Pendahuluan: Krisis Air dan Peran Masyarakat Kota
Kota Jakarta menghadapi tantangan ganda dalam pengelolaan sumber daya air: meningkatnya permintaan akibat urbanisasi dan ancaman iklim berupa banjir serta kekeringan ekstrem. Studi ini berfokus pada bagaimana kapasitas komunitas dapat menjadi kekuatan dalam konservasi sumber daya air di kawasan danau buatan sebagai bagian dari program normalisasi sungai.
Dalam konteks ini, aksi kolektif, pemberdayaan masyarakat, dan visi bersama dievaluasi sebagai faktor utama dalam membentuk kapasitas komunitas dalam konservasi air, khususnya di sekitar Danau Kampung Bintaro dan Danau Cavalio.
Tujuan Penelitian
- Mengukur pengaruh aksi kolektif, pemberdayaan masyarakat, dan visi bersama terhadap kapasitas komunitas dalam konservasi air kota.
- Membandingkan efek ketiga variabel tersebut di empat lokasi berbeda berdasarkan kedekatannya dengan danau.
Metodologi: Kuantitatif dan Berbasis Lokasi
Penelitian ini menggunakan desain kausal dengan pendekatan kuantitatif. Data dikumpulkan dari 300 responden melalui kuesioner di 4 klaster lokasi:
- Klaster 1: Sekitar Danau Kampung Bintaro
- Klaster 2: Sekitar Danau Cavalio
- Klaster 3 & 4: Area pembanding di utara dan selatan dari klaster utama
Analisis dilakukan dengan Principal Component Analysis (PCA) dan regresi linier berganda untuk mengevaluasi hubungan variabel.
Profil Sosial Ekonomi Responden
- Status Kepemilikan Rumah: Di Klaster 1–3 mayoritas rumah dimiliki sendiri (68–80%), sementara Klaster 4 lebih banyak rumah sewa (48%).
- Asal Responden: Mayoritas Klaster 1 lahir di lokasi (62%), sementara Klaster 4 didominasi pendatang dari luar Jakarta (57%).
- Pengalaman Banjir: Klaster 1 & 2 sering terdampak banjir sebelum pembangunan danau; Klaster 4 tidak pernah mengalami banjir.
- Lokasi Kerja: 70 responden di Klaster 4 bekerja di sekitar danau, dibandingkan hanya 37 orang di Klaster 1.
Hasil Utama: Analisis Tiga Pilar Kapasitas Komunitas
1. Aksi Kolektif
Aksi kolektif terbukti sangat berpengaruh di Klaster 1, dengan skor loading tinggi untuk indikator seperti:
- Partisipasi aktif dalam pengambilan keputusan
- Koordinasi antar penyedia layanan
- Jaringan sosial yang saling percaya dan membantu
Klaster 4 menunjukkan tingkat kepercayaan sosial yang rendah, diduga karena banyaknya penduduk baru yang belum membentuk ikatan sosial kuat.
Data Regresi:
- Semua Area: p = 0.000**
- Klaster 1: p = 0.000**
- Klaster 3: p = 0.058
- Klaster 2 dan 4: Tidak signifikan
2. Pemberdayaan Masyarakat
Indikator yang dominan berbeda antar klaster:
- Klaster 1: Kemampuan belajar dari pengalaman banjir masa lalu
- Klaster 2: Efektivitas dalam menyepakati rencana lingkungan
- Klaster 3: Keberhasilan mengatasi masalah kesehatan lingkungan
- Klaster 4: Kemampuan mengenali masalah & kebutuhan masyarakat
Menariknya, Klaster 4 yang sebelumnya kurang memiliki aksi kolektif ternyata menunjukkan pemberdayaan paling signifikan terhadap kapasitas komunitas.
Data Regresi:
- Klaster 4: p = 0.001**
- Klaster lain: Tidak signifikan
3. Visi Bersama
Seluruh klaster menunjukkan pergeseran visi bersama dari ketakutan banjir ke kekhawatiran akan kelangkaan air bersih. Faktor utama meliputi:
- Kekhawatiran terhadap pencemaran air tanah
- Kehilangan spesies ikan dan ekosistem danau
- Kebutuhan akan lingkungan bersih dan ruang terbuka
- Kualitas hidup: layanan kesehatan dan sosial
Data Regresi:
- Semua Area: p = 0.004*
- Klaster 1: p = 0.005**
- Klaster 4: p = 0.001**
Analisis Perbandingan Antar Klaster
Klaster 1:
Didominasi warga asli yang memiliki ikatan sosial kuat. Kombinasi aksi kolektif dan visi bersama menjadi pendorong utama kapasitas komunitas. Pengalaman banjir memunculkan kesadaran kolektif untuk perubahan.
Klaster 2:
Komunitas heterogen dengan keberadaan kelompok petani yang aktif dalam konservasi danau. Meskipun aksi kolektif tak signifikan, peran petani menonjol dalam pemberdayaan lokal.
Klaster 3:
Berada di dataran tinggi dan tidak terdampak banjir, namun tetap menunjukkan keterikatan sosial yang tinggi. Sayangnya, kurangnya waktu sosial akibat jarak kerja menurunkan semangat gotong royong.
Klaster 4:
Area dengan tingkat ekonomi lebih rendah dan banyak penduduk baru, menyebabkan jaringan sosial lemah. Namun, kesadaran akan peran individu terhadap kualitas air mendorong pemberdayaan dan visi bersama sebagai faktor dominan.
Diskusi: Perbandingan dengan Penelitian Sebelumnya
Berbeda dari studi Brinkman (2012) di DAS Kaskaskia, AS, yang menunjukkan pemberdayaan sebagai faktor paling signifikan, penelitian ini menemukan variasi antar lokasi. Tidak ada satu pendekatan tunggal yang berlaku universal.
Penelitian ini juga menegaskan teori Mishra et al. (2010), bahwa ikatan emosional dengan tempat tinggal meningkatkan kesiapan komunitas dalam menghadapi bencana dan perubahan lingkungan.
Implikasi Praktis: Strategi untuk Pemerintah dan LSM
- Pendekatan Lokal Spesifik:
Strategi konservasi air harus mempertimbangkan karakteristik sosial, ekonomi, dan sejarah komunitas. - Bangun Kepercayaan Sosial:
Aksi kolektif hanya tumbuh di komunitas dengan jaringan sosial kuat. Pemerintah perlu menciptakan ruang interaksi warga. - Fasilitasi Visi Bersama:
Perubahan sikap kolektif akan terjadi jika masyarakat melihat hubungan langsung antara tindakan mereka dan hasil lingkungan. - Dorong Pemberdayaan Berbasis Pengalaman:
Masyarakat yang mengalami banjir menunjukkan kesadaran lebih tinggi. Ini bisa digunakan sebagai basis pelatihan dan kampanye edukatif.
Kesimpulan
Penelitian ini menunjukkan bahwa penguatan kapasitas komunitas untuk konservasi sumber daya air tidak bisa diseragamkan. Perbedaan sosial, ekonomi, dan historis setiap wilayah menciptakan jalur yang unik menuju partisipasi aktif.
Dengan memahami dimensi aksi kolektif, pemberdayaan, dan visi bersama, pengambil kebijakan dan pengelola lingkungan dapat merancang strategi yang lebih tepat sasaran—khususnya untuk kota-kota besar seperti Jakarta yang rentan terhadap krisis air.
Sumber:
W. Mahanani dan Chotib. The influence of collective action, community empowerment, and shared vision to the community capacity in urban water resource conservation. IOP Conf. Series: Earth and Environmental Science, Vol. 200 (2018), 012040. DOI: 10.1088/1755-1315/200/1/012040