Kepemimpinan

Tembok Tak Kasat Mata di Kantor Kita: Pelajaran Komunikasi dari Lokasi Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Beberapa tahun lalu, saya pernah terlibat dalam sebuah proyek di mana tim saya dan klien punya pemahaman yang sama sekali berbeda tentang kata "sederhana". Bagi klien, "sederhana" berarti lebih sedikit fitur. Bagi kami, para desainer dan developer, "sederhana" berarti antarmuka pengguna yang bersih dan minimalis, yang sering kali justru lebih rumit pembuatannya. Perbedaan persepsi ini? Hasilnya adalah kerja sia-sia selama berminggu-minggu, frustrasi, dan rapat-rapat tegang yang tak ada habisnya.

Kejadian itu menyadarkan saya satu hal: masalah paling berbahaya dalam sebuah proyek sering kali bukan masalah teknis, melainkan masalah persepsi. Kita merasa sudah bicara bahasa yang sama, padahal sebenarnya kita berada di planet yang berbeda.

Baru-baru ini, saya menemukan sebuah paper penelitian yang membahas jurang persepsi serupa, tetapi dalam konteks yang jauh lebih kritis, di mana taruhannya bukan sekadar tenggat waktu, melainkan nyawa. Paper karya Mostafa Namian dkk. berjudul “Construction Safety Training: Exploring Different Perspectives of Construction Managers and Workers” membawa kita ke lingkungan proyek konstruksi yang berisiko tinggi.1 Industri ini, menurut para peneliti, memiliki "tingkat cedera kerja fatal dan non-fatal yang tinggi," dan program pelatihan keselamatan yang ada sering kali "gagal meningkatkan kinerja keselamatan secara signifikan".1

Pertanyaan mendasar yang ingin dijawab oleh studi ini sederhana namun mendalam: Mengapa di sebuah industri di mana keselamatan adalah segalanya, para manajer dan pekerja seolah hidup di dua realitas yang berbeda? Apa yang sebenarnya terjadi di balik angka-angka kecelakaan kerja yang terus meningkat? Temuan mereka, menurut saya, tidak hanya relevan untuk mandor konstruksi, tetapi juga untuk setiap manajer, pemimpin tim, atau siapa pun yang pernah merasa ada "tembok tak kasat mata" antara mereka dan timnya.

Dua Sisi dari Koin yang Sama: Kisah Para Manajer dan Pekerja

Para peneliti melakukan hal yang brilian. Mereka tidak hanya mengamati dari jauh. Mereka turun langsung ke 29 lokasi proyek konstruksi dan mewawancarai 79 manajer dan 53 pekerja.1 Mereka menanyakan serangkaian pertanyaan yang sama, tetapi dari dua sudut pandang yang berbeda, menggunakan skala 0 ("Sangat Tidak Setuju") hingga 10 ("Sangat Setuju").1 Hasilnya melukiskan dua gambaran realitas yang sangat kontras.

Pandangan dari Atas: "Kami Sudah Melakukan Segalanya dengan Benar."

Coba bayangkan sejenak kamu adalah seorang manajer proyek. Kamu sudah mengalokasikan anggaran untuk pelatihan, menjadwalkan rapat keselamatan rutin, dan selalu bilang ke semua orang bahwa "pintu ruangan saya selalu terbuka" untuk masukan apa pun. Dari sudut pandangmu, semua kotak persyaratan sudah dicentang. Sistem sudah berjalan sebagaimana mestinya.

Perasaan ini tecermin dengan sempurna dalam data:

  • Manajer menilai efektivitas pelatihan yang mereka berikan dengan skor tinggi, yaitu 8.2 dari 10.1

  • Mereka sangat yakin bahwa rapat keselamatan diadakan secara rutin, memberikan skor 8.6 dari 10.1

  • Dan yang paling mencolok, mereka merasa luar biasa terbuka terhadap masukan dari para pekerja, memberikan skor nyaris sempurna, 9.4 dari 10.1

Dari data ini, terlihat jelas bahwa para manajer percaya dengan tulus pada sistem yang telah mereka bangun. Mereka merasa telah memenuhi tanggung jawab mereka dengan baik. Masalahnya, pandangan ini tidak sepenuhnya dirasakan oleh mereka yang berada di lapangan.

Realitas di Lapangan: "Apa Ada yang Benar-Benar Mendengarkan?"

Sekarang, mari kita ganti sepatu. Bayangkan kamu adalah seorang pekerja di lokasi proyek. Setiap hari kamu berhadapan langsung dengan risiko. Pelatihan yang kamu terima terasa umum dan kurang relevan dengan pekerjaan spesifikmu. Rapat keselamatan yang katanya "rutin" terasa sporadis. Dan soal "pintu yang selalu terbuka"? Mungkin secara fisik iya, tapi sejarah dan budaya kerja yang ada membuatmu berpikir dua kali untuk benar-benar masuk dan menyuarakan kekhawatiran.

Lagi-lagi, data berbicara dengan lantang:

  • Para pekerja merasakan pelatihan yang sama itu jauh kurang efektif, hanya menilainya 7.2 dari 10.1

  • Mereka merasa rapat "rutin" itu jauh lebih jarang terjadi, memberikan skor 7.0 dari 10.1

  • Dan yang paling krusial, mereka tidak merasakan keterbukaan luar biasa dari para manajer. Skor yang mereka berikan hanya 7.5 dari 10.1

Perbedaan ini bukan sekadar selisih angka. Ini adalah cerminan dari dua dunia yang berbeda. Seorang pekerja dalam studi ini bahkan menyuarakan keputusasaan di balik angka-angka tersebut, mengatakan bahwa jurang ini mungkin tidak akan pernah bisa dijembatani karena ini adalah soal "dua anak tangga yang berbeda di tangga sosial—lakukan apa yang diperintahkan atau kami akan cari orang lain yang mau!".1 Komentar ini menyoroti adanya isu kekuasaan dan ketakutan yang tidak tertangkap oleh survei manapun, tetapi sangat terasa di lapangan.

Data Tak Pernah Bohong: Saat Jurang Menjadi Sebuah Ngarai

Ketika kita sandingkan kedua data ini, kita tidak lagi melihat perbedaan pendapat. Kita melihat sebuah ngarai pemahaman yang dalam dan—secara statistik—sangat signifikan.1

  • 🚀 Tentang Efektivitas Pelatihan

    • Pandangan Manajer: $8.2/10$

    • Pandangan Pekerja: $7.2/10$

    • Jurangnya: Perbedaan persepsi sebesar 14%. Ini bukan selisih kecil, ini signifikan secara statistik.

  • 🧠 Tentang Frekuensi Rapat Keselamatan

    • Pandangan Manajer: $8.6/10$

    • Pandangan Pekerja: $7.0/10$

    • Jurangnya: Perbedaan persepsi sebesar 24%. Semakin lebar.

  • 💡 Tentang Keterbukaan Manajer terhadap Masukan

    • Pandangan Manajer: $9.4/10$

    • Pandangan Pekerja: $7.5/10$

    • Jurangnya: Perbedaan persepsi yang mengejutkan, sebesar 26%. Ini adalah jurang terdalam di antara semuanya.

Satu hal yang membuat saya merenung adalah jurang persepsi terbesar bukanlah tentang hal-hal yang konkret seperti materi pelatihan atau jadwal rapat. Jurang terbesar ada pada kualitas yang tak kasat mata dan emosional: "keterbukaan". Ini adalah petunjuk pertama bahwa akar masalahnya bukanlah soal logistik, melainkan soal psikologis. Ini bukan tentang kurangnya prosedur, tapi tentang kurangnya rasa aman untuk bersuara.

Hal Mengejutkan yang Diam-Diam Disetujui Semua Orang

Awalnya, mudah sekali untuk melihat data ini dan menyimpulkan bahwa ini adalah permainan saling menyalahkan. Manajer merasa sudah benar, pekerja merasa diabaikan. Selesai. Tapi di sinilah kejeniusan studi ini muncul. Para peneliti juga melihat pertanyaan-pertanyaan di mana kedua belah pihak tidak berbeda pendapat, dan di situlah semuanya menjadi jauh lebih menarik.

Ada dua pertanyaan kunci di mana tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara manajer dan pekerja 1:

  1. Apakah para pekerja terlibat (engaged) dalam materi pelatihan?

  2. Apakah para pekerja menggunakan materi pelatihan itu dalam pekerjaan sehari-hari?

Untuk kedua pertanyaan ini, baik manajer maupun pekerja sama-sama memberikan skor yang relatif rendah. Ini adalah momen "Aha!"-nya.

Di sinilah opini pribadi saya masuk. Menurut saya, ini adalah bagian paling cemerlang dari studi ini. Meskipun mereka saling tunjuk jari tentang mengapa pelatihan itu gagal, kedua belah pihak diam-diam mengakui bahwa pelatihan itu memang gagal. Manajer mungkin berpikir, "Pelatihannya sudah bagus, tapi pekerjanya saja yang tidak memperhatikan." Sementara pekerja berpikir, "Bagaimana kami mau memperhatikan kalau pelatihannya membosankan dan tidak relevan?"

Tapi data menunjukkan bahwa mereka sebenarnya sedang melihat mesin yang sama-sama rusak, hanya saja mereka menyalahkan komponen yang berbeda. Ini mengubah narasi dari "kami vs. mereka" menjadi "kita semua vs. proses yang rusak ini."

Lebih dalam lagi, ini menunjukkan adanya semacam disonansi kognitif di pihak manajer. Bagaimana mungkin sebuah pelatihan dinilai "efektif" dengan skor 8.2, jika pada saat yang sama semua pihak setuju bahwa pelatihan itu tidak menarik dan tidak diterapkan di lapangan? Ini menyiratkan bahwa para manajer mungkin mengukur kinerja mereka berdasarkan upaya ("Kami sudah memberikan pelatihan"), bukan berdasarkan hasil ("Apakah pelatihan itu benar-benar membuat orang lebih aman?"). Ini adalah pergeseran pola pikir yang krusial bagi setiap pemimpin: berhenti mengukur kesuksesan dari selesainya tugas, dan mulailah mengukurnya dari tercapainya tujuan.

Ini Bukan tentang Keselamatan—Ini tentang Berbicara Bahasa yang Sama

Jadi, jika kedua belah pihak sebenarnya melihat masalah yang sama (pelatihan yang tidak efektif), dan keduanya punya tujuan yang sama (semua orang pulang dengan selamat), lalu di mana letak masalahnya?

Studi ini memberikan jawaban yang sangat jelas setelah melakukan wawancara lanjutan. Ketika ditanya apakah perbedaan persepsi ini bisa didamaikan, mayoritas responden—81%—menjawab "Ya".1 Ada optimisme yang luar biasa di balik frustrasi yang ada.

Harapan ini berakar pada satu landasan bersama yang fundamental. Seperti yang dikatakan seorang peserta, "Ya, saya yakin kita sudah punya landasan bersama, tidak ada yang mau terluka atau melihat orang lain terluka".1 Seorang pekerja lain menambahkan, "Saya percaya manajer merasakan hal yang sama tentang memastikan kami pulang dengan selamat. Bisnis mereka bergantung pada itu".1

Tujuannya sama. Niat baiknya ada. Lalu, apa penghalangnya?

Para peneliti menyimpulkannya dalam satu frasa: "kurangnya komunikasi yang layak".1 Kata "komunikasi" ini muncul berulang kali dari kedua belah pihak.

  • Seorang pekerja berkata, "Tentu saja, komunikasi adalah yang paling penting di semua fase industri konstruksi".1

  • Seorang manajer menggemakan, "Saya setuju, mengomunikasikan tujuan besar adalah kuncinya".1

Namun, jika kita melihat lebih dekat pada komentar para pekerja, "komunikasi" ternyata lebih dari sekadar berbicara. Bagi mereka, komunikasi terkait erat dengan dinamika kekuasaan. Mereka mengaitkan komunikasi yang lebih baik dengan "jaminan kerja," "empati," dan keinginan agar manajer "lebih sering turun ke lapangan" untuk mendapatkan "pemahaman yang lebih baik tentang realitas".1

Ini berarti, solusi yang ditawarkan bukanlah sekadar lebih banyak rapat atau email. Solusinya menuntut perubahan mendasar dalam cara pemimpin berhubungan dengan timnya. Ini tentang menciptakan lingkungan di mana seorang pekerja bisa menyuarakan masalah tanpa takut kehilangan pekerjaan.

Meski temuannya hebat, paper ini dengan cemerlang mendiagnosis penyakitnya sebagai kerusakan komunikasi, tetapi terasa kurang memberikan resep penyembuhannya. Bagaimana cara memulai percakapan ini, terutama ketika ada ketidakseimbangan kekuasaan dan kurangnya kepercayaan? Di sinilah teori bertemu praktik. Membangun budaya komunikasi terbuka bukan hanya soal mengatakan "pintu saya terbuka". Ini tentang mengembangkan keterampilan spesifik dalam mendengarkan aktif, memberikan umpan balik, dan membangun keamanan psikologis. Ini adalah jenis pelatihan kepemimpinan mendasar yang dirancang untuk dibangun oleh kursus-kursus dari penyedia seperti(https://www.diklatkerja.com/).

Merobohkan Tembok Anda Sendiri, Mulai Hari Ini

Studi ini mungkin berlatar di lokasi konstruksi yang penuh debu dan bising, tetapi pelajarannya bergema di setiap kantor, ruang rapat, dan bahkan di panggilan Zoom. Jurang pemahaman antara pemimpin dan tim adalah masalah universal.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan?

Bayangkan jika kamu menerapkan lensa dari studi ini ke tempat kerjamu sendiri.

  • Jika kamu seorang manajer atau pemimpin: Berhentilah bertanya, "Apakah tim saya sudah mendapatkan pelatihan?" dan mulailah bertanya, "Apa satu hal yang membuat tim saya sulit untuk angkat bicara tentang masalah?" Jawaban dari pertanyaan kedua jauh lebih berharga.

  • Jika kamu anggota tim: Cobalah membingkai masukanmu berikutnya bukan sebagai keluhan, tetapi sebagai pengamatan untuk tujuan bersama. Misalnya, "Saya perhatikan saat kita melakukan X, hasilnya adalah Y. Saya khawatir ini bisa menimbulkan masalah untuk proyek. Bagaimana kita bisa mengatasi ini bersama?"

Pesan utama dari penelitian ini sangat kuat: Jurang di dalam organisasi kita jarang disebabkan oleh kurangnya tujuan bersama, tetapi hampir selalu disebabkan oleh kurangnya pemahaman bersama. Solusinya bukan bekerja lebih keras, tetapi berkomunikasi dengan lebih baik, lebih dalam, dan lebih jujur.

Tulisan ini hanya menggores permukaan dari wawasan luar biasa dalam penelitian ini. Jika kamu seorang pemimpin, pelajar perilaku manusia, atau hanya seseorang yang ingin membangun tim yang lebih baik, saya sangat menganjurkanmu untuk membaca paper aslinya. Ini mungkin akan mengubah caramu memandang tempat kerjamu selamanya.

(https://doi.org/10.18260/1-2--31779)

Selengkapnya
Tembok Tak Kasat Mata di Kantor Kita: Pelajaran Komunikasi dari Lokasi Konstruksi

Manajemen Konstruksi

Helm Keras Saja Tidak Cukup: Sebuah Paper Akademis yang Mengubah Cara Saya Melihat Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Setiap pagi, dalam perjalanan ke kantor, saya melewati sebuah proyek konstruksi raksasa. Gedung pencakar langit yang perlahan merayap ke angkasa. Saya selalu merasa ada dua hal sekaligus: kekaguman pada skala ambisinya, dan kecemasan samar melihat para pekerja yang terlihat begitu kecil di ketinggian. Saya selalu berpikir, "Semoga mereka aman." Tapi "aman" bagi saya waktu itu cuma sebatas gambaran helm kuning dan jaring pengaman. Saya tidak pernah benar-benar memikirkan apa yang membuat mereka benar-benar aman.

Sampai saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian kering berjudul "A review paper on health and Safety in the Construction Industry". Dan tiba-tiba, semua kecemasan samar saya punya nama dan struktur.   

Paper ini, yang ditulis oleh Atideku Pascal Atsu dan Prof Mamata Rajgorb, bukanlah bacaan ringan. Tapi di antara sitasi dan metodologi, saya menemukan sebuah cerita—sebuah drama sistemik yang menjelaskan mengapa industri yang membangun dunia modern kita juga menjadi salah satu yang paling berbahaya, terutama di negara berkembang. Paper ini bukan sekadar kumpulan data; ia adalah kunci yang membuka pemahaman baru bagi saya.   

Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak Anda menelusuri temuan-temuan paling mengejutkan dari paper ini, menerjemahkannya ke dalam bahasa kita sehari-hari, dan melihat pelajaran apa yang bisa kita petik, bahkan jika kita tidak pernah menginjakkan kaki di lokasi proyek.

Panggung Sandiwara Proyek: Ketika Aturan Hanyalah Naskah yang Tak Pernah Dipentaskan

Bayangkan sebuah pementasan teater. Naskahnya (regulasi keselamatan) ditulis dengan brilian. Tapi sutradaranya (otoritas pengawas) jarang muncul di lokasi latihan. Para aktornya (pekerja) tidak pernah benar-benar dilatih dan bahkan banyak yang tidak bisa membaca naskah. Produser (klien dan pemerintah) hanya peduli pertunjukan selesai tepat waktu dan sesuai anggaran, tak peduli kualitas aktingnya. Hasilnya? Kekacauan. Inilah gambaran paling sederhana dari temuan inti paper ini.

Para peneliti menyoroti bahwa masalah keselamatan bukanlah sekadar serangkaian insiden teknis yang terisolasi, melainkan sebuah kegagalan sistemik yang berakar pada politik, ekonomi, dan sosial.

Pertama, sang sutradara yang absen. Paper ini menggarisbawahi bagaimana di banyak negara berkembang, seperti Ghana, seringkali tidak ada satu otoritas tunggal yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan konstruksi. Studi oleh Boadu, Wang, dan Sunindijo (2020) yang dikutip dalam paper ini menemukan bahwa ketiadaan badan pengatur tunggal menciptakan kebingungan dan tumpang tindih. Lebih parah lagi, lembaga yang ada seringkali "ompong". Penelitian Kheni dan Afatsawu (2022) secara gamblang menyebutkan tantangan seperti kurangnya sumber daya, logistik yang tidak memadai, dan bahkan ketiadaan kerangka hukum yang jelas untuk menindak perusahaan yang melanggar. Ini bukan sekadar kelalaian teknis; ini adalah cerminan dari kurangnya kemauan politik untuk memprioritaskan keselamatan di atas kepentingan lain. Sutradaranya bukan hanya absen, tapi juga tidak punya kuasa.   

Kedua, para aktor yang tidak terlatih. Tantangannya seringkali dimulai dari level paling dasar. Paper ini mengutip beberapa studi yang menemukan bahwa tenaga kerja seringkali kurang terampil dan berpendidikan, dengan tingkat literasi yang rendah. Ini bukan untuk menyalahkan pekerja. Justru sebaliknya, ini menyoroti kegagalan sistem yang lebih besar. Bagaimana mungkin kita mengharapkan kepatuhan pada manual keselamatan yang tebal jika para pekerjanya bahkan kesulitan membacanya? Ini juga menjelaskan mengapa, menurut studi Adebiyi dan Rasheed (2021), metode komunikasi paling efektif di lapangan adalah yang paling visual dan langsung, seperti rambu-rambu keselamatan dan pelatihan praktik.   

Ketiga, sang produser yang tidak sabar. Semua pihak—pemerintah, klien, kontraktor, dan pekerja—adalah pemangku kepentingan. Idealnya, mereka semua menginginkan hal yang sama: proyek yang sukses dan aman. Namun, paper ini menunjukkan adanya ilusi keselarasan. Klien dan pemerintah seringkali lebih fokus pada kecepatan dan biaya, yang secara tidak langsung menekan kontraktor untuk mengambil jalan pintas dalam hal keselamatan. Hal ini menciptakan lingkungan di mana keselamatan dianggap sebagai "biaya tambahan" atau "hambatan," bukan bagian integral dari kesuksesan proyek.   

Tembok Tak Kasat Mata: 3 Penghalang Utama Menuju Proyek yang Lebih Aman

Setelah memahami "drama" besarnya, paper ini mengajak kita melihat lebih dekat pada "tembok-tembok" yang menghalangi terwujudnya keselamatan. Ini bukan tembok beton, tapi tembok yang terbuat dari uang, kebiasaan, dan struktur yang salah.

Tembok #1: Kalkulasi Uang yang Salah Sejak Awal

Ini mungkin yang paling jelas: menerapkan standar keselamatan itu mahal. Studi oleh Bidahor dan Kheni (2022) yang dirujuk dalam paper ini secara spesifik menyebutkan "biaya kepatuhan yang lebih tinggi" sebagai salah satu penghalang utama. Biaya ini mencakup segala hal, mulai dari menyediakan alat pelindung diri (APD) yang layak, mengadakan pelatihan rutin, hingga menyewa petugas keselamatan khusus di lokasi proyek. Ketika margin keuntungan tipis dan persaingan antar kontraktor sangat ketat, pos-pos biaya ini seringkali menjadi yang pertama kali dipotong atau diabaikan.   

Parahnya lagi, tidak ada insentif finansial yang jelas untuk menjadi "aman". Paper tersebut menyoroti tidak adanya skema penghargaan keselamatan bagi kontraktor yang berkinerja baik. Jadi, situasinya menjadi sangat timpang: patuh pada aturan keselamatan itu mahal dan memakan waktu, sementara tidak patuh seringkali tidak ada konsekuensi finansial langsung yang signifikan, terutama jika pengawasan lemah. Kalkulasinya menjadi miring, mendorong perilaku yang mengabaikan risiko.   

Ini adalah masalah klasik dalam manajemen. Mengelola biaya, risiko, dan kualitas secara bersamaan adalah inti dari sebuah proyek yang sukses. Kegagalan melihat keselamatan sebagai investasi jangka panjang yang melindungi aset terbesar perusahaan—yaitu manusianya—adalah sebuah kegagalan manajerial. Di sinilah pemahaman mendalam tentang Manajemen Proyek Konstruksi menjadi sangat krusial, karena ia mengajarkan cara mengintegrasikan semua elemen ini sejak awal, bukan menganggap keselamatan sebagai tambahan yang bisa dinegosiasikan.

Tembok #2: Kekosongan Otoritas di Lapangan

Bayangkan sebuah tim sepak bola tanpa wasit di lapangan. Itulah yang terjadi di banyak proyek. Paper ini, melalui rujukan pada studi Adinyira, Ghansah, dan Danku (2019) serta Bidahor dan Kheni (2022), secara spesifik menyoroti "kurangnya petugas keselamatan di lokasi konstruksi" dan "tidak adanya personel ahli" sebagai tantangan utama. Tanpa ada yang secara aktif memantau, menegur, dan mendidik setiap hari, peraturan sebagus apa pun hanya akan menjadi macan kertas yang tergantung di dinding kantor.   

Masalah ini diperparah oleh sifat industri konstruksi yang sangat terfragmentasi. Satu proyek besar bisa melibatkan puluhan sub-kontraktor, masing-masing dengan tim, standar, dan kepentingannya sendiri. Fragmentasi ini, seperti yang diidentifikasi oleh Adinyira dkk. (2019), menyulitkan pemantauan dan menciptakan area abu-abu di mana tidak ada yang merasa bertanggung jawab penuh atas keselamatan secara keseluruhan. Ketika kecelakaan terjadi, sangat mudah untuk saling tunjuk jari dan melempar tanggung jawab.   

Tembok #3: Beban Budaya dan Kebiasaan Lama

Ini bagian yang paling membuat saya terkejut dan merenung. Para peneliti di Ghana, seperti Kheni, Gibb, dan Dainty (2010), menemukan bahwa faktor-faktor non-teknis seperti "iklim ekonomi yang berlaku" dan "budaya kekeluargaan yang luas" (extended family culture) juga berpengaruh signifikan terhadap manajemen keselamatan. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa kita tidak bisa sekadar menyalin-tempel solusi keselamatan dari negara maju dan berharap itu akan berhasil.   

Bayangkan sebuah konteks budaya di mana rasa sungkan untuk menegur rekan kerja yang lebih senior, atau bahkan kerabat yang bekerja di proyek yang sama, jauh lebih kuat daripada peraturan tertulis. Peraturan mengatakan "wajib pakai sabuk pengaman," tapi budaya mengatakan "tidak enak menegur Pakde." Dalam pertarungan ini, budaya seringkali menang. Faktor lain yang diangkat adalah "ketidaktahuan manajer/pemilik" tentang tanggung jawab K3 mereka. Ini bukan tentang kebodohan, melainkan kurangnya paparan dan pendidikan formal mengenai manajemen keselamatan. Mereka mungkin sangat ahli dalam membangun gedung, tapi tidak pernah diajari cara membangunnya dengan aman.   

  • 🚀 Hasilnya mengejutkan: Masalahnya bukan pada niat buruk individu, melainkan pada sistem yang rusak—secara finansial, struktural, dan kultural.

  • 🧠 Inovasi berpikirnya: Kita harus berhenti melihat keselamatan sebagai pos biaya dan mulai melihatnya sebagai indikator kesehatan dan efisiensi sebuah proyek secara keseluruhan.

  • 💡 Pelajaran untuk saya: Masalah yang terlihat teknis (seperti kecelakaan kerja) seringkali berakar pada masalah manusiawi yang jauh lebih dalam (ekonomi, budaya, komunikasi).

Siapa Sebenarnya yang Pegang Kendali? Sebuah Kritik Halus

Paper ini melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam memetakan kegagalan institusional dan berbagai penghalang yang ada. Namun, saat membacanya, saya merasakan ada sedikit jarak. Ini adalah opini pribadi saya, sebuah kritik halus.

Meskipun temuannya hebat, cara analisanya terkadang terasa agak terlalu abstrak untuk saya. Paper ini dengan jelas menyatakan bahwa otoritas pengawas "tidak efektif" dan "kurang sumber daya". Tapi saya jadi penasaran, seperti apa wujud "tidak efektif" itu dalam keseharian? Apakah itu berarti seorang inspektur hanya datang sebulan sekali ke proyek raksasa? Apakah laporannya hanya ditumpuk di meja dan diabaikan? Bagaimana persisnya drama miskomunikasi antara klien yang menuntut kecepatan dan kontraktor yang tertekan terjadi di ruang rapat? Analisisnya yang bersifat makro membuat saya haus akan cerita-cerita mikro di baliknya.   

Ketergantungan pada pengawasan eksternal yang lemah ini justru menyoroti betapa pentingnya sistem internal yang kuat. Perusahaan tidak bisa dan tidak boleh menunggu "polisi" datang untuk menerapkan aturan. Mereka harus menjadi "polisi" bagi diri mereka sendiri. Di sinilah terlihat sebuah paradoks kepatuhan: karena penegakan hukum lemah, perusahaan tidak berinvestasi dalam kepatuhan. Karena sedikit perusahaan yang patuh, tidak ada dorongan kuat untuk memperkuat penegakan hukum. Siklus ini harus diputus dari dalam.

Peran seorang manajer Pengawasan Proyek menjadi sangat vital. Mereka adalah mata dan telinga di lapangan, yang memastikan setiap detail—termasuk dan terutama keselamatan—berjalan sesuai rencana. Membangun sistem pengawasan internal yang efektif bukanlah hal yang mudah. Ini membutuhkan pengetahuan tentang penjadwalan, alokasi sumber daya, dan standar kualitas. Inilah mengapa pelatihan khusus seperti (https://www.diklatkerja.com/course/category/sistem-manajemen-keselamatan-konstruksi-smkk/) menjadi investasi yang sangat berharga bagi perusahaan yang serius ingin berubah dari sekadar reaktif menjadi proaktif.

Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan? Langkah Awal yang Bisa Diambil Hari Ini

Setelah dibombardir dengan semua masalah sistemik ini, mudah untuk merasa pesimis. Tapi bagian akhir paper ini memberikan secercah harapan dengan menguraikan "ruang lingkup masa depan" untuk perbaikan. Saya mencoba menerjemahkannya menjadi beberapa langkah praktis yang bisa menginspirasi kita.   

Pertama, fokus pada pelatihan dan kesadaran. Paper ini menekankan pentingnya "program pelatihan dan kesadaran" yang dirancang khusus untuk kebutuhan lokal di negara berkembang. Ini adalah kuncinya. Kita tidak bisa hanya mengimpor modul pelatihan dari negara lain. Pelatihan harus mempertimbangkan tingkat literasi, bahasa yang digunakan sehari-hari, dan bahkan konteks budaya pekerja setempat untuk bisa benar-benar efektif.   

Kedua, kekuatan komunikasi sederhana. Salah satu temuan paling actionable datang dari studi di Nigeria yang dirujuk paper ini, yang menemukan bahwa "rambu keselamatan dan pelatihan" adalah media komunikasi K3 yang paling penting dan efektif. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa terkadang solusi paling efektif bukanlah yang paling canggih atau mahal. Sebuah gambar tengkorak dengan dua tulang bersilang jauh lebih universal dan lebih cepat dipahami daripada seratus halaman teks prosedur keselamatan. Sebelum berinvestasi pada teknologi canggih, pastikan komunikasi visual paling dasar sudah berjalan dengan sangat baik.   

Setelah membaca ini, saya jadi berpikir, pelajaran ini bukan hanya berlaku untuk konstruksi. Di pekerjaan saya sendiri, berapa banyak "regulasi" atau "SOP" perusahaan yang hanya tersimpan di server dan tidak pernah benar-benar dipahami atau diinternalisasi oleh tim? Paper ini menginspirasi saya untuk bertanya pada diri sendiri: "Bagaimana cara saya mengomunikasikan hal-hal penting dengan cara yang paling sederhana dan paling efektif kepada tim saya?"

Bagi siapa pun yang terlibat dalam industri ini, baik sebagai manajer, insinyur, atau bahkan pekerja baru, mengambil langkah pertama untuk mendidik diri sendiri adalah hal yang paling kuat. Memahami dasar-dasar keselamatan bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan profesional. Mengikuti kursus dasar seperti K3 Konstruksi bisa menjadi fondasi yang mengubah cara Anda bekerja dan memimpin.

Kesimpulan: Ini Bukan tentang Helm, Ini tentang Manusia

Kita memulai perjalanan ini dengan melihat gedung pencakar langit dan helm kuning. Kita mengakhirinya dengan pemahaman bahwa keselamatan konstruksi adalah sebuah ekosistem yang rapuh dan kompleks. Ini bukan sekadar tentang APD, checklist, atau jaring pengaman.

Nilai terbesar dari paper karya Atsu dan Rajgorb ini, bagi saya, adalah kemampuannya menggeser perspektif. Ia memaksa kita untuk berhenti bertanya, "Siapa yang salah?" dan mulai bertanya, "Sistem apa yang gagal?" Keselamatan bukanlah tanggung jawab satu orang, melainkan hasil dari sebuah sistem yang berfungsi baik—dari pembuat kebijakan di gedung pemerintahan, manajer proyek di kantor ber-AC, hingga mandor di lapangan yang terik.

Dan sistem itu terdiri dari manusia. Manusia yang butuh dilatih dengan cara yang mereka pahami, butuh diawasi dengan baik dan konsisten, butuh diberi insentif yang benar, dan butuh berkomunikasi dengan jelas. Mungkin kita tidak bisa mengubah seluruh sistem dalam satu malam. Tapi kita bisa mulai dengan memperbaiki bagian kecil dari sistem yang kita kendalikan, dimulai dari diri kita sendiri.

Jika Anda merasakan percikan pencerahan yang sama seperti saya, atau jika Anda seorang profesional yang ingin mendalami data di baliknya, saya sangat merekomendasikan Anda untuk menyelami langsung sumbernya. Jangan hanya percaya kata-kata saya.

(https://doi.org/10.13140/RG.2.2.18144.05124)

Selengkapnya
Helm Keras Saja Tidak Cukup: Sebuah Paper Akademis yang Mengubah Cara Saya Melihat Proyek Konstruksi

Keselamatan & Kesehatan Kerja (K3)

Aturan Saja Tidak Cukup: Pelajaran Mengejutkan tentang Psikologi Manusia dari Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Saya Pikir Aturan Itu Cukup, Ternyata Saya Salah Besar

Beberapa tahun lalu, saya merencanakan sebuah perjalanan liburan bersama sekelompok teman. Saya adalah tipe perencana. Saya membuat spreadsheet dengan kode warna, jadwal per jam, daftar bawaan yang detail, dan aturan-aturan sederhana agar semua berjalan lancar. Di atas kertas, rencana itu sempurna. Saya berasumsi, dengan sistem yang begitu rapi, mustahil ada yang salah.

Tentu saja, saya salah besar. Satu teman lupa membawa paspornya. Yang lain ketinggalan kereta karena "merasa masih banyak waktu". Aturan "berkumpul 15 menit sebelum berangkat" diabaikan begitu saja. Rencana saya yang sempurna hancur berantakan bukan karena sistemnya jelek, tapi karena faktor yang paling tidak bisa diprediksi: sifat manusia. Momen itu mengajarkan saya sebuah pelajaran penting: sistem dan aturan hanya sekuat kebiasaan dan budaya orang-orang yang menjalankannya.

Baru-baru ini, saya menemukan sebuah paper penelitian yang menggemakan pelajaran ini dengan cara yang jauh lebih dramatis. Latar belakangnya bukan liburan yang kacau, melainkan proyek pembangunan tiga gedung pencakar langit—salah satunya setinggi 70 lantai—di Jakarta Pusat. Dan taruhannya bukan sekadar jadwal yang molor, tapi nyawa manusia.   

Paper ini, pada dasarnya, menyelidiki sebuah paradoks universal yang sering kita temui di kantor, di jalan raya, bahkan di rumah kita sendiri: mengapa kita sering mengabaikan aturan yang jelas-jelas dirancang untuk melindungi kita? Jawabannya ternyata jauh lebih rumit dan menarik daripada sekadar "malas" atau "tidak disiplin".

Mengintip Rapor Keselamatan Proyek Raksasa

Studi yang saya baca berjudul "ANALISIS PENERAPAN KESELAMATAN DAN KESEHATAN KERJA (K3) PADA PROYEK X DI JAKARTA PUSAT". Anggap saja ini semacam "pemeriksaan kesehatan" atau "rapor" untuk sebuah proyek konstruksi raksasa. Para peneliti ingin tahu, seberapa patuh para pekerja dan manajemen terhadap prosedur K3 yang sudah ditetapkan?   

Ini bukan pertanyaan sepele. Menurut data dari BPJS Ketenagakerjaan yang dikutip dalam paper tersebut, pada tahun 2021 saja terjadi 234.270 kasus kecelakaan kerja di Indonesia, dan angkanya terus bertambah. Industri konstruksi adalah salah satu penyumbang terbesarnya, dengan risiko mulai dari jatuh dari ketinggian, tertimpa benda berat, hingga tersengat listrik. Jadi, memahami mengapa aturan keselamatan sering dilanggar adalah langkah krusial untuk mencegah tragedi.   

Untuk mendapatkan jawaban, para peneliti tidak hanya duduk di kantor dan membaca dokumen. Mereka turun langsung ke lapangan. Mereka melakukan survei dan wawancara langsung dengan Manajer SHE (Safety, Health, and Environment), karyawan, dan para supervisor di proyek tersebut. Mereka mengamati lima area kunci untuk melihat seberapa baik aturan K3 benar-benar diterapkan di dunia nyata, bukan hanya di atas kertas.   

Dan apa yang mereka temukan? Nah, di sinilah ceritanya menjadi sangat menarik. Masalah terbesarnya bukanlah kurangnya aturan, kurangnya peralatan, atau kurangnya pengawasan. Masalahnya jauh lebih dalam, lebih subtil, dan lebih manusiawi. Seperti yang disimpulkan oleh para peneliti, kendala utamanya adalah "budaya dan preferensi risiko yang berbeda dari pegawai". Dengan kata lain, ini semua tentang kebiasaan dan cara otak kita secara aneh menimbang-nimbang mana bahaya yang "pantas dikhawatirkan" dan mana yang tidak.   

Angka-Angka yang Bercerita tentang Cara Kita Berpikir

Saat saya melihat data kuantitatif dari penelitian ini, saya tidak melihat angka. Saya melihat sebuah cerita tentang psikologi manusia di tempat kerja. Para peneliti memberikan skor kepatuhan untuk lima aspek K3 yang berbeda, dan hasilnya sangat kontradiktif.

Juara dalam Kebersihan, tapi Gagal dalam Perlindungan Diri? Paradoks Kompetensi.

Mari kita mulai dari yang terbaik. Skor untuk "Keselamatan Kerja dan Kebersihan Lingkungan Kerja" mencapai angka fantastis: 97.3%. Ini bukan nilai main-main. Dari sebelas item yang dinilai, sembilan di antaranya mendapat skor sempurna 100%. Hal-hal seperti memastikan lantai tidak licin, membersihkan tumpahan oli, membuang sampah pada tempatnya, dan mengangkat material dengan posisi yang benar, semuanya dilakukan dengan sempurna.   

Ini adalah bukti krusial. Ini menunjukkan bahwa para pekerja bukanlah pemalas atau tidak mampu mengikuti aturan. Sebaliknya, mereka bisa sangat teliti dan disiplin. Mereka punya kapasitas untuk mencapai kesempurnaan.

Hal ini memunculkan pertanyaan yang lebih tajam: jika mereka bisa 100% disiplin dalam menjaga kebersihan area kerja, mengapa tingkat kepatuhan mereka anjlok drastis saat menyangkut perlindungan diri mereka sendiri?

Jawabannya mungkin terletak pada sifat tugas itu sendiri. Menjaga kebersihan memberikan umpan balik yang langsung, terlihat, dan kolektif. Lantai yang bersih terlihat bersih seketika. Tumpukan sampah yang dibiarkan akan langsung ditegur oleh mandor atau rekan kerja. Mengangkat beban dengan posisi salah akan menyebabkan sakit punggung yang terasa saat itu juga. Ada hubungan sebab-akibat yang jelas dan cepat.

Sebaliknya, manfaat dari memakai alat pelindung diri seringkali bersifat abstrak, probabilistik, dan individual. Tidak memakai kacamata pengaman tidak langsung membuat mata Anda cedera. Mungkin tidak hari ini, mungkin tidak minggu ini. Akibatnya bersifat jangka panjang dan tidak pasti, sehingga lebih mudah untuk diabaikan demi kenyamanan sesaat.

Helm Dipakai, Kacamata Ditinggal: Hirarki Risiko di Kepala Kita.

Sekarang, mari kita selami area dengan skor terendah: "Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)" yang hanya mencapai rata-rata 68.1%. Jika kita bedah lebih dalam, ceritanya menjadi semakin aneh dan mengungkap cara kerja otak kita dalam menilai risiko.   

  • 🤯 Fakta Paling Mengejutkan: Tingkat pemakaian kacamata pelindung hanya 30%. Begitu pula dengan penggunaan ID card yang juga 30%. Masker sedikit lebih baik di angka 50%.   

  • 🤔 Sebuah Kejanggalan: Di sisi lain, pemakaian helm proyek, rompi keselamatan, dan sepatu proyek mencapai angka impresif 95%.   

  • 💡 Pelajaran Kunci: Ketersediaan alat tidak menjamin pemakaian. Persepsi kita tentang besarnya sebuah risiko adalah segalanya.

Ini bukan kelalaian yang acak. Ini adalah cerminan dari sistem triase risiko bawah sadar yang kita semua miliki. Para pekerja ini, secara tidak sadar, telah membuat hierarki bahaya di kepala mereka.

Risiko tertimpa benda dari atas (dicegah oleh helm) atau tertabrak alat berat (dicegah oleh rompi yang terlihat jelas) dianggap sebagai bahaya yang katastropik, langsung, dan sangat nyata. Oleh karena itu, mereka rela menahan rasa tidak nyaman—paper tersebut bahkan menyebutkan pekerja merasa "terganggu" memakai helm di ruang sempit—demi menghindari risiko besar ini.   

Sebaliknya, risiko kemasukan debu atau serpihan kecil ke mata (dicegah oleh kacamata) dianggap sebagai gangguan kecil. Ini adalah risiko yang "mungkin terjadi" tapi tidak terasa mengancam jiwa. Akibatnya, ketidaknyamanan kecil dari memakai kacamata terasa lebih besar daripada risiko yang coba dihindarinya. Otak kita lebih pandai merespons ancaman harimau di depan mata daripada ancaman bakteri yang tak terlihat.

Kotak P3K Siap Sedia, tapi Rencana Evakuasi Hanya di Atas Kertas?

Satu lagi teka-teki menarik muncul dari area "Manajemen Kondisi Darurat", yang mendapat skor 82.5%. Di permukaan, angka ini terlihat cukup baik. Tapi di dalamnya ada sebuah kontradiksi yang tajam.   

Ketersediaan kotak P3K di proyek ini mencapai skor sempurna: 100%. Manajemen telah berhasil menyediakan alatnya. Namun, ketika ditanya tentang pengetahuannya—apakah ada informasi yang jelas tentang apa yang harus dilakukan pekerja dalam keadaan darurat—skornya anjlok menjadi hanya 50%.   

Ini menunjukkan adanya kegagalan sistemik, bukan sekadar masalah budaya pekerja. Manajemen telah mencentang kotak "menyediakan P3K", tapi gagal dalam tugas yang lebih sulit: memastikan semua orang tahu cara menggunakannya dan apa yang harus dilakukan saat kepanikan melanda.

Paper tersebut menyebutkan bahwa ada "Toolbox Meeting" atau briefing K3 yang diadakan dua kali seminggu. Jika pertemuan ini rutin terjadi, mengapa separuh pekerja masih tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam keadaan darurat? Ini adalah indikasi kuat bahwa metode komunikasinya tidak efektif. Mungkin briefing itu hanya berupa pengumuman satu arah yang membosankan, yang masuk telinga kanan dan keluar telinga kiri. Informasi telah diberikan, tetapi tidak dipahami atau diinternalisasi.   

Ini Bukan tentang Aturan, Ini tentang Kebiasaan (dan Sedikit Kritik dari Saya)

Pada akhirnya, paper ini menyimpulkan bahwa pertarungan sesungguhnya bukan di atas kertas peraturan, tapi di dalam kepala setiap pekerja. Seperti yang tertulis, kendala utamanya adalah "budaya pegawai yang tidak mengetahui penerapan kesehatan dan keselamatan kerja serta preferensi risiko kerja yang berbeda".   

Saya setuju 100% bahwa budaya adalah kuncinya. Namun, di sinilah saya merasa analisisnya berhenti satu langkah terlalu cepat. Paper ini brilian dalam mengidentifikasi apa masalahnya (budaya), tapi menurut saya, kurang mendalam dalam mengeksplorasi mengapa budaya itu terbentuk.

Menyalahkan "budaya pekerja" terasa sedikit tidak adil. Data tentang manajemen darurat (kotak P3K 100%, pengetahuan 50%) menunjukkan ini bukan murni masalah di level pekerja. Ini juga mengindikasikan adanya "budaya komunikasi manajemen" yang mungkin perlu diperbaiki. Apakah "Toolbox Meeting" itu benar-benar sebuah dialog yang efektif, atau hanya formalitas untuk memenuhi daftar periksa? Apakah ada simulasi atau latihan praktik? Pertanyaan-pertanyaan lanjutan inilah yang membuat saya sangat penasaran, karena budaya selalu merupakan jalan dua arah.

Tiga Langkah Kecil yang Bisa Saya (dan Anda) Terapkan Hari Ini

Meskipun studi ini berlatar proyek konstruksi, pelajarannya sangat universal dan bisa kita terapkan dalam kehidupan profesional kita sehari-hari, apa pun bidang pekerjaan kita.

  1. "Audit" Kebiasaan Pribadi, Bukan Cuma Aturan. Kita semua punya "kacamata pengaman" yang sering kita lupakan di pekerjaan kita. Mungkin itu adalah mengabaikan peregangan setelah duduk berjam-jam. Mungkin itu adalah menunda backup data penting. Mungkin itu adalah melewatkan langkah verifikasi ganda pada laporan keuangan. Aturannya ada di kepala kita, tapi kebiasaannya belum terbentuk. Coba identifikasi satu "kacamata pengaman" Anda minggu ini dan fokuslah untuk membangun kebiasaan memakainya.

  2. Jadikan Risiko Terasa Nyata. Seperti para pekerja yang lebih takut pada benda jatuh daripada debu, kita juga cenderung mengabaikan risiko jangka panjang. Jika Anda kesulitan membangun kebiasaan baik, coba hubungkan dengan sesuatu yang nyata dan emosional. Bukan sekadar "saya harus backup data," tapi "bayangkan perasaan panik dan putus asa jika laptop saya hilang besok pagi dengan semua pekerjaan saya di dalamnya." Visualisasi konkret ini membantu otak kita menaikkan level prioritas sebuah risiko.

  3. Fokus pada Pelatihan, Bukan Cuma Pengumuman. Jika Anda seorang pemimpin, belajarlah dari data P3K vs. pengetahuan darurat. Jangan hanya mengumumkan aturan baru lewat email atau rapat singkat. Ciptakan sistem untuk melatihnya. Teori saja tidak cukup. Untuk mengubah pengetahuan menjadi kebiasaan yang melekat, kita butuh pelatihan praktis yang mendalam. Jika Anda ingin membangun kompetensi nyata, terutama dalam hal K3 atau skill profesional lainnya, platform seperti (https://diklatkerja.com/) menawarkan jalur terstruktur yang diajar oleh praktisi ahli, bukan sekadar pembaca slide presentasi. Mereka membantu menjembatani kesenjangan antara "tahu" dan "bisa".   

Perbincangan Ini Baru Permulaan

Studi kecil dari sebuah proyek di Jakarta ini telah membuka mata saya tentang betapa rumitnya hubungan antara aturan, kebiasaan, dan psikologi manusia di tempat kerja. Ini adalah pengingat bahwa solusi paling efektif seringkali bukan terletak pada penambahan aturan baru, melainkan pada pemahaman yang lebih dalam tentang mengapa aturan yang sudah ada diabaikan.

Tapi ini hanya satu proyek. Bagaimana dengan pengalaman Anda? Aturan apa yang paling sering Anda atau tim Anda abaikan, dan menurut Anda, kenapa?

Jika Anda sama penasarannya dengan saya tentang detail-detail dalam studi ini, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Analisisnya jauh lebih kaya dari yang bisa saya rangkum di sini.

(https://doi.org/10.24912/jmts.v6i3.23050)

Selengkapnya
Aturan Saja Tidak Cukup: Pelajaran Mengejutkan tentang Psikologi Manusia dari Proyek Konstruksi

Produktivitas & Pengembangan Diri

Saya Membaca Jurnal Ilmiah tentang Keselamatan Kerja, dan Ini Mengubah Cara Saya Mengatur Segalanya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Beberapa minggu lalu, saya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya. Saya merakit sebuah lemari pakaian dari IKEA sendirian. Jika Anda pernah melakukannya, Anda tahu apa yang saya maksud. Ratusan sekrup, puluhan panel kayu yang identik, dan sebuah buku manual yang terlihat seperti hieroglif modern. Setiap langkah adalah pertaruhan. Salah pasang satu baut kecil di halaman 3 bisa berarti seluruh struktur akan goyang selamanya.

Di tengah lautan serbuk gergaji dan frustrasi, saya berhenti sejenak. Proyek kecil di kamar tidur saya ini, dalam skala miniatur, adalah sebuah proyek konstruksi. Ada rencana (manual), ada material, ada risiko (lemari ambruk menimpa saya saat tidur), dan ada tekanan untuk menyelesaikannya secepat mungkin.

Momen inilah yang membuat saya penasaran dan akhirnya menemukan sebuah jurnal ilmiah yang tak terduga: "Advancements and Challenges in Safety Management in Building Construction" oleh V. Raghuprasath dan Suhaib P.. Saya membukanya dengan ekspektasi akan membaca tentang robot, drone, dan helm canggih. Tapi yang saya temukan jauh lebih mendalam. Paper ini bukan tentang gawai, tapi tentang manusia. Dan temuannya, sejujurnya, mengubah cara saya memandang cara kerja tim, manajemen proyek, dan bahkan cara saya mengatur hidup.   

Rahasianya ternyata bukan pada teknologi, melainkan pada percakapan, aturan main, dan pelajaran yang kita petik dari kegagalan.

Proyek Paling Berbahaya yang Jarang Kita Pikirkan

Sebelum kita masuk ke data yang mengejutkan, mari kita pahami panggungnya. Industri konstruksi, menurut paper ini, adalah salah satu sektor paling berbahaya di dunia. Ini adalah dunia di mana kesalahan kecil tidak hanya berarti lemari yang goyang, tapi nyawa yang melayang.   

Namun, ada sebuah dilema universal yang terjadi di setiap lokasi konstruksi, yang mungkin juga terjadi di kantor Anda setiap hari. Paper tersebut menyatakan bahwa para pemangku kepentingan—pemilik, kontraktor, pemasok—sering kali hanya fokus pada penyelesaian proyek sesuai kualitas, anggaran, dan jadwal. Akibatnya? "Keselamatan sering dianggap sebagai perhatian sekunder".   

Ini adalah pertarungan klasik antara yang mendesak dan yang penting. Anggaran dan tenggat waktu terasa mendesak; mereka berteriak setiap hari. Keselamatan itu penting, tetapi sering kali bisu—sampai sebuah kecelakaan terjadi.

Dinamika ini ada di mana-mana. Tim software melewatkan pengujian keamanan demi mengejar tanggal rilis. Tim pemasaran mendorong kampanye dengan klaim yang meragukan demi target kuartalan. Kita sendiri sering mengorbankan kesehatan (keselamatan utama kita) demi pekerjaan.

Jadi, meskipun paper ini berlatar belakang debu dan baja, pelajarannya bersifat universal. Lokasi konstruksi hanyalah sebuah metafora dramatis untuk tempat kerja kita semua. 

Penemuan yang Mengubah Cara Kita Membaca Data

Awalnya, saya pikir solusi untuk masalah sebesar ini pastilah sesuatu yang canggih. Paper ini memang menyebutkan inovasi teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk mendeteksi risiko sejak fase desain, sensor yang bisa dipakai untuk memonitor kesehatan pekerja, dan bahkan drone (UAV) untuk inspeksi lokasi yang berbahaya. Semua itu terdengar keren dan futuristik.   

Tapi kemudian, saya sampai pada inti dari penelitian ini—sebuah survei yang dibagikan kepada 45 profesional di lapangan. Mereka ditanya: dari semua hal yang bisa Anda lakukan untuk menjaga keselamatan, mana yang benar-benar paling penting?   

Jawabannya adalah sebuah plot twist yang brilian. Faktor-faktor terpenting sama sekali bukan teknologi. Mereka adalah hal-hal yang sering kita anggap remeh, bahkan membosankan. Para peneliti menggunakan metode statistik bernama Relative Importance Index (RII) untuk memberi peringkat pada setiap faktor—anggap saja ini sebagai "skor kesepakatan" tentang apa yang paling krusial.

Hasilnya membuat saya terdiam. Tiga faktor teratas, dengan skor tertinggi, adalah:

  • 🚀 Peringkat #1: Kebijakan & Prosedur Keselamatan (RII: 0.91). Fondasi dari segalanya. Bukan helm canggih, tapi sebuah dokumen yang ditulis dengan baik dan dikomunikasikan dengan jelas. Aturan main yang disepakati bersama.

  • 🧠 Peringkat #2: Pelajaran yang Dipetik (RII: 0.90). Kemampuan sebuah organisasi untuk belajar dari insiden di masa lalu. Ini bukan tentang menyalahkan, tapi tentang menciptakan memori kolektif agar kesalahan yang sama tidak pernah terulang.

  • 💡 Peringkat #3: Komunikasi yang Jelas (RII: 0.89). Jaringan saraf sebuah proyek. Aliran informasi yang memastikan semua orang—dari manajer puncak hingga pekerja di lapangan—berbicara dengan bahasa yang sama tentang risiko dan keselamatan.

Lihat polanya? Ketiga hal ini bersifat abstrak, sistemik, dan sangat manusiawi. Ini bukan tentang membeli alat baru; ini tentang membangun sistem yang lebih cerdas. Sebagai perbandingan, sesuatu yang konkret seperti "Peralatan Keselamatan" baru muncul di peringkat ke-7 dengan RII 0.83.   

Data ini tidak menyajikan sebuah daftar acak, melainkan sebuah hierarki kebutuhan. Anda tidak bisa efektif menggunakan alat pelindung diri (peringkat #7) jika Anda tidak punya kebijakan yang jelas tentang kapan dan bagaimana menggunakannya (peringkat #1), belum belajar dari kegagalan alat serupa di masa lalu (peringkat #2), dan belum mengomunikasikan prosedur ini dengan baik (peringkat #3). Organisasi sering mencoba memecahkan masalah dengan membeli solusi. Data ini membuktikan bahwa investasi terbaik seharusnya ada pada fondasi yang kurang glamor: proses, komunikasi, dan pembelajaran. 

Anatomi Sistem Keselamatan: Bukan Sekadar Dokumen, tapi Budaya

Mari kita bedah tiga pilar utama ini, karena di sinilah letak kebijaksanaan yang sesungguhnya.

Fondasi Segalanya: Kekuatan Manual Instruksi yang Baik

Faktor nomor satu adalah "Kebijakan dan Prosedur Keselamatan". Mari kembali ke analogi IKEA saya. Manual instruksi adalah segalanya. Jika jelas, terstruktur, dan mudah dipahami, saya bisa membangun lemari dengan percaya diri. Jika ambigu dan membingungkan, saya hanya akan menciptakan monster kayu yang siap ambruk.   

Paper ini menyoroti bahwa sistem manajemen keselamatan di banyak perusahaan sering kali "diabaikan dan tidak dijalankan secara sistematis". Kebijakan yang jelas dan tertulis adalah langkah pertama untuk mengubah pengabaian itu menjadi kesengajaan. Ini adalah komitmen hitam di atas putih yang menyatakan, "Di sini, kita melakukan segala sesuatunya dengan cara ini, karena ini adalah cara yang paling aman." Tanpa itu, semua orang hanya berimprovisasi, dan dalam konstruksi, improvisasi bisa berakibat fatal.   

Mesin Waktu Organisasi: Mengapa Kesalahan Adalah Aset Paling Berharga

Faktor nomor dua, "Pelajaran yang Dipetik" , adalah favorit saya. Saya suka membayangkannya sebagai kemampuan sebuah organisasi untuk "mengingat". Bayangkan setiap proyek baru dimulai dengan amnesia total. Tim yang baru akan membuat kesalahan yang persis sama dengan tim sebelumnya. Itulah yang terjadi ketika tidak ada proses formal untuk belajar dari kegagalan.   

Salah satu studi yang dikutip dalam paper menemukan bahwa banyak pekerja "tidak berpendidikan, tidak berpengalaman, dan tidak sadar" akan tindakan dan peralatan keselamatan. Proses "lessons learned" adalah penawar dari ketidaktahuan kolektif ini. Ketika sebuah insiden—atau bahkan nyaris celaka—terjadi, organisasi yang cerdas tidak hanya membersihkannya. Mereka membedahnya, mencari akar masalahnya, dan mengubah penemuan itu menjadi prosedur baru atau pelatihan yang lebih baik. Kesalahan, jika dikelola dengan benar, bukanlah aib. Ia adalah aset paling berharga untuk pertumbuhan.   

Jaringan Manusia: Semuanya Bermuara pada Percakapan

Dan akhirnya, perekat yang menyatukan semuanya: "Komunikasi yang Jelas". Kebijakan terbaik di dunia tidak ada gunanya jika tersimpan di folder server yang tidak pernah dibuka. Pelajaran paling berharga akan sia-sia jika tidak dibagikan kepada semua orang yang membutuhkannya.   

Komunikasi yang buruk adalah akar dari banyak masalah. Ini adalah alasan mengapa pekerja mungkin tidak tahu prosedur darurat (faktor peringkat #5) atau mengapa mereka takut untuk melaporkan kondisi tidak aman (salah satu poin dalam kuesioner). Bayangkan statistik mengerikan dari salah satu studi dalam paper: 56% kematian di lokasi konstruksi disebabkan oleh jatuh dari ketinggian. Berapa banyak dari tragedi itu yang bisa dicegah dengan percakapan sederhana di pagi hari tentang risiko di area kerja, atau dengan seorang pekerja yang merasa cukup aman untuk berkata, "Bos, perancah ini terasa tidak stabil"?   

Ketiga pilar ini—Kebijakan, Pembelajaran, dan Komunikasi—bukanlah elemen yang terpisah. Mereka membentuk sebuah siklus umpan balik yang hidup. Kebijakan menetapkan standar. Ketika terjadi penyimpangan, proses Pembelajaran menganalisisnya. Hasil analisis itu kemudian digunakan untuk memperbarui Kebijakan. Dan seluruh siklus ini digerakkan oleh Komunikasi. Ini mengubah keselamatan dari sebuah dokumen statis menjadi sistem yang dinamis dan terus membaik.

Apa yang Bikin Saya Terkejut (dan Sedikit Kritis)

Meskipun saya sangat terkesan dengan paper ini, ada beberapa hal yang membuat saya berpikir lebih dalam.

Kritik Halus: Hantu di dalam Mesin Statistik

Temuan dari paper ini sangat kuat, tapi cara analisanya, terus terang, agak terlalu abstrak. Dengan sampel hanya 45 orang , hasilnya adalah potret yang sangat menarik, tapi mungkin bukan gambaran panorama yang lengkap.   

Kritik utama saya adalah bahwa angka-angka RII ini tidak bisa menangkap tekanan manusiawi yang sebenarnya. Sebuah skor tidak bisa menceritakan kisah seorang pekerja muda yang takut menentang mandornya yang menyuruh mengambil jalan pintas. Sebuah angka tidak bisa mengukur kelelahan di akhir shift 12 jam yang membuat prosedur terbaik pun terlupakan. Paper ini dengan tepat membahas pentingnya "Budaya Keselamatan" , tetapi data kuantitatifnya tidak akan pernah bisa sepenuhnya menangkap "rasa" dari budaya tersebut—kepercayaan, keamanan psikologis, dan rasa hormat.   

Ujian Lakmus Kepemimpinan: Keselamatan di Atas Kecepatan

Di sinilah faktor "Kepemimpinan Keselamatan" masuk, yang juga diuji dalam kuesioner penelitian. Salah satu pertanyaan kunci adalah apakah "kepemimpinan di lokasi konstruksi memprioritaskan keselamatan di atas kecepatan." Ini sejalan dengan temuan lain yang dikutip dalam paper yang menyoroti "komitmen manajemen" sebagai isu krusial.   

Ini adalah ujian lakmus yang sesungguhnya. Semua kebijakan, sesi pembelajaran, dan buletin komunikasi akan sia-sia jika para pekerja melihat manajer mereka secara konsisten mengambil jalan pintas untuk mengejar tenggat waktu. Budaya tidak ditulis dalam manual; ia dicontohkan dari atas ke bawah. Ketika seorang pemimpin menunjukkan melalui tindakan—bukan hanya kata-kata—bahwa tidak ada jadwal yang lebih penting daripada nyawa manusia, saat itulah sistem yang abstrak di atas kertas menjadi kenyataan yang hidup di lapangan.

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (di Mana Saja)

Hal terbaik dari membaca paper ini adalah kesadaran bahwa prinsip-prinsip ini berlaku jauh di luar gerbang lokasi konstruksi. Tiga pilar ini adalah kerangka kerja universal untuk keunggulan dalam proyek apa pun.

  • Dalam proyek software: "Kebijakan" adalah standar pengkodean dan proses Jaminan Kualitas (QA). "Pelajaran" adalah sesi post-mortem setelah bug besar ditemukan. "Komunikasi" adalah rapat stand-up harian dan dokumentasi yang jelas.

  • Dalam kampanye pemasaran: "Kebijakan" adalah pedoman merek (brand guidelines). "Pelajaran" adalah analisis data dari kampanye sebelumnya untuk melihat apa yang berhasil dan tidak. "Komunikasi" adalah creative brief yang solid dan rapat koordinasi rutin.

Menguasai prinsip-prinsip protokol yang jelas, asesmen risiko, dan manajemen sistem ini adalah sebuah keahlian profesional yang sangat berharga. Bagi mereka yang berkecimpung di industri ini dan ingin memformalkan pengetahuan ini, pelatihan yang terarah seperti sertifikasi(https://diklatkerja.com/) bisa menjadi langkah penting. Seperti yang disebutkan oleh alumni mereka, pelatihan ini memberikan wawasan praktis dari para praktisi hebat di lapangan , menjembatani teori dengan aplikasi nyata.   

Pada akhirnya, pergeseran pola pikir terbesar bagi saya adalah dari reaktif ke proaktif. Sangat menarik bahwa faktor "mengidentifikasi akar penyebab kecelakaan" berada di peringkat ke-10 —jauh di bawah faktor-faktor preventif seperti kebijakan dan komunikasi. Pesan utamanya jelas: jangan hanya menjadi ahli dalam memadamkan api; jadilah arsitek sistem yang mencegah api muncul sejak awal.   

Sekarang Giliran Anda untuk Menggali Lebih Dalam

Membaca paper ini terasa seperti menemukan peta harta karun untuk sebuah masalah yang saya kira sudah saya pahami. Ternyata, keselamatan sejati—dan kesuksesan proyek secara umum—adalah sebuah sistem manusia yang hidup, yang dibangun di atas fondasi aturan yang jelas, kemauan untuk belajar dari kesalahan, dan keberanian untuk terus berkomunikasi.

Ini membuat saya bertanya-tanya: Di mana sistem ini bekerja dengan baik dalam hidup dan pekerjaan Anda? Dan di mana sistem ini gagal?

Kalau Anda tertarik dengan detail teknis dan metodologi di balik temuan ini, coba baca paper aslinya. Siapa tahu Anda menemukan wawasan yang berbeda.

(https://doi.org/10.17577/IJERTCONV12IS03124)

Selengkapnya
Saya Membaca Jurnal Ilmiah tentang Keselamatan Kerja, dan Ini Mengubah Cara Saya Mengatur Segalanya

Produktivitas & Karir

Rahasia Produktivitas Tersembunyi di Helm Proyek: Resensi Paper yang Mengubah Cara Saya Bekerja

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Bagian 1: Pengantar - Ketika Sebuah Paper Mengusik Rasa Aman Saya

Saya pernah berpikir 'keselamatan kerja' adalah urusan orang-orang yang memakai helm di proyek konstruksi, para insinyur di pabrik, atau pilot di kokpit pesawat. Bukan urusan saya, seorang pekerja pengetahuan yang senjatanya hanya laptop dan secangkir kopi. Sampai suatu hari, saat terburu-buru mengejar deadline, saya hampir tersandung kabel charger laptop saya sendiri di kantor. Insiden sepele, tidak ada yang terluka, tapi cukup untuk membuat jantung saya berdebar kencang.

Saat itu saya sadar: risiko ada di mana-mana, hanya skalanya yang berbeda. Insiden kecil itu membuat saya berpikir, apa sebenarnya yang membuat sebuah lingkungan kerja benar-benar aman? Apakah sekadar memasang tanda "Awas Licin" atau memiliki kebijakan setebal kamus yang tidak pernah dibaca siapa pun?

Rasa penasaran ini membawa saya ke sebuah paper ilmiah yang tak terduga dari Malaysia, berjudul “Safety Personnel's Perceptions on the Significant Factors that Affect Construction Projects Safety Performance”. Saya membukanya dengan sedikit skeptis. Apa yang bisa saya pelajari dari industri konstruksi, sebuah dunia yang digambarkan dalam paper itu sendiri sebagai industri "4-D": Dirty, Dangerous, Difficult, and Death (Kotor, Berbahaya, Sulit, dan Mematikan)?   

Ternyata, banyak sekali.

Paper ini langsung menyajikan data yang mengejutkan. Di Malaysia saja, pada tahun 2020, sektor konstruksi menyumbang 31% dari seluruh kematian di tempat kerja (66 dari 213 kasus). Angka ini bukan sekadar statistik; ini adalah pengingat brutal bahwa bagi sebagian orang, bekerja berarti mempertaruhkan nyawa setiap hari. Urgensi inilah yang membuat penelitian ini begitu penting.   

Namun, yang paling menarik perhatian saya bukanlah angka-angka suram tersebut, melainkan sebuah kalimat di bagian abstrak: "kinerja keselamatan yang buruk... menyebabkan beberapa kelemahan dan kegagalan dalam aspek kinerja proyek, biaya, waktu penyelesaian proyek, dan produktivitas". Di sinilah saya menemukan koneksi universalnya. Selama ini, kita sering melihat keselamatan dan produktivitas sebagai dua kutub yang berlawanan. Prosedur keselamatan dianggap memperlambat pekerjaan, menambah birokrasi, dan menghambat efisiensi.   

Paper ini membalikkan logika itu. Kecelakaanlah yang menyebabkan penundaan proyek, membengkakkan biaya, dan menghancurkan produktivitas. Jadi, investasi dalam keselamatan sebenarnya adalah investasi dalam prediktabilitas, stabilitas, dan pada akhirnya, kinerja. Lingkungan yang aman adalah lingkungan yang produktif karena mengurangi gangguan tak terduga.

Tujuan tulisan ini bukan untuk membahas cara membangun gedung pencakar langit dengan aman. Tujuannya adalah untuk membedah prinsip-prinsip universal di balik keselamatan dan kinerja yang ditemukan dalam penelitian ini, dan menerjemahkannya agar bisa kita terapkan di industri apa pun—dari startup teknologi hingga agensi kreatif, dari ruang kelas hingga ruang rapat. Karena ternyata, pelajaran dari para ahli yang setiap hari berhadapan dengan risiko hidup dan mati bisa mengubah cara kita semua bekerja.

Bagian 2: Dua Dunia Keselamatan yang Sering Kita Lupakan

Saat membaca lebih dalam, saya menemukan bahwa para peneliti, Nor Haslinda Abas dan timnya, tidak hanya membuat daftar panjang tentang "hal-hal yang harus dilakukan". Mereka menyajikan sebuah kerangka berpikir yang brilian dan sangat sederhana untuk memahami fondasi keselamatan kerja. Mereka membaginya menjadi dua level yang berbeda namun saling terkait: Level Proyek dan Level Organisasi.   

Bayangkan Anda sedang melatih sebuah tim sepak bola.

Level Proyek adalah semua yang terjadi di lapangan latihan. Ini adalah tentang teknik menendang bola, cara pemain berlari tanpa cedera, bagaimana mereka berkomunikasi saat pertandingan berlangsung, dan strategi spesifik untuk menghadapi lawan minggu ini. Ini adalah tindakan langsung, di tempat, sangat taktis, dan terlihat mata. Dalam konteks kerja, ini adalah inspeksi harian, penggunaan alat yang benar, pengawasan langsung oleh mandor, dan pelatihan spesifik untuk sebuah tugas.

Lalu, ada Level Organisasi. Ini adalah strategi besar dari pelatih kepala dan manajemen klub. Formasi apa yang akan kita gunakan sepanjang musim? Filosofi permainan apa yang kita anut—menyerang total atau bertahan rapat? Siapa saja pemain yang kita rekrut dan bagaimana kita membangun budaya di ruang ganti? Ini adalah kebijakan, sistem, anggaran, dan budaya yang menopang semua yang terjadi di lapangan. Ini adalah kekuatan yang tak terlihat, yang datang dari "kantor pusat".

Paper ini mendefinisikan Level Proyek sebagai hal-hal yang berkaitan dengan implementasi di lapangan, seperti sistem kerja yang aman, pengawasan, dan audit di lokasi. Sementara itu, Level Organisasi digambarkan sebagai komitmen dari manajemen puncak, kebijakan perusahaan, dan sistem manajemen keselamatan secara keseluruhan.   

Pemisahan ini sangat penting. Mengapa? Karena sering kali, perusahaan atau tim kita gagal bukan karena tidak punya niat baik, tetapi karena ada "putus koneksi" antara dua dunia ini.

Manajemen (Level Organisasi) bisa saja membuat kebijakan keselamatan setebal 500 halaman yang terlihat impresif di atas kertas. Tapi jika di lapangan (Level Proyek) tidak ada supervisor yang mengawasi, tidak ada pelatihan yang memadai, atau para pekerja tidak diberi waktu untuk mengikuti prosedur, maka kebijakan itu hanyalah tumpukan kertas tak berguna.

Sebaliknya, seorang manajer lapangan (Level Proyek) yang sangat peduli pada keselamatan timnya akan frustrasi dan tidak berdaya jika perusahaan (Level Organisasi) tidak menyediakan anggaran untuk membeli peralatan pelindung yang layak, tidak memberikan sumber daya untuk pelatihan, atau terus-menerus menekan target waktu yang tidak realistis sehingga memaksa timnya mengambil jalan pintas yang berbahaya.

Keselamatan yang efektif, dan saya berani bilang kinerja yang efektif, hidup di titik temu antara niat strategis (Organisasi) dan eksekusi taktis (Proyek). Kerangka berpikir ini memberi kita alat diagnostik yang kuat. Jika ada masalah dalam tim atau perusahaan Anda, coba tanyakan: "Apakah ini masalah eksekusi di lapangan, atau ini masalah sistem dan kebijakan dari atas?" Jawabannya sering kali akan mengejutkan Anda.

Bagian 3: Di Tengah Debu Proyek: Apa yang Sebenarnya Paling Penting?

Untuk memahami apa yang benar-benar penting di "lapangan", para peneliti tidak bertanya kepada para teoretisi. Mereka bertanya langsung kepada 56 personel keselamatan—Safety and Health Officer (SHO), Site Safety Supervisor (SSS), dan manajer keselamatan—yang bekerja di lokasi konstruksi di Kuala Lumpur. Ini bukan suara dari menara gading, tapi suara dari mereka yang setiap hari menghirup debu proyek dan berhadapan langsung dengan risiko. Kredibilitas mereka tak perlu diragukan; hampir separuh dari mereka (48.21%) memiliki pengalaman kerja antara 6 hingga 10 tahun.   

Apa kata mereka?

Jawaban dari 56 Ahli di Lapangan

Ketika diminta untuk menilai faktor-faktor di Level Proyek yang paling signifikan dalam mempengaruhi kinerja keselamatan, jawaban mereka sangat jelas. Menggunakan metode analisis Average Index (AI) dengan skala 1 (sangat tidak signifikan) hingga 5 (sangat signifikan), hasilnya menunjukkan sebuah prioritas yang kuat.

Faktor yang menduduki peringkat teratas adalah "Safety training" (Pelatihan Keselamatan), dengan skor AI yang sangat tinggi, yaitu 4.66 dari 5.00. Ini adalah temuan yang sangat kuat. Di tengah semua prosedur, kebijakan, dan peralatan canggih, para praktisi di lapangan mengatakan bahwa hal yang paling fundamental adalah melatih orang dengan benar.   

Berikut adalah rangkuman temuan teratas di Level Proyek:

  • 🥇 Juara Pertama: Pelatihan Keselamatan (AI: 4.66) - Bukan hanya memberi aturan, tapi membangun kemampuan dan kesadaran.

  • 🥈 Peringkat Dua: Implementasi Lingkungan Kerja Aman (AI: 4.59) - Mustahil bekerja dengan aman di tempat yang kacau dan berbahaya.

  • 🥉 Peringkat Tiga: Implementasi Petugas & Supervisor Keselamatan (AI: 4.59) - Butuh "wasit" di lapangan yang mengawasi, membimbing, dan menegakkan aturan main.

Untuk memberikan gambaran yang lebih jelas, mari kita lihat peringkat faktor-faktor paling kritis di Level Proyek berdasarkan persepsi para ahli ini.

Coba bayangkan siklusnya:

  1. Pelatihan memberikan pengetahuan dan keterampilan kepada pekerja tentang cara mengidentifikasi bahaya dan bekerja dengan aman.

  2. Lingkungan Kerja yang Aman menyediakan arena yang kondusif bagi mereka untuk menerapkan pengetahuan tersebut. Sulit menerapkan teori jika lingkungan sekitarnya sudah penuh bahaya.

  3. Supervisor memastikan pengetahuan itu diterapkan secara konsisten setiap hari. Mereka adalah penegak aturan, pelatih, dan mata di lapangan.

  4. Inspeksi dan Audit berfungsi sebagai mekanisme umpan balik. Keduanya memeriksa apakah sistem ini—pelatihan, lingkungan, dan pengawasan—berjalan efektif dan di mana letak kelemahannya. Hasil audit kemudian bisa digunakan untuk memperbaiki program pelatihan berikutnya.

Para ahli ini secara intuitif tidak memilih satu "obat mujarab". Mereka memilih komponen-komponen dari sebuah sistem yang dinamis dan terintegrasi di tingkat operasional. Ini adalah pelajaran penting: untuk menciptakan lingkungan kerja yang unggul, kita tidak bisa hanya fokus pada satu inisiatif, misalnya "ayo kita adakan lebih banyak pelatihan". Kita harus membangun dan memelihara seluruh ekosistem pendukungnya di lapangan.

Bagian 4: Dari Ruang Rapat ke Lokasi Proyek: Kekuatan Tak Terlihat dari Atas

Jika Level Proyek adalah tentang aksi di lapangan, maka Level Organisasi adalah tentang fondasi yang dibangun oleh para pemimpin di ruang rapat. Ini adalah tentang kebijakan, budaya, dan komitmen yang mengalir dari atas ke bawah. Apa kata para ahli tentang level ini?

Temuannya bahkan lebih tajam.

Bukan Sekadar Dokumen: Mengapa "Aturan" Jadi Juara Bertahan

Faktor yang menduduki peringkat paling puncak di Level Organisasi—dan bahkan di seluruh penelitian ini—adalah "Safety rules" (Aturan Keselamatan), dengan skor AI yang luar biasa tinggi: 4.68.   

Pada awalnya, ini terdengar membosankan dan birokratis. Aturan? Bukankah aturan justru yang sering kali menghambat inovasi dan kecepatan? Namun, jika kita melihat lebih dalam, "aturan" di sini bukan berarti birokrasi yang kaku. Ini berarti kejelasan, konsistensi, dan standar yang tidak bisa ditawar. Aturan yang baik menciptakan lingkungan yang prediktif, di mana setiap orang—dari direktur hingga pekerja baru—tahu persis apa yang diharapkan dari mereka, apa batasannya, dan apa konsekuensinya. Paper ini mengutip penelitian lain yang menyatakan bahwa "sikap keselamatan pekerja dipengaruhi oleh pemahaman mereka tentang... aturan keselamatan dan prosedur kerja". Tanpa aturan yang jelas, semua orang akan beroperasi berdasarkan asumsi mereka sendiri, dan di situlah kekacauan dan risiko muncul.   

Berikut adalah tiga pilar utama di Level Organisasi:

  • 🚀 Paling Mendasar: Aturan Keselamatan (AI: 4.68) - Memberikan kepastian, standar, dan bahasa yang sama untuk semua orang.

  • 🧠 Pilar Kedua: Induksi & Pemantauan Kinerja (AI: 4.61) - Memastikan semua orang memulai dengan benar melalui orientasi yang baik, dan kinerjanya terus dipantau untuk perbaikan berkelanjutan.

  • 💡 Pilar Ketiga: Kebijakan & Sistem Manajemen (AI: 4.59) - Kerangka kerja formal yang membuktikan bahwa komitmen perusahaan terhadap keselamatan bukanlah sekadar isapan jempol, melainkan sesuatu yang terstruktur dan terukur.

Menciptakan aturan dan sistem yang efektif seperti ini bukanlah pekerjaan mudah. Ini membutuhkan keahlian dalam manajemen risiko dan pengembangan kebijakan, sesuatu yang seringkali menjadi inti dari program sertifikasi K3 seperti yang ditawarkan di(https://diklatkerja.com/).

Di sinilah sebuah "paradoks" menarik muncul. Para ahli di lapangan menilai "Aturan Keselamatan" internal perusahaan sebagai faktor nomor satu. Namun, di bagian lain, paper ini juga mengutip beberapa studi yang menyatakan bahwa "peraturan dan legislasi saja tidak cukup untuk mencapai tujuan nol kecelakaan".   

Apa artinya ini? Ini menunjukkan adanya perbedaan krusial antara kepatuhan (compliance) dan komitmen (commitment). Peraturan dan legislasi dari pemerintah adalah standar minimum yang harus dipatuhi. Itu adalah tentang compliance. Namun, "Aturan Keselamatan" yang dinilai sangat tinggi oleh para ahli ini kemungkinan besar merujuk pada aturan internal perusahaan yang lebih dari sekadar standar minimum. Aturan ini adalah cerminan dari budaya dan commitment nyata perusahaan untuk menciptakan lingkungan kerja yang seaman mungkin.

Perusahaan yang biasa-biasa saja akan bertanya, "Apakah kita sudah patuh pada hukum?" Tapi perusahaan yang hebat akan bertanya, "Apakah sistem dan aturan internal kita benar-benar menciptakan lingkungan kerja yang paling aman dan produktif, jauh melampaui apa yang diwajibkan oleh hukum?" Ini adalah pergeseran dari pola pikir reaktif ("jangan sampai kita kena denda") ke pola pikir proaktif ("mari kita menjadi yang terbaik dalam hal ini").

Bagian 5: Pandangan Pribadi Saya: Cemerlang, Tapi Bukan Tanpa Catatan

Setelah membedah paper ini, saya harus mengakui bahwa saya sangat terkesan. Kejelasan para peneliti dalam memisahkan Level Proyek dan Level Organisasi memberikan sebuah lensa yang sangat praktis dan kuat untuk menganalisis masalah di tempat kerja mana pun. Ini adalah kerangka kerja yang bisa langsung saya gunakan untuk mendiagnosis masalah dalam tim saya sendiri.

Namun, seperti halnya semua penelitian, ada beberapa hal yang membuat saya penasaran. Meski temuannya hebat, penggunaan metode kuantitatif "Average Index" (AI) terasa sedikit menyederhanakan persepsi manusia yang kompleks. Skor 4.68 untuk "Aturan Keselamatan" adalah angka yang kuat, tapi saya penasaran: Apakah semua 56 responden setuju? Atau apakah ada perdebatan sengit di balik angka rata-rata itu? Mungkin ada cerita, pengalaman pribadi, atau frustrasi di balik angka-angka tersebut yang tidak bisa ditangkap oleh kuesioner. Analisis kualitatif tambahan, seperti wawancara mendalam, bisa jadi akan mengungkap "mengapa" di balik "apa".

Terlepas dari catatan kecil itu, kekuatan terbesar dari studi ini adalah kemampuannya untuk diterjemahkan ke berbagai konteks. Mari kita coba.

  • Di dunia startup teknologi, "Aturan Keselamatan" bisa berarti "standar coding" yang jelas untuk mencegah bug kritis. "Pelatihan Keselamatan" bisa berarti proses onboarding yang proper bagi developer baru agar mereka paham arsitektur sistem. "Inspeksi Keselamatan" bisa berupa code review yang rutin dan teliti.

  • Di sebuah agensi kreatif, "Lingkungan Kerja Aman" bisa berarti menciptakan budaya psikologis yang aman, di mana setiap orang merasa nyaman untuk memberikan ide gila atau mengkritik karya tanpa takut dihakimi. "Supervisor Keselamatan" adalah peran seorang creative director yang memastikan proses kreatif berjalan sehat dan tidak ada burnout.

  • Bahkan dalam pekerjaan pribadi sebagai seorang freelancer, "Level Organisasi" adalah sistem yang kita bangun untuk diri kita sendiri (jadwal kerja, manajemen keuangan), sementara "Level Proyek" adalah eksekusi tugas harian kita.

Prinsipnya tetap sama: struktur dari atas harus mendukung eksekusi di bawah.

Bagian 6: Kesimpulan - Pelajaran untuk Kita Semua dan Langkah Selanjutnya

Jadi, apa pelajaran terbesar yang bisa kita ambil dari 56 ahli keselamatan di Kuala Lumpur?

Bagi saya, pesannya sangat jelas: keselamatan dan kinerja unggul bukanlah hasil dari satu program tunggal atau satu kebijakan ajaib. Keduanya adalah produk dari sebuah tarian yang harmonis antara dua dunia. Dunia Level Organisasi yang menyediakan struktur, aturan, dan sumber daya dari atas ke bawah (top-down), dan dunia Level Proyek yang membangun keterampilan, kesadaran, dan pengawasan dari bawah ke atas (bottom-up).

Aturan terbaik di dunia tidak ada artinya tanpa pelatihan untuk menjalankannya. Dan pelatihan terbaik di dunia akan sia-sia tanpa aturan yang konsisten, lingkungan yang mendukung, dan komitmen yang terlihat dari para pemimpin. Keduanya saling membutuhkan. Aturan tanpa latihan adalah tirani. Latihan tanpa aturan adalah kekacauan.

Jadi, coba lihat sejenak lingkungan kerjamu. Apakah atasanmu hanya membuat aturan tanpa memberikan pelatihan yang memadai? Atau apakah timmu diberi banyak pelatihan tapi tanpa arah dan standar yang jelas dari perusahaan? Mungkin, seperti yang ditunjukkan oleh 56 ahli ini, kunci untuk lompatan kinerja berikutnya ada di titik temu keduanya.

Kalau tulisan ini membuat Anda penasaran dan ingin menyelami datanya lebih dalam, saya sangat merekomendasikan Anda untuk membaca paper aslinya. Siapa tahu, Anda akan menemukan wawasan yang bisa mengubah cara Anda bekerja juga.

(https://doi.org/10.30880/ijie.2021.13.03.001)

Selengkapnya
Rahasia Produktivitas Tersembunyi di Helm Proyek: Resensi Paper yang Mengubah Cara Saya Bekerja

Manajemen & Kepemimpinan

Kenapa Pelatihan Tim Anda Gagal? Pelajaran Tak Terduga dari Jurnal K3 Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic pada 27 Oktober 2025


Pendahuluan: Kenapa Pelatihan Tim Saya Dulu Sering Gagal Total

Saya masih ingat betul rasanya. Ruangan penuh semangat, proyektor menyala terang, dan seorang instruktur mahal sedang memberikan materi tentang "Teknik Penjualan Inovatif". Saya, sebagai manajer tim saat itu, duduk di belakang dengan perasaan bangga. Anggaran disetujui, logistik beres, dan tim saya terlihat antusias mencatat. Saya yakin, inilah investasi yang akan mengubah performa kami.

Dua minggu kemudian, semangat itu lenyap. Laporan penjualan sama saja. Obrolan di pantry kembali ke topik lama. Teknik-teknik baru yang diajarkan seolah menguap ditelan rutinitas. Pelatihan itu, dengan segala biaya dan energinya, terasa seperti mimpi demam yang berlalu begitu saja. Gagal total.

Bertahun-tahun saya bertanya-tanya, apa yang salah? Apakah instrukturnya kurang bagus? Materinya tidak relevan? Atau tim saya yang memang sulit berubah? Pertanyaan itu terus menghantui sampai beberapa waktu lalu, ketika saya secara tidak sengaja menemukan sebuah jurnal ilmiah. Judulnya terdengar sangat teknis: "Peningkatan Kemampuan Calon Ahli Muda K3 Konstruksi Melalui Manajemen Pelatihan dan Kompetensi K3 Konstruksi".   

Jujur, reaksi pertama saya adalah, "Apa yang bisa saya pelajari dari jurnal tentang Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) di proyek konstruksi?" Dunia saya jauh dari helm proyek dan rompi pengaman. Tapi karena penasaran, saya mulai membacanya. Dan di antara paragraf-paragraf formal dan diagram-diagram kaku itu, saya menemukan sebuah kerangka berpikir yang begitu jernih dan kuat. Kerangka itu tidak hanya menjawab kenapa pelatihan saya dulu gagal, tapi juga mengubah total cara saya memandang pengembangan diri dan tim selamanya. Ternyata, rahasia pelatihan yang berhasil tersembunyi di tempat yang paling tidak terduga.

Kesenjangan Kompetensi: Musuh Tak Terlihat yang Menggerogoti Produktivitas Kita

Konsep inti yang membuat saya terkesima dari jurnal ini adalah sesuatu yang disebut "Kesenjangan Kompetensi" atau Competency Gap. Istilahnya mungkin terdengar seperti jargon HR, tapi idenya sangat sederhana dan universal.   

Analogi Secangkir Kopi: Punya Mesin Canggih, tapi Tak Tahu Cara Membuat Espresso

Bayangkan kantor Anda baru saja membeli mesin espresso canggih seharga puluhan juta. Semua orang bersemangat. Mesin itu punya potensi untuk menghasilkan kopi terenak yang pernah ada. Tapi ada satu masalah: tidak ada satu pun di kantor yang tahu cara menggunakannya dengan benar. Ada yang menggiling biji kopi terlalu kasar, ada yang tidak tahu cara memadatkan bubuknya (tamping), ada juga yang gagal membuat buih susu (milk foam) yang sempurna.

Hasilnya? Kopi yang keluar rasanya asam, encer, dan mengecewakan. Apakah mesinnya rusak? Tentu tidak. Apakah orang-orangnya bodoh? Sama sekali tidak. Yang ada hanyalah sebuah kesenjangan—jarak antara potensi mesin yang luar biasa (kompetensi yang diinginkan) dengan kemampuan tim saat ini (kompetensi yang ada).

Itulah "Kesenjangan Kompetensi".

Apa Kata Riset? Membedah "Kesenjangan" dengan Bahasa Manusiawi

Jurnal ini mendefinisikannya dengan sangat jelas: Kesenjangan Kompetensi adalah selisih antara kompetensi minimal yang disyaratkan untuk suatu pekerjaan dengan kompetensi yang dimiliki oleh seorang karyawan saat itu. Penulis bahkan menyajikan sebuah matriks sederhana yang memvisualisasikan ide ini. Di sana, ada garis "Kompetensi Minimal" yang menjadi standar, dan ada area "Kompetensi yang Ada" di bawahnya. Ruang kosong di antara keduanya itulah yang disebut Kesenjangan Kompetensi.   

Di sinilah letak kejeniusannya. Jurnal tersebut menyatakan bahwa seluruh tugas dan tujuan dari sebuah pelatihan (diklat) adalah untuk mengisi ruang kosong itu. Bukan untuk memberikan sertifikat, bukan untuk memenuhi agenda tahunan, tapi untuk secara spesifik dan terukur menutup kesenjangan tersebut.   

Ini mengubah segalanya. Selama ini, saya melihat performa buruk sebagai masalah personal. "Si A kurang inisiatif," atau "Tim B tidak kreatif." Kerangka Kesenjangan Kompetensi ini memaksa saya untuk mengubah cara pandang. Masalahnya bukan pada orangnya, tapi pada gap yang bisa diidentifikasi dan diukur. Pertanyaannya bukan lagi "Siapa yang salah?", melainkan "Kesenjangan spesifik apa yang perlu kita tutup agar tim ini bisa berhasil?"

Pendekatan ini jauh lebih konstruktif dan penuh hormat. Ia mengubah masalah sumber daya manusia yang rumit menjadi sebuah tantangan teknis yang bisa dipecahkan. Ini adalah alat diagnostik yang bisa dipakai di tim penjualan, tim software developer, tim marketing, atau bahkan untuk pengembangan diri kita sendiri.

Siklus Ajaib Pelatihan: Jauh Lebih dari Sekadar Presentasi PowerPoint dan Sertifikat

Jika Kesenjangan Kompetensi adalah diagnosisnya, maka "Manajemen Pelatihan" adalah resep pengobatannya. Dan menurut jurnal ini, pengobatan yang efektif bukanlah pil sekali minum, melainkan sebuah siklus berkelanjutan.

Peta Jalan Menuju Keahlian: Dari Analisis Kebutuhan hingga Laporan Akhir

Banyak dari kita, termasuk saya di masa lalu, menganggap pelatihan sebagai sebuah acara tunggal: undang pembicara, kumpulkan peserta, selesai. Jurnal ini menunjukkan betapa kelirunya pemikiran tersebut. Mereka menyajikan sebuah diagram bernama "Siklus Sistem Pelatihan". Meskipun diagramnya penuh dengan akronim yang membingungkan, pesannya sangat jelas: pelatihan yang efektif adalah sebuah lingkaran, bukan garis lurus.   

Siklus ini dimulai dari Analisis Kebutuhan Pelatihan (Training Need Analysis), di mana kita mengidentifikasi Kesenjangan Kompetensi tadi. Dari sana, kita merancang kurikulum, mengembangkan materi, melaksanakannya, dan yang terpenting, melakukan evaluasi. Hasil evaluasi ini kemudian menjadi masukan untuk analisis kebutuhan berikutnya. Pelatihan bukanlah sebuah titik, melainkan sebuah ekosistem yang hidup dan terus berputar, memastikan pengembangan tim selalu relevan dan berdampak.   

Metode PMT: Tiga Pilar Perencanaan yang Sering Kita Lupakan

Jurnal ini membedah prosesnya menjadi tiga tahap utama: Perencanaan, Pelaksanaan, dan Pasca-Pelatihan. Di tahap perencanaan, ada satu metode sederhana namun brilian yang disebut PMT. Ini adalah checklist mental yang seharusnya kita gunakan sebelum merancang pelatihan apa pun.   

  • P (People - Panitia, Peserta, Instruktur): Kita seringkali hanya fokus pada peserta. Padahal, keberhasilan pelatihan bergantung pada keselarasan tiga pihak ini. Apakah panitia penyelenggara benar-benar paham tujuan pelatihan? Apakah instruktur yang dipilih tidak hanya ahli di bidangnya, tapi juga cocok dengan gaya belajar peserta? Menyatukan instruktur hebat dengan audiens yang tidak tepat adalah pemborosan sumber daya yang luar biasa.

  • M (Material & Method - Media, Metode, Materi): Ini adalah jantung dari desain pelatihan. Apakah metode pengajarannya sesuai dengan materi? Mengajarkan skill teknis seperti coding tentu tidak bisa hanya dengan ceramah. Perlu ada sesi praktik langsung. Apakah media yang digunakan (slide, video, alat peraga) benar-benar membantu pemahaman, atau hanya menjadi hiasan?

  • T (Time): Waktu bukan hanya soal penjadwalan. Ini tentang alokasi yang realistis. Berapa banyak waktu yang benar-benar dibutuhkan untuk menguasai sebuah konsep? Memadatkan materi yang seharusnya butuh dua hari ke dalam sesi tiga jam adalah resep pasti menuju kegagalan.

Menjadi Pelatih Hebat: Bukan Cuma soal Menguasai Materi

Pada tahap pelaksanaan, jurnal ini memberikan satu lagi permata tersembunyi. Untuk menjadi seorang pelatih atau trainer yang baik, ada tiga hal yang harus dikuasai: content masterypersonal conduct, dan social practice.   

Content mastery (penguasaan materi) adalah syarat dasar; Anda harus tahu apa yang Anda bicarakan. Tapi itu saja tidak cukup. Personal conduct (sikap personal) adalah tentang profesionalisme, cara Anda membawa diri, dan membangun kredibilitas. Sementara social practice (praktik sosial) adalah kemampuan untuk "membaca ruangan", memfasilitasi diskusi, dan membuat setiap peserta merasa terlibat. Inilah yang membedakan seorang penceramah dengan seorang guru sejati.

Apa yang Paling Mengejutkan Saya dari Paper Ini

Di antara semua gagasan hebat dalam jurnal ini, ada satu bagian yang benar-benar membuat saya berhenti sejenak dan berpikir ulang. Bagian itu adalah tentang apa yang terjadi setelah pelatihan selesai.

Emas yang Terkubur di Tahap "Pasca-Pelatihan"

Inilah pelajaran paling penting yang saya dapat: nilai sesungguhnya dari sebuah pelatihan tidak diciptakan saat acara berlangsung, melainkan setelahnya. Tahap perencanaan dan pelaksanaan hanyalah investasi awal. Pengembalian atas investasi itu (Return on Investment) baru akan terwujud pada tahap "Pasca-Pelatihan".

Jurnal ini menekankan bahwa setelah pelatihan, peserta wajib membuat tiga hal: evaluasi, rencana tindakan (action plan), dan mekanisme tindak lanjut (follow-up) dari rencana tersebut. Ini adalah mata rantai yang hilang dari pelatihan saya yang gagal dulu. Kami menyelesaikan sesi, mengucapkan terima kasih, lalu semua orang kembali ke mejanya masing-masing. Tidak ada rencana tindakan konkret, tidak ada follow-up dari saya sebagai manajer. Pengetahuan yang baru didapat, tanpa sistem untuk diterapkan, akhirnya menguap begitu saja.   

Kebanyakan perusahaan, seperti saya dulu, menghentikan prosesnya tepat di saat yang paling krusial. Kita sudah susah payah menanam benih, tapi kita lupa menyiraminya. Jurnal ini, dengan menempatkan tahap Pasca-Pelatihan sebagai pilar yang setara dengan Perencanaan dan Pelaksanaan, memberikan peta untuk memanen hasil dari investasi pelatihan kita.

Sebuah Kritik Halus: Abstrak untuk Pemula, Praktis untuk Manajer

Meskipun saya sangat mengagumi isi jurnal ini, saya harus jujur. Ini bukan bacaan yang mudah bagi semua orang. Kerangka berpikirnya sangat kuat, tapi penyajiannya sangat akademis. Diagram seperti "Siklus Sistem Pelatihan" dengan akronim-akronimnya (AKAD, RKK, PEU, dll.) bisa terasa mengintimidasi dan tidak intuitif bagi pembaca awam.   

Di sinilah peran tulisan seperti ini. Jurnal tersebut menyimpan ide-ide brilian yang terkunci dalam formalitas bahasa ilmiah. Tugas saya adalah membuka kunci itu dan menyajikannya dalam bahasa yang bisa dipahami dan langsung diterapkan oleh para profesional di luar sana. Jadi, meski temuannya hebat, cara analisanya mungkin agak terlalu abstrak untuk pemula, namun sangat praktis jika Anda bersedia meluangkan waktu untuk menerjemahkannya.

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini di Tim Saya

Jadi, setelah semua teori ini, apa yang bisa kita lakukan secara konkret pada hari Senin pagi? Berdasarkan pembedahan jurnal ini, saya merangkumnya menjadi tiga pelajaran utama yang bisa langsung diterapkan.

  • 🚀 Hasilnya Luar Biasa: Tujuan akhir pelatihan yang baik bukanlah sekadar peningkatan skill. Jurnal ini menyimpulkan bahwa pendekatan yang sistematis ini berhasil mengubah mindset (pola pikir) dan sikap peserta. Artinya, pelatihan yang dirancang dengan benar adalah alat yang sangat ampuh untuk melakukan perubahan budaya dalam sebuah tim atau perusahaan.   

  • 🧠 Inovasinya: Berhentilah melihat pelatihan sebagai "obat" reaktif untuk sebuah masalah atau sekadar fasilitas tambahan. Mulailah menggunakan kerangka Kesenjangan Kompetensi secara proaktif. Jadikan ini pertanyaan rutin dalam rapat tim Anda: "Apa kesenjangan terbesar antara kemampuan kita saat ini dan apa yang kita butuhkan untuk menang di kuartal depan?" Pelatihan kemudian menjadi investasi strategis untuk menutup kesenjangan spesifik tersebut.

  • 💡 Pelajaran Utama: Jangan pernah lagi merancang atau memesan sebuah program pelatihan tanpa melakukan Analisis Kebutuhan Pelatihan terlebih dahulu. Sebelum Anda mencari pembicara atau membuat satu slide pun, Anda harus bisa menjawab pertanyaan ini dengan sangat jelas: "Kesenjangan kompetensi spesifik apa yang ingin kita tutup, dan mengapa itu penting sekarang?"   

Membangun kompetensi yang solid, terutama di bidang teknis seperti K3 atau manajemen proyek, adalah fondasi dari semua ini. Jika Anda atau tim Anda ingin memperkuat dasar-dasar tersebut dan secara sistematis menutup 'Kesenjangan Kompetensi' Anda, melihat program sertifikasi profesional seperti yang ditawarkan di(https://www.diklatkerja.com) bisa menjadi langkah pertama yang sangat strategis.

Kesimpulan: Mengubah Pola Pikir, Bukan Sekadar Menambah Sertifikat

Sekarang, ketika saya mengingat kembali pelatihan penjualan yang gagal bertahun-tahun lalu, saya akhirnya tahu persis apa yang salah. Saya terlalu fokus pada acaranya—logistik, makanan, dan sertifikat—bukan pada prosesnya. Saya mencoba menambahkan satu skill baru, padahal yang seharusnya saya lakukan adalah menutup sebuah kesenjangan yang teridentifikasi dengan jelas. Saya tidak melakukan analisis kebutuhan yang mendalam dan, yang paling fatal, saya tidak punya rencana apa pun untuk tahap pasca-pelatihan.

Pelajaran terbesar dari jurnal K3 konstruksi ini, yang ironisnya sangat relevan untuk dunia kerja mana pun, adalah bahwa kompetensi sejati merupakan gabungan dari pengetahuan, keterampilan, dan yang paling penting, sikap. Tujuan dari setiap program pengembangan yang hebat bukanlah sekadar mengajari orang apa yang harus dilakukan, tetapi mengubah cara mereka berpikir tentang pekerjaan mereka.   

Inilah perbedaan antara tim yang hanya patuh pada aturan dan tim yang benar-benar unggul.

Tentu saja, tulisan ini hanya menggores permukaan dari sebuah riset yang padat. Kalau kamu adalah tipe orang yang suka menggali lebih dalam dan melihat langsung metodologi serta data lengkapnya, saya sangat merekomendasikan untuk membaca paper aslinya. Ini adalah bacaan yang menantang tapi sangat berharga.

(https://doi.org/10.33751/jam.v6i1.5289)

Selengkapnya
Kenapa Pelatihan Tim Anda Gagal? Pelajaran Tak Terduga dari Jurnal K3 Konstruksi
page 1 of 1.254 Next Last »