Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 08 Juli 2025
Pendahuluan: Krisis Air dan Peran Masyarakat Kota
Kota Jakarta menghadapi tantangan ganda dalam pengelolaan sumber daya air: meningkatnya permintaan akibat urbanisasi dan ancaman iklim berupa banjir serta kekeringan ekstrem. Studi ini berfokus pada bagaimana kapasitas komunitas dapat menjadi kekuatan dalam konservasi sumber daya air di kawasan danau buatan sebagai bagian dari program normalisasi sungai.
Dalam konteks ini, aksi kolektif, pemberdayaan masyarakat, dan visi bersama dievaluasi sebagai faktor utama dalam membentuk kapasitas komunitas dalam konservasi air, khususnya di sekitar Danau Kampung Bintaro dan Danau Cavalio.
Tujuan Penelitian
Metodologi: Kuantitatif dan Berbasis Lokasi
Penelitian ini menggunakan desain kausal dengan pendekatan kuantitatif. Data dikumpulkan dari 300 responden melalui kuesioner di 4 klaster lokasi:
Analisis dilakukan dengan Principal Component Analysis (PCA) dan regresi linier berganda untuk mengevaluasi hubungan variabel.
Profil Sosial Ekonomi Responden
Hasil Utama: Analisis Tiga Pilar Kapasitas Komunitas
1. Aksi Kolektif
Aksi kolektif terbukti sangat berpengaruh di Klaster 1, dengan skor loading tinggi untuk indikator seperti:
Klaster 4 menunjukkan tingkat kepercayaan sosial yang rendah, diduga karena banyaknya penduduk baru yang belum membentuk ikatan sosial kuat.
Data Regresi:
2. Pemberdayaan Masyarakat
Indikator yang dominan berbeda antar klaster:
Menariknya, Klaster 4 yang sebelumnya kurang memiliki aksi kolektif ternyata menunjukkan pemberdayaan paling signifikan terhadap kapasitas komunitas.
Data Regresi:
3. Visi Bersama
Seluruh klaster menunjukkan pergeseran visi bersama dari ketakutan banjir ke kekhawatiran akan kelangkaan air bersih. Faktor utama meliputi:
Data Regresi:
Analisis Perbandingan Antar Klaster
Klaster 1:
Didominasi warga asli yang memiliki ikatan sosial kuat. Kombinasi aksi kolektif dan visi bersama menjadi pendorong utama kapasitas komunitas. Pengalaman banjir memunculkan kesadaran kolektif untuk perubahan.
Klaster 2:
Komunitas heterogen dengan keberadaan kelompok petani yang aktif dalam konservasi danau. Meskipun aksi kolektif tak signifikan, peran petani menonjol dalam pemberdayaan lokal.
Klaster 3:
Berada di dataran tinggi dan tidak terdampak banjir, namun tetap menunjukkan keterikatan sosial yang tinggi. Sayangnya, kurangnya waktu sosial akibat jarak kerja menurunkan semangat gotong royong.
Klaster 4:
Area dengan tingkat ekonomi lebih rendah dan banyak penduduk baru, menyebabkan jaringan sosial lemah. Namun, kesadaran akan peran individu terhadap kualitas air mendorong pemberdayaan dan visi bersama sebagai faktor dominan.
Diskusi: Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Berbeda dari studi Brinkman (2012) di DAS Kaskaskia, AS, yang menunjukkan pemberdayaan sebagai faktor paling signifikan, penelitian ini menemukan variasi antar lokasi. Tidak ada satu pendekatan tunggal yang berlaku universal.
Penelitian ini juga menegaskan teori Mishra et al. (2010), bahwa ikatan emosional dengan tempat tinggal meningkatkan kesiapan komunitas dalam menghadapi bencana dan perubahan lingkungan.
Implikasi Praktis: Strategi untuk Pemerintah dan LSM
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa penguatan kapasitas komunitas untuk konservasi sumber daya air tidak bisa diseragamkan. Perbedaan sosial, ekonomi, dan historis setiap wilayah menciptakan jalur yang unik menuju partisipasi aktif.
Dengan memahami dimensi aksi kolektif, pemberdayaan, dan visi bersama, pengambil kebijakan dan pengelola lingkungan dapat merancang strategi yang lebih tepat sasaran—khususnya untuk kota-kota besar seperti Jakarta yang rentan terhadap krisis air.
Sumber:
W. Mahanani dan Chotib. The influence of collective action, community empowerment, and shared vision to the community capacity in urban water resource conservation. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science, Vol. 200 (2018), 012040. DOI: 10.1088/1755-1315/200/1/012040
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 08 Juli 2025
Pendahuluan: Tantangan Pengelolaan Air di Negara Kering
Afrika Selatan dikenal sebagai negara dengan tekanan air tinggi dan curah hujan rata-rata hanya 450 mm per tahun—sekitar 60% dari rata-rata global. Di tengah urbanisasi, perubahan iklim, dan pertumbuhan populasi, tantangan dalam pengelolaan air menjadi semakin kompleks. Khususnya di Dam Roodeplaat (RD), yang terletak 24 km dari Kota Tshwane, kualitas air memburuk akibat eutrofikasi parah yang disebabkan oleh alga, cyanobacteria, dan enceng gondok.
Namun, manajemen teknis semata tidak cukup. Studi ini menggali bagaimana masyarakat memandang, merespons, dan ikut serta dalam pengelolaan air di wilayah mereka—sebuah pendekatan berbasis komunitas yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari Integrated Water Resource Management (IWRM).
Metodologi dan Lokasi Penelitian
Dam Roodeplaat terletak di Gauteng Province dengan luas tangkapan air 690 km² dan kapasitas 41,9 juta m³. Survei dilakukan pada 149 responden dari komunitas sekitar seperti Eersterus, Derdepoort, Mamelodi East dan West, serta Sable Hills Estate. Metode pengumpulan data mencakup wawancara tatap muka dan survei daring menggunakan skala Likert dan analisis statistik berbasis model regresi di software R.
Hasil Utama: Hubungan Demografi dengan Persepsi Air
1. Persepsi Kualitas Air dan Tingkat Pendidikan
Data menunjukkan hubungan negatif antara tingkat pendidikan dan persepsi kualitas air: semakin tinggi pendidikan, semakin besar kemungkinan seseorang menilai air sebagai “sangat buruk”.
Interpretasi: orang terdidik lebih sadar akan bahaya pencemaran dan lebih kritis terhadap pengelolaan kualitas air.
2. Kepuasan Manajemen dan Status Pekerjaan
Pekerjaan menjadi variabel yang paling memengaruhi tingkat kepuasan terhadap pengelolaan:
Orang yang bekerja cenderung lebih tidak puas terhadap kinerja manajemen air dibanding pengangguran—mereka merasa ekspektasi tidak terpenuhi.
3. Gender, Pendidikan, dan Efek Air terhadap Komunitas
Laki-laki lebih cenderung percaya bahwa kualitas air berdampak pada komunitas:
Namun, hubungan ini hilang jika dikoreksi dengan asal tempat tinggal, menunjukkan pentingnya konteks lokal dalam menilai persepsi risiko.
Partisipasi dan Interaksi Masyarakat dalam Pengelolaan Air
4. Tingkat Keterlibatan: Pengaruh Etnisitas
Data menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam pengelolaan air lebih banyak dilakukan komunitas kulit putih:
Mereka terlibat dalam kegiatan seperti pembersihan eceng gondok secara manual dan kegiatan kebersihan sungai. Sebaliknya, komunitas kulit hitam dan coloured lebih pasif, sebagian besar karena tidak mendapat insentif.
5. Pola Penggunaan Air Berdasarkan Etnis
Statistik menunjukkan korelasi signifikan antara etnis dan pola pemanfaatan air:
Namun, hubungan ini hilang saat dikoreksi untuk area tempat tinggal, menandakan pentingnya pengaruh lokasi pada perilaku masyarakat.
Studi Banding & Relevansi Global
Temuan ini sejalan dengan studi serupa:
Rekomendasi Strategis dari Penelitian
1. Edukasi Berbasis Komunitas
Tingkatkan kesadaran tentang pencemaran air, mulai dari sekolah hingga program pelatihan masyarakat.
2. Keterlibatan Multi-Level
Kolaborasi antara komunitas lokal, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil penting untuk membangun trust.
3. Pendekatan Bottom-Up
Desain ulang rencana pengelolaan air dengan melibatkan suara warga sejak tahap perencanaan, bukan sekadar pelaksana.
4. Diversifikasi Insentif
Berikan dukungan insentif (finansial atau non-finansial) untuk mendorong partisipasi masyarakat miskin atau pengangguran.
Kesimpulan: Menyatukan Sains dan Suara Warga
Studi ini menjadi bukti bahwa pengelolaan air tidak cukup hanya dengan solusi teknis—persepsi, budaya, dan partisipasi publik berperan vital. Pendekatan IWRM yang mengintegrasikan suara komunitas dapat mendorong pengelolaan air yang lebih inklusif dan berkelanjutan.
Dalam konteks global, studi ini menunjukkan pentingnya pengakuan terhadap keragaman demografis dan budaya dalam merancang strategi konservasi air. Model ini bisa direplikasi di negara-negara berkembang lainnya yang menghadapi tantangan serupa, dari Asia Tenggara hingga Amerika Latin.
Sumber:
Maruapula, K., Yessoufou, K. Y., & Modley, L. S. (2023). Community perceptions, participation, and satisfaction with existing Water Resource Management Plans: a case study of a polluted water system in South Africa. AQUA — Water Infrastructure, Ecosystems and Society, 72(8), 1373–1385. DOI: 10.2166/aqua.2023.208
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan: Mengapa Socio-Hydrology Hadir?
Perubahan besar dalam hubungan manusia dan air kini terjadi di seluruh dunia, didorong oleh pertumbuhan populasi, urbanisasi, perubahan tata guna lahan, serta teknologi dan kebijakan baru. Dulu, ilmu hidrologi hanya melihat air sebagai fenomena fisik yang dipengaruhi iklim, topografi, dan geologi. Namun, aktivitas manusia kini menjadi penggerak utama perubahan dalam siklus air—dari pengambilan air untuk pertanian, pembangunan bendungan, hingga polusi dan perubahan iklim buatan manusia. Semua ini menuntut paradigma baru dalam ilmu air.
Lahirnya Socio-Hydrology: Ilmu yang Menyatukan Manusia dan Air
Socio-hydrology muncul pada tahun 2012 sebagai respons atas kebutuhan memahami bagaimana sistem sosial dan hidrologi saling berinteraksi dan berevolusi bersama (co-evolution). Ilmu ini menyoroti betapa keputusan sosial, ekonomi, dan budaya manusia berdampak langsung pada siklus hidrologi, dan sebaliknya, perubahan dalam sistem air juga membentuk perilaku, kebijakan, dan ketahanan masyarakat1.
Socio-hydrology berbeda dari manajemen sumber daya air terintegrasi (IWRM) karena menempatkan manusia bukan sekadar pengguna atau pengelola air, melainkan bagian tak terpisahkan dari sistem air itu sendiri. Ilmu ini menuntut pemodelan dua arah: bagaimana aktivitas manusia memengaruhi air, dan bagaimana air memengaruhi masyarakat.
Sejarah dan Perkembangan Socio-Hydrology
Selama berabad-abad, hubungan manusia dan air telah berubah drastis. Populasi dunia naik dari 200 juta menjadi 7 miliar dalam dua milenium terakhir, dan intervensi manusia dalam siklus air semakin intens. Sungai-sungai yang dulunya alami kini diatur oleh bendungan, irigasi, dan kanal. Studi-studi klasik (Falkenmark, 1977; Vitousek et al., 1997) sudah lama mengakui adanya interaksi manusia-air, tetapi baru pada dekade terakhir, para ilmuwan mulai mengembangkan model kuantitatif untuk memahami feedback dan evolusi bersama ini1.
International Association of Hydrological Sciences (IAHS) bahkan menetapkan dekade 2013–2022 sebagai “Panta Rhei” (segala sesuatu mengalir), dengan fokus pada dinamika air dalam sistem sosial yang berubah cepat.
Konsep Utama: Interaksi, Feedback, dan Co-Evolution
Socio-hydrology menekankan tiga konsep kunci:
Studi Kasus: Socio-Hydrology dalam Aksi
1. Evolusi Pengelolaan Sungai di Asia Selatan
Penelitian Kandasamy et al. (2014) tentang Sungai Mahanadi di India menunjukkan bagaimana pembangunan bendungan dan irigasi besar-besaran meningkatkan produksi pangan, tetapi juga mengubah pola banjir dan kekeringan. Ketika masyarakat menjadi lebih “tahan” terhadap banjir, mereka justru memperluas permukiman ke dataran banjir, sehingga risiko bencana baru muncul saat infrastruktur gagal.
2. Urbanisasi dan Siklus Air di China
Studi Liu et al. (2015) mengamati kota-kota besar di China yang mengalami urbanisasi masif. Perubahan tata guna lahan mempercepat limpasan permukaan, meningkatkan risiko banjir perkotaan, dan menurunkan cadangan air tanah. Kebijakan pengelolaan air yang tidak adaptif justru memperburuk masalah.
3. Pengelolaan Air di Iran
Dalam konteks Iran, pembangunan irigasi dan bendungan untuk mendukung pertanian telah menyebabkan penurunan air tanah kronis dan degradasi lingkungan. Socio-hydrology mendorong pendekatan yang lebih adaptif dan partisipatif, dengan melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan dan monitoring1.
Angka dan Tren Global
Perbandingan dengan Pendekatan Lain
Integrated Water Resources Management (IWRM) menekankan koordinasi lintas sektor dan stakeholder, tetapi sering gagal menangkap dinamika sosial-budaya dan feedback jangka panjang. Socio-hydrology menawarkan pemodelan yang lebih dinamis, menggabungkan data sosial, ekonomi, dan fisik untuk prediksi dan kebijakan yang lebih adaptif.
Nilai Tambah dan Relevansi Industri
Kritik dan Tantangan
Hubungan dengan Tren Global dan Pembelajaran Digital
Socio-hydrology sangat relevan dengan transformasi digital di sektor air, di mana data spasial, sensor IoT, dan analitik big data memungkinkan pemantauan dan prediksi interaksi manusia-air secara real-time. Platform pembelajaran modern dapat mengintegrasikan konsep ini untuk membekali generasi baru pengelola sumber daya air yang adaptif dan kolaboratif.
Opini dan Rekomendasi
Socio-hydrology adalah paradigma masa depan dalam pengelolaan air. Ilmu ini menuntut keterbukaan lintas disiplin, inovasi teknologi, dan keterlibatan masyarakat. Untuk negara berkembang seperti Indonesia, adopsi socio-hydrology bisa memperkuat kebijakan air, mengurangi risiko bencana, dan meningkatkan ketahanan pangan serta energi.
Rekomendasi:
Kesimpulan
Socio-hydrology adalah terobosan penting yang menjembatani ilmu fisik dan sosial, memungkinkan pemahaman yang lebih utuh tentang hubungan manusia dan air. Dengan pendekatan ini, kebijakan dan teknologi pengelolaan air akan lebih adaptif, inklusif, dan berkelanjutan.
Sumber artikel (bahasa asli):
Gholizadeh-Sarabi, Sh., Ghahraman, B., & Shafiei, M. (2019). New Science of Socio-hydrology: In Search of Understanding Co-Evolution of Human and Water. Iran-Water Resources Research, Volume 14, No. 5, Winter 2019 (IR-WRR), 991–999.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan: Tantangan Banjir di Sub DAS Sadar
Banjir merupakan ancaman utama di banyak daerah aliran sungai di Indonesia, termasuk Sub DAS Sadar di Kabupaten Mojokerto. Kawasan ini menjadi perhatian karena tingkat kerawanan banjirnya yang tinggi, dipicu oleh intensitas hujan yang kerap menyebabkan kenaikan debit Sungai Sadar secara signifikan. Dampak banjir tidak hanya merugikan secara ekonomi, tetapi juga mengancam keselamatan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan. Oleh karena itu, diperlukan pendekatan ilmiah dan teknologi mutakhir untuk deteksi dini dan mitigasi risiko banjir.
Inovasi Analisis: Model HEC-HMS dan Integrasi SIG
Penelitian oleh Indra Nurdianyoto (2019) menawarkan solusi berbasis teknologi dengan menggabungkan model hidrologi HEC-HMS dan Sistem Informasi Geografis (SIG). HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center–Hydrologic Modeling System) adalah perangkat lunak yang mampu memodelkan respons hidrologi DAS terhadap hujan, sementara SIG memungkinkan pemetaan spasial yang detail untuk identifikasi daerah rawan banjir.
Langkah-langkah utama penelitian:
Studi Kasus: Sub DAS Sadar, Kabupaten Mojokerto
Sub DAS Sadar adalah bagian dari DAS Brantas yang melintasi Kabupaten/Kota Mojokerto. Daerah ini dikenal sangat rentan terhadap banjir akibat curah hujan tinggi dan perubahan penggunaan lahan yang pesat. Penelitian ini memanfaatkan data spasial dan hidrologi untuk:
Hasil Kalibrasi dan Validasi Model
Keandalan model HEC-HMS diuji dengan tiga parameter statistik utama:
Nilai-nilai tersebut menunjukkan bahwa model HEC-HMS cukup akurat dalam memprediksi respons debit banjir di Sub DAS Sadar, sehingga dapat diandalkan untuk simulasi dan perencanaan mitigasi risiko.
Faktor Penentu Kerawanan Banjir
Penelitian ini mengidentifikasi enam faktor utama yang memengaruhi tingkat kerawanan banjir:
Dengan mengintegrasikan faktor-faktor ini ke dalam analisis spasial, peneliti berhasil memetakan zona kerawanan banjir secara detail.
Distribusi Tingkat Kerawanan Banjir
Berdasarkan hasil pemetaan, luas wilayah Sub DAS Sadar terbagi dalam beberapa tingkat kerawanan:
Data ini menegaskan bahwa lebih dari setengah wilayah Sub DAS Sadar masuk kategori kerawanan tinggi, sehingga prioritas mitigasi harus difokuskan pada area ini.
Implikasi dan Manfaat Praktis
Model HEC-HMS yang telah terkalibrasi dan tervalidasi ini sangat bermanfaat untuk:
Perbandingan dengan Studi Lain
Jika dibandingkan dengan penelitian sejenis di DAS lain di Indonesia, pendekatan integratif antara HEC-HMS dan SIG terbukti lebih efektif dalam menghasilkan peta kerawanan yang presisi. Banyak studi sebelumnya hanya mengandalkan data historis tanpa pemodelan spasial, sehingga kurang akurat dalam prediksi lokasi dan skala banjir.
Kritik dan Saran Pengembangan
Meskipun hasil penelitian ini sangat baik, ada beberapa kritik dan saran:
Relevansi dengan Tren Industri dan Kebijakan
Penggunaan HEC-HMS dan SIG dalam pengelolaan banjir kini menjadi standar di banyak negara. Di Indonesia, tren ini sejalan dengan upaya digitalisasi pengelolaan sumber daya air dan integrasi data spasial dalam perencanaan wilayah. Pemerintah daerah yang mampu mengadopsi teknologi ini akan lebih siap menghadapi tantangan perubahan iklim dan urbanisasi pesat.
Opini dan Rekomendasi
Penelitian ini membuktikan bahwa integrasi model hidrologi dan analisis spasial adalah kunci dalam pengelolaan risiko banjir modern. Pemerintah daerah dan praktisi pengairan perlu:
Selain itu, kolaborasi antara akademisi, pemerintah, dan industri teknologi sangat penting untuk mempercepat adopsi dan pengembangan sistem deteksi dini banjir yang lebih canggih dan responsif.
Kesimpulan
Analisis banjir Sub DAS Sadar dengan HEC-HMS memberikan gambaran nyata bagaimana teknologi dapat digunakan untuk mitigasi bencana secara efektif. Penerapan model ini tidak hanya meningkatkan akurasi deteksi dini, tetapi juga memperkuat dasar pengambilan keputusan dalam pengelolaan sumber daya air dan pengurangan risiko bencana di tingkat lokal maupun nasional.
Sumber artikel (bahasa asli):
Nurdianyoto, I. (2019). Analisis Hujan – Debit Banjir Menggunakan Model HEC-HMS Sub DAS Sadar Kabupaten Mojokerto. Tesis Magister Teknik Pengairan, Universitas Brawijaya.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan: Pentingnya Manajemen Air Terintegrasi
Air adalah sumber daya vital yang menopang kehidupan dan ekosistem. Namun, pengelolaan air yang berkelanjutan semakin menantang akibat pertumbuhan penduduk, urbanisasi, dan perubahan iklim. Negara-negara Uni Eropa (UE) merespons tantangan ini dengan mengembangkan kebijakan air terintegrasi, menekankan keseimbangan antara ketersediaan dan permintaan sumber daya ekologi1. Finlandia menjadi contoh utama keberhasilan implementasi kebijakan ini, dengan kekayaan sumber air dan pendekatan inovatif dalam pengelolaannya.
Sejarah & Evolusi Kebijakan Air di Uni Eropa
Kebijakan air UE mengalami evolusi dalam tiga periode utama:
WFD tahun 2000 menargetkan perlindungan seluruh sumber air UE, baik dari segi kualitas maupun kuantitas, dengan standar yang seragam di seluruh negara anggota. Finlandia menjadi salah satu negara yang paling progresif dalam mengadopsi dan menerapkan kebijakan ini.
Studi Kasus: Finlandia, Negara dengan Sumber Air Melimpah
Finlandia menonjol dalam hal pengelolaan air karena:
Dengan populasi 5,38 juta dan kepadatan rata-rata 17 jiwa/km², Finlandia memiliki akses air bersih yang sangat baik. 90% penduduk terhubung ke jaringan distribusi air publik, dan lebih dari 80% dilayani sistem pengolahan limbah domestik1.
Inovasi Teknologi & Kebijakan Progresif
Sejak 1970-an, Finlandia telah menerapkan teknologi penginderaan jauh untuk memantau perubahan ekosistem dan kualitas air. Pendekatan ini memastikan bahwa kebijakan kehutanan, pertanian, dan tata ruang selalu mempertimbangkan keberlanjutan sumber air1.
Water Protection Program Finlandia, hasil kolaborasi berbagai kementerian dan lembaga, menetapkan target kuantitatif untuk perlindungan air di sektor pertanian, industri, dan perkotaan. Tujuan utamanya adalah mencegah atau mengurangi eutrofikasi, dan hasilnya terbukti: kualitas air meningkat signifikan bahkan di sekitar kawasan industri dan perkotaan1.
Angka-angka Kunci & Capaian
Studi Kasus: Implementasi River Basin Management Plans
Semua River Basin Management Plans Finlandia dipublikasikan pada 10 Desember 2009 dan dilaporkan ke Komisi UE pada 19 Maret 2010. Struktur dan pelaksanaannya mengikuti standar WFD, dengan penekanan pada partisipasi publik, pengawasan kualitas air, dan transparansi1.
Perbandingan dengan Negara Lain & Relevansi Global
Finlandia menempati posisi teratas dalam Water Poverty Index (WPI) di antara 147 negara, mengungguli negara-negara lain dalam kapasitas, akses, penggunaan, dan keberlanjutan ekologi air. Menurut laporan PBB dan World Water Council, Finlandia juga menduduki peringkat pertama dalam kualitas air di antara 122 negara1.
Kritik & Tantangan
Meski sukses, Finlandia menghadapi tantangan:
Hubungan dengan Tren Industri & Pembelajaran Global
Model Finlandia relevan dengan tren global:
Opini & Rekomendasi
Finlandia membuktikan bahwa kebijakan air terintegrasi yang berbasis data, kolaboratif, dan adaptif mampu menjaga keberlanjutan sumber daya alam sekaligus mendukung pertumbuhan ekonomi. Negara-negara lain, khususnya yang memiliki tantangan serupa (banyak danau, sungai, atau rentan polusi), dapat meniru pendekatan Finlandia dengan menyesuaikan pada konteks lokal.
Namun, penting bagi negara berkembang untuk memperhatikan kapasitas teknologi dan sumber daya manusia, serta memastikan partisipasi masyarakat dalam perencanaan dan pengawasan kebijakan air.
Sumber artikel (bahasa asli):
Filiz Karafak. (2018). Examination of Finland Integrated Water Management Sample of EU’s Hydro Political Approach for Sustainable Ecological Planning. ILIRIA International Review, Vol 8, No 1.
Sosiohidrologi
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 04 Juli 2025
Pendahuluan: SocioHydrology untuk Zaman Disrupsi
Dalam dekade terakhir, sociohydrology muncul sebagai pendekatan baru dalam studi interaksi masyarakat dan sistem air. Lebih dari sekadar konsep, pendekatan ini menantang paradigma tradisional dalam manajemen risiko bencana, khususnya bencana berbasis hidrologi seperti banjir dan kekeringan. Artikel dari Vanelli et al. (2022) yang menjadi sumber utama dalam tulisan ini mengupas secara sistematis sejauh mana sociohydrology benarbenar bersifat integratif—baik dari segi metode, skala, hingga keterlibatan lintas disiplin dan pemangku kepentingan. Ulasan ini akan merinci temuan kunci, mengangkat studi kasus menarik, serta menyandingkannya dengan perkembangan kontemporer dalam bidang kebencanaan.
Ketimpangan Fokus: Banjir Dominan, Kekeringan Terpinggirkan
Dalam tinjauan terhadap 44 artikel, Vanelli et al. menemukan bahwa 77,3% studi sociohydrology berfokus pada banjir, sementara kekeringan hanya mendapat porsi 11,4%. Ini amat disayangkan karena data dari EMDat (2021) menunjukkan bahwa kekeringan telah menewaskan 11,7 juta jiwa dan memengaruhi 2,7 miliar penduduk dari 1900 hingga 2018—angka yang bahkan lebih besar dari dampak banjir. Ketimpangan ini mengindikasikan tantangan metodologis dan kurangnya perhatian terhadap risiko bencana yang bersifat perlahan dan tersembunyi seperti kekeringan.
Lebih lanjut, dari studistudi tentang banjir, hanya 26,5% yang secara eksplisit menjelaskan jenis banjir (seperti banjir pesisir atau banjir bandang), memperlihatkan perlunya klasifikasi risiko yang lebih rinci untuk efektivitas mitigasi.
Skala Analisis yang Terpecah dan Kurang Terintegrasi
Sociohydrology sejatinya mengandalkan pendekatan multiskala. Namun dalam praktiknya, studi yang dianalisis justru memperlihatkan 86,4% menggunakan skala spasial sosial dan fisik yang berbeda, tanpa analisis lintasskala. Sebagai contoh, banyak penelitian yang menggunakan skala rumah tangga atau komunitas untuk komponen sosial, sementara aspek fisiknya dianalisis dalam skala DAS atau floodplain.
Studi yang menggabungkan dua jenis skala ini gagal mengeksplorasi interaksi antarskala, padahal menurut Soranno et al. (2014), crossscale feedbacks merupakan komponen penting dalam sistem kompleks. Tanpa pendekatan lintasskala, kita hanya melihat gambaran potonganpotongan dari keseluruhan sistem, bukan perilaku adaptif masyarakat terhadap dinamika air dari waktu ke waktu.
Komponen Sosial: Definisi Masih Kabur
Tinjauan menunjukkan bahwa bahkan setelah satu dekade berkembang, definisi tentang "komponen sosial" dalam sociohydrology masih belum ajeg. Lima artikel yang mengaku berlabel sociohydrology bahkan tidak menyertakan komponen sosial sama sekali. Ketika digunakan, variabel yang paling umum antara lain:
Namun, istilah seperti "risk awareness" dan "risk perception" sering dipakai secara sinonim, padahal memiliki perbedaan penting. Ini menunjukkan perlunya konseptualisasi sosial yang lebih tajam dan seragam dalam penelitian.
Metodologi: Masih Dominan Kuantitatif & Satu Arah
Studi menunjukkan bahwa 65,9% dari artikel menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan model empiris numerik sebagai teknik paling populer. Hanya 22,7% yang memakai pendekatan campuran, dan sisanya menggunakan teknik kualitatif seperti wawancara atau analisis naratif.
Contoh menarik datang dari studi oleh Shelton et al. (2018), yang menggabungkan data kualitatif dari game simulasi untuk validasi model agentbased. Sementara Koutiva et al. (2020) mengintegrasikan kuesioner dan workshop ke dalam desain model, memberikan bukti bahwa pendekatan transdisipliner bisa dilakukan, meski masih jarang.
Sayangnya, sebagian besar studi gagal menyatukan data kuantitatif dan kualitatif secara komplementer. Data kualitatif hanya dipakai sebagai latar, bukan sebagai sumber analitik utama yang bisa memperdalam pemahaman tentang dinamika sosial.
Minim Interdisiplin dan Partisipasi Stakeholder
Bukti kuat bahwa sociohydrology belum sepenuhnya bertransformasi secara integratif terlihat dari fakta berikut:
Sebaliknya, 75% studi multidisipliner melibatkan stakeholder, menunjukkan pentingnya kolaborasi lintas aktor dalam menghasilkan penelitian yang kredibel dan aplikatif.
Salah satu studi teladan adalah Basel et al. (2020), yang melibatkan pemimpin komunitas dalam penulisan artikel dan perumusan variabel sosial. Ini mencerminkan konsep coproduction of knowledge yang telah lama digaungkan dalam kerangka Sendai Framework untuk pengurangan risiko bencana.
Rekomendasi: Jalan ke Depan bagi SocioHydrology
Ulasan Vanelli et al. (2022) ditutup dengan menyusun agenda riset yang mencakup tujuh poin utama:
1. Memperluas kajian ke jenis bencana lain, khususnya kekeringan dan bencana gabungan.
2. Mengadopsi analisis lintasskala, baik temporal maupun spasial.
3. Menajamkan definisi dan komponen sosial, serta memperkuat keterkaitan kausal dengan sistem fisik.
4. Mendorong pendekatan campuran, termasuk integrasi antara data model dan data partisipatif.
5. Menguatkan interdisiplin dan transdisiplin, melalui keterlibatan pemangku kepentingan sejak awal desain studi.
6. Meningkatkan transparansi dan reproducibility, dengan pelaporan metode yang jelas sesuai prinsip FAIR.
7. Memperhatikan etika data sosial, terutama menyangkut privasi dan posisi peneliti.
Kesimpulan: Dari Hidrologi ke Harapan Baru
Sociohydrology masih dalam fase pertumbuhan dan pencarian jati diri. Artikel Vanelli et al. mengingatkan kita bahwa tanpa integrasi nyata antara ilmu sosial, ilmu alam, dan kebutuhan masyarakat, pendekatan ini berisiko menjadi hanya istilah baru tanpa nilai tambah. Namun dengan pergeseran ke arah pendekatan lintas skala, penggunaan data campuran, dan partisipasi pemangku kepentingan yang substansial, sociohydrology berpeluang menjadi pilar penting dalam pembangunan resiliensi berbasis bukti dan keadilan.
Di tengah krisis iklim, urbanisasi masif, dan kompleksitas risiko multibencana, sudah waktunya bagi pendekatan ini untuk tidak hanya menyatukan disiplin ilmu, tetapi juga mendengarkan suara masyarakat yang hidup bersama air, dengan segala berkah dan ancamannya.
Sumber Asli Artikel:
Vanelli, F. M., Kobiyama, M., & de Brito, M. M. (2022). To which extent are sociohydrology studies truly integrative? The case of natural hazards and disaster research. Hydrology and Earth System Sciences, 26, 2301–2317