Pendahuluan: SocioHydrology untuk Zaman Disrupsi
Dalam dekade terakhir, sociohydrology muncul sebagai pendekatan baru dalam studi interaksi masyarakat dan sistem air. Lebih dari sekadar konsep, pendekatan ini menantang paradigma tradisional dalam manajemen risiko bencana, khususnya bencana berbasis hidrologi seperti banjir dan kekeringan. Artikel dari Vanelli et al. (2022) yang menjadi sumber utama dalam tulisan ini mengupas secara sistematis sejauh mana sociohydrology benarbenar bersifat integratif—baik dari segi metode, skala, hingga keterlibatan lintas disiplin dan pemangku kepentingan. Ulasan ini akan merinci temuan kunci, mengangkat studi kasus menarik, serta menyandingkannya dengan perkembangan kontemporer dalam bidang kebencanaan.
Ketimpangan Fokus: Banjir Dominan, Kekeringan Terpinggirkan
Dalam tinjauan terhadap 44 artikel, Vanelli et al. menemukan bahwa 77,3% studi sociohydrology berfokus pada banjir, sementara kekeringan hanya mendapat porsi 11,4%. Ini amat disayangkan karena data dari EMDat (2021) menunjukkan bahwa kekeringan telah menewaskan 11,7 juta jiwa dan memengaruhi 2,7 miliar penduduk dari 1900 hingga 2018—angka yang bahkan lebih besar dari dampak banjir. Ketimpangan ini mengindikasikan tantangan metodologis dan kurangnya perhatian terhadap risiko bencana yang bersifat perlahan dan tersembunyi seperti kekeringan.
Lebih lanjut, dari studistudi tentang banjir, hanya 26,5% yang secara eksplisit menjelaskan jenis banjir (seperti banjir pesisir atau banjir bandang), memperlihatkan perlunya klasifikasi risiko yang lebih rinci untuk efektivitas mitigasi.
Skala Analisis yang Terpecah dan Kurang Terintegrasi
Sociohydrology sejatinya mengandalkan pendekatan multiskala. Namun dalam praktiknya, studi yang dianalisis justru memperlihatkan 86,4% menggunakan skala spasial sosial dan fisik yang berbeda, tanpa analisis lintasskala. Sebagai contoh, banyak penelitian yang menggunakan skala rumah tangga atau komunitas untuk komponen sosial, sementara aspek fisiknya dianalisis dalam skala DAS atau floodplain.
Studi yang menggabungkan dua jenis skala ini gagal mengeksplorasi interaksi antarskala, padahal menurut Soranno et al. (2014), crossscale feedbacks merupakan komponen penting dalam sistem kompleks. Tanpa pendekatan lintasskala, kita hanya melihat gambaran potonganpotongan dari keseluruhan sistem, bukan perilaku adaptif masyarakat terhadap dinamika air dari waktu ke waktu.
Komponen Sosial: Definisi Masih Kabur
Tinjauan menunjukkan bahwa bahkan setelah satu dekade berkembang, definisi tentang "komponen sosial" dalam sociohydrology masih belum ajeg. Lima artikel yang mengaku berlabel sociohydrology bahkan tidak menyertakan komponen sosial sama sekali. Ketika digunakan, variabel yang paling umum antara lain:
- Demografi (47,7%)
- Memori kolektif, persepsi risiko, dan kesadaran risiko (40,9%)
- Pengalaman masa lalu terhadap bencana (27,3%)
- Institusi formal dan informal (22,7% & 15,9%)
Namun, istilah seperti "risk awareness" dan "risk perception" sering dipakai secara sinonim, padahal memiliki perbedaan penting. Ini menunjukkan perlunya konseptualisasi sosial yang lebih tajam dan seragam dalam penelitian.
Metodologi: Masih Dominan Kuantitatif & Satu Arah
Studi menunjukkan bahwa 65,9% dari artikel menggunakan pendekatan kuantitatif, dengan model empiris numerik sebagai teknik paling populer. Hanya 22,7% yang memakai pendekatan campuran, dan sisanya menggunakan teknik kualitatif seperti wawancara atau analisis naratif.
Contoh menarik datang dari studi oleh Shelton et al. (2018), yang menggabungkan data kualitatif dari game simulasi untuk validasi model agentbased. Sementara Koutiva et al. (2020) mengintegrasikan kuesioner dan workshop ke dalam desain model, memberikan bukti bahwa pendekatan transdisipliner bisa dilakukan, meski masih jarang.
Sayangnya, sebagian besar studi gagal menyatukan data kuantitatif dan kualitatif secara komplementer. Data kualitatif hanya dipakai sebagai latar, bukan sebagai sumber analitik utama yang bisa memperdalam pemahaman tentang dinamika sosial.
Minim Interdisiplin dan Partisipasi Stakeholder
Bukti kuat bahwa sociohydrology belum sepenuhnya bertransformasi secara integratif terlihat dari fakta berikut:
- 61,4% artikel masih bersifat monodisipliner, mayoritas dari bidang ilmu alam.
- Hanya 33,3% dari artikel monodisipliner yang melibatkan pemangku kepentingan.
Sebaliknya, 75% studi multidisipliner melibatkan stakeholder, menunjukkan pentingnya kolaborasi lintas aktor dalam menghasilkan penelitian yang kredibel dan aplikatif.
Salah satu studi teladan adalah Basel et al. (2020), yang melibatkan pemimpin komunitas dalam penulisan artikel dan perumusan variabel sosial. Ini mencerminkan konsep coproduction of knowledge yang telah lama digaungkan dalam kerangka Sendai Framework untuk pengurangan risiko bencana.
Rekomendasi: Jalan ke Depan bagi SocioHydrology
Ulasan Vanelli et al. (2022) ditutup dengan menyusun agenda riset yang mencakup tujuh poin utama:
1. Memperluas kajian ke jenis bencana lain, khususnya kekeringan dan bencana gabungan.
2. Mengadopsi analisis lintasskala, baik temporal maupun spasial.
3. Menajamkan definisi dan komponen sosial, serta memperkuat keterkaitan kausal dengan sistem fisik.
4. Mendorong pendekatan campuran, termasuk integrasi antara data model dan data partisipatif.
5. Menguatkan interdisiplin dan transdisiplin, melalui keterlibatan pemangku kepentingan sejak awal desain studi.
6. Meningkatkan transparansi dan reproducibility, dengan pelaporan metode yang jelas sesuai prinsip FAIR.
7. Memperhatikan etika data sosial, terutama menyangkut privasi dan posisi peneliti.
Kesimpulan: Dari Hidrologi ke Harapan Baru
Sociohydrology masih dalam fase pertumbuhan dan pencarian jati diri. Artikel Vanelli et al. mengingatkan kita bahwa tanpa integrasi nyata antara ilmu sosial, ilmu alam, dan kebutuhan masyarakat, pendekatan ini berisiko menjadi hanya istilah baru tanpa nilai tambah. Namun dengan pergeseran ke arah pendekatan lintas skala, penggunaan data campuran, dan partisipasi pemangku kepentingan yang substansial, sociohydrology berpeluang menjadi pilar penting dalam pembangunan resiliensi berbasis bukti dan keadilan.
Di tengah krisis iklim, urbanisasi masif, dan kompleksitas risiko multibencana, sudah waktunya bagi pendekatan ini untuk tidak hanya menyatukan disiplin ilmu, tetapi juga mendengarkan suara masyarakat yang hidup bersama air, dengan segala berkah dan ancamannya.
Sumber Asli Artikel:
Vanelli, F. M., Kobiyama, M., & de Brito, M. M. (2022). To which extent are sociohydrology studies truly integrative? The case of natural hazards and disaster research. Hydrology and Earth System Sciences, 26, 2301–2317