Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025
Signifikansi Danau Toba dan Tantangan Kualitas Air
Danau Toba, sebagai danau vulkanik terbesar di Indonesia dan Asia Tenggara dengan luas permukaan 1.124 km² dan kedalaman maksimum 508 meter, merupakan salah satu sumber daya alam yang sangat penting. Terletak di Kabupaten Samosir, Sumatera Utara, danau ini memiliki peranan vital bagi kehidupan sosial-ekonomi masyarakat setempat, termasuk sebagai sumber air bersih, pariwisata, pembangkit listrik tenaga air, dan budidaya perikanan, khususnya keramba jaring apung (KJA).
Namun, perkembangan pesat aktivitas manusia di sekitar danau, terutama budidaya ikan dengan KJA dan limbah domestik dari pemukiman dan penginapan, menimbulkan tekanan yang signifikan terhadap kualitas air. Limbah organik berlebih dari KJA menyebabkan penurunan oksigen terlarut, munculnya gas beracun seperti hidrogen sulfida dan amoniak, serta peningkatan nutrien (nitrogen dan fosfor) yang memicu eutrofikasi dan ledakan populasi alga (algae bloom), berpotensi menyebabkan kematian ikan massal.
Penelitian oleh Winarto Silaban dan Mastiur Verawaty Silalahi (2021) bertujuan menganalisis kualitas air Danau Toba di Kecamatan Pangururan berdasarkan parameter fisika, kimia, dan biologi, serta menentukan status mutu air menggunakan metode Storet.
Pengambilan Sampel dan Parameter Pengujian
Penelitian menggunakan metode survei dengan pendekatan kuantitatif dan deskriptif. Pengambilan sampel dilakukan pada tiga titik representatif di Danau Toba Kecamatan Pangururan selama periode Januari hingga Desember 2021. Parameter yang diukur meliputi suhu, pH, biochemical oxygen demand (BOD5), chemical oxygen demand (COD), dissolved oxygen (DO), nitrat (NO3), nitrit (NO2), amoniak, salinitas, dan fitoplankton.
Analisis laboratorium dilakukan di Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar. Status mutu air ditentukan menggunakan metode Storet yang mengklasifikasikan mutu air ke dalam empat kelas: baik sekali (kelas A), baik (kelas B), tercemar sedang (kelas C), dan tercemar berat (kelas D).
Hasil dan Pembahasan
Parameter Fisik dan Kimia
Fitoplankton
Analisis fitoplankton menunjukkan dominasi dua jenis utama, yaitu Oocystis sp. (Chlorophyta) dan Anabaena sp. (Cyanophyta). Oocystis sp. berperan sebagai penghasil oksigen dan sumber pakan alami, sedangkan Anabaena sp. merupakan indikator kondisi eutrofik dan dapat menghasilkan racun yang mengancam ekosistem dan kesehatan manusia.
Kelimpahan fitoplankton relatif rendah (20–400 individu/L) dengan jumlah jenis sekitar 25, menunjukkan kondisi perairan yang tidak subur secara umum, tetapi potensi eutrofikasi tetap ada terutama karena keberadaan Anabaena sp.
Status Mutu Air Berdasarkan Metode Storet
Berdasarkan metode Storet, kualitas air Danau Toba di Kecamatan Pangururan dikategorikan sebagai tercemar ringan (kelas B dan C) terutama karena parameter nitrat, nitrit, dan amoniak yang melebihi baku mutu. Parameter lain seperti suhu, pH, BOD5, DO, dan COD masih dalam kategori baik.
Dampak Budidaya Keramba Jaring Apung
Budidaya ikan dengan keramba jaring apung (KJA) di Danau Toba telah berkembang pesat dan meningkatkan pendapatan masyarakat. Namun, limbah organik dari KJA yang berlebihan menyebabkan penurunan oksigen terlarut dan peningkatan amoniak serta nutrien di perairan. Limbah ini juga memicu pertumbuhan alga berlebih (Anabaena sp.) yang berpotensi menyebabkan ledakan alga dan kematian ikan massal.
Fenomena ini menegaskan perlunya pengelolaan limbah budidaya yang lebih baik dan pengawasan ketat agar daya dukung danau tidak terlampaui.
Analisis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Hasil penelitian ini konsisten dengan studi sebelumnya yang menunjukkan bahwa Danau Toba mengalami tekanan pencemaran organik dan nutrien akibat aktivitas manusia, terutama budidaya ikan dan limbah domestik (Garno et al., 2020; Harianja et al., 2018). Kondisi eutrofikasi yang ditandai oleh keberadaan Anabaena sp. juga ditemukan di danau lain seperti Danau Limboto dan Danau Batur, yang menunjukkan tren pencemaran serupa di danau-danau Indonesia.
Dibandingkan dengan standar nasional dan internasional, kadar nitrat dan amoniak yang melebihi batas menunjukkan perlunya intervensi pengelolaan limbah dan konservasi perairan untuk mencegah degradasi lebih lanjut.
Rekomendasi dan Nilai Tambah
Penelitian ini memberikan rekomendasi penting bagi pengelolaan Danau Toba, antara lain:
Pendekatan ini sejalan dengan tren global pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan dan berbasis ekosistem, serta pentingnya peran masyarakat dalam konservasi.
Kesimpulan
Kualitas air Danau Toba di Kecamatan Pangururan tergolong tercemar ringan, terutama pada parameter nitrat, nitrit, dan amoniak yang melebihi baku mutu. Parameter suhu, pH, BOD5, DO, dan COD masih dalam kondisi baik. Keberadaan fitoplankton Oocystis sp. dan Anabaena sp. menunjukkan kondisi perairan yang mulai mengalami tekanan nutrien dan potensi eutrofikasi.
Penelitian ini menjadi dasar penting untuk pengelolaan kualitas air Danau Toba yang lebih baik, dengan fokus pada pengendalian limbah budidaya dan domestik serta pelibatan masyarakat dalam konservasi.
Sumber:
Silaban, W., & Silalahi, M. V. (2021). Analisis Kualitas Air di Perairan Danau Toba Kecamatan Pangururan, Kabupaten Samosir. Jurnal Sains dan Teknologi, 10(2), 299-307.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025
Krisis Kualitas Air Sungai di Indonesia dan Kebutuhan Restorasi
Indonesia, sebagai negara dengan potensi sumber daya air terbesar kelima di dunia, menghadapi tantangan serius dalam menjaga kualitas air sungai. Sebagian besar sungai mengalami penurunan mutu akibat pencemaran limbah domestik, industri, dan aktivitas manusia lainnya. Data tahun 2015 menunjukkan 68% mutu air di 33 provinsi tercemar berat, terutama di Pulau Jawa yang menjadi pusat aktivitas ekonomi dan kepadatan penduduk. Sungai yang tercemar tidak hanya mengancam kesehatan masyarakat, tetapi juga mengurangi fungsi ekologis dan produktivitas sumber daya air.
Menghadapi kondisi ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyusun Petunjuk Teknis Restorasi Kualitas Air Sungai sebagai panduan komprehensif untuk pemulihan kualitas air sungai di Indonesia. Dokumen ini menyajikan referensi akademis dan teknis yang dapat diterapkan oleh berbagai pihak, mulai dari pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, akademisi, hingga dunia industri.
Identifikasi Masalah Utama
Penurunan kualitas air sungai disebabkan oleh berbagai faktor, antara lain:
Sebagai contoh, di Pulau Jawa, indeks kualitas air (IKA) pada tahun 2011 menunjukkan nilai di bawah 60 untuk sebagian besar provinsi, dengan DKI Jakarta memiliki nilai terendah 35,65. Dari 47 sungai yang dipantau, 7 sungai tercemar berat, 21 tercemar ringan, dan 19 tercemar sedang, dengan parameter pencemar utama adalah total coliform dan BOD.
Konsep Restorasi Kualitas Air Sungai
Restorasi kualitas air sungai adalah upaya sistemik dan komprehensif untuk mengembalikan fungsi dan mutu air sungai ke kondisi optimal. Pendekatan restorasi tidak hanya fokus pada aspek teknis pengolahan limbah, tetapi juga melibatkan aspek hidrologi, ekologi, sosial-ekonomi, budaya, serta kelembagaan dan peraturan.
Konsep restorasi sungai yang diusung KLHK meliputi lima elemen utama:
Pendekatan dan Metode Restorasi
Petunjuk teknis ini menguraikan berbagai metode restorasi yang dapat diterapkan, antara lain:
Studi Kasus dan Implementasi Gerakan Restorasi Sungai
Dokumen ini memberikan contoh nyata implementasi gerakan restorasi sungai di berbagai daerah di Indonesia, seperti:
Regulasi dan Kebijakan Pendukung
Petunjuk teknis ini juga membahas berbagai regulasi yang mendukung pengelolaan kualitas air sungai, antara lain:
Regulasi ini mengatur aspek teknis dan kelembagaan pengelolaan sungai, termasuk penetapan daya tampung beban pencemaran, pengawasan limbah, pengelolaan sempadan sungai, serta partisipasi masyarakat.
Analisis dan Opini
Petunjuk teknis ini memberikan panduan yang sangat komprehensif dan sistemik dalam upaya restorasi kualitas air sungai di Indonesia. Pendekatan yang mengintegrasikan aspek teknis, ekologi, sosial, dan kelembagaan sangat relevan untuk menangani permasalahan kompleks yang terjadi di lapangan.
Konsep pemberdayaan masyarakat melalui gerakan restorasi sungai dan sekolah sungai merupakan langkah strategis yang tidak hanya meningkatkan kualitas lingkungan, tetapi juga memperkuat kesadaran dan peran aktif warga sebagai pelaku perubahan. Hal ini sejalan dengan tren global dalam pengelolaan sumber daya air yang menekankan partisipasi masyarakat dan pendekatan berbasis ekosistem.
Namun, tantangan terbesar tetap pada konsistensi pelaksanaan, sinergi antar lembaga, dan ketersediaan sumber daya untuk mendukung program-program tersebut secara berkelanjutan. Penguatan regulasi dan penegakan hukum juga menjadi kunci keberhasilan restorasi.
Kesimpulan
Dokumen ini menjadi acuan penting bagi pemerintah, akademisi, praktisi, dan masyarakat dalam upaya menjaga dan memulihkan kualitas air sungai demi keberlanjutan lingkungan dan kesejahteraan masyarakat.
Sumber:
Petunjuk Teknis Restorasi Kualitas Air Sungai, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia, 2017.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025
Pentingnya Kualitas Air Danau Batur untuk Ekonomi dan Sosial Masyarakat
Danau Batur, yang terletak di Kabupaten Bangli, Bali, memiliki luas sekitar 15,9 km² dengan kedalaman maksimum mencapai 88 meter. Danau ini memegang peranan penting bagi masyarakat setempat, baik dari aspek sosial maupun ekonomi, terutama sebagai sumber air dan tempat aktivitas pertanian, perikanan, pariwisata, dan pemukiman. Namun, perkembangan industri pariwisata yang pesat, aktivitas pertanian intensif, serta limbah domestik dan pariwisata berpotensi menyebabkan pencemaran dan pendangkalan danau.
Penelitian oleh Ni Made Hegard Sukmawati dan rekan (2019) bertujuan untuk mengkaji kondisi kualitas air Danau Batur berdasarkan parameter fisikokimia dan National Sanitation Foundation Water Quality Index (NSF-WQI). Studi ini penting untuk memberikan gambaran menyeluruh mengenai kondisi air danau, sekaligus menjadi dasar pengelolaan dan konservasi sumber daya air yang berkelanjutan.
Sampling dan Parameter yang Diukur
Penelitian dilakukan pada bulan Juni 2018 dengan pengambilan sampel air di lima titik strategis yang dipilih secara purposif di sekitar dermaga danau, mewakili area akses, keramba ikan, kawasan pariwisata, area hijau, dan bagian tengah danau. Sampel disimpan dalam coolbox dan dianalisis kurang dari 24 jam setelah pengambilan.
Dua belas parameter kualitas air diukur, meliputi logam berat (tembaga, kadmium, timbal), ammonia, nitrat, biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), dissolved oxygen (DO), fosfat, pH, residu terlarut (TDS), dan temperatur. Parameter kimia dan koliform tinja dianalisis di laboratorium kesehatan provinsi, sedangkan parameter fisika diukur langsung di lokasi.
Selanjutnya, 9 parameter utama dianalisis menggunakan metode NSF-WQI, yaitu perubahan temperatur, pH, TSS, DO, BOD, fosfat, nitrat, kekeruhan, dan koliform tinja. Hasil pengukuran dibandingkan dengan baku mutu air kelas I menurut Peraturan Gubernur Bali No. 16 Tahun 2016.
Hasil Penelitian: Kondisi Kualitas Air Danau Batur
Parameter Fisikokimia
NSF-WQI dan Interpretasi Kualitas Air
Berdasarkan perhitungan NSF-WQI yang mengintegrasikan sembilan parameter utama, nilai indeks kualitas air Danau Batur adalah 82, yang dikategorikan sebagai baik. Namun, terdapat dua parameter penting yang memiliki skor di bawah 60, yaitu fosfat (57) dan residu terlarut (20), yang menandakan perlunya perbaikan khusus pada aspek nutrien dan kandungan padatan terlarut.
Studi Kasus: Dampak Aktivitas Domestik, Pertanian, dan Perikanan terhadap Kualitas Air
Aktivitas domestik, pertanian, dan perikanan di sekitar Danau Batur menjadi sumber utama pencemaran yang menyebabkan tingginya nilai residu terlarut, COD, dan fosfat. Misalnya, penggunaan pestisida dan pupuk anorganik di area pertanian hilir dan limbah domestik dari pemukiman serta aktivitas budidaya ikan keramba jaring apung berkontribusi terhadap peningkatan nutrien dan bahan organik.
Fenomena ini mengindikasikan bahwa meskipun secara umum kualitas air masih baik, tekanan pencemaran dari aktivitas manusia telah mulai mengancam keseimbangan ekosistem danau. Kondisi ini berpotensi memicu eutrofikasi yang dapat menurunkan kualitas air dan mengganggu keberlanjutan fungsi danau sebagai sumber air dan habitat.
Analisis dan Perbandingan dengan Penelitian Lain
Penelitian ini sejalan dengan temuan Purnamawati dan Arthana (2019) yang melaporkan tingginya kandungan fosfat di Danau Buyan, Bali, akibat aktivitas budidaya ikan. Tingginya fosfat dan COD merupakan indikator umum pencemaran nutrien dan bahan organik di danau-danau yang mengalami tekanan antropogenik.
Dibandingkan dengan standar internasional, nilai COD Danau Batur jauh melebihi batas yang direkomendasikan oleh American Public Health Association (≤2 mg/L) untuk air minum, menunjukkan perlunya pengelolaan limbah yang lebih efektif.
Tren global dalam pengelolaan kualitas air danau menekankan pentingnya pengurangan beban nutrien, pengelolaan limbah domestik dan pertanian, serta konservasi ekosistem perairan untuk mencegah degradasi kualitas air dan menjaga fungsi ekologis.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Sumber:
Sukmawati, N.M.H., Pratiwi, A.E., & Rusni, N.W. (2019). Kualitas Air Danau Batur Berdasarkan Parameter Fisikokimia dan NSFWQI. Wicaksana: Jurnal Lingkungan & Pembangunan, Vol. 3 No. 2, 53-60. ISSN 2597-7555.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025
Peran dan Tantangan Kualitas Air Danau Kandung Suli
Danau Kandung Suli merupakan sumber air utama bagi masyarakat setempat yang dimanfaatkan secara langsung untuk keperluan domestik seperti mandi dan mencuci, serta untuk budidaya ikan menggunakan keramba jaring apung. Namun, aktivitas domestik dan budidaya ikan yang terus berlangsung berpotensi menurunkan kualitas air danau. Penelitian oleh Lailial Muthifah dkk. (2018) ini bertujuan mengkaji kualitas air Danau Kandung Suli dengan menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) dan membandingkannya dengan baku mutu air menurut Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001.
Penelitian ini penting karena kualitas air yang menurun dapat berdampak buruk tidak hanya pada kesehatan masyarakat, tetapi juga pada produktivitas budidaya ikan yang menjadi sumber penghidupan utama warga sekitar.
Pengambilan Sampel dan Parameter Kualitas Air
Penelitian dilakukan pada tanggal 30 Juli 2017 dengan pengambilan sampel air secara grab sampling di lima titik strategis di Danau Kandung Suli. Titik-titik tersebut dipilih berdasarkan karakteristik lingkungan, yaitu inlet sungai, lokasi pemukiman, sekitar keramba ikan, dan kondisi alami air danau sebagai kontrol.
Pengambilan sampel dilakukan di kedalaman 0,5 meter dari permukaan dan 0,5 meter dari dasar untuk mendapatkan sampel komposit yang representatif. Parameter yang diukur secara in situ meliputi suhu, pH, kecerahan, total dissolved solids (TDS), dan dissolved oxygen (DO). Sedangkan parameter yang dianalisis di laboratorium adalah biochemical oxygen demand (BOD), chemical oxygen demand (COD), total suspended solids (TSS), fosfat, dan nitrat.
Data yang diperoleh kemudian dibandingkan dengan baku mutu kelas II sesuai PP No. 82 Tahun 2001 untuk mengetahui tingkat pencemaran dan kualitas air danau.
Hasil Penelitian: Kondisi Fisik dan Kimia Air Danau Kandung Suli
Suhu dan Kecerahan
Suhu air di lima titik pengamatan berkisar antara 28°C hingga 31°C, dengan titik 4 (lokasi keramba dan pemukiman) menunjukkan suhu tertinggi 31°C. Suhu ini masih sesuai dengan rentang ideal untuk kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya (25–32°C).
Nilai kecerahan air berada di antara 0,66 hingga 0,86 meter, dengan titik 4 memiliki kecerahan terendah (0,66 m). Penurunan kecerahan ini disebabkan oleh aktivitas budidaya ikan yang menghasilkan sisa pakan dan limbah organik yang meningkatkan kekeruhan air. Sebagai perbandingan, tingkat kecerahan ideal untuk perairan danau adalah sekitar 2 meter, sehingga kondisi ini menunjukkan penurunan kualitas visual dan potensi gangguan fotosintesis fitoplankton.
pH dan Dissolved Oxygen (DO)
Nilai pH berkisar antara 5,9 hingga 6,9, dengan titik 4 menunjukkan pH terendah 5,9, sedikit di bawah batas baku mutu kelas II (6–9). Penurunan pH ini diduga akibat masuknya senyawa organik dan anorganik dari aktivitas domestik dan budidaya ikan.
Kadar DO bervariasi antara 2,92 mg/L hingga 5,42 mg/L. Titik 3 dan 4 menunjukkan nilai DO yang lebih rendah, yaitu 3,2 mg/L dan 2,92 mg/L, di bawah batas baku mutu 4 mg/L. Rendahnya DO ini mengindikasikan tekanan pencemaran organik yang tinggi, di mana mikroorganisme menggunakan oksigen untuk menguraikan bahan organik dari limbah domestik dan sisa pakan ikan.
BOD dan COD
Nilai BOD di titik 3 dan 4 masing-masing sebesar 3,34 mg/L dan 3,9 mg/L telah melebihi batas baku mutu kelas II (3 mg/L). Tingginya BOD menunjukkan tingginya kandungan bahan organik yang memerlukan oksigen untuk terdegradasi.
Sementara itu, nilai COD pada titik yang sama juga meningkat, yaitu 25,12 mg/L dan 25,20 mg/L, sedikit melebihi batas baku mutu kelas II (25 mg/L). Peningkatan COD ini terkait dengan akumulasi bahan organik yang sulit terurai secara biologis akibat limbah domestik dan aktivitas budidaya ikan.
TSS dan TDS
Kadar total suspended solids (TSS) pada titik 4 mencapai 50,10 mg/L, sedikit melebihi batas baku mutu kelas II (50 mg/L). Peningkatan TSS ini disebabkan oleh sisa pakan ikan dan aktivitas rumah tangga yang menyebabkan peningkatan partikel tersuspensi dalam air.
Total dissolved solids (TDS) berkisar antara 594,8 mg/L hingga 950 mg/L, masih dalam batas aman menurut baku mutu kelas II (maksimum 1000 mg/L). Namun, nilai TDS yang lebih tinggi pada titik 3 dan 4 menunjukkan akumulasi bahan terlarut dari aktivitas manusia di sekitar danau.
Fosfat dan Nitrat
Konsentrasi fosfat berada di rentang 0,1 mg/L hingga 0,28 mg/L, dengan titik 3 dan 4 menunjukkan nilai tertinggi yang melebihi batas baku mutu kelas II (0,2 mg/L). Fosfat yang tinggi ini berasal dari limbah domestik seperti deterjen dan sisa pakan ikan yang tidak termakan.
Kadar nitrat berkisar antara 5,97 mg/L hingga 9,8 mg/L, masih di bawah batas baku mutu kelas II (10 mg/L), namun titik 4 menunjukkan peningkatan signifikan (9,8 mg/L) akibat aktivitas budidaya ikan yang menghasilkan limbah nitrogen.
Studi Kasus: Dampak Budidaya Ikan Keramba terhadap Kualitas Air
Titik 4 di Danau Kandung Suli merupakan lokasi dengan aktivitas budidaya ikan keramba dan pemukiman penduduk yang paling intensif. Di lokasi ini, hampir semua parameter kualitas air menunjukkan penurunan kualitas, seperti suhu tertinggi (31°C), pH terendah (5,9), DO terendah (2,92 mg/L), BOD dan COD yang melebihi baku mutu, serta peningkatan TSS, fosfat, dan nitrat.
Sisa pakan ikan yang tidak termakan, limbah metabolisme ikan, dan limbah domestik yang langsung dibuang ke danau menjadi sumber utama pencemaran. Kondisi ini menyebabkan penurunan kecerahan air dan penurunan kadar oksigen terlarut yang berpotensi mengancam kelangsungan hidup ikan dan organisme air lainnya.
Fenomena ini sejalan dengan temuan penelitian lain yang menunjukkan bahwa budidaya ikan intensif tanpa pengelolaan limbah yang baik dapat meningkatkan pencemaran organik dan nutrien di perairan, sehingga memicu eutrofikasi dan penurunan kualitas air.
Analisis dan Opini: Implikasi dan Upaya Pengelolaan
Penelitian ini memberikan gambaran jelas bahwa aktivitas domestik dan budidaya ikan di Danau Kandung Suli telah menurunkan kualitas air, terutama di sekitar lokasi keramba. Penurunan kualitas ini dapat berdampak negatif pada kesehatan masyarakat yang menggunakan air danau secara langsung serta menurunkan produktivitas budidaya ikan.
Dalam konteks pengelolaan sumber daya air, hasil ini menegaskan pentingnya penerapan pengelolaan limbah domestik dan budidaya yang terintegrasi, termasuk:
Pendekatan ini sejalan dengan tren global pengelolaan perairan yang berkelanjutan dan ramah lingkungan, serta mendukung tujuan pembangunan berkelanjutan terkait air bersih dan sanitasi.
Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian, beberapa parameter kualitas air di Danau Kandung Suli telah melampaui baku mutu kelas II PP No. 82 Tahun 2001, antara lain:
Sumber utama pencemaran berasal dari aktivitas domestik dan budidaya ikan keramba yang menghasilkan limbah organik dan nutrien tinggi. Penurunan kualitas air ini perlu mendapat perhatian serius untuk menjaga keberlanjutan fungsi danau sebagai sumber air dan budidaya ikan.
Sumber:
Lailial Muthifah, Nurhayati, Kiki Prio Utomo. (2018). Analisis Kualitas Air Danau Kandung Suli Kecamatan Jongkong Kabupaten Kapuas Hulu. Jurnal Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Universitas Tanjungpura, Pontianak.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025
Sungai Pesanggrahan dan Tantangan Kualitas Air Perkotaan
Sungai Pesanggrahan yang mengalir dari Kabupaten Bogor, Kota Depok, hingga wilayah Jakarta Selatan, Barat, dan Utara, memiliki peranan strategis sebagai sumber air dan ekosistem pendukung kehidupan masyarakat di sekitarnya. Namun, aktivitas manusia yang intensif di sepanjang aliran sungai, seperti permukiman padat, industri, dan lahan terbuka, berkontribusi pada peningkatan beban pencemaran air. Kondisi ini menyebabkan penurunan kualitas air yang berpotensi mengganggu fungsi ekologis dan pemanfaatan air untuk perikanan serta kebutuhan domestik.
Penelitian oleh Djoharam dkk. (2018) bertujuan menganalisis kualitas air Sungai Pesanggrahan berdasarkan parameter fisika dan kimia serta menghitung daya tampung beban pencemaran sungai. Studi ini penting untuk memberikan gambaran kondisi kualitas air terkini dan menjadi dasar pengelolaan sumber daya air yang berkelanjutan di wilayah metropolitan DKI Jakarta.
Sampling dan Analisis Parameter Kualitas Air
Penelitian dilakukan pada bulan April 2015 dengan pengambilan sampel di delapan titik strategis sepanjang Sungai Pesanggrahan yang mewakili berbagai kondisi penggunaan lahan dan potensi sumber pencemar. Parameter yang dianalisis meliputi 5 parameter fisika (suhu, daya hantar listrik, TDS, TSS, dan DO) dan 13 parameter kimia (pH, merkuri, mangan, nikel, total fosfat, seng, sulfat, tembaga, minyak dan lemak, senyawa aktif biru metilen, organik, BOD, dan COD).
Data hasil pengukuran dibandingkan dengan baku mutu air kelas II berdasarkan Peraturan Pemerintah No. 82 Tahun 2001 dan baku mutu Golongan C menurut Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 582 Tahun 1995. Penentuan status mutu air menggunakan metode Indeks Pencemaran (IP) yang mengkategorikan kondisi mutu air dari baik hingga cemar berat.
Hasil dan Pembahasan: Penurunan Kualitas Air dari Hulu ke Hilir
Parameter Fisika dan Kimia
Status Mutu Air dan Indeks Pencemaran
Berdasarkan Indeks Pencemaran (IP), sebagian besar titik sampling menunjukkan status cemar ringan dengan nilai IP antara 1,1 hingga 4,9. Titik P4 yang merupakan kawasan permukiman padat dan lahan terbuka mengalami cemar sedang dengan IP 6,1 berdasarkan baku mutu kelas II. Jika menggunakan baku mutu Golongan C, semua titik sudah tercemar ringan.
Penurunan kualitas air dari hulu ke hilir terutama disebabkan oleh peningkatan beban limbah domestik dan industri rumah tangga, serta limpasan tanah terbuka yang meningkatkan TSS. Penurunan DO dan peningkatan BOD serta COD mengindikasikan pencemaran organik yang membebani ekosistem sungai.
Studi Kasus: Beban Pencemaran dan Daya Tampung Sungai Pesanggrahan
Analisis daya tampung beban pencemaran menunjukkan bahwa Sungai Pesanggrahan telah melampaui kapasitasnya untuk menampung beban BOD dan TSS berdasarkan baku mutu kelas II. Beban pencemaran BOD tercatat sebesar 87,915 kg/hari, sedangkan daya tampung hanya 40,617 kg/hari, sehingga diperlukan pengurangan beban sebesar 47,298 kg/hari untuk mengembalikan kualitas air. Untuk TSS, beban pencemaran mencapai 1.125.032 kg/hari, jauh melebihi daya tampung 676.944 kg/hari, sehingga perlu pengurangan signifikan sebesar 448.088 kg/hari.
Namun, berdasarkan baku mutu Golongan C, sungai masih mampu menampung beban pencemaran BOD, COD, dan TSS, yang menandakan perbedaan standar pengelolaan antara regulasi nasional dan daerah.
Opini dan Relevansi dengan Tren Pengelolaan Lingkungan
Penelitian ini menggambarkan tantangan pengelolaan kualitas air di sungai perkotaan yang menghadapi tekanan aktivitas manusia yang terus meningkat. Kondisi Sungai Pesanggrahan yang tercemar ringan hingga sedang mengindikasikan perlunya intervensi pengurangan beban pencemaran, terutama dari limbah domestik dan sedimentasi.
Dibandingkan dengan penelitian lain di sungai perkotaan seperti Ciliwung dan Cisadane, pola penurunan kualitas air dari hulu ke hilir dan dominasi pencemaran organik serta padatan tersuspensi menjadi masalah umum yang memerlukan pendekatan terpadu. Pengelolaan berbasis DAS (Daerah Aliran Sungai) dengan keterlibatan masyarakat, pengembangan IPAL komunal, dan pengawasan limbah industri rumah tangga menjadi solusi yang relevan.
Tren global dalam pengelolaan sumber daya air menekankan pentingnya pengendalian pencemaran dan pemulihan kualitas air untuk mendukung ekosistem dan kesehatan masyarakat. Penelitian ini memberikan data empiris yang dapat menjadi dasar kebijakan dan program pengelolaan sungai di wilayah metropolitan Jakarta.
Kesimpulan
Sumber:
Djoharama, V., Riani, E., & Yani, M. (2018). Analisis Kualitas Air dan Daya Tampung Beban Pencemaran Sungai Pesanggrahan di Wilayah Provinsi DKI Jakarta. Jurnal Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, 8(1), 127-133.
Sumber Daya Air
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 11 Juni 2025
Pentingnya Monitoring Kualitas Air Sungai Karang Mumus
Sungai Karang Mumus yang membelah Kota Samarinda, Kalimantan Timur, merupakan sumber daya air vital bagi kehidupan masyarakat dan aktivitas ekonomi di sekitarnya. Sungai ini tidak hanya berfungsi sebagai sumber air baku, tetapi juga menjadi tempat aktivitas industri rumahan seperti tahu dan tempe, pertanian, peternakan, pasar, serta permukiman padat di bantaran sungai. Namun, aktivitas tersebut berkontribusi terhadap penurunan kualitas air sungai yang berdampak pada kesehatan masyarakat sekitar.
Penelitian oleh Pramaningsih et al. (2023) bertujuan untuk menghitung Indeks Kualitas Air (IKA) Sungai Karang Mumus dari hulu hingga hilir dan mengkaji dampaknya terhadap kesehatan masyarakat yang tinggal di bantaran sungai. Kajian ini penting karena kualitas air sungai yang buruk dapat menyebabkan berbagai penyakit, terutama yang berhubungan dengan sanitasi dan bakteri patogen.
Pendekatan Kuantitatif dan Sampling Strategis
Penelitian menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan kuantitatif untuk mengukur status mutu air berdasarkan parameter fisika, kimia, dan bakteriologis. Sampel air diambil di delapan titik strategis mulai dari hulu (Tanah Datar) hingga hilir (Jembatan Arif Rahman Hakim), dengan metode purposive sampling untuk memilih lokasi yang mewakili kondisi sungai dan potensi sumber pencemar.
Parameter yang diukur meliputi pH, oksigen terlarut (DO), kebutuhan oksigen biologi (BOD), kebutuhan oksigen kimiawi (COD), total padatan tersuspensi (TSS), nitrat (NO3-N), total fosfat (T-Phosphat), dan fecal coliform (Fecal Coli). Selain itu, dilakukan wawancara terhadap 64 responden yang tinggal di bantaran sungai untuk mengidentifikasi dampak kesehatan yang dialami terkait penggunaan air sungai.
Status Mutu Air Sungai Karang Mumus dan Indeks Kualitas Air
Hasil pengukuran kualitas air menunjukkan variasi yang cukup signifikan sepanjang aliran sungai. Bagian hulu sungai (Tanah Datar) memiliki status mutu air yang tergolong baik dengan Indeks Pencemaran (IP) sebesar 0,82, memenuhi standar kualitas air kelas II (pH 4, TSS 47 mg/L, DO 4,25 mg/L, BOD 1,26 mg/L, COD 25,55 mg/L, nitrat 0,097 mg/L, fosfat 0,098 mg/L, fecal coliform 124 MPN/100 ml).
Namun, seiring aliran sungai ke bagian tengah dan hilir, status mutu air menurun menjadi cemar ringan hingga cemar berat. Contohnya, di Jembatan Perniagaan, IP mencapai 10,5, menunjukkan pencemaran berat dengan parameter yang melampaui baku mutu, seperti TSS 346,5 mg/L (batas 50 mg/L), DO 2,1 mg/L (batas minimum 4 mg/L), BOD 1,56 mg/L (batas 3 mg/L), COD 44,96 mg/L (batas 25 mg/L), dan fecal coliform sangat tinggi 505.820 MPN/100 ml (batas 1000 MPN/100 ml). Kondisi ini menunjukkan adanya beban pencemaran yang signifikan, terutama dari limbah domestik dan industri rumahan.
Secara keseluruhan, perhitungan Indeks Kualitas Air (IKA) Sungai Karang Mumus menunjukkan hasil 37,5 yang masuk kategori "kurang" menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. 27 Tahun 2021. Dari delapan titik pengambilan sampel, hanya satu titik yang memenuhi syarat, dua titik cemar ringan, empat titik cemar sedang, dan satu titik cemar berat.
Studi Kasus: Dampak Kesehatan Masyarakat di Bantaran Sungai
Wawancara dengan 64 warga yang tinggal di bantaran Sungai Karang Mumus mengungkapkan dampak kesehatan yang signifikan akibat penggunaan air sungai yang tercemar. Sekitar 23,44% (15 orang) menderita diare, 6,25% (4 orang) mengalami disentri, dan 70,31% (45 orang) mengalami iritasi kulit. Penyakit diare dan disentri umumnya disebabkan oleh kontaminasi bakteri fecal coliform yang ditemukan dalam konsentrasi tinggi di beberapa titik sungai, terutama di hilir.
Iritasi kulit yang tinggi dikaitkan dengan kondisi sanitasi lingkungan yang buruk dan perilaku hidup bersih yang belum optimal. Banyak warga masih melakukan aktivitas mandi, cuci, dan kakus (MCK) langsung menggunakan air sungai tanpa pengolahan, sehingga risiko kontak dengan air tercemar sangat tinggi. Kondisi ini diperparah oleh kurangnya fasilitas sanitasi yang memadai dan pembuangan limbah domestik langsung ke sungai.
Analisis dan Diskusi: Faktor Penyebab dan Implikasi Kualitas Air
Penurunan kualitas air Sungai Karang Mumus terutama disebabkan oleh aktivitas manusia di bantaran sungai, seperti pembuangan limbah rumah tangga, limbah industri tahu dan tempe, pasar, rumah pemotongan hewan, serta kepadatan pemukiman. Parameter BOD dan COD yang tinggi menandakan tingginya bahan organik yang membebani oksigen terlarut di sungai, sehingga mengganggu ekosistem perairan.
Konsentrasi fecal coliform yang sangat tinggi di beberapa titik menunjukkan pencemaran biologis yang serius, yang berisiko menularkan penyakit berbasis air (waterborne diseases) seperti diare dan disentri. Hal ini sejalan dengan temuan penelitian lain yang menunjukkan korelasi erat antara kualitas air yang buruk dan kejadian penyakit di masyarakat bantaran sungai.
Selain itu, fenomena backwater dari Sungai Mahakam yang mempengaruhi aliran Sungai Karang Mumus pada waktu pasang surut juga berkontribusi pada akumulasi polutan di hilir. Kondisi ini memerlukan perhatian khusus dalam pengelolaan sungai agar pencemaran tidak semakin parah.
Nilai Tambah dan Hubungan dengan Tren Pengelolaan Lingkungan
Penelitian ini memberikan gambaran komprehensif mengenai hubungan antara kualitas air sungai dan kesehatan masyarakat di daerah perkotaan dengan aktivitas padat. Hal ini relevan dengan tren global pengelolaan sumber daya air yang mengedepankan prinsip pengelolaan terpadu dan partisipasi masyarakat.
Strategi pengendalian pencemaran yang diusulkan meliputi pengurangan beban pencemaran melalui pengelolaan limbah domestik dan industri, peningkatan fasilitas sanitasi seperti Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) komunal, serta edukasi masyarakat untuk menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS). Pendekatan ini sejalan dengan Sustainable Development Goals (SDGs) terkait air bersih dan sanitasi (Goal 6) serta kesehatan masyarakat (Goal 3).
Kesimpulan dan Rekomendasi
Penelitian ini menjadi dasar penting bagi pengambil kebijakan dan pengelola lingkungan untuk merancang program pengendalian pencemaran air yang efektif dan berkelanjutan di Sungai Karang Mumus dan daerah serupa.
Sumber:
Pramaningsih, V., Yuliawati, R., Sukisman, S., Hansen, H., Suhelmi, R., & Daramusseng, A. (2023). Indek Kualitas Air dan Dampak terhadap Kesehatan Masyarakat Sekitar Sungai Karang Mumus, Samarinda. Jurnal Kesehatan Lingkungan Indonesia, 22(3), 313–319.