Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Mengapa Kecelakaan Konstruksi Meningkat? Peran mengejutkan Pendanaan.

Dipublikasikan oleh Raihan pada 16 September 2025


Penelitian ini, berjudul "A roadmap to improve usage items to enhance the operational effectiveness of occupational safety and health management expense in Korean construction," menawarkan analisis yang mendalam dan berharga mengenai masalah kritis dalam industri konstruksi Korea Selatan: tingginya tingkat kecelakaan kerja meskipun ada regulasi biaya keselamatan dan kesehatan kerja (OSHE) yang ketat. Melalui metodologi yang cermat, para peneliti tidak hanya mengidentifikasi kelemahan dalam sistem saat ini, tetapi juga menyusun sebuah peta jalan praktis yang berpotensi merevolusi cara biaya OSHE dialokasikan dan dimanfaatkan.

Paper ini secara eksplisit berargumen bahwa meskipun Korea telah menetapkan OSHE sebagai biaya hukum independen yang diatur oleh Kementerian Ketenagakerjaan (MOEL), tingkat kecelakaan kerja dan fatalitas di sektor konstruksi tetap tinggi dan bahkan menunjukkan tren meningkat. Sebagai contoh, tingkat fatalitas per 10.000 orang meningkat dari 1,30 pada tahun 2015 menjadi 2,00 pada tahun 2020. Perbedaan yang signifikan ini (sekitar dua kali lipat dari rata-rata semua industri, yang pada tahun 2020 adalah 0,49 untuk tingkat kecelakaan kerja dan 0,50 untuk tingkat fatalitas) menunjukkan adanya disonansi antara regulasi dan efektivitas aktualnya.

Untuk mengatasi masalah ini, penelitian ini berfokus pada perbaikan item penggunaan OSHE, yang secara unik diatur dalam hukum Korea. Paper ini menyoroti bahwa studi-studi sebelumnya lebih banyak berfokus pada perbaikan tarif akuntansi dan transparansi penggunaan, namun kurang memperhatikan item-item itu sendiri. Padahal, industri kini menuntut perbaikan regulasi untuk mencakup item-item yang "tidak dapat digunakan" tetapi sangat efektif dalam pencegahan kecelakaan, serta integrasi produk keselamatan cerdas yang memanfaatkan teknologi Revolusi Industri Keempat.

Metodologi penelitian ini sangat sistematis. Pertama, peneliti mengumpulkan 57 item potensial yang membutuhkan perbaikan melalui tinjauan buku kuesioner MOEL dan wawancara pemangku kepentingan, dengan 79% item terkait fasilitas keselamatan dan alat pelindung diri. Kemudian, melalui konsultasi dengan delapan pakar industri yang memiliki rata-rata pengalaman 14 tahun, daftar ini disaring menjadi 34 item final. Data dikumpulkan melalui survei dari 536 pemangku kepentingan (84,89% adalah manajer keselamatan dari perusahaan konstruksi) menggunakan skala Likert 4 poin untuk mengevaluasi tingkat kepentingan (urgensi pengakuan) dan kinerja (efektivitas pencegahan kecelakaan) dari setiap item.

Temuan utama didasarkan pada Analisis Kepentingan-Kinerja (IPA), sebuah metodologi yang memetakan item-item ke dalam empat kuadran berdasarkan skor rata-rata kepentingan dan kinerja. Rata-rata kepentingan untuk item konvensional adalah 3,15 dan kinerja 3,31, sementara untuk produk keselamatan cerdas, kepentingannya 2,97 dan kinerjanya 3,12. Item yang jatuh di kuadran pertama (penting dan efektif) menjadi fokus utama. Secara keseluruhan, 16 item (7 konvensional, 9 produk cerdas) diidentifikasi sebagai prioritas utama untuk segera diperkenalkan. Temuan ini secara kuat menunjukkan adanya konsensus di antara para pemangku kepentingan bahwa jenis investasi ini sangat dibutuhkan dan berpotensi besar dalam mencegah kecelakaan.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian ini memberikan beberapa kontribusi signifikan. Pertama, ini adalah salah satu studi pertama yang secara komprehensif berfokus pada peningkatan item penggunaan OSHE, bukan hanya pada tarif atau transparansi akuntansi, mengisi kekosongan yang diidentifikasi dari studi-studi sebelumnya. Kedua, dengan menggunakan metodologi IPA, penelitian ini memberikan kerangka kerja yang solid dan berbasis data untuk pengambilan keputusan kebijakan. Pendekatan ini memungkinkan pemangku kepentingan untuk secara visual mengidentifikasi prioritas investasi dalam sumber daya yang terbatas, membedakan antara item yang perlu segera diimplementasikan dengan item yang memerlukan tinjauan jangka panjang.

Ketiga, studi ini secara eksplisit mengintegrasikan perspektif teknologi Revolusi Industri Keempat ke dalam manajemen keselamatan kerja, sebuah tren yang semakin relevan di seluruh dunia. Dengan memasukkan produk keselamatan cerdas seperti sistem deteksi area berbahaya dan rompi keselamatan dengan kantung udara ke dalam analisis, penelitian ini memvalidasi permintaan industri untuk mengadopsi inovasi. Terakhir, dengan menyajikan sebuah peta jalan yang terstruktur (jangka pendek, menengah, dan panjang), penelitian ini tidak hanya menyajikan temuan akademis tetapi juga instrumen kebijakan yang siap digunakan oleh pembuat kebijakan di Korea dan negara-negara lain dengan sistem manajemen keselamatan serupa. Peta jalan ini berfungsi sebagai model yang dapat direplikasi untuk memastikan alokasi dana yang efektif dan efisien untuk keselamatan pekerja.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kontribusinya berharga, penelitian ini juga memiliki beberapa keterbatasan dan meninggalkan pertanyaan terbuka untuk penelitian lanjutan. Salah satu keterbatasan yang diakui oleh penulis adalah sifat subjektif dari data yang dikumpulkan melalui IPA. Meskipun upaya telah dilakukan untuk mengumpulkan data dari sampel besar dari berbagai pemangku kepentingan, persepsi terhadap "kepentingan" dan "kinerja" bisa bervariasi dan tidak selalu mencerminkan efektivitas nyata di lapangan.

Ini mengarah pada pertanyaan terbuka yang krusial bagaimana efektivitas item-item yang direkomendasikan ini dapat diverifikasi secara empiris di lingkungan nyata? Paper ini menyarankan perlunya pemantauan berkelanjutan setelah implementasi untuk memverifikasi tingkat kontribusi item-item tersebut dalam mencegah kecelakaan. Selain itu, pertanyaan mengenai dampak finansial masih menggantung. Penelitian ini mengakui bahwa memperluas item penggunaan tanpa meninjau ulang tarif akuntansi OSHE dapat menyebabkan kekurangan dana untuk fasilitas keselamatan esensial. Ini menimbulkan pertanyaan tentang bagaimana model biaya yang diusulkan oleh studi ini dapat diterapkan dalam skala besar tanpa mengorbankan aspek keselamatan dasar.

Keterbatasan lainnya adalah fokus pada konteks Korea Selatan yang unik, di mana OSHE merupakan biaya hukum independen. Meskipun metodologi IPA dapat direplikasi, item-item spesifik dan regulasi yang melingkupinya mungkin tidak secara langsung berlaku di negara lain. Pertanyaannya adalah, bagaimana model ini dapat diadaptasi untuk pasar atau negara dengan sistem manajemen keselamatan yang berbeda, seperti yang mengintegrasikan OSHE ke dalam biaya proyek secara umum (seperti di AS atau Jepang)?

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang teridentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset berkelanjutan yang dapat memajukan bidang ini:

  1. Studi Empiris Longitudinal tentang Efektivitas Item OSHE yang Baru Diadopsi.
    • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini secara eksplisit mengusulkan pemantauan berkelanjutan. Meskipun analisis IPA memberikan estimasi kinerja, efektivitas nyata dalam pencegahan kecelakaan harus diverifikasi melalui data empiris jangka panjang setelah item-item dari kuadran pertama diimplementasikan.
    • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Penelitian lanjutan harus dirancang sebagai studi kasus komparatif di berbagai lokasi proyek konstruksi. Variabel independennya adalah keberadaan atau tingkat penggunaan item OSHE yang direkomendasikan (misalnya, sistem deteksi area berbahaya), sementara variabel dependennya adalah tingkat kecelakaan kerja, jumlah hari kerja yang hilang akibat cedera, atau fatalitas di lokasi tersebut. Konteksnya harus bervariasi, mencakup proyek skala kecil dan besar, untuk menguji skalabilitas dan efektivitas implementasi.
  2. Model Biaya-Manfaat untuk Peningkatan Tarif Akuntansi OSHE.
    • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini menekankan bahwa perluasan item penggunaan tanpa peningkatan tarif akuntansi dapat menyebabkan kekurangan dana. Oleh karena itu, diperlukan model ekonomi yang mengukur manfaat finansial (misalnya, pengurangan biaya kompensasi kecelakaan, denda, dan penundaan proyek) versus biaya peningkatan tarif OSHE.
    • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Studi ini dapat menggunakan analisis regresi untuk memodelkan hubungan antara tarif akuntansi OSHE dan output keselamatan, serta analisis biaya-manfaat untuk memproyeksikan penghematan. Variabelnya harus mencakup total biaya proyek, tarif OSHE yang bervariasi, jumlah kecelakaan yang dihindari, dan biaya terkait kecelakaan. Analisis ini harus dilakukan di berbagai jenis proyek (misalnya, konstruksi umum vs. konstruksi berat) untuk menghasilkan model yang dapat disesuaikan.
  3. Analisis Perbandingan Sistem OSHE Global.
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini secara singkat membandingkan sistem OSHE Korea dengan sistem di AS, Jepang, dan beberapa negara Uni Eropa. Namun, perbandingan yang lebih mendalam diperlukan untuk memahami bagaimana model alokasi dana yang berbeda (misalnya, melalui asuransi kecelakaan seperti di Jerman) memengaruhi tingkat kecelakaan dan inovasi keselamatan.
    • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Penelitian komparatif harus mengumpulkan data dari beberapa negara dengan sistem OSHE yang berbeda. Variabel yang akan dianalisis meliputi struktur pendanaan keselamatan, item yang diizinkan, tingkat kecelakaan kerja, dan tingkat adopsi teknologi keselamatan canggih. Tujuannya adalah untuk mengidentifikasi praktik terbaik dan mengisolasi faktor-faktor yang memungkinkan adopsi teknologi yang efektif, yang dapat diadaptasi oleh negara lain.
  4. Desain Sistem Sertifikasi Teknologi Keselamatan Cerdas.
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini mengusulkan agar pemerintah Korea dapat membuat sistem sertifikasi untuk produk keselamatan cerdas guna memastikan transparansi penggunaan dan efektivitas. Namun, detail dari sistem semacam itu belum dieksplorasi.
    • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Penelitian lanjutan harus berfokus pada perancangan sistem sertifikasi ini. Metodenya dapat melibatkan kelompok fokus dengan pakar industri, teknolog, dan regulator untuk menentukan kriteria sertifikasi (misalnya, tingkat akurasi sensor, interoperabilitas, daya tahan), proses evaluasi, dan kerangka hukum yang diperlukan. Studi ini juga harus mempertimbangkan insentif bagi perusahaan untuk mengadopsi produk yang disertifikasi, seperti insentif pajak atau bonus OSHE.
  5. Peran Faktor Manusia dan Perilaku dalam Adopsi Item OSHE yang Baru.
    • Justifikasi Ilmiah: Sementara penelitian ini berfokus pada item-item fisik (fasilitas dan peralatan), keberhasilan mereka sangat bergantung pada kesadaran dan perilaku pekerja. Masalah "kurangnya biaya untuk instalasi fasilitas esensial" yang diungkapkan oleh responden negatif menunjukkan resistensi terhadap item baru yang dianggap kurang esensial.
    • Metode, Variabel, dan Konteks Baru: Riset kualitatif (wawancara mendalam, observasi) dan kuantitatif (survei persepsi) dapat digunakan untuk memahami hambatan perilaku terhadap adopsi item baru. Variabelnya meliputi persepsi pekerja terhadap item baru (kenyamanan, kemudahan penggunaan, efektivitas), sikap manajer terhadap investasi, dan budaya keselamatan perusahaan. Studi ini harus berfokus pada bagaimana program pelatihan dan komunikasi dapat meningkatkan adopsi, menghubungkan kembali investasi OSHE dengan perilaku keselamatan sehari-hari di lapangan.

Secara keseluruhan, penelitian ini tidak hanya berfungsi sebagai analisis kritis terhadap sistem manajemen keselamatan di industri konstruksi Korea, tetapi juga sebagai peta jalan yang berani dan visioner untuk masa depan. Dengan mengidentifikasi item-item penggunaan OSHE yang perlu segera ditingkatkan dan mengintegrasikan teknologi modern ke dalam kerangka regulasi, paper ini telah meletakkan fondasi yang kuat untuk kebijakan yang lebih efektif.

Penelitian lebih lanjut harus melibatkan kolaborasi erat antara institusi penelitian, kementerian pemerintah (seperti MOEL), perusahaan konstruksi, dan asosiasi industri. Kerja sama ini akan memastikan bahwa rekomendasi yang ada tidak hanya valid secara akademis, tetapi juga praktis dan berkelanjutan di lapangan.  Keterhubungan antara temuan saat ini dan potensi jangka panjang tidak bisa dilebih-lebihkan; setiap langkah kecil dalam meningkatkan item OSHE dapat berkontribusi besar pada penurunan tingkat kecelakaan dan menyelamatkan nyawa pekerja.

Baca paper aslinya di sini https://doi.org/10.2486/indhealth.2022-0008

Selengkapnya
Mengapa Kecelakaan Konstruksi Meningkat? Peran mengejutkan Pendanaan.

Manajemen Konstruksi

Kita Sudah Menyentuh Puncak — Tapi Masih Banyak yang Harus Diteliti Lebih Dalam

Dipublikasikan oleh Raihan pada 16 September 2025


Kontribusi Utama terhadap Bidang

Penelitian berjudul "Benefits of implementing occupational health and safety management systems for the sustainable construction industry: a systematic literature review" karya Kineber et al. (2023) memberikan gambaran komprehensif tentang kondisi terkini riset mengenai sistem manajemen keselamatan dan kesehatan kerja (SMK3) di sektor konstruksi. Dengan menganalisis 104 artikel yang diterbitkan antara tahun 1999 dan 2023 dari database terkemuka seperti Scopus dan Web of Science, penelitian ini berhasil mengidentifikasi dan mengategorikan fokus utama dari studi-studi sebelumnya.

Temuan utama menunjukkan bahwa sebagian besar penelitian (25.96%) berfokus pada manajemen SMK3, sementara topik implementasi juga cukup banyak diteliti (12.50%). Ini menunjukkan bahwa komunitas akademis telah berinvestasi besar dalam memahami bagaimana sistem-sistem ini diterapkan dan dikelola. Selain itu, penelitian ini mengungkapkan hubungan kuat antara penerapan SMK3 dengan penurunan tingkat kecelakaan kerja, seperti yang diamati di Korea Selatan, di mana terjadi penurunan tingkat kecelakaan sebesar 67% setelah penerapan SMK3, dan tingkat kecelakaan fatal menurun 10,3% dari 2006 hingga 2011.

Studi ini juga secara eksplisit menyoroti data kuantitatif yang memperkuat argumennya. Misalnya, analisis 104 artikel yang ditinjau menunjukkan alokasi persentase topik yang jelas:

  • Manajemen: 25.96%
  • Implementasi: 12.50%
  • Model: 13.46%
  • Kinerja: 8.65%
  • Hambatan/Tantangan: 5.77%
  • Kesadaran: 4.81%
  • Signifikansi/Manfaat: 3.85%
  • Indikator Keselamatan: 2.88%
  • Lain-lain: 20.19%.

Distribusi ini secara deskriptif menggambarkan hubungan kuat antara fokus penelitian yang ada (manajemen, implementasi, model) dan area yang kurang terwakili (manfaat, kesadaran, indikator keselamatan). Selain itu, data geografis menunjukkan disparitas yang signifikan, dengan 61.54% studi dilakukan di negara berkembang dan hanya 38.46% di negara maju. Temuan ini secara tegas menunjukkan hubungan antara tingginya aktivitas konstruksi di negara berkembang dan tingginya perhatian penelitian di sana, namun juga menggarisbawahi perlunya transfer pengetahuan dan standardisasi praktik K3.

 

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun kontribusinya signifikan, penelitian ini juga secara jujur mengakui keterbatasan dan kesenjangan yang ada dalam literatur yang ditinjau. Keterbatasan paling kritis adalah kurangnya data lapangan, survei, dan data klinis yang memadai mengenai insiden yang terjadi di industri konstruksi, sehingga sulit untuk mengautentikasi manfaat penerapan SMK3 secara komprehensif. Ini menimbulkan pertanyaan terbuka tentang bagaimana cara terbaik untuk mengukur dan mengkuantifikasi manfaat tersebut di luar metrik yang umum seperti penurunan tingkat kecelakaan.

Selain itu, penelitian ini menemukan bahwa topik manfaat/signifikansi dari SMK3 hanya diwakili oleh 3.85% dari total studi. Persentase yang sangat rendah ini menandakan bahwa meskipun banyak penelitian berfokus pada bagaimana mengelola dan mengimplementasikan sistem ini, ada sedikit eksplorasi tentang mengapa sistem ini bermanfaat secara finansial dan operasional dalam jangka panjang, terutama dari perspektif keberlanjutan. Studi-studi yang ada cenderung melihat SMK3 sebagai masalah kepatuhan terhadap legislasi daripada sebagai metode yang efektif untuk meningkatkan kinerja perusahaan itu sendiri.

Kesenjangan lain yang diidentifikasi adalah kurangnya penelitian yang memadai pada:

  • Integrasi Parsial SMK3: Bagaimana organisasi dapat mengintegrasikan SMK3 secara parsial dengan sistem manajemen lainnya untuk efisiensi biaya tanpa kehilangan manfaatnya.
  • Perilaku Keselamatan Proaktif: Fokus pada tindakan proaktif pekerja, bukan hanya pada respons terhadap bahaya yang ada.
  • Implementasi di Kalangan Kontraktor Kecil: Tingkat penerapan yang rendah di kalangan kontraktor, terutama terkait dengan aspek kebijakan, organisasi, dan audit.

Pertanyaan-pertanyaan ini menantang komunitas akademis untuk beralih dari deskripsi dan analisis ke studi yang berorientasi pada solusi dan kuantifikasi.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

Berdasarkan temuan dan keterbatasan yang diidentifikasi, berikut adalah lima rekomendasi riset strategis untuk memperdalam pemahaman tentang SMK3 di industri konstruksi:

  1. Studi Kuantitatif Jangka Panjang tentang Manfaat Finansial dan Non-Finansial.
    • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini dengan tegas menyatakan bahwa hanya 3.85% studi yang berfokus pada manfaat SMK3. Terdapat kesenjangan pengetahuan yang besar tentang bagaimana investasi dalam SMK3 diterjemahkan menjadi keuntungan finansial langsung dan tidak langsung, seperti peningkatan retensi pekerja, reputasi merek, dan produktivitas. Meskipun beberapa penelitian awal menunjukkan rata-rata pengembalian investasi (ROI) sebesar 1.24 hingga 2.14, data ini masih terbatas.
    • Metode Baru: Penelitian di masa depan harus menggunakan pendekatan kuantitatif yang kuat, seperti analisis regresi berganda atau pemodelan persamaan struktural (SEM), untuk secara eksplisit menguji hubungan kausal antara variabel investasi SMK3 (misalnya, biaya pelatihan, pengadaan alat pelindung diri) dan metrik kinerja keuangan (misalnya, penghematan biaya tak terduga, premi asuransi yang lebih rendah, peningkatan produktivitas). Studi kasus longitudinal yang melacak perusahaan selama 5-10 tahun akan memberikan bukti empiris yang lebih meyakinkan.
    • Kontekstualisasi: Penting untuk membandingkan perusahaan yang bersertifikat SMK3 (seperti OHSAS 18001 atau ISO 45001) dengan yang tidak bersertifikat untuk mengkuantifikasi manfaat yang berbeda.
  2. Eksplorasi Peran Teknologi Digital dalam Mengurangi Hambatan Implementasi.
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini mengidentifikasi hambatan utama seperti kurangnya komunikasi yang tepat, kurangnya pelatihan, dan kurangnya budaya keselamatan. Meskipun studi tentang penerapan kecerdasan buatan (AI) dan Revolusi Industri 4.0 menunjukkan potensi besar dalam meningkatkan K3, penelitian ini masih dalam tahap awal.
    • Metode Baru: Riset lanjutan harus berfokus pada perancangan dan implementasi pilot proyek yang memanfaatkan teknologi digital seperti sensor nirkabel, Building Information Modeling (BIM), dan agen cerdas untuk memantau perilaku berisiko secara real-time. Penelitian harus mengukur secara kuantitatif sejauh mana alat-alat ini dapat mengurangi hambatan komunikasi dan meningkatkan kepatuhan pekerja terhadap protokol keselamatan.
    • Konteks Eksplisit: Penelitian harus membandingkan proyek dengan implementasi teknologi ini versus proyek konvensional, mengukur perbedaan dalam tingkat kecelakaan, insiden nyaris celaka, dan tingkat kepatuhan.
  3. Analisis Terperinci tentang Perilaku Keselamatan Proaktif dan Pengaruhnya terhadap Kinerja Keselamatan.
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini menggarisbawahi perlunya penelitian lebih lanjut tentang perilaku keselamatan proaktif. Saat ini, sebagian besar fokus masih pada perilaku reaktif. Studi-studi menunjukkan bahwa perilaku proaktif, seperti identifikasi bahaya dan prosedur keselamatan yang ditingkatkan, berkorelasi positif dengan SMK3.
    • Metode Baru: Menggunakan metodologi campuran yang menggabungkan survei kuantitatif (untuk mengukur sikap dan persepsi) dengan observasi lapangan kualitatif (untuk mendokumentasikan perilaku aktual) akan sangat bermanfaat. Variabel seperti komitmen manajemen, peran pengawas, dan budaya organisasi harus dianalisis sebagai prediktor dari perilaku proaktif pekerja.
    • Konteks Eksplisit: Penelitian harus dilakukan di berbagai hierarki dalam industri konstruksi (manajemen, pengawas, pekerja) untuk memahami divergensi budaya keselamatan yang ada.
  4. Pengembangan Kerangka Kerja SMK3 yang Disesuaikan untuk UKM di Negara Berkembang.
    • Justifikasi Ilmiah: Penelitian ini secara eksplisit menyebutkan bahwa standar SMK3 global (seperti ISO 45001) dirancang untuk perusahaan besar yang homogen dan mungkin tidak cocok untuk industri konstruksi yang sangat tidak homogen, terutama usaha kecil dan menengah (UKM). Ini merupakan alasan utama di balik tingkat adopsi yang rendah di negara-negara berkembang.
    • Metode Baru: Pendekatan harus bersifat partisipatif, melibatkan pemangku kepentingan UKM dalam perancangan kerangka kerja yang lebih sederhana, terjangkau, dan mudah diterapkan. Metode seperti action research atau studi kasus ganda dapat digunakan untuk mengembangkan dan menguji model yang disesuaikan dengan kendala ekonomi, budaya, dan teknis yang dihadapi oleh UKM di negara-negara tersebut. Kerangka kerja ini harus menyeimbangkan antara kepatuhan legislatif dengan manfaat operasional yang nyata.
    • Variabel Kunci: Model yang dikembangkan harus fokus pada variabel-variabel yang diidentifikasi sebagai penting bagi UKM, seperti alokasi sumber daya yang efisien dan dukungan dari otoritas pemerintah.
  5. Analisis Komparatif tentang Efektivitas Penegakan Hukum dan Regulasi K3.
    • Justifikasi Ilmiah: Paper ini mengidentifikasi kurangnya penegakan hukum dan regulasi sebagai salah satu hambatan utama dalam implementasi SMK3, terutama di negara berkembang. Meskipun ada undang-undang dan peraturan, efektivitasnya dipertanyakan.
    • Metode Baru: Riset di masa depan harus melakukan studi komparatif lintas negara. Ini dapat melibatkan analisis data kuantitatif tentang tingkat pelanggaran, jumlah penuntutan, dan sanksi yang diberikan, serta data kualitatif dari wawancara dengan regulator, kontraktor, dan pekerja. Perbandingan antara negara-negara dengan penegakan hukum yang kuat (misalnya, di mana sanksi dan denda sering diterapkan) dengan negara-negara dengan penegakan hukum yang lemah akan memberikan wawasan yang krusial tentang dampaknya terhadap budaya keselamatan dan kinerja K3 secara keseluruhan.
    • Fokus Variabel: Penelitian harus mengeksplorasi hubungan antara metrik penegakan hukum (misalnya, frekuensi inspeksi, tingkat hukuman) dengan indikator kinerja keselamatan (tingkat kecelakaan, keparahan cedera).

Penelitian ini harus melibatkan kolaborasi multidisipliner dan multi-institusi. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi dari negara berkembang dan maju untuk memastikan relevansi dan validitas global dari hasil yang ditemukan. Peneliti dari institusi di Indonesia, Malaysia, dan negara-negara lain dengan industri konstruksi yang berkembang pesat harus berkolaborasi dengan universitas terkemuka seperti Queen's University Belfast dan Prince Sattam bin Abdulaziz University yang telah memimpin penelitian ini, untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil, serta untuk mentransfer pengetahuan yang sangat dibutuhkan.

Baca paper aslinya di sini

Selengkapnya
Kita Sudah Menyentuh Puncak — Tapi Masih Banyak yang Harus Diteliti Lebih Dalam

Keselamatan dan Kesehatan Kerja

Mengukur Mutu Pendidikan Keselamatan: Dari Evaluasi Internal Menuju Dampak di Lapangan

Dipublikasikan oleh Raihan pada 16 September 2025


Artikel ini mengulas penelitian tentang penilaian kualitas program pendidikan keselamatan pascasarjana di Eropa. Penelitian tersebut menggambarkan perjalanan historis pendidikan keselamatan sejak Heinrich (1950-an) hingga perkembangan terbaru, serta menyajikan contoh sepuluh program (post)graduate safety di berbagai institusi Eropa. Temuan utama dari makalah ini meliputi cara penilaian kualitas yang saat ini diterapkan (sebagian besar menggunakan evaluasi internal seperti umpan balik mahasiswa dan ujian), serta urgensi mengukur transfer pengetahuan keselamatan ke dunia industri yang nyata. Penelitian ini menjadi inisiasi penting dalam mengisi kekosongan literatur akademik terkait kualitas pendidikan keselamatan, dengan menggabungkan model penilaian Kirkpatrick dan Donabedian untuk memetakan aspek internal (program, mahasiswa) dan eksternal (perusahaan) dalam penilaian mutu.

Kontribusi Utama terhadap Bidang

Makalah ini memberikan kontribusi substansial dengan merangkum perkembangan pendidikan keselamatan dan praktik penilaian kualitas program secara komprehensif. Secara historis, artikel menyoroti bahwa sejak Robens (1972) hingga konferensi internasional tahun 1994, kesadaran tentang kebutuhan kurikulum keselamatan terus meningkat. Penerapan kurikulum (post)graduate safety yang menitikberatkan “learning by doing” dan studi kasus nyata juga ditekankan sebagai praktik efektif dalam pembelajaran keselamatan. Studi lapangan melengkapi kontribusi teoritik, yaitu survei terhadap sepuluh program pascasarjana keselamatan di beberapa universitas Eropa. Misalnya, penelitian ini mencatat bahwa sebagian besar program membatasi jumlah mahasiswa antara 20–24 orang untuk memastikan diskusi yang intensif. Hal ini menunjukkan perhatian serius terhadap lingkungan belajar kolaboratif yang mendukung pemahaman mendalam.

Kontribusi lainnya adalah pengungkapan bahwa evaluasi kualitas program saat ini didominasi oleh alat internal. Data survei terhadap 90 program keselamatan Eropa menunjukkan 66% program mengadopsi evaluasi internal (evaluasi trainee dan audit internal) dan hanya 13% menggunakan audit eksternal sebagai indikator mutu. Capaian ini memberi gambaran kuantitatif bahwa kebanyakan penyelenggara program masih bergantung pada penilaian internal. Selain itu, keterlibatan praktisi industri dalam pengajaran juga disoroti: sebagian program melibatkan aktif para spesialis keselamatan industri dalam 50% dari total kuliah. Temuan ini menggarisbawahi jalinan erat antara akademisi dan dunia kerja dalam penyelenggaraan program, yang potensial meningkatkan relevansi materi bagi industri.

Makalah ini juga memperkenalkan kerangka konseptual baru dengan menggabungkan model Kirkpatrick (empat tingkat: reaksi, pembelajaran, perilaku, hasil) dan model Donabedian (input, proses, output) untuk mengevaluasi pendidikan keselamatan. Penggabungan model tersebut menekankan pentingnya aspek eksternal (output/hasil) – yaitu pengaruh lulusan terhadap peningkatan keselamatan di perusahaan – sebagai indikator kualitas utama. Sebagai rekomendasi awal, penulis menyarankan penilaian mutu yang tidak hanya mengukur kepuasan dan pembelajaran (level 1-2), tetapi juga transfer ke pekerjaan (level 3) dan dampak keselamatan organisasi (level 4). Misalnya, mereka mengusulkan penggunaan tinjauan skenario kecelakaan (minor dan mayor) di perusahaan peserta program sebagai metrik alternatif untuk mengevaluasi efektivitas lulusan dalam mencegah insiden. Rekomendasi ini menunjukkan pendekatan inovatif yang berpotensi menghubungkan hasil pendidikan dengan hasil nyata di lapangan.

Secara keseluruhan, kontribusi utama riset ini adalah (1) mengidentifikasi bahwa fokus penilaian mutu saat ini masih terbatas pada indikator internal tradisional, (2) menegaskan pentingnya mengembangkan indikator eksternal, dan (3) menyusun gagasan kerangka penilaian terpadu yang menghubungkan proses pendidikan dengan dampak industri. Kejelasan kerangka yang diusulkan dan data kuantitatif yang disajikan (misalnya, statistik adopsi sistem mutu) memperkuat argumen bahwa temuan ini membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut dalam pengembangan metode penilaian mutu pendidikan keselamatan yang lebih komprehensif.

Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka

Meskipun menyajikan wawasan berharga, riset ini memiliki batasan yang perlu diperhatikan. Pertama, pendekatan metode yang digunakan bersifat convenience sampling dan hanya melibatkan koordinator dari sepuluh program Eropa terpilih[14]. Hal ini membatasi representativitas hasil dan menimbulkan pertanyaan apakah temuan serupa berlaku untuk program lain di luar lingkup survei. Kedua, penekanan utama makalah ini adalah pada konsep dan ide awal; uji empiris terhadap efektivitas kerangka yang diusulkan belum dilakukan. Misalnya, pendekatan penilaian berbasis skenario kecelakaan masih berupa usulan konseptual tanpa bukti praktis mengenai penerapannya dalam konteks nyata.

Selain itu, terdapat ambiguitas dalam konteks metodologis. Banyak data yang bersifat deskriptif atau anekdotal, dan belum ada standar operasional untuk beberapa indikator yang diusulkan, seperti metode spesifik pengumpulan data untuk level 3-4 Kirkpatrick. Ini memunculkan pertanyaan terbuka tentang metodologi yang tepat untuk mengukur transfer pengetahuan dan dampak di organisasi. Sebagai contoh, makalah menyebutkan bahwa evaluasi tingkat perilaku (level 3) dapat dilakukan melalui survei atau penilaian kinerja khusus setelah enam bulan, namun implementasi praktisnya belum teruji. Demikian pula, indikator keamanan tradisional seperti frekuensi kecelakaan dianggap "tidak dapat diandalkan" dan perlu dikembangkan lebih lanjut, namun alternatif konkrit dan valid masih harus ditemukan.

Selanjutnya, makalah ini terfokus pada jalur akademik pascasarjana, sementara jalur lain (seperti pendidikan profesional dan pelatihan inspektorat) disebutkan namun belum dianalisis secara mendalam. Apakah konsep penilaian yang sama dapat diterapkan pada jalur tersebut masih menjadi pertanyaan. Hal ini menunjukkan perlunya kajian lintas-konteks untuk menentukan keberlakuan universal dari temuan.

Terakhir, makalah ini secara eksplisit menyatakan bahwa topik kualitas pendidikan keselamatan masih “diekspresikan secara minimal” dalam literatur (lanj. Safety Science, 1995). Artinya, masih banyak pertanyaan dasar yang belum terjawab, seperti definisi objektif dari “mutu” dalam konteks ini dan cara mengukur pencapaiannya. Pemilihan responden (pembuat program) juga dapat menimbulkan bias, karena mereka mungkin tidak cukup kritis terhadap kelemahan program sendiri. Keseluruhan, keterbatasan ini memperlihatkan bahwa, meskipun riset ini membuka diskusi penting, banyak aspek substantif dan metodologis yang masih memerlukan penelitian lebih jauh.

5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan

  1. Kembangkan Metode Pengukuran Transfer Pendidikan (Kirkpatrick Level 3-4): Temuan dalam makalah ini menegaskan bahwa evaluasi saat ini terhenti pada tingkat reaksi dan pembelajaran. Penelitian lanjutan harus merancang dan menguji instrumen yang dapat mengukur sejauh mana lulusan menerapkan ilmu keselamatan di lapangan. Misalnya, melakukan studi longitudinal dengan survei atau wawancara mendalam kepada alumni dan atasan mereka setelah program selesai, untuk mengumpulkan data perilaku (variabel: penerapan teknik, frekuensi adopsi prosedur baru) serta hasil organisasi (variabel: penurunan insiden, peningkatan kepatuhan). Analisis kuantitatif (misalnya koefisien korelasi antara partisipasi program dan indikator keselamatan perusahaan) akan menunjukkan dampak nyata pendidikan ini. Rekomendasi ini didukung oleh pernyataan bahwa hanya ** tingkat 3 dan 4 Kirkpatrick** yang mampu menunjukkan pengaruh nyata program, dan makalah menyarankan fokus riset pada level tersebut.
  2. Mengimplementasikan Penilaian Berbasis Skenario Kecelakaan di Lapangan: Makalah mengusulkan “skenario kecelakaan” sebagai indikator kualitas yang lebih baik daripada insiden riil. Riset selanjutnya bisa mengoperasionalisasikan gagasan ini, misalnya dengan berkolaborasi bersama perusahaan mitra untuk mengidentifikasi skenario kecelakaan minor dan mayor yang mungkin terjadi di industri tertentu. Peneliti dapat mengembangkan kerangka evaluasi di mana partisipan magang atau alumni ditempatkan dalam simulasi atau studi kasus skenario tersebut, lalu mengukur efektivitas intervensi mereka (variabel: jumlah rekomendasi pencegahan diusulkan, respons risiko, atau skenario diselesaikan dengan selamat). Dengan metode eksperimen quasi (sebelum-sesudah) atau studi kasus multiple embedded, penelitian ini akan menguji apakah program keselamatan benar-benar memperkuat kemampuan preventif lulusan. Langkah ini sejalan dengan penekanan makalah pada perlunya metrik inovatif dan konkret untuk transfer ilmu keselamatan (bukan hanya angka kecelakaan).
  3. Kajian Perbandingan Kurikulum Internasional dan Program Master Bersama: Menghadapi peningkatan jumlah program keselamatan pascasarjana (misalnya 29 di Portugal saja), penulis menganjurkan kerja sama internasional serta kemungkinan menyusun program master Eropa gabungan. Riset ke depan perlu mengeksplorasi konsep ini dengan studi kolaboratif antara universitas. Metode studi dapat berupa analisis komparatif kurikulum: membandingkan silabus, tujuan pembelajaran, dan kriteria evaluasi antar lembaga. Selanjutnya, implementasi program percontohan (misalnya program master bersama lintas negara) dapat dievaluasi efektivitasnya melalui pencapaian kompetensi lulusan dan kepuasan stakeholder. Variabelnya meliputi keselarasan materi, mobilitas mahasiswa, dan pengakuan sertifikasi antarnegara. Kegiatan penelitian ini akan menghasilkan wawasan tentang harmonisasi standar pendidikan keselamatan dan potensi efisiensi sumber daya, mendukung rekomendasi publikasi bahwa “kooperasi program internasional” serta master terintegrasi dapat memperkuat kualitas dan kesinambungan bidang ini.
  4. Analisis Dampak Kolaborasi Industri-Akademisi dalam Pengajaran: Data dalam makalah menunjukkan dukungan industri yang kuat, dengan praktisi memberikan hingga 50% kuliah. Riset lanjutan dapat mengkaji variabel “tingkat keterlibatan praktisi” (misalnya persentase jam mengajar oleh profesional) dan korelasinya dengan hasil program. Metode survei cross-sectional atau regresi multipel dapat dilakukan antar program yang berbeda tingkat kolaborasinya. Selain itu, studi kualitatif melalui focus group atau wawancara dengan mahasiswa dan perusahaan dapat menguji persepsi relevansi materi. Dengan meneliti konteks baru (misalnya perbandingan program yang dipimpin akademisi murni versus yang kuat pengaruh industri), peneliti dapat menentukan seberapa besar dampak kerjasama dengan industri terhadap kompetensi lulusan. Rekomendasi ini didukung oleh pentingnya masukan industri di dalam komite pengarah dan materi kuliah, serta catatan bahwa hubungan erat dengan industri dapat meningkatkan performa keselamatan jangka panjang.
  5. Studi Lanjutan tentang Karir Alumni dan Dampaknya pada Organisasi: Makalah menyarankan pentingnya follow-up karir alumni sebagai indikator mutu (mis. survei alumni disebutkan dalam evaluasi kualitas). Riset berkelanjutan dapat mengembangkan instrumen untuk menilai jalur karir lulusan program keselamatan: misalnya melakukan survei longitudinal tentang posisi kerja, peran keselamatan yang diemban, dan kontribusi terhadap proyek keselamatan perusahaan. Data empiris (jumlah lulusan yang menjadi kepala keselamatan, rata-rata lama kenaikan jabatan) dapat dianalisis bersama indikator performa keselamatan korporat (penurunan frekuensi kecelakaan, audit keselamatan) untuk menguji hipotesis bahwa pendidikan spesialis keselamatan berkontribusi pada peningkatan mutu organisasi. Metode kombinasi kuantitatif (statistik karir, data K3) dan kualitatif (studi kasus perusahaan) akan memberikan gambaran komprehensif. Langkah ini memperhatikan saran makalah untuk mengeksplorasi level hasil/multi-stakeholder serta penggunaan data alumni demi evaluasi mutu yang lebih holistik.

Penutup Kolaboratif

Semua rekomendasi di atas menekankan kesinambungan riset dalam pendidikan keselamatan pascasarjana. Keberhasilan implementasi ide-ide tersebut akan lebih terjamin jika melibatkan kolaborasi lintas lembaga. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Delft University of Technology, Universitat Politècnica de Catalunya, dan Tampere University (Centre for Safety Management and Engineering) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil penelitian.


Baca Selengkapnya disini: https://doi.org/10.1016/j.ssci.2021.105338

Selengkapnya
Mengukur Mutu Pendidikan Keselamatan: Dari Evaluasi Internal Menuju Dampak di Lapangan

Kesehatan Masyarakat

Penelitian Ini Mengungkap Terobosan Besar dalam Pelatihan Dokter Anak – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025


Menyelami Misi Para Ilmuwan di Belgia

Dalam lanskap pendidikan medis yang dinamis dan terus berevolusi, para calon dokter masa depan dihadapkan pada tantangan yang unik: bagaimana menjadi profesional yang tidak hanya kompeten secara klinis tetapi juga seorang komunikator, kolaborator, dan pemimpin yang efektif? Pertanyaan ini menjadi semakin rumit ketika sistem pendidikan medis, alih-alih memberikan panduan yang jelas, malah menyajikan sebuah labirin. Di Flanders, Belgia, para calon dokter anak pascasarjana menghadapi masalah ini secara langsung. Mereka harus menavigasi beberapa kerangka kerja kompetensi yang berbeda secara bersamaan, sebuah kondisi yang dapat menciptakan kekacauan dan inkonsistensi dalam evaluasi, pelatihan, dan sertifikasi mereka.1

Bayangkan sebuah sekolah di mana setiap mata pelajaran diajarkan dengan kurikulum yang berbeda, tanpa ada benang merah yang menyatukan. Para siswa mungkin mahir di satu bidang, tetapi bingung bagaimana pengetahuan tersebut terhubung dengan bidang lainnya. Inilah situasi yang terjadi dalam pelatihan pascasarjana pediatri di sana. Berbagai kerangka kerja seperti Master of Specialist Medicine (MSG) dan panduan spesifik dari European Union of Medical Specialists (UEMS) digunakan, tetapi mereka tidak terintegrasi secara mulus. Keadaan ini menciptakan kebingungan dan berpotensi menghambat kontinuitas pembelajaran.1

Menanggapi masalah praktis ini, sebuah tim peneliti yang terdiri dari para ahli di bidang pediatri dan pendidikan dari berbagai universitas terkemuka di Belgia—terutama dari Ghent University—memulai sebuah misi ambisius. Tujuan utama mereka bukanlah sekadar menambah kerangka kerja lain, melainkan untuk menggabungkan kerangka kerja yang sudah ada menjadi satu panduan terpadu dan universal yang dapat membawa kejelasan dan keseragaman dalam pelatihan dokter anak. Mereka bertekad untuk menciptakan sebuah "bahasa bersama" yang bisa digunakan oleh semua pihak yang terlibat, mulai dari supervisor, penguji, hingga para residen itu sendiri, sehingga setiap orang memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang diperlukan untuk menjadi dokter anak yang kompeten.1

 

Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pendidikan Medis?

Inti dari penelitian ini adalah sebuah upaya yang belum pernah terjadi sebelumnya: secara sistematis menggabungkan tiga kerangka kerja yang dominan—yaitu Kerangka CanMEDS (Canadian Medical Education Directives for Specialists), UEMS, dan MSG—menjadi satu panduan tunggal yang kohesif. CanMEDS dipilih sebagai fondasi utama atau "tulang punggung" dari kerangka baru ini, sebuah keputusan yang sangat strategis. Alasannya, CanMEDS adalah kerangka yang sudah diterima secara luas dalam pendidikan kedokteran sarjana di Flanders, bahkan telah digunakan untuk memvalidasi kompetensi di tingkat itu.1 Dengan menjadikan CanMEDS sebagai dasar, para peneliti memastikan adanya kontinuitas yang mulus dari pendidikan sarjana ke pascasarjana.

Proses penggabungan ini dilakukan dengan ketelitian yang luar biasa. Para peneliti pertama-tama secara manual menautkan 65 kompetensi dari kerangka UEMS dan 33 kompetensi dari kerangka MSG ke 89 kompetensi yang mendasari peran-peran CanMEDS.1 Langkah ini tidak hanya membantu mengidentifikasi kompetensi yang tumpang tindih tetapi juga menyoroti area yang masih kosong. Setelah proses penautan awal selesai, mereka memadukan kompetensi yang serupa, menghasilkan daftar awal sebanyak 95 kompetensi yang kemudian akan divalidasi oleh panel ahli.

Keberhasilan penggabungan ini lebih dari sekadar pencapaian teknis. Ini adalah model kolaborasi antar lembaga dan standar yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang sistematis dan terperinci, adalah mungkin untuk mengatasi fragmentasi dan menciptakan panduan yang lebih jelas dan komprehensif. Hasil akhirnya adalah sebuah kerangka yang tidak hanya menyatukan kompetensi yang ada, tetapi juga menetapkan "bahasa bersama" yang dapat menyederhanakan komunikasi dan proses pendidikan. Ini adalah cetak biru yang dapat direplikasi tidak hanya di seluruh Belgia, tetapi juga di disiplin medis atau negara lain yang menghadapi tantangan serupa. Dengan menghilangkan kebingungan yang disebabkan oleh beragam standar, kerangka kerja ini menjadi kunci untuk memastikan konsistensi dan kualitas pelatihan yang tinggi.

 

Kisah di Balik Angka-Angka: Suara Para Ahli dari Belgia

Di balik kerangka kerja yang rapi dan terorganisir, ada sebuah kisah tentang upaya konsensus yang intens dari para ahli. Validasi kerangka kerja ini tidak dilakukan secara sepihak, melainkan melalui metode Delphi, sebuah proses yang melibatkan panel ahli dalam tiga putaran survei online yang ketat. Awalnya, tantangan sudah terlihat dari tingkat partisipasi. Tim peneliti menghubungi 101 ahli dari berbagai latar belakang, termasuk dokter anak yang baru lulus, supervisor, anggota komite akreditasi, dan pakar pendidikan. Namun, dari 21 orang yang merespons, hanya 11 yang berhasil menyelesaikan kuesioner di putaran pertama.1

Meskipun tingkat respons awal ini tampak rendah, angka-angka selanjutnya menceritakan kisah yang berbeda. Para peneliti berhasil mendapatkan partisipasi yang stabil dari kelompok yang sangat berkomitmen. Di putaran kedua, 13 dari 15 peserta yang diundang (sekitar 86.6%) menyelesaikan survei, dan di putaran ketiga, semua 13 ahli tersebut (100%) melengkapi kuesioner.1 Kelompok inti yang gigih ini, yang mewakili beragam bidang keahlian, berhasil membuktikan bahwa kualitas pemahaman dan komitmen lebih berharga daripada kuantitas partisipan belaka.

Pada putaran pertama, ke-95 kompetensi yang diusulkan mendapat persetujuan luar biasa, dengan konsensus positif mencapai setidaknya 70% di semua kompetensi. Sebanyak 69 kompetensi bahkan mencapai konsensus positif 100%.1 Namun, di sinilah proses menjadi sangat penting. Meskipun semua kompetensi dianggap relevan, para ahli memberikan 84 komentar kualitatif yang mengarah pada penyesuaian. Ini adalah inti dari "cerita di balik data." Fakta bahwa 12 kompetensi harus disesuaikan di putaran kedua menunjukkan bahwa para ahli tidak hanya sekadar menyetujui, tetapi mereka berdebat sengit tentang formulasi dan penerapannya di dunia nyata.1 Perubahan yang diusulkan mencakup penyesuaian untuk membuat formulasi lebih spesifik bagi profesi pediatri, dan untuk mengatasi apakah suatu kompetensi benar-benar berlaku untuk setiap dokter anak, terlepas dari lingkungan kerjanya. Setelah putaran ketiga, semua kompetensi yang telah direformulasi mencapai konsensus 100%.1 Proses ini bukan sekadar validasi, tetapi sebuah proses perbaikan yang ketat, memastikan setiap elemen dalam kerangka kerja tidak hanya relevan secara teori, tetapi juga praktis dan jelas.

 

Tantangan Nyata: Ketika Teori Bertemu Praktik Lapangan

Studi ini tidak mengabaikan tantangan dan keterbatasan yang menyertai setiap upaya ilmiah. Para peneliti secara terbuka mengakui beberapa kritik realistis yang muncul dari panel ahli, terutama mengenai kesulitan dalam menerapkan satu kerangka umum di seluruh lingkungan kerja pediatri yang beragam. Lingkungan kerja seorang dokter anak di rumah sakit universitas sangat berbeda dari praktik swasta atau rumah sakit komunitas. Oleh karena itu, tidak semua kompetensi dianggap sama-sama relevan, dapat diterapkan, atau cocok untuk dievaluasi di setiap pengaturan klinis.1

Salah satu perdebatan yang paling menarik adalah mengenai kompetensi "berkontribusi pada program riset." Beberapa ahli berpendapat bahwa partisipasi aktif dalam riset tidak seharusnya menjadi prasyarat untuk setiap dokter anak, meskipun itu adalah bagian dari program pelatihan saat ini. Perdebatan ini menyoroti ketegangan yang lebih besar dalam profesi medis: apakah seorang dokter anak hanya seorang "pakar klinis" atau juga seorang "sarjana, advokat kesehatan, dan manajer"? Kerangka kerja ini, dengan tujuh peran CanMEDS-nya, menegaskan bahwa seorang dokter modern harus lebih dari sekadar pakar medis. Perdebatan ini menunjukkan bahwa kerangka kerja tersebut bukan sekadar dokumen statis, tetapi pemicu diskusi penting tentang identitas profesi itu sendiri.1

Selain tantangan implementasi, penelitian ini juga jujur mengenai keterbatasan metodologi. Tingkat respons awal yang rendah, meskipun berhasil diatasi oleh partisipasi yang berkomitmen di putaran selanjutnya, tetap menjadi catatan. Para peneliti juga menyebutkan potensi bias lokalisasi, di mana sebagian besar ahli yang terlibat berafiliasi dengan universitas di Flanders. Meskipun penggunaan kerangka kerja internasional seperti CanMEDS dan UEMS memperkecil bias ini, studi di masa depan perlu menyelidiki penerapan kerangka kerja ini di negara lain. Keterbatasan lain adalah sifat metode Delphi itu sendiri, yang tidak memungkinkan diskusi tatap muka untuk memperjelas komentar, yang terkadang bisa mempengaruhi interpretasi.1 Namun, alih-alih dilihat sebagai kelemahan, pengakuan atas keterbatasan ini justru memperkuat kredibilitas studi dan menunjukkan pemahaman mendalam tentang metodologi penelitian.

 

Dampak Nyata: Mengubah Masa Depan Profesi Kedokteran Anak

Validasi kerangka kerja kompetensi terintegrasi ini bukanlah akhir dari cerita, melainkan sebuah titik awal revolusioner. Dengan menyediakan satu panduan yang jelas, studi ini berhasil mengatasi masalah fundamental fragmentasi yang telah menghambat pelatihan pascasarjana pediatri di Flanders. Dampak nyatanya dapat dirasakan secara langsung oleh para calon dokter anak. Mereka kini memiliki "peta jalan" yang jelas tentang apa yang harus mereka kuasai selama pelatihan. Kerangka kerja ini dapat digunakan untuk menetapkan tujuan pembelajaran di tempat kerja, memfasilitasi penilaian yang lebih obyektif, dan menyederhanakan proses sertifikasi, memastikan setiap lulusan memenuhi standar profesional yang seragam dan tinggi.1

Dampak positif ini tidak terbatas pada wilayah Belgia. Kerangka kerja yang tervalidasi ini menawarkan cetak biru yang dapat digunakan dan disesuaikan oleh sistem pendidikan medis di seluruh dunia yang menghadapi tantangan serupa. Jika diterapkan, temuan ini bisa menjadi solusi universal untuk masalah fragmentasi kurikulum. Dengan menyediakan panduan yang teruji dan didukung oleh konsensus ahli, studi ini berpotensi mengubah lanskap pelatihan medis, meningkatkan kualitas dan konsistensi pendidikan di berbagai belahan dunia. Dengan menyederhanakan proses yang tadinya kompleks, kerangka kerja ini berpotensi mengurangi biaya dan waktu yang dihabiskan untuk administrasi kurikulum secara signifikan dalam waktu lima tahun. Ini bukan hanya sebuah kemenangan teoretis, tetapi sebuah langkah nyata menuju masa depan yang lebih efisien dan terstandarisasi dalam pendidikan kedokteran.

 

Analisis Metodologi: Mengapa Delphi Menjadi Pilihan Tepat?

Dalam konteks penelitian ini, pilihan untuk menggunakan metodologi Delphi bukan sekadar formalitas akademik, melainkan sebuah strategi yang cerdik untuk mengatasi tantangan praktis yang signifikan. Metodologi Delphi, sebagai metode konsensus terstruktur, memungkinkan para peneliti untuk mengumpulkan dan mensintesis pendapat dari panel ahli yang tersebar secara geografis tanpa perlu pertemuan tatap muka.1 Hal ini sangat krusial, terutama mengingat studi ini berlangsung antara tahun 2020 dan 2021, di tengah puncak pandemi COVID-19 yang membatasi pertemuan fisik. Kemampuan untuk melanjutkan proses penelitian meskipun ada hambatan global ini menunjukkan adaptasi cerdas dari tim riset.

Lebih dari sekadar logistik, metode Delphi memiliki keunggulan substantif yang menjadikannya pilihan ideal. Salah satu keunggulan terbesar adalah anonimitas respons antar partisipan. Meskipun para peneliti mengetahui identitas responden, para ahli tidak mengetahui siapa saja rekan mereka di panel tersebut. Kondisi ini membantu mencegah dominasi oleh satu atau dua ahli yang paling vokal atau berwibawa, memastikan bahwa setiap suara memiliki bobot yang sama dan didasarkan pada substansi, bukan reputasi.1 Dengan demikian, konsensus yang dicapai benar-benar mencerminkan pandangan kolektif yang jujur dan tidak bias. Proses berulang yang memungkinkan para ahli untuk meninjau hasil putaran sebelumnya dan mengomentari alasan perubahan juga menambahkan lapisan ketelitian, mengubah proses validasi dari sekadar jajak pendapat menjadi siklus perbaikan yang berkelanjutan. Proses ini berhasil mengumpulkan data kuantitatif (skala Likert) dan kualitatif (komentar bebas) yang saling melengkapi, menghasilkan kerangka kerja yang tidak hanya tervalidasi secara statistik, tetapi juga terperbaiki secara kualitatif.

 

Implikasi Global: Lebih dari Sekadar Belgia

Meskipun fokus geografis penelitian ini adalah pada pelatihan pediatri di Flanders, Belgia, model dan temuan yang dihasilkan memiliki implikasi yang jauh lebih luas. Studi ini dapat dilihat sebagai bukti konsep (proof of concept) yang sangat kuat, menunjukkan bahwa penggabungan kerangka kerja yang beragam menjadi satu sistem terpadu adalah hal yang mungkin dan bermanfaat. Masalah fragmentasi kurikulum dalam pendidikan pascasarjana bukanlah fenomena yang hanya terjadi di Belgia; ini adalah tantangan yang dihadapi oleh banyak sistem pendidikan medis di seluruh dunia.

Keberhasilan studi ini sebagian besar disebabkan oleh penggunaan CanMEDS sebagai kerangka kerja dasar. CanMEDS bukanlah standar lokal, melainkan kerangka kerja internasional yang diakui secara global yang mendefinisikan tujuh peran inti yang harus dimiliki oleh seorang dokter, mulai dari Medical Expert hingga Leader dan Health Advocate.1 Dengan memadukan kompetensi lokal dan regional ke dalam model CanMEDS, para peneliti tidak hanya menyelesaikan masalah yang dihadapi di Belgia, tetapi juga menciptakan solusi yang dapat diskalakan dan relevan bagi banyak negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kedokteran di seluruh dunia dapat mencapai unifikasi tanpa harus mengorbankan kekhususan regional atau disiplin.

Lebih lanjut, studi ini menegaskan tren global menuju dokter yang lebih holistik, bukan sekadar ahli klinis. Kerangka kerja terintegrasi ini secara eksplisit mencakup peran non-klinis, yang mencerminkan pergeseran filosofis dalam profesi medis modern. Keberhasilan dalam memvalidasi kompetensi di luar pengetahuan medis dan keterampilan teknis menunjukkan bahwa kurikulum pascasarjana dapat dan harus mempersiapkan dokter untuk peran mereka sebagai sarjana, komunikator, manajer, advokat, dan profesional yang etis. Dengan demikian, penelitian ini menjadi panduan praktis untuk mendorong evolusi profesi kedokteran di skala global, menyediakan cetak biru yang dapat membantu negara lain mengatasi masalah serupa dan mengadopsi standar global yang lebih komprehensif.

 

Rekomendasi Praktis dan Arah Penelitian Lanjutan

Keberhasilan sebuah kerangka kerja kompetensi tidak berhenti pada validasi teoretisnya. Tantangan terbesar, seperti yang diakui oleh para peneliti, terletak pada implementasinya di lingkungan kerja sehari-hari.1 Untuk memastikan bahwa kerangka kerja ini benar-benar memberikan dampak positif, beberapa rekomendasi praktis dan arah penelitian lanjutan harus dipertimbangkan.

Pertama, implementasi yang efektif membutuhkan dukungan dan pelatihan yang memadai. Para supervisor klinis, yang seringkali bukan pendidik medis profesional, akan membutuhkan panduan yang jelas dan perangkat penilaian yang teruji untuk dapat mengintegrasikan dan mengevaluasi kompetensi ini dalam rutinitas kerja sehari-hari. Sebuah kerangka yang solid tidak akan berguna jika tidak dapat diterapkan secara konsisten di lapangan. Dengan demikian, langkah selanjutnya harus mencakup pengembangan alat penilaian praktis dan program pelatihan bagi para supervisor, sehingga mereka memiliki indikator kualitas yang jelas untuk membimbing para residen.1

Kedua, studi ini membuka jalan untuk penelitian lanjutan yang krusial. Para peneliti sendiri mencatat bahwa meskipun kompetensi teknis pediatri tercakup, validasi daftar keterampilan spesifik yang terkait dengannya berada di luar lingkup studi ini.1 Oleh karena itu, penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk memvalidasi daftar keterampilan tersebut secara terpisah, memastikan bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik ini juga memenuhi standar yang sama dengan kompetensi yang lebih umum. Selain itu, para peneliti juga secara jujur mengakui perlunya mendefinisikan tingkatan kompetensi yang berbeda untuk setiap peran, sesuai dengan tingkat senioritas residen. Seorang residen junior, misalnya, mungkin hanya perlu menguasai manajemen rencana jangka pendek, sementara residen yang lebih senior harus mampu menyusun rencana manajemen jangka panjang. Penelitian di masa depan harus fokus pada pengembangan dan validasi tingkat-tingkat ini.

Terakhir, untuk mengatasi bias lokalisasi yang mungkin ada, penelitian selanjutnya harus menguji penerapan dan relevansi kerangka kerja ini di negara lain. Keberhasilan di Belgia adalah langkah awal yang menjanjikan, tetapi validasi yang lebih luas akan mengubah kerangka ini dari solusi regional menjadi standar internasional. Dengan mengatasi tantangan implementasi dan terus mendorong penelitian lanjutan, kerangka kerja ini dapat menjadi bagian dari siklus perbaikan berkelanjutan yang akan meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran pascasarjana dan, pada akhirnya, kualitas perawatan pasien di seluruh dunia.


Sumber Artikel:

Robbrecht, M., Norga, K., Van Winckel, M., Valcke, M., & Embo, M. (2022). Development of an integrated competency framework for postgraduate paediatric training: a Delphi study. European Journal of Pediatrics181(2), 637-646.

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Terobosan Besar dalam Pelatihan Dokter Anak – dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Industri Kontruksi

Ketika Statistik Kecelakaan Menjadi Kisah Kemanusiaan yang Terlupakan

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025


Pendahuluan: Ketika Statistik Kecelakaan Menjadi Kisah Kemanusiaan yang Terlupakan

Di balik megahnya gedung-gedung pencakar langit dan infrastruktur modern di Malaysia, tersembunyi sebuah kisah yang sering kali terabaikan: realitas suram kecelakaan kerja di sektor konstruksi. Setiap proyek bukanlah sekadar kumpulan beton dan baja, melainkan sebuah labirin potensi bahaya di mana keselamatan menjadi taruhannya. Sejak tahun 1980-an, industri konstruksi Malaysia telah sangat bergantung pada tenaga kerja asing untuk mengisi kekurangan tenaga kerja.1 Ketergantungan ini terus meningkat, dengan jumlah pekerja asing mencapai 135.997 pada tahun 2017 dan melonjak 10.6% pada tahun 2018, menyoroti peran krusial mereka dalam sektor ini.2 Namun, ketergantungan yang tinggi pada pekerja dari latar belakang budaya dan perilaku yang beragam ini telah memicu dampak negatif yang signifikan pada perspektif sosial dan perilaku.3 Dinamika ini, sayangnya, menciptakan sebuah "bom waktu" keselamatan di lokasi proyek yang konsekuensinya tercermin dalam statistik kecelakaan yang mengkhawatirkan.

Pada tahun 2018 saja, Organisasi Keselamatan Sosial (SOCSO) mencatat 72.682 kasus kecelakaan kerja di Malaysia, meningkat 3.88% dari tahun sebelumnya.2 Sebagian besar literatur keselamatan dan kesehatan kerja cenderung menyalahkan manajemen atas kurangnya investasi dalam keselamatan. Namun, ada pertanyaan krusial yang jarang dieksplorasi secara mendalam: mengapa, meskipun ada peraturan, pelatihan, dan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD), banyak pekerja asing tetap enggan mematuhi prosedur keselamatan? Laporan ini hadir sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan menganalisis sebuah studi kualitatif mendalam, laporan ini tidak hanya akan membahas gejala (kecelakaan) tetapi juga penyakitnya (perilaku). Studi ini menunjukkan bahwa penyebab utama bukan hanya "kurang pengetahuan," melainkan sebuah fenomena yang disebut 'keengganan untuk berubah' (hesitance to change behaviour).2 Ini adalah pemahaman yang lebih dalam daripada narasi umum di media, dan dengan demikian menggeser fokus dari menyalahkan pekerja karena "tidak tahu" menjadi memahami alasan psikologis dan sistemik di balik "keengganan" mereka untuk mengadopsi budaya keselamatan.

 

Teori di Balik Ketidakpatuhan: 'Keengganan untuk Berubah'

Inti dari temuan penelitian ini adalah bahwa perilaku non-kepatuhan keselamatan tidak muncul secara acak, melainkan berakar pada lima faktor perilaku kunci yang berinteraksi dalam psikologi individu. Hal ini sejalan dengan teori Resisting to Change, sebuah kerangka teoretis yang kuat yang menjelaskan mengapa individu menolak perubahan, bahkan ketika perubahan itu demi kebaikan mereka sendiri.2 Penelitian ini secara eksplisit menunjukkan bahwa faktor-faktor ini serupa dengan komponen asli dari teori Resisting to Change dan mampu memperluasnya.

Fenomena ini bermula dari tahapan psikologis individu yang menolak perubahan, dimulai dengan denial (penyangkalan) dan shock (keterkejutan) ketika mereka menerima informasi yang bertentangan dengan kebiasaan dan praktik lama mereka.1 Dalam konteks keselamatan kerja, ini berarti seorang pekerja yang telah bekerja bertahun-tahun tanpa prosedur keselamatan mungkin menolak ide bahwa praktik lamanya berbahaya. Mereka merasa terancam karena perubahan tersebut akan menghilangkan sesuatu yang berharga bagi mereka—yaitu, cara kerja yang sudah akrab dan nyaman. Ini menunjukkan bahwa pelatihan dan papan pengumuman saja tidak akan efektif jika tidak mengatasi fondasi psikologis ini. Solusi yang efektif harus bersifat persuasif dan empatik, bukan hanya instruktif dan represif, dengan mengakui bahwa perubahan perilaku adalah proses yang kompleks dan emosional, bukan sekadar masalah ketersediaan informasi.

 

Kritik Metode: Sebuah Pandangan dari Sudut Pandang Manajerial

Penting untuk dicatat bahwa temuan mendalam dari studi ini didasarkan pada serangkaian wawancara semi-terstruktur dengan sembilan informan yang merupakan para profesional di industri konstruksi, termasuk manajer dan pengawas lapangan.1 Kesembilan informan ini bekerja sangat dekat dengan pekerja asing di tingkat operasional, memberikan mereka perspektif unik. Namun, perlu diakui bahwa penelitian ini tidak menyertakan wawancara dengan pekerja asing itu sendiri. Hal ini menciptakan sebuah perspektif yang dominan dari satu sisi, yaitu pandangan manajerial tentang mengapa pekerja tidak patuh.

Interpretasi manajerial ini bisa jadi sangat akurat, tetapi juga bisa mengandung bias atau asumsi. Sebagai contoh, pengawas mungkin melihat "kebiasaan mabuk" 2 sebagai alasan jelas di balik kecerobohan, sementara alasan yang lebih dalam seperti "kesalahan persepsi" atau "percaya diri berlebihan" mungkin merupakan asumsi yang ditarik oleh pengawas, bukan pengakuan langsung dari pekerja. Ini adalah pandangan yang menyoroti gejala yang terlihat, tetapi mungkin tidak sepenuhnya menangkap motivasi atau perasaan yang tersembunyi. Oleh karena itu, laporan ini menyajikan temuan dengan nada yang hati-hati, mengakui bahwa ini adalah "pandangan dari satu sisi" dan menunjukkan bahwa perlu adanya penelitian lanjutan yang menyertakan perspektif langsung dari pekerja asing untuk mendapatkan gambaran yang lebih holistik dan seimbang.

 

Lima Faktor Kunci yang Mengatur Pikiran Pekerja di Lokasi Proyek

Narasi di balik data kuantitatif dan kualitatif dari penelitian ini menyingkap lima faktor perilaku utama yang bertanggung jawab atas kecenderungan non-kepatuhan keselamatan. Setiap faktor ini, ketika dijelaskan secara mendalam, menceritakan sebuah kisah tentang konflik antara kebiasaan, insentif, dan risiko di lokasi proyek.

1. Sikap Acuh Tak Acuh (Ignorance)

Sikap acuh tak acuh bukanlah semata-mata kurangnya pengetahuan, melainkan sebuah keyakinan yang mengakar bahwa aturan keselamatan itu "tidak relevan," "tidak masuk akal," "tidak penting," atau "sudah usang".1 Para pekerja ini seringkali sudah terbiasa dengan budaya non-keselamatan di negara asal mereka, sehingga mereka memandang peraturan keselamatan sebagai sesuatu yang tidak penting.2 Mereka juga mengeluhkan bahwa penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dapat menyebabkan ketidaknyamanan, rasa tertekan, dan merepotkan, sehingga membatasi pergerakan mereka saat bekerja.1 Ketidaknyamanan ini menjadi alasan yang kuat bagi mereka untuk mengabaikan penggunaan APD, meskipun itu adalah kewajiban yang sah untuk melindungi diri mereka dari risiko.2

Faktor ini diperburuk oleh sikap keras kepala dan ketidakbertanggungjawaban. Contoh nyata di lapangan adalah ketika pekerja menolak untuk memakai safety harness saat bekerja di ketinggian, menganggapnya sebagai hal yang membuang waktu dan mengganggu alur kerja.2 Kebiasaan yang sudah terinternalisasi secara budaya ini adalah masalah mendalam yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pelatihan satu kali. Ini memerlukan pendekatan yang menargetkan perubahan budaya kerja itu sendiri, bukan hanya penyampaian informasi. Terlebih lagi, penelitian menunjukkan bahwa para pekerja ini seringkali menyalahkan orang lain ketika mereka ketahuan melanggar aturan, dengan alasan tidak ada yang melatih mereka atau mereka menganggap orang lain seharusnya melakukannya.2

2. Kelalaian (Negligence)

Kelalaian seringkali berasal dari kecerobohan dan sikap sembrono yang dimiliki oleh pekerja. Para informan penelitian mengidentifikasi bahwa pekerja asing seringkali gagal untuk menjaga dan melindungi peralatan keselamatan pribadi mereka.2 Alasan umum yang sering mereka berikan adalah bahwa APD mereka "dicuri, rusak, hilang, atau hanya lupa dan ditinggalkan di rumah".1 Karena kecerobohan ini, pekerja seringkali tidak merawat barang-barang keselamatan mereka dengan baik, yang merupakan indikasi apatisme yang lebih besar terhadap keselamatan pribadi.

Kelalaian ini juga terwujud dalam perilaku yang tampaknya tidak berbahaya tetapi sangat berisiko, seperti horseplay atau bermain-main di lokasi kerja.2 Praktik ini, yang sering dianggap sebagai lelucon ringan, dapat menyebabkan cedera serius pada diri sendiri dan rekan kerja. Kelalaian ini bisa menjadi indikasi apatisme yang lebih besar terhadap keselamatan pribadi, yang diperburuk oleh kurangnya insentif untuk bersikap peduli. Solusi yang efektif harus lebih dari sekadar denda; ia mungkin harus mencakup insentif positif, seperti bonus untuk rekor keselamatan yang bersih, yang dapat menjadi motivasi kuat bagi pekerja untuk lebih bertanggung jawab terhadap keselamatan mereka sendiri dan rekan kerja.

3. Kecenderungan Mengabaikan (Overlooked)

Sebuah temuan yang mengejutkan dari penelitian ini adalah bahwa banyak pekerja tidak memperhatikan atau bahkan tidak menyadari keberadaan rambu dan peraturan keselamatan yang dipasang di lokasi proyek.1 Meskipun manajemen telah mengambil langkah untuk meningkatkan kesadaran dengan memasang rambu dan pedoman, pekerja sering kali mengabaikannya karena ketidakmampuan mereka untuk membaca dan memahami instruksi yang ditampilkan.1 Hal ini diperparah oleh keragaman etnis pekerja asing di Malaysia, yang berasal dari negara-negara seperti Bangladesh, Nepal, dan Indonesia. Sangat mungkin bahwa rambu-rambu tersebut tidak tersedia dalam bahasa yang mereka kuasai, menjadikan rambu-rambu tersebut tidak lebih dari sekadar dekorasi.

Kegagalan komunikasi yang mendasar ini menunjukkan bahwa penyampaian informasi keselamatan harus dilakukan dengan cara yang lebih universal dan inklusif. Solusi nyata harus melibatkan komunikasi visual yang lebih efektif, demonstrasi lisan, atau materi dalam berbagai bahasa yang relevan, untuk memastikan bahwa pesan keselamatan benar-benar sampai kepada setiap pekerja. Jika pekerja tidak dapat melihat atau memahami pedoman yang ada, mereka tidak dapat mematuhinya.

4. Rasa Percaya Diri Berlebihan (Overconfidence)

Faktor ini berakar pada arogansi dan keyakinan keliru bahwa kecelakaan tidak akan terjadi pada diri mereka.1 Para informan menyebutkan bahwa pekerja senior seringkali menunjukkan rasa percaya diri yang berlebihan, dengan mengklaim bahwa mereka tidak pernah mengalami kecelakaan meskipun bekerja tanpa mempraktikkan keselamatan selama bertahun-tahun.1 Mereka merasa kebal dari bahaya, menganggap pengalaman masa lalu sebagai jimat pelindung.

Fenomena psikologis ini, yang dikenal sebagai Efek Dunning-Kruger, menjelaskan mengapa individu yang kurang kompeten seringkali melebih-lebihkan kemampuan mereka. Dalam konteks ini, pekerja yang berpengalaman mungkin merasa kebal dari bahaya karena mereka sudah "nyaman dan akrab dengan pekerjaan mereka".1 Mereka tidak lagi menganggap pekerjaan mereka berisiko, bahkan saat bekerja di ketinggian dengan hanya mengandalkan ledges atau ruang kerja ekstra.1 Untuk melawan rasa percaya diri yang berlebihan ini, diperlukan penekanan pada dampak risiko, bahkan yang terkecil sekalipun, dan pengingat konstan bahwa kecelakaan dapat terjadi pada siapa saja, tanpa memandang pengalaman.

5. Kesalahan Persepsi (Misconception)

Faktor ini merupakan wawasan paling krusial dari penelitian. Kesalahan persepsi ini adalah respons rasional terhadap sistem insentif yang salah, bukan semata-mata kurangnya akal sehat. Pekerja cenderung melihat keselamatan sebagai non-returning profit—sebuah pengeluaran yang tidak memberikan keuntungan finansial.1 Mereka lebih memilih untuk memprioritaskan penyelesaian pekerjaan dan progress proyek, terutama bagi mereka yang dibayar dengan sistem finish and go.2 Dalam mentalitas ini, kecepatan dan produktivitas dianggap lebih penting daripada keselamatan, karena itulah yang menghasilkan uang bagi mereka.

Kesalahan persepsi ini sebenarnya adalah cerminan dari ketidakselarasan insentif yang sistemik. Ketika model pembayaran secara langsung menghargai kecepatan dan mengabaikan keselamatan, pekerja terpaksa memilih antara uang dan keselamatan. Dengan demikian, masalahnya bukan hanya "kesalahan persepsi" pekerja, melainkan misalignment (ketidakselarasan) insentif yang diciptakan oleh kontraktor itu sendiri. Mengatasi masalah ini memerlukan perancangan ulang model bisnis dan kontrak, bukan hanya perilaku individu. Perusahaan perlu merancang sistem insentif yang secara eksplisit memberikan penghargaan untuk kepatuhan keselamatan, sehingga pekerja memiliki motivasi finansial untuk memprioritaskan keselamatan.

 

Dampak Nyata dari Perilaku Non-Kepatuhan Keselamatan pada Industri Konstruksi Malaysia

Kecelakaan tunggal tidak berakhir pada satu individu; ia menciptakan efek riak yang merugikan semua pihak. Kecelakaan kerja menimbulkan dampak yang kompleks, baik langsung maupun tidak langsung, yang dirasakan oleh berbagai pihak. Bagi pekerja, dampak langsung dapat berupa cedera, disabilitas permanen, hingga kematian. Dampak tidak langsung mencakup hilangnya sumber penghasilan, beban biaya medis, trauma psikologis, serta berkurangnya martabat dan kualitas hidup. Keluarga pekerja juga turut terdampak secara signifikan. Secara langsung, mereka dapat kehilangan pencari nafkah utama dan menghadapi risiko kemiskinan mendadak. Dampak tidak langsung mencakup beban emosional berat, timbulnya utang, ketidakpastian masa depan, hingga terhambatnya pendidikan anak-anak. Dari sisi kontraktor, kecelakaan kerja dapat menyebabkan penundaan proyek, denda dari otoritas, serta tuntutan hukum. Selain itu, biaya kompensasi pekerja, biaya medis, kerusakan peralatan, reputasi yang memburuk, hilangnya kepercayaan klien, dan menurunnya moral tim menjadi konsekuensi tidak langsung yang sulit dihindari. Pada tingkat industri, kecelakaan kerja meningkatkan premi asuransi serta memicu regulasi yang lebih ketat. Dampak tidak langsung berupa hilangnya daya tarik bagi pekerja lokal, meningkatnya ketergantungan pada tenaga asing, menguatnya citra negatif industri sebagai sektor berbahaya, serta melemahkan inovasi. Sementara itu, masyarakat secara luas juga merasakan konsekuensi. Dampak langsung terlihat dari peningkatan beban pada sistem kesehatan publik. Secara tidak langsung, masyarakat menanggung biaya sosial yang tinggi akibat hilangnya modal manusia yang produktif, serta munculnya lingkaran setan kemiskinan pada keluarga pekerja yang terdampak.

 

Jalan Keluar Menuju Budaya Keselamatan yang Lebih Kuat

Laporan ini secara realistis mengkritik pendekatan umum di industri konstruksi Malaysia yang hanya berfokus pada taktik reactive, seperti "pemasangan poster" atau "memberikan sanksi" setelah kecelakaan terjadi. Penelitian menunjukkan bahwa taktik ini gagal karena tidak mengatasi akar masalah perilaku yang sudah mengakar. Untuk mencapai tingkat kepatuhan keselamatan yang tinggi di kalangan pekerja asing, pendekatan holistik yang menargetkan akar masalah adalah satu-satunya jalan ke depan.2

Solusi harus menargetkan misconception dan hesitance yang ditemukan dalam penelitian. Ini berarti mengubah model pembayaran finish and go menjadi sistem yang memberikan bonus untuk pencapaian target keselamatan. Menggunakan komunikasi yang lebih baik (visual, multilingual) untuk mengatasi masalah overlooked. Mendorong budaya kerja di mana overconfidence dianggap sebagai risiko, bukan kebanggaan. Industri perlu beralih dari pendekatan reactive (bereaksi setelah kecelakaan) menjadi proactive (mencegah sebelum kecelakaan terjadi) dengan merancang ulang insentif dan sistem yang mendukung keselamatan sebagai nilai inti, bukan sekadar aturan tambahan. Jika elemen-elemen ini dievaluasi secara menyeluruh, adalah mungkin untuk mencapai tingkat kepatuhan keselamatan yang tinggi di antara pekerja asing.2

 

Penutup: Dampak Nyata dan Tautan Resmi

Singkatnya, masalah keselamatan di kalangan pekerja konstruksi asing di Malaysia tidak hanya disebabkan oleh kurangnya kesadaran, melainkan oleh "keengganan untuk berubah" yang dipicu oleh lima faktor perilaku kunci: sikap acuh tak acuh, kelalaian, kecenderungan mengabaikan, rasa percaya diri berlebihan, dan kesalahan persepsi. Pemahaman mendalam ini adalah langkah pertama dan paling penting untuk merumuskan kebijakan yang lebih efektif, menyelamatkan nyawa, dan membangun industri yang lebih berkelanjutan. Dengan mengatasi akar masalah perilaku dan merancang ulang sistem insentif, industri konstruksi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, adil, dan produktif bagi semua pihak.

Sumber Artikel:

Zulkeflee, A., Faisol, N., Ismail, F., Ismail, N. A. A., & Qurtubi, Q. (2023). Hesitance to Change Behaviour: Key Factors of Construction Foreign Workers' Safety Non-Compliances. Malaysian Construction Research Journal19(2), 35-49.

 

Selengkapnya
Ketika Statistik Kecelakaan Menjadi Kisah Kemanusiaan yang Terlupakan

Analisa dan Wawasan Bisnis

Di Balik Setiap Proyek Sukses: Mengungkap Rahasia Manajemen Proyek yang Mengubah Bisnis dan Kehidupan

Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025


Pendahuluan: Bukan Sekadar Jargon Bisnis, Ini Filsafat Kemenangan

Di era yang serba cepat dan penuh ketidakpastian, di mana setiap ide—dari peluncuran aplikasi baru hingga pembangunan jembatan—adalah sebuah "proyek," kata "manajemen proyek" sering kali terdengar kaku dan teknis. Namun, buku Manajemen Proyek karya Fransiska Natalia Ralahallo dkk. membongkar stigma tersebut. Alih-alih hanya menyajikan cetak biru teoretis, buku ini menawarkan narasi yang kaya tentang bagaimana mengendalikan kekacauan, mengubah visi menjadi realitas, dan memimpin orang-orang di tengah badai perubahan.3

Pada intinya, manajemen proyek adalah suatu metode atau sistem pengelolaan berbagai aktivitas bisnis selama jangka waktu tertentu. Ciri utamanya adalah sifatnya yang temporer dan memiliki tujuan yang spesifik, berbeda dari operasional rutin yang berjalan terus-menerus.3 Buku ini secara sistematis mengupas siklus hidup proyek, mulai dari inisiasi, perencanaan, hingga penutupan, sekaligus menyoroti elemen-elemen penting yang seringkali menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan sebuah inisiatif.3

 

Membongkar Mitos "Tiga Kendala": Mengapa Mengorbankan Salah Satunya Berarti Kegagalan?

Setiap proyek, tanpa terkecuali, beroperasi di bawah bayang-bayang apa yang disebut buku ini sebagai "Tiga Kendala" atau Triple Constraint. Kendala ini adalah Ruang Lingkup (Scope), Waktu (Time), dan Biaya (Cost).3 Ruang lingkup mengacu pada apa yang harus dicapai dan dihasilkan, waktu adalah tenggat penyelesaian, dan biaya adalah anggaran yang dialokasikan.3 Buku ini dengan gamblang menjelaskan bahwa ketiga elemen ini saling terkait secara fundamental. Mengubah salah satu dari ketiganya—tanpa menyesuaikan yang lain—hampir selalu akan menghasilkan ketidakseimbangan yang fatal.3

Buku ini secara implisit menempatkan dinamika ketiga kendala ini sebagai inti dari seluruh praktik manajemen proyek. Proyek yang gagal seringkali tidak disebabkan oleh satu kegagalan besar, melainkan oleh ketidakmampuan manajer proyek untuk mengelola interaksi dinamis antara ketiga kendala ini. Misalnya, ketika terjadi "scope creep," yaitu penambahan ruang lingkup yang tidak terkelola, seperti menambahkan fitur baru pada sebuah aplikasi yang sedang dikembangkan, akibat langsungnya adalah proyek membutuhkan lebih banyak waktu dan dana dari yang dialokasikan semula.3 Keterlambatan dan pembengkakan biaya ini menggerus kepercayaan pemangku kepentingan dan berpotensi menyebabkan proyek terhenti total. Mengelola proyek laksana menerbangkan pesawat: Tiga kendala adalah bahan bakar (biaya), destinasi (ruang lingkup), dan waktu tempuh (waktu). Menambah destinasi tanpa menambah bahan bakar atau memperpanjang waktu tempuh adalah resep untuk jatuh.

 

Dari Ide ke Kenyataan: Perjalanan Proyek di Atas Papan Gambar dan di Lapangan

Sebelum sebuah proyek dapat dieksekusi, ia harus melalui tahapan perencanaan yang matang.3 Bab II dan III buku ini membawa pembaca dalam sebuah perjalanan terperinci dari ide awal hingga cetak biru yang dapat diimplementasikan.3 Tahapan pertama adalah perencanaan tahap konseptual yang merupakan evaluasi awal kelayakan sebuah ide, diikuti dengan studi kelayakan proyek untuk validasi ide secara finansial, teknis, dan praktis.3 Setelah ide dipastikan layak, proses pengadaan pelelangan menjadi jembatan untuk mendapatkan kontraktor atau penyedia jasa yang sesuai untuk eksekusi.3

Sebuah pemahaman yang lebih dalam terungkap dari daftar bab buku ini. Perencanaan Program K3 dan Manajemen Lingkungan disebutkan secara eksplisit sebagai bagian integral dari perencanaan proyek.3 Hal ini menunjukkan bahwa proyek modern dinilai tidak hanya berdasarkan profit, tetapi juga berdasarkan dampak sosial dan ekologisnya—sebuah refleksi dari pergeseran paradigma menuju triple bottom line. Sebagai contoh, sebuah proyek infrastruktur yang gagal menyertakan analisis dampak lingkungan (AMDAL) dalam studi kelayakannya akan menghadapi penolakan masyarakat dan masalah hukum di kemudian hari.3 Proyek tersebut bisa terhenti dan berujung pada kerugian finansial yang jauh lebih besar daripada biaya studi kelayakan awal. Ini membuktikan bahwa aspek "non-finansial" dapat memiliki dampak finansial yang sangat signifikan. Pengorganisasian proyek pun diuraikan melalui berbagai metode, mulai dari struktur fungsional, matriks, hingga berdasarkan proyek, yang semuanya bertujuan untuk memastikan alur kerja yang efisien.3

 

Seni Mengendalikan Waktu dan Dana: Mengapa Angka Berbicara Lebih dari Kata

Buku ini menekankan bahwa pengelolaan waktu dan biaya bukanlah sekadar masalah disiplin, melainkan tentang efisiensi yang cerdas.3 Bab V dan X secara spesifik mengupas teknik mengelola waktu proyek dan manajemen sumber daya modal, menyoroti pentingnya penjadwalan proyek dan faktor-faktor yang memengaruhinya, seperti kompleksitas dan ketersediaan sumber daya.3 Berbagai metode penjadwalan seperti Diagram Gantt dan PERT/CPM dijelaskan sebagai alat vital yang memberikan visibilitas dan kontrol.3 Konsep manajemen sumber daya terbatas adalah pengakuan bahwa proyek beroperasi dalam kondisi non-ideal.3 Efisiensi di sini bukanlah hasil dari bekerja lebih keras, melainkan dari pengorganisasian yang cerdas. Dengan menggunakan metode penjadwalan berbasis sumber daya, seorang manajer proyek dapat secara visual melihat di mana ada penumpukan sumber daya atau waktu menganggur.3 Ini memungkinkan alokasi ulang sumber daya secara proaktif, seperti memindahkan tim yang menganggur untuk membantu tim yang mengalami kemacetan, yang secara nyata meningkatkan produktivitas dan efisiensi proyek.3 Lompatan efisiensi 43% seperti menaikkan daya tahan baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dengan satu kali isi ulang—karena aplikasi yang menguras daya (pemborosan sumber daya) telah dihapus dan pengaturan sistem (penjadwalan yang efisien) telah dioptimalkan.

 

Menghadapi Badai Ketidakpastian: Mengapa Mengelola Risiko Beda dengan Menghindarinya

Bab IX dan XII adalah jantung dari buku ini, yang secara langsung membahas tantangan utama setiap proyek: risiko dan ketidakpastian.3 Risiko didefinisikan sebagai "kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan," seperti keterlambatan pemasok.3 Sementara itu, ketidakpastian adalah hasil yang tidak dapat diprediksi, seperti krisis global atau pandemi.3 Buku ini menjelaskan bahwa manajemen risiko dalam proyek adalah proses sistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengembangkan strategi mitigasi.3

Buku ini menyajikan perbedaan yang sangat penting antara risiko dan ketidakpastian. Tantangan terbesarnya adalah bergerak melampaui sekadar mengelola risiko yang dapat diprediksi dan membangun ketahanan (resilience) untuk menghadapi ketidakpastian total. Salah satu penyebab umum kegagalan proyek yang disebutkan adalah manajemen risiko yang buruk, yang bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah budaya dalam organisasi yang takut mengakui atau mendiskusikan potensi masalah.3

Meskipun buku ini memberikan kerangka kerja yang solid untuk manajemen risiko, implementasinya di dunia nyata penuh tantangan. Misalnya, dalam proyek rintisan, perubahan lingkup yang tidak terkendali justru bisa jadi strategi yang disengaja untuk beradaptasi dengan pasar. Ini bisa dilihat sebagai kegagalan proyek menurut definisi buku, tetapi juga sebagai sebuah pembelajaran. Buku ini sangat baik dalam mengajarkan kita bagaimana meredam badai yang sudah kita lihat, namun tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana kita berenang di laut yang belum pernah kita petakan.

 

Kisah Pemimpin dan Pendanaan: Jiwa dan Bahan Bakar di Balik Setiap Proyek

Buku ini secara cerdas menempatkan kepemimpinan dan pendanaan sebagai elemen-elemen yang saling menguatkan.3 Pendanaan adalah bahan bakar yang diperlukan untuk memulai proyek.3 Bab VIII menjelaskan manfaat pendanaan, berbagai sumber dan macam pendanaan, mulai dari internal hingga pinjaman bank, serta peran krusial penyandang dana.3 Buku ini bahkan membahas pendanaan non-recourse yang memiliki risiko tinggi bagi penyandang dana karena hanya mengandalkan proyek itu sendiri sebagai jaminan.3

Namun, buku ini menegaskan bahwa uang hanyalah bahan bakar, sementara kepemimpinan adalah pengemudi yang menentukan apakah bahan bakar tersebut digunakan dengan bijak.3 Bab VII secara mendalam membahas berbagai teori kepemimpinan, seperti Trait Theory yang berfokus pada sifat-sifat pemimpin, dan Behavioral Theory yang menekankan pada perilaku dan gaya kepemimpinan.3 Kepemimpinan transformasional, misalnya, dapat memotivasi anggota tim untuk bekerja lebih efisien, yang secara langsung mengurangi biaya dan menjaga proyek tetap dalam anggaran.3

Sinergi antara manusia dan modal menjadi kunci. Komunikasi yang efektif dan pengelolaan konflik yang bijaksana oleh seorang pemimpin dapat mengurangi gesekan dalam tim, memastikan kolaborasi yang baik, dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas.3 Hal ini secara langsung membuat proyek selesai tepat waktu dan sesuai anggaran.

Pendanaan proyek dapat diperoleh melalui berbagai sumber, masing-masing memiliki manfaat dan risiko yang berbeda. Pendanaan internal umumnya dipilih karena cepat dan mudah diakses, namun kelemahannya adalah dapat membatasi skala proyek yang dapat dijalankan. Sementara itu, pendanaan melalui pinjaman bank memungkinkan pelaksanaan proyek berskala besar, tetapi di sisi lain menimbulkan kewajiban pembayaran bunga serta risiko gagal bayar yang harus ditanggung peminjam.

Selain itu, crowdfunding memberikan keuntungan berupa keragaman sumber dana dan sekaligus menciptakan publisitas bagi proyek yang dibiayai. Akan tetapi, metode ini sering kali mengurangi kontrol pemilik terhadap arah proyek dan tidak selalu sesuai untuk semua jenis proyek. Terakhir, pendanaan non-recourse menawarkan perlindungan berupa risiko yang terbatas bagi pemilik proyek. Meski demikian, skema ini umumnya disertai tingkat bunga yang tinggi serta persyaratan yang ketat dari pihak penyandang dana, sehingga tidak selalu mudah untuk diakses.

 

Penutup: Lebih dari Buku Teks, Ini Panduan untuk Masa Depan

Secara keseluruhan, buku Manajemen Proyek adalah panduan yang esensial, jauh melampaui sekadar buku teks. Dengan cakupan yang holistik, buku ini tidak hanya mengulas prinsip-prinsip dasar seperti tiga kendala, perencanaan, dan pengorganisasian, tetapi juga menyentuh aspek-aspek krusial seperti manajemen risiko dan kepemimpinan yang seringkali diabaikan.3 Buku ini, pada intinya, mengajarkan bahwa manajemen proyek bukanlah sekadar serangkaian tahapan yang kaku, melainkan sebuah siklus yang dinamis dan adaptif.3 Penerapan prinsip-prinsip ini dapat menjadi kunci untuk mengubah ide menjadi hasil yang nyata. Jika diterapkan dengan konsisten, wawasan dari buku ini tidak hanya dapat menyelamatkan proyek-proyek bisnis dari kegagalan, tetapi juga mengurangi biaya operasional hingga 20% dan mempercepat waktu penyelesaian hingga 35% dalam waktu dua tahun, memberikan keunggulan kompetitif yang tak ternilai di pasar global.3

Sumber Artikel:

Ralahallo, F. N., Jaya, F. H., & Tukimun. (2024). Manajemen proyek. ISBN 978-623-148-087-3

Selengkapnya
Di Balik Setiap Proyek Sukses: Mengungkap Rahasia Manajemen Proyek yang Mengubah Bisnis dan Kehidupan
page 1 of 1.170 Next Last »