Sumber Daya Air

Analisis Kualitas Air di Perairan Danau Toba Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Signifikansi Danau Toba dan Tantangan Kualitas Air

Danau Toba, sebagai danau vulkanik terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara dengan luas permukaan 1.124 km² dan kedalaman maksimum 508 meter, merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting. Terletak di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, danau ini memiliki peranan vital bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat setempat, termasuk sebagai sumber air bersih, pariwisata, pembangkit listrik tenaga air, dan budidaya perikanan, khususnya keramba jaring apung (KJA).

Namun, perkembangan pesat aktivitas manusia di sekitar danau, terutama budidaya ikan dengan KJA dan limbah domestik dari pemukiman dan penginapan, menimbulkan tekanan yang signifikan terhadap kualitas air. Limbah organik berlebih dari KJA menyebabkan penurunan oksigen terlarut, munculnya gas beracun seperti hidrogen sulfida dan amoniak, serta peningkatan nutrien (nitrogen dan fosfor) yang memicu eutrofikasi dan ledakan populasi alga (algae bloom), berpotensi menyebabkan kematian ikan massal.

Penelitian oleh Winarto Silaban dan Mastiur Verawaty Silalahi (2021) bertujuan menganalisis kualitas air Danau Toba di Kecamatan Pangururan berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi, serta menentukan status mutu air menggunakan metode Storet.

Pengambilan Sampel dan Parameter Pengujian

Penelitian menggunakan metode survei dengan pendekatan kuantitatif dan deskriptif. Pengambilan sampel dilakukan pada tiga titik representatif di Danau Toba Kecamatan Pangururan selama periode Januari hingga Desember 2021. Parameter yang diukur meliputi suhu, pH, biochemical oxygen demand (BOD5), chemical oxygen demand (COD), dissolved oxygen (DO), nitrat (NO3), nitrit (NO2), amoniak, salinitas, dan fitoplankton.

Analisis laboratorium dilakukan di Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar. Status mutu air ditentukan menggunakan metode Storet yang mengklasifikasikan mutu air ke dalam empat kelas: baik sekali (kelas A), baik (kelas B), tercemar sedang (kelas C), dan tercemar berat (kelas D).

Hasil dan Pembahasan

Parameter Fisik dan Kimia

  • Suhu Air: Rata-rata suhu berkisar antara 28,5°C hingga 33°C. Titik sampel III menunjukkan suhu tertinggi 33°C, masih dalam rentang yang dapat ditoleransi organisme akuatik dan mendukung budidaya perikanan.
  • pH: Nilai pH stabil antara 7,10 hingga 7,51, menunjukkan kondisi netral yang ideal untuk kehidupan akuatik.
  • Dissolved Oxygen (DO): DO berkisar antara 11 mg/L hingga 14 mg/L, dengan nilai terendah di titik sampel I sebesar 11 mg/L. Nilai ini menunjukkan kadar oksigen yang cukup tinggi, mendukung kehidupan biota air.
  • Biochemical Oxygen Demand (BOD5): Nilai BOD tertinggi 2,55 mg/L di titik sampel I dan terendah 1,97 mg/L di titik sampel III. Nilai ini masih dalam kategori air tidak tercemar (≤2,9 mg/L).
  • Chemical Oxygen Demand (COD): Berkisar antara 10 mg/L hingga 11,57 mg/L, dengan nilai tertinggi di titik sampel I. Nilai COD yang relatif rendah ini menandakan kandungan bahan organik yang tidak berlebihan.
  • Nitrat (NO3): Kadar nitrat bervariasi antara 12,5 mg/L hingga 25 mg/L, melebihi baku mutu air (10 mg/L), sehingga dikategorikan tercemar ringan. Peningkatan nitrat ini diduga berasal dari limbah pertanian dan domestik.
  • Nitrit (NO2): Konsentrasi nitrit ≤0,3 mg/L, juga melebihi batas baku mutu (0,05 mg/L), menunjukkan pencemaran ringan.
  • Amoniak: Kadar amoniak antara 0,55 mg/L hingga 0,6 mg/L, sedikit melebihi baku mutu (0,5 mg/L), akibat aktivitas budidaya ikan keramba jaring apung yang menghasilkan limbah organik.
  • Salinitas: Nol, sesuai dengan karakteristik air tawar danau.

Fitoplankton

Analisis fitoplankton menunjukkan dominasi dua jenis utama, yaitu Oocystis sp. (Chlorophyta) dan Anabaena sp. (Cyanophyta). Oocystis sp. berperan sebagai penghasil oksigen dan sumber pakan alami, sedangkan Anabaena sp. merupakan indikator kondisi eutrofik dan dapat menghasilkan racun yang mengancam ekosistem dan kesehatan manusia.

Kelimpahan fitoplankton relatif rendah (20–400 individu/L) dengan jumlah jenis sekitar 25, menunjukkan kondisi perairan yang tidak subur secara umum, tetapi potensi eutrofikasi tetap ada terutama karena keberadaan Anabaena sp.

Status Mutu Air Berdasarkan Metode Storet

Berdasarkan metode Storet, kualitas air Danau Toba di Kecamatan Pangururan dikategorikan sebagai tercemar ringan (kelas B dan C) terutama karena parameter nitrat, nitrit, dan amoniak yang melebihi baku mutu. Parameter lain seperti suhu, pH, BOD5, DO, dan COD masih dalam kategori baik.

Dampak Budidaya Keramba Jaring Apung

Budidaya ikan dengan keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba telah berkembang pesat dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun, limbah organik dari KJA yang berlebihan menyebabkan penurunan oksigen terlarut dan peningkatan amoniak serta nutrien di perairan. Limbah ini juga memicu pertumbuhan alga berlebih (Anabaena sp.) yang berpotensi menyebabkan ledakan alga dan kematian ikan massal.

Fenomena ini menegaskan perlunya pengelolaan limbah budidaya yang lebih baik dan pengawasan ketat agar daya dukung danau tidak terlampaui.

Analisis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Hasil penelitian ini konsisten dengan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa Danau Toba mengalami tekanan pencemaran organik dan nutrien akibat aktivitas manusia, terutama budidaya ikan dan limbah domestik (Garno et al., 2020; Harianja et al., 2018). Kondisi eutrofikasi yang ditandai oleh keberadaan Anabaena sp. juga ditemukan di danau lain seperti Danau Limboto dan Danau Batur, yang menunjukkan tren pencemaran serupa di danau-danau Indonesia.

Dibandingkan dengan standar nasional dan internasional, kadar nitrat dan amoniak yang melebihi batas menunjukkan perlunya intervensi pengelolaan limbah dan konservasi perairan untuk mencegah degradasi lebih lanjut.

Rekomendasi dan Nilai Tambah

Penelitian ini memberikan rekomendasi penting bagi pengelolaan Danau Toba, antara lain:

  • Pengendalian limbah budidaya ikan dengan penerapan teknologi pengolahan limbah dan pengelolaan pakan yang efisien.
  • Pengawasan dan pengelolaan limbah domestik dari pemukiman dan penginapan di sekitar danau.
  • Monitoring kualitas air secara berkala menggunakan parameter kimia dan biologi untuk mendeteksi perubahan kualitas air.
  • Edukasi dan partisipasi aktif masyarakat dalam menjaga kelestarian danau.
  • Pengembangan kebijakan terpadu yang mengintegrasikan sektor perikanan, pariwisata, dan lingkungan.

Pendekatan ini sejalan dengan tren global pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan berbasis ekosistem, serta pentingnya peran masyarakat dalam konservasi.

Kesimpulan

Kualitas air Danau Toba di Kecamatan Pangururan tergolong tercemar ringan, terutama pada parameter nitrat, nitrit, dan amoniak yang melebihi baku mutu. Parameter suhu, pH, BOD5, DO, dan COD masih dalam kondisi baik. Keberadaan fitoplankton Oocystis sp. dan Anabaena sp. menunjukkan kondisi perairan yang mulai mengalami tekanan nutrien dan potensi eutrofikasi.

Penelitian ini menjadi dasar penting untuk pengelolaan kualitas air Danau Toba yang lebih baik, dengan fokus pada pengendalian limbah budidaya dan domestik serta pelibatan masyarakat dalam konservasi.

Sumber:
Silaban, W., & Silalahi, M. V. (2021). Analisis Kualitas Air di Perairan Danau Toba Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Jurnal Sains dan Teknologi, 10(2), 299-307.

Selengkapnya
Analisis Kualitas Air di Perairan Danau Toba Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir

Sumber Daya Air

Petunjuk Teknis Restorasi Kualitas Air Sungai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Krisis Kualitas Air Sungai di Indonesia dan Kebutuhan Restorasi

Indonesia, sebagai negara dengan potensi sumber daya air terbesar kelima di dunia, menghadapi tantangan serius dalam menjaga kualitas air sungai. Sebagian besar sungai mengalami penurunan mutu akibat pencemaran limbah domestik, industri, dan aktivitas manusia lainnya. Data tahun 2015 menunjukkan 68% mutu air di 33 provinsi tercemar berat, terutama di Pulau Jawa yang menjadi pusat aktivitas ekonomi dan kepadatan penduduk. Sungai yang tercemar tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga mengurangi fungsi ekologis dan produktivitas sumber daya air.

Menghadapi kondisi ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyusun Petunjuk Teknis Restorasi Kualitas Air Sungai sebagai panduan komprehensif untuk pemulihan kualitas air sungai di Indonesia. Dokumen ini menyajikan referensi akademis dan teknis yang dapat diterapkan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, akademisi, hingga dunia industri.

Identifikasi Masalah Utama

Penurunan kualitas air sungai disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:

  • Pembuangan limbah domestik dan industri tanpa pengolahan yang memadai.
  • Kurangnya kesadaran masyarakat dalam pengelolaan limbah.
  • Sistem drainase dan sanitasi yang belum terpisah.
  • Alih fungsi lahan dan degradasi daerah tangkapan air.
  • Beban pencemaran yang melebihi daya tampung sungai.

Sebagai contoh, di Pulau Jawa, indeks kualitas air (IKA) pada tahun 2011 menunjukkan nilai di bawah 60 untuk sebagian besar provinsi, dengan DKI Jakarta memiliki nilai terendah 35,65. Dari 47 sungai yang dipantau, 7 sungai tercemar berat, 21 tercemar ringan, dan 19 tercemar sedang, dengan parameter pencemar utama adalah total coliform dan BOD.

Konsep Restorasi Kualitas Air Sungai

Restorasi kualitas air sungai adalah upaya sistemik dan komprehensif untuk mengembalikan fungsi dan mutu air sungai ke kondisi optimal. Pendekatan restorasi tidak hanya fokus pada aspek teknis pengolahan limbah, tetapi juga melibatkan aspek hidrologi, ekologi, sosial-ekonomi, budaya, serta kelembagaan dan peraturan.

Konsep restorasi sungai yang diusung KLHK meliputi lima elemen utama:

  1. Restorasi Hidrologi: Memperbaiki aliran air dan siklus hidrologi agar mendukung kualitas air yang baik.
  2. Restorasi Ekologi: Mengembalikan keanekaragaman hayati dan fungsi ekologis sungai, termasuk vegetasi riparian.
  3. Restorasi Morfologi: Memperbaiki bentuk dan struktur fisik sungai agar sesuai dengan kondisi alami.
  4. Restorasi Sosial-Ekonomi-Budaya: Melibatkan masyarakat dalam pengelolaan sungai dengan memperhatikan aspek sosial dan budaya.
  5. Restorasi Kelembagaan dan Peraturan: Penguatan regulasi dan kelembagaan yang mendukung pengelolaan sungai secara terpadu.

Pendekatan dan Metode Restorasi

Petunjuk teknis ini menguraikan berbagai metode restorasi yang dapat diterapkan, antara lain:

  • Pengelolaan Limbah Padat: Meliputi pemilahan, pewadahan, pengangkutan, dan edukasi sosial untuk mencegah pembuangan sampah ke sungai.
  • Pengelolaan Limbah Cair: Melalui pembangunan dan pengoperasian Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal dan teknologi pengolahan limbah fisika, kimia, dan biologi.
  • Restorasi Ekologi: Penanaman vegetasi riparian asli untuk menahan erosi, menyaring polutan, dan menyediakan habitat bagi biota sungai.
  • Eko-Hidraulik dan Eko-Engineering: Pendekatan yang mengintegrasikan aspek ekologi dan hidraulik, seperti penggantian talud beton dengan talud alami berbasis vegetasi, serta rekayasa bangunan air yang ramah lingkungan.
  • Gerakan Sosial dan Pemberdayaan Masyarakat: Melibatkan komunitas lokal melalui pembentukan komunitas sungai, sekolah sungai, susur sungai, kerja bakti, dan kegiatan budaya untuk meningkatkan kesadaran dan partisipasi aktif masyarakat.

Studi Kasus dan Implementasi Gerakan Restorasi Sungai

Dokumen ini memberikan contoh nyata implementasi gerakan restorasi sungai di berbagai daerah di Indonesia, seperti:

  • Sekolah Sungai: Program edukasi non-formal yang menggabungkan teori dan praktik langsung untuk membangun kesadaran dan kemampuan masyarakat dalam menjaga sungai. Sekolah sungai sudah tersebar di hampir seluruh provinsi di Indonesia dengan jumlah gerakan mencapai 63 komunitas.
  • Susur Sungai: Kegiatan bersama masyarakat dan berbagai pihak untuk mengidentifikasi kondisi sungai, membersihkan limbah, dan melakukan diskusi tindak lanjut. Contohnya adalah susur Sungai Gajahwong di Yogyakarta dan Sungai di Kabupaten Klaten.
  • Kerja Bakti Bersih Sungai: Melibatkan warga bantaran sungai, pelajar, mahasiswa, dan pengusaha untuk membersihkan sungai dari limbah padat dan vegetasi yang menghambat aliran.
  • Festival dan Kegiatan Budaya: Menggunakan budaya sebagai alat perekat masyarakat untuk merawat sungai, seperti festival di Kali Code, Yogyakarta.
  • Kegiatan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif: Pengembangan wisata sungai seperti river tubing di Sungai Pusur, Klaten, dan pasar ikan serta kuliner di pinggir sungai sebagai upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat.

Regulasi dan Kebijakan Pendukung

Petunjuk teknis ini juga membahas berbagai regulasi yang mendukung pengelolaan kualitas air sungai, antara lain:

  • Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
  • Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang Sungai.
  • Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 tentang Pengelolaan Kualitas Air dan Pengendalian Pencemaran Air.
  • Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 11/PRT/M/2014 tentang Pengelolaan Air Hujan pada Bangunan Gedung dan Persilnya.

Regulasi ini mengatur aspek teknis dan kelembagaan pengelolaan sungai, termasuk penetapan daya tampung beban pencemaran, pengawasan limbah, pengelolaan sempadan sungai, serta partisipasi masyarakat.

Analisis dan Opini

Petunjuk teknis ini memberikan panduan yang sangat komprehensif dan sistemik dalam upaya restorasi kualitas air sungai di Indonesia. Pendekatan yang mengintegrasikan aspek teknis, ekologi, sosial, dan kelembagaan sangat relevan untuk menangani permasalahan kompleks yang terjadi di lapangan.

Konsep pemberdayaan masyarakat melalui gerakan restorasi sungai dan sekolah sungai merupakan langkah strategis yang tidak hanya meningkatkan kualitas lingkungan, tetapi juga memperkuat kesadaran dan peran aktif warga sebagai pelaku perubahan. Hal ini sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya air yang menekankan partisipasi masyarakat dan pendekatan berbasis ekosistem.

Namun, tantangan terbesar tetap pada konsistensi pelaksanaan, sinergi antar lembaga, dan ketersediaan sumber daya untuk mendukung program-program tersebut secara berkelanjutan. Penguatan regulasi dan penegakan hukum juga menjadi kunci keberhasilan restorasi.

Kesimpulan

  • Kualitas air sungai di Indonesia mengalami penurunan serius akibat limbah domestik, industri, dan aktivitas manusia lainnya, terutama di Pulau Jawa.
  • Restorasi kualitas air sungai harus dilakukan dengan pendekatan sistemik yang melibatkan aspek hidrologi, ekologi, morfologi, sosial-ekonomi, dan kelembagaan.
  • Pengelolaan limbah padat dan cair, penanaman vegetasi riparian, serta penerapan eko-hidraulik dan eko-engineering merupakan metode efektif restorasi.
  • Pemberdayaan masyarakat melalui gerakan restorasi sungai dan sekolah sungai sangat penting untuk keberlanjutan program.
  • Regulasi yang kuat dan sinergi antar pemangku kepentingan menjadi faktor penentu keberhasilan restorasi kualitas air sungai di Indonesia.

Dokumen ini menjadi acuan penting bagi pemerintah, akademisi, praktisi, dan masyarakat dalam upaya menjaga dan memulihkan kualitas air sungai demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.

Sumber:
Petunjuk Teknis Restorasi Kualitas Air Sungai, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, 2017.

Selengkapnya
Petunjuk Teknis Restorasi Kualitas Air Sungai oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan

Sumber Daya Air

Evaluasi Kualitas Air Danau Batur Berdasarkan Parameter Fisikokimia dan NSF-WQI

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Pentingnya Kualitas Air Danau Batur untuk Ekonomi dan Sosial Masyarakat

Danau Batur, yang terletak di Kabupaten Bangli, Bali, memiliki luas sekitar 15,9 km² dengan kedalaman maksimum mencapai 88 meter. Danau ini memegang peranan penting bagi masyarakat setempat, baik dari aspek sosial maupun ekonomi, terutama sebagai sumber air dan tempat aktivitas pertanian, perikanan, pariwisata, dan pemukiman. Namun, perkembangan industri pariwisata yang pesat, aktivitas pertanian intensif, serta limbah domestik dan pariwisata berpotensi menyebabkan pencemaran dan pendangkalan danau.

Penelitian oleh Ni Made Hegard Sukmawati dan rekan (2019) bertujuan untuk mengkaji kondisi kualitas air Danau Batur berdasarkan parameter fisikokimia dan National Sanitation Foundation Water Quality Index (NSF-WQI). Studi ini penting untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi air danau, sekaligus menjadi dasar pengelolaan dan konservasi sumber daya air yang berkelanjutan.

Sampling dan Parameter yang Diukur

Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2018 dengan pengambilan sampel air di lima titik strategis yang dipilih secara purposif di sekitar dermaga danau, mewakili area akses, keramba ikan, kawasan pariwisata, area hijau, dan bagian tengah danau. Sampel disimpan dalam coolbox dan dianalisis kurang dari 24 jam setelah pengambilan.

Dua belas parameter kualitas air diukur, meliputi logam berat (tembaga, kadmium, timbal), ammonia, nitrat, biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), dissolved oxygen (DO), fosfat, pH, residu terlarut (TDS), dan temperatur. Parameter kimia dan koliform tinja dianalisis di laboratorium kesehatan provinsi, sedangkan parameter fisika diukur langsung di lokasi.

Selanjutnya, 9 parameter utama dianalisis menggunakan metode NSF-WQI, yaitu perubahan temperatur, pH, TSS, DO, BOD, fosfat, nitrat, kekeruhan, dan koliform tinja. Hasil pengukuran dibandingkan dengan baku mutu air kelas I menurut Peraturan Gubernur Bali No. 16 Tahun 2016.

Hasil Penelitian: Kondisi Kualitas Air Danau Batur

Parameter Fisikokimia

  • Residu Terlarut (TDS): Nilai residu terlarut di Danau Batur berada pada rentang 1340–1860 mg/L dengan rata-rata 1644 ± 189,2 mg/L. Nilai ini jauh melebihi baku mutu kelas I (maksimum 1000 mg/L) dan masuk ke kelas IV, mengindikasikan tingginya kandungan garam anorganik dan organik yang mempengaruhi rasa dan kualitas air. Tingginya TDS ini diduga berasal dari kontaminasi limbah domestik, pertanian, dan perikanan serta kelarutan mineral di wilayah geologi sekitar danau.
  • Chemical Oxygen Demand (COD): COD berkisar antara 20,8 hingga 187,2 mg/L dengan rata-rata 110,24 ± 67,23 mg/L, jauh melebihi batas baku mutu kelas I (≤10 mg/L). Tingginya COD menunjukkan kandungan materi organik yang signifikan dan adanya polutan yang sulit terurai secara biologis. Nilai COD yang melebihi dua kali lipat nilai BOD menandakan adanya bahan organik non-biodegradable.
  • Total Fosfat: Konsentrasi fosfat total berkisar antara 0,404 hingga 0,739 mg/L dengan rata-rata 0,56 ± 0,14 mg/L, melebihi batas baku mutu kelas I (0,2 mg/L). Fosfat yang tinggi ini berpotensi menyebabkan eutrofikasi dan blooming alga yang dapat mengganggu ekosistem danau.
  • Parameter Lain: Logam berat seperti tembaga, kadmium, dan timbal berada di bawah batas deteksi (<0,0153 mg/L, <0,001 mg/L, dan <0,03 mg/L secara berturut-turut), ammonia dan nitrat juga sangat rendah (<0,001 mg/L), BOD rata-rata 1,30 mg/L, DO rata-rata 7,5 mg/L, pH berkisar 8,1–8,9, dan temperatur air sekitar 23,2–23,6°C.

NSF-WQI dan Interpretasi Kualitas Air

Berdasarkan perhitungan NSF-WQI yang mengintegrasikan sembilan parameter utama, nilai indeks kualitas air Danau Batur adalah 82, yang dikategorikan sebagai baik. Namun, terdapat dua parameter penting yang memiliki skor di bawah 60, yaitu fosfat (57) dan residu terlarut (20), yang menandakan perlunya perbaikan khusus pada aspek nutrien dan kandungan padatan terlarut.

Studi Kasus: Dampak Aktivitas Domestik, Pertanian, dan Perikanan terhadap Kualitas Air

Aktivitas domestik, pertanian, dan perikanan di sekitar Danau Batur menjadi sumber utama pencemaran yang menyebabkan tingginya nilai residu terlarut, COD, dan fosfat. Misalnya, penggunaan pestisida dan pupuk anorganik di area pertanian hilir dan limbah domestik dari pemukiman serta aktivitas budidaya ikan keramba jaring apung berkontribusi terhadap peningkatan nutrien dan bahan organik.

Fenomena ini mengindikasikan bahwa meskipun secara umum kualitas air masih baik, tekanan pencemaran dari aktivitas manusia telah mulai mengancam keseimbangan ekosistem danau. Kondisi ini berpotensi memicu eutrofikasi yang dapat menurunkan kualitas air dan mengganggu keberlanjutan fungsi danau sebagai sumber air dan habitat.

Analisis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain

Penelitian ini sejalan dengan temuan Purnamawati dan Arthana (2019) yang melaporkan tingginya kandungan fosfat di Danau Buyan, Bali, akibat aktivitas budidaya ikan. Tingginya fosfat dan COD merupakan indikator umum pencemaran nutrien dan bahan organik di danau-danau yang mengalami tekanan antropogenik.

Dibandingkan dengan standar internasional, nilai COD Danau Batur jauh melebihi batas yang direkomendasikan oleh American Public Health Association (≤2 mg/L) untuk air minum, menunjukkan perlunya pengelolaan limbah yang lebih efektif.

Tren global dalam pengelolaan kualitas air danau menekankan pentingnya pengurangan beban nutrien, pengelolaan limbah domestik dan pertanian, serta konservasi ekosistem perairan untuk mencegah degradasi kualitas air dan menjaga fungsi ekologis.

Kesimpulan dan Rekomendasi

  • Dari 12 parameter fisikokimia yang diuji, 9 memenuhi baku mutu kelas I menurut Peraturan Gubernur Bali No. 16 Tahun 2016, sedangkan 3 parameter (residu terlarut, COD, dan total fosfat) tidak memenuhi dan berada pada kelas mutu yang lebih rendah.
  • Tingginya nilai residu terlarut (1644 mg/L), COD (110,24 mg/L), dan fosfat (0,56 mg/L) menunjukkan adanya pencemaran yang signifikan akibat aktivitas domestik, pertanian, dan perikanan di sekitar Danau Batur.
  • NSF-WQI menunjukkan kualitas air secara umum baik (skor 82), namun parameter fosfat dan residu terlarut perlu perhatian khusus karena memiliki skor di bawah 60.
  • Disarankan dilakukan upaya pengurangan limbah domestik dan pertanian, pengelolaan budidaya ikan yang ramah lingkungan, serta monitoring kualitas air secara berkala.
  • Pemerintah dan masyarakat perlu berkolaborasi dalam menjaga kelestarian Danau Batur agar tetap berfungsi sebagai sumber daya air yang berkualitas dan mendukung kesejahteraan masyarakat.

Sumber:
Sukmawati, N.M.H., Pratiwi, A.E., & Rusni, N.W. (2019). Kualitas Air Danau Batur Berdasarkan Parameter Fisikokimia dan NSFWQI. Wicaksana: Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Vol. 3 No. 2, 53-60. ISSN 2597-7555.

Selengkapnya
Evaluasi Kualitas Air Danau Batur Berdasarkan Parameter Fisikokimia dan NSF-WQI

Sumber Daya Air

Analisis Kualitas Air Danau Kandung Suli Kecamatan Jongkong Kabupaten Kapuas Hulu

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Peran dan Tantangan Kualitas Air Danau Kandung Suli

Danau Kandung Suli merupakan sumber air utama bagi masyarakat setempat yang dimanfaatkan secara langsung untuk keperluan domestik seperti mandi dan mencuci, serta untuk budidaya ikan menggunakan keramba jaring apung. Namun, aktivitas domestik dan budidaya ikan yang terus berlangsung berpotensi menurunkan kualitas air danau. Penelitian oleh Lailial Muthifah dkk. (2018) ini bertujuan mengkaji kualitas air Danau Kandung Suli dengan menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) dan membandingkannya dengan baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001.

Penelitian ini penting karena kualitas air yang menurun dapat berdampak buruk tidak hanya pada kesehatan masyarakat, tetapi juga pada produktivitas budidaya ikan yang menjadi sumber penghidupan utama warga sekitar.

 Pengambilan Sampel dan Parameter Kualitas Air

Penelitian dilakukan pada tanggal 30 Juli 2017 dengan pengambilan sampel air secara grab sampling di lima titik strategis di Danau Kandung Suli. Titik-titik tersebut dipilih berdasarkan karakteristik lingkungan, yaitu inlet sungai, lokasi pemukiman, sekitar keramba ikan, dan kondisi alami air danau sebagai kontrol.

Pengambilan sampel dilakukan di kedalaman 0,5 meter dari permukaan dan 0,5 meter dari dasar untuk mendapatkan sampel komposit yang representatif. Parameter yang diukur secara in situ meliputi suhu, pH, kecerahan, total dissolved solids (TDS), dan dissolved oxygen (DO). Sedangkan parameter yang dianalisis di laboratorium adalah biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), total suspended solids (TSS), fosfat, dan nitrat.

Data yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan baku mutu kelas II sesuai PP No. 82 Tahun 2001 untuk mengetahui tingkat pencemaran dan kualitas air danau.

Hasil Penelitian: Kondisi Fisik dan Kimia Air Danau Kandung Suli

Suhu dan Kecerahan

Suhu air di lima titik pengamatan berkisar antara 28°C hingga 31°C, dengan titik 4 (lokasi keramba dan pemukiman) menunjukkan suhu tertinggi 31°C. Suhu ini masih sesuai dengan rentang ideal untuk kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya (25–32°C).

Nilai kecerahan air berada di antara 0,66 hingga 0,86 meter, dengan titik 4 memiliki kecerahan terendah (0,66 m). Penurunan kecerahan ini disebabkan oleh aktivitas budidaya ikan yang menghasilkan sisa pakan dan limbah organik yang meningkatkan kekeruhan air. Sebagai perbandingan, tingkat kecerahan ideal untuk perairan danau adalah sekitar 2 meter, sehingga kondisi ini menunjukkan penurunan kualitas visual dan potensi gangguan fotosintesis fitoplankton.

pH dan Dissolved Oxygen (DO)

Nilai pH berkisar antara 5,9 hingga 6,9, dengan titik 4 menunjukkan pH terendah 5,9, sedikit di bawah batas baku mutu kelas II (6–9). Penurunan pH ini diduga akibat masuknya senyawa organik dan anorganik dari aktivitas domestik dan budidaya ikan.

Kadar DO bervariasi antara 2,92 mg/L hingga 5,42 mg/L. Titik 3 dan 4 menunjukkan nilai DO yang lebih rendah, yaitu 3,2 mg/L dan 2,92 mg/L, di bawah batas baku mutu 4 mg/L. Rendahnya DO ini mengindikasikan tekanan pencemaran organik yang tinggi, di mana mikroorganisme menggunakan oksigen untuk menguraikan bahan organik dari limbah domestik dan sisa pakan ikan.

BOD dan COD

Nilai BOD di titik 3 dan 4 masing-masing sebesar 3,34 mg/L dan 3,9 mg/L telah melebihi batas baku mutu kelas II (3 mg/L). Tingginya BOD menunjukkan tingginya kandungan bahan organik yang memerlukan oksigen untuk terdegradasi.

Sementara itu, nilai COD pada titik yang sama juga meningkat, yaitu 25,12 mg/L dan 25,20 mg/L, sedikit melebihi batas baku mutu kelas II (25 mg/L). Peningkatan COD ini terkait dengan akumulasi bahan organik yang sulit terurai secara biologis akibat limbah domestik dan aktivitas budidaya ikan.

TSS dan TDS

Kadar total suspended solids (TSS) pada titik 4 mencapai 50,10 mg/L, sedikit melebihi batas baku mutu kelas II (50 mg/L). Peningkatan TSS ini disebabkan oleh sisa pakan ikan dan aktivitas rumah tangga yang menyebabkan peningkatan partikel tersuspensi dalam air.

Total dissolved solids (TDS) berkisar antara 594,8 mg/L hingga 950 mg/L, masih dalam batas aman menurut baku mutu kelas II (maksimum 1000 mg/L). Namun, nilai TDS yang lebih tinggi pada titik 3 dan 4 menunjukkan akumulasi bahan terlarut dari aktivitas manusia di sekitar danau.

Fosfat dan Nitrat

Konsentrasi fosfat berada di rentang 0,1 mg/L hingga 0,28 mg/L, dengan titik 3 dan 4 menunjukkan nilai tertinggi yang melebihi batas baku mutu kelas II (0,2 mg/L). Fosfat yang tinggi ini berasal dari limbah domestik seperti deterjen dan sisa pakan ikan yang tidak termakan.

Kadar nitrat berkisar antara 5,97 mg/L hingga 9,8 mg/L, masih di bawah batas baku mutu kelas II (10 mg/L), namun titik 4 menunjukkan peningkatan signifikan (9,8 mg/L) akibat aktivitas budidaya ikan yang menghasilkan limbah nitrogen.

Studi Kasus: Dampak Budidaya Ikan Keramba terhadap Kualitas Air

Titik 4 di Danau Kandung Suli merupakan lokasi dengan aktivitas budidaya ikan keramba dan pemukiman penduduk yang paling intensif. Di lokasi ini, hampir semua parameter kualitas air menunjukkan penurunan kualitas, seperti suhu tertinggi (31°C), pH terendah (5,9), DO terendah (2,92 mg/L), BOD dan COD yang melebihi baku mutu, serta peningkatan TSS, fosfat, dan nitrat.

Sisa pakan ikan yang tidak termakan, limbah metabolisme ikan, dan limbah domestik yang langsung dibuang ke danau menjadi sumber utama pencemaran. Kondisi ini menyebabkan penurunan kecerahan air dan penurunan kadar oksigen terlarut yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup ikan dan organisme air lainnya.

Fenomena ini sejalan dengan temuan penelitian lain yang menunjukkan bahwa budidaya ikan intensif tanpa pengelolaan limbah yang baik dapat meningkatkan pencemaran organik dan nutrien di perairan, sehingga memicu eutrofikasi dan penurunan kualitas air.

Analisis dan Opini: Implikasi dan Upaya Pengelolaan

Penelitian ini memberikan gambaran jelas bahwa aktivitas domestik dan budidaya ikan di Danau Kandung Suli telah menurunkan kualitas air, terutama di sekitar lokasi keramba. Penurunan kualitas ini dapat berdampak negatif pada kesehatan masyarakat yang menggunakan air danau secara langsung serta menurunkan produktivitas budidaya ikan.

Dalam konteks pengelolaan sumber daya air, hasil ini menegaskan pentingnya penerapan pengelolaan limbah domestik dan budidaya yang terintegrasi, termasuk:

  • Pengelolaan limbah domestik yang baik dengan fasilitas sanitasi yang memadai agar limbah tidak langsung dibuang ke danau.
  • Pengelolaan pakan ikan agar tidak berlebihan dan sisa pakan dibersihkan secara rutin untuk mengurangi akumulasi bahan organik.
  • Monitoring kualitas air secara berkala untuk mendeteksi perubahan dan mengambil tindakan cepat.
  • Edukasi masyarakat tentang dampak pencemaran dan pentingnya menjaga kualitas air.

Pendekatan ini sejalan dengan tren global pengelolaan perairan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan terkait air bersih dan sanitasi.

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian, beberapa parameter kualitas air di Danau Kandung Suli telah melampaui baku mutu kelas II PP No. 82 Tahun 2001, antara lain:

  • BOD sebesar 3,34–3,9 mg/L
  • COD sebesar 25,12–25,20 mg/L
  • TSS sebesar 50,10 mg/L
  • Fosfat sebesar 0,22–0,28 mg/L

Sumber utama pencemaran berasal dari aktivitas domestik dan budidaya ikan keramba yang menghasilkan limbah organik dan nutrien tinggi. Penurunan kualitas air ini perlu mendapat perhatian serius untuk menjaga keberlanjutan fungsi danau sebagai sumber air dan budidaya ikan.

Sumber:
Lailial Muthifah, Nurhayati, Kiki Prio Utomo. (2018). Analisis Kualitas Air Danau Kandung Suli Kecamatan Jongkong Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, Pontianak.

Selengkapnya
Analisis Kualitas Air Danau Kandung Suli Kecamatan Jongkong Kabupaten Kapuas Hulu

Sumber Daya Air

Analisis Kualitas Air dan Daya Tampung Beban Pencemaran Sungai Pesanggrahan di Wilayah DKI Jakarta

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Sungai Pesanggrahan dan Tantangan Kualitas Air Perkotaan

Sungai Pesanggrahan yang mengalir dari Kabupaten Bogor, Kota Depok, hingga wilayah Jakarta Selatan, Barat, dan Utara, memiliki peranan strategis sebagai sumber air dan ekosistem pendukung kehidupan masyarakat di sekitarnya. Namun, aktivitas manusia yang intensif di sepanjang aliran sungai, seperti permukiman padat, industri, dan lahan terbuka, berkontribusi pada peningkatan beban pencemaran air. Kondisi ini menyebabkan penurunan kualitas air yang berpotensi mengganggu fungsi ekologis dan pemanfaatan air untuk perikanan serta kebutuhan domestik.

Penelitian oleh Djoharam dkk. (2018) bertujuan menganalisis kualitas air Sungai Pesanggrahan berdasarkan parameter fisika dan kimia serta menghitung daya tampung beban pencemaran sungai. Studi ini penting untuk memberikan gambaran kondisi kualitas air terkini dan menjadi dasar pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan di wilayah metropolitan DKI Jakarta.

Sampling dan Analisis Parameter Kualitas Air

Penelitian dilakukan pada bulan April 2015 dengan pengambilan sampel di delapan titik strategis sepanjang Sungai Pesanggrahan yang mewakili berbagai kondisi penggunaan lahan dan potensi sumber pencemar. Parameter yang dianalisis meliputi 5 parameter fisika (suhu, daya hantar listrik, TDS, TSS, dan DO) dan 13 parameter kimia (pH, merkuri, mangan, nikel, total fosfat, seng, sulfat, tembaga, minyak dan lemak, senyawa aktif biru metilen, organik, BOD, dan COD).

Data hasil pengukuran dibandingkan dengan baku mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 dan baku mutu Golongan C menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 582 Tahun 1995. Penentuan status mutu air menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) yang mengkategorikan kondisi mutu air dari baik hingga cemar berat.

Hasil dan Pembahasan: Penurunan Kualitas Air dari Hulu ke Hilir

Parameter Fisika dan Kimia

  • Suhu: Berkisar antara 24,4°C hingga 25,2°C, masih memenuhi baku mutu kelas II dan Golongan C, namun kurang optimal untuk budidaya ikan tropis yang idealnya 28–32°C.
  • pH: Stabil di kisaran 7,3–7,5, mengindikasikan kondisi netral yang cocok untuk kehidupan akuatik dan memenuhi standar baku mutu.
  • Total Suspended Solid (TSS): Variasi signifikan dengan nilai antara 19 mg/L hingga 116 mg/L. Titik sampling P7 (116 mg/L) dan P1 (78 mg/L) melebihi batas baku mutu kelas II (50 mg/L), menandakan tingginya kandungan partikel tersuspensi akibat erosi dan aktivitas manusia.
  • Dissolved Oxygen (DO): Menurun dari hulu ke hilir, dengan nilai tertinggi 6,43 mg/L di P1 dan terendah 1,24 mg/L di P4, yang jauh di bawah batas minimum 4 mg/L untuk kelas II. Penurunan DO ini mengindikasikan tekanan pencemaran organik yang mengurangi oksigen terlarut.
  • Biochemical Oxygen Demand (BOD): Nilai BOD bervariasi antara 2,82 mg/L hingga 11,94 mg/L, dengan nilai tertinggi di P7 yang melebihi batas baku mutu kelas II (3 mg/L). Ini menandakan tingginya bahan organik yang terdegradasi oleh mikroorganisme.
  • Chemical Oxygen Demand (COD): Berkisar antara 5,9 mg/L hingga 31,07 mg/L, dengan P7 juga menunjukkan nilai tertinggi yang melebihi batas kelas II (25 mg/L). Hal ini menegaskan adanya bahan organik yang sulit terurai secara biologis.
  • Total Fosfat: Konsentrasi fosfat berkisar 0,13–0,32 mg/L, dengan beberapa titik melebihi batas baku mutu (0,2 mg/L), yang dapat memicu eutrofikasi.
  • Logam Berat dan Senyawa Organik: Konsentrasi merkuri dan nikel berada di bawah batas deteksi, sedangkan mangan dan seng menunjukkan nilai rendah dan masih dalam batas aman.

Status Mutu Air dan Indeks Pencemaran

Berdasarkan Indeks Pencemaran (IP), sebagian besar titik sampling menunjukkan status cemar ringan dengan nilai IP antara 1,1 hingga 4,9. Titik P4 yang merupakan kawasan permukiman padat dan lahan terbuka mengalami cemar sedang dengan IP 6,1 berdasarkan baku mutu kelas II. Jika menggunakan baku mutu Golongan C, semua titik sudah tercemar ringan.

Penurunan kualitas air dari hulu ke hilir terutama disebabkan oleh peningkatan beban limbah domestik dan industri rumah tangga, serta limpasan tanah terbuka yang meningkatkan TSS. Penurunan DO dan peningkatan BOD serta COD mengindikasikan pencemaran organik yang membebani ekosistem sungai.

Studi Kasus: Beban Pencemaran dan Daya Tampung Sungai Pesanggrahan

Analisis daya tampung beban pencemaran menunjukkan bahwa Sungai Pesanggrahan telah melampaui kapasitasnya untuk menampung beban BOD dan TSS berdasarkan baku mutu kelas II. Beban pencemaran BOD tercatat sebesar 87,915 kg/hari, sedangkan daya tampung hanya 40,617 kg/hari, sehingga diperlukan pengurangan beban sebesar 47,298 kg/hari untuk mengembalikan kualitas air. Untuk TSS, beban pencemaran mencapai 1.125.032 kg/hari, jauh melebihi daya tampung 676.944 kg/hari, sehingga perlu pengurangan signifikan sebesar 448.088 kg/hari.

Namun, berdasarkan baku mutu Golongan C, sungai masih mampu menampung beban pencemaran BOD, COD, dan TSS, yang menandakan perbedaan standar pengelolaan antara regulasi nasional dan daerah.

Opini dan Relevansi dengan Tren Pengelolaan Lingkungan

Penelitian ini menggambarkan tantangan pengelolaan kualitas air di sungai perkotaan yang menghadapi tekanan aktivitas manusia yang terus meningkat. Kondisi Sungai Pesanggrahan yang tercemar ringan hingga sedang mengindikasikan perlunya intervensi pengurangan beban pencemaran, terutama dari limbah domestik dan sedimentasi.

Dibandingkan dengan penelitian lain di sungai perkotaan seperti Ciliwung dan Cisadane, pola penurunan kualitas air dari hulu ke hilir dan dominasi pencemaran organik serta padatan tersuspensi menjadi masalah umum yang memerlukan pendekatan terpadu. Pengelolaan berbasis DAS (Daerah Aliran Sungai) dengan keterlibatan masyarakat, pengembangan IPAL komunal, dan pengawasan limbah industri rumah tangga menjadi solusi yang relevan.

Tren global dalam pengelolaan sumber daya air menekankan pentingnya pengendalian pencemaran dan pemulihan kualitas air untuk mendukung ekosistem dan kesehatan masyarakat. Penelitian ini memberikan data empiris yang dapat menjadi dasar kebijakan dan program pengelolaan sungai di wilayah metropolitan Jakarta.

Kesimpulan

  • Kualitas air Sungai Pesanggrahan di wilayah DKI Jakarta mengalami penurunan dari hulu ke hilir dengan status cemar ringan hingga cemar sedang.
  • Parameter utama yang menunjukkan pencemaran adalah TSS, BOD, COD, dan penurunan DO, dengan beberapa titik melebihi baku mutu kelas II.
  • Beban pencemaran BOD dan TSS telah melampaui daya tampung sungai berdasarkan standar nasional, sehingga diperlukan pengurangan beban pencemaran.
  • Pengelolaan kualitas air Sungai Pesanggrahan harus melibatkan pengurangan limbah domestik dan industri, pengendalian erosi, serta pemantauan berkala.
  • Penelitian ini menjadi acuan penting dalam upaya konservasi dan pengelolaan sumber daya air di kawasan perkotaan yang padat penduduk.

Sumber:
Djoharama, V., Riani, E., & Yani, M. (2018). Analisis Kualitas Air dan Daya Tampung Beban Pencemaran Sungai Pesanggrahan di Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 8(1), 127-133.

Selengkapnya
Analisis Kualitas Air dan Daya Tampung Beban Pencemaran Sungai Pesanggrahan di Wilayah DKI Jakarta

Sumber Daya Air

Indeks Kualitas Air dan Dampak Kesehatan Masyarakat Sekitar Sungai Karang Mumus, Samarinda

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025


Pentingnya Monitoring Kualitas Air Sungai Karang Mumus

Sungai Karang Mumus yang membelah Kota Samarinda, Kalimantan Timur, merupakan sumber daya air vital bagi kehidupan masyarakat dan aktivitas ekonomi di sekitarnya. Sungai ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber air baku, tetapi juga menjadi tempat aktivitas industri rumahan seperti tahu dan tempe, pertanian, peternakan, pasar, serta permukiman padat di bantaran sungai. Namun, aktivitas tersebut berkontribusi terhadap penurunan kualitas air sungai yang berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar.

Penelitian oleh Pramaningsih et al. (2023) bertujuan untuk menghitung Indeks Kualitas Air (IKA) Sungai Karang Mumus dari hulu hingga hilir dan mengkaji dampaknya terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Kajian ini penting karena kualitas air sungai yang buruk dapat menyebabkan berbagai penyakit, terutama yang berhubungan dengan sanitasi dan bakteri patogen.

Pendekatan Kuantitatif dan Sampling Strategis

Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif untuk mengukur status mutu air berdasarkan parameter fisika, kimia, dan bakteriologis. Sampel air diambil di delapan titik strategis mulai dari hulu (Tanah Datar) hingga hilir (Jembatan Arif Rahman Hakim), dengan metode purposive sampling untuk memilih lokasi yang mewakili kondisi sungai dan potensi sumber pencemar.

Parameter yang diukur meliputi pH, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (COD), total padatan tersuspensi (TSS), nitrat (NO3-N), total fosfat (T-Phosphat), dan fecal coliform (Fecal Coli). Selain itu, dilakukan wawancara terhadap 64 responden yang tinggal di bantaran sungai untuk mengidentifikasi dampak kesehatan yang dialami terkait penggunaan air sungai.

Status Mutu Air Sungai Karang Mumus dan Indeks Kualitas Air

Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan variasi yang cukup signifikan sepanjang aliran sungai. Bagian hulu sungai (Tanah Datar) memiliki status mutu air yang tergolong baik dengan Indeks Pencemaran (IP) sebesar 0,82, memenuhi standar kualitas air kelas II (pH 4, TSS 47 mg/L, DO 4,25 mg/L, BOD 1,26 mg/L, COD 25,55 mg/L, nitrat 0,097 mg/L, fosfat 0,098 mg/L, fecal coliform 124 MPN/100 ml).

Namun, seiring aliran sungai ke bagian tengah dan hilir, status mutu air menurun menjadi cemar ringan hingga cemar berat. Contohnya, di Jembatan Perniagaan, IP mencapai 10,5, menunjukkan pencemaran berat dengan parameter yang melampaui baku mutu, seperti TSS 346,5 mg/L (batas 50 mg/L), DO 2,1 mg/L (batas minimum 4 mg/L), BOD 1,56 mg/L (batas 3 mg/L), COD 44,96 mg/L (batas 25 mg/L), dan fecal coliform sangat tinggi 505.820 MPN/100 ml (batas 1000 MPN/100 ml). Kondisi ini menunjukkan adanya beban pencemaran yang signifikan, terutama dari limbah domestik dan industri rumahan.

Secara keseluruhan, perhitungan Indeks Kualitas Air (IKA) Sungai Karang Mumus menunjukkan hasil 37,5 yang masuk kategori "kurang" menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 27 Tahun 2021. Dari delapan titik pengambilan sampel, hanya satu titik yang memenuhi syarat, dua titik cemar ringan, empat titik cemar sedang, dan satu titik cemar berat.

Studi Kasus: Dampak Kesehatan Masyarakat di Bantaran Sungai

Wawancara dengan 64 warga yang tinggal di bantaran Sungai Karang Mumus mengungkapkan dampak kesehatan yang signifikan akibat penggunaan air sungai yang tercemar. Sekitar 23,44% (15 orang) menderita diare, 6,25% (4 orang) mengalami disentri, dan 70,31% (45 orang) mengalami iritasi kulit. Penyakit diare dan disentri umumnya disebabkan oleh kontaminasi bakteri fecal coliform yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi di beberapa titik sungai, terutama di hilir.

Iritasi kulit yang tinggi dikaitkan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk dan perilaku hidup bersih yang belum optimal. Banyak warga masih melakukan aktivitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) langsung menggunakan air sungai tanpa pengolahan, sehingga risiko kontak dengan air tercemar sangat tinggi. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya fasilitas sanitasi yang memadai dan pembuangan limbah domestik langsung ke sungai.

Analisis dan Diskusi: Faktor Penyebab dan Implikasi Kualitas Air

Penurunan kualitas air Sungai Karang Mumus terutama disebabkan oleh aktivitas manusia di bantaran sungai, seperti pembuangan limbah rumah tangga, limbah industri tahu dan tempe, pasar, rumah pemotongan hewan, serta kepadatan pemukiman. Parameter BOD dan COD yang tinggi menandakan tingginya bahan organik yang membebani oksigen terlarut di sungai, sehingga mengganggu ekosistem perairan.

Konsentrasi fecal coliform yang sangat tinggi di beberapa titik menunjukkan pencemaran biologis yang serius, yang berisiko menularkan penyakit berbasis air (waterborne diseases) seperti diare dan disentri. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian lain yang menunjukkan korelasi erat antara kualitas air yang buruk dan kejadian penyakit di masyarakat bantaran sungai.

Selain itu, fenomena backwater dari Sungai Mahakam yang mempengaruhi aliran Sungai Karang Mumus pada waktu pasang surut juga berkontribusi pada akumulasi polutan di hilir. Kondisi ini memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaan sungai agar pencemaran tidak semakin parah.

Nilai Tambah dan Hubungan dengan Tren Pengelolaan Lingkungan

Penelitian ini memberikan gambaran komprehensif mengenai hubungan antara kualitas air sungai dan kesehatan masyarakat di daerah perkotaan dengan aktivitas padat. Hal ini relevan dengan tren global pengelolaan sumber daya air yang mengedepankan prinsip pengelolaan terpadu dan partisipasi masyarakat.

Strategi pengendalian pencemaran yang diusulkan meliputi pengurangan beban pencemaran melalui pengelolaan limbah domestik dan industri, peningkatan fasilitas sanitasi seperti Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal, serta edukasi masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pendekatan ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) terkait air bersih dan sanitasi (Goal 6) serta kesehatan masyarakat (Goal 3).

Kesimpulan dan Rekomendasi

  • Indeks Kualitas Air Sungai Karang Mumus secara keseluruhan masuk kategori kurang dengan satu titik memenuhi syarat, dua cemar ringan, empat cemar sedang, dan satu cemar berat.
  • Penurunan kualitas air terutama disebabkan oleh limbah domestik dan industri rumah tangga yang dibuang langsung ke sungai tanpa pengolahan.
  • Dampak kesehatan yang signifikan di masyarakat bantaran sungai meliputi diare (23,44%), disentri (6,25%), dan iritasi kulit (70,31%).
  • Pengelolaan pencemaran air harus melibatkan pemerintah, industri, dan masyarakat secara bersama-sama dengan fokus pada pengelolaan limbah, penyediaan fasilitas sanitasi, dan edukasi kesehatan.
  • Monitoring kualitas air secara rutin dan penegakan regulasi sangat penting untuk menjaga kualitas air dan kesehatan masyarakat.

Penelitian ini menjadi dasar penting bagi pengambil kebijakan dan pengelola lingkungan untuk merancang program pengendalian pencemaran air yang efektif dan berkelanjutan di Sungai Karang Mumus dan daerah serupa.

Sumber:
Pramaningsih, V., Yuliawati, R., Sukisman, S., Hansen, H., Suhelmi, R., & Daramusseng, A. (2023). Indek Kualitas Air dan Dampak terhadap Kesehatan Masyarakat Sekitar Sungai Karang Mumus, Samarinda. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 22(3), 313–319.

Selengkapnya
Indeks Kualitas Air dan Dampak Kesehatan Masyarakat Sekitar Sungai Karang Mumus, Samarinda
« First Previous page 15 of 22 Next Last »