1. Pendahuluan Analitis: Circular Economy sebagai Janji, Ketegangan, dan Problem Struktural
Dalam satu dekade terakhir, circular economy hampir selalu diposisikan sebagai jawaban rasional atas krisis lingkungan global. Ia ditawarkan sebagai koreksi atas ekonomi linear yang boros sumber daya, sarat limbah, dan berorientasi jangka pendek. Dalam narasi kebijakan, laporan industri, hingga wacana akademik, ekonomi sirkular digambarkan sebagai solusi yang mampu menyelaraskan efisiensi ekonomi dengan keberlanjutan ekologis. Namun, di balik optimisme tersebut, muncul satu pertanyaan mendasar yang jarang dibahas secara serius: apakah circular economy benar-benar dapat diwujudkan dalam struktur masyarakat modern yang sangat terfragmentasi secara fungsional?
Paper Gonser dan Hinske tidak memulai diskusi dari wilayah teknis—seperti desain produk, daur ulang, atau inovasi material—melainkan dari level yang lebih dalam dan sering diabaikan, yakni struktur sosial dan logika koordinasi antarsektor. Pendekatan ini penting karena banyak kegagalan implementasi circular economy bukan disebabkan oleh keterbatasan teknologi, melainkan oleh ketidakmampuan aktor-aktor yang terlibat untuk benar-benar berkoordinasi secara bermakna. Circular economy menuntut keterlibatan simultan dan terkoordinasi dari negara, pasar, administrasi publik, masyarakat sipil, dan komunitas ilmiah. Masalahnya, setiap sektor tersebut beroperasi dengan logika internal yang berbeda, bahkan sering kali saling bertentangan.
Di sinilah ketegangan utama muncul. Circular economy, terutama ketika dipadukan dengan tujuan keberlanjutan, mengandaikan adanya keselarasan nilai, tujuan, dan tindakan lintas sektor. Namun, teori sosiologi modern—khususnya konsep functional differentiation—menunjukkan bahwa masyarakat modern justru berkembang dengan cara sebaliknya: melalui pemisahan fungsi yang semakin tajam. Sistem ekonomi beroperasi dengan logika profit dan efisiensi; sistem politik dengan kekuasaan dan legitimasi; sistem hukum dengan legalitas; sistem sains dengan kebenaran; dan masyarakat sipil dengan nilai, identitas, serta keadilan. Tidak ada “bahasa bersama” yang secara natural dapat menjembatani seluruh sistem ini.
Banyak literatur circular economy mengasumsikan bahwa jika semua aktor “duduk bersama”, maka kolaborasi akan tercipta secara otomatis. Asumsi ini tampak intuitif, tetapi problematik. Paper ini justru menunjukkan bahwa intersektoralitas bukan sekadar tantangan koordinasi, melainkan persoalan struktural. Ketika aktor dari sektor berbeda terlibat dalam satu proses circular economy, yang bertemu bukan hanya kepentingan yang berbeda, tetapi juga definisi keberhasilan, standar kualitas, cara mengambil keputusan, dan toleransi risiko yang tidak sepadan. Dalam konteks ini, circular economy bukan sekadar proyek lingkungan, melainkan arena benturan logika sosial.
Lebih jauh, penulis menyoroti kecenderungan untuk menyamakan circular economy dengan sustainability. Penyamaan ini terlihat praktis dan politis, tetapi menyembunyikan persoalan penting. Sustainability bersifat normatif dan lintas generasi, sementara circular economy sering kali dioperasionalkan melalui indikator-indikator teknis yang sempit. Ketika sustainability diperlakukan sebagai “output alami” dari circular economy, maka proses sosial yang kompleks—termasuk konflik nilai dan ketimpangan kepentingan—cenderung direduksi atau diabaikan. Padahal, justru pada titik inilah banyak inisiatif circular economy kehilangan daya transformasinya.
Pendahuluan ini dengan demikian menggeser fokus diskusi dari pertanyaan “bagaimana membuat produk lebih sirkular” menjadi “bagaimana masyarakat yang terfragmentasi secara fungsional dapat bertindak secara kolektif”. Gonser dan Hinske tidak menolak circular economy, tetapi juga tidak meromantisasinya. Mereka mengajukan tesis yang lebih tidak nyaman namun realistis: dalam kerangka teori tertentu, circular economy yang berkelanjutan secara etis dan sistemik dapat dianggap sebagai sesuatu yang secara struktural mustahil. Klaim ini bukan untuk menghentikan diskusi, melainkan untuk memaksa pembacaan ulang terhadap asumsi-asumsi dasar yang selama ini dianggap wajar.
Dengan demikian, Section ini berfungsi sebagai pintu masuk analitis. Ia menegaskan bahwa persoalan circular economy tidak bisa diselesaikan hanya dengan alat manajemen, inovasi teknologi, atau regulasi parsial. Persoalannya terletak lebih dalam, pada cara masyarakat modern diorganisasikan dan bagaimana sistem-sistem sosial tersebut dapat—atau tidak dapat—berkomunikasi satu sama lain. Tanpa pemahaman ini, circular economy berisiko menjadi sekadar slogan normatif yang sulit diwujudkan secara konsisten di lapangan
2. Circular Economy, Sustainability, dan Governance Antar-Sektor: Sebuah Kerangka Konseptual
Untuk memahami mengapa circular economy kerap menghadapi hambatan struktural dalam praktik, perlu terlebih dahulu memperjelas kerangka konseptual yang menopang gagasan ini. Dalam banyak diskursus kebijakan dan bisnis, circular economy sering diperlakukan sebagai konsep teknis—berkaitan dengan daur ulang, desain produk, atau efisiensi material. Namun, paper Gonser dan Hinske menempatkan circular economy dalam ranah yang lebih luas: sebagai proses tata kelola lintas sektor yang sarat dengan implikasi sosial, politik, dan normatif.
Circular economy dalam pengertian ini bukan sekadar model produksi alternatif, melainkan sebuah proyek koordinasi sosial. Ia menuntut perubahan cara berbagai aktor—negara, pasar, masyarakat sipil, dan institusi pengetahuan—berinteraksi dalam keseluruhan siklus hidup produk. Penekanan ini penting karena keberhasilan circular economy tidak hanya ditentukan oleh kecanggihan teknologi atau desain kebijakan, tetapi oleh kemampuan aktor-aktor tersebut untuk menyelaraskan tindakan mereka dalam konteks tujuan bersama.
Di titik inilah konsep sustainability menjadi krusial. Sustainability, sebagaimana dipahami secara normatif, berorientasi pada kepentingan lintas generasi dan kepentingan publik yang melampaui kalkulasi ekonomi jangka pendek. Ketika sustainability ditempatkan sebagai inti dari circular economy, maka lingkup aktor yang relevan otomatis meluas. Tidak cukup hanya melibatkan produsen dan konsumen; aktor politik, administrasi publik, organisasi masyarakat sipil, bahkan komunitas ilmiah, menjadi bagian dari proses pengambilan keputusan. Circular economy dengan demikian bertransformasi dari isu teknis menjadi arena governance intersektoral.
Konsep governance antar-sektor—sering juga disebut collaborative governance—berangkat dari asumsi bahwa persoalan publik yang kompleks tidak dapat diselesaikan oleh satu sektor saja. Dalam pendekatan ini, negara tidak lagi berperan sebagai pengendali tunggal, melainkan sebagai salah satu aktor di antara jaringan aktor lain yang saling bergantung. Dalam konteks circular economy, governance antar-sektor tampak sebagai pendekatan yang masuk akal: tidak ada satu aktor pun yang menguasai seluruh siklus hidup produk, sehingga koordinasi menjadi keniscayaan.
Namun, paper ini secara kritis menunjukkan bahwa asumsi kolaborasi yang “alami” tersebut problematik. Governance antar-sektor sering kali diasumsikan dapat berjalan hanya dengan menciptakan forum dialog, mekanisme partisipasi, atau kerangka kerja kolaboratif. Padahal, keberadaan forum bersama tidak serta-merta menghapus perbedaan logika tindakan yang melekat pada setiap sektor. Pemerintah beroperasi dengan logika legitimasi dan regulasi; bisnis dengan profitabilitas dan efisiensi; akademisi dengan kebenaran dan metodologi; masyarakat sipil dengan nilai keadilan dan keberlanjutan jangka panjang. Perbedaan ini bukan sekadar variasi kepentingan, melainkan perbedaan cara mendefinisikan realitas.
Di sinilah teori functional differentiation menjadi kunci analisis. Dalam masyarakat modern, pembagian kerja sosial berkembang bukan hanya secara organisatoris, tetapi secara fungsional. Setiap sistem sosial mengembangkan kode internalnya sendiri untuk menentukan apa yang relevan dan apa yang tidak. Akibatnya, komunikasi lintas sistem tidak berlangsung secara simetris. Argumen etis tentang keberlanjutan lingkungan, misalnya, tidak otomatis “terbaca” dalam sistem ekonomi kecuali diterjemahkan ke dalam kategori biaya, risiko, atau peluang pasar.
Implikasi dari kondisi ini sangat signifikan bagi circular economy. Ketika sustainability diposisikan sebagai tujuan bersama, terdapat kecenderungan untuk mengasumsikan bahwa nilai tersebut dapat menjadi landasan normatif yang menyatukan. Namun, dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional, nilai moral tidak berfungsi sebagai bahasa universal. Sebaliknya, setiap sistem hanya merespons isu keberlanjutan sejauh isu tersebut dapat diartikulasikan dalam logika internalnya. Inilah sebabnya mengapa banyak inisiatif circular economy berujung pada kompromi teknokratis yang dangkal, alih-alih transformasi sistemik.
Dengan demikian circular economy tidak dapat dipahami hanya sebagai persoalan desain kebijakan atau inovasi model bisnis. Ia adalah tantangan konseptual dan institusional yang berakar pada cara masyarakat modern mengorganisasikan dirinya. Governance antar-sektor bukanlah solusi otomatis, melainkan medan konflik logika yang perlu dianalisis secara realistis. Tanpa pemahaman ini, circular economy berisiko terus direproduksi sebagai narasi normatif yang sulit diwujudkan dalam praktik yang konsisten dan berkelanjutan
3. Functional Differentiation dan Klaim “Impossibility”: Mengapa Circular Economy Sulit Diselaraskan
Setelah circular economy dipahami sebagai proyek governance antar-sektor, pertanyaan kuncinya bergeser dari bagaimana mengoordinasikan aktor menjadi apakah koordinasi tersebut secara struktural mungkin. Di titik inilah Gonser dan Hinske mengajukan argumen paling radikal dalam paper mereka: bahwa circular economy yang berorientasi pada sustainability menghadapi batas struktural yang bersumber dari functional differentiation masyarakat modern.
Functional differentiation merujuk pada cara masyarakat modern mengorganisasikan dirinya melalui sistem-sistem sosial yang otonom dan terspesialisasi. Sistem ekonomi, politik, hukum, sains, dan masyarakat sipil tidak hanya berbeda aktor, tetapi berbeda logika komunikasi, kriteria keberhasilan, dan kode nilai. Dalam perspektif ini, masyarakat tidak dipersatukan oleh satu tujuan bersama, melainkan oleh koeksistensi berbagai sistem yang saling bergantung namun tidak sepenuhnya saling memahami.
Implikasi teoretisnya sangat signifikan. Circular economy—terutama ketika dikaitkan dengan sustainability—mengandaikan adanya komunikasi lintas sistem yang bersifat normatif dan proaktif. Ia mengasumsikan bahwa aktor ekonomi dapat menyesuaikan diri atas dasar pertimbangan etis, bahwa sistem politik dapat menginternalisasi pengetahuan ilmiah secara utuh, dan bahwa kepentingan publik dapat diterjemahkan secara konsisten ke dalam keputusan pasar. Namun, dalam kerangka functional differentiation, asumsi ini tidak berdiri di atas fondasi yang kokoh.
Setiap sistem sosial hanya dapat memproses informasi yang relevan menurut logikanya sendiri. Sistem ekonomi, misalnya, tidak “menolak” sustainability karena tidak bermoral, tetapi karena sustainability sebagai nilai normatif tidak secara otomatis kompatibel dengan kode profit–loss. Demikian pula, sistem politik merespons isu circular economy bukan berdasarkan kebenaran ilmiah semata, melainkan melalui pertimbangan legitimasi, kekuasaan, dan stabilitas. Akibatnya, komunikasi lintas sistem tidak pernah berlangsung secara netral atau setara.
Di sinilah klaim impossibility muncul. Gonser dan Hinske tidak mengatakan bahwa circular economy mustahil secara praktis, melainkan bahwa komunikasi etis yang selaras lintas sistem—sebagaimana sering diasumsikan dalam diskursus sustainability—tidak dapat terjadi secara langsung. Moralitas, dalam perspektif functional differentiation, bukanlah medium komunikasi universal. Ia tidak mampu menjembatani sistem-sistem yang beroperasi dengan kode internal yang tertutup.
Konsekuensinya, banyak upaya circular economy yang bersifat kolaboratif justru menghadapi friksi yang sulit diidentifikasi secara eksplisit. Ketika aktor-aktor dari sektor berbeda duduk dalam satu forum, mereka sering kali menggunakan istilah yang sama—seperti “keberlanjutan”, “nilai”, atau “tanggung jawab”—namun dengan makna yang berbeda. Ketidaksinkronan ini tidak selalu terlihat sebagai konflik terbuka, tetapi muncul sebagai ketidakselarasan keputusan, keterlambatan implementasi, atau pengenceran tujuan awal.
Lebih jauh, paper ini menyoroti bahwa banyak metodologi perencanaan dan manajemen yang digunakan dalam proyek circular economy justru memperparah masalah. Metodologi tersebut sering dikembangkan dalam konteks satu sistem tertentu—misalnya logika bisnis atau administrasi publik—dan kemudian diterapkan seolah-olah bersifat netral lintas sektor. Akibatnya, perspektif sistem lain menjadi “tidak terlihat”, bukan karena tidak relevan, tetapi karena tidak kompatibel dengan kerangka analisis yang digunakan.
Dalam konteks ini, circular economy menghadapi paradoks ganda. Di satu sisi, ia menuntut kolaborasi lintas sektor untuk mencapai sustainability. Di sisi lain, struktur masyarakat modern justru membatasi kemungkinan kolaborasi tersebut pada level nilai dan tujuan bersama. Yang tersisa hanyalah koordinasi parsial, berbasis terjemahan kepentingan sempit atau paksaan institusional, bukan kesepahaman normatif yang sering diasumsikan.
Section ini dengan demikian memperjelas bahwa problem circular economy bukan sekadar soal implementation gap, melainkan ketegangan struktural antara tuntutan normatif sustainability dan realitas komunikasi sosial modern. Klaim impossibility yang diajukan bukan untuk menutup diskusi, melainkan untuk membongkar asumsi optimistik yang selama ini mendasari banyak kebijakan dan strategi circular economy. Tanpa pengakuan atas batas-batas ini, upaya circular economy berisiko terus terjebak dalam siklus ekspektasi tinggi dan hasil yang terbatas
4. Melampaui “Impossibility”: Pendekatan Alternatif dalam Koordinasi Circular Economy
Klaim bahwa circular economy menghadapi kemustahilan struktural dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional berpotensi dibaca sebagai jalan buntu. Namun, Gonser dan Hinske secara eksplisit menolak interpretasi tersebut. Alih-alih menghentikan diskursus, mereka menggunakan konsep impossibility sebagai alat analitis untuk mengevaluasi pendekatan-pendekatan koordinasi yang lebih adaptif, bukan normatif. Dengan kata lain, pertanyaannya bukan lagi apakah circular economy dapat diwujudkan secara “ideal”, melainkan dalam kondisi apa dan melalui mekanisme apa keterbatasan struktural tersebut dapat dikelola.
Untuk itu, penulis memperkenalkan sejumlah perspektif teoretis yang melengkapi pendekatan functional differentiation. Perspektif-perspektif ini tidak menyangkal fragmentasi sistem sosial, tetapi berusaha bekerja di dalam batas-batasnya.
Pendekatan pertama yang dibahas adalah institutional economics. Dalam kerangka ini, kolaborasi antar-sektor dianalisis melalui pembagian biaya dan manfaat antara aktor individual dan kepentingan kolektif. Circular economy, jika diposisikan sebagai penyedia public good—misalnya pengurangan tekanan ekologis atau stabilitas jangka panjang—harus mampu memberikan insentif yang dapat dikenali oleh masing-masing aktor sesuai logika sistemnya. Artinya, keberlanjutan tidak dipaksakan sebagai nilai moral universal, melainkan diterjemahkan menjadi skema kompensasi, pembagian risiko, atau pengaturan institusional yang menciptakan situasi win–win.
Pendekatan ini secara implisit mengakui keterbatasan komunikasi lintas sistem. Sistem ekonomi tidak diharapkan berubah karena alasan etis semata, tetapi karena perubahan institusional mengubah struktur insentifnya. Namun, pendekatan ini juga memiliki batas. Ia bergantung pada tingkat interdependensi aktor, kemampuan desain institusional, serta kesediaan politik untuk melakukan redistribusi biaya dan manfaat. Tanpa kondisi tersebut, koordinasi berisiko tetap timpang dan tidak berkelanjutan.
Pendekatan kedua bertumpu pada deliberative processes, yang berakar pada teori komunikasi dan demokrasi deliberatif. Di sini, fokus berpindah dari struktur insentif ke kualitas proses interaksi. Circular economy dipahami sebagai arena di mana aktor-aktor dari sistem berbeda perlu membangun ruang diskursif bersama—sering disebut sebagai third space—yang memungkinkan pertukaran argumen secara setara. Dalam ruang ini, klaim kebenaran, kepentingan, dan nilai dinegosiasikan melalui dialog yang transparan.
Pendekatan deliberatif menawarkan harapan normatif yang lebih besar, tetapi sekaligus paling rentan. Keberhasilannya sangat bergantung pada kapasitas aktor untuk membangun kepercayaan, menangguhkan logika sektoralnya sementara, dan menerima argumen terbaik terlepas dari sumber kekuasaan. Dalam praktik circular economy yang melibatkan rantai pasok global, asimetri kekuasaan, perbedaan budaya, dan keterbatasan waktu sering kali membuat kondisi deliberatif ideal sulit dicapai secara konsisten.
Pendekatan ketiga yang dibahas bersifat culturalistic, dan dalam banyak hal paling berbeda dari dua pendekatan sebelumnya. Di sini, koordinasi tidak dimulai dari institusi atau proses formal, melainkan dari makna, identitas, dan tujuan hidup aktor individual. Circular economy dipahami sebagai bagian dari pencarian akan “kehidupan yang baik”, bukan sekadar sebagai kebijakan lingkungan atau strategi bisnis. Dengan mengaitkan tindakan kolektif pada identitas dan makna personal, pendekatan ini berupaya menjembatani jurang antara sistem sosial melalui motivasi intrinsik.
Pendekatan kultural ini relevan dalam konteks organisasi baru, kepemimpinan transformatif, dan kerja lintas sektor yang lebih cair. Namun, ia juga menghadapi keterbatasan skalabilitas. Apa yang berhasil pada tingkat komunitas atau organisasi tertentu belum tentu dapat direplikasi dalam skala industri atau kebijakan nasional.
Melalui ketiga pendekatan ini, Gonser dan Hinske menunjukkan bahwa impossibility bukanlah akhir dari circular economy, melainkan peringatan epistemologis. Circular economy tidak dapat diwujudkan melalui satu lensa atau satu metodologi tunggal. Setiap pendekatan membuka kemungkinan tertentu sekaligus menutup kemungkinan lain. Kesalahan umum dalam praktik adalah memperlakukan satu pendekatan seolah-olah cukup untuk menjawab seluruh kompleksitas koordinasi lintas sektor.
Section ini memperkuat argumen bahwa tantangan utama circular economy bukan terletak pada kurangnya solusi, melainkan pada kecenderungan untuk menyederhanakan masalah yang secara inheren kompleks. Mengelola keterbatasan struktural membutuhkan kesadaran teoretis, desain institusional yang cermat, kualitas proses yang tinggi, dan pemahaman mendalam tentang makna serta motivasi aktor. Tanpa kombinasi tersebut, circular economy akan terus berada dalam ketegangan antara ambisi normatif dan realitas sosial yang membatasi
5. Implikasi Metodologis dan Strategis: Mengelola Kompleksitas dalam Circular Economy
Setelah membedah keterbatasan struktural circular economy dan mengeksplorasi pendekatan alternatif untuk mengelola koordinasi lintas sektor, Gonser dan Hinske mengajukan satu langkah lanjutan yang krusial: apa implikasi konkret dari analisis ini bagi strategi dan metodologi yang digunakan dalam praktik circular economy? Alih-alih menawarkan satu metode baru yang bersifat universal, mereka mengidentifikasi sejumlah dimensi kunci yang seharusnya menjadi perhatian utama dalam perancangan kebijakan, strategi organisasi, dan proses kolaboratif.
Dimensi pertama adalah kompleksitas sistemik. Circular economy, terutama ketika dipahami sebagai proyek lintas sektor, beroperasi dalam sistem yang tidak linier, penuh ketidakpastian, dan sarat umpan balik. Kompleksitas ini bukan sekadar banyaknya aktor yang terlibat, melainkan keterkaitan dinamis antara keputusan, dampak, dan konteks yang terus berubah. Dalam kondisi seperti ini, pendekatan manajerial yang mengandalkan perencanaan linier, target statis, dan indikator tunggal menjadi tidak memadai. Metodologi yang relevan justru harus mampu menangkap interaksi antarelemen sistem, mengenali ketergantungan jalur (path dependency), serta mengantisipasi perubahan rezim yang tidak terduga.
Implikasi strategisnya jelas: circular economy membutuhkan cara berpikir yang melampaui optimasi lokal. Fokus sempit pada efisiensi material atau penutupan siklus produk tertentu dapat menghasilkan keberhasilan parsial, tetapi gagal menangkap dampak sistemik yang lebih luas. Tanpa kerangka yang sensitif terhadap kompleksitas, intervensi circular economy berisiko menciptakan efek samping yang justru melemahkan tujuan keberlanjutan jangka panjang.
Dimensi kedua berkaitan dengan biaya dan manfaat individual versus kolektif. Seperti ditunjukkan melalui perspektif institutional economics, salah satu cara mengelola fragmentasi sistem sosial adalah dengan memisahkan analisis pada tingkat aktor individual dan tingkat kepentingan publik. Circular economy sering kali menjanjikan manfaat kolektif—seperti pengurangan tekanan ekologis atau peningkatan ketahanan sistem—tetapi menuntut biaya jangka pendek dari aktor tertentu. Ketidakseimbangan ini, jika tidak ditangani secara eksplisit, menjadi sumber resistensi yang berulang.
Oleh karena itu, metodologi yang digunakan harus mampu memetakan siapa menanggung biaya, siapa menikmati manfaat, dan pada horizon waktu yang mana. Strategi circular economy yang mengabaikan dimensi distribusional ini cenderung rapuh secara politik dan sosial. Sebaliknya, desain institusional yang mampu mengoreksi ketimpangan—melalui insentif, kompensasi, atau mekanisme pembagian risiko—lebih berpeluang menciptakan kolaborasi yang stabil.
Dimensi ketiga adalah kualitas proses. Dalam banyak praktik circular economy, perhatian sering terpusat pada hasil akhir: target daur ulang, tingkat efisiensi, atau pengurangan emisi. Paper ini mengingatkan bahwa dalam konteks lintas sektor, kualitas proses justru menentukan legitimasi dan keberlanjutan hasil tersebut. Proses yang transparan, inklusif, dan berbasis pengetahuan bersama memungkinkan aktor dengan logika berbeda untuk setidaknya mencapai pemahaman operasional, meskipun tidak sepenuhnya berbagi nilai yang sama.
Kualitas proses juga berfungsi sebagai mekanisme pengurang konflik. Ketika asumsi, data, dan kepentingan diartikulasikan secara terbuka, potensi miskomunikasi antar-sistem dapat dikelola lebih awal. Sebaliknya, proses yang didominasi oleh satu logika sektoral—misalnya logika bisnis atau administrasi—cenderung menyingkirkan perspektif lain dan memperkuat ketegangan laten.
Dimensi keempat, dan sering kali paling diabaikan, adalah makna dan tujuan. Pendekatan kulturalistik yang dibahas sebelumnya menemukan relevansinya di sini. Circular economy tidak hanya dijalankan oleh organisasi, tetapi oleh individu yang membawa identitas, nilai, dan pemahaman tentang “kehidupan yang baik”. Metodologi yang sepenuhnya teknokratis cenderung gagal memobilisasi komitmen jangka panjang, karena tidak menyentuh dimensi motivasi intrinsik aktor.
Secara strategis, ini berarti bahwa circular economy perlu diposisikan bukan hanya sebagai kewajiban regulatif atau peluang pasar, tetapi sebagai bagian dari narasi yang lebih luas tentang arah pembangunan dan makna tindakan kolektif. Tanpa dimensi ini, circular economy berisiko direduksi menjadi serangkaian proyek terpisah yang kehilangan kohesi normatifnya.
Keempat dimensi tersebut menunjukkan bahwa tantangan circular economy tidak dapat diatasi melalui satu alat atau satu kerangka kerja tunggal. Yang dibutuhkan adalah arsitektur metodologis yang reflektif, mampu menyesuaikan diri dengan konteks, dan sadar akan batas-batas struktural koordinasi lintas sektor. Dalam konteks ini, keberhasilan circular economy lebih bergantung pada kecerdasan dalam mengelola kompleksitas sosial daripada pada kesempurnaan solusi teknis semata
6. Circular Economy Arus Utama dan Blind Spot Konseptual: Sebuah Perbandingan Kritis
Setelah membangun argumen mengenai keterbatasan struktural circular economy dan implikasi metodologisnya, penting untuk menempatkan pendekatan Gonser dan Hinske dalam lanskap literatur yang lebih luas. Hal ini tidak hanya memperjelas kontribusi paper, tetapi juga mengungkap blind spot yang masih mendominasi diskursus circular economy arus utama.
Sebagian besar literatur circular economy kontemporer berangkat dari asumsi teknokratis. Fokusnya terletak pada desain produk, efisiensi material, inovasi rantai pasok, dan pengembangan indikator kinerja. Pendekatan ini terlihat jelas dalam banyak kerangka kerja kebijakan dan panduan praktis yang diproduksi oleh lembaga internasional maupun konsultan industri. Circular economy diposisikan sebagai masalah optimasi: bagaimana “menutup loop” dengan biaya serendah mungkin dan dampak ekonomi setinggi mungkin.
Pendekatan tersebut memiliki nilai praktis yang tidak dapat disangkal. Ia menawarkan bahasa yang mudah diterjemahkan ke dalam strategi bisnis dan kebijakan publik. Namun, di sinilah blind spot utama muncul. Dengan menempatkan circular economy sebagai persoalan teknis, literatur arus utama cenderung mengabaikan dinamika sosial dan institusional yang justru menentukan keberhasilan implementasi. Konflik kepentingan, perbedaan logika sektoral, dan ketimpangan kekuasaan sering kali diperlakukan sebagai hambatan sekunder, bukan sebagai bagian inti dari masalah.
Kontras dengan itu, pendekatan Gonser dan Hinske menolak anggapan bahwa circular economy dapat “diskalakan” hanya dengan memperbanyak best practice. Mereka menunjukkan bahwa kegagalan banyak inisiatif circular economy bukan disebabkan oleh kurangnya komitmen atau teknologi, melainkan oleh asumsi keliru tentang kemampuan sistem sosial untuk berkomunikasi secara normatif lintas sektor. Dalam literatur arus utama, kolaborasi sering dipresentasikan sebagai solusi, sementara dalam paper ini kolaborasi justru diperlakukan sebagai objek analisis yang problematik.
Blind spot kedua berkaitan dengan penyamaan circular economy dan sustainability. Banyak publikasi dan dokumen kebijakan menggunakan kedua istilah tersebut secara bergantian, seolah-olah circular economy secara otomatis menghasilkan keberlanjutan. Pendekatan ini memudahkan komunikasi, tetapi menyederhanakan realitas. Gonser dan Hinske memperlihatkan bahwa sustainability adalah konsep normatif lintas generasi yang menuntut koordinasi nilai, sementara circular economy sering dioperasionalkan melalui indikator sempit yang tidak menangkap dimensi etis dan sosial secara memadai.
Literatur arus utama juga cenderung optimistik terhadap governance antar-sektor. Forum multipihak, kemitraan publik–swasta, dan ko-kreasi dipromosikan sebagai mekanisme yang secara inheren positif. Paper ini, sebaliknya, memperingatkan bahwa tanpa pemahaman tentang functional differentiation, governance antar-sektor berisiko menjadi ritual partisipatif yang menghasilkan konsensus semu. Kesepakatan yang dicapai sering kali bersifat dangkal karena dibangun di atas istilah yang sama tetapi makna yang berbeda.
Perbandingan ini menempatkan kontribusi Gonser dan Hinske pada posisi yang tidak populer namun penting. Mereka tidak menawarkan solusi cepat atau model replikasi, melainkan kritik struktural terhadap fondasi konseptual circular economy itu sendiri. Dalam konteks literatur yang didominasi oleh optimisme solusionis, pendekatan ini berfungsi sebagai koreksi yang diperlukan. Ia mengingatkan bahwa keberlanjutan bukan hanya soal doing things better, tetapi juga soal understanding what cannot be easily aligned.
Section ini memperkuat nilai tambah artikel dengan menunjukkan bahwa diskursus circular economy saat ini masih timpang. Fokus berlebihan pada aspek teknis dan manajerial telah menghasilkan kemajuan parsial, tetapi juga menciptakan ilusi bahwa tantangan utama telah dipahami. Dengan membawa teori sosial ke pusat analisis, paper ini membuka ruang refleksi yang lebih jujur tentang batas-batas transformasi yang dapat dicapai dalam kerangka masyarakat modern yang terdiferensiasi secara fungsional
7. Keterbatasan dan Kritik Balik: Sejauh Mana “Impossibility” Berlaku?
Meskipun argumen Gonser dan Hinske menawarkan kontribusi konseptual yang kuat, klaim mengenai impossibility circular economy dalam masyarakat yang terdiferensiasi secara fungsional tidak lepas dari keterbatasan dan ruang kritik. Mengangkat keterbatasan ini penting bukan untuk melemahkan argumen utama, melainkan untuk menempatkannya secara proporsional dalam diskursus yang lebih luas tentang transformasi keberlanjutan.
Keterbatasan pertama terletak pada tingkat abstraksi analisis. Functional differentiation sebagai kerangka teoretis bekerja sangat efektif untuk menjelaskan pola komunikasi dan batas-batas koordinasi pada level makro masyarakat modern. Namun, pada level ini pula, teori cenderung kurang sensitif terhadap variasi empiris. Dalam praktik, tidak semua konteks sosial menunjukkan tingkat fragmentasi yang sama. Negara dengan tradisi koordinasi korporatis, sistem kesejahteraan yang kuat, atau budaya deliberatif tertentu sering kali menunjukkan kemampuan lintas sektor yang lebih adaptif dibandingkan gambaran ideal-typical yang disajikan teori.
Dengan kata lain, impossibility yang diidentifikasi lebih tepat dipahami sebagai batas struktural ideal, bukan sebagai vonis universal terhadap semua bentuk circular economy. Dalam konteks tertentu, terutama ketika terdapat institusi perantara yang kuat atau sejarah kolaborasi lintas sektor yang mapan, sebagian ketegangan antar logika dapat dikelola secara pragmatis, meskipun tidak pernah sepenuhnya dihapuskan.
Kritik kedua berkaitan dengan risiko determinisme struktural. Dengan menekankan otonomi sistem sosial dan keterbatasan komunikasi normatif, terdapat potensi untuk meremehkan kapasitas aktor—baik individu maupun organisasi—dalam melakukan pembelajaran lintas sektor. Padahal, sejarah kebijakan publik dan inovasi sosial menunjukkan bahwa perubahan sering kali muncul dari praktik eksperimental yang justru melanggar batas-batas logika sektoral yang mapan. Walaupun perubahan tersebut jarang bersifat linier atau stabil, ia menunjukkan bahwa struktur sosial tidak sepenuhnya tertutup terhadap refleksi dan adaptasi.
Keterbatasan ketiga menyangkut peran kekuasaan dan konflik. Paper ini lebih menekankan perbedaan logika sistem daripada relasi kekuasaan antar aktor. Dalam praktik circular economy, kegagalan koordinasi tidak hanya disebabkan oleh miskomunikasi lintas sistem, tetapi juga oleh ketimpangan sumber daya, posisi tawar, dan kepentingan ekonomi-politik yang tidak seimbang. Dengan demikian, sebagian hambatan yang tampak sebagai masalah komunikasi sebenarnya merupakan hasil dari konflik kepentingan yang disengaja, bukan sekadar konsekuensi struktural dari functional differentiation.
Selain itu, pendekatan paper ini relatif berhati-hati dalam menilai peran regulasi koersif. Dalam beberapa kasus, perubahan signifikan menuju praktik yang lebih sirkular justru terjadi melalui intervensi regulatif yang kuat, bukan melalui keselarasan normatif atau deliberasi. Hal ini menunjukkan bahwa impossibility komunikasi etis lintas sistem tidak selalu menghalangi perubahan, tetapi sering kali menggeser cara perubahan tersebut dipaksakan atau dinegosiasikan.
Meski demikian, kritik-kritik ini tidak meniadakan nilai argumen utama. Justru sebaliknya, mereka memperjelas posisi impossibility sebagai alat refleksi, bukan sebagai kesimpulan final. Dengan menyadari keterbatasan struktural, praktisi dan pembuat kebijakan dapat menghindari ekspektasi berlebihan terhadap kolaborasi lintas sektor dan lebih realistis dalam merancang intervensi. Circular economy, dalam pembacaan ini, bukan proyek harmonisasi nilai, melainkan proses pengelolaan ketegangan yang terus-menerus.
Section ini memperkaya artikel dengan menunjukkan bahwa kontribusi Gonser dan Hinske terletak pada kemampuannya untuk mengganggu optimisme yang tidak kritis, tanpa jatuh ke dalam pesimisme absolut. Impossibility bukan akhir dari tindakan, tetapi pengingat bahwa transformasi keberlanjutan selalu berlangsung dalam kondisi sosial yang tidak ideal dan penuh kompromi
8. Kesimpulan: Circular Economy sebagai Proyek Pengelolaan Ketegangan, Bukan Harmoni
Artikel ini berangkat dari satu pertanyaan mendasar yang jarang diajukan secara eksplisit dalam diskursus circular economy: apakah transformasi menuju ekonomi sirkular yang berkelanjutan memang selaras dengan cara masyarakat modern diorganisasikan? Melalui pembacaan kritis terhadap argumen Gonser dan Hinske, jelas bahwa tantangan circular economy tidak berhenti pada persoalan teknis, insentif ekonomi, atau desain kebijakan. Tantangan utamanya bersifat struktural, berakar pada fragmentasi fungsional masyarakat modern yang membatasi kemungkinan koordinasi normatif lintas sektor.
Dengan memosisikan circular economy sebagai proyek governance antar-sektor, artikel ini menunjukkan bahwa kolaborasi bukanlah kondisi alami, melainkan arena ketegangan antar logika sosial yang berbeda. Sistem ekonomi, politik, hukum, sains, dan masyarakat sipil tidak hanya membawa kepentingan yang beragam, tetapi juga cara memahami realitas yang tidak sepenuhnya kompatibel. Dalam konteks ini, klaim impossibility tidak dimaksudkan sebagai penolakan terhadap circular economy, melainkan sebagai kritik terhadap asumsi optimistik bahwa keselarasan nilai dan tujuan dapat dicapai secara langsung melalui kolaborasi.
Analisis ini juga memperjelas bahwa penyamaan circular economy dengan sustainability merupakan penyederhanaan yang berisiko. Sustainability adalah konsep normatif lintas generasi yang menuntut koordinasi nilai dan tanggung jawab kolektif, sementara circular economy sering dioperasionalkan melalui indikator teknis yang sempit. Ketika circular economy diperlakukan sebagai substitusi sustainability, perhatian terhadap dimensi sosial, etis, dan institusional cenderung melemah. Akibatnya, banyak inisiatif circular economy menghasilkan perbaikan parsial tanpa transformasi sistemik.
Namun demikian, artikel ini juga menolak kesimpulan fatalistik. Dengan menelaah pendekatan alternatif—mulai dari institutional economics, proses deliberatif, hingga perspektif kultural—terlihat bahwa keterbatasan struktural tidak berarti stagnasi. Yang berubah adalah cara memahami keberhasilan. Circular economy yang realistis bukanlah proyek harmonisasi nilai lintas sektor, melainkan proses pengelolaan ketegangan yang terus-menerus, melalui desain institusional yang adaptif, proses yang berkualitas, dan narasi tujuan yang bermakna bagi aktor yang terlibat.
Kontribusi utama paper Gonser dan Hinske, dan juga artikel ini, terletak pada pergeseran fokus dari solusi ke pemahaman batas. Dalam lanskap literatur circular economy yang didominasi oleh optimisme teknokratis, pendekatan ini berfungsi sebagai koreksi yang penting. Ia mengingatkan bahwa kegagalan implementasi sering kali bukan akibat kurangnya komitmen atau teknologi, melainkan akibat asumsi keliru tentang bagaimana masyarakat modern dapat bertindak secara kolektif.
Bagi pembuat kebijakan, praktisi industri, dan peneliti, implikasinya jelas. Circular economy tidak dapat diperlakukan sebagai paket kebijakan siap pakai atau model bisnis universal. Ia menuntut kepekaan terhadap konteks sosial, kesadaran akan konflik logika sektoral, dan kesiapan untuk bekerja dalam ketidakpastian. Keberlanjutan, dalam kerangka ini, bukan tujuan yang dicapai melalui konsensus penuh, melainkan melalui kompromi yang disadari dan dikelola secara reflektif.
Dengan demikian, circular economy tidak gagal karena terlalu ambisius, tetapi karena sering kali dipahami terlalu sederhana. Mengakui batas-batas struktural bukan berarti menyerah, melainkan langkah awal menuju praktik keberlanjutan yang lebih jujur, dewasa, dan berdaya tahan dalam menghadapi kompleksitas dunia nyata.
Daftar Pustaka
Anderson, L., Gold, J., Stewart, J., & Thorpe, R. (2015). Concepts and theory building. London: SAGE.
Ansell, C., & Gash, A. (2007). Collaborative governance in theory and practice. Journal of Public Administration Research and Theory, 18(4), 543–571.
Brundtland, G. et al. (1987). Our common future. New York: United Nations.
Buttkereit, S. (2009). Intersectoral alliances: An institutional economics perspective. Berlin: WVB.
Emerson, K., & Nabatchi, T. (2015). Collaborative governance regimes. Washington, D.C.: Georgetown University Press.
Geissdoerfer, M., Savaget, P., Bocken, N. M. P., & Hultink, E. (2017). The circular economy – A new sustainability paradigm? Journal of Cleaner Production, 143, 757–768.
Gonser, M., & Hinske, C. (2022). Circular economy, sustainability and functional differentiation: An impossibility and its strategic-methodological implications. Dalam The Impossibilities of the Circular Economy. London: Routledge.
Habermas, J. (1981). Theorie des kommunikativen Handelns. Frankfurt am Main: Suhrkamp.
Luhmann, N. (1984). Die Wirtschaft der Gesellschaft als autopoietisches System. Zeitschrift für Soziologie, 13(4), 308–327.
Luhmann, N. (1990). Ökologische Kommunikation. Opladen: Westdeutscher Verlag.
Reckwitz, A. (2001). Die Ethik des Guten und die Soziologie. Dalam Gute Gesellschaft? Zur Konstruktion sozialer Ordnungen. Opladen.
Stahel, W. R. (2019). The circular economy: A user’s guide. London: Routledge.
Webster, K. (2017). The circular economy: A wealth of flows. Isle of Wight: Ellen MacArthur Foundation.