Kegagalan Kontruksi

Mengurai Akar Kegagalan Proyek dan Pembengkakan Biaya di Industri Konstruksi Gedung: Analisis Komprehensif dari Perspektif Pakistan

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025


Pendahuluan: Tantangan Global di Balik Pembangunan Fisik

 

Konstruksi bangunan adalah salah satu sektor paling krusial dalam pembangunan ekonomi, namun ironisnya juga paling rentan terhadap kegagalan proyek dan pembengkakan biaya. Artikel ilmiah dari Shakir Iqbal dkk. dalam Pakistan Journal of Humanities and Social Sciences (2024) menyajikan tinjauan mendalam terhadap faktor-faktor penyebab kegagalan proyek dan pembengkakan biaya dalam industri konstruksi gedung di Pakistan, menggunakan pendekatan mixed-methods yang menggabungkan survei dan wawancara ahli.

 

Dalam resensi ini, kita akan mengupas temuan-temuan utama dari paper tersebut, disertai dengan interpretasi dan studi kasus yang relevan dengan kondisi lapangan. Resensi ini juga menambahkan opini kritis, perbandingan global, serta solusi untuk memperkuat analisis yang aplikatif dan kontekstual.

 

Mengapa Proyek Konstruksi Gagal: Pandangan Makro dan Mikro

 

Faktor penyebab kegagalan proyek bukan sekadar hasil dari satu sumber tunggal. Penelitian ini mengidentifikasi lima penyebab utama yang dominan di Pakistan, yakni:

1. Desain buruk dan perubahan desain berulang

2. Birokrasi dan korupsi

3. Manajemen proyek yang lemah

4. Manajemen lokasi proyek yang tidak efektif

5. Kualitas bangunan yang rendah

 

Dengan skor tertinggi pada survei sebesar 3.83 dari skala 5, desain buruk dan perubahan desain berulang menjadi akar masalah utama. Hal ini senada dengan berbagai kasus di negara berkembang lainnya, seperti pembangunan apartemen di India yang mangkrak akibat revisi desain tanpa koordinasi dengan kontraktor.

 

Permasalahan desain bukan hanya bersifat teknis, tetapi juga administratif dan struktural. Kerap kali keputusan perubahan desain datang dari pihak klien yang tidak memahami konsekuensi teknis maupun anggaran. Ketidaktegasan dalam dokumentasi desain serta kurangnya sistem validasi (design review) menjadi celah besar dalam proses konstruksi.

 

Studi Kasus: Proyek Flyover Lahore (2018)

 

Proyek jembatan layang di Lahore pada 2018 mengalami pembengkakan biaya hampir 28% dari estimasi awal, terutama karena kesalahan desain awal dan perubahan spesifikasi material. Akibatnya, proyek molor enam bulan dan menimbulkan protes publik. Ini mencerminkan temuan bahwa desain buruk bisa berdampak sistemik.

 

Di sisi lain, ketidakefisienan proyek sering kali diperburuk oleh ketidaktepatan pengambilan keputusan. Contoh nyata lain adalah proyek apartemen pemerintah di Karachi yang terhenti selama lebih dari setahun akibat perubahan desain arsitektur, tanpa revisi yang sepadan dalam manajemen anggaran dan jadwal.

 

Korupsi dan Birokrasi: Penghambat Tak Kasat Mata

 

Faktor birokrasi dan korupsi menempati skor tinggi (3.81), mencerminkan betapa pengadaan proyek seringkali dikaburkan oleh praktik nepotisme dan pungli. Transparansi kontrak dan integritas lembaga menjadi krusial. Proyek yang dikuasai oleh jaringan elite lokal kerap memprioritaskan kepentingan politik daripada efisiensi teknis.

 

Sebagai pembanding, sistem open contracting yang diterapkan di Kolombia berhasil menurunkan biaya pembangunan infrastruktur publik hingga 21% dengan meningkatkan keterbukaan data proyek. Transparansi digital, pelibatan publik, dan audit independen terbukti efektif untuk memitigasi biaya tersembunyi akibat korupsi.

 

Biaya Proyek Membengkak: Apa Penyebabnya?

 

Dalam aspek pembengkakan biaya (cost overrun), penelitian ini menyoroti lima faktor utama:

 

1. Perencanaan awal yang lemah (skor 4.05)

 

2. Ketidakstabilan ekonomi nasional (skor 3.99)

 

3. Situasi politik (skor 3.87)

 

4. Estimasi biaya proyek yang buruk (skor 3.86)

 

5. Kondisi cuaca buruk (skor 3.84)

 

Perencanaan awal yang lemah sering kali berkaitan dengan data awal yang tidak akurat, survei geoteknik yang terbatas, serta ketidaksiapan dalam pengelolaan risiko. Akibatnya, ketika proyek berjalan, muncul banyak perubahan dan tambahan pekerjaan yang seharusnya sudah bisa diprediksi.

 

Kondisi ekonomi dan fluktuasi harga material juga memperparah situasi. Di Pakistan, seperti di banyak negara berkembang, nilai tukar mata uang yang tidak stabil dan inflasi tahunan membuat prediksi biaya jangka panjang menjadi sulit. Proyek yang memakan waktu lebih dari dua tahun rentan terhadap kenaikan harga besi, semen, dan upah buruh.

 

Analisis Wawancara: Validasi Lapangan dari Praktisi

 

Sebelas profesional dari berbagai latar belakang konstruksi di Pakistan diwawancara dan hampir semuanya sepakat bahwa:

  • Kurangnya perencanaan
  • Manajemen proyek buruk
  • Korupsi dan birokrasi
  • Perubahan desain
  • Cuaca ekstrem

 

adalah akar utama dari kegagalan proyek dan pembengkakan biaya. Responden juga menyatakan bahwa keterlambatan keputusan dari klien turut memperparah situasi, terutama dalam proyek pemerintah. Proyek yang tergantung pada anggaran tahunan juga sangat rentan tertunda jika alokasi dana tidak cair tepat waktu.

 

Salah satu responden dari perusahaan konsultan menyatakan bahwa proyek pemerintah sering gagal karena dokumentasi tender yang tidak lengkap dan peran konsultan yang dibatasi oleh birokrasi politik. Ini menunjukkan pentingnya desentralisasi teknis dan peningkatan otonomi manajerial pada proyek-proyek skala besar.

 

Pendekatan Mixed-Methods: Keunggulan dalam Riset Konstruksi

 

Salah satu kelebihan dari studi ini adalah penggunaan pendekatan campuran (kuantitatif + kualitatif), yang memberikan kedalaman dan konteks terhadap data survei. Hal ini menjadikannya lebih aplikatif di dunia nyata dibanding studi kuantitatif murni. Temuan kuantitatif yang diukur dari skor rata-rata diperkuat oleh narasi wawancara yang memperlihatkan tantangan lapangan secara langsung.

 

Metode seperti ini seharusnya menjadi model untuk studi manajemen konstruksi di negara berkembang, di mana dinamika sosial, politik, dan kelembagaan sangat berpengaruh terhadap hasil proyek.

 

Komparasi Global: Apakah Pakistan Unik?

 

Tidak sepenuhnya. Studi serupa di Malaysia, Nigeria, dan India menunjukkan pola yang hampir sama: lemahnya estimasi biaya, fluktuasi harga material, dan intervensi politik. Artinya, masalah ini bersifat universal, namun solusinya harus disesuaikan dengan konteks lokal.

 

Di Nigeria, misalnya, studi oleh Olatunji (2019) menunjukkan bahwa proyek yang melibatkan banyak pihak cenderung lebih sering gagal karena komunikasi yang tidak sinkron. Sementara itu, di India, pendekatan Public-Private Partnership (PPP) mulai banyak diterapkan untuk membagi risiko antara pemerintah dan swasta.

 

Solusi dan Rekomendasi Praktis

 

Penulis menyarankan beberapa langkah konkret untuk menekan risiko kegagalan proyek:

  • Pelatihan manajerial bagi project manager
  • Audit desain dan manajemen perubahan yang ketat
  • Penguatan transparansi proyek melalui sistem e-tender dan dashboard proyek
  • Integrasi teknologi seperti BIM dan CPM untuk memantau proyek secara real-time

 

Selain itu, penulis merekomendasikan agar sistem pemantauan proyek dilakukan oleh lembaga independen agar lebih objektif. Penerapan ISO 21500 tentang project management juga disarankan sebagai standar acuan.

 

Opini Tambahan: Reformasi Kontrak dan Partisipasi Stakeholder

 

Dalam konteks proyek publik, penting untuk menyusun kontrak dengan sistem reward-penalty dan milestone-based payment agar semua pihak terdorong bekerja sesuai jadwal. Kontrak perlu menekankan transparansi, fleksibilitas teknis, dan sanksi terhadap keterlambatan atau kegagalan proyek.

 

Selain itu, keterlibatan komunitas pengguna akhir juga penting untuk menekan perubahan desain di tengah jalan. Partisipasi masyarakat dapat mencegah proyek tidak sesuai kebutuhan dan memperkuat legitimasi sosial proyek.

 

Penutup: Menuju Konstruksi yang Lebih Adaptif dan Transparan

 

Kegagalan proyek dan pembengkakan biaya adalah momok lama dalam industri konstruksi. Paper ini berhasil menyajikan peta penyebab yang tidak hanya teknikal, tapi juga struktural dan politis. Dengan penguatan kapasitas manajerial, tata kelola proyek yang transparan, serta adopsi teknologi, industri konstruksi di Pakistan – dan negara berkembang lain – dapat menuju transformasi yang lebih positif.

 

Lebih penting lagi, studi ini menyadarkan kita bahwa kegagalan proyek bukanlah sesuatu yang tidak bisa dihindari. Dengan sistem yang lebih adaptif dan stakeholder yang lebih kompeten, proyek pembangunan dapat mencapai hasil maksimal: tepat waktu, tepat guna, dan tepat biaya.

 

 

Sumber Asli:

Iqbal, S., Nawaz, M. J., Hamza, A., Khan, H. A., Butt, M. M., & Maqsood, A. (2024). Analyzing the Causes of Project Failure and Cost Overruns in Building Construction Industry by Using a Mixed-Methods Approach. Pakistan Journal of Humanities and Social Sciences, 12(2), 1898–1916. DOI: 10.52131/pjhss.2024.v12i2.2311

Selengkapnya
Mengurai Akar Kegagalan Proyek dan Pembengkakan Biaya di Industri Konstruksi Gedung: Analisis Komprehensif dari Perspektif Pakistan

Kegagalan Kontruksi

Potensi Kecacatan dan Kegagalan Konstruksi Bangunan di Wilayah Rawan Gempa: Tinjauan Kritis dari Studi Lapangan di Kota Padang

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025


Pendahuluan: Relevansi Isu Kualitas Bangunan di Daerah Rawan Bencana

 

Wilayah rawan bencana seperti Kota Padang di Sumatera Barat menyimpan tantangan tersendiri dalam pengembangan infrastruktur, khususnya sektor konstruksi bangunan. Dalam konteks ini, kualitas struktur bangunan tak sekadar menjadi aspek teknis, melainkan urusan vital yang menyangkut keselamatan jiwa manusia. Artikel ilmiah yang ditulis oleh Akhmad Suraji, Benny Hidayat, dan Afdaluz Zaki dalam E3S Web of Conferences (ICDMM 2023) menyoroti secara sistematis potensi kecacatan (defects) dan kegagalan (failures) dalam proyek konstruksi gedung di Padang—sebuah wilayah yang tergolong zona merah rawan gempa bumi.

 

Tulisan ini menyajikan resensi ilmiah atas paper tersebut dengan memadukan parafrase, analisis tambahan, kritik, serta komparasi terhadap tren industri dan studi global, demi menghasilkan pemahaman utuh sekaligus aplikatif.

 

Latar Belakang: Kebutuhan Mendesak akan Konstruksi Tahan Bencana

 

Menurut data dari Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, pusat gempa utama di wilayah Sumatera Barat berada di Kepulauan Mentawai dan pesisir Sumatera Barat, dengan intensitas lebih dari VIII MMI. Artinya, bangunan di Padang wajib memenuhi standar teknis ketahanan gempa. Namun, realitas di lapangan justru menunjukkan masih banyaknya potensi kegagalan struktural akibat cacat konstruksi.

 

Studi ini dilakukan pada tiga proyek bangunan berbeda: gedung kantor, gedung perpustakaan, dan laboratorium. Pendekatannya adalah kualitatif deskriptif dengan metode grounded theory, memungkinkan penyusunan teori berdasarkan data lapangan secara induktif.

 

Identifikasi Kecacatan Konstruksi: Masalah Struktural dan Non-Struktural

 

Penelitian ini membedakan antara kecacatan (defects) dan kegagalan (failures):

  • Defects mengacu pada kerusakan teknis atau cacat kualitas yang timbul selama atau sesaat setelah proses konstruksi, namun belum menyebabkan runtuhnya bangunan.
  • Failures adalah kondisi bangunan yang secara fungsional tidak memenuhi spesifikasi kontrak, baik sebagian maupun keseluruhan, sesuai definisi PP No. 22 Tahun 2020.

 

Dalam proyek gedung kantor, ditemukan beberapa kecacatan serius seperti:

  • Kesalahan perencanaan fondasi
  • Sambungan kolom dan balok yang mengalami kerusakan
  • Kolom dengan bentuk dasar seperti sarang tawon yang melemahkan kestabilan

 

Selain itu, terjadi keropos pada permukaan kolom akibat pemadatan beton yang kurang optimal. Hal ini menunjukkan adanya ketidaksesuaian antara pelaksanaan konstruksi dan spesifikasi teknis.

 

Faktor Kontributor Kegagalan: Dari Kesalahan Desain hingga Cuaca Ekstrem

 

Studi ini membagi penyebab cacat dan kegagalan menjadi tiga kategori:

 

1. Faktor Teknis Konstruksi

  • Penggunaan material berkualitas rendah
  • Pemadatan beton yang tidak sempurna
  • Kesalahan perhitungan pada sambungan balok dan kolom

 

Contoh: Pada proyek di Kota Semarang, kerusakan beton terjadi akibat pembongkaran bekisting terlalu dini dan campuran beton yang tidak sesuai.

 

2. Faktor Manajerial

 

  • Perencanaan pondasi yang tidak mempertimbangkan kondisi tanah sedalam 5 meter
  • Ketidaksesuaian urutan kerja: seperti pemasangan keramik sebelum atap

 

Hal ini memperlihatkan lemahnya koordinasi lintas tim di lapangan, serta minimnya evaluasi berkala saat proyek berlangsung.

 

3. Faktor Human Error

  • Pekerja yang kurang terlatih
  • Pelaksanaan yang tergesa-gesa
  • Salah perhitungan daya listrik

Misalnya, proyek kantor mengalami hambatan operasional karena kekurangan pasokan listrik akibat salah desain. Selain itu, keramik rusak karena terkena puing dari atap yang belum terpasang.

 

Grounded Theory sebagai Landasan Analisis: Memetakan Akar Masalah dari Lapangan

 

Metodologi grounded theory dalam riset ini dilakukan melalui tiga tahap utama:

  • Open Coding: Kategori awal dibentuk dari informasi di lapangan
  • Axial Coding: Menghubungkan kategori menjadi konsep-konsep kunci
  • Selective Coding: Merangkum dan menyederhanakan variasi hubungan menjadi tema sentral

 

Pendekatan ini memudahkan penyusunan kesimpulan berbasis bukti nyata. Hasilnya, dapat disimpulkan bahwa:

  • Mayoritas cacat muncul bukan dari satu faktor tunggal, melainkan kombinasi teknis, manajerial, dan personil
  • Belum ditemukan kegagalan total (runtuhnya bangunan), tetapi ada indikasi kuat bahwa jika dibiarkan, cacat akan berkembang menjadi failure

 

Implikasi Kegagalan Struktural di Wilayah Rawan Gempa

 

Kondisi Padang sebagai wilayah rawan gempa menjadikan setiap bentuk kecacatan struktural sebagai potensi besar kegagalan fatal. Misalnya, porositas beton dan defleksi balok jika tidak diperbaiki, akan menurunkan daya dukung struktural bangunan saat terjadi getaran seismik.

 

Pemilihan fondasi yang tepat, seperti penggunaan sistem Konstruksi Jaringan Rangka Beton (KJRB), menjadi alternatif penting untuk mengatasi kondisi tanah lunak. Fondasi ini terbukti lebih stabil dibanding sistem Konstruksi Sarang Laba-laba (KSLL) dalam menghadapi beban dinamis akibat gempa.

 

Studi Kasus Tambahan: Relevansi Praktik Konstruksi di Wilayah Lain

 

Penemuan cacat struktural seperti kolom keropos dan sambungan balok yang rapuh juga ditemukan di proyek perumahan di Yogyakarta dan Bali. Hal ini menunjukkan bahwa tantangan serupa tidak eksklusif terjadi di Padang. Dalam konteks global, studi oleh Chong dan Low (2005) menyatakan bahwa 35% kegagalan konstruksi di Asia Tenggara dipicu oleh kualitas material dan manajemen yang buruk.

 

Mitigasi dan Rekomendasi: Strategi Perbaikan Komprehensif

 

Untuk mengatasi potensi kegagalan, peneliti menyarankan langkah-langkah mitigatif sebagai berikut:

 

Untuk cacat teknis:

  • Gunakan material bermutu tinggi
  • Perbaiki sambungan dengan perekat tambahan dan metode curing yang benar

 

Untuk cacat manajerial:

  • Lakukan pengawasan berkala
  • Susun ulang urutan kerja secara logis
  • Libatkan tim perencana dalam setiap tahapan pengerjaan

 

Untuk kesalahan manusia:

  • Adakan pelatihan teknis dan sertifikasi tenaga kerja
  • Terapkan SOP ketat di lapangan
  • Evaluasi berkala terhadap progress dan metode kerja

 

Opini Kritis: Perlu Kebijakan Sistemik dan Teknologi Modern

 

Penelitian ini memang komprehensif, namun belum menyinggung peran teknologi dalam mencegah kecacatan konstruksi. Padahal penggunaan Building Information Modeling (BIM) dan drones untuk inspeksi struktur bisa menjadi solusi digital yang murah dan efisien.

 

Pemerintah daerah juga perlu membentuk tim audit teknis independen untuk mengevaluasi proyek sejak tahap perencanaan. Integrasi teknologi, pengawasan ketat, dan manajemen risiko berbasis data adalah masa depan konstruksi tahan bencana.

 

Kesimpulan: Menuju Bangunan Berkualitas di Daerah Rawan Bencana

 

Paper ini menjadi rujukan penting dalam memahami dan mengantisipasi kegagalan bangunan di daerah rawan gempa. Temuan utamanya menunjukkan bahwa:

  • Cacat teknis, manajerial, dan manusiawi saling berkelindan dalam menciptakan potensi kegagalan
  • Tanpa intervensi cepat, bangunan akan terus mengalami degradasi kualitas
  • Diperlukan pendekatan holistik yang melibatkan regulasi, edukasi, dan teknologi untuk menciptakan lingkungan konstruksi yang aman dan tahan bencana

 

 

Sumber Asli Paper:

Suraji, A., Hidayat, B., & Zaki, A. (2023). Potential Defects and Failures in Building Industry. E3S Web of Conferences 464, 07007. 2nd ICDMM 2023. https://doi.org/10.1051/e3sconf/202346407007

Selengkapnya
Potensi Kecacatan dan Kegagalan Konstruksi Bangunan di Wilayah Rawan Gempa: Tinjauan Kritis dari Studi Lapangan di Kota Padang

Rekontruksi Pascabencana

Menelisik Hambatan Rekonstruksi Pascabencana di Indonesia: Kajian Komprehensif dan Strategi Solusi Berbasis Data

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025


Pendahuluan: Rekonstruksi Pascabencana dan Tantangan Multidimensi di Indonesia

 

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan risiko bencana tinggi, kerap menghadapi tantangan serius dalam upaya pemulihan pascabencana. Proses rekonstruksi pascabencana bukan sekadar membangun kembali infrastruktur fisik, tetapi juga memulihkan sistem sosial, ekonomi, dan kelembagaan. Paper karya Herlita Prawenti dkk., berjudul Issues and Problems Affecting Post-Disaster Reconstruction Activities in Indonesia yang dipublikasikan dalam IOP Conference Series: Earth and Environmental Science (2023), menyajikan analisis kuantitatif terhadap berbagai kendala yang memengaruhi keberhasilan proyek rekonstruksi pascabencana di Indonesia.

 

Resensi ini akan mengupas secara mendalam temuan, metodologi, serta memberikan opini kritis dan solusi alternatif berbasis tren global dan pengalaman lokal.

 

Latar Belakang: Rekonstruksi sebagai Fondasi Ketahanan Jangka Panjang

 

Prawenti menegaskan bahwa rekonstruksi adalah fase penting dalam siklus manajemen bencana, di mana proses ini bertujuan mengembalikan kondisi sosial dan infrastruktur ke level yang lebih baik dari sebelumnya. Namun, proses ini penuh ketidakpastian dan berisiko gagal jika tidak direncanakan dan dikelola secara sistematis. Studi ini menggunakan pendekatan gabungan (mixed methods), yakni studi literatur, penyebaran kuesioner kepada 26 responden dari BPBD, Kementerian PUPR, dan pihak pelaksana proyek, serta analisis menggunakan metode Relative Importance Index (RII).

 

Temuan Utama: Enam Aspek Penghambat Rekonstruksi Pascabencana

 

Peneliti mengelompokkan 41 variabel masalah ke dalam enam aspek utama:

 

1. Periode Konstruksi

 

2. Manajemen dan Perencanaan

 

3. Regulasi

 

4. Pertanahan

 

5. Kesehatan dan Keselamatan

 

6. Keuangan

 

Semua variabel masuk dalam kategori tingkat pengaruh tinggi-menengah (High-Medium/H–M), artinya masing-masing berpotensi signifikan menghambat keberhasilan rekonstruksi.

 

1. Aspek Periode Konstruksi: Titik Rawan Kegagalan Implementasi

 

Aspek ini mencakup 19 indikator dengan nilai RII rata-rata 0.725. Masalah dominan yang teridentifikasi meliputi:

  • Keterlambatan penyelesaian proyek (RII = 0.769)
  • Kualitas pekerjaan konstruksi rendah
  • Kurangnya pengalaman tim manajemen proyek
  • Isu sumber daya manusia dan perencanaan proyek yang lemah

 

Contoh nyata dapat ditemukan pada proyek rekonstruksi pasca gempa Palu 2018, di mana pelaksanaan pembangunan hunian tetap (huntap) tertunda selama lebih dari satu tahun karena keterbatasan SDM dan buruknya koordinasi lapangan.

 

2. Aspek Manajemen dan Perencanaan: Minimnya Basis Data dan Strategi

 

Dari lima indikator, masalah paling menonjol adalah:

  • Ketiadaan basis data kerusakan bencana (RII = 0.715)
  • Manajemen operasional yang tidak efektif
  • Tidak adanya pedoman rekonstruksi resmi

 

Ketiadaan basis data membuat penentuan prioritas dan penyaluran bantuan menjadi lambat. Studi Bilau (2015) menyebut bahwa sistem informasi kerusakan yang buruk menyebabkan penundaan alokasi dana dan keputusan proyek.

 

3. Aspek Regulasi: Ketidaksiapan Kebijakan dan Kapasitas Lembaga

 

Empat indikator diidentifikasi dalam aspek ini. Yang tertinggi adalah:

  • Belum tersedianya kebijakan rekonstruksi yang komprehensif (RII = 0.738)
  • Keterlibatan pemerintah daerah yang tidak optimal
  • Kapasitas kelembagaan dalam perencanaan masih rendah
  • Ketidakharmonisan antara peraturan pusat dan daerah kerap menjadi batu sandungan, seperti pada kasus rekonstruksi pascabanjir bandang di NTT, di mana kebijakan pusat tidak sejalan dengan tata ruang lokal.

 

4. Aspek Pertanahan: Legalitas dan Nilai Tanah Jadi Masalah Kritis

 

Lima indikator diulas, dengan penekanan pada:

  • Legalitas dan kepemilikan lahan (RII = 0.738)
  • Kondisi tanah yang buruk
  • Kurangnya lahan tersedia

 

Masalah ini sangat terasa pada program relokasi korban erupsi Gunung Merapi, di mana pembebasan lahan membutuhkan waktu bertahun-tahun dan memicu konflik sosial.

 

5. Aspek Kesehatan dan Keselamatan: Risiko Lingkungan dan Geologis

 

Masalah yang mencuat di aspek ini antara lain:

  • Risiko lingkungan (RII = 0.723)
  • Kondisi geografis terpencil

 

Hal ini berhubungan erat dengan pembangunan kembali di daerah terpencil seperti Kepulauan Mentawai atau Papua, di mana akses logistik dan bahaya alam menjadi hambatan besar.

 

6. Aspek Keuangan: Keterlambatan Pencairan Dana dan Biaya Tak Terduga

 

Tiga indikator penting:

  • Keterlambatan pencairan anggaran (RII = 0.677)
  • Ketidaksiapan skema pembiayaan

 

Aspek ini menunjukkan nilai RII terendah dari seluruh aspek, tetapi tetap masuk kategori pengaruh sedang-tinggi. Realisasi anggaran sering terhambat oleh proses birokrasi atau ketidaksiapan skema pendanaan lintas sektor.

 

Analisis Tambahan: Keterhubungan Antar Aspek

 

Menariknya, hasil analisis menunjukkan bahwa aspek periode konstruksi memiliki pengaruh dominan terhadap keseluruhan proses rekonstruksi. Namun, akar masalahnya justru berasal dari aspek manajemen dan regulasi. Artinya, kegagalan teknis di lapangan lebih sering disebabkan oleh kelemahan dalam tahap perencanaan dan kelembagaan.

 

Opini Kritis: Kelebihan dan Keterbatasan Penelitian

 

Penelitian ini memiliki kekuatan pada penggabungan pendekatan kuantitatif dan kualitatif. Penggunaan RII sebagai metode skoring memudahkan identifikasi variabel krusial. Namun, ada beberapa hal yang dapat ditingkatkan:

  • Belum ada eksplorasi mendalam terhadap solusi implementatif
  • Kurang mengulas peran teknologi dalam mempercepat rekonstruksi
  • Sampel responden relatif terbatas (26 responden)

 

Rekomendasi Praktis dan Strategi Solusi

 

1. Digitalisasi Basis Data Kerusakan: Membangun sistem dashboard nasional berbasis GIS untuk mencatat dan memetakan kerusakan secara real-time.

 

2. Penerapan Standar Rekonstruksi: Menyusun SOP nasional yang menjadi acuan lintas daerah, dengan melibatkan akademisi, praktisi, dan pemerintah daerah.

 

3. Reformasi Regulasi Multi-Level: Sinkronisasi peraturan pusat dan daerah melalui sistem policy harmonization portal.

 

4. Skema Pendanaan Inovatif: Mendorong pemanfaatan disaster bond, dana kontinjensi daerah, dan kerjasama dengan sektor swasta melalui model Public-Private Partnership (PPP).

 

5. Pelibatan Masyarakat: Rekonstruksi berbasis komunitas terbukti lebih efektif dalam mempercepat pemulihan sosial dan mencegah konflik lahan.

 

6. Integrasi Teknologi Konstruksi: BIM (Building Information Modeling) dan drone monitoring perlu diintegrasikan untuk meningkatkan efisiensi dan akurasi pelaksanaan proyek.

 

Kesimpulan: Membangun Ketangguhan Melalui Rekonstruksi yang Terstruktur dan Inklusif

 

Paper ini memberikan kontribusi penting dalam memetakan hambatan rekonstruksi pascabencana di Indonesia. Dengan pendekatan yang sistematis dan berbasis data, studi ini menunjukkan bahwa tantangan rekonstruksi bukan semata-mata persoalan teknis, melainkan akumulasi dari isu manajerial, kelembagaan, finansial, hingga partisipasi masyarakat.

 

Ke depan, strategi rekonstruksi perlu diarahkan pada sinergi multi-pihak, digitalisasi proses, dan penguatan kapasitas lokal agar pemulihan pascabencana tidak sekadar membangun kembali, tetapi juga meningkatkan ketangguhan bangsa.

 

Sumber Asli Paper:

Prawenti, H., Susilowati, F., Jannah, R. M., & Susanto, S. H. (2023). Issues and Problems Affecting Post-Disaster Reconstruction Activities in Indonesia. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science, 1244, 012039. https://doi.org/10.1088/1755-1315/1244/1/012039

Selengkapnya
Menelisik Hambatan Rekonstruksi Pascabencana di Indonesia: Kajian Komprehensif dan Strategi Solusi Berbasis Data

Infrastruktur

Membedah Lanskap Kemitraan Pemerintah dan Swasta (PPP) di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Masa Depan Infrastruktur

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025


Pendahuluan: Menuju Infrastruktur Masa Depan Melalui Kolaborasi

 

Indonesia menghadapi tantangan besar dalam membiayai pembangunan infrastruktur di tengah kebutuhan yang terus meningkat. Pemerintah tidak lagi bisa mengandalkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) semata, mengingat keterbatasan fiskal dan kompleksitas proyek-proyek jangka panjang. Oleh karena itu, Kemitraan Pemerintah dan Swasta atau Public–Private Partnership (PPP) menjadi pilihan strategis. Laporan Public–Private Partnership Monitor: Indonesia yang diterbitkan oleh Asian Development Bank (ADB) pada Desember 2020 memaparkan gambaran menyeluruh tentang kondisi, tantangan, dan potensi pengembangan PPP di tanah air.

 

Laporan ini menjadi sumber penting untuk memahami lanskap regulasi, institusi, dan sektor-sektor prioritas dalam PPP. Selain itu, dokumen ini juga menyajikan data empiris dari lebih dari 500 indikator kualitatif dan kuantitatif yang merepresentasikan dinamika PPP di tingkat nasional, sektoral, dan daerah. Dengan menganalisis laporan tersebut secara mendalam, kita dapat merumuskan strategi masa depan guna menciptakan pembangunan infrastruktur yang berkelanjutan dan inklusif.

 

Mengapa PPP Menjadi Kunci Pembangunan Infrastruktur Nasional

 

Menurut estimasi ADB, kawasan Asia-Pasifik membutuhkan investasi infrastruktur sebesar $1,7 triliun per tahun hingga 2030. Untuk Indonesia sendiri, dalam rentang 2020–2024, kebutuhan investasi infrastruktur mencapai $429 miliar. Tantangannya, kapasitas APBN hanya mampu menutup sekitar 41% dari kebutuhan tersebut. Sisanya, sebesar 59%, diharapkan datang dari sektor swasta, termasuk melalui skema PPP.

 

PPP tidak hanya menjadi solusi pembiayaan, tetapi juga membawa nilai tambah dalam bentuk efisiensi operasional, transfer teknologi, dan manajemen risiko yang lebih sehat. Dalam konteks ini, PPP bukan hanya kerja sama pembiayaan, tetapi kolaborasi yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pelayanan publik dan mempercepat pertumbuhan ekonomi.

 

Regulasi dan Lembaga Pendukung: Pilar Kunci Kesuksesan PPP

 

Landasan hukum utama PPP di Indonesia adalah Peraturan Presiden (Perpres) No. 38 Tahun 2015 yang mengatur jenis-jenis proyek, skema pembiayaan, serta peran masing-masing aktor. Laporan ADB menyebut regulasi ini sebagai salah satu framework PPP paling kokoh di Asia Tenggara.

 

Institusi yang memainkan peran penting dalam implementasi PPP meliputi Kementerian PPN/Bappenas sebagai penyusun rencana proyek strategis, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan sebagai penjamin proyek melalui IIGF (Indonesia Infrastructure Guarantee Fund), serta Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) yang memfasilitasi investasi.

 

Terdapat pula Project Development Facility (PDF) yang menyediakan pendanaan untuk studi kelayakan dan konsultasi proyek-proyek PPP. Skema ini menjadi insentif penting bagi kementerian/lembaga maupun pemerintah daerah agar lebih aktif mengembangkan proyek berbasis PPP.

 

Dinamika Sektoral: Sektor Prioritas dan Studi Kasus

 

Sektor jalan raya menjadi salah satu fokus utama PPP di Indonesia. Tercatat lebih dari 30 proyek jalan tol dalam pipeline PPP sepanjang 2019–2020, termasuk Jalan Tol Serang–Panimbang, Balikpapan–Samarinda, dan Solo–Yogyakarta. Proyek Balikpapan–Samarinda sepanjang 99 km, misalnya, berhasil direalisasikan lebih cepat dari target melalui kontribusi swasta, dengan nilai investasi mencapai Rp9,9 triliun.

 

Di sektor energi, proyek PLTP Lahendong menjadi contoh kolaborasi sukses dalam energi terbarukan. Dengan kapasitas 40 MW, proyek ini tak hanya berkontribusi terhadap ketahanan energi, tetapi juga mendukung komitmen Indonesia terhadap pengurangan emisi karbon.

 

Namun, tidak semua sektor berkembang mulus. Di sektor air bersih, proyek SPAM (Sistem Penyediaan Air Minum) Bandar Lampung menghadapi tantangan kompleks, termasuk resistensi masyarakat terhadap tarif dan ketidakjelasan alokasi risiko. Meski demikian, proyek ini tetap menjadi rujukan penting bagaimana PPP dapat diterapkan di sektor sosial yang rentan terhadap tekanan politik dan sosial.

 

Analisis Kritis: Kekuatan dan Kelemahan PPP Indonesia

 

Keunggulan utama dari PPP Indonesia adalah adanya kerangka hukum dan institusional yang relatif kuat serta pipeline proyek yang terus berkembang. Namun demikian, laporan ADB mengidentifikasi beberapa hambatan besar:

  • Rendahnya kapasitas teknis dan administratif pemerintah daerah untuk merancang dan mengelola proyek PPP
  • Ketiadaan sistem insentif yang jelas bagi proyek-proyek sosial seperti pendidikan dan kesehatan
  • Ketergantungan tinggi pada prakarsa proyek pemerintah, sementara usulan dari swasta masih minim karena proses birokrasi yang kompleks

 

Lebih jauh, laporan ini juga menyoroti perlunya harmonisasi regulasi antarinstansi dan penyederhanaan proses tender yang dinilai terlalu panjang dan tidak konsisten antar proyek.

 

Perbandingan Regional: Belajar dari Filipina dan India

 

Jika dibandingkan dengan Filipina, Indonesia masih tertinggal dalam hal efisiensi proses dan jumlah proyek yang mencapai financial close. Filipina memiliki PPP Center yang kuat dan otonom, serta platform daring yang memungkinkan investor memantau proyek secara real-time.

 

India juga menjadi contoh sukses dengan skema Viability Gap Funding (VGF), yang memberikan subsidi bagi proyek-proyek yang layak secara sosial tetapi tidak secara finansial. Pendekatan ini cocok diterapkan di Indonesia untuk sektor pendidikan, rumah sakit, dan air bersih.

 

PPP Pasca Pandemi: Fokus pada Infrastruktur Sosial dan Digitalisasi

 

Pandemi COVID-19 telah mengubah prioritas pembangunan. Infrastruktur sosial seperti rumah sakit, pusat kesehatan, dan perumahan rakyat kini menjadi kebutuhan mendesak. Laporan ADB menyarankan agar skema PPP tidak lagi berfokus semata pada sektor ekonomi, tetapi juga menyentuh layanan dasar.

 

Salah satu inisiatif menarik adalah Palapa Ring, proyek PPP di sektor telekomunikasi yang berhasil menjangkau daerah 3T (Tertinggal, Terdepan, dan Terluar). Proyek ini menjadi tonggak penting integrasi digital nasional, dan menjadi contoh bagaimana PPP dapat mendukung agenda inklusi digital.

 

Rekomendasi Strategis untuk Masa Depan PPP di Indonesia

 

1. Membangun PPP Center Nasional yang Independen, mirip dengan model di Filipina, agar dapat menyelaraskan kebijakan antarinstansi dan mempercepat proses evaluasi proyek.

 

2. Menerapkan sistem e-procurement dan e-monitoring untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas proyek PPP.

 

3. Mengembangkan skema insentif fiskal untuk sektor sosial, seperti keringanan pajak dan VGF.

 

4. Peningkatan kapasitas teknis dan SDM di pemerintah daerah, melalui pelatihan, pertukaran pengetahuan, dan kerja sama dengan lembaga internasional.

 

5. Mengadopsi pendekatan fleksibel dan adaptif terhadap risiko, termasuk pembagian risiko yang lebih adil dan penguatan mekanisme jaminan pemerintah.

 

Kesimpulan: PPP sebagai Pilar Pembangunan Berkelanjutan

 

Kemitraan Pemerintah dan Swasta bukan hanya solusi jangka pendek atas defisit pembiayaan, tetapi juga strategi jangka panjang untuk menghadirkan infrastruktur berkualitas tinggi secara merata. Laporan ADB menunjukkan bahwa Indonesia telah memiliki fondasi kuat, namun masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan—khususnya dalam membangun kapasitas institusi, menciptakan kepastian hukum, dan memperluas partisipasi swasta.

 

Dengan memperkuat kerangka PPP yang inklusif dan adaptif, Indonesia dapat menjadikan kemitraan ini sebagai pilar utama pembangunan berkelanjutan di era post-pandemi dan menghadapi tantangan global seperti urbanisasi cepat, krisis iklim, dan revolusi digital.

 

 

Sumber

Asian Development Bank. (2020). Public–Private Partnership Monitor: Indonesia. DOI: http://dx.doi.org/10.22617/SGP210069-2

 

 

 

Selengkapnya
Membedah Lanskap Kemitraan Pemerintah dan Swasta (PPP) di Indonesia: Peluang, Tantangan, dan Masa Depan Infrastruktur

Kegagalan Kontruksi

Pertanggungjawaban Hukum Konsultan Konstruksi atas Kegagalan Bangunan: Kajian Kritis dan Implikasi Praktis dalam Industri Jasa Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025


Pendahuluan: Kompleksitas Dunia Konstruksi dan Urgensi Akuntabilitas Hukum

 

Industri jasa konstruksi di Indonesia bukan hanya tulang punggung pembangunan nasional, tetapi juga ruang interaksi hukum yang kompleks. Dalam konteks ini, kegagalan bangunan bukan sekadar kerugian fisik dan ekonomi, melainkan juga menjadi isu hukum yang menguji sejauh mana akuntabilitas para pihak, terutama konsultan konstruksi. Paper karya Linggomi Adinda Tamaradhina Napitupulu dan Imam Haryanto dalam Jurnal USM Law Review Vol 7 No 1 Tahun 2024 mengulas secara mendalam pertanggungjawaban hukum konsultan konstruksi terhadap kegagalan bangunan berdasarkan UU Jasa Konstruksi dan aturan hukum positif Indonesia.

 

Tulisan ini akan menguraikan resensi mendalam atas paper tersebut, dengan fokus pada nilai tambah, kritik, dan konteks industri konstruksi yang dinamis. Artikel ini juga akan menyoroti bagaimana tanggung jawab hukum konsultan tidak hanya berdampak pada penyelesaian sengketa, tetapi juga berperan penting dalam menciptakan iklim pembangunan yang aman, berkualitas, dan berkelanjutan.

 

Konstruksi Sebagai Sektor Strategis dan Sumber Sengketa

 

Pembangunan infrastruktur, yang melibatkan proyek berskala besar dan nilai ekonomi tinggi, rentan terhadap sengketa akibat kegagalan bangunan. Faktor penyebabnya sangat beragam, mulai dari kelalaian teknis, lemahnya pengawasan, hingga kesalahan perencanaan. Dalam sistem kontraktual Indonesia, konsultan konstruksi – baik sebagai perencana maupun pengawas – memegang peranan krusial.

 

Kegagalan bangunan sendiri didefinisikan dalam UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi sebagai ketidaksesuaian fungsi atau keruntuhan bangunan pasca serah terima kedua, dalam jangka waktu maksimal 10 tahun sejak penyerahan hasil pekerjaan. Definisi ini memiliki konsekuensi hukum besar karena mengikat para pihak pada tanggung jawab pasca proyek.

 

Peran konsultan konstruksi, khususnya konsultan pengawas dan perencana, tidak dapat dipisahkan dari aspek hukum ini. Mereka bukan hanya pihak yang memberikan rekomendasi teknis, tetapi juga bertindak sebagai pengendali mutu dan jaminan bahwa setiap tahap konstruksi berjalan sesuai rencana dan peraturan.

 

Kerangka Hukum dan Metodologi Penelitian

 

Penelitian ini mengadopsi metode hukum normatif-empiris. Artinya, penulis tidak hanya mengkaji undang-undang dan peraturan perundangan, tetapi juga memadukannya dengan fakta empiris melalui wawancara dan studi kasus. Pendekatan ini menghasilkan pemahaman yang lebih konkret terhadap pelaksanaan tanggung jawab hukum di lapangan.

 

Kerangka hukum utama yang digunakan meliputi:

  • UU No. 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (dan UU Cipta Kerja sebagai perubahannya)
  • Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya Pasal 1243–1246 tentang wanprestasi
  • Standar kontrak konstruksi nasional dan internasional (FIDIC)

 

Metode ini diperkuat dengan hasil wawancara mendalam bersama VP PT Prosys Bangun Persada dan Direktur PT Umsa Pratama Engineering yang memiliki pengalaman panjang di bidang jasa konsultansi konstruksi.

 

Konsultan Konstruksi dalam Konteks Tanggung Jawab Hukum

 

Menurut teori Hans Kelsen, tanggung jawab hukum adalah suatu akibat logis dari pelanggaran terhadap norma hukum. Dalam konteks konstruksi, konsultan memiliki tanggung jawab apabila terjadi pelanggaran atau kelalaian profesional dalam perencanaan maupun pengawasan yang menyebabkan kerugian.

 

Dalam sistem hukum Indonesia, terdapat dua bentuk pertanggungjawaban hukum:

 

1. Tanggung jawab perdata: Bila konsultan melanggar isi perjanjian kerja sama, maka ia dapat digugat melalui mekanisme wanprestasi atau perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad). Dalam praktiknya, penggugat harus membuktikan adanya unsur kesalahan, kerugian, dan hubungan kausalitas antara tindakan konsultan dan akibat yang ditimbulkan.

 

2. Tanggung jawab kontraktual: Terikat dalam perjanjian kerja konstruksi, konsultan wajib menyampaikan hasil pekerjaan sesuai spesifikasi teknis, keselamatan, dan kaidah hukum. Bila lalai, maka hak pemilik proyek untuk menuntut ganti rugi dapat diberlakukan. Tanggung jawab ini diperkuat dalam ketentuan kontrak maupun ketentuan Pasal 1320 KUH Perdata tentang sahnya perjanjian.

 

Studi Kasus dan Praktik Lapangan

 

Hasil wawancara dalam paper ini menekankan bahwa dalam banyak proyek, tanggung jawab konsultan tidak bersifat pasif. Konsultan manajemen konstruksi bahkan terlibat aktif dalam hal pengendalian mutu, penyusunan jadwal kerja, hingga verifikasi progres lapangan. Jika terjadi kegagalan, maka tanggung jawab mereka sangat tergantung pada ruang lingkup pekerjaan dan klausul kontrak.

 

Misalnya, dalam proyek pembangunan gedung pemerintah, kegagalan struktur atap yang disebabkan oleh kesalahan dalam perhitungan beban oleh konsultan perencana dapat mengakibatkan gugatan hukum. Bila dapat dibuktikan bahwa kesalahan terjadi akibat kelalaian profesional dan tidak mengikuti standar baku (misalnya SNI atau ISO), maka konsultan wajib bertanggung jawab secara hukum dan finansial.

 

Namun, praktik di lapangan menunjukkan bahwa proses pembuktian tanggung jawab tidak mudah. Banyak proyek melibatkan berbagai pihak, dan batas tanggung jawab sering kali tumpang tindih. Di sinilah peran klausul dalam kontrak menjadi sangat penting.

 

Kritik dan Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

 

Studi ini unggul dibandingkan beberapa penelitian terdahulu karena secara spesifik membedah peran konsultan, bukan hanya pelaksana proyek. Dalam penelitian oleh Sihombing (2019), fokus masih banyak pada tanggung jawab kontraktor. Sementara itu, Saputri (2020) menyoroti aspek penyelesaian sengketa, namun belum menyentuh kedalaman prinsip tanggung jawab hukum konsultan.

 

Namun demikian, ada beberapa kekurangan yang bisa dikembangkan lebih lanjut:

  • Belum membahas hubungan antara tanggung jawab konsultan dan polis asuransi professional indemnity.
  • Minim penjelasan tentang mekanisme penyelesaian sengketa alternatif seperti arbitrase atau mediasi.
  • Belum ada analisis perbandingan dengan sistem hukum negara lain seperti Singapura atau Australia.

 

Implikasi terhadap Penyusunan Kontrak Konstruksi

 

Kontrak kerja konstruksi harus disusun dengan ketelitian ekstra. Paper ini menyarankan beberapa komponen krusial yang wajib dicantumkan:

  • Ruang lingkup kerja konsultan (dengan spesifikasi teknis)
  • Batasan dan pengecualian tanggung jawab
  • Jangka waktu tanggung jawab hukum (biasanya 10 tahun sejak serah terima kedua)
  • Ketentuan asuransi tanggung gugat profesional
  • Mekanisme penyelesaian sengketa (litigasi/arbitrase)

 

Kontrak yang detail dan disusun secara profesional akan membantu menghindari ambiguitas saat terjadi kegagalan bangunan.

 

Opini dan Rekomendasi Tambahan

 

Sebagai pelengkap, artikel ini membuka ruang untuk perbaikan sistemik di bidang konstruksi:

 

1. Regulasi Sertifikasi dan Lisensi Konsultan: Pemerintah perlu memastikan bahwa konsultan konstruksi yang terlibat dalam proyek publik memiliki sertifikasi kompetensi dan lisensi yang diperbarui secara berkala.

 

2. Perlindungan Pihak Pengguna Jasa: UU Jasa Konstruksi dapat diperkuat dengan aturan turunan yang menjelaskan perlindungan konsumen atas jasa konstruksi yang gagal fungsi.

 

3. Digitalisasi Sistem Pengawasan: Penggunaan Building Information Modeling (BIM) dan teknologi pengawasan digital dapat meningkatkan akurasi dan transparansi kerja konsultan.

 

4. Integrasi Skema Asuransi Proyek: Pemerintah bisa mewajibkan skema asuransi kegagalan proyek agar semua pihak mendapat perlindungan hukum dan finansial yang adil.

 

Kesimpulan: Menata Ulang Akuntabilitas di Dunia Konstruksi

 

Paper ini memberikan kontribusi nyata dalam memahami dan membingkai ulang peran serta tanggung jawab konsultan konstruksi dalam hukum Indonesia. Di tengah maraknya kegagalan bangunan dan proyek infrastruktur besar-besaran, akuntabilitas hukum menjadi aspek tak terhindarkan.

 

Dengan pendekatan berbasis kontrak dan prinsip tanggung jawab perdata, diharapkan para konsultan konstruksi dapat menjalankan fungsi profesionalnya dengan lebih hati-hati, transparan, dan bertanggung jawab. Reformasi kontrak kerja konstruksi dan sistem evaluasi performa pasca proyek harus menjadi fokus ke depan.

 

Dengan memperkuat sistem hukum, memperjelas peran dan tanggung jawab dalam kontrak, serta meningkatkan profesionalisme dan sertifikasi konsultan, industri konstruksi Indonesia bisa melangkah menuju masa depan yang lebih berkualitas, aman, dan akuntabel.

 

 

Sumber Asli Paper:

Napitupulu, L. A. T., & Haryanto, I. (2024). Pertanggung Jawaban Hukum Konsultan Konstruksi terhadap Kegagalan Konstruksi Bangunan. Jurnal USM Law Review Vol. 7 No. 1. https://doi.org/10.26623/julr.v7i1

 

Selengkapnya
Pertanggungjawaban Hukum Konsultan Konstruksi atas Kegagalan Bangunan: Kajian Kritis dan Implikasi Praktis dalam Industri Jasa Konstruksi Indonesia

Infrastruktur

Menelisik Defisit Infrastruktur Indonesia: Dari Reformasi Institusi Menuju Strategi Pembangunan oleh Negara

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025


Pendahuluan: Infrastruktur sebagai Masalah dan Solusi

 

Sejak Indonesia dilanda krisis ekonomi Asia tahun 1997, pembangunan infrastruktur menjadi agenda yang tak kunjung tuntas. Padahal, infrastruktur adalah fondasi penting bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan. Dalam makalah yang ditulis oleh Kyunghoon Kim, dibahas secara tajam bagaimana kebijakan reformasi institusional pasca-krisis ternyata gagal mengakselerasi pembangunan infrastruktur. Sebaliknya, Kim mengajukan perspektif alternatif, yaitu dengan meninjau ulang peran negara sebagai aktor utama dalam pembangunan, sebagaimana yang pernah diterapkan oleh negara-negara Asia Timur lainnya.

 

Reformasi Institusi Pascakrisis: Antara Harapan dan Kenyataan

 

Pasca-krisis 1997, Indonesia bergerak cepat melakukan reformasi institusi, dengan mengadopsi pendekatan “good governance” yang diusung lembaga internasional seperti IMF dan Bank Dunia. Tujuannya adalah membasmi korupsi dan kolusi yang sudah mengakar di bawah rezim Orde Baru. Lahirnya institusi seperti KPK, LKPP, dan LPJK menjadi simbol reformasi.

 

Namun Kim mengungkap bahwa reformasi ini tidak berjalan sesuai ekspektasi. Bukannya membenahi tata kelola, institusi-institusi tersebut justru disusupi oleh kepentingan oligarki dan elite bisnis lokal. Proses sertifikasi usaha konstruksi yang dialihkan ke asosiasi swasta malah menciptakan lahan baru bagi rente dan praktik kartel. Studi KPPU menunjukkan bahwa sekitar 60% dari perusahaan konstruksi di awal 2010-an tidak aktif atau hanya berdiri sebagai “bendera proyek”.

 

Data dan Fakta: Ketimpangan Antara Pertumbuhan Konstruksi dan Infrastruktur

 

Salah satu temuan paling mencolok dalam makalah ini adalah kontras tajam antara pertumbuhan sektor konstruksi dengan ketersediaan infrastruktur publik. Antara tahun 2000 hingga 2014, sektor konstruksi menyumbang hingga 10,1% dari PDB Indonesia. Namun di sisi lain, investasi infrastruktur justru turun drastis dari 7,8% menjadi 2,7% dari PDB.

 

Fokus investasi lebih banyak diarahkan ke sektor properti—perumahan, apartemen, dan pusat perbelanjaan—yang memang lebih menguntungkan bagi pengembang swasta. Akibatnya, kebutuhan publik akan jalan, pelabuhan, transportasi massal, dan jaringan listrik justru terabaikan.

 

Peran BUMN dan Skandal Politik

 

Kim juga menyoroti transformasi BUMN konstruksi seperti Waskita Karya, Wijaya Karya, dan Adhi Karya. Alih-alih menjadi agen pembangunan, BUMN justru sering terseret dalam skandal korupsi. Kasus Hambalang menjadi contoh nyata bagaimana pejabat BUMN terlibat dalam suap demi mendapatkan proyek besar. Bahkan proyek tersebut mangkrak dan merugikan negara secara finansial dan politis.

 

Meskipun telah mengalami privatisasi parsial dan menerapkan prinsip tata kelola korporat modern, nyatanya hal ini belum cukup untuk mencegah intervensi politik dan penyalahgunaan wewenang di tubuh BUMN.

 

Kritik terhadap Pendekatan “Good Governance”

 

Salah satu poin paling kuat dari makalah ini adalah kritik terhadap pendekatan reformasi ala Barat yang mengandalkan pembentukan institusi formal dan pelepasan peran negara dalam pembangunan. Kim menilai bahwa pendekatan ini mengasumsikan pasar akan secara otomatis bekerja efisien bila institusi formal diperkuat. Padahal di negara berkembang seperti Indonesia, di mana kekuatan informal dan struktur kekuasaan masih dominan, asumsi ini tidak realistis.

 

Contoh nyata terlihat pada proses pengadaan proyek yang meskipun sudah digital (melalui LPSE), tetap saja dibajak oleh “permainan dalam sistem” yang melibatkan perusahaan fiktif, kontraktor pinjaman, dan pengaturan tender. Bahkan menurut KPPU, biaya sertifikasi sering kali berlipat ganda dari tarif resmi karena praktik rente yang dilakukan oleh asosiasi.

 

Bangkitnya Strategi Negara: Jokowi dan Kembalinya Peran Aktif Pemerintah

 

Dari tahun 2015, pemerintahan Presiden Joko Widodo memulai langkah besar dengan mengubah pendekatan menjadi lebih proaktif. Pemerintah meningkatkan anggaran infrastruktur secara signifikan, bahkan pada 2019 anggarannya empat kali lebih besar dibanding subsidi energi. Jokowi juga menjadikan BUMN sebagai pelaksana utama proyek-proyek strategis nasional seperti tol Trans-Jawa, kereta cepat Jakarta-Bandung, dan pembangunan pelabuhan.

 

Transformasi ini mendorong pertumbuhan luar biasa pada beberapa BUMN. Waskita Karya, misalnya, naik dari posisi 94 ke 16 dalam daftar perusahaan publik dalam waktu lima tahun. Meski dikhawatirkan memunculkan risiko utang dan persaingan tidak sehat, strategi ini menunjukkan efektivitas negara dalam memobilisasi sumber daya.

 

Refleksi dan Opini Kritis: Menuju Model Hibrida

 

Kim tidak menolak pentingnya reformasi institusi, namun ia menekankan perlunya pendekatan yang lebih kontekstual—yaitu menggabungkan kekuatan negara dengan tata kelola yang baik. Dalam konteks Indonesia, pembangunan infrastruktur tidak bisa semata-mata mengandalkan pasar. Pemerintah perlu menjadi aktor aktif, tidak hanya sebagai regulator, tapi juga sebagai investor dan pelaksana.

 

Pendekatan ini mirip dengan yang dilakukan oleh negara-negara Asia Timur seperti Korea Selatan dan China. Pemerintah di negara-negara tersebut tidak hanya membentuk institusi, tetapi juga memobilisasi BUMN untuk mendorong pembangunan strategis dengan insentif jangka panjang.

 

Kesimpulan: Kebutuhan Akan Negara yang Kembali Hadir

 

Makalah Kim menyimpulkan bahwa hambatan utama dalam pembangunan infrastruktur Indonesia bukan hanya karena kelemahan institusi, tapi karena negara terlalu mundur dari peran pembangunan. Ketika pasar tidak mampu mengatasi kegagalan koordinasi dan risiko investasi jangka panjang, maka negara harus hadir kembali—tidak hanya sebagai fasilitator, tetapi sebagai motor utama pembangunan.

 

Untuk mengatasi defisit infrastruktur secara berkelanjutan, Indonesia perlu memadukan kekuatan institusi dan kapasitas negara. Strategi negara pembangunan (developmentalist state) bukan berarti kembali ke masa otoritarian, melainkan mengadopsi peran aktif dan strategis negara dalam konteks demokratis.

 

 

Referensi:

 

Kim, Kyunghoon. (2021). Analysing Indonesia’s Infrastructure Deficits from a Developmentalist Perspective. Competition & Change, Vol. 27(1), 115–142.

DOI: 10.1177/10245294211043355

Selengkapnya
Menelisik Defisit Infrastruktur Indonesia: Dari Reformasi Institusi Menuju Strategi Pembangunan oleh Negara
« First Previous page 113 of 1.119 Next Last »