Keselamatan dan Kesehatan Kerja
Dipublikasikan oleh Raihan pada 16 September 2025
Artikel ini mengulas penelitian tentang penilaian kualitas program pendidikan keselamatan pascasarjana di Eropa. Penelitian tersebut menggambarkan perjalanan historis pendidikan keselamatan sejak Heinrich (1950-an) hingga perkembangan terbaru, serta menyajikan contoh sepuluh program (post)graduate safety di berbagai institusi Eropa. Temuan utama dari makalah ini meliputi cara penilaian kualitas yang saat ini diterapkan (sebagian besar menggunakan evaluasi internal seperti umpan balik mahasiswa dan ujian), serta urgensi mengukur transfer pengetahuan keselamatan ke dunia industri yang nyata. Penelitian ini menjadi inisiasi penting dalam mengisi kekosongan literatur akademik terkait kualitas pendidikan keselamatan, dengan menggabungkan model penilaian Kirkpatrick dan Donabedian untuk memetakan aspek internal (program, mahasiswa) dan eksternal (perusahaan) dalam penilaian mutu.
Kontribusi Utama terhadap Bidang
Makalah ini memberikan kontribusi substansial dengan merangkum perkembangan pendidikan keselamatan dan praktik penilaian kualitas program secara komprehensif. Secara historis, artikel menyoroti bahwa sejak Robens (1972) hingga konferensi internasional tahun 1994, kesadaran tentang kebutuhan kurikulum keselamatan terus meningkat. Penerapan kurikulum (post)graduate safety yang menitikberatkan “learning by doing” dan studi kasus nyata juga ditekankan sebagai praktik efektif dalam pembelajaran keselamatan. Studi lapangan melengkapi kontribusi teoritik, yaitu survei terhadap sepuluh program pascasarjana keselamatan di beberapa universitas Eropa. Misalnya, penelitian ini mencatat bahwa sebagian besar program membatasi jumlah mahasiswa antara 20–24 orang untuk memastikan diskusi yang intensif. Hal ini menunjukkan perhatian serius terhadap lingkungan belajar kolaboratif yang mendukung pemahaman mendalam.
Kontribusi lainnya adalah pengungkapan bahwa evaluasi kualitas program saat ini didominasi oleh alat internal. Data survei terhadap 90 program keselamatan Eropa menunjukkan 66% program mengadopsi evaluasi internal (evaluasi trainee dan audit internal) dan hanya 13% menggunakan audit eksternal sebagai indikator mutu. Capaian ini memberi gambaran kuantitatif bahwa kebanyakan penyelenggara program masih bergantung pada penilaian internal. Selain itu, keterlibatan praktisi industri dalam pengajaran juga disoroti: sebagian program melibatkan aktif para spesialis keselamatan industri dalam 50% dari total kuliah. Temuan ini menggarisbawahi jalinan erat antara akademisi dan dunia kerja dalam penyelenggaraan program, yang potensial meningkatkan relevansi materi bagi industri.
Makalah ini juga memperkenalkan kerangka konseptual baru dengan menggabungkan model Kirkpatrick (empat tingkat: reaksi, pembelajaran, perilaku, hasil) dan model Donabedian (input, proses, output) untuk mengevaluasi pendidikan keselamatan. Penggabungan model tersebut menekankan pentingnya aspek eksternal (output/hasil) – yaitu pengaruh lulusan terhadap peningkatan keselamatan di perusahaan – sebagai indikator kualitas utama. Sebagai rekomendasi awal, penulis menyarankan penilaian mutu yang tidak hanya mengukur kepuasan dan pembelajaran (level 1-2), tetapi juga transfer ke pekerjaan (level 3) dan dampak keselamatan organisasi (level 4). Misalnya, mereka mengusulkan penggunaan tinjauan skenario kecelakaan (minor dan mayor) di perusahaan peserta program sebagai metrik alternatif untuk mengevaluasi efektivitas lulusan dalam mencegah insiden. Rekomendasi ini menunjukkan pendekatan inovatif yang berpotensi menghubungkan hasil pendidikan dengan hasil nyata di lapangan.
Secara keseluruhan, kontribusi utama riset ini adalah (1) mengidentifikasi bahwa fokus penilaian mutu saat ini masih terbatas pada indikator internal tradisional, (2) menegaskan pentingnya mengembangkan indikator eksternal, dan (3) menyusun gagasan kerangka penilaian terpadu yang menghubungkan proses pendidikan dengan dampak industri. Kejelasan kerangka yang diusulkan dan data kuantitatif yang disajikan (misalnya, statistik adopsi sistem mutu) memperkuat argumen bahwa temuan ini membuka jalan bagi penelitian lebih lanjut dalam pengembangan metode penilaian mutu pendidikan keselamatan yang lebih komprehensif.
Keterbatasan dan Pertanyaan Terbuka
Meskipun menyajikan wawasan berharga, riset ini memiliki batasan yang perlu diperhatikan. Pertama, pendekatan metode yang digunakan bersifat convenience sampling dan hanya melibatkan koordinator dari sepuluh program Eropa terpilih[14]. Hal ini membatasi representativitas hasil dan menimbulkan pertanyaan apakah temuan serupa berlaku untuk program lain di luar lingkup survei. Kedua, penekanan utama makalah ini adalah pada konsep dan ide awal; uji empiris terhadap efektivitas kerangka yang diusulkan belum dilakukan. Misalnya, pendekatan penilaian berbasis skenario kecelakaan masih berupa usulan konseptual tanpa bukti praktis mengenai penerapannya dalam konteks nyata.
Selain itu, terdapat ambiguitas dalam konteks metodologis. Banyak data yang bersifat deskriptif atau anekdotal, dan belum ada standar operasional untuk beberapa indikator yang diusulkan, seperti metode spesifik pengumpulan data untuk level 3-4 Kirkpatrick. Ini memunculkan pertanyaan terbuka tentang metodologi yang tepat untuk mengukur transfer pengetahuan dan dampak di organisasi. Sebagai contoh, makalah menyebutkan bahwa evaluasi tingkat perilaku (level 3) dapat dilakukan melalui survei atau penilaian kinerja khusus setelah enam bulan, namun implementasi praktisnya belum teruji. Demikian pula, indikator keamanan tradisional seperti frekuensi kecelakaan dianggap "tidak dapat diandalkan" dan perlu dikembangkan lebih lanjut, namun alternatif konkrit dan valid masih harus ditemukan.
Selanjutnya, makalah ini terfokus pada jalur akademik pascasarjana, sementara jalur lain (seperti pendidikan profesional dan pelatihan inspektorat) disebutkan namun belum dianalisis secara mendalam. Apakah konsep penilaian yang sama dapat diterapkan pada jalur tersebut masih menjadi pertanyaan. Hal ini menunjukkan perlunya kajian lintas-konteks untuk menentukan keberlakuan universal dari temuan.
Terakhir, makalah ini secara eksplisit menyatakan bahwa topik kualitas pendidikan keselamatan masih “diekspresikan secara minimal” dalam literatur (lanj. Safety Science, 1995). Artinya, masih banyak pertanyaan dasar yang belum terjawab, seperti definisi objektif dari “mutu” dalam konteks ini dan cara mengukur pencapaiannya. Pemilihan responden (pembuat program) juga dapat menimbulkan bias, karena mereka mungkin tidak cukup kritis terhadap kelemahan program sendiri. Keseluruhan, keterbatasan ini memperlihatkan bahwa, meskipun riset ini membuka diskusi penting, banyak aspek substantif dan metodologis yang masih memerlukan penelitian lebih jauh.
5 Rekomendasi Riset Berkelanjutan
Penutup Kolaboratif
Semua rekomendasi di atas menekankan kesinambungan riset dalam pendidikan keselamatan pascasarjana. Keberhasilan implementasi ide-ide tersebut akan lebih terjamin jika melibatkan kolaborasi lintas lembaga. Penelitian lebih lanjut harus melibatkan institusi seperti Delft University of Technology, Universitat Politècnica de Catalunya, dan Tampere University (Centre for Safety Management and Engineering) untuk memastikan keberlanjutan dan validitas hasil penelitian.
Baca Selengkapnya disini: https://doi.org/10.1016/j.ssci.2021.105338
Kesehatan Masyarakat
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025
Menyelami Misi Para Ilmuwan di Belgia
Dalam lanskap pendidikan medis yang dinamis dan terus berevolusi, para calon dokter masa depan dihadapkan pada tantangan yang unik: bagaimana menjadi profesional yang tidak hanya kompeten secara klinis tetapi juga seorang komunikator, kolaborator, dan pemimpin yang efektif? Pertanyaan ini menjadi semakin rumit ketika sistem pendidikan medis, alih-alih memberikan panduan yang jelas, malah menyajikan sebuah labirin. Di Flanders, Belgia, para calon dokter anak pascasarjana menghadapi masalah ini secara langsung. Mereka harus menavigasi beberapa kerangka kerja kompetensi yang berbeda secara bersamaan, sebuah kondisi yang dapat menciptakan kekacauan dan inkonsistensi dalam evaluasi, pelatihan, dan sertifikasi mereka.1
Bayangkan sebuah sekolah di mana setiap mata pelajaran diajarkan dengan kurikulum yang berbeda, tanpa ada benang merah yang menyatukan. Para siswa mungkin mahir di satu bidang, tetapi bingung bagaimana pengetahuan tersebut terhubung dengan bidang lainnya. Inilah situasi yang terjadi dalam pelatihan pascasarjana pediatri di sana. Berbagai kerangka kerja seperti Master of Specialist Medicine (MSG) dan panduan spesifik dari European Union of Medical Specialists (UEMS) digunakan, tetapi mereka tidak terintegrasi secara mulus. Keadaan ini menciptakan kebingungan dan berpotensi menghambat kontinuitas pembelajaran.1
Menanggapi masalah praktis ini, sebuah tim peneliti yang terdiri dari para ahli di bidang pediatri dan pendidikan dari berbagai universitas terkemuka di Belgia—terutama dari Ghent University—memulai sebuah misi ambisius. Tujuan utama mereka bukanlah sekadar menambah kerangka kerja lain, melainkan untuk menggabungkan kerangka kerja yang sudah ada menjadi satu panduan terpadu dan universal yang dapat membawa kejelasan dan keseragaman dalam pelatihan dokter anak. Mereka bertekad untuk menciptakan sebuah "bahasa bersama" yang bisa digunakan oleh semua pihak yang terlibat, mulai dari supervisor, penguji, hingga para residen itu sendiri, sehingga setiap orang memiliki pemahaman yang sama tentang apa yang diperlukan untuk menjadi dokter anak yang kompeten.1
Mengapa Temuan Ini Bisa Mengubah Dunia Pendidikan Medis?
Inti dari penelitian ini adalah sebuah upaya yang belum pernah terjadi sebelumnya: secara sistematis menggabungkan tiga kerangka kerja yang dominan—yaitu Kerangka CanMEDS (Canadian Medical Education Directives for Specialists), UEMS, dan MSG—menjadi satu panduan tunggal yang kohesif. CanMEDS dipilih sebagai fondasi utama atau "tulang punggung" dari kerangka baru ini, sebuah keputusan yang sangat strategis. Alasannya, CanMEDS adalah kerangka yang sudah diterima secara luas dalam pendidikan kedokteran sarjana di Flanders, bahkan telah digunakan untuk memvalidasi kompetensi di tingkat itu.1 Dengan menjadikan CanMEDS sebagai dasar, para peneliti memastikan adanya kontinuitas yang mulus dari pendidikan sarjana ke pascasarjana.
Proses penggabungan ini dilakukan dengan ketelitian yang luar biasa. Para peneliti pertama-tama secara manual menautkan 65 kompetensi dari kerangka UEMS dan 33 kompetensi dari kerangka MSG ke 89 kompetensi yang mendasari peran-peran CanMEDS.1 Langkah ini tidak hanya membantu mengidentifikasi kompetensi yang tumpang tindih tetapi juga menyoroti area yang masih kosong. Setelah proses penautan awal selesai, mereka memadukan kompetensi yang serupa, menghasilkan daftar awal sebanyak 95 kompetensi yang kemudian akan divalidasi oleh panel ahli.
Keberhasilan penggabungan ini lebih dari sekadar pencapaian teknis. Ini adalah model kolaborasi antar lembaga dan standar yang berbeda. Penelitian ini menunjukkan bahwa dengan pendekatan yang sistematis dan terperinci, adalah mungkin untuk mengatasi fragmentasi dan menciptakan panduan yang lebih jelas dan komprehensif. Hasil akhirnya adalah sebuah kerangka yang tidak hanya menyatukan kompetensi yang ada, tetapi juga menetapkan "bahasa bersama" yang dapat menyederhanakan komunikasi dan proses pendidikan. Ini adalah cetak biru yang dapat direplikasi tidak hanya di seluruh Belgia, tetapi juga di disiplin medis atau negara lain yang menghadapi tantangan serupa. Dengan menghilangkan kebingungan yang disebabkan oleh beragam standar, kerangka kerja ini menjadi kunci untuk memastikan konsistensi dan kualitas pelatihan yang tinggi.
Kisah di Balik Angka-Angka: Suara Para Ahli dari Belgia
Di balik kerangka kerja yang rapi dan terorganisir, ada sebuah kisah tentang upaya konsensus yang intens dari para ahli. Validasi kerangka kerja ini tidak dilakukan secara sepihak, melainkan melalui metode Delphi, sebuah proses yang melibatkan panel ahli dalam tiga putaran survei online yang ketat. Awalnya, tantangan sudah terlihat dari tingkat partisipasi. Tim peneliti menghubungi 101 ahli dari berbagai latar belakang, termasuk dokter anak yang baru lulus, supervisor, anggota komite akreditasi, dan pakar pendidikan. Namun, dari 21 orang yang merespons, hanya 11 yang berhasil menyelesaikan kuesioner di putaran pertama.1
Meskipun tingkat respons awal ini tampak rendah, angka-angka selanjutnya menceritakan kisah yang berbeda. Para peneliti berhasil mendapatkan partisipasi yang stabil dari kelompok yang sangat berkomitmen. Di putaran kedua, 13 dari 15 peserta yang diundang (sekitar 86.6%) menyelesaikan survei, dan di putaran ketiga, semua 13 ahli tersebut (100%) melengkapi kuesioner.1 Kelompok inti yang gigih ini, yang mewakili beragam bidang keahlian, berhasil membuktikan bahwa kualitas pemahaman dan komitmen lebih berharga daripada kuantitas partisipan belaka.
Pada putaran pertama, ke-95 kompetensi yang diusulkan mendapat persetujuan luar biasa, dengan konsensus positif mencapai setidaknya 70% di semua kompetensi. Sebanyak 69 kompetensi bahkan mencapai konsensus positif 100%.1 Namun, di sinilah proses menjadi sangat penting. Meskipun semua kompetensi dianggap relevan, para ahli memberikan 84 komentar kualitatif yang mengarah pada penyesuaian. Ini adalah inti dari "cerita di balik data." Fakta bahwa 12 kompetensi harus disesuaikan di putaran kedua menunjukkan bahwa para ahli tidak hanya sekadar menyetujui, tetapi mereka berdebat sengit tentang formulasi dan penerapannya di dunia nyata.1 Perubahan yang diusulkan mencakup penyesuaian untuk membuat formulasi lebih spesifik bagi profesi pediatri, dan untuk mengatasi apakah suatu kompetensi benar-benar berlaku untuk setiap dokter anak, terlepas dari lingkungan kerjanya. Setelah putaran ketiga, semua kompetensi yang telah direformulasi mencapai konsensus 100%.1 Proses ini bukan sekadar validasi, tetapi sebuah proses perbaikan yang ketat, memastikan setiap elemen dalam kerangka kerja tidak hanya relevan secara teori, tetapi juga praktis dan jelas.
Tantangan Nyata: Ketika Teori Bertemu Praktik Lapangan
Studi ini tidak mengabaikan tantangan dan keterbatasan yang menyertai setiap upaya ilmiah. Para peneliti secara terbuka mengakui beberapa kritik realistis yang muncul dari panel ahli, terutama mengenai kesulitan dalam menerapkan satu kerangka umum di seluruh lingkungan kerja pediatri yang beragam. Lingkungan kerja seorang dokter anak di rumah sakit universitas sangat berbeda dari praktik swasta atau rumah sakit komunitas. Oleh karena itu, tidak semua kompetensi dianggap sama-sama relevan, dapat diterapkan, atau cocok untuk dievaluasi di setiap pengaturan klinis.1
Salah satu perdebatan yang paling menarik adalah mengenai kompetensi "berkontribusi pada program riset." Beberapa ahli berpendapat bahwa partisipasi aktif dalam riset tidak seharusnya menjadi prasyarat untuk setiap dokter anak, meskipun itu adalah bagian dari program pelatihan saat ini. Perdebatan ini menyoroti ketegangan yang lebih besar dalam profesi medis: apakah seorang dokter anak hanya seorang "pakar klinis" atau juga seorang "sarjana, advokat kesehatan, dan manajer"? Kerangka kerja ini, dengan tujuh peran CanMEDS-nya, menegaskan bahwa seorang dokter modern harus lebih dari sekadar pakar medis. Perdebatan ini menunjukkan bahwa kerangka kerja tersebut bukan sekadar dokumen statis, tetapi pemicu diskusi penting tentang identitas profesi itu sendiri.1
Selain tantangan implementasi, penelitian ini juga jujur mengenai keterbatasan metodologi. Tingkat respons awal yang rendah, meskipun berhasil diatasi oleh partisipasi yang berkomitmen di putaran selanjutnya, tetap menjadi catatan. Para peneliti juga menyebutkan potensi bias lokalisasi, di mana sebagian besar ahli yang terlibat berafiliasi dengan universitas di Flanders. Meskipun penggunaan kerangka kerja internasional seperti CanMEDS dan UEMS memperkecil bias ini, studi di masa depan perlu menyelidiki penerapan kerangka kerja ini di negara lain. Keterbatasan lain adalah sifat metode Delphi itu sendiri, yang tidak memungkinkan diskusi tatap muka untuk memperjelas komentar, yang terkadang bisa mempengaruhi interpretasi.1 Namun, alih-alih dilihat sebagai kelemahan, pengakuan atas keterbatasan ini justru memperkuat kredibilitas studi dan menunjukkan pemahaman mendalam tentang metodologi penelitian.
Dampak Nyata: Mengubah Masa Depan Profesi Kedokteran Anak
Validasi kerangka kerja kompetensi terintegrasi ini bukanlah akhir dari cerita, melainkan sebuah titik awal revolusioner. Dengan menyediakan satu panduan yang jelas, studi ini berhasil mengatasi masalah fundamental fragmentasi yang telah menghambat pelatihan pascasarjana pediatri di Flanders. Dampak nyatanya dapat dirasakan secara langsung oleh para calon dokter anak. Mereka kini memiliki "peta jalan" yang jelas tentang apa yang harus mereka kuasai selama pelatihan. Kerangka kerja ini dapat digunakan untuk menetapkan tujuan pembelajaran di tempat kerja, memfasilitasi penilaian yang lebih obyektif, dan menyederhanakan proses sertifikasi, memastikan setiap lulusan memenuhi standar profesional yang seragam dan tinggi.1
Dampak positif ini tidak terbatas pada wilayah Belgia. Kerangka kerja yang tervalidasi ini menawarkan cetak biru yang dapat digunakan dan disesuaikan oleh sistem pendidikan medis di seluruh dunia yang menghadapi tantangan serupa. Jika diterapkan, temuan ini bisa menjadi solusi universal untuk masalah fragmentasi kurikulum. Dengan menyediakan panduan yang teruji dan didukung oleh konsensus ahli, studi ini berpotensi mengubah lanskap pelatihan medis, meningkatkan kualitas dan konsistensi pendidikan di berbagai belahan dunia. Dengan menyederhanakan proses yang tadinya kompleks, kerangka kerja ini berpotensi mengurangi biaya dan waktu yang dihabiskan untuk administrasi kurikulum secara signifikan dalam waktu lima tahun. Ini bukan hanya sebuah kemenangan teoretis, tetapi sebuah langkah nyata menuju masa depan yang lebih efisien dan terstandarisasi dalam pendidikan kedokteran.
Analisis Metodologi: Mengapa Delphi Menjadi Pilihan Tepat?
Dalam konteks penelitian ini, pilihan untuk menggunakan metodologi Delphi bukan sekadar formalitas akademik, melainkan sebuah strategi yang cerdik untuk mengatasi tantangan praktis yang signifikan. Metodologi Delphi, sebagai metode konsensus terstruktur, memungkinkan para peneliti untuk mengumpulkan dan mensintesis pendapat dari panel ahli yang tersebar secara geografis tanpa perlu pertemuan tatap muka.1 Hal ini sangat krusial, terutama mengingat studi ini berlangsung antara tahun 2020 dan 2021, di tengah puncak pandemi COVID-19 yang membatasi pertemuan fisik. Kemampuan untuk melanjutkan proses penelitian meskipun ada hambatan global ini menunjukkan adaptasi cerdas dari tim riset.
Lebih dari sekadar logistik, metode Delphi memiliki keunggulan substantif yang menjadikannya pilihan ideal. Salah satu keunggulan terbesar adalah anonimitas respons antar partisipan. Meskipun para peneliti mengetahui identitas responden, para ahli tidak mengetahui siapa saja rekan mereka di panel tersebut. Kondisi ini membantu mencegah dominasi oleh satu atau dua ahli yang paling vokal atau berwibawa, memastikan bahwa setiap suara memiliki bobot yang sama dan didasarkan pada substansi, bukan reputasi.1 Dengan demikian, konsensus yang dicapai benar-benar mencerminkan pandangan kolektif yang jujur dan tidak bias. Proses berulang yang memungkinkan para ahli untuk meninjau hasil putaran sebelumnya dan mengomentari alasan perubahan juga menambahkan lapisan ketelitian, mengubah proses validasi dari sekadar jajak pendapat menjadi siklus perbaikan yang berkelanjutan. Proses ini berhasil mengumpulkan data kuantitatif (skala Likert) dan kualitatif (komentar bebas) yang saling melengkapi, menghasilkan kerangka kerja yang tidak hanya tervalidasi secara statistik, tetapi juga terperbaiki secara kualitatif.
Implikasi Global: Lebih dari Sekadar Belgia
Meskipun fokus geografis penelitian ini adalah pada pelatihan pediatri di Flanders, Belgia, model dan temuan yang dihasilkan memiliki implikasi yang jauh lebih luas. Studi ini dapat dilihat sebagai bukti konsep (proof of concept) yang sangat kuat, menunjukkan bahwa penggabungan kerangka kerja yang beragam menjadi satu sistem terpadu adalah hal yang mungkin dan bermanfaat. Masalah fragmentasi kurikulum dalam pendidikan pascasarjana bukanlah fenomena yang hanya terjadi di Belgia; ini adalah tantangan yang dihadapi oleh banyak sistem pendidikan medis di seluruh dunia.
Keberhasilan studi ini sebagian besar disebabkan oleh penggunaan CanMEDS sebagai kerangka kerja dasar. CanMEDS bukanlah standar lokal, melainkan kerangka kerja internasional yang diakui secara global yang mendefinisikan tujuh peran inti yang harus dimiliki oleh seorang dokter, mulai dari Medical Expert hingga Leader dan Health Advocate.1 Dengan memadukan kompetensi lokal dan regional ke dalam model CanMEDS, para peneliti tidak hanya menyelesaikan masalah yang dihadapi di Belgia, tetapi juga menciptakan solusi yang dapat diskalakan dan relevan bagi banyak negara lain. Hal ini menunjukkan bahwa sistem pendidikan kedokteran di seluruh dunia dapat mencapai unifikasi tanpa harus mengorbankan kekhususan regional atau disiplin.
Lebih lanjut, studi ini menegaskan tren global menuju dokter yang lebih holistik, bukan sekadar ahli klinis. Kerangka kerja terintegrasi ini secara eksplisit mencakup peran non-klinis, yang mencerminkan pergeseran filosofis dalam profesi medis modern. Keberhasilan dalam memvalidasi kompetensi di luar pengetahuan medis dan keterampilan teknis menunjukkan bahwa kurikulum pascasarjana dapat dan harus mempersiapkan dokter untuk peran mereka sebagai sarjana, komunikator, manajer, advokat, dan profesional yang etis. Dengan demikian, penelitian ini menjadi panduan praktis untuk mendorong evolusi profesi kedokteran di skala global, menyediakan cetak biru yang dapat membantu negara lain mengatasi masalah serupa dan mengadopsi standar global yang lebih komprehensif.
Rekomendasi Praktis dan Arah Penelitian Lanjutan
Keberhasilan sebuah kerangka kerja kompetensi tidak berhenti pada validasi teoretisnya. Tantangan terbesar, seperti yang diakui oleh para peneliti, terletak pada implementasinya di lingkungan kerja sehari-hari.1 Untuk memastikan bahwa kerangka kerja ini benar-benar memberikan dampak positif, beberapa rekomendasi praktis dan arah penelitian lanjutan harus dipertimbangkan.
Pertama, implementasi yang efektif membutuhkan dukungan dan pelatihan yang memadai. Para supervisor klinis, yang seringkali bukan pendidik medis profesional, akan membutuhkan panduan yang jelas dan perangkat penilaian yang teruji untuk dapat mengintegrasikan dan mengevaluasi kompetensi ini dalam rutinitas kerja sehari-hari. Sebuah kerangka yang solid tidak akan berguna jika tidak dapat diterapkan secara konsisten di lapangan. Dengan demikian, langkah selanjutnya harus mencakup pengembangan alat penilaian praktis dan program pelatihan bagi para supervisor, sehingga mereka memiliki indikator kualitas yang jelas untuk membimbing para residen.1
Kedua, studi ini membuka jalan untuk penelitian lanjutan yang krusial. Para peneliti sendiri mencatat bahwa meskipun kompetensi teknis pediatri tercakup, validasi daftar keterampilan spesifik yang terkait dengannya berada di luar lingkup studi ini.1 Oleh karena itu, penelitian lanjutan sangat diperlukan untuk memvalidasi daftar keterampilan tersebut secara terpisah, memastikan bahwa pengetahuan dan keahlian spesifik ini juga memenuhi standar yang sama dengan kompetensi yang lebih umum. Selain itu, para peneliti juga secara jujur mengakui perlunya mendefinisikan tingkatan kompetensi yang berbeda untuk setiap peran, sesuai dengan tingkat senioritas residen. Seorang residen junior, misalnya, mungkin hanya perlu menguasai manajemen rencana jangka pendek, sementara residen yang lebih senior harus mampu menyusun rencana manajemen jangka panjang. Penelitian di masa depan harus fokus pada pengembangan dan validasi tingkat-tingkat ini.
Terakhir, untuk mengatasi bias lokalisasi yang mungkin ada, penelitian selanjutnya harus menguji penerapan dan relevansi kerangka kerja ini di negara lain. Keberhasilan di Belgia adalah langkah awal yang menjanjikan, tetapi validasi yang lebih luas akan mengubah kerangka ini dari solusi regional menjadi standar internasional. Dengan mengatasi tantangan implementasi dan terus mendorong penelitian lanjutan, kerangka kerja ini dapat menjadi bagian dari siklus perbaikan berkelanjutan yang akan meningkatkan kualitas pendidikan kedokteran pascasarjana dan, pada akhirnya, kualitas perawatan pasien di seluruh dunia.
Sumber Artikel:
Robbrecht, M., Norga, K., Van Winckel, M., Valcke, M., & Embo, M. (2022). Development of an integrated competency framework for postgraduate paediatric training: a Delphi study. European Journal of Pediatrics, 181(2), 637-646.
Industri Kontruksi
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025
Pendahuluan: Ketika Statistik Kecelakaan Menjadi Kisah Kemanusiaan yang Terlupakan
Di balik megahnya gedung-gedung pencakar langit dan infrastruktur modern di Malaysia, tersembunyi sebuah kisah yang sering kali terabaikan: realitas suram kecelakaan kerja di sektor konstruksi. Setiap proyek bukanlah sekadar kumpulan beton dan baja, melainkan sebuah labirin potensi bahaya di mana keselamatan menjadi taruhannya. Sejak tahun 1980-an, industri konstruksi Malaysia telah sangat bergantung pada tenaga kerja asing untuk mengisi kekurangan tenaga kerja.1 Ketergantungan ini terus meningkat, dengan jumlah pekerja asing mencapai 135.997 pada tahun 2017 dan melonjak 10.6% pada tahun 2018, menyoroti peran krusial mereka dalam sektor ini.2 Namun, ketergantungan yang tinggi pada pekerja dari latar belakang budaya dan perilaku yang beragam ini telah memicu dampak negatif yang signifikan pada perspektif sosial dan perilaku.3 Dinamika ini, sayangnya, menciptakan sebuah "bom waktu" keselamatan di lokasi proyek yang konsekuensinya tercermin dalam statistik kecelakaan yang mengkhawatirkan.
Pada tahun 2018 saja, Organisasi Keselamatan Sosial (SOCSO) mencatat 72.682 kasus kecelakaan kerja di Malaysia, meningkat 3.88% dari tahun sebelumnya.2 Sebagian besar literatur keselamatan dan kesehatan kerja cenderung menyalahkan manajemen atas kurangnya investasi dalam keselamatan. Namun, ada pertanyaan krusial yang jarang dieksplorasi secara mendalam: mengapa, meskipun ada peraturan, pelatihan, dan ketersediaan Alat Pelindung Diri (APD), banyak pekerja asing tetap enggan mematuhi prosedur keselamatan? Laporan ini hadir sebagai upaya untuk menjawab pertanyaan tersebut. Dengan menganalisis sebuah studi kualitatif mendalam, laporan ini tidak hanya akan membahas gejala (kecelakaan) tetapi juga penyakitnya (perilaku). Studi ini menunjukkan bahwa penyebab utama bukan hanya "kurang pengetahuan," melainkan sebuah fenomena yang disebut 'keengganan untuk berubah' (hesitance to change behaviour).2 Ini adalah pemahaman yang lebih dalam daripada narasi umum di media, dan dengan demikian menggeser fokus dari menyalahkan pekerja karena "tidak tahu" menjadi memahami alasan psikologis dan sistemik di balik "keengganan" mereka untuk mengadopsi budaya keselamatan.
Teori di Balik Ketidakpatuhan: 'Keengganan untuk Berubah'
Inti dari temuan penelitian ini adalah bahwa perilaku non-kepatuhan keselamatan tidak muncul secara acak, melainkan berakar pada lima faktor perilaku kunci yang berinteraksi dalam psikologi individu. Hal ini sejalan dengan teori Resisting to Change, sebuah kerangka teoretis yang kuat yang menjelaskan mengapa individu menolak perubahan, bahkan ketika perubahan itu demi kebaikan mereka sendiri.2 Penelitian ini secara eksplisit menunjukkan bahwa faktor-faktor ini serupa dengan komponen asli dari teori Resisting to Change dan mampu memperluasnya.
Fenomena ini bermula dari tahapan psikologis individu yang menolak perubahan, dimulai dengan denial (penyangkalan) dan shock (keterkejutan) ketika mereka menerima informasi yang bertentangan dengan kebiasaan dan praktik lama mereka.1 Dalam konteks keselamatan kerja, ini berarti seorang pekerja yang telah bekerja bertahun-tahun tanpa prosedur keselamatan mungkin menolak ide bahwa praktik lamanya berbahaya. Mereka merasa terancam karena perubahan tersebut akan menghilangkan sesuatu yang berharga bagi mereka—yaitu, cara kerja yang sudah akrab dan nyaman. Ini menunjukkan bahwa pelatihan dan papan pengumuman saja tidak akan efektif jika tidak mengatasi fondasi psikologis ini. Solusi yang efektif harus bersifat persuasif dan empatik, bukan hanya instruktif dan represif, dengan mengakui bahwa perubahan perilaku adalah proses yang kompleks dan emosional, bukan sekadar masalah ketersediaan informasi.
Kritik Metode: Sebuah Pandangan dari Sudut Pandang Manajerial
Penting untuk dicatat bahwa temuan mendalam dari studi ini didasarkan pada serangkaian wawancara semi-terstruktur dengan sembilan informan yang merupakan para profesional di industri konstruksi, termasuk manajer dan pengawas lapangan.1 Kesembilan informan ini bekerja sangat dekat dengan pekerja asing di tingkat operasional, memberikan mereka perspektif unik. Namun, perlu diakui bahwa penelitian ini tidak menyertakan wawancara dengan pekerja asing itu sendiri. Hal ini menciptakan sebuah perspektif yang dominan dari satu sisi, yaitu pandangan manajerial tentang mengapa pekerja tidak patuh.
Interpretasi manajerial ini bisa jadi sangat akurat, tetapi juga bisa mengandung bias atau asumsi. Sebagai contoh, pengawas mungkin melihat "kebiasaan mabuk" 2 sebagai alasan jelas di balik kecerobohan, sementara alasan yang lebih dalam seperti "kesalahan persepsi" atau "percaya diri berlebihan" mungkin merupakan asumsi yang ditarik oleh pengawas, bukan pengakuan langsung dari pekerja. Ini adalah pandangan yang menyoroti gejala yang terlihat, tetapi mungkin tidak sepenuhnya menangkap motivasi atau perasaan yang tersembunyi. Oleh karena itu, laporan ini menyajikan temuan dengan nada yang hati-hati, mengakui bahwa ini adalah "pandangan dari satu sisi" dan menunjukkan bahwa perlu adanya penelitian lanjutan yang menyertakan perspektif langsung dari pekerja asing untuk mendapatkan gambaran yang lebih holistik dan seimbang.
Lima Faktor Kunci yang Mengatur Pikiran Pekerja di Lokasi Proyek
Narasi di balik data kuantitatif dan kualitatif dari penelitian ini menyingkap lima faktor perilaku utama yang bertanggung jawab atas kecenderungan non-kepatuhan keselamatan. Setiap faktor ini, ketika dijelaskan secara mendalam, menceritakan sebuah kisah tentang konflik antara kebiasaan, insentif, dan risiko di lokasi proyek.
1. Sikap Acuh Tak Acuh (Ignorance)
Sikap acuh tak acuh bukanlah semata-mata kurangnya pengetahuan, melainkan sebuah keyakinan yang mengakar bahwa aturan keselamatan itu "tidak relevan," "tidak masuk akal," "tidak penting," atau "sudah usang".1 Para pekerja ini seringkali sudah terbiasa dengan budaya non-keselamatan di negara asal mereka, sehingga mereka memandang peraturan keselamatan sebagai sesuatu yang tidak penting.2 Mereka juga mengeluhkan bahwa penggunaan Alat Pelindung Diri (APD) dapat menyebabkan ketidaknyamanan, rasa tertekan, dan merepotkan, sehingga membatasi pergerakan mereka saat bekerja.1 Ketidaknyamanan ini menjadi alasan yang kuat bagi mereka untuk mengabaikan penggunaan APD, meskipun itu adalah kewajiban yang sah untuk melindungi diri mereka dari risiko.2
Faktor ini diperburuk oleh sikap keras kepala dan ketidakbertanggungjawaban. Contoh nyata di lapangan adalah ketika pekerja menolak untuk memakai safety harness saat bekerja di ketinggian, menganggapnya sebagai hal yang membuang waktu dan mengganggu alur kerja.2 Kebiasaan yang sudah terinternalisasi secara budaya ini adalah masalah mendalam yang tidak bisa diselesaikan hanya dengan pelatihan satu kali. Ini memerlukan pendekatan yang menargetkan perubahan budaya kerja itu sendiri, bukan hanya penyampaian informasi. Terlebih lagi, penelitian menunjukkan bahwa para pekerja ini seringkali menyalahkan orang lain ketika mereka ketahuan melanggar aturan, dengan alasan tidak ada yang melatih mereka atau mereka menganggap orang lain seharusnya melakukannya.2
2. Kelalaian (Negligence)
Kelalaian seringkali berasal dari kecerobohan dan sikap sembrono yang dimiliki oleh pekerja. Para informan penelitian mengidentifikasi bahwa pekerja asing seringkali gagal untuk menjaga dan melindungi peralatan keselamatan pribadi mereka.2 Alasan umum yang sering mereka berikan adalah bahwa APD mereka "dicuri, rusak, hilang, atau hanya lupa dan ditinggalkan di rumah".1 Karena kecerobohan ini, pekerja seringkali tidak merawat barang-barang keselamatan mereka dengan baik, yang merupakan indikasi apatisme yang lebih besar terhadap keselamatan pribadi.
Kelalaian ini juga terwujud dalam perilaku yang tampaknya tidak berbahaya tetapi sangat berisiko, seperti horseplay atau bermain-main di lokasi kerja.2 Praktik ini, yang sering dianggap sebagai lelucon ringan, dapat menyebabkan cedera serius pada diri sendiri dan rekan kerja. Kelalaian ini bisa menjadi indikasi apatisme yang lebih besar terhadap keselamatan pribadi, yang diperburuk oleh kurangnya insentif untuk bersikap peduli. Solusi yang efektif harus lebih dari sekadar denda; ia mungkin harus mencakup insentif positif, seperti bonus untuk rekor keselamatan yang bersih, yang dapat menjadi motivasi kuat bagi pekerja untuk lebih bertanggung jawab terhadap keselamatan mereka sendiri dan rekan kerja.
3. Kecenderungan Mengabaikan (Overlooked)
Sebuah temuan yang mengejutkan dari penelitian ini adalah bahwa banyak pekerja tidak memperhatikan atau bahkan tidak menyadari keberadaan rambu dan peraturan keselamatan yang dipasang di lokasi proyek.1 Meskipun manajemen telah mengambil langkah untuk meningkatkan kesadaran dengan memasang rambu dan pedoman, pekerja sering kali mengabaikannya karena ketidakmampuan mereka untuk membaca dan memahami instruksi yang ditampilkan.1 Hal ini diperparah oleh keragaman etnis pekerja asing di Malaysia, yang berasal dari negara-negara seperti Bangladesh, Nepal, dan Indonesia. Sangat mungkin bahwa rambu-rambu tersebut tidak tersedia dalam bahasa yang mereka kuasai, menjadikan rambu-rambu tersebut tidak lebih dari sekadar dekorasi.
Kegagalan komunikasi yang mendasar ini menunjukkan bahwa penyampaian informasi keselamatan harus dilakukan dengan cara yang lebih universal dan inklusif. Solusi nyata harus melibatkan komunikasi visual yang lebih efektif, demonstrasi lisan, atau materi dalam berbagai bahasa yang relevan, untuk memastikan bahwa pesan keselamatan benar-benar sampai kepada setiap pekerja. Jika pekerja tidak dapat melihat atau memahami pedoman yang ada, mereka tidak dapat mematuhinya.
4. Rasa Percaya Diri Berlebihan (Overconfidence)
Faktor ini berakar pada arogansi dan keyakinan keliru bahwa kecelakaan tidak akan terjadi pada diri mereka.1 Para informan menyebutkan bahwa pekerja senior seringkali menunjukkan rasa percaya diri yang berlebihan, dengan mengklaim bahwa mereka tidak pernah mengalami kecelakaan meskipun bekerja tanpa mempraktikkan keselamatan selama bertahun-tahun.1 Mereka merasa kebal dari bahaya, menganggap pengalaman masa lalu sebagai jimat pelindung.
Fenomena psikologis ini, yang dikenal sebagai Efek Dunning-Kruger, menjelaskan mengapa individu yang kurang kompeten seringkali melebih-lebihkan kemampuan mereka. Dalam konteks ini, pekerja yang berpengalaman mungkin merasa kebal dari bahaya karena mereka sudah "nyaman dan akrab dengan pekerjaan mereka".1 Mereka tidak lagi menganggap pekerjaan mereka berisiko, bahkan saat bekerja di ketinggian dengan hanya mengandalkan ledges atau ruang kerja ekstra.1 Untuk melawan rasa percaya diri yang berlebihan ini, diperlukan penekanan pada dampak risiko, bahkan yang terkecil sekalipun, dan pengingat konstan bahwa kecelakaan dapat terjadi pada siapa saja, tanpa memandang pengalaman.
5. Kesalahan Persepsi (Misconception)
Faktor ini merupakan wawasan paling krusial dari penelitian. Kesalahan persepsi ini adalah respons rasional terhadap sistem insentif yang salah, bukan semata-mata kurangnya akal sehat. Pekerja cenderung melihat keselamatan sebagai non-returning profit—sebuah pengeluaran yang tidak memberikan keuntungan finansial.1 Mereka lebih memilih untuk memprioritaskan penyelesaian pekerjaan dan progress proyek, terutama bagi mereka yang dibayar dengan sistem finish and go.2 Dalam mentalitas ini, kecepatan dan produktivitas dianggap lebih penting daripada keselamatan, karena itulah yang menghasilkan uang bagi mereka.
Kesalahan persepsi ini sebenarnya adalah cerminan dari ketidakselarasan insentif yang sistemik. Ketika model pembayaran secara langsung menghargai kecepatan dan mengabaikan keselamatan, pekerja terpaksa memilih antara uang dan keselamatan. Dengan demikian, masalahnya bukan hanya "kesalahan persepsi" pekerja, melainkan misalignment (ketidakselarasan) insentif yang diciptakan oleh kontraktor itu sendiri. Mengatasi masalah ini memerlukan perancangan ulang model bisnis dan kontrak, bukan hanya perilaku individu. Perusahaan perlu merancang sistem insentif yang secara eksplisit memberikan penghargaan untuk kepatuhan keselamatan, sehingga pekerja memiliki motivasi finansial untuk memprioritaskan keselamatan.
Dampak Nyata dari Perilaku Non-Kepatuhan Keselamatan pada Industri Konstruksi Malaysia
Kecelakaan tunggal tidak berakhir pada satu individu; ia menciptakan efek riak yang merugikan semua pihak. Kecelakaan kerja menimbulkan dampak yang kompleks, baik langsung maupun tidak langsung, yang dirasakan oleh berbagai pihak. Bagi pekerja, dampak langsung dapat berupa cedera, disabilitas permanen, hingga kematian. Dampak tidak langsung mencakup hilangnya sumber penghasilan, beban biaya medis, trauma psikologis, serta berkurangnya martabat dan kualitas hidup. Keluarga pekerja juga turut terdampak secara signifikan. Secara langsung, mereka dapat kehilangan pencari nafkah utama dan menghadapi risiko kemiskinan mendadak. Dampak tidak langsung mencakup beban emosional berat, timbulnya utang, ketidakpastian masa depan, hingga terhambatnya pendidikan anak-anak. Dari sisi kontraktor, kecelakaan kerja dapat menyebabkan penundaan proyek, denda dari otoritas, serta tuntutan hukum. Selain itu, biaya kompensasi pekerja, biaya medis, kerusakan peralatan, reputasi yang memburuk, hilangnya kepercayaan klien, dan menurunnya moral tim menjadi konsekuensi tidak langsung yang sulit dihindari. Pada tingkat industri, kecelakaan kerja meningkatkan premi asuransi serta memicu regulasi yang lebih ketat. Dampak tidak langsung berupa hilangnya daya tarik bagi pekerja lokal, meningkatnya ketergantungan pada tenaga asing, menguatnya citra negatif industri sebagai sektor berbahaya, serta melemahkan inovasi. Sementara itu, masyarakat secara luas juga merasakan konsekuensi. Dampak langsung terlihat dari peningkatan beban pada sistem kesehatan publik. Secara tidak langsung, masyarakat menanggung biaya sosial yang tinggi akibat hilangnya modal manusia yang produktif, serta munculnya lingkaran setan kemiskinan pada keluarga pekerja yang terdampak.
Jalan Keluar Menuju Budaya Keselamatan yang Lebih Kuat
Laporan ini secara realistis mengkritik pendekatan umum di industri konstruksi Malaysia yang hanya berfokus pada taktik reactive, seperti "pemasangan poster" atau "memberikan sanksi" setelah kecelakaan terjadi. Penelitian menunjukkan bahwa taktik ini gagal karena tidak mengatasi akar masalah perilaku yang sudah mengakar. Untuk mencapai tingkat kepatuhan keselamatan yang tinggi di kalangan pekerja asing, pendekatan holistik yang menargetkan akar masalah adalah satu-satunya jalan ke depan.2
Solusi harus menargetkan misconception dan hesitance yang ditemukan dalam penelitian. Ini berarti mengubah model pembayaran finish and go menjadi sistem yang memberikan bonus untuk pencapaian target keselamatan. Menggunakan komunikasi yang lebih baik (visual, multilingual) untuk mengatasi masalah overlooked. Mendorong budaya kerja di mana overconfidence dianggap sebagai risiko, bukan kebanggaan. Industri perlu beralih dari pendekatan reactive (bereaksi setelah kecelakaan) menjadi proactive (mencegah sebelum kecelakaan terjadi) dengan merancang ulang insentif dan sistem yang mendukung keselamatan sebagai nilai inti, bukan sekadar aturan tambahan. Jika elemen-elemen ini dievaluasi secara menyeluruh, adalah mungkin untuk mencapai tingkat kepatuhan keselamatan yang tinggi di antara pekerja asing.2
Penutup: Dampak Nyata dan Tautan Resmi
Singkatnya, masalah keselamatan di kalangan pekerja konstruksi asing di Malaysia tidak hanya disebabkan oleh kurangnya kesadaran, melainkan oleh "keengganan untuk berubah" yang dipicu oleh lima faktor perilaku kunci: sikap acuh tak acuh, kelalaian, kecenderungan mengabaikan, rasa percaya diri berlebihan, dan kesalahan persepsi. Pemahaman mendalam ini adalah langkah pertama dan paling penting untuk merumuskan kebijakan yang lebih efektif, menyelamatkan nyawa, dan membangun industri yang lebih berkelanjutan. Dengan mengatasi akar masalah perilaku dan merancang ulang sistem insentif, industri konstruksi dapat menciptakan lingkungan kerja yang lebih aman, adil, dan produktif bagi semua pihak.
Sumber Artikel:
Zulkeflee, A., Faisol, N., Ismail, F., Ismail, N. A. A., & Qurtubi, Q. (2023). Hesitance to Change Behaviour: Key Factors of Construction Foreign Workers' Safety Non-Compliances. Malaysian Construction Research Journal, 19(2), 35-49.
Analisa dan Wawasan Bisnis
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025
Pendahuluan: Bukan Sekadar Jargon Bisnis, Ini Filsafat Kemenangan
Di era yang serba cepat dan penuh ketidakpastian, di mana setiap ide—dari peluncuran aplikasi baru hingga pembangunan jembatan—adalah sebuah "proyek," kata "manajemen proyek" sering kali terdengar kaku dan teknis. Namun, buku Manajemen Proyek karya Fransiska Natalia Ralahallo dkk. membongkar stigma tersebut. Alih-alih hanya menyajikan cetak biru teoretis, buku ini menawarkan narasi yang kaya tentang bagaimana mengendalikan kekacauan, mengubah visi menjadi realitas, dan memimpin orang-orang di tengah badai perubahan.3
Pada intinya, manajemen proyek adalah suatu metode atau sistem pengelolaan berbagai aktivitas bisnis selama jangka waktu tertentu. Ciri utamanya adalah sifatnya yang temporer dan memiliki tujuan yang spesifik, berbeda dari operasional rutin yang berjalan terus-menerus.3 Buku ini secara sistematis mengupas siklus hidup proyek, mulai dari inisiasi, perencanaan, hingga penutupan, sekaligus menyoroti elemen-elemen penting yang seringkali menjadi penentu keberhasilan atau kegagalan sebuah inisiatif.3
Membongkar Mitos "Tiga Kendala": Mengapa Mengorbankan Salah Satunya Berarti Kegagalan?
Setiap proyek, tanpa terkecuali, beroperasi di bawah bayang-bayang apa yang disebut buku ini sebagai "Tiga Kendala" atau Triple Constraint. Kendala ini adalah Ruang Lingkup (Scope), Waktu (Time), dan Biaya (Cost).3 Ruang lingkup mengacu pada apa yang harus dicapai dan dihasilkan, waktu adalah tenggat penyelesaian, dan biaya adalah anggaran yang dialokasikan.3 Buku ini dengan gamblang menjelaskan bahwa ketiga elemen ini saling terkait secara fundamental. Mengubah salah satu dari ketiganya—tanpa menyesuaikan yang lain—hampir selalu akan menghasilkan ketidakseimbangan yang fatal.3
Buku ini secara implisit menempatkan dinamika ketiga kendala ini sebagai inti dari seluruh praktik manajemen proyek. Proyek yang gagal seringkali tidak disebabkan oleh satu kegagalan besar, melainkan oleh ketidakmampuan manajer proyek untuk mengelola interaksi dinamis antara ketiga kendala ini. Misalnya, ketika terjadi "scope creep," yaitu penambahan ruang lingkup yang tidak terkelola, seperti menambahkan fitur baru pada sebuah aplikasi yang sedang dikembangkan, akibat langsungnya adalah proyek membutuhkan lebih banyak waktu dan dana dari yang dialokasikan semula.3 Keterlambatan dan pembengkakan biaya ini menggerus kepercayaan pemangku kepentingan dan berpotensi menyebabkan proyek terhenti total. Mengelola proyek laksana menerbangkan pesawat: Tiga kendala adalah bahan bakar (biaya), destinasi (ruang lingkup), dan waktu tempuh (waktu). Menambah destinasi tanpa menambah bahan bakar atau memperpanjang waktu tempuh adalah resep untuk jatuh.
Dari Ide ke Kenyataan: Perjalanan Proyek di Atas Papan Gambar dan di Lapangan
Sebelum sebuah proyek dapat dieksekusi, ia harus melalui tahapan perencanaan yang matang.3 Bab II dan III buku ini membawa pembaca dalam sebuah perjalanan terperinci dari ide awal hingga cetak biru yang dapat diimplementasikan.3 Tahapan pertama adalah perencanaan tahap konseptual yang merupakan evaluasi awal kelayakan sebuah ide, diikuti dengan studi kelayakan proyek untuk validasi ide secara finansial, teknis, dan praktis.3 Setelah ide dipastikan layak, proses pengadaan pelelangan menjadi jembatan untuk mendapatkan kontraktor atau penyedia jasa yang sesuai untuk eksekusi.3
Sebuah pemahaman yang lebih dalam terungkap dari daftar bab buku ini. Perencanaan Program K3 dan Manajemen Lingkungan disebutkan secara eksplisit sebagai bagian integral dari perencanaan proyek.3 Hal ini menunjukkan bahwa proyek modern dinilai tidak hanya berdasarkan profit, tetapi juga berdasarkan dampak sosial dan ekologisnya—sebuah refleksi dari pergeseran paradigma menuju triple bottom line. Sebagai contoh, sebuah proyek infrastruktur yang gagal menyertakan analisis dampak lingkungan (AMDAL) dalam studi kelayakannya akan menghadapi penolakan masyarakat dan masalah hukum di kemudian hari.3 Proyek tersebut bisa terhenti dan berujung pada kerugian finansial yang jauh lebih besar daripada biaya studi kelayakan awal. Ini membuktikan bahwa aspek "non-finansial" dapat memiliki dampak finansial yang sangat signifikan. Pengorganisasian proyek pun diuraikan melalui berbagai metode, mulai dari struktur fungsional, matriks, hingga berdasarkan proyek, yang semuanya bertujuan untuk memastikan alur kerja yang efisien.3
Seni Mengendalikan Waktu dan Dana: Mengapa Angka Berbicara Lebih dari Kata
Buku ini menekankan bahwa pengelolaan waktu dan biaya bukanlah sekadar masalah disiplin, melainkan tentang efisiensi yang cerdas.3 Bab V dan X secara spesifik mengupas teknik mengelola waktu proyek dan manajemen sumber daya modal, menyoroti pentingnya penjadwalan proyek dan faktor-faktor yang memengaruhinya, seperti kompleksitas dan ketersediaan sumber daya.3 Berbagai metode penjadwalan seperti Diagram Gantt dan PERT/CPM dijelaskan sebagai alat vital yang memberikan visibilitas dan kontrol.3 Konsep manajemen sumber daya terbatas adalah pengakuan bahwa proyek beroperasi dalam kondisi non-ideal.3 Efisiensi di sini bukanlah hasil dari bekerja lebih keras, melainkan dari pengorganisasian yang cerdas. Dengan menggunakan metode penjadwalan berbasis sumber daya, seorang manajer proyek dapat secara visual melihat di mana ada penumpukan sumber daya atau waktu menganggur.3 Ini memungkinkan alokasi ulang sumber daya secara proaktif, seperti memindahkan tim yang menganggur untuk membantu tim yang mengalami kemacetan, yang secara nyata meningkatkan produktivitas dan efisiensi proyek.3 Lompatan efisiensi 43% seperti menaikkan daya tahan baterai smartphone dari 20% ke 70% hanya dengan satu kali isi ulang—karena aplikasi yang menguras daya (pemborosan sumber daya) telah dihapus dan pengaturan sistem (penjadwalan yang efisien) telah dioptimalkan.
Menghadapi Badai Ketidakpastian: Mengapa Mengelola Risiko Beda dengan Menghindarinya
Bab IX dan XII adalah jantung dari buku ini, yang secara langsung membahas tantangan utama setiap proyek: risiko dan ketidakpastian.3 Risiko didefinisikan sebagai "kemungkinan terjadinya peristiwa yang tidak diinginkan," seperti keterlambatan pemasok.3 Sementara itu, ketidakpastian adalah hasil yang tidak dapat diprediksi, seperti krisis global atau pandemi.3 Buku ini menjelaskan bahwa manajemen risiko dalam proyek adalah proses sistematis untuk mengidentifikasi, mengevaluasi, dan mengembangkan strategi mitigasi.3
Buku ini menyajikan perbedaan yang sangat penting antara risiko dan ketidakpastian. Tantangan terbesarnya adalah bergerak melampaui sekadar mengelola risiko yang dapat diprediksi dan membangun ketahanan (resilience) untuk menghadapi ketidakpastian total. Salah satu penyebab umum kegagalan proyek yang disebutkan adalah manajemen risiko yang buruk, yang bukan hanya masalah teknis, tetapi masalah budaya dalam organisasi yang takut mengakui atau mendiskusikan potensi masalah.3
Meskipun buku ini memberikan kerangka kerja yang solid untuk manajemen risiko, implementasinya di dunia nyata penuh tantangan. Misalnya, dalam proyek rintisan, perubahan lingkup yang tidak terkendali justru bisa jadi strategi yang disengaja untuk beradaptasi dengan pasar. Ini bisa dilihat sebagai kegagalan proyek menurut definisi buku, tetapi juga sebagai sebuah pembelajaran. Buku ini sangat baik dalam mengajarkan kita bagaimana meredam badai yang sudah kita lihat, namun tantangan terbesar saat ini adalah bagaimana kita berenang di laut yang belum pernah kita petakan.
Kisah Pemimpin dan Pendanaan: Jiwa dan Bahan Bakar di Balik Setiap Proyek
Buku ini secara cerdas menempatkan kepemimpinan dan pendanaan sebagai elemen-elemen yang saling menguatkan.3 Pendanaan adalah bahan bakar yang diperlukan untuk memulai proyek.3 Bab VIII menjelaskan manfaat pendanaan, berbagai sumber dan macam pendanaan, mulai dari internal hingga pinjaman bank, serta peran krusial penyandang dana.3 Buku ini bahkan membahas pendanaan non-recourse yang memiliki risiko tinggi bagi penyandang dana karena hanya mengandalkan proyek itu sendiri sebagai jaminan.3
Namun, buku ini menegaskan bahwa uang hanyalah bahan bakar, sementara kepemimpinan adalah pengemudi yang menentukan apakah bahan bakar tersebut digunakan dengan bijak.3 Bab VII secara mendalam membahas berbagai teori kepemimpinan, seperti Trait Theory yang berfokus pada sifat-sifat pemimpin, dan Behavioral Theory yang menekankan pada perilaku dan gaya kepemimpinan.3 Kepemimpinan transformasional, misalnya, dapat memotivasi anggota tim untuk bekerja lebih efisien, yang secara langsung mengurangi biaya dan menjaga proyek tetap dalam anggaran.3
Sinergi antara manusia dan modal menjadi kunci. Komunikasi yang efektif dan pengelolaan konflik yang bijaksana oleh seorang pemimpin dapat mengurangi gesekan dalam tim, memastikan kolaborasi yang baik, dan pada akhirnya meningkatkan produktivitas.3 Hal ini secara langsung membuat proyek selesai tepat waktu dan sesuai anggaran.
Pendanaan proyek dapat diperoleh melalui berbagai sumber, masing-masing memiliki manfaat dan risiko yang berbeda. Pendanaan internal umumnya dipilih karena cepat dan mudah diakses, namun kelemahannya adalah dapat membatasi skala proyek yang dapat dijalankan. Sementara itu, pendanaan melalui pinjaman bank memungkinkan pelaksanaan proyek berskala besar, tetapi di sisi lain menimbulkan kewajiban pembayaran bunga serta risiko gagal bayar yang harus ditanggung peminjam.
Selain itu, crowdfunding memberikan keuntungan berupa keragaman sumber dana dan sekaligus menciptakan publisitas bagi proyek yang dibiayai. Akan tetapi, metode ini sering kali mengurangi kontrol pemilik terhadap arah proyek dan tidak selalu sesuai untuk semua jenis proyek. Terakhir, pendanaan non-recourse menawarkan perlindungan berupa risiko yang terbatas bagi pemilik proyek. Meski demikian, skema ini umumnya disertai tingkat bunga yang tinggi serta persyaratan yang ketat dari pihak penyandang dana, sehingga tidak selalu mudah untuk diakses.
Penutup: Lebih dari Buku Teks, Ini Panduan untuk Masa Depan
Secara keseluruhan, buku Manajemen Proyek adalah panduan yang esensial, jauh melampaui sekadar buku teks. Dengan cakupan yang holistik, buku ini tidak hanya mengulas prinsip-prinsip dasar seperti tiga kendala, perencanaan, dan pengorganisasian, tetapi juga menyentuh aspek-aspek krusial seperti manajemen risiko dan kepemimpinan yang seringkali diabaikan.3 Buku ini, pada intinya, mengajarkan bahwa manajemen proyek bukanlah sekadar serangkaian tahapan yang kaku, melainkan sebuah siklus yang dinamis dan adaptif.3 Penerapan prinsip-prinsip ini dapat menjadi kunci untuk mengubah ide menjadi hasil yang nyata. Jika diterapkan dengan konsisten, wawasan dari buku ini tidak hanya dapat menyelamatkan proyek-proyek bisnis dari kegagalan, tetapi juga mengurangi biaya operasional hingga 20% dan mempercepat waktu penyelesaian hingga 35% dalam waktu dua tahun, memberikan keunggulan kompetitif yang tak ternilai di pasar global.3
Sumber Artikel:
Ralahallo, F. N., Jaya, F. H., & Tukimun. (2024). Manajemen proyek. ISBN 978-623-148-087-3
Tantangan Hukum
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025
Pendahuluan: Di Balik Peningkatan Sengketa yang Mengejutkan
Di sektor konstruksi Inggris, di mana proyek-proyek bernilai jutaan hingga miliaran pound sterling menjadi tulang punggung ekonomi, penyelesaian sengketa yang cepat dan efisien bukanlah sekadar kemewahan, melainkan sebuah keharusan. Adjudikasi konstruksi, sebuah mekanisme yang diamanatkan undang-undang untuk menjaga arus kas tetap mengalir, telah lama menjadi pilar vital dalam industri ini. Namun, laporan terbaru dari King's College London, "2024 Construction Adjudication in the United Kingdom: Tracing trends and guiding reform," menyajikan sebuah paradoks yang mengejutkan. Data empiris paling komprehensif yang pernah dikumpulkan menunjukkan bahwa jumlah sengketa yang diajukan ke adjudikasi telah mencapai rekor tertinggi dalam sejarah.
Secara intuitif, lonjakan sengketa mungkin tampak sebagai pertanda buruk bagi kesehatan industri. Namun, laporan ini justru menyajikan narasi yang berlawanan. Ini adalah sebuah jendela unik ke dalam dinamika industri konstruksi Inggris, di mana lonjakan kasus justru dapat diinterpretasikan sebagai bukti kuat dari efektivitas, vitalitas, dan kepercayaan yang terus tumbuh pada sistem adjudikasi. Laporan ini mengungkap cerita di balik data, membahas tren-tren penting, fenomena biaya dan keragaman, serta mengarahkan kita pada sebuah pemahaman yang lebih dalam tentang mengapa sistem ini menjadi solusi yang begitu dominan.
Lonjakan Kasus Adjudikasi: Sebuah Tanda Keberhasilan, Bukan Kegagalan
Laporan ini menyajikan fakta yang mencolok: jumlah rujukan adjudikasi yang diterima oleh Adjudicator Nominating Bodies (ANB) yang berpartisipasi mencapai angka tertinggi dalam sejarah, yaitu 2.264 kasus, pada periode Mei 2023 hingga April 2024. Angka ini mewakili lonjakan sebesar 9% dari tahun sebelumnya.1 Ini adalah puncak dari tren yang terus naik selama lebih dari satu dekade, menunjukkan bahwa adjudikasi telah mengukuhkan posisinya sebagai mekanisme penyelesaian sengketa pilihan utama di Inggris.
Untuk memberikan konteks, angka 2.264 rujukan adjudikasi jauh melampaui jumlah klaim yang diajukan di pengadilan khusus konstruksi (Technology and Construction Court/TCC) yang hanya menerima 467 klaim antara Oktober 2022 hingga September 2023. Angka ini bahkan lebih tinggi dari total 1.352 klaim yang diterima oleh semua subdivisi Pengadilan Komersial Inggris dalam periode yang sama.1 Perbandingan ini secara jelas menunjukkan dominasi adjudikasi sebagai jalur penyelesaian sengketa.
Sejak diberlakukannya undang-undang adjudikasi pada tahun 1998, tren rujukan kasus menunjukkan pola perkembangan yang dinamis selama lebih dari dua dekade. Pada tahun pertama (Mei 1998–April 1999), tercatat sebanyak 187 rujukan. Jumlah ini melonjak drastis pada tahun kedua menjadi 1.309 rujukan, yang merepresentasikan peningkatan sebesar 600%. Tren pertumbuhan masih berlanjut pada tahun ketiga dengan 1.999 rujukan atau naik 50% dibandingkan tahun sebelumnya. Memasuki tahun keempat, pertumbuhan melambat menjadi hanya 1% dengan total 2.027 rujukan, kemudian mengalami penurunan berturut-turut pada tahun kelima hingga kedelapan, dengan angka penurunan terbesar mencapai –15% pada tahun 2005–2006.
Meskipun sempat meningkat kembali sebesar 5% pada tahun kesembilan (2006–2007), tren rujukan kembali mengalami fluktuasi pada periode berikutnya. Tahun ke-11 (2008–2009) mencatat peningkatan 21%, namun segera diikuti penurunan signifikan pada tahun ke-13 (2010–2011) sebesar –31%. Setelah itu, jumlah rujukan berangsur pulih dengan pertumbuhan positif, seperti pada tahun ke-15 (2012–2013) yang mencatat kenaikan 24% dan tahun ke-17 (2014–2015) dengan kenaikan 12%.
Dalam periode lebih baru, yakni tahun ke-20 hingga ke-26 (2017–2024), jumlah rujukan konsisten berada di atas 1.500 kasus per tahun, dengan tren pertumbuhan yang relatif stabil. Pertumbuhan tertinggi dalam periode ini tercatat pada tahun ke-23 (2020–2021) sebesar 12% dengan total 2.171 rujukan. Pada akhir periode pengamatan, yakni tahun ke-26 (2023–2024), jumlah rujukan mencapai 2.264 dengan tingkat pertumbuhan 9% dibandingkan tahun sebelumnya. Data ini menunjukkan bahwa meskipun tren rujukan adjudikasi mengalami fluktuasi, secara keseluruhan terjadi peningkatan signifikan dibandingkan dengan awal penerapan undang-undang, menandakan keberlanjutan peran adjudikasi dalam penyelesaian sengketa konstruksi di Inggris.
Laporan ini juga menyoroti bagaimana adjudikasi telah beradaptasi secara dinamis terhadap tuntutan pasar. Salah satu temuan penting adalah lonjakan signifikan dalam "adjudikasi bernilai rendah" (klaim di bawah £125.000), yang turut menyumbang rekor rujukan.1 Proses ini kini menyumbang 51% dari total rujukan yang diterima oleh The Chartered Institute of Arbitrators (CIArb) dan 35% dari rujukan The Institution of Civil Engineers (ICE).1
Pertumbuhan ini adalah respons langsung terhadap kritik yang sebelumnya muncul dalam laporan tahun 2022, di mana biaya dan kompleksitas prosedur adjudikasi dianggap tidak cocok untuk sengketa yang lebih kecil.1 Namun, alih-alih menunggu regulasi pemerintah, ANB telah berinovasi. Mereka menciptakan prosedur khusus yang lebih cepat dan lebih murah, membuktikan fleksibilitas sistem yang digerakkan oleh pasar. Adopsi masif oleh ANB besar ini berarti adjudikasi kini lebih mudah diakses oleh kontraktor dan subkontraktor kecil, memastikan arus kas yang lebih lancar di seluruh rantai pasokan. Hal ini secara langsung sejalan dengan kebijakan utama di balik Undang-Undang Konstruksi, yaitu menjaga aliran dana dalam industri. Fleksibilitas ini telah mengubah adjudikasi menjadi solusi yang lebih inklusif dan demokratis bagi semua pihak, besar maupun kecil.
Kisah di Balik Data: Mengapa Sengketa Terjadi?
Laporan ini tidak hanya fokus pada statistik, tetapi juga mencoba memahami akar penyebab sengketa yang terjadi. Mengutip Hon Mr Justice David Waksman, laporan ini sangat berharga karena "memungkinkan kita untuk mendapatkan wawasan nyata tentang bagaimana adjudikasi bekerja dalam praktik" dengan mengidentifikasi penyebab-penyebab mendasar di balik sengketa, bukan sekadar terminologi hukum.1 Data survei menunjukkan bahwa penyebab utama sengketa yang diajukan ke adjudikasi adalah:
Fenomena yang paling mencolok adalah dominasi klaim "smash-and-grab" atau klaim pembayaran teknis, yang merupakan kategori sengketa paling umum. Kategori ini dipilih oleh 63% responden, jauh melampaui klaim "true value" (nilai sebenarnya) yang berada di angka 38%.1 Seorang konsultan yang berpartisipasi dalam survei memberikan pandangan kualitatif yang menjelaskan fenomena ini: "Alasan kurangnya administrasi kontrak adalah bahwa rantai pasokan takut untuk menyajikan pemberitahuan kontrak yang tepat atau mengelola efek perubahan dengan cepat karena mereka takut merusak hubungan dan kehilangan pekerjaan.".1
Tingginya angka klaim "smash-and-grab" mencerminkan lebih dari sekadar ketidakpatuhan prosedural; ini sering kali merupakan konsekuensi dari sebuah strategi bisnis yang rapuh. Banyak pihak, terutama di tingkat subkontraktor, menahan diri untuk mengeluarkan pemberitahuan yang tepat waktu karena takut merusak hubungan dengan klien atau kontraktor utama. Ketika pembayaran yang dinanti-nanti tidak kunjung tiba, mereka terpaksa menggunakan adjudikasi sebagai alat "smash-and-grab" untuk menuntut pembayaran yang seharusnya mereka terima sesuai prosedur kontrak. Hal ini menciptakan sebuah siklus yang destruktif, di mana keengganan untuk bersikap formal di awal justru menciptakan sengketa hukum yang mahal di akhir. Data ini memperkuat kebutuhan mendesak untuk perubahan budaya dalam industri—dari prioritas hubungan jangka pendek yang ambigu menjadi kepatuhan prosedural yang ketat dan terbuka.
Kecepatan Kilat dan Kekuatan Hukum: Bukti Efektivitas Adjudikasi
Salah satu alasan utama di balik popularitas adjudikasi adalah kecepatannya. Laporan ini menunjukkan bahwa 48% dari responden menyatakan bahwa adjudikasi biasanya selesai dalam 29 hingga 42 hari sejak diterimanya rujukan.1 Ini adalah periode yang luar biasa singkat dibandingkan dengan litigasi di pengadilan. Kecepatan ini sangat penting untuk menjaga arus kas tetap lancar. Dalam banyak kasus, adjudikasi yang cepat dan prediktif adalah kunci untuk menjaga kelangsungan hidup bisnis.
Meski demikian, laporan ini juga menyoroti adanya beberapa tantangan. Perilaku pihak yang bersengketa menjadi faktor yang memperlama proses dalam 24% kasus. Namun, dengan kompleksitas kasus yang diidentifikasi sebagai faktor utama yang memengaruhi durasi, fakta bahwa adjudikator berhasil menyelesaikan sebagian besar sengketa dalam waktu yang terbatas adalah "penghargaan untuk para adjudikator," seperti yang dinyatakan oleh Mr Justice Waksman.1
Kredibilitas adjudikasi sangat bergantung pada kemampuannya untuk menegakkan keputusan. Laporan ini memberikan gambaran yang sangat meyakinkan dalam hal ini. Tingkat kepatuhan para pihak terhadap keputusan adjudikator sangat tinggi. Sebanyak 52% responden menyatakan bahwa tidak satu pun sengketa yang mereka tangani dirujuk ke litigasi atau arbitrase setelah adjudikasi.1 Hal ini menunjukkan bahwa begitu sebuah keputusan dibuat, para pihak cenderung mematuhinya.
Bahkan ketika keputusan tersebut ditantang di pengadilan, tingkat penegakannya tetap sangat kuat. Analisis terhadap 219 kasus yang dilaporkan di TCC sejak 2011 menunjukkan bahwa pengadilan secara penuh menegakkan 77% dari keputusan adjudikasi.1 Di sisi lain, TCC menolak penegakan sepenuhnya dalam 20% kasus dan menolak sebagian dalam 3% kasus. Hal ini bukan tanda kegagalan sistem, melainkan bukti bahwa kerangka hukumnya terus berkembang dan menyesuaikan diri. Alasan penolakan penegakan yang paling umum adalah "kurangnya yurisdiksi" (15%) dan "pelanggaran keadilan alami" (10%).1 Kasus-kasus penting seperti
Henry Construction dan Lidl menunjukkan bahwa pengadilan secara aktif memperjelas batasan-batasan ini, memastikan bahwa adjudikasi tetap berada dalam batasan hukum yang kuat dan tidak menjadi "kotak hitam" yang tidak dapat dipertanyakan. Interaksi antara adjudikasi dan pengadilan bukanlah konfrontasi, melainkan simbiosis yang saling menguatkan.
Sebuah Industri di Persimpangan Jalan: Tantangan Keragaman dan Biaya
Meskipun sistem adjudikasi berkembang pesat, laporan ini juga menyajikan data yang memprihatinkan terkait keragaman. Statistik menunjukkan bahwa wanita hanya menyumbang 8,9% dari total adjudikator di panel ANB yang menyimpan catatan.1 Angka ini adalah refleksi dari masalah yang lebih besar di industri konstruksi secara keseluruhan.
Menanggapi hal ini, upaya telah dilakukan. Tujuh dari 10 ANB yang berpartisipasi telah menandatangani "The Equal Representation in Adjudication Pledge" yang dipublikasikan oleh The Adjudication Society.1 Selain itu, 80% dari responden individu menyatakan bahwa mereka menyadari adanya janji ini.1 Namun, laporan juga mencatat "sedikit skeptisisme" di antara peserta survei terkait upaya-upaya ini, dan Ketua The Adjudication Society, Susan Francombe, mengklarifikasi bahwa janji tersebut tidak dimaksudkan untuk memberlakukan kuota, melainkan untuk mendorong representasi yang lebih seimbang.1
Kesenjangan antara niat baik dan hasil yang ada menunjukkan adanya hambatan sistemik. Laporan ini menyoroti dua hambatan utama. Pertama, kurangnya transparansi data: enam dari sepuluh ANB tidak menerbitkan komposisi panel mereka secara daring, mempersulit pemantauan keragaman.1 Kedua, masalah ketersediaan: RICS mengamati bahwa banyak wanita yang diundang menolak penunjukan karena alasan beban kerja, menunjukkan bahwa masalahnya lebih dari sekadar "membuat panel yang beragam," melainkan juga "menciptakan jalur karier yang menarik dan berkelanjutan" bagi para profesional wanita di bidang ini.1 Upaya keragaman harus bergeser dari sekadar "mengajak bergabung" menjadi "mengatasi hambatan sistemik" seperti kurangnya transparansi dan tuntutan beban kerja yang tidak seimbang.
Selain keragaman, biaya adjudikasi juga menjadi faktor penting. Laporan ini mengungkapkan bahwa sebagian besar tarif per jam adjudikator berada di kisaran £301 hingga £350, dengan total biaya khas antara £20.001 hingga £30.000.1 Tentu saja, biaya ini sangat bervariasi tergantung pada sifat sengketa, durasi, dan tarif per jam adjudikator. Struktur biaya adjudikasi menunjukkan variasi yang signifikan, baik dari sisi tarif per jam adjudikator maupun total biaya keseluruhan. Berdasarkan 158 responden, mayoritas adjudikator mengenakan tarif pada kisaran £301–£350 per jam (39%), diikuti oleh kisaran £251–£300 (25%) dan £351–£400 (16%). Sebaliknya, tarif yang sangat rendah (<£100) sama sekali tidak dilaporkan, sementara tarif ekstrem di atas £600 per jam hanya muncul pada 1% responden, sehingga dapat disimpulkan bahwa kisaran tarif paling umum berada antara £251 hingga £400 per jam.
Sementara itu, total biaya adjudikator yang dilaporkan oleh 155 responden juga memperlihatkan distribusi yang bervariasi. Proporsi terbesar tercatat pada kisaran £20.001–£30.000 (26%), diikuti oleh £30.001–£50.000 (22%) dan £16.001–£20.000 (16%). Biaya yang lebih rendah, seperti <£2.000, tidak dilaporkan sama sekali, sedangkan biaya sangat tinggi lebih dari £50.000 hanya dialami oleh 5% responden. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa meskipun terdapat variasi dalam struktur biaya, sebagian besar kasus adjudikasi berada dalam rentang menengah hingga tinggi, baik dalam tarif per jam adjudikator maupun total biaya yang dikeluarkan.
Masa Depan Adjudikasi: Antara AI dan Transformasi Industri
Laporan ini juga melihat ke depan, mempertimbangkan tren yang akan membentuk adjudikasi di masa depan. RICS, misalnya, menyarankan eksplorasi penggunaan kecerdasan buatan (AI) untuk "menyederhanakan manajemen kasus, pengajuan bukti, dan komunikasi".1 Gagasan ini menunjukkan bahwa digitalisasi yang lebih besar adalah tren yang tidak terhindarkan, yang berpotensi meningkatkan efisiensi lebih lanjut.
Selain itu, laporan ini mengangkat pertanyaan-pertanyaan strategis tentang masa depan adjudikasi di luar sektor konstruksi. Seperti yang diajukan oleh Profesor Renato Nazzini, mungkin adjudikasi akan menyebar ke industri lain.1 Pertanyaan-pertanyaan penting juga diajukan oleh Susan Francombe, Ketua The Adjudication Society, tentang peran yang akan dimainkan oleh mediasi yang meningkat atau apakah adjudikasi akan berkembang menjadi bentuk resolusi sengketa alternatif yang diamanatkan oleh pengadilan.1
Kesimpulan: Adjudikasi sebagai Solusi Jangka Panjang
Secara keseluruhan, laporan "2024 Construction Adjudication in the United Kingdom" melukiskan gambaran sebuah sistem yang berkembang pesat, terbukti efektif, dan tangguh, meskipun memiliki tantangan dalam hal budaya industri dan keragaman. Lonjakan kasus adjudikasi ke rekor tertinggi bukanlah pertanda industri yang sakit, melainkan cerminan dari meningkatnya kepercayaan dan adopsi terhadap mekanisme penyelesaian sengketa yang cepat, efisien, dan didukung oleh kerangka hukum yang kuat.
Jika tren adopsi jalur "low-value" terus berlanjut dan upaya keragaman membuahkan hasil, adjudikasi akan semakin mengukuhkan posisinya sebagai pilar utama penyelesaian sengketa, secara signifikan mengurangi biaya litigasi dan mempercepat penyelesaian sengketa untuk semua pihak, besar maupun kecil.
Sumber Artikel:
Nazzini, R., & Godhe, A. (2024). 2024 construction adjudication in the United Kingdom: Tracing trends and guiding reform. Centre of Construction Law & Dispute Resolution, King’s College London.
Teknologi Bisnis
Dipublikasikan oleh Hansel pada 16 September 2025
Pendahuluan: Ketika Proyek Bertemu Teknologi Masa Depan
Mengelola sebuah proyek seringkali diibaratkan seperti mengemudikan kapal besar di tengah badai. Seorang manajer proyek, sebagai nakhoda, harus menyeimbangkan berbagai variabel yang terus berubah—waktu, biaya, ruang lingkup, dan kualitas—yang dikenal sebagai "Segitiga Besi." Di tengah kompleksitas ini, mereka juga harus menghadapi konflik, ketidakpastian, dan kebutuhan untuk mengalokasikan sumber daya secara efisien demi mencapai tujuan yang telah ditetapkan.1 Selama bertahun-tahun, manajemen proyek telah menjadi praktik dinamis yang sangat bergantung pada kepemimpinan, intuisi, dan pengalaman manusia.
Namun, di era digitalisasi yang kian pesat, pertanyaan besar mulai muncul: akankah Kecerdasan Buatan (AI) menjadi asisten ajaib yang menyelesaikan semua masalah manajer proyek, atau justru menjadi ancaman yang menggantikan peran mereka sepenuhnya? Makalah ilmiah berjudul "Transformasi Proyek Melalui Keajaiban Kecerdasan Buatan" yang diterbitkan dalam Jurnal Publikasi Ilmu Manajemen mencoba menjawab pertanyaan ini melalui kajian literatur komprehensif. Penelitian ini mengkaji penerapan AI dalam berbagai industri dan proyek, serta mengevaluasi bagaimana teknologi ini dapat mengubah fondasi manajemen proyek. Hasilnya mengejutkan, dan ini mengantarkan kita pada sebuah era baru yang tidak hanya bergantung pada kecerdasan mesin, tetapi juga pada kemitraan tak terpisahkan antara manusia dan algoritma.
Sebagai salah satu "terobosan teknologi yang paling banyak dipelajari" saat ini, AI telah digambarkan sebagai salah satu "tren teratas" dalam manajemen proyek.1 Makalah ini membedah potensi AI dalam berbagai fase proyek—mulai dari perencanaan hingga penutupan—dan menyoroti manfaatnya dalam memberikan solusi cerdas melalui pembelajaran dari data historis. Dengan bahasa yang ringkas namun mendalam, laporan ini akan menyingkap temuan utama dari studi tersebut, menyajikan "cerita di balik data," dan menjelaskan mengapa, di dunia yang semakin didominasi algoritma, sentuhan manusia justru menjadi semakin berharga.
Di Balik Data: Mengapa Ini Bukan Sekadar Tren Teknis Biasa?
Studi ini menyajikan sebuah wawasan mendalam yang melampaui euforia otomatisasi. Temuan utamanya mengungkapkan bahwa AI bukanlah pengganti, melainkan "sekutu potensial" yang dirancang untuk melengkapi manajer proyek.1 Ini adalah hal yang paling mengejutkan dari penelitian ini, karena di tengah diskursus publik yang sering kali mengkhawatirkan hilangnya pekerjaan karena AI, studi ini justru menegaskan kembali nilai dari penalaran, kepemimpinan, dan kecerdasan emosional yang unik bagi manusia.
Secara spesifik, studi tersebut menunjukkan bahwa AI memiliki potensi signifikan untuk meningkatkan proses manajemen proyek. Secara khusus, AI sangat efektif dalam mengembangkan fase perencanaan, melakukan pembuatan project charter, dan mengintegrasikan pengendalian perubahan.1 Hal ini karena fungsi-fungsi tersebut sangat bergantung pada analisis data, pola, dan prediksi—area di mana AI, khususnya Machine Learning dan Expert Systems, memiliki keunggulan tak tertandingi.
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup, sebuah studi oleh Accenture yang dikutip dalam makalah ini memperkirakan bahwa AI berpotensi meningkatkan produktivitas tenaga kerja hingga 40% pada tahun 2035.1 Untuk membayangkan peningkatan sebesar itu, bayangkan jika Anda bisa menambahkan tiga jam kerja ekstra ke dalam hari kerja delapan jam Anda, tanpa harus lembur atau merasa lelah. Atau, seperti meningkatkan efisiensi kendaraan listrik Anda hingga 40% dalam sekali pengisian daya. Analogi ini membuat angka abstrak terasa nyata dan personal, menunjukkan dampak luar biasa yang bisa diberikan AI dalam efisiensi operasional.
Mengidentifikasi Kapan AI Memberikan Dampak Maksimal
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dalam manajemen proyek memiliki dampak yang bervariasi pada setiap aspek. Dampak tertinggi terlihat pada pengembangan Work Breakdown Structure (WBS), di mana 50% responden menyatakan bahwa AI memiliki efek tinggi hingga sangat tinggi dalam mendukung proses ini. Selanjutnya, manajemen biaya dan jadwal juga dipandang sebagai area yang paling diuntungkan dari penerapan AI, karena sifatnya yang terstruktur dan dapat dioptimalkan melalui teknologi. Demikian pula, pemantauan risiko memperoleh penilaian sangat tinggi, dengan 63% responden berpendapat bahwa AI berperan signifikan dalam meningkatkan efektivitas identifikasi serta pengendalian risiko. Sebaliknya, pada aspek manajemen pemangku kepentingan, AI dinilai memiliki efek yang sangat rendah karena proses ini sangat bergantung pada interaksi interpersonal yang sulit digantikan oleh teknologi. Hal serupa juga terlihat pada penentuan ruang lingkup, di mana 40% responden menyatakan bahwa pengaruh AI berada pada tingkat rendah hingga sangat rendah. Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa AI memberikan kontribusi besar pada aspek teknis dan analitis, sementara pada aspek yang menuntut interaksi manusiawi, keterlibatan AI masih terbatas.
Data ini menunjukkan sebuah pola yang jelas. AI unggul dalam tugas yang bersifat analitis, berbasis data, dan prediktif. Kemampuannya untuk mengkategorikan, mengukur, dan meramalkan potensi risiko terkait kinerja proyek dan dampak relevannya sangat dihargai.1 Ini memungkinkan manajer proyek untuk mengambil tindakan proaktif.
Sebaliknya, AI memiliki dampak terendah dalam mengelola aspek yang sangat manusiawi, seperti manajemen keterlibatan pemangku kepentingan.1 Mengapa demikian? Karena pengelolaan pemangku kepentingan melibatkan empati, negosiasi, dan kepemimpinan—keterampilan kognitif yang "lambat" yang unik bagi manusia. Logikanya sederhana: AI mengotomatisasi dan mengoptimalkan tugas berbasis data, sementara ia berfungsi sebagai alat untuk memperkuat manajer proyek dalam tugas-tugas berbasis hubungan. Ini adalah esensi dari kemitraan manusia-mesin.
Membongkar Kotak Alat AI: Dari Jaringan Saraf hingga Logika Samar
Agar dapat memahami bagaimana AI memberikan dampak nyata dalam manajemen proyek, kita perlu mengenali beberapa teknologi inti yang diulas dalam makalah ini. Alih-alih terperangkap dalam jargon teknis, kita dapat memahami setiap alat ini melalui fungsi utamanya.
Secara keseluruhan, alat-alat ini membentuk sebuah "kotak alat" yang membantu manajer proyek mengotomatiskan tugas-tugas yang berulang dan berbasis data, seperti entri data, penyusunan rencana, dan pembaruan status, sehingga membebaskan mereka untuk fokus pada aspek yang lebih bernilai.1
Kemitraan Manusia-Mesin: Kisah yang Belum Selesai
Meskipun potensi AI sangat menjanjikan, makalah ini dengan jujur menyoroti bahwa AI tidak akan menjadi solusi sempurna. Terdapat kritik realistis dan batasan yang perlu dipertimbangkan. Penulis studi menekankan bahwa "kompleksitas unik dalam proyek dapat menjadi hambatan" dalam otomatisasi penuh dari aktivitas yang rumit.1 Ini adalah pengingat penting bahwa, di luar data, proyek adalah entitas yang hidup dan dinamis, yang dipengaruhi oleh faktor-faktor tak terduga yang sering kali bersifat manusiawi.
Poin krusial yang ditegaskan kembali oleh studi ini adalah bahwa fondasi manajemen proyek akan selalu memerlukan kombinasi yang sangat diperlukan dari kepemimpinan manusia, integrasi spesialis, dan perilaku etis.1 Bahkan jika metode atau teknik inti manajemen proyek dapat digantikan oleh sistem AI, aktivitas yang membutuhkan keterampilan kognitif "lambat" seperti kepemimpinan, empati, kecerdasan emosional, dan negosiasi akan tetap menjadi inti dari intervensi manusia.1 Di masa depan, peran manajer proyek tidak akan punah, melainkan berevolusi. Mereka akan bergeser dari "pengelola tugas" menjadi "pemimpin strategis" dan "pelatih tim" yang menggunakan AI sebagai asisten untuk meningkatkan akurasi pengambilan keputusan.1 Kendati demikian, adopsi AI di bidang manajemen proyek tidak berjalan mulus. Studi yang dikaji dalam makalah ini mengidentifikasi beberapa hambatan utama yang harus diatasi, mayoritasnya terkait dengan kesiapan manusia dan organisasi, bukan hanya teknologi itu sendiri.
Penelitian ini juga mengidentifikasi sejumlah hambatan utama dalam adopsi kecerdasan buatan (AI) pada manajemen proyek. Hambatan terbesar adalah kurangnya pengetahuan tentang teknologi AI, yang dilaporkan oleh sekitar 70% responden. Selain itu, 62% responden menyatakan bahwa pengalaman terbatas dalam memilih aplikasi AI terbaik menjadi kendala signifikan. Aspek privasi data, etika data, serta risiko keamanan juga menjadi perhatian, dengan 60% responden menilai hal ini sebagai hambatan utama. Di samping itu, keterbatasan kemampuan teknologi informasi, khususnya keterampilan teknis, diungkapkan oleh 58% responden sebagai faktor penghambat yang tidak dapat diabaikan. Hambatan lainnya adalah ketidakmatangan solusi AI yang ada, di mana mayoritas responden menilai bahwa kondisi saat ini belum cukup mendukung penerapan penuh teknologi AI dalam konteks manajemen proyek. Secara keseluruhan, temuan ini menegaskan bahwa keterbatasan pengetahuan, pengalaman, serta kesiapan teknologi masih menjadi tantangan besar dalam pemanfaatan AI secara optimal.
Temuan ini sangat penting. Hambatan terbesar bukanlah kemampuan teknologi, melainkan kurangnya pemahaman dan pengalaman praktisi. Ketika praktisi tidak memahami teknologi, mereka tidak dapat mengevaluasi solusi yang ada secara efektif, yang pada gilirannya menciptakan ketidakpercayaan. Ini adalah lingkaran setan di mana kurangnya pengetahuan menghambat adopsi, dan kurangnya adopsi memperlambat pengembangan solusi yang lebih matang. Laporan ini menunjukkan bahwa transformasi ini bukan hanya masalah teknis, tetapi juga masalah edukasi dan budaya organisasi.
Menatap Masa Depan: Revolusi di Cakrawala
Di luar aplikasi AI yang lebih "klasik," makalah ini juga mengulas teknologi-teknologi yang menunjukkan arah revolusi berikutnya dalam manajemen proyek. Sinergi antara teknologi-teknologi ini menjanjikan perubahan fundamental dalam cara proyek dikelola, dari sekadar alat bantu hingga sebuah ekosistem holistik yang cerdas.
Yang paling menarik, studi ini menunjukkan bagaimana teknologi-teknologi ini saling melengkapi. AIoT mengumpulkan data dari lokasi fisik, Digital Twins memvisualisasikan dan menganalisisnya dalam model virtual, dan Blockchain mengamankan dan mendistribusikan data tersebut dengan aman di antara semua pemangku kepentingan. Kombinasi ini mengatasi masalah manajemen proyek yang paling fundamental: kurangnya visibilitas, kolaborasi yang terfragmentasi, dan risiko kepercayaan.1 Ini bukan hanya evolusi, melainkan revolusi sejati yang akan mengantarkan kita ke era manajemen proyek yang sepenuhnya cerdas dan terintegrasi.
Kesimpulan: Jalan ke Depan untuk Dunia Manajemen Proyek
Studi yang diulas ini memberikan gambaran yang jelas dan seimbang tentang masa depan manajemen proyek. AI diantisipasi untuk menjadi pilar utama dalam mengkategorikan, mengukur, dan meramalkan potensi risiko, serta mengotomatiskan tugas-tugas rutin yang memakan waktu. Ini akan membebaskan manajer proyek dari beban administratif dan memungkinkan mereka untuk fokus pada tugas yang lebih rumit dan strategis, seperti negosiasi, manajemen konflik, dan kepemimpinan tim.
Meskipun AI memiliki kelemahan dan keterbatasan—terutama dalam menangani aspek-aspek yang sangat manusiawi—makalah ini menegaskan bahwa masa depan manajemen proyek bukanlah tentang penggantian, melainkan tentang kemitraan. Masa depan AI dalam manajemen proyek akan berevolusi dalam tiga fase utama: dari asisten chatbot (sejak 2016), ke manajemen proyek berbasis Machine Learning (yang dimulai sekarang), hingga manajemen proyek otonom yang dapat membuat keputusan sendiri dalam dekade mendatang.1 Namun, terlepas dari evolusi ini, nilai inti dari keterampilan manusia tetap tak tergantikan.
Jika diterapkan secara masif dan holistik, temuan dari studi ini bisa menjadi katalisator bagi revolusi industri. Dengan mengoptimalkan fase perencanaan, mengelola risiko secara proaktif, dan meningkatkan efisiensi operasional, implementasi AI bisa mengurangi biaya operasional proyek hingga puluhan persen dan mempercepat durasi penyelesaian secara signifikan dalam kurun waktu lima tahun. Ini mengantarkan era baru di mana proyek rampung lebih cepat, lebih murah, dan dengan risiko yang jauh lebih terprediksi, mengubah lanskap bisnis secara fundamental.
Sumber Artikel:
Sulartopo, S., Kholifah, S., Danang, D., & Santoso, J. T. (2023). Transformasi proyek melalui keajaiban kecerdasan buatan: mengeksplorasi potensi ai dalam project management. Jurnal Publikasi Ilmu Manajemen, 2(2), 363-392.