Masyarakat Menilai Kualitas Air: Studi Kasus Pengelolaan Dam Roodeplaat di Afrika Selatan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

08 Juli 2025, 11.27

pixabay.com

Pendahuluan: Tantangan Pengelolaan Air di Negara Kering

Afrika Selatan dikenal sebagai negara dengan tekanan air tinggi dan curah hujan rata-rata hanya 450 mm per tahun—sekitar 60% dari rata-rata global. Di tengah urbanisasi, perubahan iklim, dan pertumbuhan populasi, tantangan dalam pengelolaan air menjadi semakin kompleks. Khususnya di Dam Roodeplaat (RD), yang terletak 24 km dari Kota Tshwane, kualitas air memburuk akibat eutrofikasi parah yang disebabkan oleh alga, cyanobacteria, dan enceng gondok.

Namun, manajemen teknis semata tidak cukup. Studi ini menggali bagaimana masyarakat memandang, merespons, dan ikut serta dalam pengelolaan air di wilayah mereka—sebuah pendekatan berbasis komunitas yang kini menjadi bagian tak terpisahkan dari Integrated Water Resource Management (IWRM).

Metodologi dan Lokasi Penelitian

Dam Roodeplaat terletak di Gauteng Province dengan luas tangkapan air 690 km² dan kapasitas 41,9 juta m³. Survei dilakukan pada 149 responden dari komunitas sekitar seperti Eersterus, Derdepoort, Mamelodi East dan West, serta Sable Hills Estate. Metode pengumpulan data mencakup wawancara tatap muka dan survei daring menggunakan skala Likert dan analisis statistik berbasis model regresi di software R.

Hasil Utama: Hubungan Demografi dengan Persepsi Air

1. Persepsi Kualitas Air dan Tingkat Pendidikan

Data menunjukkan hubungan negatif antara tingkat pendidikan dan persepsi kualitas air: semakin tinggi pendidikan, semakin besar kemungkinan seseorang menilai air sebagai “sangat buruk”.

  • Tanpa koreksi area tinggal: β = -2,41; p = 0.003
  • Dengan koreksi area tinggal: β = -4,64; p = 0.08

Interpretasi: orang terdidik lebih sadar akan bahaya pencemaran dan lebih kritis terhadap pengelolaan kualitas air.

2. Kepuasan Manajemen dan Status Pekerjaan

Pekerjaan menjadi variabel yang paling memengaruhi tingkat kepuasan terhadap pengelolaan:

  • β = -0.76; p = 0.06 (tanpa koreksi)
  • β = -0.93; p = 0.05 (dengan koreksi)

Orang yang bekerja cenderung lebih tidak puas terhadap kinerja manajemen air dibanding pengangguran—mereka merasa ekspektasi tidak terpenuhi.

3. Gender, Pendidikan, dan Efek Air terhadap Komunitas

Laki-laki lebih cenderung percaya bahwa kualitas air berdampak pada komunitas:

  • Gender: β = 2.04; p = 0.07
  • Pendidikan: β = -1.49; p = 0.09

Namun, hubungan ini hilang jika dikoreksi dengan asal tempat tinggal, menunjukkan pentingnya konteks lokal dalam menilai persepsi risiko.

Partisipasi dan Interaksi Masyarakat dalam Pengelolaan Air

4. Tingkat Keterlibatan: Pengaruh Etnisitas

Data menunjukkan bahwa partisipasi aktif dalam pengelolaan air lebih banyak dilakukan komunitas kulit putih:

  • β = 0.52; p = 0.06 (tetap signifikan meski dikoreksi)

Mereka terlibat dalam kegiatan seperti pembersihan eceng gondok secara manual dan kegiatan kebersihan sungai. Sebaliknya, komunitas kulit hitam dan coloured lebih pasif, sebagian besar karena tidak mendapat insentif.

5. Pola Penggunaan Air Berdasarkan Etnis

  • Kulit Hitam: Air digunakan untuk keperluan domestik (mencuci, mandi, memasak), usaha kecil (pembuatan batu bata), dan kegiatan keagamaan seperti pembaptisan.
  • Kulit Putih: Lebih banyak menggunakan air untuk rekreasi (memancing, berperahu) dan irigasi kebun.

Statistik menunjukkan korelasi signifikan antara etnis dan pola pemanfaatan air:

  • β = 0.56; p = 0.0003

Namun, hubungan ini hilang saat dikoreksi untuk area tempat tinggal, menandakan pentingnya pengaruh lokasi pada perilaku masyarakat.

Studi Banding & Relevansi Global

Temuan ini sejalan dengan studi serupa:

  • Di Thailand, masyarakat lokal juga menunjukkan ketidakpercayaan terhadap pengelolaan air oleh pemerintah (Heyd & Neef, 2004).
  • Di Cape Town, Thompson et al. (2013) mencatat bahwa partisipasi aktif meningkatkan kepuasan masyarakat terhadap sistem air.
  • Yan (2016) di Australia juga menekankan bahwa budaya dan etnis memengaruhi konsumsi air dan perilaku konservasi.

Rekomendasi Strategis dari Penelitian

1. Edukasi Berbasis Komunitas
Tingkatkan kesadaran tentang pencemaran air, mulai dari sekolah hingga program pelatihan masyarakat.

2. Keterlibatan Multi-Level
Kolaborasi antara komunitas lokal, pemerintah, dan organisasi masyarakat sipil penting untuk membangun trust.

3. Pendekatan Bottom-Up
Desain ulang rencana pengelolaan air dengan melibatkan suara warga sejak tahap perencanaan, bukan sekadar pelaksana.

4. Diversifikasi Insentif
Berikan dukungan insentif (finansial atau non-finansial) untuk mendorong partisipasi masyarakat miskin atau pengangguran.

Kesimpulan: Menyatukan Sains dan Suara Warga

Studi ini menjadi bukti bahwa pengelolaan air tidak cukup hanya dengan solusi teknis—persepsi, budaya, dan partisipasi publik berperan vital. Pendekatan IWRM yang mengintegrasikan suara komunitas dapat mendorong pengelolaan air yang lebih inklusif dan berkelanjutan.

Dalam konteks global, studi ini menunjukkan pentingnya pengakuan terhadap keragaman demografis dan budaya dalam merancang strategi konservasi air. Model ini bisa direplikasi di negara-negara berkembang lainnya yang menghadapi tantangan serupa, dari Asia Tenggara hingga Amerika Latin.

Sumber:
Maruapula, K., Yessoufou, K. Y., & Modley, L. S. (2023). Community perceptions, participation, and satisfaction with existing Water Resource Management Plans: a case study of a polluted water system in South Africa. AQUA — Water Infrastructure, Ecosystems and Society, 72(8), 1373–1385. DOI: 10.2166/aqua.2023.208