1. Pendahuluan: Antara Mimpi Sirkular dan Realitas Fisik
Ekonomi sirkular sering dipromosikan sebagai jawaban elegan atas krisis lingkungan global: sebuah sistem di mana limbah tidak lagi ada, material terus berputar, dan pertumbuhan ekonomi dapat berlanjut tanpa batas ekologis. Narasi ini terdengar intuitif dan politis menarik, terutama ketika dikemas dalam bahasa desain, inovasi, dan optimisme teknologi. Namun di balik daya tarik tersebut, terdapat pertanyaan mendasar yang jarang dihadapi secara serius: sejauh mana ekonomi sirkular realistis jika ditinjau dari hukum fisika dan batas material dunia nyata?
Artikel ini berangkat dari kritik terhadap apa yang dapat disebut sebagai circularity dreams—yakni kecenderungan untuk memperlakukan ekonomi sirkular bukan sebagai kerangka kerja praktis yang penuh keterbatasan, tetapi sebagai janji sistemik yang hampir tanpa batas. Dalam banyak dokumen kebijakan dan strategi korporasi, prinsip seperti “waste equals food” atau “desain tanpa limbah” sering diperlakukan seolah-olah menggambarkan kondisi nyata, bukan sekadar aturan desain ideal. Di sinilah risiko konseptual mulai muncul.
Dari perspektif fisika, khususnya termodinamika, setiap proses ekonomi selalu melibatkan degradasi energi dan material. Material dengan kualitas tinggi—misalnya logam murni atau energi terpusat—secara alami akan terurai menjadi bentuk yang lebih tersebar dan kurang berguna. Upaya untuk “menutup lingkaran” selalu memerlukan energi tambahan, waktu, dan infrastruktur, yang pada gilirannya menciptakan dampak lingkungan baru. Dengan kata lain, sirkularitas penuh bukan hanya sulit dicapai, tetapi secara prinsipil dibatasi oleh hukum alam.
Kritik ini tidak bertujuan untuk menolak ekonomi sirkular secara keseluruhan. Justru sebaliknya, ia mengingatkan bahwa ekonomi sirkular akan kehilangan relevansinya jika dibangun di atas asumsi yang terlalu optimistis dan ahistoris. Perdebatan mengenai batas fisik pertumbuhan ekonomi, keterbatasan daur ulang, dan ilusi pemisahan total antara pertumbuhan dan konsumsi sumber daya sebenarnya telah berlangsung sejak dekade 1960–1970-an. Namun dalam diskursus kontemporer, perdebatan ini sering dipinggirkan demi narasi solusi cepat dan positif.
Dalam konteks inilah pendahuluan ini memposisikan ekonomi sirkular sebagai alat berpikir, bukan tujuan absolut. Ia berguna untuk mendorong desain yang lebih cerdas, pengurangan pemborosan, dan perpanjangan umur produk. Namun ketika ekonomi sirkular dipromosikan sebagai jalan menuju pertumbuhan hijau tanpa batas, ia berisiko menjadi mitos kebijakan yang justru menunda pembahasan tentang pengurangan konsumsi absolut, perubahan pola produksi, dan keterbatasan ekologis yang tidak dapat dinegosiasikan.
Jika ekonomi sirkular ingin berkontribusi secara serius terhadap keberlanjutan, maka ia harus dibumikan: diakui batasnya, dilepaskan dari klaim berlebihan, dan ditempatkan dalam kerangka transformasi ekonomi yang lebih luas—bukan sebagai mimpi teknokratis, melainkan sebagai pendekatan parsial dalam dunia yang secara fisik terbatas.
2. Mengapa “Waste Equals Food” Bermasalah secara Fisik dan Ekonomi
Salah satu slogan paling populer dalam ekonomi sirkular adalah waste equals food. Gagasan ini menyiratkan bahwa seluruh limbah dapat menjadi input berguna bagi proses lain, sehingga tidak ada residu yang benar-benar terbuang. Sebagai prinsip desain, slogan ini efektif secara komunikatif. Namun ketika diangkat sebagai gambaran sistem ekonomi nyata, ia menyederhanakan persoalan yang secara fisik dan ekonomi jauh lebih kompleks.
Dari sudut pandang fisika, tidak semua limbah setara. Material yang telah melewati beberapa siklus penggunaan mengalami degradasi kualitas. Campuran material, kontaminasi, dan keausan membuat banyak limbah tidak lagi memiliki karakteristik yang sama dengan bahan awalnya. Proses untuk “mengembalikan” limbah tersebut ke bentuk yang berguna memerlukan energi tambahan, teknologi pemisahan, dan infrastruktur yang tidak netral secara lingkungan. Dengan demikian, setiap upaya menjadikan limbah sebagai “makanan” selalu memiliki biaya fisik yang nyata.
Masalah ini diperkuat oleh hukum termodinamika. Proses ekonomi tidak hanya memindahkan material, tetapi juga mengubah energi. Energi berkualitas tinggi—yang dibutuhkan untuk produksi dan daur ulang—akan selalu terdegradasi menjadi panas yang tersebar dan tidak dapat digunakan kembali sepenuhnya. Artinya, bahkan jika material dapat dipulihkan sebagian, sistem tetap bergantung pada aliran energi baru. Dalam konteks ini, sirkularitas material tidak pernah berarti sirkularitas energi.
Secara ekonomi, slogan waste equals food juga mengaburkan persoalan kelayakan. Tidak semua limbah layak diproses ulang dari sisi biaya dan manfaat. Banyak aliran limbah memiliki nilai ekonomi yang rendah, sementara biaya pengumpulan, pemilahan, dan pengolahan tinggi. Ketika kebijakan atau strategi bisnis memaksakan sirkularitas penuh tanpa mempertimbangkan rasio energi dan biaya, hasilnya sering kali kontraproduktif—baik secara ekonomi maupun lingkungan.
Lebih jauh, narasi ini berisiko menciptakan moral hazard kebijakan. Jika limbah selalu dianggap dapat dimanfaatkan kembali, maka tekanan untuk mengurangi produksi limbah sejak awal menjadi melemah. Fokus bergeser dari pencegahan menuju pengelolaan, dari pengurangan konsumsi absolut menuju optimasi teknis pasca-produksi. Dalam jangka panjang, pendekatan ini dapat mempertahankan bahkan memperbesar skala sistem produksi dan konsumsi, dengan dalih bahwa limbah “akan ditangani” secara sirkular.
Kritik terhadap waste equals food bukan berarti menolak pemanfaatan limbah. Yang dipersoalkan adalah klaim implisit bahwa tidak ada batas fisik dan ekonomi dalam proses tersebut. Dalam praktiknya, hanya sebagian kecil limbah yang benar-benar dapat berfungsi sebagai input bernilai tinggi bagi proses lain. Sisanya akan tetap menjadi residu, meskipun dalam jumlah yang lebih kecil atau bentuk yang berbeda.
Oleh karena itu, pendekatan yang lebih realistis adalah memahami ekonomi sirkular sebagai strategi pengurangan kerugian, bukan penghapusan total limbah. Prinsip sirkular paling efektif ketika diterapkan di hulu—melalui desain sederhana, pengurangan kompleksitas material, dan pembatasan volume produksi—bukan ketika dibebankan sepenuhnya pada sistem daur ulang di hilir. Tanpa pengakuan atas batas fisik ini, ekonomi sirkular berisiko berubah dari alat transisi menjadi narasi penenang yang menunda perubahan struktural yang lebih sulit namun esensial.
3. Ilusi Decoupling dan Batas Pertumbuhan Hijau
Salah satu klaim paling sering digunakan untuk membenarkan ekonomi sirkular adalah gagasan decoupling—yakni kemungkinan memisahkan pertumbuhan ekonomi dari penggunaan sumber daya dan dampak lingkungan. Dalam narasi ini, inovasi desain, efisiensi material, dan sirkularitas memungkinkan ekonomi terus tumbuh tanpa meningkatkan tekanan ekologis. Klaim ini terdengar meyakinkan, tetapi menjadi problematis ketika tidak dibedakan antara relative decoupling dan absolute decoupling.
Relative decoupling terjadi ketika penggunaan sumber daya per unit produk menurun, sementara total produksi tetap meningkat. Fenomena ini cukup umum dan sering dijadikan bukti keberhasilan kebijakan efisiensi. Namun secara ekologis, yang menentukan tekanan lingkungan adalah total skala aktivitas, bukan intensitas per unit. Ketika efisiensi meningkatkan daya saing dan menurunkan biaya, konsumsi total sering justru meningkat—sebuah mekanisme yang dikenal sebagai rebound effect.
Sebaliknya, absolute decoupling menuntut agar total penggunaan sumber daya dan dampak lingkungan menurun secara konsisten, meskipun ekonomi tumbuh. Di sinilah klaim ekonomi sirkular menjadi rapuh. Secara empiris dan fisik, sangat sedikit bukti bahwa absolute decoupling dapat dicapai dalam skala besar dan jangka panjang, terutama untuk material dan energi yang tidak terbarukan.
Ekonomi sirkular sering ditempatkan sebagai solusi teknis untuk menjembatani kontradiksi ini. Namun tanpa pembatasan skala produksi dan konsumsi, sirkularitas hanya memperlambat laju kerusakan, bukan membalikkannya. Material yang diputar kembali tetap mengalami kehilangan kualitas, dan sistem tetap membutuhkan input energi serta material baru. Dalam konteks ini, pertumbuhan hijau berbasis sirkularitas penuh berisiko menjadi ilusi kebijakan.
Masalah lain muncul ketika decoupling digunakan sebagai pembenaran politik untuk menghindari diskusi tentang pengurangan konsumsi absolut. Dengan mengandalkan janji teknologi dan desain sirkular, kebijakan dapat menunda keputusan sulit terkait batas produksi, pola konsumsi berlebihan, dan distribusi ekonomi. Ekonomi sirkular lalu berfungsi bukan sebagai alat transformasi, tetapi sebagai narasi legitimasi status quo.
Pendekatan yang lebih jujur adalah mengakui bahwa ekonomi sirkular memiliki kapasitas terbatas dalam mendukung pertumbuhan tanpa batas. Ia sangat efektif untuk meningkatkan efisiensi, mengurangi pemborosan, dan memperpanjang umur produk. Namun ia tidak dapat menggantikan kebutuhan akan strategi pengurangan skala di sektor-sektor tertentu, terutama yang intensif material dan energi.
Dengan demikian, peran ekonomi sirkular seharusnya ditempatkan secara proporsional: sebagai komponen penting dalam strategi transisi, bukan sebagai jaminan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat dilepaskan sepenuhnya dari batas ekologis. Tanpa pengakuan ini, diskursus sirkular berisiko kehilangan ketajaman analitis dan berubah menjadi janji teknokratis yang tidak pernah sepenuhnya terpenuhi.
4. Implikasi Kebijakan: Kapan Ekonomi Sirkular Membantu, Kapan Justru Menyesatkan
Jika ekonomi sirkular dipahami sebagai solusi universal, kebijakan publik berisiko terjebak pada optimisme berlebihan. Oleh karena itu, pertanyaan kunci bagi perumus kebijakan bukanlah apakah ekonomi sirkular “baik atau buruk”, melainkan dalam kondisi apa ia efektif, dan di mana batas kegunaannya. Tanpa pembedaan ini, ekonomi sirkular dapat menghasilkan kebijakan yang secara politis nyaman tetapi secara ekologis lemah.
Ekonomi sirkular paling membantu ketika diarahkan pada pengurangan pemborosan struktural. Intervensi di hulu—seperti penyederhanaan desain, pengurangan variasi material, dan perpanjangan umur produk—memberikan manfaat nyata karena langsung menekan kebutuhan produksi baru. Dalam konteks kebijakan, ini berarti fokus pada standar desain, hak untuk memperbaiki, dan pengadaan publik berbasis biaya siklus hidup, bukan sekadar target daur ulang.
Sebaliknya, ekonomi sirkular menjadi menyesatkan ketika digunakan untuk membenarkan ekspansi produksi tanpa batas. Target sirkularitas yang tinggi, tetapi dilepaskan dari pengendalian volume, menciptakan ilusi kemajuan. Sistem terlihat “lebih efisien”, sementara total aliran material dan energi tetap meningkat. Dalam situasi ini, kebijakan sirkular justru berfungsi sebagai tameng retoris bagi model pertumbuhan yang tidak berubah.
Risiko lain muncul ketika kebijakan terlalu menekankan solusi teknis hilir. Investasi besar pada fasilitas daur ulang dapat menciptakan ketergantungan institusional terhadap aliran limbah yang stabil. Akibatnya, pencegahan limbah dan pengurangan produksi menjadi bertentangan dengan kepentingan ekonomi infrastruktur tersebut. Paradoks ini menunjukkan bahwa kebijakan sirkular perlu dirancang dengan kesadaran terhadap insentif jangka panjang yang diciptakannya.
Implikasi penting lainnya adalah perlunya integrasi ekonomi sirkular dengan kebijakan permintaan. Selama konsumsi absolut tidak disentuh, sirkularitas hanya bekerja di sisi penawaran. Instrumen seperti pembatasan iklan produk sekali pakai, standar umur pakai minimum, atau pengenaan pajak berbasis material dapat melengkapi pendekatan sirkular dengan sinyal pengendalian skala.
Dengan demikian, ekonomi sirkular seharusnya diposisikan sebagai alat selektif, bukan paradigma tunggal. Ia efektif ketika digunakan untuk mengurangi inefisiensi dan pemborosan, tetapi menyesatkan ketika dijadikan alasan untuk menghindari pembahasan tentang batas pertumbuhan dan kebutuhan akan pengurangan konsumsi di sektor tertentu. Kebijakan yang matang adalah kebijakan yang mampu menempatkan ekonomi sirkular dalam kerangka transformasi yang lebih luas, jujur terhadap batas fisik, dan berani menghadapi implikasi politiknya.
5. Penutup Reflektif: Membumikan Ekonomi Sirkular dalam Dunia yang Terbatas
Rangkaian pembahasan ini menunjukkan bahwa ekonomi sirkular bukanlah konsep yang keliru, tetapi konsep yang sering diperlakukan secara berlebihan. Ketika dipahami sebagai alat untuk mengurangi pemborosan, meningkatkan efisiensi, dan memperpanjang umur produk, ekonomi sirkular memiliki nilai strategis yang nyata. Namun ketika ia dipromosikan sebagai solusi yang memungkinkan pertumbuhan ekonomi tanpa batas dalam dunia yang secara fisik terbatas, ia berubah menjadi narasi problematis.
Kritik terhadap mimpi sirkular, slogan waste equals food, dan klaim decoupling bukanlah seruan untuk kembali ke pesimisme ekologis, melainkan ajakan untuk bersikap jujur terhadap batas. Kejujuran ini penting agar kebijakan tidak terjebak pada solusi semu yang menenangkan secara politis, tetapi lemah secara material. Tanpa pengakuan atas degradasi energi, keterbatasan daur ulang, dan efek skala, ekonomi sirkular berisiko memperpanjang ilusi keberlanjutan.
Dalam konteks kebijakan, implikasinya jelas. Ekonomi sirkular perlu dipadukan dengan strategi pengurangan konsumsi absolut, pembatasan produksi di sektor tertentu, dan perubahan pola permintaan. Tanpa kombinasi ini, sirkularitas hanya akan memperlambat laju masalah, bukan mengubah arahnya. Keberanian kebijakan terletak bukan pada seberapa inovatif jargon yang digunakan, tetapi pada kesediaan menghadapi konsekuensi ekonomi dan politik dari dunia yang memiliki batas.
Pada akhirnya, ekonomi sirkular paling berguna ketika ia dibumikan, bukan dimitoskan. Ia harus dilihat sebagai bagian dari perangkat transisi—berguna, penting, tetapi tidak mahakuasa. Dengan menempatkannya secara proporsional, diskursus keberlanjutan dapat bergerak dari janji-janji teknokratis menuju strategi transformasi yang lebih realistis, jujur, dan bertanggung jawab terhadap kenyataan fisik planet ini.
Daftar Pustaka
Geissdoerfer, M., Savaget, P., Bocken, N. M. P., & Hultink, E. J. (2017). The Circular Economy – A new sustainability paradigm? Journal of Cleaner Production.
Korhonen, J., Honkasalo, A., & Seppälä, J. (2018). Circular Economy: The Concept and its Limitations. Ecological Economics.
Ayres, R. U., & Warr, B. (2009). The Economic Growth Engine: How Energy and Work Drive Material Prosperity. Edward Elgar.
Georgescu-Roegen, N. (1971). The Entropy Law and the Economic Process. Harvard University Press.