Saya Membaca Jurnal Ilmiah tentang Keselamatan Kerja, dan Ini Mengubah Cara Saya Mengatur Segalanya

Dipublikasikan oleh Melchior Celtic

27 Oktober 2025, 13.47

Saya Membaca Jurnal Ilmiah tentang Keselamatan Kerja, dan Ini Mengubah Cara Saya Mengatur Segalanya

Beberapa minggu lalu, saya melakukan sesuatu yang sangat berbahaya. Saya merakit sebuah lemari pakaian dari IKEA sendirian. Jika Anda pernah melakukannya, Anda tahu apa yang saya maksud. Ratusan sekrup, puluhan panel kayu yang identik, dan sebuah buku manual yang terlihat seperti hieroglif modern. Setiap langkah adalah pertaruhan. Salah pasang satu baut kecil di halaman 3 bisa berarti seluruh struktur akan goyang selamanya.

Di tengah lautan serbuk gergaji dan frustrasi, saya berhenti sejenak. Proyek kecil di kamar tidur saya ini, dalam skala miniatur, adalah sebuah proyek konstruksi. Ada rencana (manual), ada material, ada risiko (lemari ambruk menimpa saya saat tidur), dan ada tekanan untuk menyelesaikannya secepat mungkin.

Momen inilah yang membuat saya penasaran dan akhirnya menemukan sebuah jurnal ilmiah yang tak terduga: "Advancements and Challenges in Safety Management in Building Construction" oleh V. Raghuprasath dan Suhaib P.. Saya membukanya dengan ekspektasi akan membaca tentang robot, drone, dan helm canggih. Tapi yang saya temukan jauh lebih mendalam. Paper ini bukan tentang gawai, tapi tentang manusia. Dan temuannya, sejujurnya, mengubah cara saya memandang cara kerja tim, manajemen proyek, dan bahkan cara saya mengatur hidup.   

Rahasianya ternyata bukan pada teknologi, melainkan pada percakapan, aturan main, dan pelajaran yang kita petik dari kegagalan.

Proyek Paling Berbahaya yang Jarang Kita Pikirkan

Sebelum kita masuk ke data yang mengejutkan, mari kita pahami panggungnya. Industri konstruksi, menurut paper ini, adalah salah satu sektor paling berbahaya di dunia. Ini adalah dunia di mana kesalahan kecil tidak hanya berarti lemari yang goyang, tapi nyawa yang melayang.   

Namun, ada sebuah dilema universal yang terjadi di setiap lokasi konstruksi, yang mungkin juga terjadi di kantor Anda setiap hari. Paper tersebut menyatakan bahwa para pemangku kepentingan—pemilik, kontraktor, pemasok—sering kali hanya fokus pada penyelesaian proyek sesuai kualitas, anggaran, dan jadwal. Akibatnya? "Keselamatan sering dianggap sebagai perhatian sekunder".   

Ini adalah pertarungan klasik antara yang mendesak dan yang penting. Anggaran dan tenggat waktu terasa mendesak; mereka berteriak setiap hari. Keselamatan itu penting, tetapi sering kali bisu—sampai sebuah kecelakaan terjadi.

Dinamika ini ada di mana-mana. Tim software melewatkan pengujian keamanan demi mengejar tanggal rilis. Tim pemasaran mendorong kampanye dengan klaim yang meragukan demi target kuartalan. Kita sendiri sering mengorbankan kesehatan (keselamatan utama kita) demi pekerjaan.

Jadi, meskipun paper ini berlatar belakang debu dan baja, pelajarannya bersifat universal. Lokasi konstruksi hanyalah sebuah metafora dramatis untuk tempat kerja kita semua. 

Penemuan yang Mengubah Cara Kita Membaca Data

Awalnya, saya pikir solusi untuk masalah sebesar ini pastilah sesuatu yang canggih. Paper ini memang menyebutkan inovasi teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) untuk mendeteksi risiko sejak fase desain, sensor yang bisa dipakai untuk memonitor kesehatan pekerja, dan bahkan drone (UAV) untuk inspeksi lokasi yang berbahaya. Semua itu terdengar keren dan futuristik.   

Tapi kemudian, saya sampai pada inti dari penelitian ini—sebuah survei yang dibagikan kepada 45 profesional di lapangan. Mereka ditanya: dari semua hal yang bisa Anda lakukan untuk menjaga keselamatan, mana yang benar-benar paling penting?   

Jawabannya adalah sebuah plot twist yang brilian. Faktor-faktor terpenting sama sekali bukan teknologi. Mereka adalah hal-hal yang sering kita anggap remeh, bahkan membosankan. Para peneliti menggunakan metode statistik bernama Relative Importance Index (RII) untuk memberi peringkat pada setiap faktor—anggap saja ini sebagai "skor kesepakatan" tentang apa yang paling krusial.

Hasilnya membuat saya terdiam. Tiga faktor teratas, dengan skor tertinggi, adalah:

  • 🚀 Peringkat #1: Kebijakan & Prosedur Keselamatan (RII: 0.91). Fondasi dari segalanya. Bukan helm canggih, tapi sebuah dokumen yang ditulis dengan baik dan dikomunikasikan dengan jelas. Aturan main yang disepakati bersama.

  • 🧠 Peringkat #2: Pelajaran yang Dipetik (RII: 0.90). Kemampuan sebuah organisasi untuk belajar dari insiden di masa lalu. Ini bukan tentang menyalahkan, tapi tentang menciptakan memori kolektif agar kesalahan yang sama tidak pernah terulang.

  • 💡 Peringkat #3: Komunikasi yang Jelas (RII: 0.89). Jaringan saraf sebuah proyek. Aliran informasi yang memastikan semua orang—dari manajer puncak hingga pekerja di lapangan—berbicara dengan bahasa yang sama tentang risiko dan keselamatan.

Lihat polanya? Ketiga hal ini bersifat abstrak, sistemik, dan sangat manusiawi. Ini bukan tentang membeli alat baru; ini tentang membangun sistem yang lebih cerdas. Sebagai perbandingan, sesuatu yang konkret seperti "Peralatan Keselamatan" baru muncul di peringkat ke-7 dengan RII 0.83.   

Data ini tidak menyajikan sebuah daftar acak, melainkan sebuah hierarki kebutuhan. Anda tidak bisa efektif menggunakan alat pelindung diri (peringkat #7) jika Anda tidak punya kebijakan yang jelas tentang kapan dan bagaimana menggunakannya (peringkat #1), belum belajar dari kegagalan alat serupa di masa lalu (peringkat #2), dan belum mengomunikasikan prosedur ini dengan baik (peringkat #3). Organisasi sering mencoba memecahkan masalah dengan membeli solusi. Data ini membuktikan bahwa investasi terbaik seharusnya ada pada fondasi yang kurang glamor: proses, komunikasi, dan pembelajaran. 

Anatomi Sistem Keselamatan: Bukan Sekadar Dokumen, tapi Budaya

Mari kita bedah tiga pilar utama ini, karena di sinilah letak kebijaksanaan yang sesungguhnya.

Fondasi Segalanya: Kekuatan Manual Instruksi yang Baik

Faktor nomor satu adalah "Kebijakan dan Prosedur Keselamatan". Mari kembali ke analogi IKEA saya. Manual instruksi adalah segalanya. Jika jelas, terstruktur, dan mudah dipahami, saya bisa membangun lemari dengan percaya diri. Jika ambigu dan membingungkan, saya hanya akan menciptakan monster kayu yang siap ambruk.   

Paper ini menyoroti bahwa sistem manajemen keselamatan di banyak perusahaan sering kali "diabaikan dan tidak dijalankan secara sistematis". Kebijakan yang jelas dan tertulis adalah langkah pertama untuk mengubah pengabaian itu menjadi kesengajaan. Ini adalah komitmen hitam di atas putih yang menyatakan, "Di sini, kita melakukan segala sesuatunya dengan cara ini, karena ini adalah cara yang paling aman." Tanpa itu, semua orang hanya berimprovisasi, dan dalam konstruksi, improvisasi bisa berakibat fatal.   

Mesin Waktu Organisasi: Mengapa Kesalahan Adalah Aset Paling Berharga

Faktor nomor dua, "Pelajaran yang Dipetik" , adalah favorit saya. Saya suka membayangkannya sebagai kemampuan sebuah organisasi untuk "mengingat". Bayangkan setiap proyek baru dimulai dengan amnesia total. Tim yang baru akan membuat kesalahan yang persis sama dengan tim sebelumnya. Itulah yang terjadi ketika tidak ada proses formal untuk belajar dari kegagalan.   

Salah satu studi yang dikutip dalam paper menemukan bahwa banyak pekerja "tidak berpendidikan, tidak berpengalaman, dan tidak sadar" akan tindakan dan peralatan keselamatan. Proses "lessons learned" adalah penawar dari ketidaktahuan kolektif ini. Ketika sebuah insiden—atau bahkan nyaris celaka—terjadi, organisasi yang cerdas tidak hanya membersihkannya. Mereka membedahnya, mencari akar masalahnya, dan mengubah penemuan itu menjadi prosedur baru atau pelatihan yang lebih baik. Kesalahan, jika dikelola dengan benar, bukanlah aib. Ia adalah aset paling berharga untuk pertumbuhan.   

Jaringan Manusia: Semuanya Bermuara pada Percakapan

Dan akhirnya, perekat yang menyatukan semuanya: "Komunikasi yang Jelas". Kebijakan terbaik di dunia tidak ada gunanya jika tersimpan di folder server yang tidak pernah dibuka. Pelajaran paling berharga akan sia-sia jika tidak dibagikan kepada semua orang yang membutuhkannya.   

Komunikasi yang buruk adalah akar dari banyak masalah. Ini adalah alasan mengapa pekerja mungkin tidak tahu prosedur darurat (faktor peringkat #5) atau mengapa mereka takut untuk melaporkan kondisi tidak aman (salah satu poin dalam kuesioner). Bayangkan statistik mengerikan dari salah satu studi dalam paper: 56% kematian di lokasi konstruksi disebabkan oleh jatuh dari ketinggian. Berapa banyak dari tragedi itu yang bisa dicegah dengan percakapan sederhana di pagi hari tentang risiko di area kerja, atau dengan seorang pekerja yang merasa cukup aman untuk berkata, "Bos, perancah ini terasa tidak stabil"?   

Ketiga pilar ini—Kebijakan, Pembelajaran, dan Komunikasi—bukanlah elemen yang terpisah. Mereka membentuk sebuah siklus umpan balik yang hidup. Kebijakan menetapkan standar. Ketika terjadi penyimpangan, proses Pembelajaran menganalisisnya. Hasil analisis itu kemudian digunakan untuk memperbarui Kebijakan. Dan seluruh siklus ini digerakkan oleh Komunikasi. Ini mengubah keselamatan dari sebuah dokumen statis menjadi sistem yang dinamis dan terus membaik.

Apa yang Bikin Saya Terkejut (dan Sedikit Kritis)

Meskipun saya sangat terkesan dengan paper ini, ada beberapa hal yang membuat saya berpikir lebih dalam.

Kritik Halus: Hantu di dalam Mesin Statistik

Temuan dari paper ini sangat kuat, tapi cara analisanya, terus terang, agak terlalu abstrak. Dengan sampel hanya 45 orang , hasilnya adalah potret yang sangat menarik, tapi mungkin bukan gambaran panorama yang lengkap.   

Kritik utama saya adalah bahwa angka-angka RII ini tidak bisa menangkap tekanan manusiawi yang sebenarnya. Sebuah skor tidak bisa menceritakan kisah seorang pekerja muda yang takut menentang mandornya yang menyuruh mengambil jalan pintas. Sebuah angka tidak bisa mengukur kelelahan di akhir shift 12 jam yang membuat prosedur terbaik pun terlupakan. Paper ini dengan tepat membahas pentingnya "Budaya Keselamatan" , tetapi data kuantitatifnya tidak akan pernah bisa sepenuhnya menangkap "rasa" dari budaya tersebut—kepercayaan, keamanan psikologis, dan rasa hormat.   

Ujian Lakmus Kepemimpinan: Keselamatan di Atas Kecepatan

Di sinilah faktor "Kepemimpinan Keselamatan" masuk, yang juga diuji dalam kuesioner penelitian. Salah satu pertanyaan kunci adalah apakah "kepemimpinan di lokasi konstruksi memprioritaskan keselamatan di atas kecepatan." Ini sejalan dengan temuan lain yang dikutip dalam paper yang menyoroti "komitmen manajemen" sebagai isu krusial.   

Ini adalah ujian lakmus yang sesungguhnya. Semua kebijakan, sesi pembelajaran, dan buletin komunikasi akan sia-sia jika para pekerja melihat manajer mereka secara konsisten mengambil jalan pintas untuk mengejar tenggat waktu. Budaya tidak ditulis dalam manual; ia dicontohkan dari atas ke bawah. Ketika seorang pemimpin menunjukkan melalui tindakan—bukan hanya kata-kata—bahwa tidak ada jadwal yang lebih penting daripada nyawa manusia, saat itulah sistem yang abstrak di atas kertas menjadi kenyataan yang hidup di lapangan.

Dampak Nyata yang Bisa Saya Terapkan Hari Ini (di Mana Saja)

Hal terbaik dari membaca paper ini adalah kesadaran bahwa prinsip-prinsip ini berlaku jauh di luar gerbang lokasi konstruksi. Tiga pilar ini adalah kerangka kerja universal untuk keunggulan dalam proyek apa pun.

  • Dalam proyek software: "Kebijakan" adalah standar pengkodean dan proses Jaminan Kualitas (QA). "Pelajaran" adalah sesi post-mortem setelah bug besar ditemukan. "Komunikasi" adalah rapat stand-up harian dan dokumentasi yang jelas.

  • Dalam kampanye pemasaran: "Kebijakan" adalah pedoman merek (brand guidelines). "Pelajaran" adalah analisis data dari kampanye sebelumnya untuk melihat apa yang berhasil dan tidak. "Komunikasi" adalah creative brief yang solid dan rapat koordinasi rutin.

Menguasai prinsip-prinsip protokol yang jelas, asesmen risiko, dan manajemen sistem ini adalah sebuah keahlian profesional yang sangat berharga. Bagi mereka yang berkecimpung di industri ini dan ingin memformalkan pengetahuan ini, pelatihan yang terarah seperti sertifikasi(https://diklatkerja.com/) bisa menjadi langkah penting. Seperti yang disebutkan oleh alumni mereka, pelatihan ini memberikan wawasan praktis dari para praktisi hebat di lapangan , menjembatani teori dengan aplikasi nyata.   

Pada akhirnya, pergeseran pola pikir terbesar bagi saya adalah dari reaktif ke proaktif. Sangat menarik bahwa faktor "mengidentifikasi akar penyebab kecelakaan" berada di peringkat ke-10 —jauh di bawah faktor-faktor preventif seperti kebijakan dan komunikasi. Pesan utamanya jelas: jangan hanya menjadi ahli dalam memadamkan api; jadilah arsitek sistem yang mencegah api muncul sejak awal.   

Sekarang Giliran Anda untuk Menggali Lebih Dalam

Membaca paper ini terasa seperti menemukan peta harta karun untuk sebuah masalah yang saya kira sudah saya pahami. Ternyata, keselamatan sejati—dan kesuksesan proyek secara umum—adalah sebuah sistem manusia yang hidup, yang dibangun di atas fondasi aturan yang jelas, kemauan untuk belajar dari kesalahan, dan keberanian untuk terus berkomunikasi.

Ini membuat saya bertanya-tanya: Di mana sistem ini bekerja dengan baik dalam hidup dan pekerjaan Anda? Dan di mana sistem ini gagal?

Kalau Anda tertarik dengan detail teknis dan metodologi di balik temuan ini, coba baca paper aslinya. Siapa tahu Anda menemukan wawasan yang berbeda.

(https://doi.org/10.17577/IJERTCONV12IS03124)