Setiap pagi, dalam perjalanan ke kantor, saya melewati sebuah proyek konstruksi raksasa. Gedung pencakar langit yang perlahan merayap ke angkasa. Saya selalu merasa ada dua hal sekaligus: kekaguman pada skala ambisinya, dan kecemasan samar melihat para pekerja yang terlihat begitu kecil di ketinggian. Saya selalu berpikir, "Semoga mereka aman." Tapi "aman" bagi saya waktu itu cuma sebatas gambaran helm kuning dan jaring pengaman. Saya tidak pernah benar-benar memikirkan apa yang membuat mereka benar-benar aman.
Sampai saya tidak sengaja menemukan sebuah paper penelitian kering berjudul "A review paper on health and Safety in the Construction Industry". Dan tiba-tiba, semua kecemasan samar saya punya nama dan struktur.
Paper ini, yang ditulis oleh Atideku Pascal Atsu dan Prof Mamata Rajgorb, bukanlah bacaan ringan. Tapi di antara sitasi dan metodologi, saya menemukan sebuah cerita—sebuah drama sistemik yang menjelaskan mengapa industri yang membangun dunia modern kita juga menjadi salah satu yang paling berbahaya, terutama di negara berkembang. Paper ini bukan sekadar kumpulan data; ia adalah kunci yang membuka pemahaman baru bagi saya.
Dalam tulisan ini, saya ingin mengajak Anda menelusuri temuan-temuan paling mengejutkan dari paper ini, menerjemahkannya ke dalam bahasa kita sehari-hari, dan melihat pelajaran apa yang bisa kita petik, bahkan jika kita tidak pernah menginjakkan kaki di lokasi proyek.
Panggung Sandiwara Proyek: Ketika Aturan Hanyalah Naskah yang Tak Pernah Dipentaskan
Bayangkan sebuah pementasan teater. Naskahnya (regulasi keselamatan) ditulis dengan brilian. Tapi sutradaranya (otoritas pengawas) jarang muncul di lokasi latihan. Para aktornya (pekerja) tidak pernah benar-benar dilatih dan bahkan banyak yang tidak bisa membaca naskah. Produser (klien dan pemerintah) hanya peduli pertunjukan selesai tepat waktu dan sesuai anggaran, tak peduli kualitas aktingnya. Hasilnya? Kekacauan. Inilah gambaran paling sederhana dari temuan inti paper ini.
Para peneliti menyoroti bahwa masalah keselamatan bukanlah sekadar serangkaian insiden teknis yang terisolasi, melainkan sebuah kegagalan sistemik yang berakar pada politik, ekonomi, dan sosial.
Pertama, sang sutradara yang absen. Paper ini menggarisbawahi bagaimana di banyak negara berkembang, seperti Ghana, seringkali tidak ada satu otoritas tunggal yang bertanggung jawab penuh atas keselamatan konstruksi. Studi oleh Boadu, Wang, dan Sunindijo (2020) yang dikutip dalam paper ini menemukan bahwa ketiadaan badan pengatur tunggal menciptakan kebingungan dan tumpang tindih. Lebih parah lagi, lembaga yang ada seringkali "ompong". Penelitian Kheni dan Afatsawu (2022) secara gamblang menyebutkan tantangan seperti kurangnya sumber daya, logistik yang tidak memadai, dan bahkan ketiadaan kerangka hukum yang jelas untuk menindak perusahaan yang melanggar. Ini bukan sekadar kelalaian teknis; ini adalah cerminan dari kurangnya kemauan politik untuk memprioritaskan keselamatan di atas kepentingan lain. Sutradaranya bukan hanya absen, tapi juga tidak punya kuasa.
Kedua, para aktor yang tidak terlatih. Tantangannya seringkali dimulai dari level paling dasar. Paper ini mengutip beberapa studi yang menemukan bahwa tenaga kerja seringkali kurang terampil dan berpendidikan, dengan tingkat literasi yang rendah. Ini bukan untuk menyalahkan pekerja. Justru sebaliknya, ini menyoroti kegagalan sistem yang lebih besar. Bagaimana mungkin kita mengharapkan kepatuhan pada manual keselamatan yang tebal jika para pekerjanya bahkan kesulitan membacanya? Ini juga menjelaskan mengapa, menurut studi Adebiyi dan Rasheed (2021), metode komunikasi paling efektif di lapangan adalah yang paling visual dan langsung, seperti rambu-rambu keselamatan dan pelatihan praktik.
Ketiga, sang produser yang tidak sabar. Semua pihak—pemerintah, klien, kontraktor, dan pekerja—adalah pemangku kepentingan. Idealnya, mereka semua menginginkan hal yang sama: proyek yang sukses dan aman. Namun, paper ini menunjukkan adanya ilusi keselarasan. Klien dan pemerintah seringkali lebih fokus pada kecepatan dan biaya, yang secara tidak langsung menekan kontraktor untuk mengambil jalan pintas dalam hal keselamatan. Hal ini menciptakan lingkungan di mana keselamatan dianggap sebagai "biaya tambahan" atau "hambatan," bukan bagian integral dari kesuksesan proyek.
Tembok Tak Kasat Mata: 3 Penghalang Utama Menuju Proyek yang Lebih Aman
Setelah memahami "drama" besarnya, paper ini mengajak kita melihat lebih dekat pada "tembok-tembok" yang menghalangi terwujudnya keselamatan. Ini bukan tembok beton, tapi tembok yang terbuat dari uang, kebiasaan, dan struktur yang salah.
Tembok #1: Kalkulasi Uang yang Salah Sejak Awal
Ini mungkin yang paling jelas: menerapkan standar keselamatan itu mahal. Studi oleh Bidahor dan Kheni (2022) yang dirujuk dalam paper ini secara spesifik menyebutkan "biaya kepatuhan yang lebih tinggi" sebagai salah satu penghalang utama. Biaya ini mencakup segala hal, mulai dari menyediakan alat pelindung diri (APD) yang layak, mengadakan pelatihan rutin, hingga menyewa petugas keselamatan khusus di lokasi proyek. Ketika margin keuntungan tipis dan persaingan antar kontraktor sangat ketat, pos-pos biaya ini seringkali menjadi yang pertama kali dipotong atau diabaikan.
Parahnya lagi, tidak ada insentif finansial yang jelas untuk menjadi "aman". Paper tersebut menyoroti tidak adanya skema penghargaan keselamatan bagi kontraktor yang berkinerja baik. Jadi, situasinya menjadi sangat timpang: patuh pada aturan keselamatan itu mahal dan memakan waktu, sementara tidak patuh seringkali tidak ada konsekuensi finansial langsung yang signifikan, terutama jika pengawasan lemah. Kalkulasinya menjadi miring, mendorong perilaku yang mengabaikan risiko.
Ini adalah masalah klasik dalam manajemen. Mengelola biaya, risiko, dan kualitas secara bersamaan adalah inti dari sebuah proyek yang sukses. Kegagalan melihat keselamatan sebagai investasi jangka panjang yang melindungi aset terbesar perusahaan—yaitu manusianya—adalah sebuah kegagalan manajerial. Di sinilah pemahaman mendalam tentang Manajemen Proyek Konstruksi menjadi sangat krusial, karena ia mengajarkan cara mengintegrasikan semua elemen ini sejak awal, bukan menganggap keselamatan sebagai tambahan yang bisa dinegosiasikan.
Tembok #2: Kekosongan Otoritas di Lapangan
Bayangkan sebuah tim sepak bola tanpa wasit di lapangan. Itulah yang terjadi di banyak proyek. Paper ini, melalui rujukan pada studi Adinyira, Ghansah, dan Danku (2019) serta Bidahor dan Kheni (2022), secara spesifik menyoroti "kurangnya petugas keselamatan di lokasi konstruksi" dan "tidak adanya personel ahli" sebagai tantangan utama. Tanpa ada yang secara aktif memantau, menegur, dan mendidik setiap hari, peraturan sebagus apa pun hanya akan menjadi macan kertas yang tergantung di dinding kantor.
Masalah ini diperparah oleh sifat industri konstruksi yang sangat terfragmentasi. Satu proyek besar bisa melibatkan puluhan sub-kontraktor, masing-masing dengan tim, standar, dan kepentingannya sendiri. Fragmentasi ini, seperti yang diidentifikasi oleh Adinyira dkk. (2019), menyulitkan pemantauan dan menciptakan area abu-abu di mana tidak ada yang merasa bertanggung jawab penuh atas keselamatan secara keseluruhan. Ketika kecelakaan terjadi, sangat mudah untuk saling tunjuk jari dan melempar tanggung jawab.
Tembok #3: Beban Budaya dan Kebiasaan Lama
Ini bagian yang paling membuat saya terkejut dan merenung. Para peneliti di Ghana, seperti Kheni, Gibb, dan Dainty (2010), menemukan bahwa faktor-faktor non-teknis seperti "iklim ekonomi yang berlaku" dan "budaya kekeluargaan yang luas" (extended family culture) juga berpengaruh signifikan terhadap manajemen keselamatan. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa kita tidak bisa sekadar menyalin-tempel solusi keselamatan dari negara maju dan berharap itu akan berhasil.
Bayangkan sebuah konteks budaya di mana rasa sungkan untuk menegur rekan kerja yang lebih senior, atau bahkan kerabat yang bekerja di proyek yang sama, jauh lebih kuat daripada peraturan tertulis. Peraturan mengatakan "wajib pakai sabuk pengaman," tapi budaya mengatakan "tidak enak menegur Pakde." Dalam pertarungan ini, budaya seringkali menang. Faktor lain yang diangkat adalah "ketidaktahuan manajer/pemilik" tentang tanggung jawab K3 mereka. Ini bukan tentang kebodohan, melainkan kurangnya paparan dan pendidikan formal mengenai manajemen keselamatan. Mereka mungkin sangat ahli dalam membangun gedung, tapi tidak pernah diajari cara membangunnya dengan aman.
-
🚀 Hasilnya mengejutkan: Masalahnya bukan pada niat buruk individu, melainkan pada sistem yang rusak—secara finansial, struktural, dan kultural.
-
🧠 Inovasi berpikirnya: Kita harus berhenti melihat keselamatan sebagai pos biaya dan mulai melihatnya sebagai indikator kesehatan dan efisiensi sebuah proyek secara keseluruhan.
-
💡 Pelajaran untuk saya: Masalah yang terlihat teknis (seperti kecelakaan kerja) seringkali berakar pada masalah manusiawi yang jauh lebih dalam (ekonomi, budaya, komunikasi).
Siapa Sebenarnya yang Pegang Kendali? Sebuah Kritik Halus
Paper ini melakukan pekerjaan yang luar biasa dalam memetakan kegagalan institusional dan berbagai penghalang yang ada. Namun, saat membacanya, saya merasakan ada sedikit jarak. Ini adalah opini pribadi saya, sebuah kritik halus.
Meskipun temuannya hebat, cara analisanya terkadang terasa agak terlalu abstrak untuk saya. Paper ini dengan jelas menyatakan bahwa otoritas pengawas "tidak efektif" dan "kurang sumber daya". Tapi saya jadi penasaran, seperti apa wujud "tidak efektif" itu dalam keseharian? Apakah itu berarti seorang inspektur hanya datang sebulan sekali ke proyek raksasa? Apakah laporannya hanya ditumpuk di meja dan diabaikan? Bagaimana persisnya drama miskomunikasi antara klien yang menuntut kecepatan dan kontraktor yang tertekan terjadi di ruang rapat? Analisisnya yang bersifat makro membuat saya haus akan cerita-cerita mikro di baliknya.
Ketergantungan pada pengawasan eksternal yang lemah ini justru menyoroti betapa pentingnya sistem internal yang kuat. Perusahaan tidak bisa dan tidak boleh menunggu "polisi" datang untuk menerapkan aturan. Mereka harus menjadi "polisi" bagi diri mereka sendiri. Di sinilah terlihat sebuah paradoks kepatuhan: karena penegakan hukum lemah, perusahaan tidak berinvestasi dalam kepatuhan. Karena sedikit perusahaan yang patuh, tidak ada dorongan kuat untuk memperkuat penegakan hukum. Siklus ini harus diputus dari dalam.
Peran seorang manajer Pengawasan Proyek menjadi sangat vital. Mereka adalah mata dan telinga di lapangan, yang memastikan setiap detail—termasuk dan terutama keselamatan—berjalan sesuai rencana. Membangun sistem pengawasan internal yang efektif bukanlah hal yang mudah. Ini membutuhkan pengetahuan tentang penjadwalan, alokasi sumber daya, dan standar kualitas. Inilah mengapa pelatihan khusus seperti (https://www.diklatkerja.com/course/category/sistem-manajemen-keselamatan-konstruksi-smkk/) menjadi investasi yang sangat berharga bagi perusahaan yang serius ingin berubah dari sekadar reaktif menjadi proaktif.
Jadi, Apa yang Bisa Kita Lakukan? Langkah Awal yang Bisa Diambil Hari Ini
Setelah dibombardir dengan semua masalah sistemik ini, mudah untuk merasa pesimis. Tapi bagian akhir paper ini memberikan secercah harapan dengan menguraikan "ruang lingkup masa depan" untuk perbaikan. Saya mencoba menerjemahkannya menjadi beberapa langkah praktis yang bisa menginspirasi kita.
Pertama, fokus pada pelatihan dan kesadaran. Paper ini menekankan pentingnya "program pelatihan dan kesadaran" yang dirancang khusus untuk kebutuhan lokal di negara berkembang. Ini adalah kuncinya. Kita tidak bisa hanya mengimpor modul pelatihan dari negara lain. Pelatihan harus mempertimbangkan tingkat literasi, bahasa yang digunakan sehari-hari, dan bahkan konteks budaya pekerja setempat untuk bisa benar-benar efektif.
Kedua, kekuatan komunikasi sederhana. Salah satu temuan paling actionable datang dari studi di Nigeria yang dirujuk paper ini, yang menemukan bahwa "rambu keselamatan dan pelatihan" adalah media komunikasi K3 yang paling penting dan efektif. Ini adalah pengingat yang kuat bahwa terkadang solusi paling efektif bukanlah yang paling canggih atau mahal. Sebuah gambar tengkorak dengan dua tulang bersilang jauh lebih universal dan lebih cepat dipahami daripada seratus halaman teks prosedur keselamatan. Sebelum berinvestasi pada teknologi canggih, pastikan komunikasi visual paling dasar sudah berjalan dengan sangat baik.
Setelah membaca ini, saya jadi berpikir, pelajaran ini bukan hanya berlaku untuk konstruksi. Di pekerjaan saya sendiri, berapa banyak "regulasi" atau "SOP" perusahaan yang hanya tersimpan di server dan tidak pernah benar-benar dipahami atau diinternalisasi oleh tim? Paper ini menginspirasi saya untuk bertanya pada diri sendiri: "Bagaimana cara saya mengomunikasikan hal-hal penting dengan cara yang paling sederhana dan paling efektif kepada tim saya?"
Bagi siapa pun yang terlibat dalam industri ini, baik sebagai manajer, insinyur, atau bahkan pekerja baru, mengambil langkah pertama untuk mendidik diri sendiri adalah hal yang paling kuat. Memahami dasar-dasar keselamatan bukan lagi pilihan, melainkan sebuah keharusan profesional. Mengikuti kursus dasar seperti K3 Konstruksi bisa menjadi fondasi yang mengubah cara Anda bekerja dan memimpin.
Kesimpulan: Ini Bukan tentang Helm, Ini tentang Manusia
Kita memulai perjalanan ini dengan melihat gedung pencakar langit dan helm kuning. Kita mengakhirinya dengan pemahaman bahwa keselamatan konstruksi adalah sebuah ekosistem yang rapuh dan kompleks. Ini bukan sekadar tentang APD, checklist, atau jaring pengaman.
Nilai terbesar dari paper karya Atsu dan Rajgorb ini, bagi saya, adalah kemampuannya menggeser perspektif. Ia memaksa kita untuk berhenti bertanya, "Siapa yang salah?" dan mulai bertanya, "Sistem apa yang gagal?" Keselamatan bukanlah tanggung jawab satu orang, melainkan hasil dari sebuah sistem yang berfungsi baik—dari pembuat kebijakan di gedung pemerintahan, manajer proyek di kantor ber-AC, hingga mandor di lapangan yang terik.
Dan sistem itu terdiri dari manusia. Manusia yang butuh dilatih dengan cara yang mereka pahami, butuh diawasi dengan baik dan konsisten, butuh diberi insentif yang benar, dan butuh berkomunikasi dengan jelas. Mungkin kita tidak bisa mengubah seluruh sistem dalam satu malam. Tapi kita bisa mulai dengan memperbaiki bagian kecil dari sistem yang kita kendalikan, dimulai dari diri kita sendiri.
Jika Anda merasakan percikan pencerahan yang sama seperti saya, atau jika Anda seorang profesional yang ingin mendalami data di baliknya, saya sangat merekomendasikan Anda untuk menyelami langsung sumbernya. Jangan hanya percaya kata-kata saya.