menciptakan hubungan kerja yang lebih sehat antar pemangku kepentingan.
Namun, hingga kini, belum banyak studi yang benar-benar mengukur bagaimana kedalaman partnering diterapkan pada setiap fase proyek. Paper ini menjawab celah tersebut dengan menawarkan indikator konkret dan teknik evaluasi yang bisa langsung diadopsi di lapangan.
Gambaran Umum: Partnering dalam Proyek Konstruksi
Definisi dan Nilai Partnering
Partnering adalah filosofi kerja sama jangka panjang antara pihak-pihak dalam proyek, termasuk owner, kontraktor, desainer, hingga vendor. Nilai kunci dalam partnering mencakup:
-
Kepercayaan
-
Akuntabilitas
-
Responsivitas
-
Kemandirian
-
Keadilan
Jika nilai-nilai ini diterapkan konsisten, maka hasil proyek cenderung lebih positif secara kinerja, waktu, biaya, dan kualitas.
Permasalahan Utama Konstruksi di Indonesia
Berdasarkan berbagai literatur yang dirangkum, industri konstruksi nasional menghadapi masalah seperti:
-
Produktivitas rendah
-
Koordinasi buruk
-
Perubahan desain yang sering terjadi
-
Kualitas kerja rendah
-
Limbah konstruksi tinggi
Sebagian besar masalah ini bersumber dari lemahnya hubungan antar pemangku kepentingan. Di sinilah partnering memainkan peran strategis.
Tujuan Penelitian: Menyusun KPI Kedalaman Partnering
Penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan pentingnya partnering, tetapi juga merumuskan alat ukur kedewasaan partnering di seluruh fase proyek, khususnya proyek Design and Build (DB). Untuk itu, penulis menyusun Key Performance Indicators (KPI) berdasarkan:
-
Literatur akademik dan praktik lapangan
-
Konsensus melalui metode Delphi dengan 9 pakar konstruksi
-
Analisis data lapangan dari 6 proyek DB di Indonesia bernilai > Rp100 miliar
Fase Partnering dalam Siklus Hidup Proyek
1. Inisiasi
-
Partisipasi stakeholder sejak awal
-
Indikator: indeks performa biaya, pertumbuhan biaya, kesadaran lingkungan
2. Desain
-
Optimalisasi biaya melalui value engineering
-
Keterlibatan pemasok sejak desain awal
-
Indikator: penghematan biaya, konformitas spesifikasi
3. Konstruksi
-
Indikator: jam kerja teknik/unit produk, duplikasi kerja, kecelakaan kerja, keterlambatan
4. Penutupan
-
Umpan balik pelanggan, audit, konflik yang belum diselesaikan
-
Sertifikasi laik fungsi dan green SOP
Delphi Method: Menyaring Faktor Penentu Partnering yang Matang
Putaran 1–3: Seleksi dan Validasi
Melibatkan:
-
2 CEO perusahaan
-
2 desainer senior
-
3 kontraktor senior
-
2 akademisi
26 faktor penting ditentukan. Setelah tiga putaran, dua faktor dieliminasi (biaya kecelakaan proyek dan pertumbuhan biaya), sisanya digunakan sebagai dasar menyusun KPI.
Simulasi Lapangan: Menguji KPI pada 6 Proyek DB
Proyek yang Dikaji:
-
Lokasi: Jakarta, Bukittinggi, Kalimantan Timur
-
Nilai: USD 9–18 juta
Temuan Utama:
-
DB “C” dan “E”: mencapai level institutionalized (partnering menyatu dalam budaya organisasi)
-
DB “D” dan “F”: level managed
-
DB “A” dan “B”: masih basic, minim kerja sama, banyak konflik
Dampaknya:
-
Proyek dengan partnering matang menunjukkan:
-
Deviasi waktu dan biaya lebih kecil
-
Tingkat perubahan desain rendah
-
Kolaborasi antarpihak lebih tinggi
-
Analisis Tambahan: Perbandingan dengan Studi Lain
Studi El Asmar et al. (2013) juga menunjukkan bahwa proyek dengan pendekatan IPD yang menekankan partnering menunjukkan:
-
Penghematan biaya rata-rata 12%
-
Peningkatan produktivitas 10%
-
Pengurangan pekerjaan ulang hingga 50%
Temuan ini sejalan dengan hasil paper, menegaskan bahwa kedalaman partnering punya korelasi langsung dengan performa proyek.
Nilai Tambah dan Implikasi Praktis
5 Rekomendasi Strategis:
-
Bangun budaya partnering sejak fase inisiasi
Mulai dengan pelatihan dan kick-off project yang menekankan nilai TARIF. -
Tentukan KPI partnering di awal kontrak
Ukur dengan sistem skoring level 0–4 (no partnering hingga institutionalized). -
Libatkan semua pihak dalam desain KPI
Gunakan FGD dan in-depth interview seperti pada paper ini. -
Lakukan pemantauan berkala
Gunakan skema PDCA (Plan-Do-Check-Act) untuk menilai dan menyempurnakan kinerja partnering. -
Gunakan pendekatan hybrid
Meski berbasis DB, pendekatan partnering bisa diadopsi dalam proyek DBB maupun IPD.
Kritik & Kelebihan Paper
Kelebihan:
-
Pendekatan mixed method yang kuat (kuantitatif dan kualitatif)
-
Studi empiris dari proyek aktual
-
Panduan KPI yang aplikatif
Kekurangan:
-
Terbatas pada proyek DB
-
Belum mencakup integrasi teknologi digital seperti BIM dalam pengukuran partnering
Kesimpulan: Membangun Budaya Partnering demi Proyek Berkinerja Tinggi
Partnering bukan sekadar metode manajemen, melainkan budaya kolaborasi yang harus ditanamkan sejak dini. Paper ini telah menunjukkan bagaimana pendekatan yang terstruktur, berbasis KPI, dan didukung oleh stakeholder sejak awal mampu meningkatkan performa proyek konstruksi secara signifikan. Dengan mengadopsi teknik ini, industri konstruksi Indonesia dapat menjadi lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan.
Sumber
Thohirin, A.; Wibowo, M.A.; Mohamad, D.; Sari, E.M.; Tamin, R.Z.; Sulistio, H. (2024). Tools and Techniques for Improving Maturity Partnering in Indonesian Construction Projects. Buildings, 14(6), 1494. https://doi.org/10.3390/buildings14061494