Membongkar Akar Masalah Keterlambatan Proyek EPC di Indonesia: Antara Biaya Terendah dan Kualitas Perencanaan

Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza

31 Mei 2025, 08.27

Pexels.com

Mengapa Proyek EPC Rentan Terlambat di Indonesia?

 

Proyek EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi andalan dalam pembangunan infrastruktur skala besar di Indonesia, terutama dalam sektor industri pupuk milik BUMN. Model ini menjanjikan efisiensi melalui paket kerja terintegrasi. Namun, janji manis ini seringkali tidak terealisasi. Studi Sarwani dkk. mengungkap bahwa 90% proyek EPC pada periode 2010–2020 mengalami keterlambatan signifikan, meskipun telah menggunakan praktik terbaik dari proyek sebelumnya.

 

Fakta ini menimbulkan pertanyaan penting: jika pendekatan EPC yang terintegrasi justru memicu keterlambatan, di mana letak masalahnya?

 

Metode dan Sampel: Representasi Nyata Dunia Proyek

 

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei terhadap 67 responden kunci yang berasal dari pemilik proyek (BUMN dan anak perusahaannya), kontraktor EPC, serta konsultan desain. Lebih dari 76% responden memiliki pengalaman lebih dari 10 tahun, dan hampir separuh adalah manajer proyek.

 

Dengan menggunakan Relative Importance Index (RII) dan Spearman Rank Correlation, peneliti mengidentifikasi 21 faktor penyebab keterlambatan yang dikelompokkan ke dalam tujuh kategori: proyek, pemilik, kontraktor, desain, material, tenaga kerja, dan eksternal.

 

Sepuluh Penyebab Keterlambatan Paling Kritis

 

1. Keterlambatan Pengadaan Material dan Peralatan

Menempati peringkat pertama (RII 0.910), keterlambatan ini mengganggu jalur kritis proyek. Masalah seperti pergantian daftar produsen, masalah bea cukai, dan keterlambatan fabrikasi vendor menjadi akar penyebab.

 

2. Kesulitan Pembiayaan oleh Kontraktor

RII 0.896 mencerminkan bahwa banyak kontraktor yang bergantung sepenuhnya pada pembayaran progres. Jika progres lambat, dana macet, proyek pun tersendat.

 

3. Perencanaan dan Penjadwalan yang Tidak Efektif

Masalah ini menjadi penyebab klasik (RII 0.884). Jadwal kerja yang tidak realistis, ditambah kurangnya kompetensi perencana proyek, menyebabkan deviasi besar antara rencana dan realisasi.

 

4. Pemenang Tender adalah Penawar Terendah yang Tidak Layak

Ironi besar muncul ketika proyek diberikan kepada penawar 80% di bawah estimasi pemilik. RII 0.857 menunjukkan bahwa praktik “harga terendah” justru menjadi jebakan biaya dan kualitas.

 

5. Pekerjaan Ulang karena Kesalahan Konstruksi

RII 0.848. Rework terjadi karena kurangnya pelatihan dan pengawasan mutu. Biaya rework di proyek studi kasus mencapai 3,15% dari total nilai kontrak.

 

6. Komunikasi dan Koordinasi yang Buruk

Dalam proyek sebesar EPC, minimnya sistem komunikasi formal (bahkan hanya mengandalkan ingatan dan chat pribadi) menjadi penyebab salah paham antar pihak (RII 0.836).

 

7. Keterlambatan Desain Subkontraktor

Indonesia memiliki tingkat subkontrak yang tinggi dalam proyek EPC. Ketika subkontraktor tidak kompeten atau lambat menyelesaikan desain, seluruh proses mundur (RII 0.833).

 

8. Perselisihan dalam Pemahaman Kontrak EPC

Kontrak lumpsum sering kali disusun dalam waktu terbatas, dengan spesifikasi yang masih umum. Hal ini memicu sengketa saat proyek berjalan (RII 0.830).

 

9. Penentuan Durasi Kontrak yang Tidak Realistis oleh Pemilik

Manajemen proyek kadang ditekan untuk mengejar target politik atau kepentingan bisnis jangka pendek, memaksakan durasi tak masuk akal (RII 0.827).

 

10. Keterlambatan Keputusan Pemilik Terkait Perubahan Desain

Ketika pemilik lambat menyetujui perubahan atau resolusi konflik, proyek mandek (RII 0.815). Kerap kali pemilik harus konsultasi dengan pihak ketiga untuk menghindari konflik kepentingan, yang malah memperpanjang proses.

 

Analisis Tambahan: Apa yang Membuat Faktor Ini Berbahaya?

 

Faktor-faktor di atas, meskipun tampak teknis, memiliki implikasi luas. Misalnya, ketergantungan pada pembiayaan dari progres menyebabkan kontraktor kesulitan menalangi pekerjaan awal. Di sisi lain, sistem tender berbasis harga terendah mendorong kontraktor menekan biaya secara tidak sehat, yang berujung pada pekerjaan asal-asalan dan sengketa panjang.

 

Konsistensi Pandangan antar Pihak

 

Spearman Rank Correlation menunjukkan tingkat kesepakatan yang tinggi antar pemilik, kontraktor, dan konsultan:

 

Korelasi pemilik–kontraktor: 99,3%

 

Korelasi pemilik–konsultan: 98,3%

 

Korelasi kontraktor–konsultan: 97,4%

 

Hal ini menunjukkan bahwa penyebab keterlambatan bersifat struktural dan tidak sekadar pandangan sepihak.

 

Perbandingan Internasional: Pola Global yang Mirip

 

Penelitian ini juga membandingkan temuan dengan negara berkembang lain seperti Vietnam, India, Bangladesh, dan Iran. Hasilnya, penyebab seperti perencanaan buruk, keterlambatan pembayaran, dan konflik desain juga menjadi masalah umum di negara-negara tersebut.

 

Rekomendasi Mitigasi Keterlambatan Proyek EPC di Indonesia

 

Untuk Kontraktor:

  • Bangun sistem perencanaan terstandar dan berbasis data.
  • Miliki cadangan dana awal proyek, jangan hanya andalkan pembayaran progres.
  • Latih tenaga kerja dan tim perencana agar kompeten.
  • Gunakan tools seperti BIM untuk efisiensi desain dan integrasi kerja.

 

 

Untuk Pemilik:

  • Jangan hanya fokus pada harga saat lelang, pertimbangkan kompetensi.
  • Realistis dalam menetapkan durasi kontrak dan fleksibel terhadap revisi.
  • Sediakan mekanisme pengambilan keputusan cepat saat ada usulan perubahan.

 

Untuk Konsultan:

  • Tingkatkan standar dokumentasi teknis dan validasi desain.
  • Pastikan subkontraktor desain memiliki kapasitas dan pengalaman cukup.

 

Solusi Sistemik:

  • Gunakan metode tender dua tahap seperti Design Build Competition (DBC) agar kontraktor tidak hanya dinilai dari harga, tetapi juga kualitas inovasi.
  • Terapkan regulasi yang memaksa evaluasi kualitatif dalam seleksi kontraktor.
  • Wajibkan penggunaan BIM dalam semua proyek EPC berskala besar.

 

Opini dan Kritik: Apa yang Bisa Ditingkatkan dari Studi Ini?

 

Studi ini sudah sangat mendalam dalam identifikasi penyebab. Namun, beberapa catatan penting:

  • Survei hanya melibatkan 67 responden, sehingga validitasnya bisa diperluas dengan populasi lebih besar.
  • Fokus hanya pada industri pupuk milik BUMN, padahal proyek EPC juga marak di sektor energi dan transportasi.

 

Meski begitu, data empiris dan metode kuantitatif yang digunakan cukup kuat sebagai dasar pembuatan kebijakan mitigasi risiko proyek di masa depan.

 

Kesimpulan: Saatnya EPC Indonesia Meninggalkan Paradigma "Murah Tapi Mahal"

 

Studi ini memperlihatkan bahwa sebagian besar keterlambatan proyek EPC di Indonesia disebabkan oleh faktor internal yang bisa dikendalikan, bukan oleh kejadian eksternal seperti cuaca atau politik. Proyek EPC memerlukan sinergi yang kuat antara perencanaan matang, komunikasi lintas aktor, pembiayaan yang sehat, dan sistem tender yang adil.

 

Jika Indonesia serius ingin meningkatkan kinerja infrastruktur nasional, perlu ada pergeseran paradigma dari sekadar efisiensi biaya menjadi efisiensi keseluruhan proyek—dari hulu ke hilir. Dan studi Sarwani dkk. memberi kita peta jalan awal untuk menuju ke sana.

 

 

Sumber:

Sarwani, I. Baihaqi, & C. Utomo. (2024). Causes of Delay in EPC Projects: The Case of Indonesia. International Journal on Advanced Science, Engineering and Information Technology, 14(2). DOI:10.18517/ijaseit.14.2.19744