Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 19 September 2025
xBukan Soal Jumlah, Melainkan Soal Kualitas dan Kualifikasi
Afrika Selatan, sebuah negara dengan kekayaan sumber daya dan ambisi besar, menghadapi paradoks yang membingungkan dalam sektor konstruksi. Di satu sisi, pemerintah telah mengucurkan investasi besar untuk proyek-proyek infrastruktur, dengan total mencapai R372 miliar sebagai bagian dari program Accelerated and Shared Growth Initiative.1 Pembangunan ini semakin diintensifkan dengan proyek-proyek skala besar yang menyertai ajang global seperti
Piala Dunia 2010 1, menciptakan lonjakan permintaan terhadap tenaga kerja. Namun, di sisi lain, industri konstruksi terus-menerus mengeluhkan kelangkaan tenaga kerja terampil yang parah. Fenomena ini terasa lebih aneh mengingat tingginya tingkat pengangguran pemuda di seluruh negeri, sebuah fakta yang seolah bertolak belakang dengan kebutuhan industri yang sangat besar.1
Melihat ketidaksesuaian yang mencolok ini, sebuah penelitian mendalam dilakukan untuk membongkar akar masalahnya. Hasilnya tidak hanya mengejutkan, tetapi juga mengubah total pemahaman kita tentang krisis tenaga kerja di sektor ini. Laporan ini menunjukkan bahwa masalahnya bukanlah kelangkaan tenaga kerja secara harfiah—karena sebenarnya ada banyak orang yang mencari pekerjaan 1—melainkan kelangkaan tenaga kerja yang memiliki kualifikasi, yaitu "tukang ahli yang berkualitas dan bersertifikat".1 Penelitian ini secara spesifik menyoroti bahwa kekurangan paling akut terjadi pada profesi-profesi yang sifatnya lebih teknis, seperti tukang listrik, tukang pipa, tukang las, dan tukang kayu, yang sangat bergantung pada pelatihan formal dan sertifikasi.1
Apa yang sebenarnya terjadi di balik data ini? Mengapa sertifikasi menjadi "gerbang" yang begitu krusial? Dan yang paling penting, mengapa temuan ini memiliki dampak yang jauh lebih besar dari sekadar masalah tenaga kerja di satu sektor? Untuk menjawabnya, kita perlu menelusuri kisah di balik angka-angka yang disajikan dalam penelitian, menggali hubungan sebab-akibat yang tersembunyi, dan memahami mengapa solusi yang ada saat ini tidak cukup untuk mengatasi masalah yang begitu kompleks ini.
Mengapa Tukang Listrik Lebih Langka daripada Tukang Bata?
Data dari penelitian ini memaparkan gambaran yang sangat jelas tentang jenis tenaga kerja terampil yang paling sulit ditemukan di industri konstruksi. Dalam survei yang dilakukan terhadap para kontraktor, para responden mengungkapkan bahwa mereka mengalami kesulitan terbesar dalam mencari tukang kayu, yang menduduki peringkat pertama dalam daftar kelangkaan.1 Kelangkaan yang parah juga dialami untuk tukang pasang (fitters), tukang listrik, dan tukang pipa, yang menempati posisi teratas berikutnya.1 Angka-angka ini menjadi cerita yang hidup ketika dibandingkan dengan betapa mudahnya mencari tenaga kerja untuk pekerjaan yang kurang teknis, seperti tukang batu, tukang plester, atau tukang cat, yang berada di peringkat terbawah dalam daftar kelangkaan.1
Hubungan yang mencolok muncul ketika kita meninjau temuan kelangkaan ini dengan persyaratan sertifikasi. Hampir 9 dari 10 perusahaan, atau tepatnya 88% dari responden, menyatakan bahwa mereka mensyaratkan sertifikasi bagi tukang listrik sebelum mempekerjakan mereka.1 Persyaratan serupa juga berlaku untuk profesi teknis lainnya, dengan 67% perusahaan mensyaratkan sertifikasi untuk tukang pipa dan 65% untuk tukang las.1 Kontrasnya, hanya sekitar seperlima perusahaan, atau 19%, yang mensyaratkan sertifikasi untuk tukang batu, dan angka ini semakin menurun untuk tukang cat, di mana hanya 8% perusahaan yang memintanya.1
Analisis statistik yang lebih mendalam semakin mengukuhkan hubungan ini. Dengan menggunakan koefisien korelasi Spearman's rho 1, penelitian ini menemukan bahwa nilai rho yang diamati adalah 0.75.1 Angka ini membuktikan adanya hubungan yang sangat signifikan antara kebutuhan akan sertifikasi dan tingkat kelangkaan tenaga kerja yang dirasakan.1 Hubungan ini begitu kuat, seolah-olah kebutuhan akan sertifikasi dan kelangkaan tenaga ahli berjalan beriringan seperti bayangan yang tak terpisahkan.
Dari sini, terlihat jelas bahwa masalahnya bukanlah ketersediaan individu yang bersedia bekerja, melainkan ketersediaan individu yang dapat membuktikan keahliannya melalui sertifikasi formal. Permintaan akan pekerja teknis seperti tukang listrik dan tukang pipa meningkat seiring dengan proyek-proyek infrastruktur modern, yang secara inheren membutuhkan keahlian yang terverifikasi demi alasan keselamatan dan presisi. Verifikasi ini, dalam bentuk sertifikasi formal, menjadi sebuah "gerbang" yang sempit. Semakin tinggi persyaratan sertifikasi, semakin sedikit orang yang dapat memenuhi syarat, yang secara langsung menciptakan kelangkaan, meskipun mungkin ada banyak individu yang telah memiliki pengalaman praktis. Ini menunjukkan bahwa masalahnya bukan pada ketersediaan tenaga kerja, tetapi pada kemampuan untuk memverifikasi dan mengakui keahlian tersebut.
Cerita di Balik Data: Kualitas yang Tak Terbantahkan
Penelitian ini tidak hanya berhenti pada masalah kelangkaan dan sertifikasi, tetapi juga mengkaji dampak nyata dari ketiadaan sertifikasi terhadap kualitas hasil kerja. Hasil survei menunjukkan bahwa ada "perbedaan yang sangat tinggi" dalam kualitas pekerjaan yang dihasilkan oleh tukang listrik, tukang pipa, dan tukang las yang bersertifikasi dibandingkan dengan yang tidak.1 Data ini seolah menjadi justifikasi bagi para kontraktor untuk sangat mengutamakan sertifikasi. Mereka berinvestasi pada pekerja bersertifikasi karena mereka yakin akan mendapatkan hasil yang konsisten dan berkualitas tinggi, yang pada akhirnya akan mengurangi biaya pengerjaan ulang dan memastikan keselamatan di lokasi kerja.1
Untuk memahami lebih dalam, hasil wawancara dengan para kontraktor menambahkan lapisan wawasan yang penting. Seorang responden dari perusahaan besar mengungkapkan bahwa perusahaan seperti miliknya idealnya memiliki "kolam" pekerja terampil yang dipekerjakan secara permanen. Namun, ia juga mengakui bahwa perusahaan sering menggunakan broker tenaga kerja untuk memenuhi kebutuhan tenaga kerja jangka pendek dan untuk proyek-proyek spesifik.1 Walaupun demikian, perusahaan tetap membutuhkan pekerja inti yang bersertifikasi untuk memastikan kualitas dan konsistensi pekerjaan mereka, karena hal ini secara langsung memengaruhi profitabilitas perusahaan.1 Ini menunjukkan bahwa sertifikasi tidak hanya dilihat sebagai formalitas, tetapi sebagai sebuah "mekanisme kualitas dan kepercayaan" yang vital di industri yang menuntut presisi dan memegang risiko tinggi.
Dengan demikian, studi ini menyiratkan bahwa sertifikasi berfungsi sebagai jaminan kualitas dan mengurangi risiko bagi perusahaan. Tanpa sertifikasi, perusahaan menghadapi ketidakpastian tinggi terkait kualitas pekerjaan, yang dapat menyebabkan kerugian finansial. Ini menjelaskan mengapa para kontraktor bersedia menghadapi kesulitan dalam mencari pekerja bersertifikasi, karena bagi mereka, risiko yang lebih besar adalah mempekerjakan pekerja yang tidak terverifikasi keahliannya. Kurangnya sertifikasi menyebabkan ketidakmampuan untuk memverifikasi keahlian secara objektif, yang pada gilirannya mendorong perusahaan untuk hanya mengandalkan pekerja inti bersertifikasi. Hal ini memperburuk kelangkaan yang sudah ada, menciptakan sebuah siklus yang sulit diputus.
Menggali Akar Masalah: Mengapa Jalan Menuju Sertifikasi Begitu Sulit?
Krisis ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Di balik masalah sertifikasi, terdapat faktor-faktor yang lebih dalam dan saling terkait yang menjadi penyebab utama kelangkaan tenaga kerja terampil. Berdasarkan survei terhadap para kontraktor, faktor-faktor yang paling dominan dalam menciptakan kelangkaan tenaga kerja adalah kurangnya pendidikan dasar yang berkualitas, kondisi ekonomi, dan persyaratan sertifikasi wajib.1
Mari kita bedah keterkaitan di antara faktor-faktor ini. Kurangnya pendidikan dasar yang baik dapat menghambat individu untuk masuk ke lembaga pendidikan dan pelatihan formal seperti perguruan tinggi kejuruan 1, yang merupakan jalan utama untuk mendapatkan sertifikasi. Kondisi ini ironis, karena sistem pendidikan yang seharusnya menjadi solusi, justru menjadi bagian dari masalah itu sendiri. Lebih jauh lagi, salah satu responden wawancara mengungkapkan bahwa "hanya sedikit orang yang bersertifikat" karena kurangnya "pusat pelatihan yang diakui dan memiliki standar tinggi".1 Ini adalah kritik realistis terhadap infrastruktur pelatihan yang ada, yang gagal menyediakan jalan yang jelas dan efektif bagi para calon pekerja untuk mendapatkan keahlian yang dibutuhkan.
Masalah ini adalah sebuah lingkaran setan. Sistem pendidikan dasar yang lemah menghasilkan lulusan yang tidak siap untuk pelatihan teknis formal. Tanpa pelatihan ini, mereka tidak bisa mendapatkan sertifikasi yang diakui. Tanpa sertifikasi, mereka dianggap tidak terampil oleh industri, meskipun mungkin telah bertahun-tahun bekerja secara informal di lapangan. Ini menciptakan jurang yang lebar antara "ketersediaan" tenaga kerja dan "kualifikasi" yang dibutuhkan industri. Di saat yang sama, kondisi ekonomi yang tidak stabil menciptakan "siklus" di mana industri mengalami pasang surut. Saat resesi, perusahaan terpaksa melakukan perampingan atau bahkan bangkrut, menyebabkan pekerja terampil beralih ke sektor lain.1 Ketika ekonomi pulih, para pekerja ini enggan kembali ke industri konstruksi, memperburuk kelangkaan yang sudah ada.1 Kombinasi dari faktor-faktor ini menciptakan lingkungan yang tidak kondusif bagi pertumbuhan tenaga kerja terampil yang stabil dan berkelanjutan.
Jalan Keluar Menuju Masa Depan Konstruksi yang Lebih Kokoh
Menghadapi masalah yang sistemik ini, penelitian menawarkan sebuah jalan keluar yang pragmatis dan inovatif. Daripada hanya berfokus pada pelatihan pekerja baru (yang membutuhkan waktu bertahun-tahun), studi ini merekomendasikan perlunya pemerintah Afrika Selatan untuk membuat sebuah "kerangka kerja" yang proaktif.1 Kerangka ini bertujuan untuk mengevaluasi, mensertifikasi, dan menilai keahlian yang telah diperoleh pekerja secara informal melalui pengalaman bertahun-tahun di lokasi kerja.1
Mengapa solusi ini begitu penting? Kerangka ini akan menjembatani kesenjangan antara pengalaman praktis dan pengakuan formal. Ini membuka jalan bagi ribuan pekerja yang saat ini dianggap "tidak terampil" oleh industri, untuk diakui secara resmi dan mengisi kekosongan tenaga ahli. Ini adalah sebuah perubahan paradigma dari "melatih pekerja baru" menjadi "mengakui dan memverifikasi keahlian yang sudah ada di lapangan." Pendekatan ini adalah solusi yang jauh lebih cepat dan efisien untuk mengatasi kelangkaan dalam jangka pendek hingga menengah.
Jika diterapkan, pasokan tenaga ahli bersertifikasi akan meningkat secara signifikan. Hal ini akan memungkinkan perusahaan untuk mempekerjakan lebih banyak pekerja yang terverifikasi, yang pada akhirnya akan meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya pengerjaan ulang, dan secara signifikan meningkatkan kualitas infrastruktur yang dibangun. Di sisi lain, para pekerja akan mendapatkan pengakuan formal yang dapat meningkatkan pendapatan dan prospek karier mereka. Ini adalah sebuah solusi yang akan menciptakan situasi saling menguntungkan bagi pekerja maupun industri, serta memberikan stabilitas jangka panjang bagi sektor konstruksi. Selain itu, penelitian juga merekomendasikan strategi lain, seperti memberikan subsidi untuk sekolah kejuruan dan memperkuat pendidikan menengah untuk meningkatkan kemungkinan individu yang mumpuni memasuki bidang teknis.1
Penutup: Dampak Nyata dan Masa Depan yang Menjanjikan
Pada akhirnya, penelitian ini bukan hanya tentang kekurangan tukang bangunan. Ini adalah cerminan dari tantangan struktural yang dihadapi oleh banyak negara berkembang: bagaimana menjembatani kesenjangan antara ketersediaan tenaga kerja dan kebutuhan industri yang semakin teknis. Jika rekomendasi utama dari studi ini, yaitu kerangka kerja untuk mengakui keahlian informal, diterapkan secara nasional, temuan ini bisa mengubah wajah industri konstruksi Afrika Selatan. Pengakuan atas keahlian yang sudah ada dapat meningkatkan produktivitas, mengurangi biaya pengerjaan ulang, dan secara signifikan meningkatkan kualitas infrastruktur publik dalam waktu lima tahun.
Studi ini adalah sebuah panggilan untuk bertindak, tidak hanya bagi industri konstruksi, tetapi juga bagi pemerintah dan sistem pendidikan. Ini menekankan pentingnya sistem pendidikan dasar yang kuat, peran sertifikasi sebagai jaminan kualitas, dan perlunya pemerintah untuk beradaptasi dengan realitas pasar tenaga kerja yang terus berubah. Mengatasi masalah ini berarti membuka jalan bagi pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan menciptakan peluang yang adil bagi seluruh lapisan masyarakat.
Sumber Artikel:
Windapo, A. O. (2016). Skilled labour supply in the South African construction industry: The nexus between certification, quality of work output and shortages. SA Journal of Human Resource Management, 14(1), 1-8.
Sains & Teknologi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 18 September 2025
Seperti cerita fiksi, bayangkan saat kamu sedang duduk santai di halaman rumah pada malam yang tenang. Tak disangka, muncul tamu tak diundang di langit luas kita—sebuah bintang kecil melintas melewati Tata Surya kita. Sekilas kita tidak merasakannya, tapi menurut studi terbaru, peristiwa seperti ini pernah terjadi dan meninggalkan jejak yang dramatis.
Biasanya, ketika berpikir tentang Tata Surya, kita membayangkan delapan planet berbaris rapi di satu bidang orbit dengan hampir semua planet bergerak di bidang yang sama. Namun kenyataannya tak sesederhana itu. Ribuan objek kecil—yang dikenal sebagai objek trans-Neptunian (TNO)—mengapung jauh di luar orbit Neptunus dengan jalur yang aneh: melengkung tinggi dan sangat miring. Kamu bisa membayangkan ribuan mobil yang diparkir di lapangan luas, lalu tiba-tiba banyak di antaranya miring ke segala arah, seolah tersapu angin kosmik.
Para peneliti pun terheran-heran: apa yang bisa membuat benda-benda kecil ini “melenting” keluar jalur biasa mereka? Di sinilah penelitian baru berperan. Mereka mulai bereksperimen dalam bentuk analogi sehari-hari: menyelidiki apakah ada “objek misterius” yang datang seolah menyapu garis lingkaran itu.
Bayangkan jika suatu hari seorang anak melempar bola besar dengan sangat cepat di lapangan piknik: semua gelas dan cemilan yang tersusun rapi di pinggir meja bisa terjatuh ke segala sisi. Dalam konteks Tata Surya, “benda misterius” ini adalah bintang lain yang dulu melintas sangat dekat dengan Matahari, meninggalkan riak yang mengguncang orbit objek-objek di pinggiran Tata Surya kita.
Peneliti Menyelidik Simulasi Luar Angkasa
Para peneliti tidak sekadar berteori—mereka menciptakan kembali kejadian tersebut di komputer. Bayangkan bermain konstruksi canggih: para ilmuwan menjalankan lebih dari 3.000 simulasi komputer, mencari kombinasi parameter yang pas. Mereka mengubah variabel seperti massa bintang pendatang, jarak terdekatnya ke Matahari, dan sudut datang. Setelah ribuan percobaan, ditemukan satu kombinasi pemenang: sebuah bintang seberat sekitar 0,8 massa Matahari kita melintas pada jarak sekitar 110 satuan astronomi (AU), dengan sudut kemiringan sekitar 70°[1].
Simulasi di atas memperlihatkan efek dari bintang tamu yang lewat, menyerupai riak besar yang menggelombang permukaan kolam. Saat “batu” besar (bintang) meluncur melewati batas, “air” orbit objek-objek kecil bergelombang dan posisinya berubah[1]. Dengan analogi semacam ini, ide abstrak menjadi lebih mudah dibayangkan. Studi ini bahkan memprediksi bahwa peristiwa flyby semacam ini tidak langka—setidaknya ratusan juta bintang mirip Matahari di galaksi kita mungkin pernah mengalami kejadian serupa.
Bulan-Bulan Tak Biasa
Penemuan mengejutkan lain muncul saat tim peneliti menghubungkan asal-usul bulan-bulan tak beraturan di sekitar planet-planet raksasa. Sebelumnya, orbit bulan ini (misalnya yang berputar berlawanan arah atau sangat miring) adalah misteri tersendiri. Kini, temuan baru menunjukkan bahwa peristiwa flyby bintang itu juga bisa menjelaskan kemunculan mereka. Studi simulasi menunjukkan sekitar 7,2% dari populasi objek di luar Neptunus terlempar masuk ke wilayah dekat planet-planet raksasa, dengan 85% sisanya terlempar keluar dari tata surya[2].
Apa yang Bikin Saya Terkejut?
Saya pribadi dibuat takjub saat membaca hasil penelitian ini. Gambaran bahwa bintang lain pernah menyapa “halaman belakang” tata surya kita—seperti tamu bersepeda lewat yang mengacak mainan anak-anak—membuat konsep yang berat ini mendadak terbayang dalam keseharian. Dengan analogi sederhana, penelitian ini mengajak kita merasa berada di tengah panggung besar semesta sambil menonton adegan dramatis terulang di sekitar kita.
Namun, ada bagian dari penjelasan yang membuat saya berpikir, “Hmm, ini agak sulit dicerna.” Cara para peneliti meraba-raba ribuan simulasi dengan parameter teknis tentu sangat mendalam, dan mungkin agak abstrak untuk pembaca awam (termasuk saya sendiri saat pertama kali mencoba memahaminya). Mungkin diperlukan lebih banyak ilustrasi atau visualisasi sederhana agar konsepnya lebih mudah dimengerti tanpa latar belakang ilmiah. Untungnya, data baru dari Teleskop Rubin yang akan datang dijanjikan dapat memberikan bukti yang lebih nyata dan mendekatkan temuan ini ke kenyataan.
Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini
Sekalipun temuan ini tentang bintang dan planet jarang kita rasakan langsung, maknanya bisa diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, studi ini mengingatkan saya bahwa masalah kompleks terkadang membutuhkan solusi di luar jalur biasa. Dalam bekerja atau belajar, kadang kita terjebak pada kerangka pikir lama, padahal sebentar lagi “bintang tamu” bisa datang dan mengacak-nacak segala jadwal atau asumsi kita. Oleh sebab itu, penting untuk punya fleksibilitas mental dan kreativitas. Siapa tahu, inspirasi cemerlang bisa datang dari tempat tak terduga—seperti bintang yang tak terduga melintas di angkasa.
Jika kamu tertarik mengulik topik seperti ini lebih jauh, cobalah ikuti kursus online sains dan teknologi. Misalnya, DiklatKerja menyediakan berbagai materi yang bisa memperkaya pemahamanmu. Mereka membantu menghubungkan konsep rumit dengan contoh sehari-hari, persis seperti yang dicoba penelitian ini.
Kalau kamu tertarik dengan ini, coba baca paper aslinya (link di bawah). Artikel di Nature Astronomy ini layak dijelajahi lebih lanjut jika ingin mendalami studi skala luar biasa ini. Jangan ragu selami ilmu dengan cara kreatif—karena di balik kompleksitas alam semesta, kita bisa menemukan inspirasi menakjubkan.
Psikologi
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 18 September 2025
Bayangkan kamu bangun pagi, lelah selepas begadang nonton drama di smartphone. Daripada membuka media sosial lagi, kamu memutuskan pergi ke taman terdekat, menghirup udara segar. Setelah 40 menit jalan santai di bawah pohon rindang, siapa sangka otakmu sebenarnya ‘terisi ulang’. Riset terbaru bahkan meneliti efek sederhana ini: apakah jalan di alam bisa meningkatkan fungsi otak kita? Ternyata, ada bukti ilmiah yang menarik tentang ‘magisnya’ alam untuk pikiran. Yuk, ikuti cerita perjalanan riset ini—dari cerita pribadi hingga implikasi nyata bagi kita semua.
Studi Ini Mengubah Cara Kita Memahami Kelelahan Pikiran
Beberapa tahun terakhir, banyak orang sudah merasakan: terlalu lama di depan layar PC atau gadget bikin kepala cenat-cenut dan fokus melorot. Peneliti Amy McDonnell dan David Strayer dari University of Utah tertarik membuktikan betapa berbeda efek jalan di alam dibanding jalan di perkotaan. Dalam studi berlabel “Immersion in nature enhances neural indices of executive attention” (2024), mereka melakukan randomized controlled trial dengan 92 relawan dewasa. Setiap orang mengerjakan tes perhatian bernama Attention Network Task (ANT) sebelum dan sesudah jalan santai 40 menit. Kelompok pertama jalan di jalur hijau alami (arboretum), kelompok kedua di rute urban (sekitar kampus). Yang menarik: setelah jalan, peserta yang ke alam melaporkan perjalanannya lebih menyegarkan dibanding yang di kota[1]. Lebih penting lagi, hasil tes otak mereka menunjukkan perbedaan nyata.
Para peneliti memakai EEG (elektroensefalogram) untuk mengukur tiga aspek perhatian: alerting, orienting, dan eksekutif (pengendalian kesalahan). Ini semacam menangkap gelombang listrik otak saat peserta bereskan tugas di komputer. Tiba-tiba, rute sehari-hari berubah jadi eksperimen neuro-kognitif. Dan hasilnya wow: hanya mereka yang berjalan di alam mengalami peningkatan dalam amplitudo ERN (error-related negativity)—penanda otak kita mendeteksi kesalahan dan mengatur ulang perilaku berikutnya. Sementara kelompok kota tidak menunjukkan peningkatan itu[1]. Singkatnya, jalan di alam tampaknya memperkuat kapasitas kontrol eksekutif otak kita dari sisi neuron[1].
Studi ini membuka mata: alam bukan cuma pemandangan indah di Instagram. Menurut teori Attention Restoration, karakteristik alam (pepohonan, awan bergerak perlahan, suara air) memikat perhatian secara effortless, memberi jatah istirahat bagi sistem perhatian otak[1]. Lewat eksperimen ini, ditemukan bukti konkret: gelombang otak yang mengukur kepekaan terhadap kesalahan (“uups, tadi salah!”) jadi lebih kuat setelah jalan di alam. Bayangkan layaknya baterai handphone: kerja nonstop bikin baterai kelelep, tapi “mode alam” ini charger kilat buat otak!
Apa yang Bikin Saya Terkejut
Awalnya saya skeptis. Masa cuma jalan-jalan bisa mengalahkan jalan biasa? Ternyata yes. Menariknya, efek positif di otak ini tidak hanya disebabkan oleh olahraga ringan itu sendiri. Kedua kelompok (alam vs kota) berolahraga dengan kecepatan sama, jalur dibuat sejauh mungkin setara. Bedanya hanya scenery dan suasana. Soalnya, peserta yang jalan di kota juga dapat olahraga selevel, tapi tidak mengalami peningkatan ERN apa-apa. Jadi pendorong utamanya memang suasana alamnya. 😲 Ini kejut banget!
Satu analogi sederhana: bayangkan otak kita itu gelas penuh air (perhatian). Setiap tugas sibuk itu menegangkan otot gelas, membuat stres (air tumpah). Jalan di kota ibarat mengocok gelas, mungkin ada ruangan baru tapi tetap banyak distraksi. Sedangkan alam seperti menuang air perlahan-lahan, pelan tapi pasti gelas bisa diisi ulang dengan tenang. Peneliti melabelnya “restorative” karena pesertanya benar-benar melaporkan perasaan lebih segar usai ke alam[1].
Sayangnya, penjelasannya agak teknis: error-related negativity, EEG, kontrol eksekutif. Jujur, pas baca bagian metode saya agak nganga karena terbilang ‘ilmiah abstrak’ buat awam. Untuk pemula, istilah-istilah ini nggak langsung kena. Tapi intinya, bandingkan reaksi otak pas kita salah langkah (misal salah tekan tombol). Gelombang ERN jadi indikator seberapa cepat otak sadar “Waduh salah!”. Dalam studi ini, amplitude ERN lebih besar usai jalan alam—artinya otak peserta jadi lebih cekatan menyadari kesalahan. Isinya mirip begini: “Peserta yang ke alam punya gelombang otak kesalahan lebih kuat setelah jalan dibanding yang ke kota”[1]. Hmm, agak rumit kan? Tapi baca skrinnya berkali-kali, saya pahamlah akhirnya.
Sub-analisis lainnya malah mengejutkan: walaupun gelombang ERN berubah, kinerja tes reaksi (percepatan tekan tombol) kedua grup tetap serupa. Artinya, fisiknya mungkin sama-sama capek setelah jalan, tapi alam bisa bikin pola internal otak mereka lebih sigap walau kita nggak lihat dengan mata telanjang[2]. Jadi kalau sekadar bandingkan waktu tugas, nggak kelihatan bedanya. Namun alat EEG “mengendus” bedanya! Beberapa orang mungkin heran, kok data gelombang otak berani-beraninya disimpulkan? Meski begitu, peneliti menjelaskan, EEG menangkap proses bawah sadar yang belum tentu tercermin di performa. Mereka menyebut, proses memonitor kesalahan dalam otak kita adalah bagian eksekutif yang mungkin lebih sensitif ke efek alam[2].
Kritik halus saya, studi ini memang oke, tapi susunan datanya padat banget. Pembahasan panjang lebar, seolah memerlukan latar belakang psikologi. Pemula yang cari jawaban “apakah alam itu obat stres?” mungkin merasa tersesat di lautan statistik dan istilah teknis. Peneliti sendiri mengakui pembedaannya bisa kompleks. Bagian kesimpulannya menyebutkan, “Hasil ini menunjukkan kekuatan EEG untuk mengungkap manfaat alam bagi kognisi manusia”[3]—tapi di titik ini saya cuma mikir, “Yes, tapi gimana praktiknya buat saya?”
Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini
Kendati begitu, ada pelajaran praktis. Riset ini mengingatkan bahwa kadang kita terjebak pola pikir: semuanya bisa diselesaikan di dalam gedung atau di depan layar. Ternyata, cara otak kita istirahat berbeda-beda. Ada kalanya cukup rehat sejenak dengan mata, bukan sekadar menutup mata. Buktinya, hanya menatap pohon-pohon atau mendengar dedaunan berbisik bisa “menghidupkan” ulang sistem pengendalian kita. Hal ini mirip logika olahraga: perihal otot dan pikiran mirip, kasih waktu pulih setelah latihan berat.
Praktiknya? Coba sediakan waktu 40 menit seminggu untuk “jalan santai pikiran”. Keluar ke taman, nikmati pemandangan tanpa gadget. Ajak teman bercerita ringan, atau jalan sendirian sambil tarik napas dalam-dalam. Nggak perlu niat berolahraga berat seperti atlet—yang penting suasananya alami. Paper ini bahkan memberi impresi seolah alam jadi trainer pribadi otak kita. Lebih jauh, bisa juga dikaitkan dengan kursus atau kegiatan yang mendukung: misalnya kursus online tentang ergonomi kognitif atau kesehatan mental di platform pelatihan seperti DiklatKerja (ini sekadar contoh tempat belajar online relevan, banyak pilihan kursus praktis di sana).
Oh ya, sebagai tambahan keren: peneliti menegaskan kedua grup jalan itu dibikin sebanding dari segi jarak, kecepatan, dan waktu. Bahkan rute alam dibuat berkelok-kelok supaya peserta nggak mikir navigasi terus. Dengan kata lain, efeknya murni dari atmosfer alam, bukan karena jalan yang lebih mudah. So, setiap kali kamu merasa lelah kerja di depan komputer, pergilah ke ruang terbuka hijau. Bukan hanya buat badan, tapi otakmu benar-benar “ngisi” kembali.
Terakhir, perlu diingat juga konteksnya. Apalagi kalau kamu baru menjajal dunia neurosains, hasil ini tetap subjektif. Mungkin efeknya lebih terlihat di laboratorium ketimbang langsung ke run waktu ujian. Namun saya yakin, beristirahat di alam punya dampak nyata bagi mood dan kinerja kita, setidaknya dari sisi mental. Yang juga menarik, ada teori lain (Stress Recovery) menyatakan alam membantu turunkan stres secara otomatis. Jadi jalan santai bisa jadi obat stres ganda: otak direstorasi sekaligus mood diperbaiki.
Kalau kamu penasaran dengan detail ilmiahnya, baca langsung papernya deh—link DOI ada di bawah. Siapa tahu kamu tertarik terjun dalam neuroscience, atau cuma sekadar butuh ide sejenak kabur dari kota. Pun jika hanya ingin belajar “cara lain” memperbaiki fokus kerja atau belajar, satu hal jelas: kita sudah punya laboratorium gratis di luar rumah.
Kalau kamu tertarik mendalami ini, cek paper aslinya berikut: Baca paper aslinya di sini. Selamat mencoba “forest bathing” sendiri—alam menanti untuk diulik!
Ekologi Laut
Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 18 September 2025
Suasana restorasi laut: penyelam profesional menanam terumbu karang di dasar laut, seolah menata taman bawah air. Bayangkan kamu ikut menyulap area karang mati jadi kehidupan baru… Begitu cerah harapan yang muncul dari studi terbaru ini[1]. Sebelumnya, saya kira memulihkan terumbu karang itu mustahil seperti menanam pohon di Mars; eh ternyata penelitian menemukan sekitar 64% proyek restorasi laut berhasil[1]. Artinya, hampir dua pertiga upaya pemulihan terumbu, lamun, dan hutan biota bawah laut berbuah sukses. Lebih mengejutkan lagi, keberhasilan itu tak hanya di laut dangkal yang terawat, melainkan juga di perairan dalam dan area yang masih tercemar manusia[1][2].
Membaca hasil studi ini seperti mendapat peta rahasia bercocok tanam: ternyata ternyata restorasi ekosistem laut bisa semudah menyulap kebun pribadi. Secara sederhana, tim peneliti melakukan meta-analisis dari 764 proyek restorasi di seluruh dunia[1] – bayangkan, ratusan tim menyebar di berbagai samudra, mengamati hasil penanaman karang, penanaman lamun, dan penanaman bakau. Hasilnya? Rata-rata 64% tumbuhan laut berumur panjang dan menciptakan lingkungan baru untuk biota laut hidup[1]. Lebih dari setengah peluang sukses ini, jangan dibilang sedikit! Malahan, restorasi justru sangat berhasil di padang lamun pesisir dan karang tropis, habitat-habitat laut yang dulu terancam punah[1].
Di akhir hari saya terbayang: jika ini diibaratkan seperti mengatur jadwal harian, artinya kita bisa meremajakan “terumbu karang jadul” seperti memperbarui to-do list lama. Sebelum ada penelitian ini, banyak orang (termasuk saya) mikir restorasi laut itu membosankan dan rumit – apalagi kalau lingkungan laut masih kotor – seperti menunggu cuaca sempurna sebelum berkebun. Tapi hasil studi berkata: mulailah saja! Restorasi ternyata berhasil bahkan di lahan yang belum bersih total[2]. Anda tak perlu menunggu semua polutan menghilang; cukup lakukan intervensi cerdas, sebar bibit karang di titik yang strategis, dan biarkan alam bekerja[2].
Apa yang Bikin Saya Terkejut
Satu hal yang benar-benar mengejutkan: Skala besar tidak menghalangi keberhasilan. Biasanya kalau merawat taman atau kebun, kita pikir makin luas lahan, makin susah. Tetapi penelitian ini justru menemukan restorasi laut sukses di semua skala[1]. Artinya, kita bisa membangun lahan karang besar bukan dengan satu proyek raksasa, tapi dengan menumpuk banyak proyek kecil di berbagai titik. Analogi sederhananya, bayangkan menanam ribuan tanaman dalam pot kecil di seluruh halaman; harganya lebih murah dan lebih mudah pengaturannya daripada menanam pohon raksasa sekali jalan. Begitulah restorasi laut: dengan “intervensi berjatuhan” di area bersebaran, hasilnya sama memukau[1].
Yang tak kalah penting, restorasi bisa dimulai segera tanpa menunggu kondisi sempurna. Penelitian ini menunjukkan, restorasi laut berhasil meski sumber polusi masih ada[2]. Artinya, pemula seperti kita bisa mulai “menanam bibit” di spot-spot tercemar sekarang juga. Misalnya, jika kamu adalah petani rumput laut di pantai yang tersentuh limbah, jangan tunggu menuntaskan semua polusi dulu – mulai saja praktek restorasi sembari memerangi polusi. Studi ini memberi lampu hijau bahwa restorasi tetap efektif di lokasi berdampak manusia[2].
Saya terbayang-bayang analogi berikut: mengembalikan kehidupan laut seperti menulis ulang kode program usang. Kamu tak perlu menghapus semua bug dulu – cukup deploy patch sambil berjalan, dan lihat sistem pulih secara bertahap. Begitu juga laut: nyalakan kembali “ekosistem terprogram” sedikit demi sedikit, dan alam akan membangkitkan sisanya. Pelajaran ini membuka mata saya: agar restorasi punya dampak nyata, langsung eksekusi sekarang juga, jangan hanya diskusi tanpa aksi[2].
🚀 Hasilnya: Keberhasilan Rata-rata 64%[1]
🧠 Inovasinya: Banyak Proyek Kecil, Dampak Besar[1]
💡 Pelajaran: Mulai Aja Sekarang, Meski Lingkungan Belum Sempurna[2]
Menyelam Lebih Dalam: Apa Artinya bagi Kita
Dengan nada harapan ini, saya jadi membayangkan masa depan waduk dan terumbu karang. Misalnya di Indonesia: peneliti dan pemerhati lingkungan bisa terinspirasi untuk merestorasi karang-karang rusak di Raja Ampat atau menyelamatkan hutan mangrove di Riau. Pelajaran praktisnya, kita bisa membentuk tim kecil ahli lokal dan penyelam, setiap tim memulihkan area terdegradasi, tanpa harus mencanangkan program besar mahal dulu. Seperti si tukang kebun laut modern, kita bisa mulai tanam bibit terumbu pada lorong-lorong karang mati—dan tunggu mereka tumbuh seperti kerja taman komunitas.
Sebagai pembaca awam, tentu saya masih bertanya-tanya: seberapa mudah melakukan ini sendiri? Mungkin masih terasa abstrak, karena studi ini sangat aglomeratif dan global. Meski demikian, kita sudah punya modal data kuat: keberhasilan 64% itu bukan mitos. Namun tantangannya adalah menerjemahkan teori ini ke aksi konkret di lapangan, satu lokasi demi satu lokasi. Saya berharap ada kelanjutan penelitian yang lebih spesifik, misalnya “bagaimana memulai restorasi laut di desa kita” atau “metode apa yang terbukti simpel tapi efektif di pantai berpolusi” – jadi tiap pemula pun bisa ikut aksi nyata. Tapi secara keseluruhan, perspektif saya terbuka: kalau dulu restorasi laut tampak membingungkan, kini rasanya lebih bisa dicapai.
Jika kamu tertarik menjelajah dunia restorasi lingkungan lebih lanjut, coba cek kursus terkait di platform pelatihan online seperti DiklatKerja. Misalnya kursus Introduction to Wastewater Treatment untuk memahami dasar pengolahan air (bagian penting mengatasi polusi sebelum restorasi), atau kursus Introduction to Marine Safety yang memuat standar keselamatan di perairan. Ilmu-ilmu dasar ini bisa jadi jembatan menuju upaya restorasi yang lebih besar.
Kalau kamu penasaran dan ingin gali lebih jauh data dan metode aslinya, coba baca paper aslinya (link di bawah). Studi ini membuka pandangan baru soal bagaimana kita memulihkan bumi yang kebetulan di sini bagian lautan. Ambil insightnya, dan siapa tahu suatu hari kamu ikut menanam terumbu baru di bawah laut!
Analisis Kebijakan
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025
Pendahuluan: Saat Gelombang Resesi Menghantam Ketenagakerjaan Global
Dunia baru saja menghadapi pukulan telak yang bukan hanya berupa krisis kesehatan, tetapi juga krisis ketenagakerjaan yang mendalam. Laporan awal dari Organisasi Perburuhan Internasional (ILO) yang disusun untuk Kelompok Kerja Ketenagakerjaan G20, mengungkapkan bahwa pandemi COVID-19 secara signifikan memperlambat pertumbuhan produktivitas tenaga kerja global.1 Kondisi ini semakin mengkhawatirkan karena di negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah ke bawah, pertumbuhan produktivitas bahkan menunjukkan angka negatif. Akibatnya, "kesenjangan produktivitas" antara negara berkembang dan negara maju semakin melebar, menciptakan tantangan ekonomi yang luar biasa.1
Yang paling terdampak dari badai ekonomi ini adalah mereka yang paling rentan. Laporan tersebut secara gamblang menunjukkan bahwa orang yang tinggal di pedesaan memiliki kemungkinan dua kali lipat lebih besar untuk bekerja di sektor informal, dengan angka mencapai 80% dibandingkan dengan 44% di area perkotaan.1 Kelompok ini, yang mayoritas diisi oleh perempuan dan pemuda, adalah pihak yang paling menderita akibat kehilangan pekerjaan, paparan bahaya kerja, dan peningkatan beban pekerjaan rumah tangga tanpa upah.1 Dalam menghadapi kenyataan pahit ini, para pembuat kebijakan di seluruh dunia dihadapkan pada satu pertanyaan krusial: bagaimana cara paling efektif untuk memulihkan ekonomi, memberdayakan mereka yang terpinggirkan, dan membangun kembali sistem yang lebih tangguh?
Jawabannya, menurut laporan tersebut, mungkin terletak pada pendekatan yang sering luput dari sorotan media massa: Pelatihan Vokasi Berbasis Komunitas (CBVT). Sebagai bagian integral dari sistem pengembangan keterampilan dan pembelajaran seumur hidup, CBVT muncul sebagai "senjata rahasia" yang tidak hanya dapat menjembatani kesenjangan keterampilan, tetapi juga meningkatkan produktivitas tenaga kerja, memberdayakan masyarakat, dan pada akhirnya, mendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan dari bawah ke atas.1
Mengungkap Jantung Revolusi Keterampilan Berbasis Komunitas
Definisi yang Mengubah Paradigma
Pelatihan Vokasi Berbasis Komunitas (CBVT) bukanlah sekadar kursus keterampilan biasa. Laporan ini mendefinisikannya sebagai pelatihan terdesentralisasi untuk pekerjaan yang berfokus pada partisipasi komunitas, pemberdayaan diri, dan inklusi kelompok rentan.1 Pendekatan ini sangat relevan di wilayah pedesaan yang minim akses ke lembaga pendidikan formal.1 Lebih dari sekadar ruang kelas, CBVT adalah sebuah pendekatan holistik yang mencakup seluruh siklus pemberdayaan ekonomi, mulai dari identifikasi peluang ekonomi lokal, penyediaan pelatihan, hingga dukungan pasca-pelatihan.1
Sebagai perbandingan, TVET (Pendidikan dan Pelatihan Teknik dan Vokasi) yang lebih umum dikenal sering kali diatur secara sentral dan berorientasi pada pasar kerja formal. Sebaliknya, CBVT beroperasi pada tingkat mikro, memanfaatkan struktur komunitas yang sudah ada dan bentuk manajemen yang terdesentralisasi.1 Ini memungkinkan program untuk lebih responsif terhadap kebutuhan yang spesifik di setiap komunitas.
Kilasan Sejarah yang Kurang Dikenal
CBVT bukanlah konsep yang baru muncul. Laporan ini memberikan konteks historis yang kaya, menunjukkan bahwa pendekatan pengembangan keterampilan di pedesaan sering kali didorong oleh tekanan eksternal, seperti kekhawatiran tentang migrasi pedesaan-ke-kota atau tantangan lingkungan.1 Contohnya, land grant colleges di Amerika Serikat pada tahun 1860-an yang didirikan untuk mengajarkan pertanian dan seni mekanik.1 Di negara-negara di belahan Bumi bagian selatan, perhatian terhadap pengembangan keterampilan pedesaan sempat terabaikan pasca-Perang Dunia Kedua, karena agenda industrialisasi lebih mendominasi.1 Namun, pada akhir 1960-an, kekhawatiran tentang pertumbuhan ekonomi informal memunculkan inisiatif nasional, sepertivillage polytechnics di Kenya.1 Laporan ini juga menyoroti evolusi metodologi ILO sendiri, yang dimulai dengan Training for Rural Gainful Activities (TRUGA) di tahun 90-an dan berkembang menjadi metodologi Training for Rural Economic Empowerment (TREE) yang masih digunakan hingga kini.1 Sejarah ini menunjukkan bahwa CBVT adalah sebuah konsep yang matang, bukan sekadar respons sesaat, dan terus beradaptasi dengan perubahan zaman.
Kekuatan Pendekatan 'Bottom-Up'
Salah satu poin paling kuat yang diangkat dalam laporan ini adalah pentingnya pendekatan dari bawah ke atas (bottom-up).1 Pendekatan ini bukan sekadar jargon, melainkan inti dari keberhasilan CBVT. Sebuah program pelatihan yang dirancang dari pusat, misalnya dari Jakarta, mungkin menawarkan kursus teknologi informasi dan komunikasi (TIK).2 Namun, di sebuah desa terpencil seperti Desa Mulawarman, kebutuhan yang mendesak mungkin adalah keterampilan pertanian organik, budidaya ikan, atau kerajinan tangan lokal.4 Pendekatan bottom-up memungkinkan komunitas itu sendiri yang mengidentifikasi peluang ekonomi lokal dan merancang program pelatihan yang relevan, seperti yang dilakukan oleh Pemerintah Desa Mulawarman.4
Kausalitasnya jelas: identifikasi kebutuhan yang akurat pada tingkat komunitas menghasilkan pelatihan yang relevan, yang pada gilirannya meningkatkan kemungkinan keberhasilan peserta dalam mendapatkan pekerjaan atau memulai usaha mikro. Ini adalah kunci mengapa CBVT tidak hanya berhasil dalam teori tetapi juga dalam praktik.1 Ketika program sepenuhnya mencerminkan aspirasi dan realitas lokal, tingkat partisipasi dan dampaknya secara otomatis meningkat.
Potret Beragam Tata Kelola Lintas G20: Kisah Adaptasi dan Otonomi Lokal
Laporan ini mengidentifikasi tiga model tata kelola utama yang digunakan oleh negara-negara G20 dalam mengelola CBVT.1 Masing-masing model mencerminkan keseimbangan yang unik antara kontrol terpusat dan otonomi lokal.
Model Sektor Formal: Vokasi sebagai Pilar Resmi Negara
Dalam model ini, CBVT diakui sebagai sektor formal yang terpisah dalam sistem pendidikan, dengan kerangka hukum, anggaran, dan regulasi yang jelas.1 Negara-negara seperti Australia, Italia, Inggris, Republik Korea, dan Afrika Selatan mengadopsi pendekatan ini.1 Di Afrika Selatan, misalnya, warisan apartheid mendorong terciptanya sistem pendidikan dan pelatihan pasca-sekolah yang formal. Perguruan tinggi komunitas (Community Education and Training Colleges) yang ada di setiap provinsi, mengelola lebih dari 2.500 pusat dan satelit pembelajaran, didukung oleh pajak gaji nasional.1
Model ini memberikan jaminan kualitas dan kredibilitas, karena lembaga-lembaga ini sering kali terdaftar sebagai Organisasi Pelatihan Terdaftar (Registered Training Organizations, RTO) yang mampu memberikan kualifikasi yang diakui secara nasional.1 Namun, laporan ini juga menyoroti tantangan untuk menjaga agar sistem yang sentralistik ini tetap responsif terhadap kebutuhan lokal yang spesifik.1
Model Jangkauan Institusi Vokasi: Sekolah Menjangkau Komunitas
Model kedua menggambarkan bagaimana institusi formal yang sudah ada, seperti universitas, perguruan tinggi, atau sekolah vokasi, memperluas jangkauan mereka ke daerah terpencil dan populasi yang terpinggirkan.1 Laporan ini mencontohkan Argentina yang meluncurkan "ruang kelas bergerak" (mobile classroom) yang lengkap dengan fasilitas multimedia dan akses internet satelit.1 Unit-unit ini dipindahkan ke lokasi yang berbeda tergantung pada permintaan dan jenis kursus yang ditawarkan.1
Di Meksiko, lebih dari 80% institusi pendidikan tinggi menjalankan program penjangkauan berbasis komunitas.1 Ini adalah cara efektif untuk memanfaatkan infrastruktur dan keahlian yang sudah ada tanpa harus membangun sistem baru.1 Jepang dan Jerman juga menunjukkan pendekatan serupa, di mana sekolah vokasi dan industri lokal bekerja sama untuk memastikan pelatihan relevan dengan kebutuhan regional.1
Model Penyedia Layanan Organisasi Komunitas: Mengandalkan Aktor Lokal
Model ketiga adalah pendekatan yang terdesentralisasi, di mana layanan pelatihan diserahkan kepada organisasi berbasis komunitas.1 Laporan ini mencontohkan India, di mana kebijakan pengembangan keterampilan nasional secara eksplisit melibatkan sektor swasta dan LSM dalam proses penawaran yang kompetitif.1 Di Indonesia, pemerintah mendirikan lebih dari 2.100 Balai Latihan Kerja (BLK) Komunitas yang dikelola oleh organisasi masyarakat, termasuk organisasi keagamaan, sekolah lokal, dan serikat pekerja.1 BLK Komunitas ini diharapkan dapat menjadi mandiri seiring berjalannya waktu setelah mendapatkan pendanaan awal dari pemerintah.1
Model ini memiliki keunggulan dalam fleksibilitas dan kemampuan untuk beradaptasi dengan cepat terhadap kebutuhan lokal.1 Namun, laporan ini juga memberikan catatan kritis bahwa tanpa kerangka regulasi atau dukungan finansial yang kuat dari tingkat nasional, organisasi-organisasi ini bisa berisiko menciptakan "sistem kelas dua" yang tidak menawarkan jalan yang jelas untuk kemajuan ke pasar kerja formal.1
Menembus Batasan dan Menjangkau Mereka yang Terlupakan
Laporan ini secara khusus menyoroti fakta bahwa CBVT adalah instrumen yang sangat efektif untuk menjangkau kelompok-kelompok yang secara tradisional sulit diakses oleh sistem pendidikan formal.1 Hambatan dapat berupa geografis, sosial, atau ekonomi.
Strategi Penjangkauan yang Inovatif
Negara-negara G20 menggunakan beragam cara untuk menjangkau peserta pelatihan. Di Kanada, pekerja sosial menginformasikan individu yang menerima bantuan sosial tentang program pelatihan yang tersedia.1 Di Indonesia, kepala desa di daerah terpencil memfasilitasi penjangkauan dan perekrutan peserta.1 India menggunakan acara seperti "mela" atau pameran yang diselenggarakan oleh LSM dan penyedia pelatihan swasta untuk menarik minat dan mendaftarkan calon peserta.1 Di Turki, sekolah dan pertemuan keluarga digunakan untuk meningkatkan kesadaran, dengan perhatian khusus pada perempuan.1
Layanan ekstensi pertanian juga berperan penting. Di India, Agricultural Technology Management Agency (ATMA) bekerja dengan kelompok petani untuk memberikan pelatihan.1 Namun, model ini juga menghadapi tantangan seperti elite capture (di mana manfaat hanya dirasakan oleh kelompok kaya) dan rendahnya kapasitas penyedia layanan.1
Pemberdayaan Perempuan dan Kelompok Adat
Analisis data dalam laporan ini menunjukkan bahwa CBVT memiliki dampak yang tidak proporsional dalam memberdayakan perempuan dan kelompok rentan lainnya. Di Afrika Selatan, 71% peserta di Pusat Pembelajaran Komunitas adalah perempuan.1 Begitu pula di Republik Korea, Occupational Centre for Women (OCW) bekerja sama dengan pusat-pusat komunitas untuk menjangkau perempuan yang telah lama keluar dari angkatan kerja, memberikan dukungan satu per satu yang mengintegrasikan konseling sosial, bimbingan karier, dan bantuan pencarian kerja.1 Perempuan sering kali menghadapi hambatan ganda, termasuk norma sosial dan tanggung jawab pengasuhan, yang menghalangi partisipasi mereka dalam sistem formal.1 CBVT, dengan sifatnya yang fleksibel dan berbasis di komunitas, secara langsung mengatasi hambatan ini, menjadikannya sebuah katalisator yang kuat untuk kesetaraan gender dan pemberdayaan ekonomi.
Laporan ini juga menyoroti bagaimana CBVT dapat disesuaikan untuk menghormati dan mendukung kelompok adat. Di Kanada, Indigenous Skills and Employment Training (ISET) Program didesain untuk merefleksikan perbedaan antara masyarakat Adat, Métis, dan Inuit.1 Program ini tidak hanya melatih keterampilan kerja, tetapi juga mempromosikan kisah-kisah sukses untuk menginspirasi generasi selanjutnya.1
Jalan Menuju Keahlian: Desain Pelatihan yang Adaptif dan Fleksibel
Pelatihan CBVT yang efektif dimulai jauh sebelum peserta memasuki ruang kelas. Laporan ini menunjukkan bahwa kunci keberhasilan terletak pada desain program yang responsif terhadap kebutuhan lokal.1 Di Indonesia, Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) memiliki otonomi untuk mengidentifikasi kebutuhan komunitas, menawarkan kursus yang beragam, memobilisasi sumber daya, dan membangun kemitraan dengan organisasi lokal.1 Pendekatan ini memastikan bahwa kurikulum relevan dan adaptif.
Beragam Moda Pelatihan untuk Beragam Kebutuhan
Laporan ini mengidentifikasi empat pendekatan utama dalam pengiriman pelatihan, yang sering kali digunakan secara bersamaan:
Kritik Realistis: Sisi Gelap Revolusi Digital
Meskipun pembelajaran daring menawarkan fleksibilitas yang luar biasa, laporan ini memberikan kritik yang penting dan realistis: "ketidaksetaraan akses terhadap TIK" harus segera diatasi untuk menghindari eksklusi lebih lanjut.1 Seseorang mungkin memiliki ponsel pintar, tetapi tanpa koneksi internet yang stabil, listrik yang memadai, atau kuota data yang terjangkau, kesempatan mereka untuk belajar secara daring sangat terbatas. Laporan tersebut mencatat bahwa kesenjangan ini dapat memperlebar jurang pemisah antara mereka yang memiliki akses dan mereka yang tidak, sehingga solusi digital harus diimbangi dengan strategi lain seperti unit pelatihan bergerak atau penyediaan akses internet gratis di pusat-pusat komunitas.1
Sertifikasi dan Dampak Nyata: Menjembatani Keterampilan Lokal ke Pasar Global
Tujuan akhir dari CBVT bukanlah sekadar mengajar keterampilan, tetapi untuk memastikan bahwa keterampilan tersebut dapat menghasilkan pendapatan dan membuka peluang.1 Untuk mencapai ini, sistem penilaian dan sertifikasi yang efektif sangatlah penting.
Dari Keterampilan Informal ke Kualifikasi Formal
Laporan ini menyoroti peran kunci dari Recognition of Prior Learning (RPL) atau Pengakuan Pembelajaran Terdahulu.1 RPL memungkinkan individu yang memperoleh keterampilan melalui jalur informal atau non-formal untuk mendapatkan sertifikasi resmi yang diakui secara nasional. Di India, program PMKVY (Pradhan Mantri Kaushal Vikas Yojana) menggunakan RPL untuk memberikan sertifikasi kepada pekerja informal, yang memungkinkan mereka mengakses pelatihan lebih lanjut dan kesempatan kerja formal.1 Sebuah studi pelacakan di India menunjukkan bahwa upah rata-rata peserta yang berhasil memperoleh sertifikasi melalui RPL meningkat 4% dalam waktu enam bulan, sebuah lompatan nyata dari pendapatan sebelumnya.1
Namun, laporan ini juga menyajikan dilema: apakah CBVT harus fokus pada sertifikasi formal atau langsung pada pengembangan wirausaha? Di India, program seperti Kudumbashree di Kerala dan National Rural Livelihood Mission (NRLM) sengaja berfokus pada wirausaha mikro untuk pengentasan kemiskinan, tanpa memberikan kualifikasi formal.1 Hal ini relevan di wilayah di mana pasar kerja formal tidak berkembang, tetapi berisiko menjebak pekerja di ekonomi informal.1 Sebaliknya, sistem di Australia mengharuskan penyedia CBVT menjadi RTO untuk mengeluarkan sertifikat, memastikan standar dan mobilitas.1 Kunci keberhasilan adalah pendekatan ganda: mempromosikan wirausaha sambil menyediakan jalur yang jelas dan dapat diakses (melalui RPL) ke sistem formal bagi mereka yang menginginkannya.
Dukungan Pasca-Pelatihan yang Krusial
Pelatihan saja tidak cukup; dukungan pasca-pelatihan adalah faktor penentu keberhasilan CBVT.1 Dukungan ini dapat berupa bantuan pencarian kerja, pendampingan untuk memulai usaha, dan akses ke pembiayaan.1 Di Amerika Serikat, jaringan American Job Centers menyediakan layanan komprehensif seperti bimbingan karier dan bantuan penulisan resume.1 Sementara itu, di Brasil, National Rural Learning Services (SENAR) bekerja sama dengan layanan dukungan untuk usaha mikro untuk mempromosikan kewirausahaan di pedesaan.1
Pernyataan dampak nyata dari laporan ini begitu lugas: jika diterapkan secara holistik, CBVT tidak hanya melatih keterampilan baru, tetapi juga menciptakan ribuan lapangan kerja, mengurangi biaya sosial dari pengangguran, dan secara nyata meningkatkan pendapatan jutaan orang.1 Laporan tersebut mencatat bahwa dengan perluasan skala program seperti RPL yang berhasil meningkatkan upah rata-rata peserta hingga 4% hanya dalam waktu enam bulan, dampak ekonomi secara keseluruhan dalam lima hingga sepuluh tahun ke depan bisa luar biasa besar.1
Kesimpulan: Arah Baru untuk Kebijakan Ketenagakerjaan Pasca-Pandemi
CBVT adalah alat kebijakan yang penting dan kuat untuk mengatasi tantangan ekonomi dan sosial pasca-pandemi, terutama di daerah pedesaan.1 Laporan ini menyimpulkan lima pelajaran kunci untuk mewujudkan potensi CBVT:
Meskipun laporan ini menyajikan gambaran yang optimis, implementasi di lapangan sering kali tidak semulus niat di atas kertas. Tantangan seperti keterbatasan anggaran, birokrasi yang kaku, atau kurangnya kemauan politik dapat menghambat keberhasilan program inovatif ini. Namun, CBVT tetap menjadi investasi paling strategis yang dapat dilakukan negara-negara G20. Dengan fokus pada partisipasi komunitas, pemberdayaan diri, dan inklusi, CBVT memiliki kekuatan untuk tidak hanya memulihkan ekonomi pasca-pandemi, tetapi juga membangun masyarakat yang lebih tangguh, adil, dan berkelanjutan di masa depan.1
Sumber Artikel:
International Labour Organization. (2022, February). Initial review of community-based vocational training (CBVT) in G20 countries. Paper prepared for the 1st meeting of the G20 Employment Working Group.
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025
Prolog: Di Balik Data yang Menakutkan, Ada Kisah Kerugian Miliar Pound
Industri konstruksi adalah salah satu pilar terpenting dalam perekonomian Inggris, menyumbang sekitar 13% dari PDB global dan menyediakan hingga 10% lapangan kerja di Inggris dengan 2,93 juta pekerjaan. Pada tahun 2019 saja, sektor ini menghasilkan pendapatan kotor sebesar £117 miliar. Di balik angka-angka yang mengesankan ini, tersembunyi sebuah kerapuhan yang menggerogoti dari dalam: ketidakmampuan untuk mengelola klaim proyek secara efektif. Meskipun manajemen klaim telah meningkat secara substansial, industri ini masih menjadi salah satu yang paling rentan, bertanggung jawab atas 11% dari semua sengketa pada tahun 2019. Tesis ini secara implisit menyoroti kontradiksi yang mengejutkan antara skala ekonomi dan kerapuhan manajerial yang dialami sektor ini. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam sektor ini tampaknya tidak sejalan dengan kematangan manajerial, menciptakan sebuah kondisi di mana kemajuan material justru memperparah risiko internal.
Permasalahan ini bukan sekadar detail administratif kecil. Laporan dari dewan kepemimpinan konstruksi Inggris (CLC) pada tahun 2021 menunjukkan adanya eskalasi jumlah notifikasi klaim di semua tingkatan rantai pasokan, mulai dari perusahaan kecil, menengah, hingga besar. Catatan mencengangkan lainnya adalah bahwa klaim ini sering kali membengkak hingga 25% dari nilai kontrak aktual. Untuk proyek senilai £100 juta, ini berarti klaim bisa melonjak hingga £25 juta. Ini bukan sekadar penyesuaian biaya kecil, melainkan ancaman signifikan terhadap profitabilitas dan kelangsungan proyek. Fenomena ini menunjukkan bahwa klaim, yang seharusnya menjadi bagian dari proses bisnis, telah menjadi penyakit kronis yang mengancam stabilitas finansial.
Tesis ini tidak hanya mengaitkan klaim dengan kerugian finansial, tetapi juga dengan kegagalan bisnis yang fatal. Bukti empiris menunjukkan bahwa 77–95% kegagalan finansial kontraktor disebabkan oleh banyaknya klaim yang tidak terkelola. Kasus kebangkrutan Carillion, perusahaan konstruksi terbesar kedua di Inggris, yang dilikuidasi dengan utang £900 juta dan defisit pensiun £600 juta, menjadi contoh nyata. Tesis ini berargumen bahwa kegagalan tersebut sebagian besar disebabkan oleh tidak adanya kerangka kerja manajemen klaim yang efektif. Perusahaan kecil dan menengah (UKM) bahkan lebih rentan, di mana keterlambatan pembayaran hingga lebih dari 60 hari menjadi masalah yang mendesak. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa manajemen klaim yang buruk bukan sekadar "biaya tak terduga," tetapi sebuah "penyakit kronis" yang jika dibiarkan tanpa pengawasan, dapat membunuh perusahaan. Tesis ini bertujuan untuk memahami dan mengatasi kesenjangan yang ada ini dengan mengembangkan kerangka kerja yang dapat memberikan manfaat nyata bagi perusahaan konstruksi, termasuk klaim yang dapat disubstansiasi, pengurangan biaya dan durasi, penghindaran biaya klaim yang tidak terduga, peningkatan hasil, dan efektivitas biaya yang lebih baik.1
Mengapa Masalah Ini Menjadi Kanker Kronis? Membongkar Akar Sengketa
Studi ini menemukan bahwa akar dari masalah klaim yang tidak efektif dan sengketa yang terus-menerus bukanlah semata-mata bersifat teknis atau finansial, melainkan juga terkait erat dengan faktor manusia dan psikologis. Konsep keadilan yang dirasakan (perceived fairness) menjadi salah satu temuan sentral. Berdasarkan wawancara dengan para pakar, proses manajemen klaim secara keseluruhan dirasakan adil sampai taraf tertentu, tetapi jauh dari sangat jujur, luar biasa, atau megah.1 Ketidakpuasan ini menggarisbawahi adanya keraguan fundamental yang mengikis kepercayaan antar pihak yang terlibat dalam proyek. Proses yang dianggap tidak adil memicu respons reaktif dari kontraktor, yang kemudian memvalidasi pandangan skeptis mereka terhadap proses manajemen klaim yang ada.
Tesis ini menyoroti adanya skeptisisme yang signifikan dari beberapa praktisi terhadap klaim bahwa investasi dalam manajemen klaim adalah hal yang sangat krusial.1 Beban ekonomi dan kurangnya kepercayaan terhadap manfaat finansial yang bisa diperoleh dari proses manajemen klaim justru mendorong kontraktor untuk mencari jalur litigasi, yang seringkali memakan waktu dan biaya besar.1 Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan antara manajemen klaim yang efektif dan pengembangan strategi bersifat sangat lemah (tidak meningkat atau menurun secara linier).1 Temuan ini adalah sebuah ironi yang menarik. Ini menunjukkan bahwa memiliki strategi yang terdokumentasi tidaklah cukup; implementasi dan kesuksesan yang terukur tetap menjadi masalah yang problematis bagi kerangka kerja manajemen klaim yang ada. Intinya, keberhasilan tidak hanya terletak pada keberadaan strategi di atas kertas, tetapi pada adopsi dan penerapannya yang menuntut perubahan budaya.
Kekacauan dalam manajemen informasi juga menjadi faktor penyebab utama. Tesis ini mengungkapkan bahwa manajer proyek menghabiskan sekitar 70% waktu mereka untuk menangani informasi (membuat, mengelola, mendistribusikan, mengumpulkan, dan meneliti). Lebih lanjut, sekitar 65% pengerjaan ulang kontraktor dikaitkan dengan bahan yang tidak memadai, tidak cocok, atau kontradiktif.1 Kekacauan ini diperparah ketika dokumentasi proyek disimpan dalam basis data yang tidak terstruktur, dan masalah semakin memburuk jika persiapan klaim baru dilakukan setelah proyek selesai. Tesis ini menjelaskan bagaimana peristiwa klaim dapat menghilang atau menjadi kabur ketika staf kunci yang memiliki semua data klaim pergi, membuat tim baru kesulitan untuk memahami apa yang terjadi selama siklus proyek. Ini adalah efek domino di mana buruknya manajemen informasi di tahap awal (pre-stage claim) menciptakan masalah yang lebih besar, memperpanjang waktu penyelesaian klaim, dan akhirnya meningkatkan biaya serta risiko sengketa.1
Anatomi Sebuah Klaim: Membongkar Biaya Langsung dan Biaya Tak Terlihat
Analisis tesis ini secara kritis membedah hubungan antara klaim, sengketa, durasi, dan biaya proyek. Secara kualitatif, ditemukan bahwa sebagian besar sengketa muncul karena klaim.1 Ini menegaskan bahwa klaim adalah penyebab langsung dari sengketa, dan penyelesaian yang gagal adalah pemicu utama litigasi yang mahal. Untuk menjelaskan dampak finansial ini, penelitian ini membedah biaya klaim langsung dan biaya klaim tidak langsung. Biaya langsung adalah pengeluaran yang dapat diidentifikasi secara jelas terkait dengan pekerjaan tambahan, seperti tenaga kerja, material, dan peralatan.1 Sementara itu, biaya tidak langsung lebih sulit dilacak, mencakup biaya personel, biaya administrasi, overhead kantor pusat, biaya fotokopi, biaya legal untuk pengacara, arbitrator, dan adjudicator, serta kerugian reputasi dan profit.1
Tesis ini menemukan bahwa rata-rata durasi klaim di industri konstruksi Inggris adalah 14,58 bulan dan biaya rata-ratanya sekitar 22,8 juta dolar AS. Angka ini sejalan dengan laporan Global Construction Disputes Report tahun 2019 dari Arcadis yang mencatat durasi rata-rata 12,8 bulan dan biaya rata-rata 17,8 juta dolar AS di Inggris.1 Perbedaan kecil dalam angka-angka ini tidak mengurangi fakta bahwa sengketa klaim adalah masalah yang sangat signifikan, baik dalam hal waktu maupun uang.
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup tentang dampak ini, bayangkan sebuah proyek konstruksi seperti pengisian daya baterai pada ponsel pintar. Sebuah proyek yang berjalan mulus akan mengisi daya dari 20% hingga 70% dengan cepat dan efisien. Namun, klaim yang tidak terkelola dengan baik akan seperti mencabut dan mencolokkan kembali kabel pengisi daya setiap beberapa detik. Baterai mungkin terisi, tetapi prosesnya sangat lambat dan tidak efisien, membuang banyak energi (biaya) dan waktu.
Analisis 15 studi kasus yang dilakukan tesis ini secara konsisten menunjukkan bahwa sengketa paling sering muncul dari kegagalan proses di tingkat dasar. Klaim variasi (variation claims) menjadi salah satu pemicu utama. Tesis ini menyoroti kasus seperti Atkins Ltd v Secretary of State for Transport, di mana sengketa terkait klaim variasi menelan biaya £1,3 juta.1 Klaim keterlambatan (delay) dan disrupsi (disruption) juga merupakan sumber sengketa yang sangat umum.1 Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masalah klaim bukanlah akibat dari nasib buruk, melainkan hasil langsung dari administrasi kontrak yang buruk, kurangnya pemahaman terhadap klausul kontrak, dan kegagalan untuk memberikan pemberitahuan yang tepat sesuai persyaratan kontrak.1
Sebuah Cetak Biru untuk Perubahan: Kerangka Kerja Manajemen Klaim yang Efektif
Untuk mengatasi "lubang" dalam literatur dan praktik, tesis ini mengajukan kerangka kerja manajemen klaim investigatif yang komprehensif. Kerangka kerja ini dirancang untuk dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan industri. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini sangat kuat, menggabungkan data kuantitatif dari 76 responden kuesioner dengan data kualitatif dari 16 pakar dan 15 studi kasus untuk membangun landasan yang kredibel dan dapat diverifikasi.1
Kerangka kerja yang diusulkan terdiri dari empat tahap utama yang saling terhubung:
Kerangka kerja ECMF ini bukan hanya daftar periksa, tetapi alat untuk mendorong perubahan budaya dari konfrontasional ke kooperatif, seperti yang diamanatkan oleh laporan strategi pemerintah Inggris. Tesis ini berpendapat bahwa dengan mengadopsi kerangka kerja ini, perusahaan akan memandang manajemen klaim sebagai investasi, bukan sebagai biaya, yang pada akhirnya akan menghasilkan proyek yang lebih efisien, hemat biaya, dan tepat waktu.
Jalan ke Depan: Kritik Realistis dan Dampak Nyata yang Menjanjikan
Tesis ini tidak mengklaim kerangka kerja yang diusulkan sebagai solusi instan. Ada kritik dan tantangan realistis yang diakui. Beberapa praktisi tetap skeptis bahwa menunjukkan hasil yang terukur sangatlah bermasalah karena hubungan antara strategi dan efektivitas seringkali sangat lemah.1 Tesis juga mengakui bahwa kerangka kerja ini hanya akan berhasil jika diikuti oleh semua pihak, dan masalah sering muncul karena kurangnya pemahaman tentang mekanisme kontraktual.
Meskipun demikian, validasi kerangka kerja melalui proses pengecekan formal dengan anggota (formal process of member checking) oleh para pakar memberikan kredibilitas yang kuat bahwa kerangka kerja ini tidak hanya valid secara akademis, tetapi juga relevan dan praktis di dunia nyata. Ini adalah langkah metodologis yang penting yang memastikan bahwa kerangka kerja ini memiliki potensi untuk diterapkan.
Jika diterapkan secara luas, kerangka kerja ini memiliki potensi besar untuk membantu pemerintah Inggris mencapai tujuannya dalam strategi konstruksi 2025, yaitu mengurangi biaya aset hingga 33% dan mempercepat waktu konstruksi hingga 50%.1 Dengan mengurangi litigasi dan mengalihkan sumber daya yang terbuang untuk sengketa ke arah inovasi dan efisiensi, kerangka kerja ini dapat menghasilkan dampak nyata. Ini adalah evolusi daripada revolusi. Dengan menyediakan metode yang jelas untuk mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan menyelesaikan klaim secara adil, kerangka kerja ini dapat menciptakan proses kolaboratif yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan proyek yang lebih efisien, hemat biaya, dan tepat waktu. Ini merupakan pernyataan dampak yang kuat dan terukur yang menjanjikan masa depan yang lebih stabil dan menguntungkan bagi industri konstruksi di Inggris.1
Mengubah Paradigma: Dari Sengketa Menjadi Kolaborasi
Tesis ini memberikan cetak biru yang sangat dibutuhkan untuk perubahan paradigma. Klaim manajemen yang efektif bukanlah sebuah beban, melainkan sebuah investasi penting yang dapat mengubah industri konstruksi dari sektor yang rentan dan konfrontatif menjadi sektor yang efisien dan kolaboratif. Dengan mengatasi masalah mendasar seperti krisis kepercayaan, kurangnya dokumentasi, dan hubungan yang lemah antara strategi dan implementasi, kerangka kerja ini menawarkan jalan yang jelas untuk mengurangi sengketa, menghemat miliaran pound, dan akhirnya membangun industri yang lebih kuat dan tangguh.
Sumber Artikel:
Nosheen, A. (2022). Development of an effective claim management framework for the UK construction industry (Doctoral dissertation, Coventry University).