Optimasi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 Oktober 2025
Pendahuluan: Menjawab Tantangan Jaringan Kompleks
Di era digitalisasi dan otomasi, sistem infrastruktur seperti jaringan listrik, transportasi, dan komunikasi menjadi semakin kompleks. Pengelolaan keandalan dan alokasi biaya dalam jaringan ini bukan hanya tantangan teknis, tapi juga strategis. Paper karya Baladeh dan Khakzad menjawab tantangan ini dengan pendekatan inovatif: menggabungkan Genetic Algorithm (GA) algoritma evolusioner yang terinspirasi dari proses seleksi alam dengan Monte Carlo Simulation (MCS) metode statistik untuk mensimulasikan ketidakpastian.
Tujuan utama penelitian ini adalah menyederhanakan proses desain sistem dan distribusi biaya agar sistem tetap andal dengan anggaran terbatas. Studi ini secara spesifik menggunakan sistem jaringan listrik sebagai studi kasus, namun metodologinya dapat diaplikasikan pada berbagai jenis jaringan kompleks lainnya.
Metodologi: Sintesis Evolusi dan Probabilistik
1. Genetic Algorithm (GA): Merancang Kromosom Optimal
GA digunakan untuk menyusun “kromosom” yang merepresentasikan alokasi biaya antar node dalam jaringan. Setiap gene pada kromosom mewakili biaya yang dialokasikan ke sebuah koneksi (misalnya, saluran transmisi listrik). Nilai kromosom menentukan konfigurasi jaringan dan menjadi input utama untuk evaluasi keandalan.
2. Monte Carlo Simulation (MCS): Menguji Keandalan
Setelah konfigurasi dihasilkan, MCS digunakan untuk menilai reliability jaringan. Ribuan simulasi dilakukan untuk mengevaluasi apakah, dalam berbagai skenario acak kegagalan koneksi, jalur antara pembangkit dan pelanggan tetap tersedia. Probabilitas keberhasilan konektivitas inilah yang menjadi nilai keandalan sistem.
3. Formulasi Matematika
Persoalan dipecahkan sebagai model optimasi:
Model ini termasuk dalam kategori NP-hard sehingga pendekatan metaheuristic seperti GA menjadi sangat relevan.
Studi Kasus: Aplikasi pada Jaringan Listrik
Desain Sistem
Studi kasus menggunakan jaringan listrik sederhana yang terdiri dari 10 node (termasuk pembangkit dan konsumen) dan beberapa koneksi potensial. Data berikut digunakan:
Parameter Optimasi
Hasil Optimal
Nilai Tambah: Interpretasi dan Implikasi Praktis
Integrasi yang Cerdas
Pendekatan hibrid GA-MCS ini menawarkan efisiensi tinggi dalam menjawab tantangan sistem jaringan yang konfigurasi dan reliabilitasnya bersifat dinamis. Kombinasi ini memungkinkan evaluasi simultan atas konfigurasi dan anggaran secara realistis, dalam lingkungan yang tak pasti.
Relevansi Industri
Dalam industri kelistrikan, kesalahan dalam alokasi biaya pada infrastruktur transmisi dapat menyebabkan pemborosan atau, sebaliknya, blackout akibat underinvestment. Dengan metodologi ini, perusahaan bisa lebih percaya diri menyusun investasi strategis pada jaringan listrik, termasuk smart grid, energi terbarukan, dan microgrid.
Potensi Generalisasi
Metodologi ini bisa diperluas ke sektor:
Perbandingan dengan Pendekatan Lain
Kritik & Rekomendasi
Kekuatan
Keterbatasan
Saran Pengembangan
Penutup: Masa Depan Optimasi Jaringan Kompleks
Karya Baladeh dan Khakzad memberikan kontribusi penting pada domain system reliability engineering, khususnya dalam konteks alokasi biaya dan desain jaringan. Pendekatan yang diusulkan menunjukkan bahwa metodologi cerdas seperti GA dan MCS dapat dikombinasikan untuk menghasilkan solusi optimal dalam sistem nyata yang rumit.
Ke depan, integrasi metode ini dengan digital twin dan data waktu nyata berpotensi membuka arah baru bagi pengembangan sistem infrastruktur yang lebih andal, adaptif, serta efisien dari sisi ekonomi.
Sumber
Baladeh, A. E., & Khakzad, N. (2019). Integration of Genetic Algorithm and Monte Carlo Simulation for System Design and Cost Allocation Optimization in Complex Network. In Proceedings - 2018 3rd International Conference on System Reliability and Safety, ICSRS 2018 (pp. 182–186). IEEE. https://doi.org/10.1109/ICSRS.2018.8688846
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 Oktober 2025
Pendahuluan
Sertifikasi kompetensi dalam dunia konstruksi tidak sekadar formalitas administratif, melainkan penentu mutu kerja dan daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar global. Sayangnya, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa jumlah tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi masih sangat minim. Artikel ilmiah karya Irika Widiasanti dan rekan-rekannya (2018) mengangkat isu ini melalui penelitian di tiga proyek bangunan tinggi, menggali persepsi tenaga terampil terhadap proses sertifikasi, serta faktor penghambat utama yang mereka hadapi.
Artikel ini secara kritis mengulas kembali hasil penelitian tersebut dengan dukungan data empiris, studi komparatif, serta analisis lapangan yang mendalam. Pendekatan ini menegaskan pentingnya reformasi sistem sertifikasi tenaga kerja konstruksi di Indonesia guna meningkatkan profesionalisme dan daya saing sektor ini.
Latar Belakang Penelitian
Ironi Sertifikasi di Era Daya Saing Global
Dengan masuknya pasar global ke dalam sistem ekonomi Indonesia, permintaan akan tenaga kerja bersertifikat meningkat drastis. Namun, menurut data Kementerian PUPR (2018), baru 740.000 dari 7,4 juta tenaga kerja konstruksi yang tersertifikasi—hanya sekitar 10%. Target pemerintah mencapai 3 juta sertifikat pun masih jauh dari realisasi.
Sertifikasi Tenaga Terampil: Ujung Tombak Lapangan
Tenaga terampil atau tukang memegang peran vital dalam pelaksanaan proyek, khususnya proyek bangunan bertingkat tinggi. Tanpa sertifikasi, tidak hanya aspek legalitas yang dipertanyakan, namun juga kompetensi teknis dan keselamatan kerja di lapangan.
Metode Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif-deskriptif melalui survei kuesioner dan observasi di tiga proyek bangunan tinggi dengan total responden sebanyak 129 orang. Metode sampling yang digunakan adalah incidental sampling. Data dianalisis menggunakan statistik deskriptif berbentuk persentase.
Temuan Utama: Empat Faktor Penghambat Sertifikasi
1. Biaya Sertifikasi Kompetensi (26,59%)
Ini menjadi faktor paling dominan. Mayoritas responden menganggap biaya Rp 250.000 yang ditetapkan oleh LPJK terlalu mahal. Bahkan, sebagian besar menyatakan hanya mampu membayar Rp 100.000. Ini menunjukkan adanya ketimpangan antara kemampuan ekonomi tenaga terampil dan kebijakan tarif sertifikasi.
2. Pelaksanaan Sertifikasi yang Kurang Efektif (24,76%)
Banyak responden merasa proses sertifikasi tidak mudah diakses, kurang sosialisasi, dan jarang dilaksanakan di lokasi kerja mereka. Kegiatan sertifikasi dianggap membingungkan, tidak terjadwal dengan baik, dan kurang melibatkan pekerja sebagai subjek utama.
3. Tidak Ada Insentif Upah bagi Tenaga Bersertifikat (25,91%)
Salah satu alasan utama tenaga terampil enggan mengikuti sertifikasi adalah karena tidak ada perbedaan signifikan dalam hal upah antara pekerja bersertifikat dan non-sertifikat. Hal ini melemahkan motivasi mereka untuk mengikuti program.
4. Jaminan Mutu yang Tidak Terasa Nyata (22,72%)
Sertifikat kompetensi belum dianggap menjamin kualitas kerja karena perusahaan tidak selalu mempertimbangkan sertifikasi dalam proses rekrutmen atau penilaian kinerja. Akibatnya, sertifikat hanya menjadi "kertas formalitas" tanpa dampak nyata.
Persepsi Terhadap Biaya Sertifikasi
21,4% responden menyebut biaya Rp 250.000 terlalu mahal.
18,6% menyatakan bersedia jika biayanya Rp 100.000.
19% mengatakan biaya bukan prioritas karena kebutuhan pokok lebih mendesak.
21,3% menilai upah mereka tidak cukup untuk membayar sertifikasi.
Hal ini menunjukkan bahwa kendala biaya bukan sekadar angka nominal, melainkan berkaitan erat dengan daya beli, prioritas ekonomi keluarga, dan persepsi nilai manfaat sertifikat itu sendiri.
Analisis Tambahan dan Kritik
Perbandingan dengan Studi Lain
Adi & Adillah (2012): Biaya dianggap sebagai hambatan umum sertifikasi di berbagai sektor.
Toreh & Wiguna (2015): Tidak ada perbedaan signifikan antara performa tukang bersertifikat dan tidak, memperkuat argumen bahwa sertifikasi harus diikuti dengan pelatihan teknis lanjutan.
Kritik terhadap Penelitian
Hanya menggunakan pendekatan deskriptif; tidak menguji hubungan antar variabel secara statistik lanjutan.
Wilayah penelitian terbatas pada tiga proyek di wilayah Jabodetabek; belum mencerminkan kondisi nasional.
Sampling insidental dapat menimbulkan bias keterwakilan data.
Rekomendasi Strategis
Subsidi Sertifikasi bagi Tenaga Terampil melalui dana CSR atau APBN.
Integrasi Sertifikasi dengan Kenaikan Upah dan Jenjang Karier.
Perluasan Akses Melalui Sertifikasi Keliling dan Digitalisasi Proses.
Kampanye Edukasi Nilai Sertifikasi yang melibatkan asosiasi kontraktor dan serikat buruh.
Dampak Jangka Panjang Jika Tidak Diatasi
Jika faktor-faktor penghambat ini tidak segera diatasi, maka risiko yang timbul antara lain:
Semakin rendah daya saing tenaga kerja Indonesia di pasar ASEAN.
Meningkatnya angka kecelakaan kerja akibat tenaga tidak kompeten.
Sertifikasi akan dianggap tidak relevan dan kehilangan legitimasi sosial.
Kesimpulan
Penelitian ini berhasil mengungkap realita di lapangan bahwa meskipun sertifikasi kompetensi sangat penting, pelaksanaannya belum mampu menjangkau dan meyakinkan tenaga terampil untuk terlibat aktif. Biaya, pelaksanaan yang rumit, insentif yang tidak jelas, dan manfaat yang belum terasa nyata menjadi penghambat dominan. Solusinya bukan hanya pada aspek regulasi, tapi juga bagaimana membangun ekosistem yang membuat sertifikasi benar-benar bernilai di mata pekerja konstruksi.
Sumber Referensi
Widiasanti, I., Fridestu, A., Rochyadi, D., & Anisah. (2018). Faktor Dominan Penghambat Sertifikasi Kompetensi dalam Persepsi Tenaga Terampil di Sektor Konstruksi. Seminar Nasional Sains dan Teknologi, Fakultas Teknik, Universitas Muhammadiyah Jakarta. https://jurnal.umj.ac.id/index.php/semnastek
Ketenagakerjaan
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 Oktober 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi merupakan tulang punggung pembangunan fisik dan ekonomi di banyak negara, termasuk Swedia. Namun, masalah klasik seperti keterlambatan proyek, pembengkakan biaya, dan kualitas hasil yang tidak konsisten sering kali berakar pada satu isu utama: rendahnya produktivitas tenaga kerja. Penelitian oleh Pia Malin Bartoschek dan Filip Kamenov Kirchev (2021) menyajikan analisis komprehensif tentang bagaimana produktivitas tenaga kerja berkontribusi terhadap keberhasilan proyek konstruksi, khususnya dari sudut pandang manajer proyek di industri konstruksi Swedia.
Resensi ini bertujuan membedah temuan utama studi tersebut, menyajikan data dan wawasan praktis, serta memperkaya pembahasan dengan opini kritis dan perbandingan dengan praktik global.
Latar Belakang Penelitian
Swedia dan Tantangan Produktivitas di Sektor Konstruksi
Swedia mengalami peningkatan 35,4% lapangan kerja di industri konstruksi antara 2010 hingga 2020. Nilai industri ini pada 2019 mencapai 53,3 miliar euro. Namun, menurut Jonsson (2005), produktivitas tenaga kerja tetap rendah akibat perencanaan buruk, minimnya kepemimpinan, dan tingginya biaya konstruksi.
Definisi dan Pentingnya Produktivitas Tenaga Kerja
Produktivitas tenaga kerja diukur dari output per jam kerja. Ini mencerminkan efisiensi tenaga kerja dalam menghasilkan hasil proyek. Florez dan Cortissoz (2016) menyebutkan bahwa biaya tenaga kerja menyumbang 30–50% dari total biaya proyek, menjadikannya faktor utama dalam optimasi biaya.
Tujuan Penelitian dan Pertanyaan Kunci
Penelitian ini bertujuan menjawab: "Bagaimana kesuksesan proyek dapat dicapai melalui optimalisasi produktivitas tenaga kerja?" Fokusnya adalah pada persepsi manajer proyek mengenai faktor-faktor penentu produktivitas dan bagaimana mereka mengelola faktor tersebut sepanjang siklus proyek.
Metodologi
Pendekatan Kualitatif Deduktif
Penelitian ini menggunakan pendekatan wawancara mendalam dengan manajer proyek dari tiga perusahaan besar di Swedia: JM AB, Svevia, dan Atrium Ljungberg. Lima wawancara dilakukan, dianalisis dengan content analysis.
Framework Teoretis
Kerangka utama yang digunakan adalah 10-Factor Model dari Pinto dan Slevin (1988), yang mengidentifikasi faktor-faktor kunci keberhasilan proyek: komunikasi, dukungan manajemen puncak, perencanaan proyek, konsultasi klien, rekrutmen personel, tugas teknis, penerimaan klien, pemantauan, serta troubleshooting.
Temuan Lapangan
Faktor Pendorong Produktivitas Tenaga Kerja
Dari wawancara, faktor-faktor yang konsisten muncul sebagai pendorong utama produktivitas adalah:
Perencanaan awal yang matang
Dukungan manajemen puncak
Gaya kepemimpinan yang suportif
Komunikasi lintas fungsi yang efektif
Pelatihan dan pengalaman tim
Teknologi digital seperti BIM (Building Information Modeling)
Studi Kasus: Atrium Ljungberg
Sebagai perusahaan properti, Atrium bertindak sebagai kontraktor utama dan mengelola proyek secara menyeluruh. Mereka menekankan pentingnya desain awal, risk assessment berkala, serta komunikasi terpusat melalui BIM. Manajer proyek menyatakan bahwa investasi di awal siklus proyek, meskipun mahal, menghindari masalah besar di fase eksekusi.
Studi Kasus: JM AB dan Svevia
JM AB fokus pada pembangunan perumahan, sementara Svevia pada infrastruktur. Kedua perusahaan menyoroti pentingnya keterlibatan tim sejak awal, pelatihan berkala, serta gaya kepemimpinan kolaboratif. Salah satu manajer menyatakan bahwa proyek sukses bergantung pada "perencanaan mikro dan kemampuan merespons risiko secara dinamis".
Analisis Faktor Produktivitas
Faktor Organisasi
Top management support menentukan akses ke sumber daya dan validasi keputusan teknis. Struktur organisasi yang terlalu hierarkis cenderung menghambat respons cepat di lapangan.
Faktor Personal dan Kepemimpinan
Manajer proyek yang kompeten menunjukkan kombinasi kemampuan teknis, komunikasi, dan kepemimpinan partisipatif. Kelemahan pada salah satu aspek ini berdampak langsung pada moral dan output tim.
Faktor Eksternal
Cuaca ekstrem, perubahan regulasi, dan tekanan pasar merupakan faktor luar yang berpengaruh besar. Namun, banyak manajer proyek di Swedia telah mengembangkan sistem mitigasi risiko berbasis teknologi.
Perbandingan Global
Studi Nigeria, Turki, dan Indonesia
Di Nigeria (Paul & Adavi, 2013), komunikasi dua arah dianggap sebagai kunci meningkatkan produktivitas.
Di Turki (Kazaz et al., 2008), motivasi kerja adalah determinan utama.
Di Indonesia (Jarkas, 2010), buildability design berkontribusi besar terhadap efisiensi konstruksi.
Penelitian Bartoschek dan Kirchev mengonfirmasi bahwa faktor-faktor ini juga berlaku di Swedia, menunjukkan sifat universal dari produktivitas tenaga kerja konstruksi.
Kritik dan Opini
Kekuatan Penelitian:
Studi lapangan mendalam melalui wawancara langsung.
Penggunaan teori klasik (Pinto & Slevin, Belassi & Tukel) sebagai dasar analisis.
Kelemahan:
Jumlah responden terbatas (hanya lima orang).
Tidak mencakup aspek kuantitatif untuk mengukur dampak faktor secara statistik.
Fokus pada perusahaan besar, kurang mewakili UKM konstruksi.
Saran Tambahan:
Penelitian lanjutan sebaiknya:
Menggunakan mixed method (wawancara dan survei kuantitatif).
Menyoroti perbedaan produktivitas antara proyek publik dan swasta.
Menganalisis peran teknologi AI dan otomasi di masa depan.
Rekomendasi Praktis untuk Industri
Digitalisasi Proses Proyek: Gunakan BIM, dashboard KPI real-time, dan sistem ERP untuk efisiensi informasi.
Pelatihan Berkelanjutan: Fokus pada soft skill (komunikasi, manajemen konflik) dan hard skill teknis.
Pemetaan Risiko Awal: Lakukan assessment menyeluruh pada tahap perencanaan.
Desentralisasi Keputusan: Beri keleluasaan manajer proyek untuk mengambil keputusan strategis.
Kultur Organisasi Kolaboratif: Dorong komunikasi terbuka antar-departemen dan pengakuan atas kontribusi individu.
Kesimpulan
Produktivitas tenaga kerja konstruksi adalah kombinasi antara manusia, proses, dan sistem. Studi ini memperlihatkan bahwa dengan pengelolaan yang tepat terutama oleh manajer proyek yang kompeten dan sistem pendukung yang efektif, produktivitas dapat dioptimalkan, dan kesuksesan proyek dapat tercapai. Meski berfokus pada Swedia, temuan ini relevan secara global, termasuk di Indonesia, mengingat kemiripan tantangan di sektor konstruksi.
Sumber Referensi
Bartoschek, P. M., & Kirchev, F. K. (2021). Labor Productivity Influence in the Construction Industry. Jönköping University. https://www.diva-portal.org/smash/record.jsf?pid=diva2%3A1550289
Arsitektur Berbasis Kearifan Lokal
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 Oktober 2025
Pendahuluan
Ketika industri pariwisata berkembang pesat, muncul kebutuhan mendesak untuk mengintegrasikan nilai-nilai lokal dalam perencanaan kawasan wisata. Artikel karya Michella Elizabeth Reifiana ini mengambil langkah strategis dengan menghadirkan pendekatan arsitektur tradisional Sunda dalam perencanaan Tanjung Lesung Eco Resort di Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Pendekatan ini tidak hanya menawarkan diferensiasi estetika, tetapi juga membangun identitas kultural yang otentik.
Resensi ini bertujuan untuk menelaah secara komprehensif kontribusi paper tersebut, dengan mengulas pendekatan desain yang diterapkan, relevansinya terhadap konteks lingkungan dan budaya, serta menilai sejauh mana konsep yang diusung mampu menjawab tuntutan pariwisata berkelanjutan masa kini.
Latar Belakang: Konteks Lokal dan Arsitektur Tradisional
Tanjung Lesung telah ditetapkan sebagai Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) pariwisata berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 26 Tahun 2012. Wilayah ini memiliki kekayaan ekosistem pesisir, potensi budaya, dan lokasi strategis di Selat Sunda. Namun, pengembangan wisata di kawasan ini masih menghadapi tantangan seperti belum optimalnya infrastruktur, kurangnya konsep berbasis lokal, serta kebutuhan akan pariwisata berkelanjutan.
Dalam konteks ini, pendekatan arsitektur tradisional Sunda menjadi jawaban kreatif terhadap kebutuhan fungsional, ekologis, sekaligus pelestarian nilai-nilai lokal. Paper ini memperlihatkan bahwa tradisi bukan sekadar warisan, melainkan sumber inspirasi desain yang hidup.
Tujuan dan Metodologi Perancangan
Tujuan utama penelitian ini adalah merancang kawasan eco resort yang harmonis dengan lingkungan dan budaya lokal. Penulis menggunakan pendekatan arsitektural yang responsif terhadap alam (ekologis), sosial (budaya), dan ekonomi (daya tarik wisata).
Metode perancangan dilakukan dengan beberapa tahapan:
Studi literatur arsitektur Sunda
Analisis tapak dan potensi lahan
Pengumpulan data primer dan sekunder
Perancangan makro dan mikro ruang
Penyesuaian bentuk dan material bangunan
Rancangan yang dihasilkan adalah sebuah eco resort dengan karakter lokal kuat, namun tetap memenuhi kenyamanan dan standar internasional.
Analisis Tapak dan Konsep Zonasi
Penulis menyajikan peta analisis tapak yang komprehensif, mempertimbangkan aspek:
Arah angin dan cahaya matahari
Kontur tanah dan potensi banjir
Vegetasi lokal dan konservasi
Aksesibilitas dan konektivitas jalan
Dari hasil analisis, kawasan dibagi menjadi beberapa zona:
Zona Penginapan (Villa dan Bungalow): Mengadopsi bentuk rumah panggung dan material kayu lokal.
Zona Publik (Restoran, Galeri, Pusat Kebudayaan): Menonjolkan atap pelana dan elemen terbuka khas Sunda.
Zona Konservasi dan Edukasi: Untuk mendukung wisata alam dan pelestarian lingkungan.
Zona Komersial dan Servis: Dirancang seminimal mungkin untuk menjaga harmoni kawasan.
Konsep zonasi ini mencerminkan prinsip-prinsip keberlanjutan (sustainable development) dan keharmonisan spasial yang menjadi fondasi arsitektur Nusantara.
Arsitektur Sunda: Implementasi Konsep Lokal
Paper ini tidak hanya menampilkan elemen arsitektur Sunda secara visual, tapi juga menyerap nilai-nilai filosofisnya, seperti:
Tri Tangtu di Buana: Konsep pembagian ruang menjadi buana nyungcung (atas), buana tengah, dan buana larang (bawah).
Tatali Paranti Karuhun: Prinsip menghormati leluhur yang diterjemahkan dalam struktur dan ornamen bangunan.
Material alami: Pemanfaatan bambu, kayu, ijuk, dan batu lokal sebagai bahan utama.
Dalam penggambaran denah dan tampak bangunan, penggunaan atap tinggi, ventilasi silang, dan ruang terbuka menunjukkan kesadaran ekologis dalam desain.
Keberlanjutan dan Efisiensi Energi
Salah satu kekuatan utama dari perancangan ini adalah komitmen terhadap prinsip ramah lingkungan:
Desain pasif untuk penghematan energi (ventilasi alami, pencahayaan maksimal).
Pengelolaan air limbah dengan sistem biopori dan daur ulang air.
Konservasi vegetasi asli di sekitar bangunan tanpa eksploitasi berlebihan.
Konsep bangunan modular yang mempermudah perluasan tanpa merusak lingkungan.
Langkah-langkah ini memperlihatkan bahwa pembangunan wisata tidak harus merusak alam, justru bisa menjadi bagian dari pelestariannya.
Studi Banding: Praktik Serupa di Destinasi Lain
Sebagai perbandingan, konsep serupa juga diterapkan di beberapa destinasi unggulan seperti:
Ubud, Bali dengan villa bernuansa tradisional Bali dan sistem irigasi subak.
Desa Wisata Nglanggeran, Yogyakarta yang berbasis komunitas dan konservasi alam.
Green Village Bali yang sepenuhnya menggunakan bambu sebagai material utama.
Namun, perbedaan mencolok dari perancangan Tanjung Lesung adalah fokus kuat pada identitas Sunda, yang relatif jarang diangkat dalam industri pariwisata arsitektural nasional.
Kelebihan dan Kritik
Kelebihan:
Kuatnya narasi lokalitas dalam desain, bukan sekadar dekoratif.
Keseimbangan antara estetika dan fungsi dalam penataan ruang.
Pendekatan ekologis yang konkret, bukan sekadar jargon.
Potensi edukatif terhadap pengunjung mengenai budaya Sunda.
Kritik:
Belum cukup penekanan pada keterlibatan masyarakat lokal dalam perencanaan.
Perlu kajian keberlanjutan finansial jangka panjang jika ingin direalisasikan secara nyata.
Kurang dibahas potensi mitigasi terhadap bencana alam seperti tsunami atau gempa yang menjadi risiko kawasan pesisir Banten.
Dampak dan Implikasi Nyata
Jika direalisasikan, rancangan ini tidak hanya menjadi destinasi wisata, tetapi juga bisa berfungsi sebagai:
Model desain arsitektur lokal kontemporer yang bisa direplikasi.
Sarana pelestarian budaya Sunda dalam wujud fisik dan pengalaman wisata.
Simbol pariwisata hijau yang bisa mendorong daya saing KEK Tanjung Lesung secara global.
Dalam jangka panjang, pendekatan semacam ini juga berpotensi mendukung green investment dan memperluas peluang kerja masyarakat sekitar.
Kesimpulan
Paper karya Michella Elizabeth Reifiana ini berhasil membuktikan bahwa pendekatan arsitektur tradisional Sunda bukanlah hambatan modernisasi, melainkan solusi autentik untuk pariwisata berkelanjutan. Melalui riset tapak yang cermat, desain ruang yang kontekstual, serta komitmen pada pelestarian budaya dan lingkungan, rancangan Tanjung Lesung Eco Resort memberikan blueprint konkret untuk pengembangan wisata lokal yang berkelas dunia.
Penelitian ini memperkaya wacana arsitektur Indonesia kontemporer dan menginspirasi pendekatan serupa di wilayah lain. Kelemahan minor yang ada tidak menutupi kualitas metodologis dan inovatif dari studi ini.
Sumber
Reifiana, Michella Elizabeth. Perencanaan dan Perancangan Tanjung Lesung Eco Resort Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten dengan Pendekatan Arsitektur Tradisional Sunda.
Pembangunan Daerah
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 Oktober 2025
Pendahuluan
Ketahanan pangan telah menjadi isu strategis dan multidimensi dalam pembangunan nasional, terlebih di era globalisasi dan perubahan iklim yang tidak menentu. Dalam konteks Provinsi Banten, isu ini menjadi semakin penting karena wilayah tersebut merupakan penyangga ibukota negara dan berperan sebagai pintu gerbang Jawa-Sumatera. Paper yang ditulis oleh Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja berjudul “Situasi dan Gambaran Ketahanan Pangan di Provinsi Banten Berdasarkan Peta FSVA dan Indikator Ketahanan Pangan” yang diterbitkan dalam Jurnal Agribisnis Terpadu Vol. 13 No. 2, 2020, memberikan potret komprehensif atas ketahanan pangan wilayah ini dengan membandingkan dua pendekatan metodologis: Peta FSVA tahun 2018 dan studi Deby Eryani Setiawan et al. (2017).
Artikel ini akan menguraikan secara analitis bagaimana indikator-indikator tersebut membentuk pemetaan kerawanan pangan, menjelaskan urgensi tiap indikator, serta menyoroti kesenjangan spasial yang terjadi antardaerah dalam Provinsi Banten.
Latar Belakang
Isu ketahanan pangan bukan sekadar soal ketersediaan beras atau kecukupan kalori, melainkan menyangkut hak fundamental setiap warga untuk memperoleh akses terhadap pangan yang bergizi, aman, dan terjangkau secara berkelanjutan. Di tengah kompleksitas tantangan global seperti perubahan iklim, pertumbuhan penduduk, konversi lahan pertanian, hingga pandemi, ketahanan pangan menjadi indikator utama kesejahteraan dan stabilitas sosial suatu wilayah.
Provinsi Banten sebagai daerah strategis dengan pertumbuhan penduduk yang tinggi dan urbanisasi yang cepat menghadapi tantangan tersendiri dalam menjaga ketahanan pangan. Wilayah ini memiliki profil geografis yang beragam—dari kawasan pesisir, pegunungan, hingga urban-industrial. Kondisi ini menciptakan ketimpangan akses dan pemanfaatan pangan antarwilayah, yang berimplikasi pada meningkatnya angka stunting, rendahnya pendidikan gizi, serta ketergantungan pada distribusi pangan dari luar daerah.
Untuk itu, penting adanya pemetaan dan analisis berbasis data spasial guna memahami situasi riil ketahanan pangan di setiap kabupaten/kota di Provinsi Banten. Paper yang ditulis oleh Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja ini hadir untuk menjawab kebutuhan tersebut, dengan membandingkan dua sumber utama data indikator ketahanan pangan: FSVA (Food Security and Vulnerability Atlas) tahun 2018 dan penelitian oleh Setiawan et al. (2017). Penelitian ini tidak hanya mengukur level kerawanan pangan, tetapi juga memetakan wilayah prioritas intervensi dan menyusun dasar kebijakan berbasis bukti yang lebih kontekstual.
Kerangka Analisis Ketahanan Pangan
Apa Itu Ketahanan Pangan?
Merujuk pada UU No. 18 Tahun 2012, ketahanan pangan tidak hanya berarti tersedianya pangan dalam jumlah dan mutu yang cukup, tetapi juga menekankan pada aksesibilitas individu terhadap pangan yang aman, bergizi, dan terjangkau. Berdasarkan Food Security and Vulnerability Atlas (FSVA) dan konsep dari World Food Programme (WFP), ketahanan pangan ditentukan oleh tiga pilar utama:
Ketersediaan pangan (food availability),
Akses pangan (food access), dan
Pemanfaatan pangan (food utilization).
FSVA memperluasnya dengan memasukkan kerentanan terhadap pangan transien, seperti bencana alam, deforestasi, hingga fluktuasi curah hujan.
Metodologi dan Pendekatan Perbandingan
Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif-komparatif dengan membandingkan Peta FSVA tahun 2018 yang mencakup 9 indikator dengan penelitian Deby Eryani Setiawan et al. yang menggunakan 6 indikator. Fokus utama adalah menganalisis persebaran ketahanan pangan serta indikator-indikator kritis yang memengaruhi ketahanan tersebut pada level kabupaten/kota di Banten.
Temuan Utama dan Analisis Mendalam
1. Rasio Konsumsi vs Ketersediaan Pangan
Menurut FSVA, wilayah Banten terbagi menjadi tiga zona:
Surplus tinggi (barat),
Surplus sedang (timur),
Surplus rendah (utara).
Analisis:
Meski secara keseluruhan surplus, pola ini mengindikasikan ketimpangan distribusi. Surplus tidak otomatis menjamin keamanan pangan di level rumah tangga karena keterbatasan akses dan distribusi logistik.
2. Stunting dan Gizi Buruk
Stunting mencapai 30-39% (FSVA), bahkan >40% (Setiawan et al.). Gizi buruk juga signifikan di beberapa kecamatan.
Analisis:
Ini adalah indikator paling mengkhawatirkan. Tingginya angka stunting dan gizi buruk menunjukkan permasalahan sistemik dalam pemanfaatan pangan dan akses gizi berkualitas. Wilayah seperti Kabupaten Pandeglang mencatat angka stunting sebesar 37,8%—salah satu yang tertinggi di Indonesia.
3. Akses terhadap Air Bersih dan Listrik
Sebagian besar rumah tangga di wilayah selatan tidak memiliki akses air bersih (60–70%).
Akses listrik membaik, tetapi masih ada wilayah tanpa sambungan (Level <10%).
Analisis:
Ketiadaan air bersih memperparah masalah gizi dan kesehatan. Listrik berpengaruh pada penyimpanan makanan dan akses terhadap informasi pangan.
4. Lama Sekolah Perempuan
Sebagian besar perempuan di atas usia 15 tahun hanya menempuh pendidikan 6–8,5 tahun. Hal ini tergolong rendah dan menjadi indikator penting dalam pemanfaatan pangan.
Analisis:
Edukasi perempuan sangat penting dalam pola konsumsi rumah tangga, pemilihan makanan sehat, dan pengasuhan anak. Daerah dengan tingkat pendidikan rendah lebih berisiko mengalami kerentanan pangan.
5. Proporsi Pengeluaran untuk Pangan
Sebagian besar rumah tangga menghabiskan 30–40% pendapatannya untuk makanan. Angka ini cukup tinggi dan menunjukkan keterbatasan ekonomi masyarakat.
Analisis:
Semakin besar proporsi pengeluaran untuk makanan, semakin sedikit dana untuk pendidikan, kesehatan, dan kebutuhan penting lainnya. Ini memperkuat lingkaran setan kemiskinan dan rawan pangan.
6. Angka Harapan Hidup dan Rasio Tenaga Kesehatan
Angka harapan hidup 64–70 tahun.
Rasio tenaga kesehatan <5 per wilayah (baik).
Analisis:
Indikator ini tergolong positif dan mencerminkan perkembangan layanan dasar. Namun, tidak boleh mengaburkan fakta bahwa aspek lain seperti stunting masih menjadi masalah besar.
Ketimpangan Wilayah: Kota vs Kabupaten
Indeks Ketahanan Pangan (IKP) menunjukkan disparitas antarwilayah:
Kota Serang memiliki skor IKP terendah: 59,16 (kategori rawan pangan).
Kota Tangerang Selatan memiliki skor tertinggi: 83,33 (kategori sangat tahan pangan).
Analisis:
Kota besar umumnya memiliki infrastruktur dan akses pasar yang lebih baik, sedangkan daerah seperti Serang dan Pandeglang masih tertinggal secara struktural dan sosial. Hal ini membutuhkan pendekatan yang lebih kontekstual dan kebijakan yang tidak seragam (tailored policy).
Implikasi Kebijakan dan Rekomendasi
Fokus pada Intervensi Gizi Anak
Prioritaskan pemberantasan stunting dan gizi buruk melalui program pangan bergizi di sekolah dan posyandu.
Pembangunan Infrastruktur Dasar
Perluasan jaringan air bersih dan listrik ke wilayah perdesaan harus menjadi prioritas.
Edukasi dan Pemberdayaan Perempuan
Program literasi dan pelatihan gizi untuk ibu rumah tangga bisa berdampak signifikan pada ketahanan pangan keluarga.
Distribusi Pangan Berkeadilan
Sistem distribusi pangan perlu ditata ulang agar surplus pangan di satu wilayah dapat menutupi kekurangan di wilayah lain secara efisien.
Pemanfaatan Data Spasial
Data FSVA dan pemetaan spasial bisa digunakan secara aktif oleh pemerintah daerah dalam perumusan kebijakan berbasis bukti.
Kritik dan Perbandingan dengan Studi Lain
Dibandingkan dengan studi serupa di Sulawesi Utara (Purwantini et al., 2002), ditemukan pola serupa: surplus pangan di level regional tidak menjamin keamanan pangan di level rumah tangga. Hal ini menunjukkan pentingnya memperhatikan akses dan pemanfaatan, bukan hanya produksi.
Kesimpulan
Studi ini memberikan wawasan kritis bahwa meskipun Provinsi Banten secara umum masuk dalam kategori "tahan pangan" berdasarkan peta FSVA, namun masih terdapat disparitas signifikan antarwilayah dan indikator. Ketahanan pangan harus dilihat secara menyeluruh: dari ketersediaan, akses, hingga pemanfaatan. Fokus intervensi tidak hanya pada kuantitas produksi tetapi juga kualitas konsumsi dan distribusi yang merata.
Sumber
Yeni Budiawati dan Ronnie S. Natawidjaja. Situasi dan Gambaran Ketahanan Pangan di Provinsi Banten Berdasarkan Peta FSVA dan Indikator Ketahanan Pangan. Jurnal Agribisnis Terpadu, Vol. 13 No. 2, Desember 2020. ISSN 1979-4991.
Manajemen Proyek
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 20 Oktober 2025
Industri konstruksi adalah motor penggerak perekonomian banyak negara, termasuk Sri Lanka. Dengan pertumbuhan pesat dan kebutuhan infrastruktur yang terus meningkat, memilih metode pengadaan proyek yang tepat menjadi sangat krusial. Di tengah lanskap ini, metode Design-Build (DB) telah muncul sebagai alternatif yang semakin populer dari model tradisional Design-Bid-Build (DBB). Namun, seberapa efektifkah DB dalam mencapai kesuksesan proyek di konteks Sri Lanka? Tesis Master oleh Salinda Ranga Rathugama dari University of Moratuwa, Sri Lanka, pada tahun 2013, menawarkan eksplorasi komprehensif tentang faktor-faktor penentu keberhasilan metode Design-Build untuk proyek-proyek bangunan di negara tersebut. Studi ini tidak hanya mengidentifikasi metrik kesuksesan, tetapi juga menggali tantangan dan peluang, memberikan wawasan berharga bagi pemangku kepentingan di industri konstruksi global.
Mengapa Memilih Design-Build? Memahami Keunggulan Metode DB
Metode Design-Build (DB) adalah strategi pengadaan proyek di mana satu entitas tunggal, biasanya kontraktor dengan kemampuan desain internal atau bermitra dengan konsultan desain, bertanggung jawab penuh atas layanan desain dan konstruksi proyek. Ini berbeda dengan pendekatan tradisional Design-Bid-Build (DBB) yang memisahkan kontrak desain dan konstruksi. Keunggulan DB yang sering disebut-sebut meliputi:
Titik Tanggung Jawab Tunggal: Pemilik proyek hanya perlu berkoordinasi dengan satu pihak, menyederhanakan komunikasi dan mengurangi risiko sengketa antara desainer dan kontraktor.
Efisiensi Waktu: Proses yang terintegrasi memungkinkan tumpang tindih antara fase desain dan konstruksi (sering disebut fast-tracking), mempercepat jadwal proyek.
Potensi Penghematan Biaya: Kolaborasi dini antara desainer dan kontraktor dapat mengidentifikasi solusi yang lebih ekonomis dan efisien selama fase desain.
Inovasi: Tim DB memiliki fleksibilitas lebih besar untuk berinovasi dalam desain dan metode konstruksi karena mereka bertanggung jawab atas keseluruhan hasil.
Pengurangan Klaim: Dengan satu titik tanggung jawab, potensi klaim yang muncul dari koordinasi yang buruk antara desainer dan kontraktor dapat diminimalkan.
Mengingat manfaat teoritis ini, tidak mengherankan jika banyak negara, termasuk Sri Lanka, mulai mengadopsi DB untuk proyek-proyek mereka. Namun, kesuksesan tidak datang begitu saja. Implementasi DB yang efektif memerlukan pemahaman mendalam tentang faktor-faktor yang mendorong atau menghambat keberhasilannya.
Mendefinisikan Kesuksesan Proyek: Lebih dari Sekadar Biaya dan Waktu
Sebelum menilai keberhasilan DB, penelitian ini terlebih dahulu mendefinisikan apa yang dimaksud dengan "kesuksesan proyek." Secara tradisional, kesuksesan sering diukur hanya dari segi biaya (sesuai anggaran) dan waktu (tepat waktu). Namun, penelitian modern mengakui bahwa kesuksesan proyek jauh lebih luas, mencakup dimensi seperti:
Kualitas: Apakah proyek memenuhi standar kualitas yang ditetapkan dan harapan pemilik?
Kepuasan Pemangku Kepentingan: Apakah pemilik, pengguna akhir, dan pihak lain yang terlibat merasa puas dengan hasil proyek?
Kinerja Proyek: Apakah tujuan fungsional dan operasional proyek tercapai?
Manajemen Risiko: Apakah risiko diidentifikasi, dikelola, dan dimitigasi secara efektif?
Manajemen Komunikasi: Apakah komunikasi antar pihak berjalan lancar dan efektif?
Kesehatan dan Keselamatan: Apakah proyek dilaksanakan dengan standar keselamatan yang tinggi?
Dengan mengadopsi definisi kesuksesan yang lebih holistik ini, penelitian dapat memberikan gambaran yang lebih akurat tentang efektivitas metode DB.
Metodologi Penelitian: Menggali Persepsi Profesional Konstruksi
Tesis ini mengadopsi pendekatan kuantitatif, menggunakan kuesioner sebagai instrumen utama pengumpulan data. Target responden adalah para profesional konstruksi berpengalaman di Sri Lanka yang terlibat dalam proyek-proyek Design-Build. Responden ini kemungkinan besar mencakup manajer proyek, insinyur, arsitek, dan kontraktor dari berbagai perusahaan. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik untuk mengidentifikasi korelasi antara berbagai faktor dan tingkat keberhasilan proyek DB. Metode ini memungkinkan peneliti untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang dianggap paling signifikan oleh para praktisi di lapangan.
Penelitian semacam ini seringkali melibatkan langkah-langkah berikut:
Identifikasi Faktor-faktor Potensial: Berdasarkan studi literatur dan wawancara awal, peneliti mengidentifikasi daftar panjang faktor-faktor yang mungkin memengaruhi keberhasilan proyek DB (misalnya, pengalaman tim, kejelasan lingkup, manajemen risiko, dll.).
Desain Kuesioner: Kuesioner disusun dengan skala Likert untuk mengukur tingkat kepentingan atau dampak dari masing-masing faktor.
Pengumpulan Data: Kuesioner disebarkan kepada sampel profesional yang relevan.
Analisis Statistik: Data dianalisis menggunakan teknik statistik deskriptif dan inferensial (misalnya, analisis regresi, analisis faktor, atau uji korelasi) untuk menentukan hubungan antara faktor-faktor dan kesuksesan proyek.
Temuan Kunci: Pilar-pilar Kesuksesan DB di Sri Lanka
Meskipun abstrak tidak menyediakan angka spesifik, penelitian serupa seringkali menemukan beberapa faktor kunci yang secara konsisten berkorelasi positif dengan keberhasilan proyek DB. Berdasarkan konteks dan tujuan penelitian, beberapa temuan yang mungkin signifikan meliputi:
Pengalaman Tim DB: Tim yang memiliki pengalaman luas dalam proyek DB cenderung lebih sukses. Pengalaman ini mencakup pengalaman kolaborasi antara desainer dan kontraktor, serta pemahaman tentang proses DB yang terintegrasi.
Kejelasan Lingkup Proyek (Awal): Meskipun DB memungkinkan fleksibilitas desain, kejelasan yang memadai tentang tujuan dan lingkup proyek pada tahap awal sangat penting. Jika pemilik tidak dapat mengartikulasikan kebutuhan mereka dengan jelas, tim DB akan kesulitan dalam menyampaikan hasil yang sesuai.
Komunikasi dan Kolaborasi yang Efektif: DB sangat bergantung pada komunikasi dan kolaborasi yang lancar antar anggota tim DB dan dengan pemilik. Hambatan komunikasi dapat memicu miskomunikasi dan penundaan.
Manajemen Risiko yang Proaktif: Mengidentifikasi dan mengelola risiko secara proaktif sejak awal proyek adalah kunci. Ini termasuk risiko terkait desain, konstruksi, pembebasan lahan, perubahan harga material, atau kondisi lokasi yang tidak terduga.
Kualitas Dokumen Kontrak: Meskipun DB dirancang untuk kesederhanaan kontrak bagi pemilik, kejelasan dan kelengkapan dokumen kontrak antara pemilik dan tim DB, serta antara anggota tim DB sendiri, tetap krusial.
Ketersediaan Sumber Daya: Ketersediaan tenaga kerja terampil, material, dan peralatan yang memadai juga menjadi faktor penentu.
Penelitian ini mungkin menemukan bahwa, misalnya, faktor "Pengalaman Tim DB" memiliki koefisien korelasi tertinggi dengan "Kepuasan Pemilik" (r = 0.75), menunjukkan hubungan yang sangat kuat. Atau, "Ketidakjelasan Lingkup Awal" menjadi faktor paling signifikan yang menyebabkan pembengkakan biaya dalam proyek DB di Sri Lanka, mempengaruhi X% proyek yang disurvei. Analisis semacam itu akan memberikan bukti empiris yang kuat tentang urgensi setiap faktor.
Analisis Mendalam: Konteks Sri Lanka dan Perbandingan Regional
Temuan penelitian ini tidak hanya relevan untuk Sri Lanka tetapi juga dapat memberikan wawasan bagi negara-negara berkembang lainnya di Asia Tenggara dan Asia Selatan yang memiliki karakteristik industri konstruksi yang serupa.
Keterbatasan Sumber Daya: Di banyak negara berkembang, ketersediaan tenaga kerja terampil, teknologi canggih, dan akses ke material tertentu masih menjadi tantangan. Dalam konteks ini, keberhasilan DB akan sangat bergantung pada kemampuan tim DB untuk mengoptimalkan penggunaan sumber daya yang ada.
Regulasi dan Kerangka Hukum: Efektivitas DB juga dipengaruhi oleh kerangka regulasi dan hukum yang berlaku. Apakah ada undang-undang yang mendukung fleksibilitas DB? Bagaimana mekanisme penyelesaian sengketa? Studi ini secara implisit akan menyentuh aspek ini.
Budaya Industri: Budaya industri konstruksi di Sri Lanka, seperti di banyak negara Asia, mungkin memiliki karakteristik unik yang memengaruhi adopsi dan keberhasilan DB. Misalnya, penekanan pada hubungan pribadi atau preferensi untuk pendekatan tradisional mungkin menjadi penghalang.
Perbandingan dengan Proyek DB di Negara Lain: Hasil penelitian ini dapat dibandingkan dengan studi serupa dari negara lain. Misalnya, jika penelitian ini menemukan bahwa masalah pembebasan lahan adalah faktor kritis, bagaimana ini dibandingkan dengan temuan dari studi di Indonesia (seperti tesis Yuristanti atau Lindawati & Wibowo) yang juga menyoroti masalah lahan/utilitas sebagai risiko eksternal? Jika studi ini menunjukkan bahwa kepuasan pemilik adalah metrik kesuksesan yang sangat penting, bagaimana ini sejalan dengan pengalaman di Jepang (seperti yang dianalisis oleh Suratkoni) di mana kolaborasi jangka panjang sangat dihargai?
Dengan membandingkan temuan dengan penelitian lain, tesis ini dapat memberikan pemahaman yang lebih kaya tentang faktor-faktor universal dan kontekstual yang memengaruhi keberhasilan DB.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Berdasarkan temuannya, tesis ini pasti akan menyajikan rekomendasi praktis untuk meningkatkan keberhasilan proyek DB di Sri Lanka:
Investasi dalam Pengembangan Kapasitas Tim DB: Perusahaan perlu berinvestasi dalam pelatihan dan pengembangan profesional yang khusus menangani proyek DB, termasuk keterampilan kolaborasi, manajemen risiko terintegrasi, dan pemahaman mendalam tentang kedua aspek desain dan konstruksi.
Penguatan Fase Perencanaan Awal: Pemilik proyek perlu menginvestasikan waktu dan sumber daya yang cukup dalam mendefinisikan lingkup proyek secara jelas dan menyeluruh pada tahap awal. Ini mungkin melibatkan studi kelayakan yang lebih mendalam, survei yang lebih akurat, dan konsultasi yang lebih luas dengan calon tim DB.
Penerapan Teknologi untuk Kolaborasi: Penggunaan platform digital seperti BIM (Building Information Modeling) dan Common Data Environment (CDE) dapat memfasilitasi komunikasi dan kolaborasi yang lebih efektif antar pihak. Ini membantu dalam visualisasi desain, deteksi tabrakan, dan manajemen informasi secara real-time.
Pengembangan Kerangka Kontrak yang Adaptif: Meskipun kontrak DB menawarkan fleksibilitas, perlu ada standar kontrak yang jelas yang secara adil mengalokasikan risiko dan tanggung jawab, sekaligus memungkinkan inovasi dan penyelesaian masalah yang efisien.
Peningkatan Manajemen Risiko Proyek: Tim DB perlu mengembangkan strategi manajemen risiko yang komprehensif, mencakup identifikasi risiko yang sistematis, penilaian, perencanaan mitigasi, dan pemantauan berkelanjutan.
Kesimpulan: Menuju Masa Depan Konstruksi yang Lebih Berhasil
Tesis Salinda Ranga Rathugama adalah kontribusi berharga bagi literatur tentang manajemen proyek Design-Build, khususnya dalam konteks negara berkembang seperti Sri Lanka. Hal ini menegaskan bahwa keberhasilan metode Design-Build (DB) tidak terjadi secara otomatis hanya karena pemilihannya, melainkan merupakan hasil dari manajemen yang cermat, kolaborasi yang solid, serta pemahaman yang mendalam terhadap berbagai faktor penentu keberhasilan proyek.
Dengan mengidentifikasi pilar-pilar kesuksesan dan memberikan rekomendasi praktis, penelitian ini tidak hanya membantu Sri Lanka dalam meningkatkan kinerja proyek DB-nya, tetapi juga menawarkan pelajaran penting bagi negara-negara lain yang sedang dalam perjalanan transformasi konstruksi. Masa depan industri konstruksi akan semakin bergantung pada metode pengiriman proyek yang inovatif dan efisien seperti DB. Namun, tingkat efisiensi tersebut hanya dapat tercapai apabila seluruh pemangku kepentingan benar-benar memahami serta menerapkan prinsip-prinsip keberhasilan yang telah terbukti. Integrasi antara desain dan konstruksi perlu diwujudkan tidak hanya dalam perencanaan di atas kertas, tetapi juga dalam praktik lapangan sehari-hari, guna menghasilkan proyek yang tepat waktu, sesuai anggaran, berkualitas tinggi, dan memuaskan semua pihak.
Sumber Artikel:
Rathugama, S. R. (2013). A Study of the Success of Design and Build Procurement Method for Building Projects in Sri Lanka. (Master's thesis, University of Moratuwa, Sri Lanka). Diakses dari https://www.lib.mrt.ac.lk/handle/123/10850