Tembok Tak Kasat Mata di Kantor Kita: Pelajaran Komunikasi dari Lokasi Konstruksi

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

27 Oktober 2025, 14.05

Tembok Tak Kasat Mata di Kantor Kita: Pelajaran Komunikasi dari Lokasi Konstruksi

Beberapa tahun lalu, saya pernah terlibat dalam sebuah proyek di mana tim saya dan klien punya pemahaman yang sama sekali berbeda tentang kata "sederhana". Bagi klien, "sederhana" berarti lebih sedikit fitur. Bagi kami, para desainer dan developer, "sederhana" berarti antarmuka pengguna yang bersih dan minimalis, yang sering kali justru lebih rumit pembuatannya. Perbedaan persepsi ini? Hasilnya adalah kerja sia-sia selama berminggu-minggu, frustrasi, dan rapat-rapat tegang yang tak ada habisnya.

Kejadian itu menyadarkan saya satu hal: masalah paling berbahaya dalam sebuah proyek sering kali bukan masalah teknis, melainkan masalah persepsi. Kita merasa sudah bicara bahasa yang sama, padahal sebenarnya kita berada di planet yang berbeda.

Baru-baru ini, saya menemukan sebuah paper penelitian yang membahas jurang persepsi serupa, tetapi dalam konteks yang jauh lebih kritis, di mana taruhannya bukan sekadar tenggat waktu, melainkan nyawa. Paper karya Mostafa Namian dkk. berjudul “Construction Safety Training: Exploring Different Perspectives of Construction Managers and Workers” membawa kita ke lingkungan proyek konstruksi yang berisiko tinggi.1 Industri ini, menurut para peneliti, memiliki "tingkat cedera kerja fatal dan non-fatal yang tinggi," dan program pelatihan keselamatan yang ada sering kali "gagal meningkatkan kinerja keselamatan secara signifikan".1

Pertanyaan mendasar yang ingin dijawab oleh studi ini sederhana namun mendalam: Mengapa di sebuah industri di mana keselamatan adalah segalanya, para manajer dan pekerja seolah hidup di dua realitas yang berbeda? Apa yang sebenarnya terjadi di balik angka-angka kecelakaan kerja yang terus meningkat? Temuan mereka, menurut saya, tidak hanya relevan untuk mandor konstruksi, tetapi juga untuk setiap manajer, pemimpin tim, atau siapa pun yang pernah merasa ada "tembok tak kasat mata" antara mereka dan timnya.

Dua Sisi dari Koin yang Sama: Kisah Para Manajer dan Pekerja

Para peneliti melakukan hal yang brilian. Mereka tidak hanya mengamati dari jauh. Mereka turun langsung ke 29 lokasi proyek konstruksi dan mewawancarai 79 manajer dan 53 pekerja.1 Mereka menanyakan serangkaian pertanyaan yang sama, tetapi dari dua sudut pandang yang berbeda, menggunakan skala 0 ("Sangat Tidak Setuju") hingga 10 ("Sangat Setuju").1 Hasilnya melukiskan dua gambaran realitas yang sangat kontras.

Pandangan dari Atas: "Kami Sudah Melakukan Segalanya dengan Benar."

Coba bayangkan sejenak kamu adalah seorang manajer proyek. Kamu sudah mengalokasikan anggaran untuk pelatihan, menjadwalkan rapat keselamatan rutin, dan selalu bilang ke semua orang bahwa "pintu ruangan saya selalu terbuka" untuk masukan apa pun. Dari sudut pandangmu, semua kotak persyaratan sudah dicentang. Sistem sudah berjalan sebagaimana mestinya.

Perasaan ini tecermin dengan sempurna dalam data:

  • Manajer menilai efektivitas pelatihan yang mereka berikan dengan skor tinggi, yaitu 8.2 dari 10.1

  • Mereka sangat yakin bahwa rapat keselamatan diadakan secara rutin, memberikan skor 8.6 dari 10.1

  • Dan yang paling mencolok, mereka merasa luar biasa terbuka terhadap masukan dari para pekerja, memberikan skor nyaris sempurna, 9.4 dari 10.1

Dari data ini, terlihat jelas bahwa para manajer percaya dengan tulus pada sistem yang telah mereka bangun. Mereka merasa telah memenuhi tanggung jawab mereka dengan baik. Masalahnya, pandangan ini tidak sepenuhnya dirasakan oleh mereka yang berada di lapangan.

Realitas di Lapangan: "Apa Ada yang Benar-Benar Mendengarkan?"

Sekarang, mari kita ganti sepatu. Bayangkan kamu adalah seorang pekerja di lokasi proyek. Setiap hari kamu berhadapan langsung dengan risiko. Pelatihan yang kamu terima terasa umum dan kurang relevan dengan pekerjaan spesifikmu. Rapat keselamatan yang katanya "rutin" terasa sporadis. Dan soal "pintu yang selalu terbuka"? Mungkin secara fisik iya, tapi sejarah dan budaya kerja yang ada membuatmu berpikir dua kali untuk benar-benar masuk dan menyuarakan kekhawatiran.

Lagi-lagi, data berbicara dengan lantang:

  • Para pekerja merasakan pelatihan yang sama itu jauh kurang efektif, hanya menilainya 7.2 dari 10.1

  • Mereka merasa rapat "rutin" itu jauh lebih jarang terjadi, memberikan skor 7.0 dari 10.1

  • Dan yang paling krusial, mereka tidak merasakan keterbukaan luar biasa dari para manajer. Skor yang mereka berikan hanya 7.5 dari 10.1

Perbedaan ini bukan sekadar selisih angka. Ini adalah cerminan dari dua dunia yang berbeda. Seorang pekerja dalam studi ini bahkan menyuarakan keputusasaan di balik angka-angka tersebut, mengatakan bahwa jurang ini mungkin tidak akan pernah bisa dijembatani karena ini adalah soal "dua anak tangga yang berbeda di tangga sosial—lakukan apa yang diperintahkan atau kami akan cari orang lain yang mau!".1 Komentar ini menyoroti adanya isu kekuasaan dan ketakutan yang tidak tertangkap oleh survei manapun, tetapi sangat terasa di lapangan.

Data Tak Pernah Bohong: Saat Jurang Menjadi Sebuah Ngarai

Ketika kita sandingkan kedua data ini, kita tidak lagi melihat perbedaan pendapat. Kita melihat sebuah ngarai pemahaman yang dalam dan—secara statistik—sangat signifikan.1

  • 🚀 Tentang Efektivitas Pelatihan

    • Pandangan Manajer: $8.2/10$

    • Pandangan Pekerja: $7.2/10$

    • Jurangnya: Perbedaan persepsi sebesar 14%. Ini bukan selisih kecil, ini signifikan secara statistik.

  • 🧠 Tentang Frekuensi Rapat Keselamatan

    • Pandangan Manajer: $8.6/10$

    • Pandangan Pekerja: $7.0/10$

    • Jurangnya: Perbedaan persepsi sebesar 24%. Semakin lebar.

  • 💡 Tentang Keterbukaan Manajer terhadap Masukan

    • Pandangan Manajer: $9.4/10$

    • Pandangan Pekerja: $7.5/10$

    • Jurangnya: Perbedaan persepsi yang mengejutkan, sebesar 26%. Ini adalah jurang terdalam di antara semuanya.

Satu hal yang membuat saya merenung adalah jurang persepsi terbesar bukanlah tentang hal-hal yang konkret seperti materi pelatihan atau jadwal rapat. Jurang terbesar ada pada kualitas yang tak kasat mata dan emosional: "keterbukaan". Ini adalah petunjuk pertama bahwa akar masalahnya bukanlah soal logistik, melainkan soal psikologis. Ini bukan tentang kurangnya prosedur, tapi tentang kurangnya rasa aman untuk bersuara.

Hal Mengejutkan yang Diam-Diam Disetujui Semua Orang

Awalnya, mudah sekali untuk melihat data ini dan menyimpulkan bahwa ini adalah permainan saling menyalahkan. Manajer merasa sudah benar, pekerja merasa diabaikan. Selesai. Tapi di sinilah kejeniusan studi ini muncul. Para peneliti juga melihat pertanyaan-pertanyaan di mana kedua belah pihak tidak berbeda pendapat, dan di situlah semuanya menjadi jauh lebih menarik.

Ada dua pertanyaan kunci di mana tidak ada perbedaan statistik yang signifikan antara manajer dan pekerja 1:

  1. Apakah para pekerja terlibat (engaged) dalam materi pelatihan?

  2. Apakah para pekerja menggunakan materi pelatihan itu dalam pekerjaan sehari-hari?

Untuk kedua pertanyaan ini, baik manajer maupun pekerja sama-sama memberikan skor yang relatif rendah. Ini adalah momen "Aha!"-nya.

Di sinilah opini pribadi saya masuk. Menurut saya, ini adalah bagian paling cemerlang dari studi ini. Meskipun mereka saling tunjuk jari tentang mengapa pelatihan itu gagal, kedua belah pihak diam-diam mengakui bahwa pelatihan itu memang gagal. Manajer mungkin berpikir, "Pelatihannya sudah bagus, tapi pekerjanya saja yang tidak memperhatikan." Sementara pekerja berpikir, "Bagaimana kami mau memperhatikan kalau pelatihannya membosankan dan tidak relevan?"

Tapi data menunjukkan bahwa mereka sebenarnya sedang melihat mesin yang sama-sama rusak, hanya saja mereka menyalahkan komponen yang berbeda. Ini mengubah narasi dari "kami vs. mereka" menjadi "kita semua vs. proses yang rusak ini."

Lebih dalam lagi, ini menunjukkan adanya semacam disonansi kognitif di pihak manajer. Bagaimana mungkin sebuah pelatihan dinilai "efektif" dengan skor 8.2, jika pada saat yang sama semua pihak setuju bahwa pelatihan itu tidak menarik dan tidak diterapkan di lapangan? Ini menyiratkan bahwa para manajer mungkin mengukur kinerja mereka berdasarkan upaya ("Kami sudah memberikan pelatihan"), bukan berdasarkan hasil ("Apakah pelatihan itu benar-benar membuat orang lebih aman?"). Ini adalah pergeseran pola pikir yang krusial bagi setiap pemimpin: berhenti mengukur kesuksesan dari selesainya tugas, dan mulailah mengukurnya dari tercapainya tujuan.

Ini Bukan tentang Keselamatan—Ini tentang Berbicara Bahasa yang Sama

Jadi, jika kedua belah pihak sebenarnya melihat masalah yang sama (pelatihan yang tidak efektif), dan keduanya punya tujuan yang sama (semua orang pulang dengan selamat), lalu di mana letak masalahnya?

Studi ini memberikan jawaban yang sangat jelas setelah melakukan wawancara lanjutan. Ketika ditanya apakah perbedaan persepsi ini bisa didamaikan, mayoritas responden—81%—menjawab "Ya".1 Ada optimisme yang luar biasa di balik frustrasi yang ada.

Harapan ini berakar pada satu landasan bersama yang fundamental. Seperti yang dikatakan seorang peserta, "Ya, saya yakin kita sudah punya landasan bersama, tidak ada yang mau terluka atau melihat orang lain terluka".1 Seorang pekerja lain menambahkan, "Saya percaya manajer merasakan hal yang sama tentang memastikan kami pulang dengan selamat. Bisnis mereka bergantung pada itu".1

Tujuannya sama. Niat baiknya ada. Lalu, apa penghalangnya?

Para peneliti menyimpulkannya dalam satu frasa: "kurangnya komunikasi yang layak".1 Kata "komunikasi" ini muncul berulang kali dari kedua belah pihak.

  • Seorang pekerja berkata, "Tentu saja, komunikasi adalah yang paling penting di semua fase industri konstruksi".1

  • Seorang manajer menggemakan, "Saya setuju, mengomunikasikan tujuan besar adalah kuncinya".1

Namun, jika kita melihat lebih dekat pada komentar para pekerja, "komunikasi" ternyata lebih dari sekadar berbicara. Bagi mereka, komunikasi terkait erat dengan dinamika kekuasaan. Mereka mengaitkan komunikasi yang lebih baik dengan "jaminan kerja," "empati," dan keinginan agar manajer "lebih sering turun ke lapangan" untuk mendapatkan "pemahaman yang lebih baik tentang realitas".1

Ini berarti, solusi yang ditawarkan bukanlah sekadar lebih banyak rapat atau email. Solusinya menuntut perubahan mendasar dalam cara pemimpin berhubungan dengan timnya. Ini tentang menciptakan lingkungan di mana seorang pekerja bisa menyuarakan masalah tanpa takut kehilangan pekerjaan.

Meski temuannya hebat, paper ini dengan cemerlang mendiagnosis penyakitnya sebagai kerusakan komunikasi, tetapi terasa kurang memberikan resep penyembuhannya. Bagaimana cara memulai percakapan ini, terutama ketika ada ketidakseimbangan kekuasaan dan kurangnya kepercayaan? Di sinilah teori bertemu praktik. Membangun budaya komunikasi terbuka bukan hanya soal mengatakan "pintu saya terbuka". Ini tentang mengembangkan keterampilan spesifik dalam mendengarkan aktif, memberikan umpan balik, dan membangun keamanan psikologis. Ini adalah jenis pelatihan kepemimpinan mendasar yang dirancang untuk dibangun oleh kursus-kursus dari penyedia seperti(https://www.diklatkerja.com/).

Merobohkan Tembok Anda Sendiri, Mulai Hari Ini

Studi ini mungkin berlatar di lokasi konstruksi yang penuh debu dan bising, tetapi pelajarannya bergema di setiap kantor, ruang rapat, dan bahkan di panggilan Zoom. Jurang pemahaman antara pemimpin dan tim adalah masalah universal.

Jadi, apa yang bisa kita lakukan?

Bayangkan jika kamu menerapkan lensa dari studi ini ke tempat kerjamu sendiri.

  • Jika kamu seorang manajer atau pemimpin: Berhentilah bertanya, "Apakah tim saya sudah mendapatkan pelatihan?" dan mulailah bertanya, "Apa satu hal yang membuat tim saya sulit untuk angkat bicara tentang masalah?" Jawaban dari pertanyaan kedua jauh lebih berharga.

  • Jika kamu anggota tim: Cobalah membingkai masukanmu berikutnya bukan sebagai keluhan, tetapi sebagai pengamatan untuk tujuan bersama. Misalnya, "Saya perhatikan saat kita melakukan X, hasilnya adalah Y. Saya khawatir ini bisa menimbulkan masalah untuk proyek. Bagaimana kita bisa mengatasi ini bersama?"

Pesan utama dari penelitian ini sangat kuat: Jurang di dalam organisasi kita jarang disebabkan oleh kurangnya tujuan bersama, tetapi hampir selalu disebabkan oleh kurangnya pemahaman bersama. Solusinya bukan bekerja lebih keras, tetapi berkomunikasi dengan lebih baik, lebih dalam, dan lebih jujur.

Tulisan ini hanya menggores permukaan dari wawasan luar biasa dalam penelitian ini. Jika kamu seorang pemimpin, pelajar perilaku manusia, atau hanya seseorang yang ingin membangun tim yang lebih baik, saya sangat menganjurkanmu untuk membaca paper aslinya. Ini mungkin akan mengubah caramu memandang tempat kerjamu selamanya.

(https://doi.org/10.18260/1-2--31779)