Kegagalan Konstruksi Bukan Semata Kecelakaan, Tapi Akumulasi Kesalahan Manajerial
Dalam dunia konstruksi, kegagalan proyek bukan hanya soal bangunan runtuh atau hasil yang tidak sesuai ekspektasi. Artikel ini secara tajam mengungkap bahwa kegagalan konstruksi lebih dalam dari itu—ia adalah cermin dari lemahnya sistem manajemen, ketidakefisienan penggunaan anggaran, serta minimnya pengawasan internal yang memadai.
Amariza dan Mulya merancang studi ini sebagai refleksi kritis terhadap praktik manajemen proyek yang selama ini dianggap cukup “berjalan” karena proyek selesai, meski diwarnai banyak penyimpangan yang terabaikan.
Studi dengan Sudut Pandang Realistis dan Fenomenologis
Berbeda dari riset kuantitatif berbasis angka semata, penelitian ini memanfaatkan pendekatan kualitatif fenomenologis. Observasi lapangan, wawancara mendalam, dan analisis dokumen dilakukan secara langsung di lingkungan proyek konstruksi, untuk menelisik mengapa perusahaan tetap bertahan meskipun mengabaikan banyak prinsip dasar manajemen proyek.
Data dikumpulkan dari perusahaan konstruksi dengan usia lebih dari 39 tahun, yang menurut peneliti bertahan lebih karena kekuatan relasi bisnis dan portofolio proyek berlapis (portofolio simultan), bukan karena sistem internal yang kokoh.
Manajemen Operasional: Peran Penting yang Masih Diabaikan
Penelitian ini menyatakan bahwa sebagian besar perusahaan konstruksi masih memandang manajemen operasional sekadar pelengkap, bukan fondasi. Lima fungsi utama yang semestinya dijalankan belum terlaksana secara maksimal:
Efisiensi: Penempatan pekerja tidak sesuai keahlian, jam kerja tidak terkontrol, dan pencatatan lembur yang longgar menimbulkan pembengkakan biaya gaji hingga melampaui batas Rencana Anggaran Biaya (RAB).
Produktivitas: Pembelian material sering tidak sesuai dengan kebutuhan aktual. Kelebihan jumlah disebabkan oleh miskomunikasi antara bagian pembelian dan bagian lapangan. Biaya tak terduga seperti ongkos kirim dan biaya penyambungan bahan pun tidak diantisipasi.
Ekonomi: RAP (Rencana Anggaran Proyek) dibuat tanpa rincian item biaya tertentu seperti premi asuransi proyek. Ketidakakuratan ini menyebabkan proyek dibiayai secara ad-hoc, menimbulkan tekanan pada arus kas perusahaan.
Empat Fungsi Manajemen yang Masih Minim Implementasinya
1. Perencanaan (Planning)
Secara dokumen, perencanaan terlihat matang. Tapi di lapangan, pelaksanaannya tidak sesuai. K3LMP (Kesehatan, Keselamatan Kerja, Lingkungan, Mutu, dan Pengamanan) tidak diawasi secara aktif. Akibatnya, standar keselamatan sering dilanggar.
2. Pengorganisasian (Organizing)
Struktur organisasi memang dibuat, tapi penempatan SDM tidak berdasarkan kompetensi. Bahkan, terdapat indikasi pembentukan struktur proyek demi kepentingan pribadi, seperti pengalihan laba hingga 45% secara tidak wajar dari laba seharusnya.
3. Kepemimpinan (Leading)
Aspek ini hampir absen. Tidak ada mekanisme formal untuk membina dan memotivasi staf. Komunikasi vertikal maupun horizontal minim, padahal ini adalah kunci dalam penyelesaian masalah proyek yang dinamis.
4. Pengendalian (Controlling)
Tidak ada tim pengawas khusus. Penyimpangan prosedur, pengeluaran tak terduga, dan deviasi progres proyek tidak terdeteksi sejak dini. Kontrol hanya dilakukan reaktif, bukan preventif.
Internal Control System (SPI): Komponen Vital yang Terabaikan
Salah satu sorotan penting dari studi ini adalah lemahnya penerapan Sistem Pengendalian Intern (SPI). Tanpa SPI yang berjalan, perusahaan tidak mampu menjamin keandalan laporan keuangan, efisiensi operasional, serta kepatuhan terhadap peraturan.
Konsekuensi dari lemahnya SPI adalah laporan keuangan yang tidak merefleksikan kondisi riil perusahaan. Hal ini berisiko menurunkan kredibilitas di hadapan mitra bisnis, bank, maupun investor.
Mengapa Perusahaan Bisa Bertahan Meski Banyak Kegagalan?
Peneliti menyebut bahwa perusahaan tetap eksis selama lebih dari tiga dekade karena dua hal:
- Sistem Portofolio Proyek Berlapis
Perusahaan mengelola 4–6 proyek sekaligus. Kerugian dari satu proyek ditutup dari keuntungan proyek lain. Praktik ini dikenal sebagai cross-subsidy, meski tidak sehat dalam jangka panjang.
- Hubungan Personal yang Kuat dengan Pemberi Kerja
Layanan yang responsif dan komunikasi informal yang intens menjadi kekuatan perusahaan dalam memenangkan kepercayaan klien, bahkan ketika pengelolaan internal tidak ideal.
Studi Kasus: Pembengkakan Biaya karena Kesalahan Sederhana
Salah satu contoh konkret dalam studi ini adalah pembelian material besi yang salah spesifikasi. Akibatnya, perlu dilakukan pengembalian dan pengiriman ulang. Biaya transportasi tambahan yang tidak tercantum dalam RAP menjadi beban baru yang tidak terkalkulasi sebelumnya.
Kritik terhadap Praktik yang Ada: Strategi Bertahan atau Bom Waktu?
Meski pendekatan survival through relationship masih bisa berjalan dalam jangka pendek, praktik semacam ini tidak berkelanjutan. Risiko reputasi, inefisiensi berulang, dan potensi sengketa kontrak bisa meledak kapan saja. Oleh karena itu, penulis merekomendasikan transformasi menyeluruh dalam sistem pengelolaan proyek.
Rekomendasi Kunci dari Penelitian Ini
- Bentuk Tim Pengendalian Internal
Minimal terdiri dari personel audit internal, manajer lapangan, dan staf administrasi proyek yang rutin melakukan inspeksi.
- Tempatkan SDM Sesuai Keahlian
Rotasi karyawan perlu berbasis kompetensi, bukan kedekatan atau loyalitas.
- Perbarui RAP secara Dinamis
RAP harus menjadi dokumen hidup yang direvisi sesuai perubahan desain, harga bahan baku, dan kebijakan baru.
- Aktifkan Forum Komunikasi Internal
Pertemuan mingguan antardivisi wajib dilakukan untuk deteksi dini masalah.
- Evaluasi Vendor dan Supplier Secara Berkala
Supplier yang tidak fleksibel atau tidak kooperatif perlu diganti untuk menjaga kelancaran pasokan.
Kesimpulan: Kunci Perubahan Ada pada Niat dan Aksi Serius
Penelitian ini memberi cermin bahwa banyak kegagalan proyek konstruksi bukan karena faktor eksternal seperti cuaca atau peraturan pemerintah, melainkan karena lemahnya tata kelola internal. Manajemen operasional yang dijalankan secara minimalis, tanpa pengawasan yang memadai, pada akhirnya berdampak langsung terhadap efisiensi biaya, kualitas hasil, dan kredibilitas perusahaan.
Jika perusahaan ingin bertahan tidak hanya karena relasi personal tetapi karena kompetensi profesional, maka reformasi manajemen harus dimulai dari sekarang. Transformasi menuju konstruksi modern dan berdaya saing membutuhkan perencanaan matang, pelaksanaan disiplin, serta evaluasi berkelanjutan.
Sumber:
Amariza, M., & Mulya, H. (2019). The Basic Aspects of the Failures Resulted in the Failure of the Construction. Scholars Bulletin, 5(11), 648–657. DOI:10.36348/sb.2019.v05i11.008