Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan: Ketika Efisiensi Tak Lagi Mengejar Konsumsi
Dalam dua dekade terakhir, circular economy dipromosikan sebagai jawaban rasional atas krisis sumber daya global. Ia hadir sebagai konsep yang menjanjikan pengurangan limbah, efisiensi material, dan pemisahan antara pertumbuhan ekonomi dan tekanan lingkungan. Dalam narasi kebijakan internasional, circular economy sering diposisikan seolah-olah menjadi missing link yang akan memungkinkan dunia mempertahankan pertumbuhan ekonomi tanpa melampaui batas planet.
Namun, bab yang ditulis oleh Ole van Allen, Harald U. Sverdrup, dan Anna Hulda Olafsdottir justru membuka pendahuluan dengan nada yang berlawanan. Alih-alih bertanya bagaimana circular economy dapat diimplementasikan, mereka mengajukan pertanyaan yang jauh lebih tidak nyaman: apakah masih ada ruang bagi circular economy di tengah laju konsumsi global yang terus meningkat?
Pertanyaan ini berangkat dari fakta empiris yang sulit diabaikan. Konsumsi material global meningkat dari sekitar 43 miliar ton pada 1990 menjadi 92 miliar ton pada 2017, atau naik lebih dari 113 persen dalam kurang dari tiga dekade. Proyeksi menunjukkan bahwa tanpa perubahan kebijakan yang bersifat sistemik, konsumsi material dapat mencapai 190 miliar ton pada 2060. Angka-angka ini menggeser perdebatan circular economy dari ranah desain dan inovasi menuju ranah ketidakcukupan struktural.
Di titik ini, circular economy tidak lagi dipertanyakan sebagai konsep yang salah, melainkan sebagai konsep yang terlalu kecil untuk menghadapi skala masalah. Penulis menunjukkan bahwa sebagian besar pendekatan keberlanjutan—termasuk circular economy, decoupling, strategi 4R, dan efisiensi teknis—masih beroperasi dalam kerangka business-as-usual. Konsumsi tetap tumbuh, populasi terus meningkat, dan pertumbuhan ekonomi tetap menjadi tujuan politik utama. Dalam konfigurasi ini, setiap peningkatan efisiensi cenderung dikompensasi oleh peningkatan volume aktivitas ekonomi.
Pendahuluan bab ini secara implisit membongkar asumsi dasar yang jarang dipersoalkan: bahwa efisiensi dapat mengalahkan skala. Circular economy diasumsikan mampu “mengejar” pertumbuhan konsumsi melalui daur ulang yang lebih baik, penggunaan ulang yang lebih lama, dan inovasi teknologi. Namun, data historis menunjukkan bahwa efisiensi material dan energi tidak pernah cukup cepat untuk mengimbangi ekspansi ekonomi global. Alih-alih menurunkan tekanan ekologis, efisiensi sering kali justru mempercepat konsumsi melalui efek rebound.
Yang menarik, penulis tidak berhenti pada kritik normatif. Mereka memosisikan circular economy dalam kerangka analisis sistem. Dari perspektif sistem global, perputaran internal material dalam ekonomi sirkular tidak dapat dipisahkan dari aliran masuk sumber daya primer yang terus meningkat. Dengan kata lain, circularity di dalam sistem tidak otomatis berarti keberlanjutan di tingkat planet. Sistem bisa tampak lebih “sirkular” secara internal, tetapi tetap tidak berkelanjutan secara keseluruhan.
Pendahuluan ini dengan demikian menegaskan bahwa persoalan utama bukan terletak pada kurangnya adopsi circular economy, melainkan pada ketidaksesuaian antara tujuan keberlanjutan dan logika pertumbuhan tanpa batas. Selama pertumbuhan konsumsi dan populasi tidak menjadi bagian dari perhitungan, circular economy berisiko berfungsi sebagai penunda krisis, bukan sebagai solusi.
Dengan mengajukan pertanyaan “any room for the circular economy?”, penulis tidak menolak circular economy secara total. Sebaliknya, mereka memaksa pembaca untuk menempatkan circular economy pada skala yang tepat: sebagai alat pendukung, bukan penopang utama keberlanjutan global. Pendahuluan ini membuka jalan bagi analisis yang lebih keras pada bagian selanjutnya, di mana model sistem dan simulasi akan menunjukkan batas-batas konkret dari pendekatan sirkular dalam dunia yang terus tumbuh
2. Mengapa Decoupling dan Circular Economy Gagal pada Skala Global
Setelah mempertanyakan apakah masih ada ruang bagi circular economy dalam konteks lonjakan konsumsi material global, van Allen dan kolega membawa diskusi ke wilayah yang lebih keras: apa yang sebenarnya ditunjukkan oleh data dan model sistem tentang kemungkinan decoupling dan circularity? Pada titik ini, optimisme normatif yang sering melekat pada circular economy berhadapan langsung dengan batas empiris.
Salah satu asumsi kunci dalam diskursus circular economy adalah decoupling—gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipisahkan dari penggunaan sumber daya dan dampak lingkungan. Dalam praktik kebijakan, decoupling sering diartikan sebagai peningkatan efisiensi material dan energi yang cukup cepat untuk menurunkan tekanan ekologis meskipun PDB terus tumbuh. Namun, analisis historis yang disajikan dalam bab ini menunjukkan bahwa absolute decoupling hampir tidak pernah terjadi pada skala global.
Data penggunaan sumber daya memperlihatkan pola yang konsisten: setiap penurunan intensitas material per unit PDB hampir selalu diimbangi oleh pertumbuhan volume ekonomi secara keseluruhan. Dengan kata lain, efisiensi relatif tercapai, tetapi konsumsi absolut tetap meningkat. Bahkan di wilayah dengan kemajuan teknologi tinggi dan kebijakan lingkungan yang ketat, penurunan penggunaan material domestik sering kali diimbangi oleh eksternalisasi konsumsi melalui impor. Ketika konsumsi dihitung secara consumption-based alih-alih production-based, klaim decoupling menjadi jauh lebih rapuh.
Bab ini kemudian memperkuat argumen tersebut melalui pendekatan model sistem dinamis. Dengan memandang ekonomi global sebagai sistem yang saling terhubung—antara populasi, produksi, konsumsi, dan ketersediaan sumber daya—penulis menunjukkan bahwa circular economy beroperasi sebagai mekanisme penundaan, bukan pemutus hubungan. Daur ulang, penggunaan ulang, dan perpanjangan umur produk memang memperlambat laju ekstraksi sumber daya primer, tetapi tidak menghentikannya. Selama permintaan total terus tumbuh, aliran masuk material baru tetap diperlukan.
Model yang disajikan memperlihatkan bahwa bahkan dengan tingkat daur ulang yang sangat tinggi, kebutuhan terhadap sumber daya primer tidak pernah turun ke nol. Hal ini disebabkan oleh beberapa faktor struktural: degradasi material dalam proses daur ulang, kehilangan energi, pertumbuhan stok material dalam infrastruktur, serta ekspansi populasi dan konsumsi per kapita. Circular economy, dalam kerangka ini, lebih tepat dipahami sebagai strategi efisiensi temporal—ia membeli waktu, tetapi tidak mengubah arah dasar sistem.
Aspek lain yang dikritisi adalah ketergantungan circular economy pada teknologi masa depan. Banyak skenario keberlanjutan mengasumsikan peningkatan dramatis dalam efisiensi, substitusi material, dan teknologi daur ulang canggih. Namun, penulis menegaskan bahwa asumsi tersebut sering kali mengabaikan batas termodinamika dan ketersediaan material kritis. Teknologi itu sendiri membutuhkan sumber daya, energi, dan infrastruktur tambahan, yang pada gilirannya meningkatkan tekanan pada sistem.
Dalam konteks ini, circular economy berisiko menjadi bagian dari narasi technological optimism—keyakinan bahwa inovasi akan selalu datang tepat waktu untuk menyelesaikan masalah yang dihasilkan oleh pertumbuhan. Bab ini bersikap jauh lebih skeptis. Dengan merujuk pada tren jangka panjang dan batas fisik, penulis menunjukkan bahwa tidak ada bukti empiris kuat bahwa circular economy mampu menetralkan dampak pertumbuhan ekonomi global dalam skala dan kecepatan yang dibutuhkan.
Section ini memperjelas bahwa kegagalan circular economy bukan terutama kegagalan desain kebijakan atau implementasi, melainkan kegagalan skala dan asumsi. Circular economy bekerja paling baik dalam konteks terbatas—produk tertentu, sektor tertentu, atau wilayah tertentu. Ketika dinaikkan ke tingkat global tanpa membatasi pertumbuhan konsumsi, ia kehilangan daya transformasinya.
Dengan demikian, kritik yang dibangun dalam bab ini tidak menolak circular economy sebagai praktik, tetapi menolak klaim implisit bahwa circular economy dapat berdiri sendiri sebagai strategi keberlanjutan global. Tanpa pengendalian konsumsi, pertumbuhan populasi, dan ekspansi ekonomi, circular economy tetap terperangkap dalam logika yang sama dengan ekonomi linear—hanya dengan aliran yang sedikit lebih efisien
3. Batas Fisik dan Termodinamika: Mengapa 100% Circularity adalah Ilusi
Salah satu kontribusi terkuat dari bab van Allen dan kolega terletak pada penegasan bahwa kegagalan circular economy bukan semata persoalan ekonomi atau kebijakan, melainkan konsekuensi langsung dari hukum fisika. Di titik ini, diskursus circular economy dipaksa keluar dari wilayah metafora dan slogan menuju ranah yang jauh lebih tidak kompromistis: termodinamika dan keterbatasan material.
Circular economy sering digambarkan melalui citra lingkaran tertutup, seolah-olah material dapat berputar tanpa kehilangan. Namun, dalam sistem fisik nyata, tidak ada proses yang sepenuhnya reversibel. Hukum kedua termodinamika menyatakan bahwa setiap transformasi energi dan material menghasilkan entropi—kehilangan kualitas yang tidak dapat dipulihkan sepenuhnya. Dalam konteks daur ulang, ini berarti bahwa setiap siklus selalu melibatkan degradasi material, kontaminasi, dan kehilangan energi.
Penulis menegaskan bahwa bahkan pada sistem daur ulang yang sangat efisien, 100% circularity secara fisik mustahil. Material mengalami keausan, pencampuran, dan perubahan struktur yang membuatnya tidak lagi setara dengan bahan awal. Akibatnya, sistem sirkular selalu membutuhkan input sumber daya primer untuk menjaga fungsi dan kualitas. Dengan kata lain, circular economy tidak pernah benar-benar tertutup; ia selalu bergantung pada ekonomi ekstraktif di latar belakang.
Masalah ini semakin serius ketika circular economy diterapkan pada stok material jangka panjang, seperti bangunan, infrastruktur, dan mesin industri. Material dalam stok ini tidak langsung kembali ke siklus produksi, tetapi “terkunci” selama puluhan tahun. Selama periode tersebut, kebutuhan material baru terus muncul untuk memenuhi ekspansi ekonomi dan pertumbuhan populasi. Model sistem yang dibahas dalam bab ini menunjukkan bahwa pertumbuhan stok material global menjadi salah satu faktor utama yang membuat circularity penuh tidak dapat dicapai.
Selain degradasi dan stok, faktor energi memainkan peran sentral. Setiap proses daur ulang membutuhkan energi tambahan, sering kali dalam jumlah yang signifikan. Jika energi tersebut masih berasal dari sumber fosil atau sumber terbarukan yang terbatas kapasitasnya, maka circular economy justru dapat memindahkan tekanan dari satu domain lingkungan ke domain lain. Dalam konteks ini, circular economy tidak otomatis lebih berkelanjutan kecuali didukung oleh sistem energi yang juga beroperasi dalam batas ekologis yang ketat.
Bab ini juga mengkritisi kecenderungan untuk mengabaikan material kritis dan langka. Banyak teknologi yang dipromosikan sebagai pendukung circular economy—mulai dari sistem digital, baterai, hingga infrastruktur energi terbarukan—bergantung pada material yang secara geologis terbatas dan sulit didaur ulang secara sempurna. Kehilangan kecil dalam setiap siklus daur ulang material kritis dapat terakumulasi menjadi kelangkaan sistemik dalam jangka panjang.
Dengan menempatkan circular economy dalam kerangka batas fisik, penulis membongkar ilusi bahwa keberlanjutan dapat dicapai melalui optimasi proses semata. Circular economy, dalam pembacaan ini, tidak gagal karena kurang ambisius, tetapi karena ambisinya tidak selaras dengan realitas fisik planet. Upaya untuk menutup lingkaran sepenuhnya justru berisiko menunda diskusi yang lebih mendesak tentang pengurangan skala aktivitas ekonomi.
Section ini memperkuat argumen bahwa circular economy hanya masuk akal sebagai strategi pelengkap, bukan sebagai kerangka utama keberlanjutan. Selama kebijakan dan strategi industri terus mengejar pertumbuhan material dan energi, hukum termodinamika akan selalu “menang” atas desain ekonomi. Dengan demikian, pertanyaan yang lebih relevan bukan lagi bagaimana mencapai circularity sempurna, melainkan berapa tingkat circularity yang realistis dalam batas fisik yang ada
4. Populasi, Pertumbuhan Ekonomi, dan Masalah Skala yang Tak Pernah Dibahas
Salah satu kekuatan analisis van Allen dan kolega adalah keberaniannya menempatkan circular economy dalam konteks dinamika makro yang jarang disentuh secara eksplisit: pertumbuhan populasi dan ekspansi ekonomi global. Dalam banyak narasi keberlanjutan, kedua faktor ini diperlakukan sebagai parameter eksternal yang tidak dapat diganggu gugat. Circular economy kemudian diposisikan sebagai solusi teknis yang harus bekerja terlepas dari kenyataan bahwa semakin banyak manusia mengonsumsi semakin banyak sumber daya.
Bab ini secara sistematis menunjukkan bahwa pendekatan semacam itu bersifat problematik. Pertumbuhan populasi global, meskipun melambat, tetap menghasilkan tekanan material yang signifikan. Setiap tambahan populasi berarti kebutuhan baru akan pangan, energi, perumahan, infrastruktur, dan layanan publik—semuanya berbasis material dan energi. Circular economy dapat memperlambat laju ekstraksi per kapita, tetapi tidak pernah mampu menetralkan peningkatan absolut yang dihasilkan oleh pertumbuhan populasi dan konsumsi.
Pertumbuhan ekonomi memperparah persoalan tersebut. Dalam model sistem yang digunakan, pertumbuhan PDB global berfungsi sebagai penguat (reinforcing loop) bagi konsumsi material. Setiap peningkatan efisiensi cenderung diikuti oleh penurunan harga relatif, peningkatan akses, dan ekspansi pasar—fenomena yang dikenal sebagai efek rebound. Akibatnya, keuntungan efisiensi yang diharapkan dari circular economy sering kali “dikonsumsi kembali” oleh pertumbuhan volume aktivitas ekonomi.
Penulis menekankan bahwa sebagian besar skenario keberlanjutan global secara implisit mengasumsikan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat terus berlangsung, sementara dampak ekologisnya dikendalikan melalui teknologi dan efisiensi. Namun, ketika skenario tersebut diuji melalui model sistem jangka panjang, hasilnya konsisten: tanpa pembatasan pertumbuhan, tekanan sumber daya terus meningkat, meskipun laju peningkatannya mungkin melambat.
Masalah skala ini semakin jelas ketika circular economy diterapkan pada sektor-sektor kunci seperti konstruksi, transportasi, dan energi. Sektor-sektor ini tidak hanya bersifat material-intensif, tetapi juga sangat terkait dengan pertumbuhan populasi dan urbanisasi. Daur ulang material konstruksi atau peningkatan efisiensi kendaraan tidak mampu mengimbangi lonjakan permintaan infrastruktur dan mobilitas. Circular economy di sektor-sektor ini berfungsi sebagai pengurang tekanan relatif, bukan sebagai solusi absolut.
Bab ini juga menyoroti ketegangan politik yang muncul ketika persoalan skala dibahas secara terbuka. Mengakui bahwa pertumbuhan konsumsi dan populasi memiliki batas berarti mempertanyakan paradigma pembangunan yang telah mendominasi kebijakan global selama beberapa dekade. Circular economy sering dipromosikan justru karena ia tidak menantang paradigma tersebut secara langsung. Dengan menawarkan perbaikan teknis, circular economy memungkinkan pembuat kebijakan menghindari diskusi tentang pembatasan konsumsi dan redistribusi kesejahteraan.
Section ini menegaskan bahwa kegagalan circular economy pada skala global bukan akibat kurangnya ambisi, tetapi akibat ketidaksesuaian antara tujuan keberlanjutan dan realitas pertumbuhan. Selama pertumbuhan populasi dan ekonomi diperlakukan sebagai konstanta, circular economy akan selalu bekerja di bawah bayang-bayang peningkatan skala yang tidak dapat dikalahkan oleh efisiensi semata.
Dengan demikian, analisis ini menggeser fokus diskusi dari pertanyaan “bagaimana meningkatkan circularity” menjadi “pada skala aktivitas ekonomi seperti apa circularity menjadi bermakna?”. Pertanyaan ini membuka ruang bagi perdebatan yang lebih jujur tentang masa depan keberlanjutan—perdebatan yang selama ini sering dihindari demi menjaga optimisme kebijakan
5. Circular Economy sebagai Alat Pendukung, Bukan Strategi Utama
Setelah menelusuri batas-batas empiris, fisik, dan sistemik circular economy, van Allen dan kolega sampai pada kesimpulan yang tegas namun tidak nihilistik: circular economy tetap memiliki peran, tetapi peran tersebut bersifat terbatas. Ia tidak dapat—dan tidak seharusnya—diposisikan sebagai strategi utama untuk mencapai keberlanjutan global. Sebaliknya, circular economy perlu dipahami sebagai alat pendukung dalam kerangka kebijakan yang lebih luas dan lebih jujur terhadap batas planet.
Dalam kerangka ini, circular economy berfungsi untuk memperlambat laju degradasi, bukan untuk menghentikannya sepenuhnya. Daur ulang, penggunaan ulang, dan efisiensi material dapat memperpanjang umur sumber daya, mengurangi tekanan ekstraksi jangka pendek, dan memberikan ruang waktu bagi transisi sistemik lainnya. Namun, manfaat tersebut hanya bermakna jika dikombinasikan dengan kebijakan yang secara eksplisit mengendalikan skala aktivitas ekonomi dan konsumsi.
Penulis menekankan bahwa kesalahan utama dalam diskursus circular economy bukan terletak pada praktiknya, melainkan pada ekspektasi yang dibebankan kepadanya. Circular economy sering diperlakukan sebagai solusi “tanpa rasa sakit”—sebuah pendekatan yang memungkinkan pertumbuhan berlanjut tanpa perlu menghadapi pilihan sulit. Dalam konfigurasi seperti ini, circular economy justru berisiko memperkuat status quo dengan memberikan legitimasi keberlanjutan semu.
Sebagai alat pendukung, circular economy perlu ditempatkan di bawah strategi yang lebih fundamental, seperti pengendalian konsumsi material absolut, pembatasan eksploitasi sumber daya primer, dan restrukturisasi sistem produksi dan distribusi. Tanpa kerangka ini, peningkatan circularity hanya akan menghasilkan perbaikan marginal yang mudah terserap oleh pertumbuhan.
Bab ini juga menekankan pentingnya prioritisasi sektor. Circular economy paling efektif ketika diterapkan pada sektor dengan potensi pengurangan dampak yang tinggi dan keterbatasan substitusi yang rendah. Sebaliknya, memaksakan circularity pada semua sektor secara seragam berisiko menciptakan kebijakan yang tidak efisien dan bahkan kontraproduktif. Pendekatan yang lebih selektif memungkinkan alokasi sumber daya kebijakan dan teknologi yang lebih rasional.
Reposisi circular economy ini juga memiliki implikasi normatif. Dengan mengakui keterbatasannya, circular economy berhenti menjadi janji universal dan mulai berfungsi sebagai instrumen teknis yang jujur. Kejujuran ini penting untuk membangun kebijakan keberlanjutan yang kredibel, karena menghindari kekecewaan publik yang muncul ketika target ambisius tidak tercapai.
Section ini menegaskan bahwa circular economy tidak gagal karena tidak cukup diterapkan, tetapi karena diposisikan secara keliru. Dengan menempatkannya sebagai alat pendukung dalam strategi yang secara eksplisit membahas pertumbuhan, konsumsi, dan batas fisik, circular economy tetap dapat memberikan kontribusi nyata—bukan sebagai penyelamat tunggal, tetapi sebagai bagian dari upaya kolektif yang lebih luas dan lebih realistis
6. Kesimpulan dan Implikasi Kebijakan: Circular Economy setelah Ilusi Skala
Artikel ini menempatkan circular economy pada posisi yang lebih jujur dan proporsional dalam diskursus keberlanjutan global. Berdasarkan analisis data historis, model sistem, batas termodinamika, serta dinamika populasi dan pertumbuhan ekonomi, menjadi jelas bahwa circular economy tidak mampu berdiri sendiri sebagai strategi utama keberlanjutan. Kegagalannya bukan terletak pada kurangnya inovasi atau implementasi, melainkan pada ketidaksesuaian antara klaimnya dan skala masalah yang dihadapi.
Circular economy terbukti efektif dalam konteks terbatas: sektor tertentu, wilayah tertentu, dan horizon waktu tertentu. Ia mampu memperlambat laju ekstraksi sumber daya, mengurangi limbah relatif, dan meningkatkan efisiensi penggunaan material. Namun, ketika dinaikkan ke tingkat global tanpa pembatasan konsumsi dan pertumbuhan, circular economy kehilangan daya transformasinya. Efisiensi tidak pernah cukup cepat untuk mengejar ekspansi sistem ekonomi dunia.
Temuan utama dari bab van Allen dan kolega menggeser fokus perdebatan dari “bagaimana meningkatkan circularity” menuju pertanyaan yang lebih mendasar: pada skala aktivitas ekonomi seperti apa circular economy masih bermakna? Pertanyaan ini memaksa pembuat kebijakan untuk keluar dari zona nyaman narasi teknokratis dan menghadapi realitas bahwa keberlanjutan tidak dapat dicapai tanpa keputusan politik yang sulit.
Implikasi kebijakan dari analisis ini cukup tegas. Pertama, circular economy perlu ditempatkan sebagai instrumen pendukung, bukan sebagai tujuan akhir. Target circularity harus disertai dengan target absolut pengurangan penggunaan sumber daya primer dan energi. Tanpa target absolut, peningkatan efisiensi hanya akan memperpanjang usia sistem yang tidak berkelanjutan.
Kedua, kebijakan keberlanjutan perlu secara eksplisit memasukkan pengendalian skala—baik melalui pembatasan konsumsi material, pengelolaan pertumbuhan sektor intensif sumber daya, maupun redefinisi kesejahteraan yang tidak bergantung pada ekspansi material. Circular economy dapat berperan dalam kerangka ini, tetapi tidak dapat menggantikannya.
Ketiga, diperlukan kejujuran naratif dalam komunikasi kebijakan. Circular economy tidak seharusnya dipresentasikan sebagai solusi yang memungkinkan dunia “terus tumbuh seperti biasa”. Sebaliknya, ia perlu dikomunikasikan sebagai alat untuk mengelola transisi, yang bekerja efektif hanya jika dikombinasikan dengan perubahan struktural yang lebih dalam.
Dengan reposisi ini, circular economy tidak kehilangan relevansinya—justru sebaliknya. Ia dibebaskan dari beban janji yang tidak realistis dan dapat berfungsi secara lebih efektif sebagai bagian dari strategi keberlanjutan yang berlapis. Keberlanjutan global, dalam kerangka ini, bukan hasil dari satu konsep unggulan, melainkan dari kombinasi kebijakan yang berani mengakui batas fisik planet.
Pada akhirnya, pertanyaan “apakah masih ada ruang bagi circular economy?” tidak dijawab dengan ya atau tidak secara sederhana. Jawabannya bersyarat: ada ruang, tetapi ruang tersebut semakin sempit jika pertumbuhan konsumsi dan populasi terus dibiarkan tanpa kendali. Circular economy dapat membeli waktu, tetapi hanya perubahan skala yang dapat menentukan arah masa depan sistem global
Daftar Pustaka
van Allen, O., Sverdrup, H. U., & Olafsdottir, A. H. (2022). Global resource use and the future: Any room for the circular economy? Dalam The Impossibilities of the Circular Economy. London: Routledge.
Bringezu, S., Schütz, H., Steger, S., & Baudisch, J. (2004). International comparison of resource use and its relation to economic growth. Ecological Economics, 51(1–2), 97–124.
Haberl, H., Fischer-Kowalski, M., Krausmann, F., Martinez-Alier, J., & Winiwarter, V. (2011). A socio-metabolic transition towards sustainability? Population and Environment, 32(1), 1–20.
Jackson, T. (2017). Prosperity without growth: Foundations for the economy of tomorrow. London: Routledge.
Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., & Behrens, W. W. (1972). The limits to growth. New York: Universe Books.
Schandl, H., Fischer-Kowalski, M., West, J., et al. (2016). Global material flows and resource productivity. Journal of Industrial Ecology, 20(4), 827–838.
Wiedmann, T. O., Schandl, H., Lenzen, M., et al. (2015). The material footprint of nations. Proceedings of the National Academy of Sciences, 112(20), 6271–6276.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan: Ketika Limbah Tak Bisa Dijinakkan
Circular economy kerap dipromosikan sebagai jalan tengah yang rasional antara tuntutan keberlanjutan ekologis dan kebutuhan ekonomi modern. Ia tidak meminta penghentian pertumbuhan, tidak menantang fondasi kapitalisme secara langsung, dan tidak menuntut perubahan radikal dalam cara hidup manusia kontemporer. Sebaliknya, circular economy menjanjikan keberlanjutan melalui manajemen yang lebih cerdas: limbah dijadikan sumber daya, siklus ditutup, efisiensi ditingkatkan. Namun justru karena itulah circular economy jarang dipertanyakan secara mendasar. Ia terasa masuk akal, moderat, dan dapat diterima oleh hampir semua pihak.
Bab yang ditulis Lisa Doeland mengganggu rasa nyaman tersebut. Alih-alih merayakan circular economy sebagai solusi, Doeland memposisikannya sebagai gejala ideologis—sebuah upaya sistematis untuk mengelola krisis ekologis tanpa benar-benar mengakui batas ekologis itu sendiri. Kritik ini tidak diarahkan pada kegagalan teknis, melainkan pada fantasi konseptual yang menopang circular economy: keyakinan bahwa sistem ekonomi dapat terus berjalan seperti biasa selama kita cukup pandai “menutup lingkaran”.
Dalam pembacaan ini, circular economy tidak melampaui ekonomi linear, tetapi justru memperhalusnya. Jika ekonomi linear dikritik karena logika take–make–waste, circular economy mempertahankan struktur dasar yang sama sambil berupaya menghilangkan bagian yang paling mengganggu secara simbolik: limbah. Limbah tidak lagi diperlakukan sebagai sisa yang mengganggu, melainkan sebagai potensi yang belum dimanfaatkan. Dengan demikian, circular economy tidak hanya mengelola material, tetapi juga menjinakkan ketidaknyamanan ekologis yang ditimbulkan oleh konsumsi dan pertumbuhan tanpa henti.
Masalahnya, sebagaimana ditunjukkan Doeland, limbah bukan sekadar persoalan teknis atau ekonomi. Limbah adalah tanda dari sesuatu yang tidak dapat sepenuhnya diintegrasikan ke dalam logika pertukaran dan perhitungan. Ia mengingatkan bahwa tidak semua hal dapat dikalkulasi, didaur ulang, atau dikembalikan ke dalam sistem tanpa sisa. Ketika circular economy berambisi menghapus limbah—melalui fantasi zero waste atau recycling without remainder—yang dihapus bukan hanya material, tetapi juga kesadaran akan batas.
Di titik ini, kritik Doeland bergeser dari kebijakan lingkungan ke ranah filsafat. Ia memperlihatkan bahwa circular economy bekerja dalam kerangka ideologi hijau yang lebih luas, di mana alam dipahami sebagai sistem harmonis yang dapat diseimbangkan kembali melalui intervensi manusia yang tepat. Ketidakseimbangan ekologis dipandang sebagai kesalahan pengelolaan, bukan sebagai konsekuensi inheren dari sistem ekonomi itu sendiri. Dengan cara ini, circular economy berfungsi sebagai mekanisme penyangkalan: krisis ekologis diakui, tetapi maknanya dinegasikan.
Pendahuluan ini dengan demikian menempatkan circular economy bukan sebagai solusi yang gagal, melainkan sebagai solusi yang terlalu aman. Ia tidak menuntut perubahan dalam cara kita memahami hubungan antara ekonomi dan ekologi, tetapi justru memperkuat pemisahan keduanya. Ekonomi tetap diposisikan sebagai pusat pengorganisasian kehidupan sosial, sementara ekologi direduksi menjadi faktor eksternal yang perlu dikelola agar tidak mengganggu stabilitas sistem.
Dengan mengajukan gagasan bahwa circular economy seharusnya “menuntut yang mustahil”, Doeland tidak mendorong utopianisme kosong. Sebaliknya, ia mengajak pembaca untuk membalik cara berpikir yang dominan: yang mustahil bukanlah target ideal yang jauh, melainkan realitas ekologis yang selama ini disangkal. Limbah, dalam pengertian ini, bukan kegagalan sistem yang harus dihapus, tetapi tanda yang menuntut perhatian—bahkan gangguan yang perlu dipertahankan agar ekonomi tidak sepenuhnya melupakan ekologi.
Pendahuluan ini membuka ruang bagi pertanyaan yang lebih tidak nyaman namun krusial: apakah circular economy benar-benar berani menghadapi realitas ekologis, atau justru dibangun untuk menghindarinya secara sistematis? Pertanyaan inilah yang akan menjadi benang merah analisis pada bagian-bagian selanjutnya
2. Ideologi Hijau dan Penyangkalan Batas: Circular Economy sebagai Narasi Penghiburan
Untuk memahami kritik Doeland secara utuh, circular economy perlu ditempatkan dalam konteks yang lebih luas, yakni sejarah panjang upaya ekonomi modern menghindari pengakuan atas batas. Sejak laporan The Limits to Growth pada awal 1970-an, argumen tentang keterbatasan ekologis planet telah berulang kali diajukan. Namun, alih-alih memicu perubahan mendasar dalam cara ekonomi diorganisasikan, peringatan tersebut justru melahirkan serangkaian konsep yang menjanjikan kesinambungan tanpa pengorbanan: pembangunan berkelanjutan, efisiensi ekologis, green growth, decoupling, hingga circular economy.
Dalam pembacaan Doeland, circular economy menempati posisi istimewa dalam deretan konsep tersebut. Ia tampil sebagai solusi yang tampak radikal, tetapi sesungguhnya sangat kompatibel dengan logika pertumbuhan. Dengan mengedepankan penutupan siklus material, circular economy menyiratkan bahwa masalah ekologis dapat diselesaikan tanpa menyentuh asumsi dasar ekonomi modern. Pertumbuhan tidak perlu dipertanyakan; yang perlu diperbaiki hanyalah cara kita mengelola sisa-sisanya.
Di sinilah circular economy berfungsi sebagai bagian dari ideologi hijau. Ideologi, dalam pengertian ini, bukan sekadar kumpulan gagasan keliru, melainkan kerangka makna yang memungkinkan sistem sosial tetap berjalan meskipun berhadapan dengan kontradiksi nyata. Circular economy mengakui krisis ekologis, tetapi sekaligus menetralkannya dengan narasi bahwa krisis tersebut dapat dikelola, dioptimalkan, dan akhirnya dinormalisasi. Dengan demikian, ketegangan antara ekonomi dan ekologi tidak diselesaikan, melainkan disamarkan.
Kunci dari ideologi hijau ini terletak pada konsepsi alam yang diidealkan. Alam dipahami sebagai sistem yang pada dasarnya seimbang, harmonis, dan dapat dipulihkan jika gangguan manusia dikoreksi secara tepat. Dalam kerangka ini, ketidakseimbangan ekologis dilihat sebagai deviasi sementara, bukan sebagai ekspresi batas struktural. Circular economy mengadopsi pandangan ini ketika ia membayangkan siklus alam sebagai sesuatu yang dapat ditiru secara teknis melalui daur ulang dan penutupan loop.
Doeland menunjukkan bahwa pandangan tersebut bermasalah karena mengabaikan apa yang ia sebut sebagai Real of nature. Realitas ekologis bukanlah sistem yang sepenuhnya dapat dimodelkan, dihitung, dan dikendalikan. Ia mencakup unsur ketidakpastian, residu, dan gangguan yang tidak dapat diserap ke dalam perhitungan ekonomi. Ketika circular economy berambisi meniadakan limbah, ia bukan hanya menargetkan efisiensi material, tetapi juga berupaya menghapus tanda-tanda dari Real itu sendiri.
Fantasi decoupling menjadi contoh paling jelas. Gagasan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dipisahkan dari dampak ekologis mengandaikan bahwa batas alam bersifat relatif dan dapat dinegosiasikan melalui inovasi teknologi. Namun, sebagaimana dikritik dalam bab ini, fantasi tersebut tidak menghadapi kenyataan bahwa setiap aktivitas ekonomi tetap berakar pada materialitas, energi, dan ekosistem yang terbatas. Circular economy, dalam konteks ini, tidak membatalkan fantasi decoupling, melainkan memperhalusnya dengan bahasa siklus dan efisiensi.
Dengan cara yang sama, konsep zero waste berfungsi sebagai janji simbolik yang kuat tetapi problematik. Limbah dibingkai sebagai kegagalan sementara yang akan hilang seiring dengan penyempurnaan sistem. Yang luput dari perhatian adalah fakta bahwa limbah bukan anomali, melainkan konsekuensi inheren dari aktivitas produksi dan konsumsi. Dengan menolak mengakui hal ini, circular economy mengubah limbah dari peringatan ekologis menjadi objek manajemen semata.
Section ini memperjelas bahwa kritik Doeland tidak ditujukan pada praktik daur ulang atau efisiensi per se, melainkan pada kerangka makna yang membuat praktik tersebut tampak cukup. Circular economy, ketika dipahami sebagai ideologi hijau, berfungsi untuk menenangkan kecemasan ekologis tanpa mengganggu struktur ekonomi yang menghasilkan kecemasan tersebut. Ia menawarkan perbaikan tanpa transformasi, pengelolaan tanpa pengakuan batas.
Dengan demikian, circular economy tidak gagal karena tidak cukup efektif, tetapi karena terlalu efektif dalam menjaga ilusi bahwa batas ekologis dapat ditunda. Di sinilah panggilan Doeland untuk “menuntut yang mustahil” memperoleh maknanya: bukan sebagai ajakan untuk mengejar utopia, melainkan sebagai desakan untuk berhenti menutupi realitas ekologis yang terus menuntut pengakuan
3. Limbah sebagai Gangguan: Mengapa “Menutup Lingkaran” Selalu Menyisakan Sisa
Dalam diskursus circular economy, limbah hampir selalu diposisikan sebagai masalah yang dapat—dan harus—diselesaikan. Ia dianggap sebagai kesalahan desain, kegagalan manajemen, atau ketidaksempurnaan sistem yang suatu hari dapat dieliminasi. Gagasan zero waste lahir dari asumsi ini: jika seluruh aliran material dapat dirancang ulang, maka limbah pada akhirnya akan lenyap. Bagi Doeland, justru di sinilah letak masalah paling mendasar circular economy.
Limbah, dalam pembacaan ini, bukan sekadar residu material, melainkan gangguan simbolik. Ia menandai batas dari apa yang dapat dihitung, dipertukarkan, dan dimasukkan kembali ke dalam logika ekonomi. Ketika limbah didefinisikan ulang sebagai “sumber daya yang belum dimanfaatkan”, circular economy melakukan lebih dari sekadar inovasi konseptual; ia berupaya menetralisasi gangguan tersebut. Limbah kehilangan statusnya sebagai tanda batas dan berubah menjadi objek optimasi.
Doeland menunjukkan bahwa transformasi limbah menjadi sumber daya bukanlah proses netral. Ia mengandaikan bahwa segala sesuatu dapat direduksi menjadi nilai guna ekonomi. Dalam kerangka ini, tidak ada lagi ruang bagi yang tak terpakai, tak bernilai, atau tak terintegrasikan. Namun justru di situlah limbah memperoleh maknanya: ia mengingatkan bahwa tidak semua hasil aktivitas manusia dapat diserap kembali tanpa sisa. Upaya untuk meniadakan limbah sepenuhnya berarti menolak keberadaan residu—baik material maupun ekologis.
Kritik ini menjadi semakin tajam ketika dikaitkan dengan metafora “lingkaran”. Circular economy memanfaatkan citra siklus alam untuk melegitimasi proyek penutupan loop. Alam dipahami sebagai sistem sirkular yang seimbang, sehingga ekonomi dianggap dapat menirunya melalui desain yang tepat. Doeland menolak analogi ini. Siklus alam tidak pernah benar-benar tertutup; ia selalu melibatkan kehilangan, gangguan, dan transformasi yang tidak sepenuhnya dapat diprediksi atau dikendalikan. Dengan kata lain, alam bukan mesin sirkular yang efisien, melainkan sistem yang terus menghasilkan sisa.
Fantasi recycling without remainder—daur ulang tanpa residu—menjadi contoh paling jelas dari penyangkalan ini. Dalam fantasi tersebut, setiap limbah memiliki tempat dan fungsi baru, sehingga tidak ada yang benar-benar tersisa. Namun, seperti ditunjukkan Doeland, daur ulang selalu melibatkan degradasi material, konsumsi energi tambahan, dan produksi residu baru. Sisa tersebut kemudian dipindahkan, disembunyikan, atau dinormalisasi, tetapi tidak pernah benar-benar dihapus.
Di sinilah circular economy memperlihatkan dimensi ideologisnya. Dengan menjanjikan penutupan total, ia menciptakan ilusi kontrol atas materialitas dunia. Limbah diperlakukan seolah-olah dapat sepenuhnya “dikembalikan ke rumahnya”, padahal justru limbah menandai bahwa rumah tersebut—oikos—selalu retak. Upaya untuk menutup lingkaran bukanlah pengakuan atas kompleksitas ekologis, melainkan usaha untuk menghapus jejak gangguan yang ditimbulkan oleh ekonomi itu sendiri.
Doeland mendorong pembacaan alternatif: alih-alih memandang limbah sebagai musuh yang harus dieliminasi, limbah perlu dipahami sebagai pengingat yang tidak nyaman. Ia menuntut perhatian, membongkar ilusi efisiensi total, dan memaksa refleksi atas skala serta intensitas konsumsi. Dalam pengertian ini, keberadaan limbah bukan kegagalan circular economy, melainkan tanda bahwa ekonomi telah melampaui kapasitas ekologisnya.
Section ini menegaskan bahwa problem circular economy bukan terletak pada kurangnya teknologi atau inovasi, melainkan pada ambisi untuk menghapus sisa. Selama circular economy tetap berpegang pada fantasi penutupan total, ia akan terus menghindari pertanyaan yang lebih mendasar: berapa banyak yang sebenarnya bisa kita konsumsi tanpa menghasilkan gangguan yang tak terkelola? Pertanyaan inilah yang sengaja dihindari oleh narasi zero waste, tetapi justru menjadi inti kritik Doeland terhadap circular economy.
4. Menuntut yang Mustahil: Derrida, Haunting, dan Ekonomi yang Tak Pernah Tuntas
Seruan Doeland agar circular economy “menuntut yang mustahil” mudah disalahpahami sebagai ajakan utopis. Namun, dalam kerangka filsafat Jacques Derrida—yang menjadi rujukan utama bab ini—the impossible justru bukan cita-cita ideal yang jauh, melainkan sesuatu yang paling nyata dan paling mendesak. Yang mustahil, dalam pengertian Derrida, bukanlah apa yang tidak mungkin terjadi, tetapi apa yang tidak dapat sepenuhnya dihadirkan, dikuasai, atau ditutup oleh sistem makna yang ada.
Circular economy, sebagaimana dikritik Doeland, bekerja sebaliknya. Ia berusaha menjadikan segala sesuatu hadir sepenuhnya: limbah harus menjadi sumber daya, siklus harus tertutup, dan ekonomi harus kembali seimbang. Ambisi ini berakar pada apa yang oleh Derrida disebut sebagai metafisika kehadiran—hasrat untuk membuat dunia sepenuhnya transparan, terkelola, dan bebas dari sisa. Dalam konteks ekonomi sirkular, metafisika ini tampil dalam bentuk keyakinan bahwa dengan desain dan manajemen yang tepat, tidak ada lagi yang tersisa di luar sistem.
Konsep haunting menjadi alat kritik utama terhadap ambisi tersebut. Derrida menunjukkan bahwa setiap sistem yang mengklaim koherensi dan kelengkapan selalu dihantui oleh apa yang dikecualikannya. Tidak ada rumah yang sepenuhnya “rapi”; selalu ada ruang tersembunyi, retakan, dan bayangan. Doeland menggunakan metafora rumah—oikos—untuk menggambarkan hubungan antara ekonomi dan ekologi. Ekonomi berusaha mengatur rumah, sementara ekologi hadir sebagai sesuatu yang mengganggu keteraturan itu. Upaya untuk menyingkirkan gangguan justru membuatnya kembali dengan cara yang lebih mengancam.
Dalam kerangka ini, limbah dipahami sebagai spektre. Ia tidak pernah sepenuhnya pergi, meskipun berulang kali “dikelola”. Limbah dapat dipindahkan, diubah statusnya, atau disamarkan sebagai sumber daya, tetapi ia tetap menghantui sistem yang berusaha meniadakannya. Setiap klaim zero waste justru memperkuat kehadiran spektral limbah, karena menuntut penghapusan sesuatu yang secara struktural tidak dapat dihapus.
Derrida juga mengaitkan the impossible dengan gagasan gift—pemberian yang sejati hanya ada jika tidak masuk dalam logika pertukaran. Pemberian yang dibalas, dicatat, atau dihitung bukan lagi pemberian, melainkan transaksi. Doeland memanfaatkan analogi ini untuk membaca circular economy: selama limbah sepenuhnya dimasukkan kembali ke dalam siklus pertukaran ekonomi, ia kehilangan fungsinya sebagai gangguan. Limbah yang “diresourcifikasi” berhenti menjadi pengingat batas dan berubah menjadi elemen yang mengukuhkan ekonomi itu sendiri.
Dengan demikian, the impossible bukan sesuatu yang harus dieliminasi, melainkan sesuatu yang harus diberi ruang. Menuntut yang mustahil berarti menolak fantasi penutupan total dan menerima bahwa selalu ada sesuatu yang tidak dapat diserap oleh sistem ekonomi. Dalam konteks ekologi, yang mustahil itu adalah kenyataan bahwa alam tidak sepenuhnya dapat diprediksi, dikalkulasi, atau dipulihkan sesuai kehendak manusia.
Doeland membalik logika dominan circular economy: masalahnya bukan bahwa circular economy menuntut yang mustahil, tetapi bahwa ia gagal menuntutnya. Dengan berupaya menjadikan segalanya mungkin—melalui efisiensi, teknologi, dan desain—circular economy justru menyangkal realitas ekologis yang paling mendesak. Yang mustahil, dalam pengertian Derrida, adalah titik di mana sistem harus berhenti berpura-pura utuh dan mulai mengakui keterbatasannya sendiri.
Section ini memperdalam kritik bahwa circular economy bukan sekadar proyek teknis atau kebijakan, melainkan proyek ontologis: ia mengklaim mampu menata dunia tanpa sisa. Dengan menghidupkan kembali konsep haunting dan the impossible, Doeland menunjukkan bahwa keberlanjutan tidak lahir dari penutupan lingkaran, tetapi dari kesediaan untuk hidup bersama gangguan yang tidak dapat disingkirkan. Limbah, dalam pengertian ini, bukan musuh yang harus dikalahkan, melainkan pengingat yang harus terus didengarkan
5. Lacan dan the Real: Krisis Ekologis sebagai Yang Terjadi Justru Karena Tak Bisa Dikelola
Jika Derrida membantu Doeland membongkar fantasi penutupan sistem melalui konsep haunting dan the impossible, maka Jacques Lacan memberikan perangkat konseptual untuk memahami mengapa krisis ekologis terus “muncul” meskipun telah dikelola, diukur, dan diantisipasi. Kunci analisis ini terletak pada konsep Lacanian tentang the Real—sesuatu yang tidak dapat disimbolkan secara utuh, tidak dapat dipahami sepenuhnya, dan selalu mengganggu tatanan yang telah dibangun.
Dalam kerangka Lacan, manusia hidup dalam apa yang disebut sebagai reality, yaitu dunia yang telah dimediasi oleh bahasa, simbol, dan makna. Realitas ini memungkinkan kita berfungsi secara sosial dan ekonomi, tetapi sekaligus menyembunyikan sesuatu yang tidak dapat dimasukkan ke dalam sistem simbolik tersebut. The Real adalah apa yang lolos dari simbolisasi—apa yang “tidak bekerja” dalam tatanan yang tampak bekerja dengan baik.
Doeland membaca circular economy sebagai proyek yang sepenuhnya beroperasi di tingkat reality. Ia membangun narasi yang konsisten, optimistik, dan rasional tentang bagaimana ekonomi dan ekologi dapat diselaraskan. Limbah diberi makna baru, krisis diubah menjadi peluang, dan batas alam diterjemahkan ke dalam indikator yang dapat dikelola. Namun, justru karena itu circular economy terus diganggu oleh apa yang tidak dapat ia tangkap: the Real of nature.
Krisis ekologis—banjir ekstrem, kebakaran hutan, kekeringan, polusi yang tak terkendali—tidak muncul sebagai kegagalan kebijakan semata, tetapi sebagai peristiwa yang tidak cocok dengan narasi keberlanjutan. Ia hadir pada waktu yang “salah”, di tempat yang “tidak seharusnya”, dan dalam skala yang melampaui perhitungan. Dalam istilah Lacan, krisis ini bukan penyimpangan dari realitas, melainkan momen ketika the Real menerobos realitas yang dibangun secara ideologis.
Doeland menekankan bahwa circular economy berupaya “menjahit” celah antara realitas dan Real melalui fantasi. Fantasi, dalam pengertian Lacanian, bukan kebohongan sederhana, melainkan kerangka yang membuat dunia terasa koheren dan dapat ditoleransi. Fantasi zero waste, decoupling, dan carbon neutrality memungkinkan masyarakat modern terus beroperasi seolah-olah batas ekologis dapat dinegosiasikan. Fantasi ini tidak menghapus Real, tetapi menundanya—sampai Real itu kembali dalam bentuk krisis yang lebih intens.
Dalam konteks ini, limbah kembali memainkan peran sentral. Limbah bukan sekadar residu material, tetapi penanda dari Real yang tak terserap. Ia menunjukkan bahwa selalu ada sesuatu yang tidak dapat dikelola, tidak dapat dihitung, dan tidak dapat diintegrasikan ke dalam logika efisiensi. Setiap upaya untuk sepenuhnya “menormalisasi” limbah—dengan menjadikannya sumber daya—adalah upaya untuk menutup celah yang justru menjadi tempat munculnya Real.
Doeland mengingatkan bahwa the Real tidak menunggu kesiapan manusia. Ia tidak hadir ketika sistem sudah siap menghadapinya, tetapi justru ketika sistem merasa paling yakin telah menguasai situasi. Inilah mengapa krisis ekologis sering datang sebagai kejutan, meskipun telah diprediksi secara ilmiah. Prediksi, model, dan skenario tetap beroperasi di ranah simbolik; Real selalu melampaui apa yang dapat dimodelkan.
Menuntut yang mustahil, dalam pembacaan Lacanian ini, berarti berhenti mencoba mengasimilasi Real sepenuhnya ke dalam realitas ekonomi. Ia menuntut pengakuan bahwa ada dimensi ekologis yang tidak dapat dijinakkan oleh kebijakan, teknologi, atau pasar. Pengakuan ini bukan panggilan untuk pasrah, tetapi untuk merombak ekspektasi: keberlanjutan bukanlah kondisi stabil yang dapat dicapai dan dipertahankan, melainkan proses rapuh yang selalu berada di bawah ancaman gangguan.
Section ini menegaskan bahwa krisis ekologis bukan bukti kegagalan circular economy untuk bekerja lebih baik, tetapi bukti bahwa circular economy beroperasi pada tingkat realitas yang terlalu sempit. Selama proyek keberlanjutan terus berupaya meniadakan yang mustahil—alih-alih memberinya ruang—krisis akan terus “terjadi” sebagai interupsi yang tak terhindarkan. Di sinilah Doeland mengajak pembaca untuk menerima satu gagasan yang paling sulit: bahwa keberlanjutan tidak mungkin tanpa pengakuan terhadap apa yang tidak dapat dikelola.
6. Implikasi Praktis: Apa Arti “Menuntut yang Mustahil” bagi Kebijakan dan Praktik Circular Economy
Setelah membongkar fondasi ideologis circular economy melalui lensa Derrida dan Lacan, muncul pertanyaan yang tak terelakkan: apa arti kritik ini bagi praktik nyata? Jika circular economy dipahami sebagai proyek yang secara struktural berupaya meniadakan sisa, bagaimana kebijakan, industri, dan masyarakat seharusnya bertindak tanpa terjebak dalam fatalisme atau utopianisme kosong?
Menuntut yang mustahil, dalam pengertian Doeland, bukanlah instruksi teknis, melainkan pergeseran orientasi normatif. Ia menuntut agar circular economy berhenti menjanjikan penutupan total dan mulai mengakui batas sebagai bagian dari desain. Dalam konteks kebijakan, ini berarti bahwa target-target seperti zero waste atau full circularity perlu dipahami sebagai horizon kritis, bukan tujuan operasional yang diasumsikan dapat dicapai sepenuhnya. Ketika target tersebut diperlakukan sebagai janji, kegagalan menjadi tak terhindarkan dan kepercayaan publik tergerus.
Bagi perancang kebijakan, implikasi pertama adalah perlunya kejujuran epistemik. Kebijakan circular economy seharusnya secara eksplisit mengakui bahwa tidak semua aliran material dapat ditutup dan bahwa setiap intervensi membawa konsekuensi baru. Pengakuan ini bukan tanda kelemahan, melainkan syarat untuk perumusan kebijakan yang adaptif. Alih-alih menyembunyikan residu melalui indikator agregat, kebijakan dapat memfokuskan perhatian pada di mana dan mengapa sisa muncul, serta siapa yang menanggung dampaknya.
Dalam konteks industri, menuntut yang mustahil berarti menggeser fokus dari optimasi berkelanjutan menuju pembatasan yang disadari. Banyak strategi circular economy korporat menekankan efisiensi dan inovasi tanpa mempertanyakan volume produksi atau model konsumsi. Kritik Doeland menunjukkan bahwa tanpa refleksi terhadap skala, circular economy berisiko menjadi alat legitimasi pertumbuhan berkelanjutan secara retoris. Praktik industri yang lebih konsisten dengan pengakuan batas akan berani mempertanyakan lini produk, intensitas material, dan bahkan kebutuhan pasar itu sendiri.
Bagi praktik daur ulang dan pengelolaan limbah, implikasinya bersifat lebih konkret. Limbah tidak lagi diperlakukan semata-mata sebagai bahan baku alternatif, tetapi sebagai indikator tekanan sistemik. Di mana limbah meningkat, di situlah sistem produksi dan konsumsi perlu dievaluasi ulang. Pendekatan ini menempatkan pengelolaan limbah bukan di ujung rantai, tetapi sebagai bagian dari refleksi hulu yang terus-menerus.
Lebih luas lagi, menuntut yang mustahil mengharuskan perubahan cara berkomunikasi tentang keberlanjutan. Narasi yang menjanjikan harmoni total antara ekonomi dan ekologi cenderung menciptakan ekspektasi palsu. Sebaliknya, narasi yang mengakui konflik, ketegangan, dan keterbatasan dapat membangun ketahanan sosial terhadap kekecewaan dan krisis. Masyarakat yang disiapkan untuk hidup dengan ketidakpastian ekologis lebih mungkin merespons krisis secara kolektif daripada mencari solusi teknis instan.
Section ini menegaskan bahwa kritik filosofis terhadap circular economy tidak berujung pada penolakan praktik, melainkan pada pendewasaan praktik. Circular economy yang menuntut yang mustahil tidak lagi menjanjikan dunia tanpa sisa, tetapi menawarkan kerangka untuk hidup dengan sisa secara bertanggung jawab. Dalam kerangka ini, keberlanjutan bukan kondisi ideal yang dapat dicapai dan dikunci, melainkan proses reflektif yang terus diganggu—dan justru karena itu tetap relevan
7. Kesimpulan: Circular Economy setelah Ilusi Penutupan
Artikel ini menunjukkan bahwa circular economy tidak bermasalah karena gagal cukup efisien atau kurang inovatif, melainkan karena terlalu percaya pada kemungkinan penutupan. Dengan menjanjikan penghapusan limbah, penutupan siklus, dan kesinambungan pertumbuhan, circular economy membangun narasi yang menenangkan, tetapi sekaligus menyingkirkan aspek paling mendesak dari krisis ekologis: keberadaan batas yang tidak dapat dinegosiasikan sepenuhnya.
Melalui pembacaan kritis Lisa Doeland, circular economy muncul bukan sebagai solusi radikal, melainkan sebagai proyek ideologis yang menunda konfrontasi dengan realitas ekologis. Limbah diredefinisi sebagai sumber daya, krisis diperlakukan sebagai tantangan manajerial, dan alam direduksi menjadi sistem yang dapat ditiru secara teknis. Dalam proses ini, yang hilang bukan hanya sisa material, tetapi kesadaran bahwa ekonomi modern selalu menghasilkan gangguan yang tidak dapat sepenuhnya diserap kembali.
Dengan memanfaatkan pemikiran Derrida tentang the impossible dan Lacan tentang the Real, artikel ini menegaskan bahwa keberlanjutan tidak dapat dicapai melalui penyangkalan terhadap apa yang tidak dapat dikelola. Justru sebaliknya, keberlanjutan menuntut pengakuan terhadap gangguan, residu, dan ketidakpastian sebagai bagian inheren dari hubungan manusia dengan alam. Limbah, dalam pengertian ini, bukan kegagalan yang harus dihapus, tetapi tanda yang terus menginterupsi fantasi penguasaan total.
Menuntut yang mustahil, sebagaimana diajukan Doeland, bukan ajakan untuk mengejar utopia ekologis, melainkan undangan untuk berhenti menyederhanakan krisis. Ia menggeser fokus dari solusi akhir menuju sikap reflektif yang sadar batas. Circular economy yang dewasa bukanlah ekonomi tanpa sisa, tetapi ekonomi yang bersedia hidup dengan sisa tanpa menutupinya dengan narasi harmoni palsu.
Implikasi dari pembacaan ini bersifat menantang sekaligus membebaskan. Ia membebaskan circular economy dari beban janji yang tidak realistis, tetapi juga menantangnya untuk bersikap lebih jujur terhadap konsekuensi dari aktivitas ekonomi itu sendiri. Keberlanjutan, dalam kerangka ini, bukan proyek teknokratis yang dapat diselesaikan, melainkan tanggung jawab etis yang tidak pernah tuntas.
Dengan demikian, circular economy hanya dapat menjadi relevan jika ia berhenti menjanjikan dunia yang sepenuhnya tertutup dan mulai mengakui bahwa krisis ekologis bukan anomali yang bisa dihilangkan, melainkan kondisi yang harus terus dihadapi. Bukan dengan optimisme tanpa sisa, tetapi dengan kesediaan untuk mendengar gangguan yang tidak dapat dijinakkan.
Daftar Pustaka
Doeland, L. (2022). The circular economy should finally demand the impossible. Dalam The Impossibilities of the Circular Economy. London: Routledge.
Derrida, J. (1994). Specters of Marx: The state of the debt, the work of mourning and the new international. New York: Routledge.
Derrida, J. (1992). Given time: I. Counterfeit money. Chicago: University of Chicago Press.
Lacan, J. (1977). Écrits: A selection. London: Tavistock.
Lacan, J. (1988). The seminar of Jacques Lacan, Book XI: The four fundamental concepts of psychoanalysis. New York: W. W. Norton.
Meadows, D. H., Meadows, D. L., Randers, J., & Behrens, W. W. (1972). The limits to growth. New York: Universe Books.
Stahel, W. R. (2019). The circular economy: A user’s guide. London: Routledge.
Webster, K. (2017). The circular economy: A wealth of flows. Isle of Wight: Ellen MacArthur Foundation.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan Analitis: Circular Economy sebagai Janji, Ketegangan, dan Problem Struktural
Dalam satu dekade terakhir, circular economy hampir selalu diposisikan sebagai jawaban rasional atas krisis lingkungan global. Ia ditawarkan sebagai koreksi atas ekonomi linear yang boros sumber daya, sarat limbah, dan berorientasi jangka pendek. Dalam narasi kebijakan, laporan industri, hingga wacana akademik, ekonomi sirkular digambarkan sebagai solusi yang mampu menyelaraskan efisiensi ekonomi dengan keberlanjutan ekologis. Namun, di balik optimisme tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar yang jarang dibahas secara serius: apakah circular economy benar-benar dapat diwujudkan dalam struktur masyarakat modern yang sangat terfragmentasi secara fungsional?
Paper Gonser dan Hinske tidak memulai diskusi dari wilayah teknis—seperti desain produk, daur ulang, atau inovasi material—melainkan dari level yang lebih dalam dan sering diabaikan, yakni struktur sosial dan logika koordinasi antarsektor. Pendekatan ini penting karena banyak kegagalan implementasi circular economy bukan disebabkan oleh keterbatasan teknologi, melainkan oleh ketidakmampuan aktor-aktor yang terlibat untuk benar-benar berkoordinasi secara bermakna. Circular economy menuntut keterlibatan simultan dan terkoordinasi dari negara, pasar, administrasi publik, masyarakat sipil, dan komunitas ilmiah. Masalahnya, setiap sektor tersebut beroperasi dengan logika internal yang berbeda, bahkan sering kali saling bertentangan.
Di sinilah ketegangan utama muncul. Circular economy, terutama ketika dipadukan dengan tujuan keberlanjutan, mengandaikan adanya keselarasan nilai, tujuan, dan tindakan lintas sektor. Namun, teori sosiologi modern—khususnya konsep functional differentiation—menunjukkan bahwa masyarakat modern justru berkembang dengan cara sebaliknya: melalui pemisahan fungsi yang semakin tajam. Sistem ekonomi beroperasi dengan logika profit dan efisiensi; sistem politik dengan kekuasaan dan legitimasi; sistem hukum dengan legalitas; sistem sains dengan kebenaran; dan masyarakat sipil dengan nilai, identitas, serta keadilan. Tidak ada “bahasa bersama” yang secara natural dapat menjembatani seluruh sistem ini.
Banyak literatur circular economy mengasumsikan bahwa jika semua aktor “duduk bersama”, maka kolaborasi akan tercipta secara otomatis. Asumsi ini tampak intuitif, tetapi problematik. Paper ini justru menunjukkan bahwa intersektoralitas bukan sekadar tantangan koordinasi, melainkan persoalan struktural. Ketika aktor dari sektor berbeda terlibat dalam satu proses circular economy, yang bertemu bukan hanya kepentingan yang berbeda, tetapi juga definisi keberhasilan, standar kualitas, cara mengambil keputusan, dan toleransi risiko yang tidak sepadan. Dalam konteks ini, circular economy bukan sekadar proyek lingkungan, melainkan arena benturan logika sosial.
Lebih jauh, penulis menyoroti kecenderungan untuk menyamakan circular economy dengan sustainability. Penyamaan ini terlihat praktis dan politis, tetapi menyembunyikan persoalan penting. Sustainability bersifat normatif dan lintas generasi, sementara circular economy sering kali dioperasionalkan melalui indikator-indikator teknis yang sempit. Ketika sustainability diperlakukan sebagai “output alami” dari circular economy, maka proses sosial yang kompleks—termasuk konflik nilai dan ketimpangan kepentingan—cenderung direduksi atau diabaikan. Padahal, justru pada titik inilah banyak inisiatif circular economy kehilangan daya transformasinya.
Pendahuluan ini dengan demikian menggeser fokus diskusi dari pertanyaan “bagaimana membuat produk lebih sirkular” menjadi “bagaimana masyarakat yang terfragmentasi secara fungsional dapat bertindak secara kolektif”. Gonser dan Hinske tidak menolak circular economy, tetapi juga tidak meromantisasinya. Mereka mengajukan tesis yang lebih tidak nyaman namun realistis: dalam kerangka teori tertentu, circular economy yang berkelanjutan secara etis dan sistemik dapat dianggap sebagai sesuatu yang secara struktural mustahil. Klaim ini bukan untuk menghentikan diskusi, melainkan untuk memaksa pembacaan ulang terhadap asumsi-asumsi dasar yang selama ini dianggap wajar.
Dengan demikian, Section ini berfungsi sebagai pintu masuk analitis. Ia menegaskan bahwa persoalan circular economy tidak bisa diselesaikan hanya dengan alat manajemen, inovasi teknologi, atau regulasi parsial. Persoalannya terletak lebih dalam, pada cara masyarakat modern diorganisasikan dan bagaimana sistem-sistem sosial tersebut dapat—atau tidak dapat—berkomunikasi satu sama lain. Tanpa pemahaman ini, circular economy berisiko menjadi sekadar slogan normatif yang sulit diwujudkan secara konsisten di lapangan
2. Circular Economy, Sustainability, dan Governance Antar-Sektor: Sebuah Kerangka Konseptual
Untuk memahami mengapa circular economy kerap menghadapi hambatan struktural dalam praktik, perlu terlebih dahulu memperjelas kerangka konseptual yang menopang gagasan ini. Dalam banyak diskursus kebijakan dan bisnis, circular economy sering diperlakukan sebagai konsep teknis—berkaitan dengan daur ulang, desain produk, atau efisiensi material. Namun, paper Gonser dan Hinske menempatkan circular economy dalam ranah yang lebih luas: sebagai proses tata kelola lintas sektor yang sarat dengan implikasi sosial, politik, dan normatif.
Circular economy dalam pengertian ini bukan sekadar model produksi alternatif, melainkan sebuah proyek koordinasi sosial. Ia menuntut perubahan cara berbagai aktor—negara, pasar, masyarakat sipil, dan institusi pengetahuan—berinteraksi dalam keseluruhan siklus hidup produk. Penekanan ini penting karena keberhasilan circular economy tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi atau desain kebijakan, tetapi oleh kemampuan aktor-aktor tersebut untuk menyelaraskan tindakan mereka dalam konteks tujuan bersama.
Di titik inilah konsep sustainability menjadi krusial. Sustainability, sebagaimana dipahami secara normatif, berorientasi pada kepentingan lintas generasi dan kepentingan publik yang melampaui kalkulasi ekonomi jangka pendek. Ketika sustainability ditempatkan sebagai inti dari circular economy, maka lingkup aktor yang relevan otomatis meluas. Tidak cukup hanya melibatkan produsen dan konsumen; aktor politik, administrasi publik, organisasi masyarakat sipil, bahkan komunitas ilmiah, menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Circular economy dengan demikian bertransformasi dari isu teknis menjadi arena governance intersektoral.
Konsep governance antar-sektor—sering juga disebut collaborative governance—berangkat dari asumsi bahwa persoalan publik yang kompleks tidak dapat diselesaikan oleh satu sektor saja. Dalam pendekatan ini, negara tidak lagi berperan sebagai pengendali tunggal, melainkan sebagai salah satu aktor di antara jaringan aktor lain yang saling bergantung. Dalam konteks circular economy, governance antar-sektor tampak sebagai pendekatan yang masuk akal: tidak ada satu aktor pun yang menguasai seluruh siklus hidup produk, sehingga koordinasi menjadi keniscayaan.
Namun, paper ini secara kritis menunjukkan bahwa asumsi kolaborasi yang “alami” tersebut problematik. Governance antar-sektor sering kali diasumsikan dapat berjalan hanya dengan menciptakan forum dialog, mekanisme partisipasi, atau kerangka kerja kolaboratif. Padahal, keberadaan forum bersama tidak serta-merta menghapus perbedaan logika tindakan yang melekat pada setiap sektor. Pemerintah beroperasi dengan logika legitimasi dan regulasi; bisnis dengan profitabilitas dan efisiensi; akademisi dengan kebenaran dan metodologi; masyarakat sipil dengan nilai keadilan dan keberlanjutan jangka panjang. Perbedaan ini bukan sekadar variasi kepentingan, melainkan perbedaan cara mendefinisikan realitas.
Di sinilah teori functional differentiation menjadi kunci analisis. Dalam masyarakat modern, pembagian kerja sosial berkembang bukan hanya secara organisatoris, tetapi secara fungsional. Setiap sistem sosial mengembangkan kode internalnya sendiri untuk menentukan apa yang relevan dan apa yang tidak. Akibatnya, komunikasi lintas sistem tidak berlangsung secara simetris. Argumen etis tentang keberlanjutan lingkungan, misalnya, tidak otomatis “terbaca” dalam sistem ekonomi kecuali diterjemahkan ke dalam kategori biaya, risiko, atau peluang pasar.
Implikasi dari kondisi ini sangat signifikan bagi circular economy. Ketika sustainability diposisikan sebagai tujuan bersama, terdapat kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa nilai tersebut dapat menjadi landasan normatif yang menyatukan. Namun, dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional, nilai moral tidak berfungsi sebagai bahasa universal. Sebaliknya, setiap sistem hanya merespons isu keberlanjutan sejauh isu tersebut dapat diartikulasikan dalam logika internalnya. Inilah sebabnya mengapa banyak inisiatif circular economy berujung pada kompromi teknokratis yang dangkal, alih-alih transformasi sistemik.
Dengan demikian circular economy tidak dapat dipahami hanya sebagai persoalan desain kebijakan atau inovasi model bisnis. Ia adalah tantangan konseptual dan institusional yang berakar pada cara masyarakat modern mengorganisasikan dirinya. Governance antar-sektor bukanlah solusi otomatis, melainkan medan konflik logika yang perlu dianalisis secara realistis. Tanpa pemahaman ini, circular economy berisiko terus direproduksi sebagai narasi normatif yang sulit diwujudkan dalam praktik yang konsisten dan berkelanjutan
3. Functional Differentiation dan Klaim “Impossibility”: Mengapa Circular Economy Sulit Diselaraskan
Setelah circular economy dipahami sebagai proyek governance antar-sektor, pertanyaan kuncinya bergeser dari bagaimana mengoordinasikan aktor menjadi apakah koordinasi tersebut secara struktural mungkin. Di titik inilah Gonser dan Hinske mengajukan argumen paling radikal dalam paper mereka: bahwa circular economy yang berorientasi pada sustainability menghadapi batas struktural yang bersumber dari functional differentiation masyarakat modern.
Functional differentiation merujuk pada cara masyarakat modern mengorganisasikan dirinya melalui sistem-sistem sosial yang otonom dan terspesialisasi. Sistem ekonomi, politik, hukum, sains, dan masyarakat sipil tidak hanya berbeda aktor, tetapi berbeda logika komunikasi, kriteria keberhasilan, dan kode nilai. Dalam perspektif ini, masyarakat tidak dipersatukan oleh satu tujuan bersama, melainkan oleh koeksistensi berbagai sistem yang saling bergantung namun tidak sepenuhnya saling memahami.
Implikasi teoretisnya sangat signifikan. Circular economy—terutama ketika dikaitkan dengan sustainability—mengandaikan adanya komunikasi lintas sistem yang bersifat normatif dan proaktif. Ia mengasumsikan bahwa aktor ekonomi dapat menyesuaikan diri atas dasar pertimbangan etis, bahwa sistem politik dapat menginternalisasi pengetahuan ilmiah secara utuh, dan bahwa kepentingan publik dapat diterjemahkan secara konsisten ke dalam keputusan pasar. Namun, dalam kerangka functional differentiation, asumsi ini tidak berdiri di atas fondasi yang kokoh.
Setiap sistem sosial hanya dapat memproses informasi yang relevan menurut logikanya sendiri. Sistem ekonomi, misalnya, tidak “menolak” sustainability karena tidak bermoral, tetapi karena sustainability sebagai nilai normatif tidak secara otomatis kompatibel dengan kode profit–loss. Demikian pula, sistem politik merespons isu circular economy bukan berdasarkan kebenaran ilmiah semata, melainkan melalui pertimbangan legitimasi, kekuasaan, dan stabilitas. Akibatnya, komunikasi lintas sistem tidak pernah berlangsung secara netral atau setara.
Di sinilah klaim impossibility muncul. Gonser dan Hinske tidak mengatakan bahwa circular economy mustahil secara praktis, melainkan bahwa komunikasi etis yang selaras lintas sistem—sebagaimana sering diasumsikan dalam diskursus sustainability—tidak dapat terjadi secara langsung. Moralitas, dalam perspektif functional differentiation, bukanlah medium komunikasi universal. Ia tidak mampu menjembatani sistem-sistem yang beroperasi dengan kode internal yang tertutup.
Konsekuensinya, banyak upaya circular economy yang bersifat kolaboratif justru menghadapi friksi yang sulit diidentifikasi secara eksplisit. Ketika aktor-aktor dari sektor berbeda duduk dalam satu forum, mereka sering kali menggunakan istilah yang sama—seperti “keberlanjutan”, “nilai”, atau “tanggung jawab”—namun dengan makna yang berbeda. Ketidaksinkronan ini tidak selalu terlihat sebagai konflik terbuka, tetapi muncul sebagai ketidakselarasan keputusan, keterlambatan implementasi, atau pengenceran tujuan awal.
Lebih jauh, paper ini menyoroti bahwa banyak metodologi perencanaan dan manajemen yang digunakan dalam proyek circular economy justru memperparah masalah. Metodologi tersebut sering dikembangkan dalam konteks satu sistem tertentu—misalnya logika bisnis atau administrasi publik—dan kemudian diterapkan seolah-olah bersifat netral lintas sektor. Akibatnya, perspektif sistem lain menjadi “tidak terlihat”, bukan karena tidak relevan, tetapi karena tidak kompatibel dengan kerangka analisis yang digunakan.
Dalam konteks ini, circular economy menghadapi paradoks ganda. Di satu sisi, ia menuntut kolaborasi lintas sektor untuk mencapai sustainability. Di sisi lain, struktur masyarakat modern justru membatasi kemungkinan kolaborasi tersebut pada level nilai dan tujuan bersama. Yang tersisa hanyalah koordinasi parsial, berbasis terjemahan kepentingan sempit atau paksaan institusional, bukan kesepahaman normatif yang sering diasumsikan.
Section ini dengan demikian memperjelas bahwa problem circular economy bukan sekadar soal implementation gap, melainkan ketegangan struktural antara tuntutan normatif sustainability dan realitas komunikasi sosial modern. Klaim impossibility yang diajukan bukan untuk menutup diskusi, melainkan untuk membongkar asumsi optimistik yang selama ini mendasari banyak kebijakan dan strategi circular economy. Tanpa pengakuan atas batas-batas ini, upaya circular economy berisiko terus terjebak dalam siklus ekspektasi tinggi dan hasil yang terbatas
4. Melampaui “Impossibility”: Pendekatan Alternatif dalam Koordinasi Circular Economy
Klaim bahwa circular economy menghadapi kemustahilan struktural dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional berpotensi dibaca sebagai jalan buntu. Namun, Gonser dan Hinske secara eksplisit menolak interpretasi tersebut. Alih-alih menghentikan diskursus, mereka menggunakan konsep impossibility sebagai alat analitis untuk mengevaluasi pendekatan-pendekatan koordinasi yang lebih adaptif, bukan normatif. Dengan kata lain, pertanyaannya bukan lagi apakah circular economy dapat diwujudkan secara “ideal”, melainkan dalam kondisi apa dan melalui mekanisme apa keterbatasan struktural tersebut dapat dikelola.
Untuk itu, penulis memperkenalkan sejumlah perspektif teoretis yang melengkapi pendekatan functional differentiation. Perspektif-perspektif ini tidak menyangkal fragmentasi sistem sosial, tetapi berusaha bekerja di dalam batas-batasnya.
Pendekatan pertama yang dibahas adalah institutional economics. Dalam kerangka ini, kolaborasi antar-sektor dianalisis melalui pembagian biaya dan manfaat antara aktor individual dan kepentingan kolektif. Circular economy, jika diposisikan sebagai penyedia public good—misalnya pengurangan tekanan ekologis atau stabilitas jangka panjang—harus mampu memberikan insentif yang dapat dikenali oleh masing-masing aktor sesuai logika sistemnya. Artinya, keberlanjutan tidak dipaksakan sebagai nilai moral universal, melainkan diterjemahkan menjadi skema kompensasi, pembagian risiko, atau pengaturan institusional yang menciptakan situasi win–win.
Pendekatan ini secara implisit mengakui keterbatasan komunikasi lintas sistem. Sistem ekonomi tidak diharapkan berubah karena alasan etis semata, tetapi karena perubahan institusional mengubah struktur insentifnya. Namun, pendekatan ini juga memiliki batas. Ia bergantung pada tingkat interdependensi aktor, kemampuan desain institusional, serta kesediaan politik untuk melakukan redistribusi biaya dan manfaat. Tanpa kondisi tersebut, koordinasi berisiko tetap timpang dan tidak berkelanjutan.
Pendekatan kedua bertumpu pada deliberative processes, yang berakar pada teori komunikasi dan demokrasi deliberatif. Di sini, fokus berpindah dari struktur insentif ke kualitas proses interaksi. Circular economy dipahami sebagai arena di mana aktor-aktor dari sistem berbeda perlu membangun ruang diskursif bersama—sering disebut sebagai third space—yang memungkinkan pertukaran argumen secara setara. Dalam ruang ini, klaim kebenaran, kepentingan, dan nilai dinegosiasikan melalui dialog yang transparan.
Pendekatan deliberatif menawarkan harapan normatif yang lebih besar, tetapi sekaligus paling rentan. Keberhasilannya sangat bergantung pada kapasitas aktor untuk membangun kepercayaan, menangguhkan logika sektoralnya sementara, dan menerima argumen terbaik terlepas dari sumber kekuasaan. Dalam praktik circular economy yang melibatkan rantai pasok global, asimetri kekuasaan, perbedaan budaya, dan keterbatasan waktu sering kali membuat kondisi deliberatif ideal sulit dicapai secara konsisten.
Pendekatan ketiga yang dibahas bersifat culturalistic, dan dalam banyak hal paling berbeda dari dua pendekatan sebelumnya. Di sini, koordinasi tidak dimulai dari institusi atau proses formal, melainkan dari makna, identitas, dan tujuan hidup aktor individual. Circular economy dipahami sebagai bagian dari pencarian akan “kehidupan yang baik”, bukan sekadar sebagai kebijakan lingkungan atau strategi bisnis. Dengan mengaitkan tindakan kolektif pada identitas dan makna personal, pendekatan ini berupaya menjembatani jurang antara sistem sosial melalui motivasi intrinsik.
Pendekatan kultural ini relevan dalam konteks organisasi baru, kepemimpinan transformatif, dan kerja lintas sektor yang lebih cair. Namun, ia juga menghadapi keterbatasan skalabilitas. Apa yang berhasil pada tingkat komunitas atau organisasi tertentu belum tentu dapat direplikasi dalam skala industri atau kebijakan nasional.
Melalui ketiga pendekatan ini, Gonser dan Hinske menunjukkan bahwa impossibility bukanlah akhir dari circular economy, melainkan peringatan epistemologis. Circular economy tidak dapat diwujudkan melalui satu lensa atau satu metodologi tunggal. Setiap pendekatan membuka kemungkinan tertentu sekaligus menutup kemungkinan lain. Kesalahan umum dalam praktik adalah memperlakukan satu pendekatan seolah-olah cukup untuk menjawab seluruh kompleksitas koordinasi lintas sektor.
Section ini memperkuat argumen bahwa tantangan utama circular economy bukan terletak pada kurangnya solusi, melainkan pada kecenderungan untuk menyederhanakan masalah yang secara inheren kompleks. Mengelola keterbatasan struktural membutuhkan kesadaran teoretis, desain institusional yang cermat, kualitas proses yang tinggi, dan pemahaman mendalam tentang makna serta motivasi aktor. Tanpa kombinasi tersebut, circular economy akan terus berada dalam ketegangan antara ambisi normatif dan realitas sosial yang membatasi
5. Implikasi Metodologis dan Strategis: Mengelola Kompleksitas dalam Circular Economy
Setelah membedah keterbatasan struktural circular economy dan mengeksplorasi pendekatan alternatif untuk mengelola koordinasi lintas sektor, Gonser dan Hinske mengajukan satu langkah lanjutan yang krusial: apa implikasi konkret dari analisis ini bagi strategi dan metodologi yang digunakan dalam praktik circular economy? Alih-alih menawarkan satu metode baru yang bersifat universal, mereka mengidentifikasi sejumlah dimensi kunci yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam perancangan kebijakan, strategi organisasi, dan proses kolaboratif.
Dimensi pertama adalah kompleksitas sistemik. Circular economy, terutama ketika dipahami sebagai proyek lintas sektor, beroperasi dalam sistem yang tidak linier, penuh ketidakpastian, dan sarat umpan balik. Kompleksitas ini bukan sekadar banyaknya aktor yang terlibat, melainkan keterkaitan dinamis antara keputusan, dampak, dan konteks yang terus berubah. Dalam kondisi seperti ini, pendekatan manajerial yang mengandalkan perencanaan linier, target statis, dan indikator tunggal menjadi tidak memadai. Metodologi yang relevan justru harus mampu menangkap interaksi antarelemen sistem, mengenali ketergantungan jalur (path dependency), serta mengantisipasi perubahan rezim yang tidak terduga.
Implikasi strategisnya jelas: circular economy membutuhkan cara berpikir yang melampaui optimasi lokal. Fokus sempit pada efisiensi material atau penutupan siklus produk tertentu dapat menghasilkan keberhasilan parsial, tetapi gagal menangkap dampak sistemik yang lebih luas. Tanpa kerangka yang sensitif terhadap kompleksitas, intervensi circular economy berisiko menciptakan efek samping yang justru melemahkan tujuan keberlanjutan jangka panjang.
Dimensi kedua berkaitan dengan biaya dan manfaat individual versus kolektif. Seperti ditunjukkan melalui perspektif institutional economics, salah satu cara mengelola fragmentasi sistem sosial adalah dengan memisahkan analisis pada tingkat aktor individual dan tingkat kepentingan publik. Circular economy sering kali menjanjikan manfaat kolektif—seperti pengurangan tekanan ekologis atau peningkatan ketahanan sistem—tetapi menuntut biaya jangka pendek dari aktor tertentu. Ketidakseimbangan ini, jika tidak ditangani secara eksplisit, menjadi sumber resistensi yang berulang.
Oleh karena itu, metodologi yang digunakan harus mampu memetakan siapa menanggung biaya, siapa menikmati manfaat, dan pada horizon waktu yang mana. Strategi circular economy yang mengabaikan dimensi distribusional ini cenderung rapuh secara politik dan sosial. Sebaliknya, desain institusional yang mampu mengoreksi ketimpangan—melalui insentif, kompensasi, atau mekanisme pembagian risiko—lebih berpeluang menciptakan kolaborasi yang stabil.
Dimensi ketiga adalah kualitas proses. Dalam banyak praktik circular economy, perhatian sering terpusat pada hasil akhir: target daur ulang, tingkat efisiensi, atau pengurangan emisi. Paper ini mengingatkan bahwa dalam konteks lintas sektor, kualitas proses justru menentukan legitimasi dan keberlanjutan hasil tersebut. Proses yang transparan, inklusif, dan berbasis pengetahuan bersama memungkinkan aktor dengan logika berbeda untuk setidaknya mencapai pemahaman operasional, meskipun tidak sepenuhnya berbagi nilai yang sama.
Kualitas proses juga berfungsi sebagai mekanisme pengurang konflik. Ketika asumsi, data, dan kepentingan diartikulasikan secara terbuka, potensi miskomunikasi antar-sistem dapat dikelola lebih awal. Sebaliknya, proses yang didominasi oleh satu logika sektoral—misalnya logika bisnis atau administrasi—cenderung menyingkirkan perspektif lain dan memperkuat ketegangan laten.
Dimensi keempat, dan sering kali paling diabaikan, adalah makna dan tujuan. Pendekatan kulturalistik yang dibahas sebelumnya menemukan relevansinya di sini. Circular economy tidak hanya dijalankan oleh organisasi, tetapi oleh individu yang membawa identitas, nilai, dan pemahaman tentang “kehidupan yang baik”. Metodologi yang sepenuhnya teknokratis cenderung gagal memobilisasi komitmen jangka panjang, karena tidak menyentuh dimensi motivasi intrinsik aktor.
Secara strategis, ini berarti bahwa circular economy perlu diposisikan bukan hanya sebagai kewajiban regulatif atau peluang pasar, tetapi sebagai bagian dari narasi yang lebih luas tentang arah pembangunan dan makna tindakan kolektif. Tanpa dimensi ini, circular economy berisiko direduksi menjadi serangkaian proyek terpisah yang kehilangan kohesi normatifnya.
Keempat dimensi tersebut menunjukkan bahwa tantangan circular economy tidak dapat diatasi melalui satu alat atau satu kerangka kerja tunggal. Yang dibutuhkan adalah arsitektur metodologis yang reflektif, mampu menyesuaikan diri dengan konteks, dan sadar akan batas-batas struktural koordinasi lintas sektor. Dalam konteks ini, keberhasilan circular economy lebih bergantung pada kecerdasan dalam mengelola kompleksitas sosial daripada pada kesempurnaan solusi teknis semata
6. Circular Economy Arus Utama dan Blind Spot Konseptual: Sebuah Perbandingan Kritis
Setelah membangun argumen mengenai keterbatasan struktural circular economy dan implikasi metodologisnya, penting untuk menempatkan pendekatan Gonser dan Hinske dalam lanskap literatur yang lebih luas. Hal ini tidak hanya memperjelas kontribusi paper, tetapi juga mengungkap blind spot yang masih mendominasi diskursus circular economy arus utama.
Sebagian besar literatur circular economy kontemporer berangkat dari asumsi teknokratis. Fokusnya terletak pada desain produk, efisiensi material, inovasi rantai pasok, dan pengembangan indikator kinerja. Pendekatan ini terlihat jelas dalam banyak kerangka kerja kebijakan dan panduan praktis yang diproduksi oleh lembaga internasional maupun konsultan industri. Circular economy diposisikan sebagai masalah optimasi: bagaimana “menutup loop” dengan biaya serendah mungkin dan dampak ekonomi setinggi mungkin.
Pendekatan tersebut memiliki nilai praktis yang tidak dapat disangkal. Ia menawarkan bahasa yang mudah diterjemahkan ke dalam strategi bisnis dan kebijakan publik. Namun, di sinilah blind spot utama muncul. Dengan menempatkan circular economy sebagai persoalan teknis, literatur arus utama cenderung mengabaikan dinamika sosial dan institusional yang justru menentukan keberhasilan implementasi. Konflik kepentingan, perbedaan logika sektoral, dan ketimpangan kekuasaan sering kali diperlakukan sebagai hambatan sekunder, bukan sebagai bagian inti dari masalah.
Kontras dengan itu, pendekatan Gonser dan Hinske menolak anggapan bahwa circular economy dapat “diskalakan” hanya dengan memperbanyak best practice. Mereka menunjukkan bahwa kegagalan banyak inisiatif circular economy bukan disebabkan oleh kurangnya komitmen atau teknologi, melainkan oleh asumsi keliru tentang kemampuan sistem sosial untuk berkomunikasi secara normatif lintas sektor. Dalam literatur arus utama, kolaborasi sering dipresentasikan sebagai solusi, sementara dalam paper ini kolaborasi justru diperlakukan sebagai objek analisis yang problematik.
Blind spot kedua berkaitan dengan penyamaan circular economy dan sustainability. Banyak publikasi dan dokumen kebijakan menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian, seolah-olah circular economy secara otomatis menghasilkan keberlanjutan. Pendekatan ini memudahkan komunikasi, tetapi menyederhanakan realitas. Gonser dan Hinske memperlihatkan bahwa sustainability adalah konsep normatif lintas generasi yang menuntut koordinasi nilai, sementara circular economy sering dioperasionalkan melalui indikator sempit yang tidak menangkap dimensi etis dan sosial secara memadai.
Literatur arus utama juga cenderung optimistik terhadap governance antar-sektor. Forum multipihak, kemitraan publik–swasta, dan ko-kreasi dipromosikan sebagai mekanisme yang secara inheren positif. Paper ini, sebaliknya, memperingatkan bahwa tanpa pemahaman tentang functional differentiation, governance antar-sektor berisiko menjadi ritual partisipatif yang menghasilkan konsensus semu. Kesepakatan yang dicapai sering kali bersifat dangkal karena dibangun di atas istilah yang sama tetapi makna yang berbeda.
Perbandingan ini menempatkan kontribusi Gonser dan Hinske pada posisi yang tidak populer namun penting. Mereka tidak menawarkan solusi cepat atau model replikasi, melainkan kritik struktural terhadap fondasi konseptual circular economy itu sendiri. Dalam konteks literatur yang didominasi oleh optimisme solusionis, pendekatan ini berfungsi sebagai koreksi yang diperlukan. Ia mengingatkan bahwa keberlanjutan bukan hanya soal doing things better, tetapi juga soal understanding what cannot be easily aligned.
Section ini memperkuat nilai tambah artikel dengan menunjukkan bahwa diskursus circular economy saat ini masih timpang. Fokus berlebihan pada aspek teknis dan manajerial telah menghasilkan kemajuan parsial, tetapi juga menciptakan ilusi bahwa tantangan utama telah dipahami. Dengan membawa teori sosial ke pusat analisis, paper ini membuka ruang refleksi yang lebih jujur tentang batas-batas transformasi yang dapat dicapai dalam kerangka masyarakat modern yang terdiferensiasi secara fungsional
7. Keterbatasan dan Kritik Balik: Sejauh Mana “Impossibility” Berlaku?
Meskipun argumen Gonser dan Hinske menawarkan kontribusi konseptual yang kuat, klaim mengenai impossibility circular economy dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional tidak lepas dari keterbatasan dan ruang kritik. Mengangkat keterbatasan ini penting bukan untuk melemahkan argumen utama, melainkan untuk menempatkannya secara proporsional dalam diskursus yang lebih luas tentang transformasi keberlanjutan.
Keterbatasan pertama terletak pada tingkat abstraksi analisis. Functional differentiation sebagai kerangka teoretis bekerja sangat efektif untuk menjelaskan pola komunikasi dan batas-batas koordinasi pada level makro masyarakat modern. Namun, pada level ini pula, teori cenderung kurang sensitif terhadap variasi empiris. Dalam praktik, tidak semua konteks sosial menunjukkan tingkat fragmentasi yang sama. Negara dengan tradisi koordinasi korporatis, sistem kesejahteraan yang kuat, atau budaya deliberatif tertentu sering kali menunjukkan kemampuan lintas sektor yang lebih adaptif dibandingkan gambaran ideal-typical yang disajikan teori.
Dengan kata lain, impossibility yang diidentifikasi lebih tepat dipahami sebagai batas struktural ideal, bukan sebagai vonis universal terhadap semua bentuk circular economy. Dalam konteks tertentu, terutama ketika terdapat institusi perantara yang kuat atau sejarah kolaborasi lintas sektor yang mapan, sebagian ketegangan antar logika dapat dikelola secara pragmatis, meskipun tidak pernah sepenuhnya dihapuskan.
Kritik kedua berkaitan dengan risiko determinisme struktural. Dengan menekankan otonomi sistem sosial dan keterbatasan komunikasi normatif, terdapat potensi untuk meremehkan kapasitas aktor—baik individu maupun organisasi—dalam melakukan pembelajaran lintas sektor. Padahal, sejarah kebijakan publik dan inovasi sosial menunjukkan bahwa perubahan sering kali muncul dari praktik eksperimental yang justru melanggar batas-batas logika sektoral yang mapan. Walaupun perubahan tersebut jarang bersifat linier atau stabil, ia menunjukkan bahwa struktur sosial tidak sepenuhnya tertutup terhadap refleksi dan adaptasi.
Keterbatasan ketiga menyangkut peran kekuasaan dan konflik. Paper ini lebih menekankan perbedaan logika sistem daripada relasi kekuasaan antar aktor. Dalam praktik circular economy, kegagalan koordinasi tidak hanya disebabkan oleh miskomunikasi lintas sistem, tetapi juga oleh ketimpangan sumber daya, posisi tawar, dan kepentingan ekonomi-politik yang tidak seimbang. Dengan demikian, sebagian hambatan yang tampak sebagai masalah komunikasi sebenarnya merupakan hasil dari konflik kepentingan yang disengaja, bukan sekadar konsekuensi struktural dari functional differentiation.
Selain itu, pendekatan paper ini relatif berhati-hati dalam menilai peran regulasi koersif. Dalam beberapa kasus, perubahan signifikan menuju praktik yang lebih sirkular justru terjadi melalui intervensi regulatif yang kuat, bukan melalui keselarasan normatif atau deliberasi. Hal ini menunjukkan bahwa impossibility komunikasi etis lintas sistem tidak selalu menghalangi perubahan, tetapi sering kali menggeser cara perubahan tersebut dipaksakan atau dinegosiasikan.
Meski demikian, kritik-kritik ini tidak meniadakan nilai argumen utama. Justru sebaliknya, mereka memperjelas posisi impossibility sebagai alat refleksi, bukan sebagai kesimpulan final. Dengan menyadari keterbatasan struktural, praktisi dan pembuat kebijakan dapat menghindari ekspektasi berlebihan terhadap kolaborasi lintas sektor dan lebih realistis dalam merancang intervensi. Circular economy, dalam pembacaan ini, bukan proyek harmonisasi nilai, melainkan proses pengelolaan ketegangan yang terus-menerus.
Section ini memperkaya artikel dengan menunjukkan bahwa kontribusi Gonser dan Hinske terletak pada kemampuannya untuk mengganggu optimisme yang tidak kritis, tanpa jatuh ke dalam pesimisme absolut. Impossibility bukan akhir dari tindakan, tetapi pengingat bahwa transformasi keberlanjutan selalu berlangsung dalam kondisi sosial yang tidak ideal dan penuh kompromi
8. Kesimpulan: Circular Economy sebagai Proyek Pengelolaan Ketegangan, Bukan Harmoni
Artikel ini berangkat dari satu pertanyaan mendasar yang jarang diajukan secara eksplisit dalam diskursus circular economy: apakah transformasi menuju ekonomi sirkular yang berkelanjutan memang selaras dengan cara masyarakat modern diorganisasikan? Melalui pembacaan kritis terhadap argumen Gonser dan Hinske, jelas bahwa tantangan circular economy tidak berhenti pada persoalan teknis, insentif ekonomi, atau desain kebijakan. Tantangan utamanya bersifat struktural, berakar pada fragmentasi fungsional masyarakat modern yang membatasi kemungkinan koordinasi normatif lintas sektor.
Dengan memosisikan circular economy sebagai proyek governance antar-sektor, artikel ini menunjukkan bahwa kolaborasi bukanlah kondisi alami, melainkan arena ketegangan antar logika sosial yang berbeda. Sistem ekonomi, politik, hukum, sains, dan masyarakat sipil tidak hanya membawa kepentingan yang beragam, tetapi juga cara memahami realitas yang tidak sepenuhnya kompatibel. Dalam konteks ini, klaim impossibility tidak dimaksudkan sebagai penolakan terhadap circular economy, melainkan sebagai kritik terhadap asumsi optimistik bahwa keselarasan nilai dan tujuan dapat dicapai secara langsung melalui kolaborasi.
Analisis ini juga memperjelas bahwa penyamaan circular economy dengan sustainability merupakan penyederhanaan yang berisiko. Sustainability adalah konsep normatif lintas generasi yang menuntut koordinasi nilai dan tanggung jawab kolektif, sementara circular economy sering dioperasionalkan melalui indikator teknis yang sempit. Ketika circular economy diperlakukan sebagai substitusi sustainability, perhatian terhadap dimensi sosial, etis, dan institusional cenderung melemah. Akibatnya, banyak inisiatif circular economy menghasilkan perbaikan parsial tanpa transformasi sistemik.
Namun demikian, artikel ini juga menolak kesimpulan fatalistik. Dengan menelaah pendekatan alternatif—mulai dari institutional economics, proses deliberatif, hingga perspektif kultural—terlihat bahwa keterbatasan struktural tidak berarti stagnasi. Yang berubah adalah cara memahami keberhasilan. Circular economy yang realistis bukanlah proyek harmonisasi nilai lintas sektor, melainkan proses pengelolaan ketegangan yang terus-menerus, melalui desain institusional yang adaptif, proses yang berkualitas, dan narasi tujuan yang bermakna bagi aktor yang terlibat.
Kontribusi utama paper Gonser dan Hinske, dan juga artikel ini, terletak pada pergeseran fokus dari solusi ke pemahaman batas. Dalam lanskap literatur circular economy yang didominasi oleh optimisme teknokratis, pendekatan ini berfungsi sebagai koreksi yang penting. Ia mengingatkan bahwa kegagalan implementasi sering kali bukan akibat kurangnya komitmen atau teknologi, melainkan akibat asumsi keliru tentang bagaimana masyarakat modern dapat bertindak secara kolektif.
Bagi pembuat kebijakan, praktisi industri, dan peneliti, implikasinya jelas. Circular economy tidak dapat diperlakukan sebagai paket kebijakan siap pakai atau model bisnis universal. Ia menuntut kepekaan terhadap konteks sosial, kesadaran akan konflik logika sektoral, dan kesiapan untuk bekerja dalam ketidakpastian. Keberlanjutan, dalam kerangka ini, bukan tujuan yang dicapai melalui konsensus penuh, melainkan melalui kompromi yang disadari dan dikelola secara reflektif.
Dengan demikian, circular economy tidak gagal karena terlalu ambisius, tetapi karena sering kali dipahami terlalu sederhana. Mengakui batas-batas struktural bukan berarti menyerah, melainkan langkah awal menuju praktik keberlanjutan yang lebih jujur, dewasa, dan berdaya tahan dalam menghadapi kompleksitas dunia nyata.
Daftar Pustaka
Anderson, L., Gold, J., Stewart, J., & Thorpe, R. (2015). Concepts and theory building. London: SAGE.
Ansell, C., & Gash, A. (2007). Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571.
Brundtland, G. et al. (1987). Our common future. New York: United Nations.
Buttkereit, S. (2009). Intersectoral alliances: An institutional economics perspective. Berlin: WVB.
Emerson, K., & Nabatchi, T. (2015). Collaborative governance regimes. Washington, D.C.: Georgetown University Press.
Geissdoerfer, M., Savaget, P., Bocken, N. M. P., & Hultink, E. (2017). The circular economy – A new sustainability paradigm? Journal of Cleaner Production, 143, 757–768.
Gonser, M., & Hinske, C. (2022). Circular economy, sustainability and functional differentiation: An impossibility and its strategic-methodological implications. Dalam The Impossibilities of the Circular Economy. London: Routledge.
Habermas, J. (1981). Theorie des kommunikativen Handelns. Frankfurt am Main: Suhrkamp.
Luhmann, N. (1984). Die Wirtschaft der Gesellschaft als autopoietisches System. Zeitschrift für Soziologie, 13(4), 308–327.
Luhmann, N. (1990). Ökologische Kommunikation. Opladen: Westdeutscher Verlag.
Reckwitz, A. (2001). Die Ethik des Guten und die Soziologie. Dalam Gute Gesellschaft? Zur Konstruktion sozialer Ordnungen. Opladen.
Stahel, W. R. (2019). The circular economy: A user’s guide. London: Routledge.
Webster, K. (2017). The circular economy: A wealth of flows. Isle of Wight: Ellen MacArthur Foundation.
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan: Antara Mimpi Sirkular dan Realitas Fisik
Ekonomi sirkular sering dipromosikan sebagai jawaban elegan atas krisis lingkungan global: sebuah sistem di mana limbah tidak lagi ada, material terus berputar, dan pertumbuhan ekonomi dapat berlanjut tanpa batas ekologis. Narasi ini terdengar intuitif dan politis menarik, terutama ketika dikemas dalam bahasa desain, inovasi, dan optimisme teknologi. Namun di balik daya tarik tersebut, terdapat pertanyaan mendasar yang jarang dihadapi secara serius: sejauh mana ekonomi sirkular realistis jika ditinjau dari hukum fisika dan batas material dunia nyata?
Artikel ini berangkat dari kritik terhadap apa yang dapat disebut sebagai circularity dreams—yakni kecenderungan untuk memperlakukan ekonomi sirkular bukan sebagai kerangka kerja praktis yang penuh keterbatasan, tetapi sebagai janji sistemik yang hampir tanpa batas. Dalam banyak dokumen kebijakan dan strategi korporasi, prinsip seperti “waste equals food” atau “desain tanpa limbah” sering diperlakukan seolah-olah menggambarkan kondisi nyata, bukan sekadar aturan desain ideal. Di sinilah risiko konseptual mulai muncul.
Dari perspektif fisika, khususnya termodinamika, setiap proses ekonomi selalu melibatkan degradasi energi dan material. Material dengan kualitas tinggi—misalnya logam murni atau energi terpusat—secara alami akan terurai menjadi bentuk yang lebih tersebar dan kurang berguna. Upaya untuk “menutup lingkaran” selalu memerlukan energi tambahan, waktu, dan infrastruktur, yang pada gilirannya menciptakan dampak lingkungan baru. Dengan kata lain, sirkularitas penuh bukan hanya sulit dicapai, tetapi secara prinsipil dibatasi oleh hukum alam.
Kritik ini tidak bertujuan untuk menolak ekonomi sirkular secara keseluruhan. Justru sebaliknya, ia mengingatkan bahwa ekonomi sirkular akan kehilangan relevansinya jika dibangun di atas asumsi yang terlalu optimistis dan ahistoris. Perdebatan mengenai batas fisik pertumbuhan ekonomi, keterbatasan daur ulang, dan ilusi pemisahan total antara pertumbuhan dan konsumsi sumber daya sebenarnya telah berlangsung sejak dekade 1960–1970-an. Namun dalam diskursus kontemporer, perdebatan ini sering dipinggirkan demi narasi solusi cepat dan positif.
Dalam konteks inilah pendahuluan ini memposisikan ekonomi sirkular sebagai alat berpikir, bukan tujuan absolut. Ia berguna untuk mendorong desain yang lebih cerdas, pengurangan pemborosan, dan perpanjangan umur produk. Namun ketika ekonomi sirkular dipromosikan sebagai jalan menuju pertumbuhan hijau tanpa batas, ia berisiko menjadi mitos kebijakan yang justru menunda pembahasan tentang pengurangan konsumsi absolut, perubahan pola produksi, dan keterbatasan ekologis yang tidak dapat dinegosiasikan.
Jika ekonomi sirkular ingin berkontribusi secara serius terhadap keberlanjutan, maka ia harus dibumikan: diakui batasnya, dilepaskan dari klaim berlebihan, dan ditempatkan dalam kerangka transformasi ekonomi yang lebih luas—bukan sebagai mimpi teknokratis, melainkan sebagai pendekatan parsial dalam dunia yang secara fisik terbatas.
2. Mengapa “Waste Equals Food” Bermasalah secara Fisik dan Ekonomi
Salah satu slogan paling populer dalam ekonomi sirkular adalah waste equals food. Gagasan ini menyiratkan bahwa seluruh limbah dapat menjadi input berguna bagi proses lain, sehingga tidak ada residu yang benar-benar terbuang. Sebagai prinsip desain, slogan ini efektif secara komunikatif. Namun ketika diangkat sebagai gambaran sistem ekonomi nyata, ia menyederhanakan persoalan yang secara fisik dan ekonomi jauh lebih kompleks.
Dari sudut pandang fisika, tidak semua limbah setara. Material yang telah melewati beberapa siklus penggunaan mengalami degradasi kualitas. Campuran material, kontaminasi, dan keausan membuat banyak limbah tidak lagi memiliki karakteristik yang sama dengan bahan awalnya. Proses untuk “mengembalikan” limbah tersebut ke bentuk yang berguna memerlukan energi tambahan, teknologi pemisahan, dan infrastruktur yang tidak netral secara lingkungan. Dengan demikian, setiap upaya menjadikan limbah sebagai “makanan” selalu memiliki biaya fisik yang nyata.
Masalah ini diperkuat oleh hukum termodinamika. Proses ekonomi tidak hanya memindahkan material, tetapi juga mengubah energi. Energi berkualitas tinggi—yang dibutuhkan untuk produksi dan daur ulang—akan selalu terdegradasi menjadi panas yang tersebar dan tidak dapat digunakan kembali sepenuhnya. Artinya, bahkan jika material dapat dipulihkan sebagian, sistem tetap bergantung pada aliran energi baru. Dalam konteks ini, sirkularitas material tidak pernah berarti sirkularitas energi.
Secara ekonomi, slogan waste equals food juga mengaburkan persoalan kelayakan. Tidak semua limbah layak diproses ulang dari sisi biaya dan manfaat. Banyak aliran limbah memiliki nilai ekonomi yang rendah, sementara biaya pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan tinggi. Ketika kebijakan atau strategi bisnis memaksakan sirkularitas penuh tanpa mempertimbangkan rasio energi dan biaya, hasilnya sering kali kontraproduktif—baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Lebih jauh, narasi ini berisiko menciptakan moral hazard kebijakan. Jika limbah selalu dianggap dapat dimanfaatkan kembali, maka tekanan untuk mengurangi produksi limbah sejak awal menjadi melemah. Fokus bergeser dari pencegahan menuju pengelolaan, dari pengurangan konsumsi absolut menuju optimasi teknis pasca-produksi. Dalam jangka panjang, pendekatan ini dapat mempertahankan bahkan memperbesar skala sistem produksi dan konsumsi, dengan dalih bahwa limbah “akan ditangani” secara sirkular.
Kritik terhadap waste equals food bukan berarti menolak pemanfaatan limbah. Yang dipersoalkan adalah klaim implisit bahwa tidak ada batas fisik dan ekonomi dalam proses tersebut. Dalam praktiknya, hanya sebagian kecil limbah yang benar-benar dapat berfungsi sebagai input bernilai tinggi bagi proses lain. Sisanya akan tetap menjadi residu, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil atau bentuk yang berbeda.
Oleh karena itu, pendekatan yang lebih realistis adalah memahami ekonomi sirkular sebagai strategi pengurangan kerugian, bukan penghapusan total limbah. Prinsip sirkular paling efektif ketika diterapkan di hulu—melalui desain sederhana, pengurangan kompleksitas material, dan pembatasan volume produksi—bukan ketika dibebankan sepenuhnya pada sistem daur ulang di hilir. Tanpa pengakuan atas batas fisik ini, ekonomi sirkular berisiko berubah dari alat transisi menjadi narasi penenang yang menunda perubahan struktural yang lebih sulit namun esensial.
3. Ilusi Decoupling dan Batas Pertumbuhan Hijau
Salah satu klaim paling sering digunakan untuk membenarkan ekonomi sirkular adalah gagasan decoupling—yakni kemungkinan memisahkan pertumbuhan ekonomi dari penggunaan sumber daya dan dampak lingkungan. Dalam narasi ini, inovasi desain, efisiensi material, dan sirkularitas memungkinkan ekonomi terus tumbuh tanpa meningkatkan tekanan ekologis. Klaim ini terdengar meyakinkan, tetapi menjadi problematis ketika tidak dibedakan antara relative decoupling dan absolute decoupling.
Relative decoupling terjadi ketika penggunaan sumber daya per unit produk menurun, sementara total produksi tetap meningkat. Fenomena ini cukup umum dan sering dijadikan bukti keberhasilan kebijakan efisiensi. Namun secara ekologis, yang menentukan tekanan lingkungan adalah total skala aktivitas, bukan intensitas per unit. Ketika efisiensi meningkatkan daya saing dan menurunkan biaya, konsumsi total sering justru meningkat—sebuah mekanisme yang dikenal sebagai rebound effect.
Sebaliknya, absolute decoupling menuntut agar total penggunaan sumber daya dan dampak lingkungan menurun secara konsisten, meskipun ekonomi tumbuh. Di sinilah klaim ekonomi sirkular menjadi rapuh. Secara empiris dan fisik, sangat sedikit bukti bahwa absolute decoupling dapat dicapai dalam skala besar dan jangka panjang, terutama untuk material dan energi yang tidak terbarukan.
Ekonomi sirkular sering ditempatkan sebagai solusi teknis untuk menjembatani kontradiksi ini. Namun tanpa pembatasan skala produksi dan konsumsi, sirkularitas hanya memperlambat laju kerusakan, bukan membalikkannya. Material yang diputar kembali tetap mengalami kehilangan kualitas, dan sistem tetap membutuhkan input energi serta material baru. Dalam konteks ini, pertumbuhan hijau berbasis sirkularitas penuh berisiko menjadi ilusi kebijakan.
Masalah lain muncul ketika decoupling digunakan sebagai pembenaran politik untuk menghindari diskusi tentang pengurangan konsumsi absolut. Dengan mengandalkan janji teknologi dan desain sirkular, kebijakan dapat menunda keputusan sulit terkait batas produksi, pola konsumsi berlebihan, dan distribusi ekonomi. Ekonomi sirkular lalu berfungsi bukan sebagai alat transformasi, tetapi sebagai narasi legitimasi status quo.
Pendekatan yang lebih jujur adalah mengakui bahwa ekonomi sirkular memiliki kapasitas terbatas dalam mendukung pertumbuhan tanpa batas. Ia sangat efektif untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi pemborosan, dan memperpanjang umur produk. Namun ia tidak dapat menggantikan kebutuhan akan strategi pengurangan skala di sektor-sektor tertentu, terutama yang intensif material dan energi.
Dengan demikian, peran ekonomi sirkular seharusnya ditempatkan secara proporsional: sebagai komponen penting dalam strategi transisi, bukan sebagai jaminan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dilepaskan sepenuhnya dari batas ekologis. Tanpa pengakuan ini, diskursus sirkular berisiko kehilangan ketajaman analitis dan berubah menjadi janji teknokratis yang tidak pernah sepenuhnya terpenuhi.
4. Implikasi Kebijakan: Kapan Ekonomi Sirkular Membantu, Kapan Justru Menyesatkan
Jika ekonomi sirkular dipahami sebagai solusi universal, kebijakan publik berisiko terjebak pada optimisme berlebihan. Oleh karena itu, pertanyaan kunci bagi perumus kebijakan bukanlah apakah ekonomi sirkular “baik atau buruk”, melainkan dalam kondisi apa ia efektif, dan di mana batas kegunaannya. Tanpa pembedaan ini, ekonomi sirkular dapat menghasilkan kebijakan yang secara politis nyaman tetapi secara ekologis lemah.
Ekonomi sirkular paling membantu ketika diarahkan pada pengurangan pemborosan struktural. Intervensi di hulu—seperti penyederhanaan desain, pengurangan variasi material, dan perpanjangan umur produk—memberikan manfaat nyata karena langsung menekan kebutuhan produksi baru. Dalam konteks kebijakan, ini berarti fokus pada standar desain, hak untuk memperbaiki, dan pengadaan publik berbasis biaya siklus hidup, bukan sekadar target daur ulang.
Sebaliknya, ekonomi sirkular menjadi menyesatkan ketika digunakan untuk membenarkan ekspansi produksi tanpa batas. Target sirkularitas yang tinggi, tetapi dilepaskan dari pengendalian volume, menciptakan ilusi kemajuan. Sistem terlihat “lebih efisien”, sementara total aliran material dan energi tetap meningkat. Dalam situasi ini, kebijakan sirkular justru berfungsi sebagai tameng retoris bagi model pertumbuhan yang tidak berubah.
Risiko lain muncul ketika kebijakan terlalu menekankan solusi teknis hilir. Investasi besar pada fasilitas daur ulang dapat menciptakan ketergantungan institusional terhadap aliran limbah yang stabil. Akibatnya, pencegahan limbah dan pengurangan produksi menjadi bertentangan dengan kepentingan ekonomi infrastruktur tersebut. Paradoks ini menunjukkan bahwa kebijakan sirkular perlu dirancang dengan kesadaran terhadap insentif jangka panjang yang diciptakannya.
Implikasi penting lainnya adalah perlunya integrasi ekonomi sirkular dengan kebijakan permintaan. Selama konsumsi absolut tidak disentuh, sirkularitas hanya bekerja di sisi penawaran. Instrumen seperti pembatasan iklan produk sekali pakai, standar umur pakai minimum, atau pengenaan pajak berbasis material dapat melengkapi pendekatan sirkular dengan sinyal pengendalian skala.
Dengan demikian, ekonomi sirkular seharusnya diposisikan sebagai alat selektif, bukan paradigma tunggal. Ia efektif ketika digunakan untuk mengurangi inefisiensi dan pemborosan, tetapi menyesatkan ketika dijadikan alasan untuk menghindari pembahasan tentang batas pertumbuhan dan kebutuhan akan pengurangan konsumsi di sektor tertentu. Kebijakan yang matang adalah kebijakan yang mampu menempatkan ekonomi sirkular dalam kerangka transformasi yang lebih luas, jujur terhadap batas fisik, dan berani menghadapi implikasi politiknya.
5. Penutup Reflektif: Membumikan Ekonomi Sirkular dalam Dunia yang Terbatas
Rangkaian pembahasan ini menunjukkan bahwa ekonomi sirkular bukanlah konsep yang keliru, tetapi konsep yang sering diperlakukan secara berlebihan. Ketika dipahami sebagai alat untuk mengurangi pemborosan, meningkatkan efisiensi, dan memperpanjang umur produk, ekonomi sirkular memiliki nilai strategis yang nyata. Namun ketika ia dipromosikan sebagai solusi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi tanpa batas dalam dunia yang secara fisik terbatas, ia berubah menjadi narasi problematis.
Kritik terhadap mimpi sirkular, slogan waste equals food, dan klaim decoupling bukanlah seruan untuk kembali ke pesimisme ekologis, melainkan ajakan untuk bersikap jujur terhadap batas. Kejujuran ini penting agar kebijakan tidak terjebak pada solusi semu yang menenangkan secara politis, tetapi lemah secara material. Tanpa pengakuan atas degradasi energi, keterbatasan daur ulang, dan efek skala, ekonomi sirkular berisiko memperpanjang ilusi keberlanjutan.
Dalam konteks kebijakan, implikasinya jelas. Ekonomi sirkular perlu dipadukan dengan strategi pengurangan konsumsi absolut, pembatasan produksi di sektor tertentu, dan perubahan pola permintaan. Tanpa kombinasi ini, sirkularitas hanya akan memperlambat laju masalah, bukan mengubah arahnya. Keberanian kebijakan terletak bukan pada seberapa inovatif jargon yang digunakan, tetapi pada kesediaan menghadapi konsekuensi ekonomi dan politik dari dunia yang memiliki batas.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular paling berguna ketika ia dibumikan, bukan dimitoskan. Ia harus dilihat sebagai bagian dari perangkat transisi—berguna, penting, tetapi tidak mahakuasa. Dengan menempatkannya secara proporsional, diskursus keberlanjutan dapat bergerak dari janji-janji teknokratis menuju strategi transformasi yang lebih realistis, jujur, dan bertanggung jawab terhadap kenyataan fisik planet ini.
Daftar Pustaka
Geissdoerfer, M., Savaget, P., Bocken, N. M. P., & Hultink, E. J. (2017). The Circular Economy – A new sustainability paradigm? Journal of Cleaner Production.
Korhonen, J., Honkasalo, A., & Seppälä, J. (2018). Circular Economy: The Concept and its Limitations. Ecological Economics.
Ayres, R. U., & Warr, B. (2009). The Economic Growth Engine: How Energy and Work Drive Material Prosperity. Edward Elgar.
Georgescu-Roegen, N. (1971). The Entropy Law and the Economic Process. Harvard University Press.
Keamanan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam Konstruksi
Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 22 Desember 2025
Pendahuluan
Gangguan kesehatan akibat kerja tidak selalu disebabkan oleh paparan bahan berbahaya atau kondisi lingkungan ekstrem. Dalam banyak kasus, sumber utama masalah justru berasal dari cara kerja yang tidak ergonomis, seperti postur janggal, pengangkatan beban yang tidak tepat, serta desain tempat kerja yang tidak sesuai dengan karakteristik tubuh manusia.
Materi yang menjadi dasar artikel ini disampaikan dalam sebuah webinar oleh dosen dan praktisi ergonomi yang menyoroti pentingnya pengukuran dan pengendalian aktivitas kerja berdasarkan faktor ergonomi, khususnya dalam konteks regulasi ketenagakerjaan di Indonesia. Ergonomi tidak lagi diposisikan sebagai pelengkap, melainkan telah menjadi bagian dari sistem K3 yang diatur secara formal melalui peraturan dan standar nasional.
Artikel ini menyajikan resensi analitis dari materi tersebut dengan merangkum konsep utama, metode pengukuran, serta implikasi praktis ergonomi bagi industri dan perkantoran.
Landasan Regulasi Ergonomi di Indonesia
Ergonomi dalam Perspektif K3 Nasional
Dasar hukum pengukuran dan pengendalian faktor ergonomi di Indonesia merujuk pada:
Permenaker No. 5 Tahun 2018 tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja Lingkungan Kerja
SNI 901 Tahun 2021 tentang Pengukuran dan Evaluasi Risiko Ergonomi
Dalam regulasi tersebut, faktor penyebab penyakit akibat kerja dikelompokkan menjadi:
faktor fisika,
faktor kimia,
faktor biologis,
faktor ergonomi, dan
faktor psikososial.
Menariknya, meskipun ergonomi sering dipersepsikan sebagai solusi pencegahan, regulasi menyebutnya sebagai faktor yang perlu diukur dan dikendalikan karena berpotensi menimbulkan penyakit akibat kerja jika tidak dikelola dengan baik.
Ruang Lingkup Faktor Ergonomi
Tiga Fokus Utama Ergonomi dalam Regulasi
Permenaker dan SNI menekankan tiga aspek utama ergonomi, yaitu:
Postur dan posisi kerja
Desain tempat dan alat kerja
Cara pengangkatan dan pemindahan beban
Ketiga aspek ini menjadi sumber utama gangguan muskuloskeletal atau Musculoskeletal Disorders (MSDs) apabila tidak dirancang dan dioperasikan secara ergonomis.
Postur Kerja dan Risiko Gangguan Otot Rangka
Postur Netral vs Postur Janggal
Postur kerja yang ideal adalah postur netral, yaitu kondisi di mana:
tulang belakang relatif lurus,
sendi tidak berada pada sudut ekstrem,
otot bekerja pada tingkat beban minimum.
Sebaliknya, postur janggal—seperti membungkuk lebih dari 20°, jongkok dalam waktu lama, atau mengangkat tangan di atas bahu—secara signifikan meningkatkan risiko MSDs, khususnya low back pain.
Kasus di bengkel dan workshop menunjukkan bahwa kebiasaan bekerja jongkok atau membungkuk masih umum terjadi, bahkan di industri besar, akibat lemahnya kesadaran ergonomi dan desain stasiun kerja yang tidak sesuai.
Metode Penilaian Postur Kerja: RULA
Rapid Upper Limb Assessment (RULA)
Salah satu metode yang dibahas secara rinci adalah RULA, yang digunakan untuk menilai risiko ergonomi berdasarkan postur kerja.
Kelompok Penilaian Tubuh
Kelompok A: lengan atas, lengan bawah, pergelangan tangan
Kelompok B: leher, punggung, dan kaki
Penilaian mempertimbangkan:
sudut postur,
beban kerja,
keterlibatan otot (statis atau repetitif).
Interpretasi Skor RULA
Skor 1–2: risiko rendah
Skor 3–4: risiko rendah–menengah
Skor 5–6: risiko menengah
Skor ≥7: risiko tinggi dan perlu tindakan segera
RULA menegaskan bahwa penilaian postur bukan asumsi visual, tetapi berbasis skor dan kriteria biomekanika.
Pengangkatan Beban dan Lifting Index
Konsep Recommended Weight Limit (RWL)
Untuk aktivitas manual handling, digunakan pendekatan NIOSH Lifting Equation, yang menghasilkan nilai Recommended Weight Limit (RWL) dan Lifting Index (LI).
Lifting Index dihitung dari:
LI = Beban aktual / Beban yang direkomendasikan
Interpretasi umum:
LI ≤ 1: aman
LI 1–3: perlu perhatian
LI > 3: risiko tinggi MSDs
Konteks Antropometri Indonesia
Materi menekankan bahwa rumus asli NIOSH dikembangkan berdasarkan data populasi Barat. Untuk Indonesia, nilai konstanta disesuaikan berdasarkan tinggi siku berdiri rata-rata (±69 cm), sehingga perhitungan menjadi lebih relevan secara antropometris.
SNI 901: Pendekatan Praktis Evaluasi Ergonomi
Daftar Periksa Risiko Ergonomi
Untuk memudahkan implementasi di industri, SNI 901:2021 menyediakan instrumen daftar periksa yang lebih praktis dibanding metode analitis kompleks seperti RULA atau NIOSH.
Penilaian mencakup:
keluhan pekerja (berbasis Nordic Body Map),
frekuensi dan tingkat keparahan nyeri,
identifikasi bagian tubuh dominan yang terdampak.
Hasil penilaian diklasifikasikan menjadi:
risiko rendah (hijau),
risiko sedang (kuning),
risiko tinggi (merah).
Desain Tempat Kerja Berbasis Antropometri
Mengapa Antropometri Penting
Desain ergonomi menekankan prinsip:
Mesin dan tempat kerja menyesuaikan manusia, bukan sebaliknya.
Antropometri digunakan untuk menentukan:
tinggi meja kerja,
tinggi kursi,
jarak jangkauan tangan,
posisi monitor dan alat kerja.
Prinsip Persentil dalam Desain
Alih-alih menggunakan nilai rata-rata, desain ergonomi umumnya menggunakan:
persentil 5% (untuk dimensi minimum),
persentil 95% (untuk dimensi maksimum).
Pendekatan ini memastikan bahwa ±90–95% populasi pengguna dapat bekerja dengan nyaman dan aman.
Ergonomi di Kantor: Risiko yang Sering Diabaikan
Materi menegaskan bahwa ergonomi tidak hanya relevan untuk pekerja lapangan. Pekerja kantoran juga berisiko mengalami:
nyeri pinggang,
carpal tunnel syndrome,
kelelahan mata,
saraf terjepit.
Penggunaan kursi tanpa sandaran lumbar, posisi keyboard terlalu tinggi, dan durasi kerja statis yang panjang menjadi pemicu utama gangguan tersebut.
Implementasi Ergonomi sebagai Sistem
Tiga Prinsip Kunci Implementasi
Dukungan manajemen
Pendekatan bertahap dan sistematis
Integrasi dengan SMK3 dan kebijakan perusahaan
Ergonomi tidak efektif jika hanya dibebankan kepada operator tanpa perubahan desain, kebijakan, dan fasilitas.
Kesimpulan
Pengukuran dan pengendalian aktivitas kerja berbasis ergonomi merupakan instrumen penting dalam pencegahan gangguan otot rangka dan peningkatan produktivitas. Melalui pendekatan regulatif, metode penilaian terstandar, serta desain tempat kerja berbasis antropometri, ergonomi dapat diterapkan secara praktis dan berkelanjutan.
Artikel ini menegaskan bahwa ergonomi bukan sekadar kenyamanan, melainkan investasi kesehatan, keselamatan, dan kinerja jangka panjang bagi organisasi.
📚 Sumber Utama
Webinar Pengukuran dan Pengendalian Aktivitas Kerja Berdasarkan Faktor Ergonomi
Permenaker No. 5 Tahun 2018
SNI 901:2021 – Ergonomi
📖 Referensi Pendukung
ILO. Ergonomic Checkpoints
NIOSH. Revised Lifting Equation
Bridger, R. Introduction to Ergonomics
Kroemer & Grandjean. Fitting the Task to the Human
Ekonomi Hijau
Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 22 Desember 2025
1. Pendahuluan: Ketika Transformasi Dimulai dari Keputusan Nyata
Transisi menuju ekonomi sirkular sering dibingkai sebagai agenda kebijakan jangka panjang yang menunggu regulasi, insentif, atau kesepakatan global. Namun dalam praktiknya, perubahan sering kali dimulai dari keputusan aktor di lapangan—pelaku usaha yang memilih jalur berbeda meskipun menghadapi ketidakpastian pasar dan biaya awal yang lebih tinggi. Di sinilah kepemimpinan dalam ekonomi sirkular menemukan maknanya: bukan pada retorika, melainkan pada tindakan.
Artikel ini menyoroti bagaimana transformasi ekonomi sirkular di Indonesia digerakkan oleh kepemimpinan berbasis aksi. Pelaku usaha tidak menunggu sistem menjadi sempurna, tetapi mulai bereksperimen dengan model bisnis, rantai pasok, dan pendekatan kolaboratif yang lebih berkelanjutan. Pendekatan ini memperlihatkan bahwa ekonomi sirkular bukan hanya hasil kebijakan top-down, tetapi juga proses pembelajaran yang tumbuh dari praktik.
Dalam konteks Indonesia, kepemimpinan berbasis aksi memiliki signifikansi tersendiri. Struktur pasar yang masih berkembang, keterbatasan infrastruktur, dan persepsi konsumen yang belum matang membuat transisi sirkular tidak selalu rasional secara jangka pendek. Namun justru dalam kondisi inilah keputusan untuk bertindak menjadi penentu arah perubahan.
Dengan pendekatan analitis, artikel ini membahas ekonomi sirkular melalui lensa kepemimpinan praktis. Fokusnya bukan pada daftar inisiatif, tetapi pada pelajaran struktural: apa yang mendorong pelaku usaha mengambil langkah sirkular, tantangan apa yang mereka hadapi, dan bagaimana tindakan tersebut berkontribusi pada perubahan sistem yang lebih luas.
2. Motivasi Pelaku Usaha: Antara Nilai, Risiko, dan Peluang Jangka Panjang
Keputusan pelaku usaha untuk mengadopsi prinsip ekonomi sirkular jarang didorong oleh satu faktor tunggal. Motivasi yang muncul umumnya merupakan kombinasi antara nilai, kalkulasi risiko, dan visi jangka panjang. Dalam banyak kasus, kepedulian lingkungan menjadi titik awal, tetapi tidak cukup untuk menopang transformasi tanpa justifikasi ekonomi yang masuk akal.
Sebagian pelaku usaha melihat ekonomi sirkular sebagai strategi diferensiasi. Di pasar yang semakin kompetitif, pendekatan berkelanjutan menawarkan narasi nilai yang membedakan produk dan layanan. Namun diferensiasi ini juga membawa risiko, terutama ketika konsumen belum sepenuhnya menghargai nilai keberlanjutan dalam keputusan pembelian mereka.
Motivasi lain yang semakin menguat adalah manajemen risiko jangka panjang. Ketergantungan pada bahan baku primer, volatilitas harga, dan tekanan regulasi mendorong pelaku usaha mencari model yang lebih tangguh. Dalam konteks ini, ekonomi sirkular dipahami bukan sebagai biaya tambahan, tetapi sebagai investasi ketahanan bisnis.
Selain itu, terdapat motivasi yang bersifat eksperimental. Beberapa pelaku usaha memandang ekonomi sirkular sebagai ruang inovasi, tempat mereka dapat menguji model bisnis baru dan membangun kapabilitas yang belum dimiliki pesaing. Pendekatan ini menempatkan aksi sebagai sarana belajar, di mana kegagalan awal dipandang sebagai bagian dari proses transformasi.
Motivasi-motivasi ini menunjukkan bahwa kepemimpinan dalam ekonomi sirkular tidak selalu lahir dari kepastian. Justru, ia tumbuh dari keberanian mengambil keputusan dalam kondisi tidak sempurna, dengan keyakinan bahwa perubahan sistemik hanya dapat terjadi jika ada aktor yang bersedia melangkah lebih dulu.
3. Tantangan Nyata di Lapangan: Biaya, Pasar, dan Persepsi Konsumen
Meskipun motivasi untuk beralih ke ekonomi sirkular semakin kuat, implementasinya dihadapkan pada tantangan yang sangat nyata. Biaya awal menjadi hambatan paling sering disebut. Investasi pada desain ulang produk, perubahan rantai pasok, dan pengembangan sistem pengumpulan sering kali lebih mahal dibandingkan mempertahankan praktik linear yang sudah mapan.
Tantangan biaya ini diperparah oleh keterbatasan skala. Banyak inisiatif sirkular dimulai dari volume kecil, sehingga sulit mencapai efisiensi biaya. Tanpa kepastian permintaan, pelaku usaha berada dalam dilema antara memperluas skala dan menanggung risiko finansial yang lebih besar.
Pasar juga belum sepenuhnya matang. Persepsi konsumen terhadap produk sirkular masih beragam, mulai dari apresiasi terhadap nilai keberlanjutan hingga keraguan terhadap kualitas dan harga. Dalam konteks ini, pelaku usaha tidak hanya menjual produk, tetapi juga mengedukasi pasar, sebuah proses yang membutuhkan waktu dan sumber daya.
Selain itu, struktur pasar yang ada sering kali tidak mendukung inovasi sirkular. Produk konvensional dengan harga murah dan eksternalitas lingkungan yang tidak tercermin dalam harga membuat produk sirkular sulit bersaing. Kondisi ini menunjukkan bahwa tantangan yang dihadapi pelaku usaha bersifat sistemik, bukan sekadar persoalan manajemen internal.
4. Kolaborasi sebagai Strategi Bertahan dan Bertumbuh
Menghadapi tantangan sistemik, banyak pelaku usaha sirkular di Indonesia mengandalkan kolaborasi sebagai strategi utama. Kolaborasi memungkinkan pembagian risiko, penggabungan sumber daya, dan penciptaan skala yang sulit dicapai secara individual. Dalam ekonomi sirkular, kolaborasi bukan pilihan tambahan, melainkan prasyarat keberhasilan.
Kolaborasi terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari kemitraan rantai pasok, kerja sama lintas sektor, hingga keterlibatan komunitas dan pemerintah daerah. Melalui kolaborasi, pelaku usaha dapat mengamankan pasokan bahan baku sekunder, memperluas akses pasar, dan meningkatkan legitimasi model sirkular di mata publik.
Pendekatan kolaboratif juga mempercepat pembelajaran. Dengan berbagi pengalaman dan praktik, pelaku usaha dapat menghindari pengulangan kesalahan dan mengadopsi solusi yang telah teruji. Dalam konteks ini, kepemimpinan tidak lagi dipahami sebagai dominasi, tetapi sebagai kemampuan mengorkestrasi kerja bersama.
Namun kolaborasi juga memiliki tantangan tersendiri. Perbedaan kepentingan, kapasitas, dan ekspektasi dapat menghambat kerja sama jangka panjang. Tanpa kerangka tata kelola yang jelas, kolaborasi berisiko menjadi simbolis dan tidak menghasilkan dampak nyata. Oleh karena itu, peran fasilitasi dan regulasi tetap diperlukan untuk memastikan kolaborasi berjalan efektif.
5. Peran Negara sebagai Enabler Transisi Ekonomi Sirkular
Pengalaman pelaku usaha menunjukkan bahwa kepemimpinan berbasis aksi memiliki batas ketika berhadapan dengan struktur pasar dan regulasi yang belum selaras. Di titik ini, peran negara sebagai enabler menjadi penentu apakah inisiatif sirkular dapat berkembang melampaui skala pionir. Negara tidak dituntut menggantikan peran pasar, tetapi menciptakan kondisi yang memungkinkan aksi-aksi sirkular menjadi pilihan rasional.
Salah satu fungsi utama negara adalah memperbaiki sinyal ekonomi. Selama eksternalitas lingkungan tidak tercermin dalam harga, produk dan model bisnis sirkular akan terus bersaing dalam medan yang tidak seimbang. Melalui instrumen fiskal, standar produk, dan kebijakan pengadaan publik, negara dapat menggeser struktur insentif tanpa harus mengatur secara mikro praktik bisnis.
Negara juga berperan dalam menurunkan risiko transisi. Kepastian regulasi, dukungan pembiayaan, dan fasilitasi kolaborasi lintas sektor membantu pelaku usaha mengambil keputusan jangka panjang. Dalam konteks Indonesia, peran ini penting karena banyak inisiatif sirkular berada pada tahap eksperimental dan rentan terhadap guncangan pasar.
Selain itu, negara memiliki posisi strategis sebagai penghubung ekosistem. Ekonomi sirkular melibatkan aktor yang beragam—industri, UMKM, komunitas, pemerintah daerah, dan konsumen. Tanpa koordinasi, upaya-upaya ini akan berjalan terpisah dan kehilangan daya dorong sistemik. Peran negara sebagai enabler bukan berarti sentralisasi, melainkan kemampuan membangun kerangka kerja bersama yang memungkinkan pembelajaran dan replikasi.
6. Kesimpulan Analitis: Kepemimpinan Aksi sebagai Penggerak Perubahan Sistem
Pembahasan ini menegaskan bahwa transformasi ekonomi sirkular di Indonesia tidak hanya ditentukan oleh desain kebijakan, tetapi juga oleh kepemimpinan berbasis aksi di tingkat praktik. Pelaku usaha yang berani bereksperimen, berkolaborasi, dan bertahan menghadapi ketidakpastian telah membuka jalan bagi perubahan sistemik yang lebih luas.
Artikel ini menunjukkan bahwa aksi-aksi tersebut bukan tanpa tantangan. Biaya awal, pasar yang belum matang, dan persepsi konsumen menjadi hambatan nyata. Namun justru di tengah keterbatasan inilah kepemimpinan menemukan relevansinya. Dengan bertindak lebih dulu, pelaku usaha menciptakan bukti konsep yang dapat dipelajari dan diadaptasi oleh aktor lain.
Pada saat yang sama, pengalaman ini menegaskan bahwa kepemimpinan aksi tidak dapat berdiri sendiri. Tanpa peran negara sebagai enabler, inisiatif sirkular berisiko stagnan di skala kecil. Oleh karena itu, transisi ekonomi sirkular memerlukan interaksi dinamis antara aksi pelaku usaha dan kebijakan publik.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular Indonesia tidak akan dibangun semata oleh rencana dan dokumen strategi. Ia akan tumbuh melalui keputusan-keputusan nyata yang diambil di lapangan, diperkuat oleh kebijakan yang memahami bahwa perubahan sistem selalu dimulai dari tindakan. Dalam konteks inilah, memimpin lewat aksi menjadi kunci masa depan ekonomi sirkular Indonesia.
Daftar Pustaka
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Ekonomi Sirkular untuk Pembangunan Rendah Karbon Indonesia. Jakarta: Bappenas.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas). (2021). Low Carbon Development Indonesia: A Paradigm Shift Towards a Green Economy. Jakarta: Bappenas.
Ellen MacArthur Foundation. (2019). Completing the Picture: How the Circular Economy Tackles Climate Change. EMF.