Kegagalan Bangunan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Mengapa Sengketa Akibat Kegagalan Bangunan Jadi Isu Mendesak?
Industri konstruksi adalah tulang punggung pembangunan infrastruktur di Indonesia, namun di balik kemegahan gedung dan jembatan, ada potensi kerentanan hukum yang sering luput diperhatikan: kegagalan bangunan. Tesis Mochamad Yusuf dari Universitas Islam Indonesia menyajikan analisis komprehensif mengenai bagaimana kegagalan bangunan, sebagai bentuk wanprestasi atau kelalaian teknis, dapat memicu konflik hukum antara pengguna dan penyedia jasa.
Dalam konteks hukum, kegagalan bangunan tidak sekadar berarti kerusakan fisik, tetapi mengacu pada situasi ketika bangunan yang telah diserahterimakan tidak berfungsi sebagaimana mestinya, baik sebagian maupun keseluruhan. Ketentuan ini tercantum secara eksplisit dalam Pasal 1 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi.
Latar Belakang dan Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan mengkaji dua aspek utama: mengapa kegagalan bangunan terjadi dalam pelaksanaan kontrak kerja konstruksi, dan bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa dapat ditempuh secara hukum. Yusuf menggunakan pendekatan normatif-doktrinal dengan menganalisis peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, serta studi lapangan dari kasus-kasus nyata.
Studi Kasus: Robohnya Turap Parit Indah, Pekanbaru
Salah satu contoh nyata kegagalan bangunan yang dibahas dalam tesis ini adalah kasus robohnya turap sepanjang 120 meter di Parit Indah, Pekanbaru. Bangunan tersebut bahkan mengalami kegagalan dua kali. Penyelidikan menunjukkan bahwa penyebab utamanya adalah kecerobohan kontraktor dan lemahnya pengawasan dari instansi teknis pemerintah. Analisis teknis juga menemukan ketidaksesuaian dimensi dinding turap terhadap tekanan lateral tanah dan beban kendaraan.
Kasus ini memperlihatkan ketidaktegasan dalam manajemen risiko, mulai dari tahap perencanaan hingga pengawasan, dan menjadi potret buruk profesionalisme dalam konstruksi daerah.
Apa Itu Kegagalan Bangunan Secara Yuridis?
Undang-Undang Jasa Konstruksi menyatakan bahwa kegagalan bangunan terjadi bila bangunan yang telah diserahterimakan:
Sementara itu, KUH Perdata menempatkan kegagalan ini sebagai bagian dari wanprestasi, yaitu tidak terpenuhinya kewajiban kontraktual oleh salah satu pihak.
Faktor Penyebab Kegagalan Bangunan
Yusuf membagi penyebab utama kegagalan bangunan ke dalam aspek hukum dan teknis, antara lain:
Tanggung Jawab Hukum Pihak Terkait
Dalam kontrak konstruksi, terdapat prinsip timbal balik yang menempatkan penyedia dan pengguna jasa pada posisi setara namun berbeda tanggung jawab. Yusuf menegaskan pentingnya prinsip kehati-hatian dan uji tuntas (due diligence) dalam pelaksanaan konstruksi. Setiap pihak yang lalai dapat dimintai pertanggungjawaban berdasarkan hukum perdata, bahkan hingga pidana bila terbukti menimbulkan kerugian besar atau korban jiwa.
Dalam hal terjadi kegagalan bangunan, pihak yang paling memungkinkan digugat adalah kontraktor pelaksana dan konsultan perencana atau pengawas, tergantung posisi dan bobot kesalahannya.
Jaminan Hukum dalam Kontrak Konstruksi
Untuk meminimalkan risiko, kontrak konstruksi umumnya memuat beberapa bentuk jaminan hukum seperti:
Namun, dalam praktiknya, penegakan atas jaminan-jaminan ini sering menemui kendala administratif, kurangnya pemahaman hukum, atau celah dalam kontrak standar.
Penyelesaian Sengketa: Litigasi atau Non-Litigasi?
Yusuf memetakan jalur penyelesaian sengketa ke dalam dua jalur utama:
Non-Litigasi, melalui mediasi, arbitrase, atau negosiasi bilateral. Jalur ini lebih cepat dan efisien secara biaya, serta sesuai dengan semangat Pasal 88 UU Jasa Konstruksi.
Litigasi, yaitu melalui pengadilan umum. Biasanya dipilih jika tidak tercapai kesepakatan damai atau bila terjadi kegagalan besar yang melibatkan unsur pidana atau pengadaan publik.
Kritik dan Evaluasi: Dimana Letak Titik Lemahnya?
Yusuf menyentil bahwa banyak pihak di sektor konstruksi, baik pemerintah maupun swasta, belum memiliki kesadaran penuh akan pentingnya dokumentasi kontrak dan sistem pengawasan yang profesional. Beberapa poin penting:
Lemahnya implementasi hukum kontrak: Perjanjian konstruksi sering kali disusun tanpa mencantumkan sanksi rinci atas kegagalan bangunan.
Tidak optimalnya fungsi LPJK (Lembaga Pengembangan Jasa Konstruksi) sebagai pengawas dan sertifikasi tenaga ahli.
Korupsi struktural dalam pengadaan proyek, seperti indikasi “jual beli pengawasan” atau penerimaan uang pelicin dari kontraktor kepada pengawas lapangan.
Tren Global: Pembelajaran dari Negara Lain
Negara-negara dengan sistem konstruksi maju seperti Jepang dan Australia telah menerapkan sistem professional indemnity insurance sebagai bagian dari kontrak konstruksi. Di Indonesia, wacana ini masih terbatas pada diskusi akademik. Yusuf mengusulkan agar skema asuransi profesi menjadi bagian wajib dalam setiap proyek berskala menengah ke atas.
Saran Solutif dari Penulis
Tesis ini menutup dengan beberapa usulan konkret:
1. Penerapan sistem sertifikasi dan audit kontraktor secara periodik oleh asosiasi profesi.
2. Penguatan legal drafting kontrak kerja konstruksi agar memuat mekanisme penyelesaian sengketa secara eksplisit.
3. Peningkatan kompetensi pengawas proyek dan konsultan pengawas melalui pelatihan dan sistem lisensi.
4. Reformasi dalam sistem tender pemerintah agar tidak hanya mempertimbangkan harga terendah, tetapi juga rekam jejak dan kapasitas teknis penyedia jasa.
Kesimpulan: Menuju Konstruksi yang Bertanggung Jawab
Kegagalan bangunan bukanlah semata-mata kesalahan teknis, tetapi juga refleksi dari lemahnya penegakan hukum kontraktual, buruknya sistem pengawasan, dan budaya kerja yang jauh dari prinsip profesionalisme. Penyelesaian sengketa akibat kegagalan bangunan harus dipandang bukan sebagai jalan buntu, melainkan sebagai upaya korektif dalam meningkatkan kualitas dan akuntabilitas sektor konstruksi nasional.
Tesis Mochamad Yusuf mempertegas bahwa dalam dunia konstruksi, kontrak bukan hanya sekadar formalitas administratif, tetapi dokumen hidup yang menentukan batas tanggung jawab, jaminan kualitas, dan hak-hak pengguna maupun penyedia jasa.
Sumber:
Yusuf, M. (2008). Penyelesaian Sengketa Akibat Kegagalan Bangunan dalam Perjanjian Kerja Konstruksi. Tesis, Program Pascasarjana Fakultas Hukum, Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta.
Keterlambatan Proyek
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Mengapa Proyek EPC Rentan Terlambat di Indonesia?
Proyek EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi andalan dalam pembangunan infrastruktur skala besar di Indonesia, terutama dalam sektor industri pupuk milik BUMN. Model ini menjanjikan efisiensi melalui paket kerja terintegrasi. Namun, janji manis ini seringkali tidak terealisasi. Studi Sarwani dkk. mengungkap bahwa 90% proyek EPC pada periode 2010–2020 mengalami keterlambatan signifikan, meskipun telah menggunakan praktik terbaik dari proyek sebelumnya.
Fakta ini menimbulkan pertanyaan penting: jika pendekatan EPC yang terintegrasi justru memicu keterlambatan, di mana letak masalahnya?
Metode dan Sampel: Representasi Nyata Dunia Proyek
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei terhadap 67 responden kunci yang berasal dari pemilik proyek (BUMN dan anak perusahaannya), kontraktor EPC, serta konsultan desain. Lebih dari 76% responden memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun, dan hampir separuh adalah manajer proyek.
Dengan menggunakan Relative Importance Index (RII) dan Spearman Rank Correlation, peneliti mengidentifikasi 21 faktor penyebab keterlambatan yang dikelompokkan ke dalam tujuh kategori: proyek, pemilik, kontraktor, desain, material, tenaga kerja, dan eksternal.
Sepuluh Penyebab Keterlambatan Paling Kritis
1. Keterlambatan Pengadaan Material dan Peralatan
Menempati peringkat pertama (RII 0.910), keterlambatan ini mengganggu jalur kritis proyek. Masalah seperti pergantian daftar produsen, masalah bea cukai, dan keterlambatan fabrikasi vendor menjadi akar penyebab.
2. Kesulitan Pembiayaan oleh Kontraktor
RII 0.896 mencerminkan bahwa banyak kontraktor yang bergantung sepenuhnya pada pembayaran progres. Jika progres lambat, dana macet, proyek pun tersendat.
3. Perencanaan dan Penjadwalan yang Tidak Efektif
Masalah ini menjadi penyebab klasik (RII 0.884). Jadwal kerja yang tidak realistis, ditambah kurangnya kompetensi perencana proyek, menyebabkan deviasi besar antara rencana dan realisasi.
4. Pemenang Tender adalah Penawar Terendah yang Tidak Layak
Ironi besar muncul ketika proyek diberikan kepada penawar 80% di bawah estimasi pemilik. RII 0.857 menunjukkan bahwa praktik “harga terendah” justru menjadi jebakan biaya dan kualitas.
5. Pekerjaan Ulang karena Kesalahan Konstruksi
RII 0.848. Rework terjadi karena kurangnya pelatihan dan pengawasan mutu. Biaya rework di proyek studi kasus mencapai 3,15% dari total nilai kontrak.
6. Komunikasi dan Koordinasi yang Buruk
Dalam proyek sebesar EPC, minimnya sistem komunikasi formal (bahkan hanya mengandalkan ingatan dan chat pribadi) menjadi penyebab salah paham antar pihak (RII 0.836).
7. Keterlambatan Desain Subkontraktor
Indonesia memiliki tingkat subkontrak yang tinggi dalam proyek EPC. Ketika subkontraktor tidak kompeten atau lambat menyelesaikan desain, seluruh proses mundur (RII 0.833).
8. Perselisihan dalam Pemahaman Kontrak EPC
Kontrak lumpsum sering kali disusun dalam waktu terbatas, dengan spesifikasi yang masih umum. Hal ini memicu sengketa saat proyek berjalan (RII 0.830).
9. Penentuan Durasi Kontrak yang Tidak Realistis oleh Pemilik
Manajemen proyek kadang ditekan untuk mengejar target politik atau kepentingan bisnis jangka pendek, memaksakan durasi tak masuk akal (RII 0.827).
10. Keterlambatan Keputusan Pemilik Terkait Perubahan Desain
Ketika pemilik lambat menyetujui perubahan atau resolusi konflik, proyek mandek (RII 0.815). Kerap kali pemilik harus konsultasi dengan pihak ketiga untuk menghindari konflik kepentingan, yang malah memperpanjang proses.
Analisis Tambahan: Apa yang Membuat Faktor Ini Berbahaya?
Faktor-faktor di atas, meskipun tampak teknis, memiliki implikasi luas. Misalnya, ketergantungan pada pembiayaan dari progres menyebabkan kontraktor kesulitan menalangi pekerjaan awal. Di sisi lain, sistem tender berbasis harga terendah mendorong kontraktor menekan biaya secara tidak sehat, yang berujung pada pekerjaan asal-asalan dan sengketa panjang.
Konsistensi Pandangan antar Pihak
Spearman Rank Correlation menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi antar pemilik, kontraktor, dan konsultan:
Korelasi pemilik–kontraktor: 99,3%
Korelasi pemilik–konsultan: 98,3%
Korelasi kontraktor–konsultan: 97,4%
Hal ini menunjukkan bahwa penyebab keterlambatan bersifat struktural dan tidak sekadar pandangan sepihak.
Perbandingan Internasional: Pola Global yang Mirip
Penelitian ini juga membandingkan temuan dengan negara berkembang lain seperti Vietnam, India, Bangladesh, dan Iran. Hasilnya, penyebab seperti perencanaan buruk, keterlambatan pembayaran, dan konflik desain juga menjadi masalah umum di negara-negara tersebut.
Rekomendasi Mitigasi Keterlambatan Proyek EPC di Indonesia
Untuk Kontraktor:
Untuk Pemilik:
Untuk Konsultan:
Solusi Sistemik:
Opini dan Kritik: Apa yang Bisa Ditingkatkan dari Studi Ini?
Studi ini sudah sangat mendalam dalam identifikasi penyebab. Namun, beberapa catatan penting:
Meski begitu, data empiris dan metode kuantitatif yang digunakan cukup kuat sebagai dasar pembuatan kebijakan mitigasi risiko proyek di masa depan.
Kesimpulan: Saatnya EPC Indonesia Meninggalkan Paradigma "Murah Tapi Mahal"
Studi ini memperlihatkan bahwa sebagian besar keterlambatan proyek EPC di Indonesia disebabkan oleh faktor internal yang bisa dikendalikan, bukan oleh kejadian eksternal seperti cuaca atau politik. Proyek EPC memerlukan sinergi yang kuat antara perencanaan matang, komunikasi lintas aktor, pembiayaan yang sehat, dan sistem tender yang adil.
Jika Indonesia serius ingin meningkatkan kinerja infrastruktur nasional, perlu ada pergeseran paradigma dari sekadar efisiensi biaya menjadi efisiensi keseluruhan proyek—dari hulu ke hilir. Dan studi Sarwani dkk. memberi kita peta jalan awal untuk menuju ke sana.
Sumber:
Sarwani, I. Baihaqi, & C. Utomo. (2024). Causes of Delay in EPC Projects: The Case of Indonesia. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology, 14(2). DOI:10.18517/ijaseit.14.2.19744
Kegagalan Bangunan
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Mengapa Perlindungan Hukum dalam Konstruksi Masih Dipertanyakan?
Industri jasa konstruksi di Indonesia memainkan peran strategis dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, di balik pesatnya pembangunan fisik, tersimpan satu persoalan krusial yang terus menghantui: siapa yang bertanggung jawab jika terjadi kegagalan konstruksi atau bangunan?
Studi ini menyoroti ketimpangan dalam sistem hukum Indonesia yang masih cenderung meletakkan beban tanggung jawab sepenuhnya di pundak penyedia jasa konstruksi, bahkan ketika belum jelas siapa pihak yang sebenarnya bersalah. Di sinilah letak pentingnya penelitian ini: membedah ketidakjelasan regulasi dan mencari titik temu antara tanggung jawab, keadilan, dan perlindungan hukum yang adil.
Perbedaan Antara Kegagalan Konstruksi dan Kegagalan Bangunan: Sebuah Titik Buta Regulasi
Hingga saat ini, terdapat kebingungan mendasar dalam hukum Indonesia mengenai dua istilah penting: building failure dan construction failure. Undang-Undang No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (UUJK) hanya secara eksplisit mengatur kegagalan bangunan, yaitu kondisi di mana bangunan runtuh atau gagal berfungsi akibat kelalaian penyedia jasa, terutama setelah proses serah terima akhir.
Sementara itu, kegagalan konstruksi—yakni hasil pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi kontrak (baik sebagian atau keseluruhan)—justru tidak diatur secara eksplisit dalam UUJK maupun dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 22 Tahun 2020 yang merupakan turunan dari UUJK. Hal ini menciptakan celah hukum yang membingungkan, terutama ketika tanggung jawab hukum langsung dibebankan pada penyedia jasa, tanpa mempertimbangkan apakah pengguna jasa atau faktor eksternal turut berperan.
Data dan Fakta: Konstruksi yang Gagal Tak Sekadar Kesalahan Teknis
Menurut laporan BPK, dari total dana APBN sebesar Rp88,58 triliun untuk lima program prioritas nasional dari 2015 hingga 2018, sebanyak Rp79,64 triliun telah direalisasikan. Namun, terjadi berbagai ketidaksesuaian yang menyebabkan kegagalan pembangunan fisik, termasuk pada proyek infrastruktur yang dikerjakan oleh BUMN. Dari sisi teknis, sekitar 20–40% kegagalan konstruksi terjadi pada tahap pelaksanaan proyek. Bahkan 54% di antaranya disebabkan oleh tenaga kerja yang tidak terampil dan 12% karena mutu material yang buruk.
Secara umum, kualitas pengawasan selama proyek berjalan dinilai lemah. Dalam beberapa kasus, kegagalan baru terdeteksi saat masa pemeliharaan atau bahkan setelah bangunan digunakan. Akibatnya, biaya tambahan untuk perbaikan dapat mencapai 6–12% dari nilai kontrak, belum termasuk biaya pemeliharaan sebesar 5% lagi.
Asuransi dan Jaminan Hukum: Apa Saja yang Sudah Diatur?
Dalam kontrak kerja konstruksi, terdapat sejumlah bentuk jaminan hukum dan proteksi yang diatur, di antaranya:
Asuransi atas Kegagalan Konstruksi dan Bangunan: termasuk klaim pihak ketiga dan kecelakaan kerja.
Namun, dalam praktiknya, efektivitas jaminan ini sangat bergantung pada ketepatan penyusunan kontrak dan pelaksanaannya. UUJK juga mengatur bahwa jika penyedia jasa gagal memenuhi kewajibannya, maka pengguna jasa berhak mencairkan jaminan tersebut. Tapi sekali lagi, beban pembuktian nyaris selalu diletakkan pada penyedia jasa, tanpa adanya mekanisme objektif untuk menilai terlebih dahulu siapa yang salah.
Peran Penting Ahli Penilai Bangunan (Expert Appraiser)
Artikel ini menekankan pentingnya keterlibatan ahli penilai bersertifikat dalam menentukan apakah suatu bangunan mengalami kegagalan dan siapa yang harus bertanggung jawab. Berdasarkan Pasal 60 UUJK, sebelum masuk ke ranah pidana atau perdata, harus ada penilaian dari ahli yang ditunjuk oleh Menteri. Penilaian ini menjadi dasar kuat untuk proses hukum lanjutan.
Ahli yang dimaksud harus independen, kompeten, dan memiliki sertifikasi resmi. Dalam praktiknya, ahli diberi waktu maksimal 90 hari untuk memberikan laporan penilaian setelah menerima laporan kejadian. Namun, sayangnya, belum semua wilayah memiliki akses ke ahli bersertifikat, sehingga banyak kasus mandek atau dinilai secara sepihak oleh pengguna jasa.
Perlindungan Hukum: Antara Preventif dan Represif
Perlindungan hukum terhadap pelaku usaha seharusnya terdiri dari dua aspek:
Sayangnya, artikel ini menunjukkan bahwa mekanisme preventif dalam praktik belum berjalan optimal. Banyak kontrak konstruksi hanya mencantumkan penyelesaian melalui litigasi tanpa tahapan alternatif seperti mediasi atau arbitrase. Padahal UUJK telah mewajibkan klausul sengketa dalam kontrak mencakup semua kemungkinan jalur penyelesaian.
Kasus Nyata: Putusan PN Malang dan Mahkamah Agung
Penulis artikel juga menyoroti kasus dalam putusan PN Malang No. 92/Pdt.G/2015/PN.MLG yang diperkuat dengan putusan MA No. 2667K/Pdt/2017. Dalam perkara ini, Majelis Hakim menggunakan dasar PP No. 29 Tahun 2000 yang sebenarnya telah dicabut dan digantikan dengan PP No. 22 Tahun 2020. Ini menunjukkan lemahnya pemahaman atau pembaruan hukum dalam praktik peradilan, yang dapat berdampak serius pada hasil putusan dan rasa keadilan.
Kritik Terhadap UUJK: Mengapa Belum Adil bagi Pelaku Usaha?
Penelitian ini menyimpulkan bahwa UU No. 2 Tahun 2017 cenderung timpang. Berikut catatan kritisnya:
Rekomendasi: Mewujudkan Keadilan Substantif dalam Industri Konstruksi
1. Revisi UUJK dan PP No. 22 Tahun 2020
Diperlukan penambahan pasal yang mengatur kegagalan konstruksi secara eksplisit, termasuk mekanisme pembuktian dan sanksi bagi pengguna jasa.
2. Wajibkan Sertifikasi Ahli Penilai pada Proyek Publik
Dalam setiap proyek pemerintah, harus ada ahli yang ditunjuk sejak awal untuk mendampingi proses pelaksanaan dan menilai bila ada kegagalan.
3. Tingkatkan Edukasi Hukum bagi Pihak Kontraktor
Banyak penyedia jasa yang belum memahami hak-haknya dalam kontrak. Edukasi tentang legal drafting dan klausul sengketa sangat dibutuhkan.
4. Gunakan Model Kontrak FIDIC atau NEC
Kontrak internasional seperti FIDIC dan NEC memiliki struktur sengketa yang lebih adil, dan bisa diadaptasi secara lokal untuk menciptakan keseimbangan tanggung jawab.
5. Bangun Lembaga Mediasi Independen Khusus Konstruksi
Seperti BANI tetapi berspesialisasi dalam konstruksi, agar tidak semua sengketa langsung masuk ke pengadilan umum.
Kesimpulan: Keadilan Butuh Aturan yang Jelas dan Pelaksana yang Tegas
Studi ini menggambarkan bahwa perlindungan hukum terhadap pelaku usaha konstruksi di Indonesia belum berpijak pada asas keadilan sejati. Ketimpangan regulasi, ketiadaan norma eksplisit soal kegagalan konstruksi, dan kecenderungan menyalahkan penyedia jasa membuat dunia konstruksi menjadi medan berisiko tinggi.
Untuk memperbaikinya, perlu ada keberanian untuk merevisi UUJK secara fundamental, serta memperkuat kapasitas SDM hukum dan teknis di lapangan. Di era pembangunan masif seperti sekarang, keadilan hukum di bidang konstruksi bukan hanya penting, tapi mendesak.
Sumber:
Bhakti, M. P., Mashdurohatun, A., & Soponyono, E. (2024). Legal Protection for Business Actors in Cases of Construction and Building Failure. South East Asia Journal of Contemporary Business, Economics and Law, 32(1). [ISSN 2289-1560]
Limbah Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Limbah Konstruksi: Ancaman Besar di Balik Ledakan Infrastruktur
Indonesia tengah berada dalam periode emas pembangunan infrastruktur. Namun, di balik pertumbuhan pesat tersebut, tersembunyi persoalan serius: limbah konstruksi. Artikel ilmiah karya Heni Fitriani, Saheed Ajayi, dan Sunkuk Kim (2023), yang diterbitkan di jurnal Sustainability, menyajikan analisis komprehensif tentang penyebab mendasar dari limbah di sektor konstruksi Indonesia. Temuan ini menjadi kunci penting dalam upaya mendorong praktik konstruksi berkelanjutan di negara berkembang seperti Indonesia.
Mengapa Penelitian Ini Penting?
Banyak studi terdahulu fokus pada minimisasi limbah di negara maju, namun sedikit yang menggali akar permasalahan di negara berkembang. Mengingat bahwa Indonesia diprediksi menjadi salah satu pasar konstruksi terbesar dunia pada 2030, kegagalan dalam mengelola limbah konstruksi bisa menimbulkan krisis lingkungan berskala nasional.
Metodologi dan Sampel: Suara dari 468 Profesional Konstruksi Indonesia
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan penyebaran kuesioner daring kepada 468 responden dari berbagai peran di industri konstruksi: arsitek, manajer proyek, insinyur sipil, dosen, hingga pemasok material. Data dianalisis menggunakan analisis faktor eksploratori dan reliabilitas statistik (α = 0.893), yang menunjukkan konsistensi tinggi.
Delapan Akar Utama Limbah Konstruksi di Indonesia
1. Manajemen Lapangan dan SDM yang Buruk (14,2%)
Faktor dominan ini mencakup: distribusi tenaga kerja tidak merata, absensi tinggi, komunikasi terbatas, hingga pekerja pindah tugas sebelum menyelesaikan pekerjaan. Hal ini menunjukkan lemahnya pengawasan dan disiplin di proyek konstruksi. Jika dibiarkan, bisa menyebabkan rework, pemborosan waktu, dan kenaikan biaya proyek.
2. Kurangnya Kolaborasi Antar Pemangku Kepentingan (13,2%)
Minimnya koordinasi antara kontraktor, konsultan, dan klien memicu pengambilan keputusan yang keliru, lambannya pembayaran, dan jadwal yang tidak sinkron. Padahal, proyek konstruksi adalah kerja tim lintas entitas.
3. Pengelolaan Peralatan yang Tidak Efektif (9,9%)
Kesalahan dalam pemilihan dan pengoperasian alat, kelebihan alokasi alat berat, serta peralatan rusak, menjadi penyumbang besar limbah. Solusi seperti prefabrikasi dan modularisasi dapat mengurangi limbah hingga 84%.
4. Kelemahan dalam Manajemen Logistik Material (9%)
Penanganan material yang buruk, penggunaan bahan yang salah, dan pembelian yang tidak sesuai kebutuhan menciptakan penumpukan dan pemborosan. Kolaborasi yang kuat dengan pemasok dibutuhkan untuk menyesuaikan pengiriman dengan jadwal proyek.
5. Lingkungan Kerja yang Tidak Kondusif (7%)
Kondisi cuaca ekstrem, vandalisme, dan layout site yang semrawut memperbesar potensi kerusakan material dan penundaan pekerjaan. Perlu desain lapangan yang ergonomis dan aman.
6. Komunikasi yang Buruk di Lapangan (6,8%)
Kurangnya instruksi jelas dari mandor, kekurangan supervisor, dan lemahnya skill komunikasi memicu kesalahpahaman yang berujung pada kesalahan teknis.
7. Perilaku Boros dan Kurangnya Kompetensi (6,7%)
Sikap ceroboh, motivasi rendah, serta kurangnya kesadaran lingkungan menjadi indikator penting. Ini menunjukkan bahwa persoalan budaya kerja dan etika turut berkontribusi terhadap limbah.
8. Kurangnya Pelatihan dan Pengalaman (4,9%)
Minimnya pelatihan formal dalam manajemen limbah membuat tenaga kerja tidak paham prosedur efisien. Hal ini menyulitkan implementasi program waste reduction.
Analisis Tambahan dan Perbandingan Global
Temuan ini sejalan dengan studi di Malaysia, Tiongkok, dan Inggris. Namun, yang membedakan Indonesia adalah dominasi faktor perilaku dan manajerial ketimbang teknis. Negara-negara maju telah menerapkan kebijakan seperti site waste management plans (SWMP) yang mewajibkan tiap proyek memiliki rencana penanganan limbah sejak awal.
Studi Kasus Nyata: Proyek Modular di Hong Kong
Salah satu contoh keberhasilan adalah penggunaan komponen modular di Hong Kong yang mampu menurunkan volume limbah hingga 52%. Jika Indonesia mengadopsi prefabrikasi lebih luas, maka pengurangan limbah bisa terjadi signifikan—bahkan di proyek hunian sederhana.
Rekomendasi Strategis bagi Industri Konstruksi Indonesia
Perlu regulasi nasional yang mewajibkan setiap proyek untuk memiliki SWMP.
Baik tentang pengelolaan material, safety, maupun budaya kerja bersih.
BIM bisa digunakan untuk meminimalisasi limbah sejak tahap desain.
Kontraktor yang berhasil menekan limbah diberi bonus. Yang lalai, dikenai penalti.
Pemasok dapat berperan dalam take-back scheme atau pengemasan ulang efisien.
Kritik terhadap Studi
Studi ini sangat kuat dalam metodologi, namun masih memiliki keterbatasan:
Dampak Praktis: Menyasar Zero Waste Construction di 2045?
Jika Indonesia ingin menyambut era bonus demografi dengan lingkungan yang lestari, maka reformasi pengelolaan limbah konstruksi menjadi keharusan. Temuan Fitriani dkk. bisa menjadi dasar kebijakan nasional menuju konstruksi berkelanjutan. Target zero waste mungkin ambisius, tapi bukan tidak mungkin jika dimulai hari ini.
Sumber:
Fitriani, H., Ajayi, S., & Kim, S. (2023). Analysis of the Underlying Causes of Waste Generation in Indonesia’s Construction Industry. Sustainability, 15(1), 409. DOI:10.3390/su15010409
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Buruknya Kinerja Proyek Konstruksi: Masalah Lama yang Belum Seles
Dalam beberapa dekade terakhir, dunia konstruksi menyaksikan pertumbuhan pesat dalam hal skala, kompleksitas, dan tuntutan teknis. Namun, satu masalah klasik tak kunjung teratasi: buruknya kinerja proyek, terutama keterlambatan dan pembengkakan biaya. Dalam konteks Malaysia, dan bisa dikatakan berlaku pula di negara berkembang lainnya seperti Indonesia, persoalan ini menjadi penghambat utama efektivitas pembangunan.
Tesis ini bertujuan untuk menelisik akar penyebab kinerja buruk dalam proyek konstruksi berdasarkan data lapangan dan telaah literatur, dengan fokus pada kasus-kasus di wilayah Selangor. Fokus utama adalah pada keterlambatan ekstensif, sebagai indikator kinerja buruk yang paling mencolok.
Metodologi: Pendekatan Indeks dan Survei Langsung
Penelitian ini dilakukan melalui survei kuesioner kepada berbagai aktor konstruksi—pengembang, konsultan, dan kontraktor utama—yang pernah terlibat dalam proyek bangunan dan infrastruktur di Malaysia. Total 44 faktor penyebab kinerja buruk diidentifikasi dan dikategorikan ke dalam 8 kelompok besar. Analisis dilakukan menggunakan metode indeks rata-rata (average index) untuk menentukan tingkat keparahan setiap faktor.
Delapan Kategori Besar Penyebab Buruknya Kinerja Proyek
1. Karakteristik Proyek
Kinerja buruk sering kali sudah ditentukan sejak tahap awal proyek. Proyek berskala besar dengan desain kompleks, kurangnya perencanaan detail, dan jadwal yang tidak realistis merupakan pemicu utama. Beberapa proyek jalan tol, misalnya, terhambat karena desain awal yang tidak mempertimbangkan kondisi geoteknik lapangan.
2. Faktor Klien atau Pengembang
Peran klien ternyata sangat krusial. Ketidaktegasan dalam keputusan, perubahan spesifikasi di tengah jalan, serta lambatnya pembayaran sangat berpengaruh terhadap ritme proyek. Dalam banyak kasus, kontraktor tidak dapat melanjutkan pekerjaan karena cash flow terganggu.
3. Faktor Kontraktor
Kurangnya keterampilan teknis, pelatihan yang minim, dan ketidakmampuan manajerial menyebabkan keterlambatan dan kesalahan pelaksanaan. Bahkan, kontraktor yang terpilih karena penawaran terendah cenderung gagal memenuhi standar teknis.
4. Faktor Konsultan
Kinerja konsultan juga tak lepas dari sorotan. Desain yang tidak matang, inspeksi yang tidak disiplin, hingga komunikasi yang lemah dengan tim lapangan menyebabkan miskomunikasi dan pekerjaan ulang. Sebagai contoh, proyek pembangunan rumah susun di Malaysia sempat terhambat karena desain arsitektur yang tidak sinkron dengan struktur.
5. Tenaga Kerja dan Material
Faktor ini mencakup keterlambatan pengiriman bahan, kekurangan material di lokasi, serta pekerja yang tidak kompeten atau tidak cukup jumlahnya. Bahkan, 54% kegagalan konstruksi terjadi karena kualitas tenaga kerja yang rendah dan manajemen logistik yang lemah.
6. Hubungan Kontraktual
Permasalahan hukum dalam kontrak, seperti ketidakjelasan hak dan kewajiban antar pihak, serta kurangnya klausul penyelesaian sengketa, turut memperpanjang durasi proyek. Kontrak yang lemah sering kali menjadi sumber konflik yang berlarut.
7. Prosedur Pengadaan Proyek
Sistem tender yang hanya mengutamakan harga terendah sering kali menjadi jebakan. Proyek diserahkan kepada pihak yang tidak memiliki kapasitas teknis memadai. Selain itu, proses lelang yang panjang dan birokratis menyebabkan proyek mundur sebelum dimulai.
8. Lingkungan Eksternal
Faktor cuaca, regulasi pemerintah, dan masalah sosial seperti protes warga sekitar turut menjadi penyebab. Dalam proyek jembatan antarnegara bagian, misalnya, keterlambatan izin lingkungan menyebabkan proyek tertunda hingga dua tahun.
Tiga Penyebab Utama Berdasarkan Hasil Survei
Dari 44 faktor yang dianalisis, tiga faktor teratas dengan tingkat keparahan tertinggi adalah:
Kolaborasi yang buruk antar pemilik, kontraktor, dan konsultan berpotensi menimbulkan konflik dan kesalahan eksekusi.
Minimnya alur informasi formal membuat keputusan penting tertunda atau tidak dipahami semua pihak.
Kurangnya jiwa kepemimpinan menyebabkan moral kerja menurun dan produktivitas terganggu.
Rekomendasi Perbaikan untuk Industri Konstruksi
1. Perkuat Peran Manajer Proyek sebagai Leader, Bukan Hanya Administrator
Pemimpin proyek perlu dibekali soft skills seperti komunikasi, manajemen konflik, dan motivasi tim.
2. Reformasi Sistem Tender
Gabungkan aspek harga dan kualifikasi teknis untuk memilih kontraktor yang benar-benar kompeten.
3. Audit Desain Sejak Awal
Semua dokumen desain harus diverifikasi oleh tim independen sebelum tahap pelaksanaan.
4. Bangun Tim Terintegrasi Sejak Pra-Konstruksi
Libatkan semua aktor proyek—klien, konsultan, kontraktor—dalam perencanaan agar ada rasa memiliki bersama.
5. Penerapan Teknologi Seperti BIM dan ERP Konstruksi
Penggunaan teknologi dapat mempercepat alur komunikasi, pemantauan progres, dan pengendalian biaya.
6. Standardisasi Dokumen Kontrak dengan Klausul Penyelesaian Sengketa
Kontrak harus jelas dalam mengatur hak, kewajiban, serta mekanisme alternatif penyelesaian masalah seperti mediasi dan arbitrase.
Kritik dan Evaluasi Studi
Tesis ini sangat kuat dari sisi struktur metodologi dan komprehensif dalam pengelompokan faktor. Namun, perlu dicatat beberapa keterbatasan:
Konteks Global dan Perbandingan dengan Negara Lain
Temuan Puspasari sejalan dengan riset di negara lain. Di Indonesia, Kaming et al. (1997) mencatat bahwa 87% proyek high-rise mengalami keterlambatan dan 86% mengalami pembengkakan biaya karena faktor serupa: tenaga kerja, logistik, dan perencanaan yang lemah.
Sementara itu, di Arab Saudi, Assaf & Al-Hejji (2005) menemukan bahwa kurangnya komunikasi dan perubahan desain adalah faktor utama keterlambatan. Ini menunjukkan bahwa isu-isu yang sama muncul di berbagai belahan dunia, meskipun dalam konteks lokal yang berbeda.
Kesimpulan: Akar Masalah Bukan pada Satu Pihak, tapi pada Sistem Kolaborasi
Berdasarkan temuan dalam tesis ini, penyebab buruknya kinerja proyek konstruksi tidak dapat ditimpakan kepada satu aktor saja. Sebaliknya, yang diperlukan adalah reformasi sistemik yang menyentuh seluruh siklus hidup proyek, mulai dari tahap desain, kontraktual, hingga pelaksanaan.
Solusi terbaik bukanlah mencari kambing hitam, melainkan memperbaiki sistem komunikasi, manajemen risiko, dan kolaborasi lintas aktor. Tesis Tatiana Rina Puspasari memberikan peta jalan yang sangat berguna bagi para pengambil keputusan, akademisi, maupun praktisi untuk mulai melakukan perbaikan dari dasar.
Sumber:
Puspasari, T. R. (2005). Factors Causing the Poor Performance of Construction Project. Master’s Thesis, Faculty of Civil Engineering, Universiti Teknologi Malaysia.
Kegagalan Kontruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 31 Mei 2025
Kegagalan Konstruksi Bukan Semata Kecelakaan, Tapi Akumulasi Kesalahan Manajerial
Dalam dunia konstruksi, kegagalan proyek bukan hanya soal bangunan runtuh atau hasil yang tidak sesuai ekspektasi. Artikel ini secara tajam mengungkap bahwa kegagalan konstruksi lebih dalam dari itu—ia adalah cermin dari lemahnya sistem manajemen, ketidakefisienan penggunaan anggaran, serta minimnya pengawasan internal yang memadai.
Amariza dan Mulya merancang studi ini sebagai refleksi kritis terhadap praktik manajemen proyek yang selama ini dianggap cukup “berjalan” karena proyek selesai, meski diwarnai banyak penyimpangan yang terabaikan.
Studi dengan Sudut Pandang Realistis dan Fenomenologis
Berbeda dari riset kuantitatif berbasis angka semata, penelitian ini memanfaatkan pendekatan kualitatif fenomenologis. Observasi lapangan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen dilakukan secara langsung di lingkungan proyek konstruksi, untuk menelisik mengapa perusahaan tetap bertahan meskipun mengabaikan banyak prinsip dasar manajemen proyek.
Data dikumpulkan dari perusahaan konstruksi dengan usia lebih dari 39 tahun, yang menurut peneliti bertahan lebih karena kekuatan relasi bisnis dan portofolio proyek berlapis (portofolio simultan), bukan karena sistem internal yang kokoh.
Manajemen Operasional: Peran Penting yang Masih Diabaikan
Penelitian ini menyatakan bahwa sebagian besar perusahaan konstruksi masih memandang manajemen operasional sekadar pelengkap, bukan fondasi. Lima fungsi utama yang semestinya dijalankan belum terlaksana secara maksimal:
Efisiensi: Penempatan pekerja tidak sesuai keahlian, jam kerja tidak terkontrol, dan pencatatan lembur yang longgar menimbulkan pembengkakan biaya gaji hingga melampaui batas Rencana Anggaran Biaya (RAB).
Produktivitas: Pembelian material sering tidak sesuai dengan kebutuhan aktual. Kelebihan jumlah disebabkan oleh miskomunikasi antara bagian pembelian dan bagian lapangan. Biaya tak terduga seperti ongkos kirim dan biaya penyambungan bahan pun tidak diantisipasi.
Ekonomi: RAP (Rencana Anggaran Proyek) dibuat tanpa rincian item biaya tertentu seperti premi asuransi proyek. Ketidakakuratan ini menyebabkan proyek dibiayai secara ad-hoc, menimbulkan tekanan pada arus kas perusahaan.
Empat Fungsi Manajemen yang Masih Minim Implementasinya
1. Perencanaan (Planning)
Secara dokumen, perencanaan terlihat matang. Tapi di lapangan, pelaksanaannya tidak sesuai. K3LMP (Kesehatan, Keselamatan Kerja, Lingkungan, Mutu, dan Pengamanan) tidak diawasi secara aktif. Akibatnya, standar keselamatan sering dilanggar.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Struktur organisasi memang dibuat, tapi penempatan SDM tidak berdasarkan kompetensi. Bahkan, terdapat indikasi pembentukan struktur proyek demi kepentingan pribadi, seperti pengalihan laba hingga 45% secara tidak wajar dari laba seharusnya.
3. Kepemimpinan (Leading)
Aspek ini hampir absen. Tidak ada mekanisme formal untuk membina dan memotivasi staf. Komunikasi vertikal maupun horizontal minim, padahal ini adalah kunci dalam penyelesaian masalah proyek yang dinamis.
4. Pengendalian (Controlling)
Tidak ada tim pengawas khusus. Penyimpangan prosedur, pengeluaran tak terduga, dan deviasi progres proyek tidak terdeteksi sejak dini. Kontrol hanya dilakukan reaktif, bukan preventif.
Internal Control System (SPI): Komponen Vital yang Terabaikan
Salah satu sorotan penting dari studi ini adalah lemahnya penerapan Sistem Pengendalian Intern (SPI). Tanpa SPI yang berjalan, perusahaan tidak mampu menjamin keandalan laporan keuangan, efisiensi operasional, serta kepatuhan terhadap peraturan.
Konsekuensi dari lemahnya SPI adalah laporan keuangan yang tidak merefleksikan kondisi riil perusahaan. Hal ini berisiko menurunkan kredibilitas di hadapan mitra bisnis, bank, maupun investor.
Mengapa Perusahaan Bisa Bertahan Meski Banyak Kegagalan?
Peneliti menyebut bahwa perusahaan tetap eksis selama lebih dari tiga dekade karena dua hal:
Perusahaan mengelola 4–6 proyek sekaligus. Kerugian dari satu proyek ditutup dari keuntungan proyek lain. Praktik ini dikenal sebagai cross-subsidy, meski tidak sehat dalam jangka panjang.
Layanan yang responsif dan komunikasi informal yang intens menjadi kekuatan perusahaan dalam memenangkan kepercayaan klien, bahkan ketika pengelolaan internal tidak ideal.
Studi Kasus: Pembengkakan Biaya karena Kesalahan Sederhana
Salah satu contoh konkret dalam studi ini adalah pembelian material besi yang salah spesifikasi. Akibatnya, perlu dilakukan pengembalian dan pengiriman ulang. Biaya transportasi tambahan yang tidak tercantum dalam RAP menjadi beban baru yang tidak terkalkulasi sebelumnya.
Kritik terhadap Praktik yang Ada: Strategi Bertahan atau Bom Waktu?
Meski pendekatan survival through relationship masih bisa berjalan dalam jangka pendek, praktik semacam ini tidak berkelanjutan. Risiko reputasi, inefisiensi berulang, dan potensi sengketa kontrak bisa meledak kapan saja. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan transformasi menyeluruh dalam sistem pengelolaan proyek.
Rekomendasi Kunci dari Penelitian Ini
Minimal terdiri dari personel audit internal, manajer lapangan, dan staf administrasi proyek yang rutin melakukan inspeksi.
Rotasi karyawan perlu berbasis kompetensi, bukan kedekatan atau loyalitas.
RAP harus menjadi dokumen hidup yang direvisi sesuai perubahan desain, harga bahan baku, dan kebijakan baru.
Pertemuan mingguan antardivisi wajib dilakukan untuk deteksi dini masalah.
Supplier yang tidak fleksibel atau tidak kooperatif perlu diganti untuk menjaga kelancaran pasokan.
Kesimpulan: Kunci Perubahan Ada pada Niat dan Aksi Serius
Penelitian ini memberi cermin bahwa banyak kegagalan proyek konstruksi bukan karena faktor eksternal seperti cuaca atau peraturan pemerintah, melainkan karena lemahnya tata kelola internal. Manajemen operasional yang dijalankan secara minimalis, tanpa pengawasan yang memadai, pada akhirnya berdampak langsung terhadap efisiensi biaya, kualitas hasil, dan kredibilitas perusahaan.
Jika perusahaan ingin bertahan tidak hanya karena relasi personal tetapi karena kompetensi profesional, maka reformasi manajemen harus dimulai dari sekarang. Transformasi menuju konstruksi modern dan berdaya saing membutuhkan perencanaan matang, pelaksanaan disiplin, serta evaluasi berkelanjutan.
Sumber:
Amariza, M., & Mulya, H. (2019). The Basic Aspects of the Failures Resulted in the Failure of the Construction. Scholars Bulletin, 5(11), 648–657. DOI:10.36348/sb.2019.v05i11.008