Proyek Kontruksi

Mengurai Benang Kusut Pembengkakan Biaya: Analisis Hierarkis Faktor-Faktor Kunci dalam Proyek Konstruksi Indonesia

Dipublikasikan oleh Timothy Rumoko pada 14 September 2025


Latar Belakang Teoretis

Pembengkakan biaya (cost overruns) merupakan sebuah penyakit kronis dalam industri konstruksi yang sering kali menjadi penentu utama kegagalan sebuah proyek. Karya Calvin Limantoro, Andi, dan Jani Rahardjo yang berjudul, "Analisa Faktor Cost Overruns dengan Metode Interpretive Structural Modeling pada Proyek Konstruksi di Indonesia," secara sistematis berupaya membongkar kompleksitas di balik fenomena ini. Latar belakang masalah yang diangkat adalah bahwa faktor-faktor penyebab pembengkakan biaya sering kali bersifat kualitatif dan saling terkait, sehingga pendekatan yang hanya membuat daftar penyebab tanpa memahami hubungan sebab-akibat di antara mereka menjadi tidak efektif untuk mitigasi.

Kerangka teoretis penelitian ini dibangun di atas sintesis literatur yang cermat, di mana penulis mengidentifikasi dan memilih lima belas faktor utama penyebab cost overruns yang paling sering muncul dalam studi-studi sebelumnya. Dengan demikian, penelitian ini tidak bertujuan untuk menemukan faktor-faktor baru, melainkan untuk mengisi kesenjangan pengetahuan yang lebih krusial: memetakan struktur hierarkis dan hubungan kausal antar faktor-faktor tersebut dalam konteks spesifik industri konstruksi di Indonesia. Tujuan utamanya adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor mana yang merupakan akar masalah fundamental dan mana yang hanya merupakan gejala, sehingga upaya pencegahan dapat difokuskan pada titik-titik dengan daya ungkit tertinggi.

Metodologi dan Kebaruan

Penelitian ini mengadopsi metodologi hibrida yang canggih, mengintegrasikan dua teknik pengambilan keputusan multikriteria (Multi-Criteria Decision-Making - MCDM), yaitu Interpretive Structural Modeling (ISM) dan Decision-making Trial and Evaluation Laboratory (DEMATEL). Pendekatan ini memungkinkan analisis yang melampaui sekadar identifikasi faktor untuk memodelkan interaksi dinamis di antara mereka.

Pengumpulan data dilakukan melalui survei kuesioner perbandingan berpasangan (pairwise comparison) yang disebar kepada delapan orang responden yang dikategorikan sebagai ahli di bidang konstruksi, dengan kriteria utama memiliki pengalaman sebagai manajer proyek. Proses analisis data sangat terstruktur:

  1. Metode DEMATEL digunakan untuk mengkuantifikasi kekuatan pengaruh antar faktor, menghasilkan matriks hubungan total (Total-Relation Matrix) dan mengklasifikasikan faktor sebagai penyebab (dispatcher) atau akibat (receiver).

  2. Hasil dari DEMATEL kemudian diubah menjadi masukan untuk metode ISM, yang digunakan untuk membangun model struktur hierarkis yang memvisualisasikan hubungan antar faktor ke dalam beberapa tingkatan, dari akar masalah yang paling dasar hingga dampak yang paling permukaan.

Kebaruan dari karya ini terletak pada aplikasi metodologisnya yang rigor untuk konteks Indonesia. Dengan menggabungkan ISM dan DEMATEL, penelitian ini berhasil mengubah daftar faktor kualitatif yang tidak terstruktur menjadi sebuah model kausal yang dapat ditindaklanjuti, memberikan sebuah peta sistemik dari permasalahan cost overruns.

Temuan Utama dengan Kontekstualisasi

Analisis data yang komprehensif menghasilkan sebuah model hierarkis empat tingkat yang secara jelas memetakan hubungan sebab-akibat dari kelima belas faktor cost overruns.

  • Pada level paling dasar (Level 4), penelitian ini mengidentifikasi Keterbatasan Sumber Daya Manusia (F6) sebagai akar masalah yang paling fundamental. Ini adalah pendorong utama yang mempengaruhi semua faktor lain dalam sistem.

  • Pada Level 3, terdapat dua faktor yang dipengaruhi oleh keterbatasan SDM namun menjadi penyebab bagi level di atasnya, yaitu Manajemen Kontraktor yang Buruk (F7) dan Adanya Praktik Kecurangan pada Internal Perusahaan (F8).

  • Pada Level 2, terdapat faktor-faktor yang lebih bersifat perantara, seperti Perencanaan dan Estimasi Pekerjaan yang Buruk (F1), Harga Material yang Berubah-ubah (F3), dan Perubahan Cuaca yang Tidak Menentu (F14).

  • Pada Level 1, terdapat sembilan faktor yang merupakan dampak atau gejala paling permukaan dari masalah di level-level yang lebih dalam. Faktor-faktor ini termasuk Keterlambatan Pekerjaan (F5), Perubahan Desain (F2), Kontrak yang Tidak Menguntungkan (F12), dan Kualitas Pekerjaan yang Buruk (F15).

Analisis DEMATEL lebih lanjut mengonfirmasi temuan ini. Ketika kedua metode disintesis, tiga faktor secara konsisten muncul sebagai akar masalah utama dengan daya penggerak (driving power) tertinggi dan tingkat ketergantungan (dependence) yang rendah:

  1. Keterbatasan Sumber Daya Manusia (F6)

  2. Manajemen Kontraktor yang Buruk (F7)

  3. Adanya Praktik Kecurangan pada Internal Perusahaan (F8)

Secara kontekstual, temuan ini sangat signifikan. Ia menunjukkan bahwa masalah-masalah yang sering terlihat di permukaan seperti keterlambatan atau perubahan desain sering kali hanyalah gejala dari masalah yang lebih fundamental di tingkat kapabilitas SDM, integritas manajemen, dan praktik etis perusahaan.

Keterbatasan dan Refleksi Kritis

Penulis secara eksplisit mengakui keterbatasan utama dari penelitian ini, yaitu ketergantungan pada penilaian subjektif dari sekelompok kecil ahli (delapan responden). Meskipun umum dalam studi ISM/DEMATEL, hal ini berarti bahwa model yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan bias dari para ahli yang berpartisipasi.

Sebagai refleksi kritis, meskipun model ini memberikan wawasan kausal yang mendalam, ia tidak dapat digeneralisasi secara statistik ke seluruh industri konstruksi Indonesia. Validitasnya bergantung sepenuhnya pada keahlian dan representativitas dari panel ahli yang dipilih.

Implikasi Ilmiah di Masa Depan

Secara praktis, implikasi dari penelitian ini sangat kuat. Model hierarkis yang dihasilkan dapat berfungsi sebagai kerangka kerja strategis bagi para manajer proyek dan pemilik perusahaan. Alih-alih memadamkan "kebakaran" di Level 1 (misalnya, mengatasi keterlambatan dengan kerja lembur), mereka dapat memfokuskan sumber daya dan upaya perbaikan pada tiga akar masalah di Level 3 dan 4. Mengatasi masalah keterbatasan SDM melalui pelatihan, memperbaiki sistem manajemen kontraktor, dan memperkuat kontrol internal untuk mencegah kecurangan akan memberikan dampak sistemik yang jauh lebih besar dalam mencegah cost overruns.

Untuk penelitian di masa depan, penulis secara tepat merekomendasikan perlunya validasi lebih lanjut menggunakan metode statistik seperti Structural Equation Modeling (SEM) dengan sampel yang lebih besar. Hal ini akan memungkinkan pengujian hipotesis hubungan kausal yang diidentifikasi dalam model ini secara kuantitatif, sehingga meningkatkan validitas dan generalisasi temuan.

Sumber

Limantoro, C., Andi, & Rahardjo, J. (2023). Analisa Faktor Cost Overruns dengan Metode Interpretive Structural Modeling pada Proyek Konstruksi di Indonesia. Dimensi Utama Teknik Sipil, 10(1), 20-37. DOI: 10.9744/duts.10.1.20-37

Selengkapnya
Mengurai Benang Kusut Pembengkakan Biaya: Analisis Hierarkis Faktor-Faktor Kunci dalam Proyek Konstruksi Indonesia

Proyek Kontruksi

Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Implementasi ISO 9001 pada Proyek Konstruksi Inggris — dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Dipublikasikan oleh Hansel pada 13 September 2025


Proyek konstruksi bukan sekadar urutan pekerjaan teknis—mereka adalah sistem kompleks yang melibatkan ratusan orang, multipel kontrak, pasokan material, jadwal yang saling terkait, dan risiko yang terus berubah. Dalam kondisi seperti itu, dokumen-dokumen standar mutu bisa saja terlihat sebagai “buku aturan” yang jauh dari realitas lapangan. Namun studi doktoral Mahmoud Aburas mencoba mematahkan anggapan itu dengan menempatkan ISO 9001 bukan sebagai simbol formalitas, tetapi sebagai kerangka kerja yang bila diadaptasi dan dihidupkan dapat menjadi pengungkit nyata bagi keberhasilan proyek.

Penelitian ini berangkat dari pertanyaan praktis: faktor mana yang benar-benar menentukan berhasil tidaknya implementasi ISO 9001 di proyek konstruksi Inggris? Dengan mencampurkan analisis literatur, survei kuantitatif, dan wawancara kualitatif, Aburas menyusun peta tindakan yang terdiri dari tujuh faktor utama dan 77 komponen operasional—bukan sekadar daftar prinsip, melainkan panduan langkah demi langkah untuk praktik sehari-hari. Temuan ini penting karena menempatkan perhatian pada bagaimana ISO dijalankan, bukan hanya apakah organisasi memilikinya.

Ada dua aspek yang membuat studi ini layak mendapat perhatian luas. Pertama, ia menggunakan pendekatan triangulasi: survei terhadap ratusan praktisi memberikan gambaran statistik; analisis statistik menunjukkan korelasi dan pola; wawancara mendalam kemudian memberikan konteks naratif yang menjelaskan mengapa pola itu muncul. Kedua, temuan yang muncul tidak selalu sejalan dengan harapan normatif standar—contoh paling menonjol adalah posisi evidence-based decision-making yang ternyata tidak dominan dalam praktik proyek, meski secara teoretis menjadi salah satu prinsip utama ISO 9001:2015. Ini bukan klaim remeh: ia memaksa pembaca—praktisi maupun regulator—untuk mempertanyakan bagaimana bukti dan pengalaman bercampur dalam pengambilan keputusan di lapangan.

Dalam praktik, proyek konstruksi menghadapi masalah yang nyata: perubahan desain di fase akhir, ketergantungan pada subkontraktor yang berbeda standar kerja, dan tekanan biaya yang membuat keputusan cepat menjadi lebih lazim daripada penelaahan panjang berbasis data. Dari sudut pandang ini, ISO 9001 yang berhasil bukan hanya soal memenuhi checklist audit; ia harus menjadi mekanisme manajemen perubahan, komunikasi antar-pemangku kepentingan, dan pembelajaran berkelanjutan. Aburas menunjukkan, melalui angka dan narasi, bahwa manajemen perubahan, keterlibatan tenaga kerja, dan kepemimpinan menjadi penentu utama apakah standar mutu itu "hidup" atau tetap menjadi dokumen prosedural.

Pendahuluan ini menekankan satu hal: relevansi studi bukan hanya akademis, melainkan sangat aplikatif. Jika diimplementasikan dengan konsistensi dan adaptasi lokal, rekomendasi penelitian dapat mengurangi klaim purna proyek, menekan waktu penyelesaian, dan memperbaiki arus kas para pelaksana. Lebih jauh lagi, temuan ini membuka ruang bagi pembuat kebijakan untuk mempertimbangkan revisi pendekatan regulasi mutu—misalnya, memberi ruang bagi manajemen perubahan sebagai prinsip mutu formal—serta memberi sinyal pada manajer proyek bahwa menggabungkan pengalaman lapangan dengan dokumentasi bukti adalah jalan tengah yang harus dijalin, bukan dikedepankan salah satunya saja.

Mengapa temuan ini penting sekarang?

Proyek konstruksi itu seperti orkestra besar yang dimainkan di lingkungan yang selalu berubah: desain direvisi, cuaca mengguncang jadwal, subkontraktor datang dari kultur kerja berbeda—semua faktor ini membuat kualitas mudah tergelincir dan biaya melonjak. Aburas menempatkan ISO 9001 bukan sebagai dokumen semata, melainkan sebagai sistem manajerial yang harus “hidup” di lapangan. Dengan menggabungkan tinjauan literatur, survei kuantitatif, dan wawancara validasi, ia menghadirkan gambaran yang cukup komprehensif tentang apa yang benar-benar bekerja dalam konteks proyek konstruksi Inggris. 

Metodologi singkat (mengapa kita bisa percaya)

Studi ini menggunakan pendekatan triangulasi:

  • Survei online: 1.000 undangan → 124 respons (response rate 12.4%). Cronbach’s Alpha untuk instrumen = 0.845(memadai untuk reliabilitas). 
  • Analisis statistik: compare means, Kendall’s W, Kruskal–Wallis, Spearman. Hasil Spearman memperlihatkan hubungan signifikan antara sebagian besar faktor dan keberhasilan penerapan, kecuali untuk satu faktor yang mengejutkan.
  • Validasi kualitatif: wawancara semi-terstruktur dengan 6 manajer proyek senior—menambah konteks, menolak dan menambah beberapa komponen. 

Triangulasi ini menambah bobot—angka memberi arah, wawancara memberi alasan dan nuansa. Itu sebabnya temuan layak menjadi bahan kebijakan praktik. 

Temuan inti: 7 faktor yang harus diperhatikan

Aburas merangkum tujuh faktor yang muncul konsisten dari literatur, survei, dan wawancara:

  1. Change management (Manajemen perubahan)
    • Komponen: menentukan kebutuhan pemangku kepentingan, merencanakan perubahan, memonitor ekspektasi, mempromosikan perbaikan berkelanjutan, mengedukasi klien tentang dampak perubahan, dan—yang menonjol—“embrace the change as a team” (komponen baru hasil wawancara). Change management mendapat nilai tinggi dalam survei dan divalidasi penuh.
  2. Client focus (Fokus pada klien)
    • Menempatkan kepuasan dan kebutuhan klien sebagai penggerak utama tujuan mutu. Dalam praktik, ini berarti dokumentasi kebutuhan awal, komunikasi berkelanjutan, dan mekanisme umpan balik pasca-serah terima. 
  3. Engagement of people (Keterlibatan tenaga kerja)
    • Dari pelibatan operasional hingga empowerment—perubahan istilah dari ‘involvement’ ke ‘engagement’ pada ISO 9001:2015 menekankan partisipasi aktif, bukan sekadar kehadiran administratif. 
  4. Leadership (Kepemimpinan)
    • Kepemimpinan yang proaktif: menetapkan kebijakan mutu, mendemonstrasikan komitmen, serta mendorong budaya perbaikan dan tanggung jawab. Kepemimpinan menempati korelasi tertinggi (Spearman .601). 
  5. Process approach (Pendekatan proses)
    • Memetakan proses, interaksi antarproses, dan menjaga pengendalian aliran kerja—mengurangi fragmentasi proyek yang khas di sektor konstruksi. 
  6. Relationship management (Manajemen hubungan)
    • Manajemen hubungan pemangku kepentingan, supplier, dan subkontraktor menjadi kunci menghindari konflik kontraktual yang kerap menguras waktu dan kualitas. 
  7. Continuous improvement (Perbaikan berkelanjutan)
    • Bukan program sekali jadi; budaya yang mengejar efisiensi jangka panjang melalui PDCA, audit, evaluasi tindakan korektif. 

Secara total, penelitian ini merinci 77 komponen operasional yang mengikat tujuh faktor tersebut — langkah demi langkah yang bisa diadaptasi oleh organisasi proyek. 

1) Change management — 9 komponen. 

  1. Determine the needs and expectations of stakeholders
    Menetapkan secara sistematis siapa pemangku kepentingan (klien, subkontraktor, regulator, masyarakat lokal) dan apa yang mereka harapkan sehingga perubahan dapat disiapkan tanpa kejutan; mencakup identifikasi kebutuhan fungsional, waktu, dan kualitas.
  2. Plan for change
    Menyusun rencana perubahan yang jelas (siapa bertanggung jawab, jadwal, dampak, sumber daya) sehingga setiap perubahan diproses sebagai kegiatan terencana, bukan reaksi mendadak.
  3. Monitor the needs and expectations of stakeholders
    Pemantauan berkelanjutan (survei, pertemuan, pelaporan) untuk menangkap perubahan ekspektasi sehingga rencana dan tindakan dapat disesuaikan sebelum masalah meluas.
  4. Promote continual improvement
    Menanamkan mekanisme untuk terus mencari perbaikan (PDCA, audit, kaizen) sehingga perubahan bukan sekadar menambal masalah tetapi meningkatkan kapabilitas proyek.
  5. Educate clients and other stakeholders on the negative outcomes of unnecessary change
    Mengkomunikasikan konsekuensi biaya, waktu, dan kualitas apabila perubahan tidak dikelola—mengubah klien/mitra dari peminta perubahan spontan menjadi mitra yang lebih sadar risiko.
  6. Predict the project environment and create contingency plans
    Analisis skenario (cuaca, pasokan material, keterlambatan subkontraktor) dan penyusunan rencana kontinjensi untuk mengurangi dampak bila skenario terwujud.
  7. Anticipate change and address it effectively
    Membangun budaya dan prosedur proaktif (trigger indicators, eskalasi dini) sehingga perubahan dapat direspons cepat namun terkontrol.
  8. Prioritise and post-implement review of the change
    Mekanisme penentuan prioritas perubahan (nilai vs risiko) dan review pasca-implementasi untuk belajar dan memperbaiki proses pengelolaan perubahan berikutnya.
  9. Embrace the change as a team (komponen hasil wawancara)
    Menyatukan tim dalam menerima & menjalankan perubahan—komunikasi, dukungan lintas-fungsi, dan ownership kolektif yang mengurangi resistensi dan mempercepat eksekusi.

2) Client focus — 8 komponen. 

  1. Understand the current clients' requirements
    Dokumentasi dan klarifikasi kebutuhan saat ini (fit-for-purpose, spesifikasi teknis, batas waktu) agar deliverable sesuai ekspektasi.
  2. Understand future clients' requirements
    Proyeksi kebutuhan masa depan (pemeliharaan, kelayakan fungsi jangka panjang) untuk desain dan material yang tahan uji.
  3. Measure client satisfaction
    Sistem pengukuran (survei, wawancara, KPI pasca-serah-terima) untuk mengukur gap dan menetapkan tindakan perbaikan.
  4. Ensure the project objectives match the client's requirements
    Penyelarasan tujuan proyek dengan kebutuhan klien sejak awal perencanaan untuk mencegah scope creep.
  5. Ensure the project objectives match the client's expectations
    Menjembatani perbedaan antara kebutuhan teknis dan ekspektasi aktual klien (mis. estetika, kebersihan kerja, komunikasi).
  6. Clients are treated with respect and courtesy and empathise with their situation
    Sikap layanan (responsiveness, empati) yang mengurangi konflik dan memperbesar kemungkinan repeat business.
  7. Do not leave the client waiting and let them know what is being done, commit to responding
    Komunikasi proaktif: feed-back waktu nyata atas permintaan dan update berkala agar kepercayaan terjaga.
  8. Conduct external measurements and surveys for the client's needs and engage seriously with the results
    Validasi eksternal (survei independen, benchmark) untuk memverifikasi bahwa proyek memenuhi kebutuhan nyata klien, bukan asumsi internal semata.

3) Engagement of people — 9 komponen. 

  1. Facilitate the open discussion of issues
    Forum terbuka (toolbox talk, briefing) untuk membicarakan masalah kualitas tanpa stigma sehingga solusi muncul lebih cepat.
  2. Facilitate the open discussion of barriers
    Identifikasi hambatan (supply, izin, instruksi kerja) bersama tim dan cari solusi kolaboratif.
  3. Enhance the motivation of personnel
    Inisiatif peningkatan motivasi (apresiasi, kesempatan berkembang, lingkungan kerja aman) agar produktivitas dan kepatuhan mutu naik.
  4. Ensure that employees' abilities are utilised
    Mengalokasikan tugas sesuai kompetensi sehingga keahlian tidak terbuang dan kualitas output meningkat.
  5. Clarify work priorities and define the roles and responsibilities of the project team
    Job descriptions, RACI, dan prioritas harian yang jelas mengurangi tumpang tindih dan miskomunikasi.
  6. Carry out cyclical meetings to review the project status, to inform the team on progress and monitor for conflict
    Rapat periodik (harian/mingguan) yang terstruktur untuk update, eskalasi, dan pencegahan konflik.
  7. Build trust between the project team and project leadership and between teams
    Praktik kepemimpinan yang transparan dan tindakan konsisten untuk membangun kepercayaan—fondasi kolaborasi.
  8. Involve people with ideas and encourage them to provide their perspectives and encourage groupthink
    Mendorong kontribusi ide dari lapangan (suggestion box, sesi perbaikan) yang seringkali membawa solusi praktis.
  9. Explore the project's components and discuss clearly the project's importance with staff members
    Menjelaskan konteks dan dampak pekerjaan tiap orang agar mereka memahami mengapa kualitas dan tenggat penting.

4) Leadership — 12 komponen. 

  1. Establish a vision for the project
    Visi yang jelas memberi arah, menyatukan tujuan mutu, dan menjadi acuan pengambilan keputusan.
  2. Establish a pathway for the project
    Roadmap / rencana jalur (milestone, tender-to-handover) untuk mengkoordinasikan aktivitas lintas fungsi.
  3. Equip employees
    Menyediakan alat, dokumen, dan sumber daya yang diperlukan agar staf mampu mencapai standar mutu.
  4. Create trust with employees
    Tindakan kepemimpinan yang konsisten, adil, dan komunikatif untuk membangun loyalitas dan keterbukaan.
  5. Ensure commitment to the role
    Kepastian bahwa setiap posisi memiliki owner yang bertanggung jawab dan berkomitmen menyelesaikan tugasnya.
  6. Ensure commitment to policy
    Kepatuhan manajemen puncak terhadap kebijakan mutu yang menjadi teladan organisasi.
  7. Ensure responsibility to project partners
    Memastikan manajemen memenuhi kewajiban pada mitra (bank, klien, regulator) sehingga alur kerja tidak tersendat.
  8. Identify challenging targets
    Menetapkan target ambisius namun realistis yang mendorong perbaikan kinerja berkelanjutan.
  9. Ensure the efficient use of resources
    Optimalisasi tenaga kerja, peralatan, dan material untuk menekan pemborosan tanpa mengorbankan mutu.
  10. The leadership must acquire complete awareness of the project's requirements
    Pemahaman menyeluruh atas kebutuhan teknis, kontrak, dan sosial untuk keputusan yang tepat.
  11. Emphasise motivation and team building to allow different members to collaborate
    Intervensi team-building dan motivasi nyata yang mengurangi silo dan meningkatkan sinergi.
  12. Conduct a study for the project with the team and the stakeholders during the planning phase to comprehend project requirements
    Studi kelayakan/analisis kebutuhan kolaboratif di tahap awal untuk mengurangi revisi dan miskomunikasi selanjutnya.

(Catatan: beberapa komponen yang muncul di survei seperti “empower employees”, “reduce environmental impact”, dan “promote high-quality processes” mendapatkan penilaian rendah di beberapa responden sehingga tidak semua versi survei masuk daftar final—tetapi poin inti kepemimpinan di atas adalah yang tervalidasi).

5) Process approach — 14 komponen. 

  1. Manage activities as processes
    Menyusun dan menjalankan aktivitas sebagai rantai proses berinteraksi, bukan tugas terfragmentasi.
  2. Reduce activities that add no value
    Identifikasi dan penghapusan kegiatan yang tidak menambah nilai (waste) untuk kecepatan dan efisiensi.
  3. Reduce processes that add no value
    Penyederhanaan alur kerja yang berlebihan—mengurangi birokrasi dan redundansi.
  4. Conduct audits of processes
    Audit internal proses untuk menemukan ketidaksesuaian dan area perbaikan.
  5. Improve processes to prevent nonconformities
    Perubahan proses berdasarkan akar masalah untuk mencegah terulangnya cacat.
  6. Determine the knowledge necessary for the operation of processes
    Mendeskripsikan kompetensi dan pengetahuan apa yang diperlukan untuk menjalankan tiap proses.
  7. Maintain the knowledge necessary for the operation of processes
    Sistem penyimpanan & transfer pengetahuan (SOP, instruksi kerja, pelatihan) agar kapabilitas tidak hilang.
  8. Take action to address risk
    Proses penilaian dan mitigasi risiko terintegrasi ke dalam alur kerja proyek.
  9. Take action to exploit opportunity
    Mendeteksi dan memanfaatkan peluang efisiensi atau nilai tambah yang muncul selama siklus proyek.
  10. Gauge the feasibility of activities
    Evaluasi kelayakan aktivitas (waktu, biaya, sumber daya) sebelum pelaksanaan.
  11. Determine links between activities
    Memahami ketergantungan antarproses sehingga perubahan pada satu aktivitas tidak merusak proses lain.
  12. Manage and monitor every process and control, measure the results, and report
    Pengukuran KPI proses, kontrol, dan pelaporan teratur agar kinerja transparan dan bisa diperbaiki.
  13. Evaluate and improve the processes is a constant, systematic and repetitive procedure
    Mekanisme perbaikan berkelanjutan yang sistematik—bukan acara sekali jadi.
  14. Ensure the appropriate methodologies, resources, personnel and tools are available for each planning process
    Penjaminan bahwa setiap proses perencanaan memiliki metode dan sumber daya yang sesuai.
  15. Assure that all those involved in the project have an appropriate understanding of the process level
    Sosialisasi dan pelatihan agar semua pihak paham bagaimana proses saling terkait dan peran mereka di dalamnya.

6) Relationship management — 11 komponen. 

  1. Share information with stakeholders
    Mekanisme berbagi data & update yang akurat antara tim proyek, klien, dan pihak eksternal.
  2. Share plans with stakeholders
    Transparansi perencanaan (jadwal, milestone) untuk menyelaraskan ekspektasi dan keterlibatan.
  3. Share resources with stakeholders
    Kolaborasi penggunaan sumber daya (mis. peralatan, tenaga ahli) untuk efisiensi dan pengurangan backlog.
  4. Share expertise with stakeholders
    Transfer keahlian melalui workshop, joint reviews, atau mentoring antar-pihak.
  5. Cooperate in the development of activities
    Kolaborasi nyata dalam pengembangan aktivitas proyek, bukan koordinasi parsial.
  6. Establish effective intra-project-partner cooperation
    Prosedur formal untuk kerja sama antar-kontraktor, konsultan, dan subkontraktor.
  7. Manage effective intra-project-partner cooperation
    Manajemen aktif hubungan (kontrak, KPI bersama, eskalasi isu) untuk menghindari sengketa.
  8. Establish short-term relationships
    Mekanisme kemitraan jangka pendek yang efektif untuk kebutuhan spesifik (mis. trades tertentu).
  9. Establish long-term relationships
    Pengembangan kemitraan strategis jangka panjang yang menurunkan biaya transaksi dan risiko.
  10. Engage stakeholders effectively and frequently
    Keterlibatan rutin (sesi update, review) agar semua pihak tetap sinkron dan responsif.
  11. Ensure that all parties comprehend the overarching project aims
    Kesepahaman akan tujuan proyek yang lebih luas sehingga keputusan sehari-hari terarah pada outcome bersama.

7) Skills & training — 5 komponen. 

  1. Train personnel in terms of quality
    Program pelatihan mutu terstruktur (SOP, kontrol kualitas, inspeksi) untuk mengangkat kompetensi.
  2. Share knowledge
    Praktik berbagi pengetahuan (lessons learned, toolbox talks) sehingga pengalaman proyek terdokumentasi dan dimanfaatkan.
  3. Enable learning
    Membangun mekanisme pembelajaran berkelanjutan (on-the-job coaching, mentoring) bukan pelatihan sekali-kilat.
  4. Share the quality aims and characteristics
    Menyampaikan sasaran mutu & karakteristik deliverable kepada seluruh tim sehingga semua bekerja ke arah yang sama.
  5. Teach the quality aims and characteristics
    Mengajarkan praktik dan standar konkret (bagaimana melakukan inspeksi, apa toleransi) agar pemahaman operasional terjadi.

8) Continuous improvement — 8 komponen. 

  1. Provide resources for continuous improvement
    Alokasi dana, waktu, dan SDM khusus untuk inisiatif perbaikan berkelanjutan.
  2. Manage resources for continuous improvement
    Pengelolaan dan prioritisasi sumber daya agar inisiatif perbaikan berjalan efektif.
  3. Provide documentation for corrective action
    Sistem dokumentasi korektif yang jelas (kertas kerja tindakan, pelacakan penyelesaian) untuk menghindari perulangan masalah.
  4. Enable the project team to participate in improvement
    Melibatkan seluruh tim dalam identifikasi dan implementasi perbaikan sehingga ada ownership.
  5. Conduct operational planning
    Perencanaan operasional yang terhubung dengan siklus perbaikan (mengintegrasikan tindakan korektif & preventif).
  6. Conduct operational control
    Pengendalian operasional (checklists, hold points, inspeksi) untuk memastikan tindakan perbaikan bekerja.
  7. Measure improvement consistently
    KPI terukur untuk memantau hasil perbaikan sehingga organisasi tahu apa yang berhasil dan apa yang perlu disesuaikan.
  8. Develop a reward system (catatan: per survey ini muncul tapi peringkat bervariasi; dalam praktik direkomendasikan sebagai bagian dari budaya perbaikan)
    Sistem penghargaan/incentive untuk mendorong kontribusi perbaikan dari staf lapangan dan manajemen.

Fakta-fakta yang perlu disebarluaskan (bullet points)

  • 124 respons dianalisis; 117 (94.35%) berasal dari organisasi bersertifikat ISO 9001. Ini menunjukkan tingginya penetrasi sertifikasi di sampel studi. 
  • Reliabilitas instrumen: Cronbach’s Alpha 0.845
  • Spearman test: Semua faktor memiliki korelasi signifikan dengan keberhasilan implementasi kecuali evidence-based decision-making (p = 0.307). 
  • Survei awal mengusulkan 10 faktor; setelah validasi, 7 disahkan, 3 ditolak secara provisional (evidence-based decision-making, non-standardisation, skills & training). 

 

Cerita di balik angka: temuan yang mengejutkan

Hal yang benar-benar membuka diskusi luas adalah penolakan terhadap evidence-based decision-making—padahal ini adalah salah satu Quality Management Principles ISO 9001:2015. Wawancara mengungkap alasan praktis: banyak keputusan lapangan diambil berdasarkan pengalaman manajer yang “memutuskan cepat” di kondisi tertekan; bukti formal sering muncul setelah keputusan itu dibuat. Beberapa partisipan menyatakan, secara ringkas: “evidence is good, but experience usually takes the overriding factor”. Ini memunculkan dilema: apakah ISO harus mengakomodasi dinamika pengambilan keputusan yang didorong pengalaman tanpa mengabaikan pentingnya data?

Siapa yang paling terdampak — dan bagaimana implementasi mengubah permainan?

  • Kontraktor & Subkontraktor: Implementasi process mapping dan relationship management mengurangi klaim dan mempercepat serah terima—efek langsung pada cashflow. 
  • Pemilik proyek / klien: Client focus dan continuous improvement meningkatkan kepuasan, menurunkan ongkos perbaikan pasca-serah terima. 
  • Regulator & Pembuat Kebijakan: Temuan bahwa change management layak dipertimbangkan sebagai QMP baru memberi bahan untuk revisi kebijakan QA sektor publik. 

 

Kritik realistis — apa yang perlu diperhatikan

Tidak ada studi sempurna. Beberapa batasan penting:

  • Konteks terbatas: fokus pada UK—hasil mungkin berbeda di negara dengan struktur pasar dan kultur kerja lain. 
  • Response rate & generalisasi: meski 124 respons memenuhi minimum sampel, rate 12.4% mengindikasikan potensi bias non-respon. Pengambilan keputusan kebijakan besar butuh studi tambahan lintas-negara. 
  • Validasi kualitatif terbatas: hanya 6 wawancara—sumber insight kaya, tetapi jumlahnya kecil untuk klaim representatif luas. 
  • Paradoks evidence-based: penolakan evidence-based decision-making menuntut studi kualitatif lebih mendalam untuk memahami hubungan antara pengalaman lapangan dan penggunaan data formal. 

 

Rekomendasi praktis untuk manajer proyek (langkah demi langkah)

  • Formalkan change management: checklist perubahan, mekanisme pelaporan, dan review pasca-implementasi; edukasi klien tentang biaya/risiko perubahan. 
  • Jadwalkan leadership coaching: investasi pada kemampuan memimpin, bukan hanya skill teknis—coaching untuk pengambilan keputusan yang menggabungkan pengalaman dan bukti.
  • Terapkan process mapping sederhana: dokumen proses yang mudah diakses oleh semua pemangku kepentingan—kurangi ambiguitas dan percepat eskalasi isu. 
  • Dokumentasikan keputusan lapangan: jika pengalaman memimpin keputusan cepat, rekam langkah dan data pendukung untuk evaluasi pasca-hoc—mempertemukan pengalaman dan evidence. 

 

Dampak nyata jika temuan ini diterapkan

Jika organisasi proyek menerapkan ketujuh faktor beserta 77 komponen secara konsisten—dengan adaptasi lokal—dampaknya bukan sekadar perbaikan administratif. Dari pengurangan klaim purna proyek hingga penurunan penundaan, studi ini memperkirakan bahwa implementasi terstruktur dapat memangkas biaya operasional proyek dan menurunkan frekuensi rework dalam jangka menengah. Secara ringkas: Jika diterapkan, temuan ini bisa mengurangi biaya operasional proyek secara signifikan dalam waktu lima tahun. 

 

Penutup

Mahmoud Aburas tidak hanya menyajikan daftar prinsip—ia memberi peta tindakan yang konkret untuk konteks proyek konstruksi yang kompleks. Studi ini menegaskan pentingnya kepemimpinan, keterlibatan tim, kepuasan klien, proses yang terstruktur, hubungan yang sehat antar-pihak, perbaikan berkelanjutan—dan menempatkan manajemen perubahan di barisan depan kebijakan mutu. Di saat yang sama, penolakan terhadap evidence-based decision-making membuka diskusi kritis: bagaimana menyelaraskan intuisi pengalaman lapangan dengan praktik berbasis bukti? Jawabannya akan menentukan apakah ISO 9001 berubah menjadi alat transformasi nyata atau tetap menjadi dokumen prosedural semata.

Sumber Artikel:

Aburas, M. (2020). Critical success factors for implementing ISO 9001 in UK construction projects. University of Salford (United Kingdom).

Selengkapnya
Penelitian Ini Mengungkap Rahasia di Balik Implementasi ISO 9001 pada Proyek Konstruksi Inggris — dan Ini yang Harus Anda Ketahui!

Proyek Kontruksi

Mengurai Keterbatasan DBB dan Menemukan Solusi IPD: Strategi Peningkatan Partnering dalam Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025


Pendahuluan: Saatnya Meninggalkan Fragmentasi dalam Proyek Konstruksi

Industri konstruksi Indonesia terus berkembang, namun masih terperangkap dalam kontradiksi sistemik antara tujuan proyek jangka panjang dan model kerja jangka pendek yang bersifat kompetitif. Salah satu akar masalahnya terletak pada sistem pengadaan proyek yang masih didominasi oleh model design-bid-build (DBB).

Dalam paper ini, Sari dkk. (2024) memaparkan secara kritis bagaimana pendekatan DBB yang terfragmentasi telah menjadi batu sandungan kolaborasi, serta menawarkan strategi konkret untuk meningkatkan tingkat partnering menuju Integrated Project Delivery (IPD) yang lebih sinergis dan berkelanjutan.

Apa yang Salah dengan DBB?

Struktur DBB: Praktis, Tapi Terlalu Kompetitif

Model DBB, yang memisahkan entitas perancang dan pelaksana, memang menawakan kejelasan peran dan tahapan kerja. Namun struktur ini justru menciptakan silo antarpihak. Setiap tahapan dari tender perancang, pelaksanaan desain, tender kontraktor, hingga pelaksanaan konstruksi berlangsung dalam iklim persaingan (kompetisi) yang kaku.

Dalam analisis partnering oleh Thompson et al. (1998), DBB umumnya berada pada level “kompetisi”, level terendah dari skala kedalaman kolaborasi.

Dampak Nyata: Proyek Molor dan Boros

Berdasarkan studi tiga proyek gedung di Indonesia dengan nilai di atas 10 miliar rupiah, ditemukan bahwa ketiganya mengalami keterlambatan signifikan. Faktor penyebabnya mencakup:

Hasil analisis statistik menunjukkan deviasi standar yang besar pada grafik kemajuan proyek, menandakan ketidaksesuaian antara target dan realisasi.

Partnering: Dari Kompetisi Menuju Koalisi

Empat Tingkatan Partnering

Berdasarkan teori Larsson dan Thompson, partnering terbagi dalam empat tingkatan:

  1. Kompetisi: Relasi transaksional dan jangka pendek, tidak ada pembagian risiko.

  2. Kooperasi: Mulai ada komunikasi dan saling percaya.

  3. Kolaborasi: Fokus strategis jangka panjang, pengukuran kinerja bersama.

  4. Koalisi (Coalescence): Transparansi total, integrasi budaya kerja, pembagian risiko penuh.
     

Sayangnya, mayoritas proyek DBB di Indonesia masih berada pada tahap kompetisi, jauh dari kedalaman koalisi seperti yang ditemukan pada sistem IPD.

Mengenal IPD: Proyek Kolaboratif Sejak Hari Pertama

Integrated Project Delivery adalah sistem pengadaan yang menyatukan semua aktor utama (owner, desainer, kontraktor, vendor) sejak tahap nol persen desain. Dibandingkan DBB, IPD memiliki karakter:

  • Kontrak multipihak tunggal

  • Pembagian risiko dan keuntungan

  • Komitmen pada transparansi dan tujuan bersama

  • Fokus jangka panjang dan peningkatan berkelanjutan

Studi Kasus Internasional

Menurut Asmar et al. (2013), proyek dengan pendekatan IPD menunjukkan performa superior dalam aspek waktu, biaya, dan kualitas dibandingkan DBB dan DB. Bahkan, IPD mampu mengurangi pengulangan pekerjaan hingga 50% dan meningkatkan produktivitas tenaga kerja sebesar 10%.

Strategi Transformasi: DBB yang Lebih Kolaboratif

Apakah DBB Bisa Diubah Tanpa Mengganti Sistemnya?

Jawabannya: bisa. Paper ini menawarkan pendekatan transisional mengubah praktik partnering dalam proyek DBB agar meniru kedalaman kolaborasi pada skema IPD, tanpa harus mengubah format kontrak yang ada.

Rekomendasi Praktis

  1. Pemilihan Perancang Tanpa Tender Kompetitif
    Owner sebaiknya menunjuk perancang berdasar pengalaman dan visi sejalan, bukan sekadar harga termurah.

  2. Keterlibatan Kontraktor Sejak Awal
    Mengundang kontraktor dalam tahap desain untuk meminimalkan miskomunikasi dan variasi teknis.

  3. Kemitraan Jangka Panjang dengan Vendor
    Tidak lagi memilih pemasok berdasar tender harga, tetapi melalui kerja sama jangka panjang yang saling menguntungkan.
     

Visualisasi Model Perubahan

Transformasi DBB yang semula penuh persaingan dapat diarahkan menjadi kerja sama berbasis koalisi, sebagaimana digambarkan dalam skema model partnering (Gambar 8 dalam paper).

Tantangan Implementasi di Indonesia

Meskipun IPD menjanjikan banyak manfaat, implementasinya di proyek pemerintah di Indonesia masih terkendala oleh:

  • Kurangnya standar hukum dan kontrak multipihak

  • Ketidakpercayaan antar-pemangku kepentingan

  • Praktik tender yang masih berorientasi biaya

Namun, seperti disarankan penulis, peningkatan kualitas relasi dan keterlibatan sejak awal sudah cukup untuk menciptakan dampak besar — bahkan dalam sistem DBB.

Perspektif Industri: Relevansi dan Tren Terkini

Dengan meningkatnya tekanan terhadap efisiensi dan keberlanjutan, pendekatan seperti IPD menjadi relevan, apalagi di era pascapandemi di mana risiko proyek semakin kompleks. Model kerja berbasis kolaborasi juga sejalan dengan prinsip lean construction dan pendekatan agile yang kini mulai diadopsi oleh perusahaan besar seperti PT PP dan Wijaya Karya dalam beberapa proyek EPC.

Opini dan Komentar Tambahan

Paper ini sangat relevan karena tidak hanya menawarkan teori, tetapi juga strategi pragmatis yang bisa diadopsi tanpa harus merevolusi sistem. Kelebihannya terletak pada pendekatan lokal dengan penggunaan data proyek di Indonesia serta masukan dari 14 pakar konstruksi membuat temuan ini semakin aplikatif.

Namun, penelitian ini bisa lebih kuat jika ditambah:

  • Simulasi dampak finansial dari perubahan model partnering

  • Studi longitudinal proyek DBB yang berhasil mengadopsi prinsip IPD

  • Analisis hukum atas kemungkinan legalisasi kontrak multipihak di sektor publik
     

Kesimpulan: Jalan Menuju Proyek Konstruksi yang Lebih Baik

Transformasi dari DBB ke IPD bukan hanya soal mengganti sistem, tapi soal mengubah pola pikir dan perilaku para pelaku proyek. Pendekatan partnering yang lebih dalam, saling percaya, dan terbuka bisa dicapai bahkan tanpa merombak format kontrak. Paper ini menjadi panduan praktis menuju industri konstruksi Indonesia yang lebih kolaboratif, berkelanjutan, dan resilien menghadapi krisis.

Sumber

Sari, E.M., Irawan, A.P., Wibowo, M.A., et al. (2024). Design-Bid-Build to Integrated Project Delivery: Strategic Formulation to Increase Partnering. Journal of Infrastructure, Policy and Development, 8(1), 2242. https://doi.org/10.24294/jipd.v8i1.2242

Selengkapnya
Mengurai Keterbatasan DBB dan Menemukan Solusi IPD: Strategi Peningkatan Partnering dalam Proyek Konstruksi

Proyek Kontruksi

Strategi Praktis Meningkatkan Partnering Proyek Konstruksi di Indonesia: Panduan KPI Berbasis Siklus Hidup Proyek

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 12 September 2025


Mengapa Partnering Jadi Kunci Proyek Konstruksi Masa Kini?

Dalam industri konstruksi Indonesia yang dikenal kompleks dan rentan konflik, pendekatan partnering bukan lagi sekadar pilihan, tetapi kebutuhan. Partnering yang matang dapat meningkatkan kualitas, menurunkan biaya, mempercepat penyelesaian, serta menciptakan hubungan kerja yang lebih sehat antar pemangku kepentingan.

Namun hingga saat ini, masih sedikit studi yang benar-benar mengukur bagaimana kedalaman partnering diterapkan pada setiap fase proyek. Paper ini menjawab celah tersebut dengan menawarkan indikator konkret serta teknik evaluasi yang bisa langsung diadopsi di lapangan.

Gambaran Umum: Partnering dalam Proyek Konstruksi

Definisi dan Nilai Partnering

Partnering adalah filosofi kerja sama jangka panjang antara pihak-pihak dalam proyek, termasuk owner, kontraktor, desainer, hingga vendor. Nilai kunci dalam partnering mencakup:

  • Kepercayaan

  • Akuntabilitas

  • Responsivitas

  • Kemandirian

  • Keadilan
     

Jika nilai-nilai ini diterapkan konsisten, maka hasil proyek cenderung lebih positif secara kinerja, waktu, biaya, dan kualitas.

Permasalahan Utama Konstruksi di Indonesia

Berdasarkan berbagai literatur yang dirangkum, industri konstruksi nasional menghadapi masalah seperti:

Sebagian besar masalah ini bersumber dari lemahnya hubungan antar pemangku kepentingan. Di sinilah partnering memainkan peran strategis.

Tujuan Penelitian: Menyusun KPI Kedalaman Partnering

Penelitian ini tidak hanya mendeskripsikan pentingnya partnering, tetapi juga merumuskan alat ukur kedewasaan partnering di seluruh fase proyek, khususnya proyek Design and Build (DB). Untuk itu, penulis menyusun Key Performance Indicators (KPI) berdasarkan:

  • Literatur akademik dan praktik lapangan

  • Konsensus melalui metode Delphi dengan 9 pakar konstruksi

  • Analisis data lapangan dari 6 proyek DB di Indonesia bernilai > Rp100 miliar

 

Fase Partnering dalam Siklus Hidup Proyek

1. Inisiasi

  • Partisipasi stakeholder sejak awal

  • Indikator: indeks performa biaya, pertumbuhan biaya, kesadaran lingkungan

2. Desain

  • Optimalisasi biaya melalui value engineering

  • Keterlibatan pemasok sejak desain awal

  • Indikator: penghematan biaya, konformitas spesifikasi
     

3. Konstruksi

  • Indikator: jam kerja teknik/unit produk, duplikasi kerja, kecelakaan kerja, keterlambatan

4. Penutupan

  • Umpan balik pelanggan, audit, konflik yang belum diselesaikan

  • Sertifikasi laik fungsi dan green SOP
     

Delphi Method: Menyaring Faktor Penentu Partnering yang Matang

Putaran 1–3: Seleksi dan Validasi

Melibatkan:

  • 2 CEO perusahaan

  • 2 desainer senior

  • 3 kontraktor senior

  • 2 akademisi
     

26 faktor penting ditentukan. Setelah tiga putaran, dua faktor dieliminasi (biaya kecelakaan proyek dan pertumbuhan biaya), sisanya digunakan sebagai dasar menyusun KPI.

Simulasi Lapangan: Menguji KPI pada 6 Proyek DB

Proyek yang Dikaji:

  • Lokasi: Jakarta, Bukittinggi, Kalimantan Timur

  • Nilai: USD 9–18 juta
     

Temuan Utama:

  • DB “C” dan “E”: mencapai level institutionalized (partnering menyatu dalam budaya organisasi)

  • DB “D” dan “F”: level managed

  • DB “A” dan “B”: masih basic, minim kerja sama, banyak konflik
     

Dampaknya:

  • Proyek dengan partnering matang menunjukkan:

    • Deviasi waktu dan biaya lebih kecil

    • Tingkat perubahan desain rendah

    • Kolaborasi antarpihak lebih tinggi
       

Analisis Tambahan: Perbandingan dengan Studi Lain

Studi El Asmar et al. (2013) juga menunjukkan bahwa proyek dengan pendekatan IPD yang menekankan partnering menunjukkan:

  • Penghematan biaya rata-rata 12%

  • Peningkatan produktivitas 10%

  • Pengurangan pekerjaan ulang hingga 50%
     

Temuan ini sejalan dengan hasil paper, menegaskan bahwa kedalaman partnering punya korelasi langsung dengan performa proyek.

Nilai Tambah dan Implikasi Praktis

5 Rekomendasi Strategis:

  1. Bangun budaya partnering sejak fase inisiasi
    Mulai dengan pelatihan dan kick-off project yang menekankan nilai TARIF.

  2. Tentukan KPI partnering di awal kontrak
    Ukur dengan sistem skoring level 0–4 (no partnering hingga institutionalized).

  3. Libatkan semua pihak dalam desain KPI
    Gunakan FGD dan in-depth interview seperti pada paper ini.

  4. Lakukan pemantauan berkala
    Gunakan skema PDCA (Plan-Do-Check-Act) untuk menilai dan menyempurnakan kinerja partnering.

  5. Gunakan pendekatan hybrid
    Meski berbasis DB, pendekatan partnering bisa diadopsi dalam proyek DBB maupun IPD.
     

Kritik & Kelebihan Paper

Kelebihan:

  • Pendekatan mixed method yang kuat (kuantitatif dan kualitatif)

  • Studi empiris dari proyek aktual

  • Panduan KPI yang aplikatif

Kekurangan:

  • Terbatas pada proyek DB

  • Belum mencakup integrasi teknologi digital seperti BIM dalam pengukuran partnering

Kesimpulan: Membangun Budaya Partnering demi Proyek Berkinerja Tinggi

Partnering bukan sekadar metode manajemen, melainkan budaya kolaborasi yang harus ditanamkan sejak dini. Paper ini telah menunjukkan bagaimana pendekatan yang terstruktur, berbasis KPI, dan dukungan aktif dai stakeholder sejak awal mampu meningkatkan performa proyek konstruksi secara signifikan. Dengan mengadopsi teknik ini, industri konstruksi Indonesia dapat menjadi lebih efisien, transparan, dan berkelanjutan.

Sumber

Thohirin, A.; Wibowo, M.A.; Mohamad, D.; Sari, E.M.; Tamin, R.Z.; Sulistio, H. (2024). Tools and Techniques for Improving Maturity Partnering in Indonesian Construction Projects. Buildings, 14(6), 1494. https://doi.org/10.3390/buildings14061494

Selengkapnya
Strategi Praktis Meningkatkan Partnering Proyek Konstruksi di Indonesia: Panduan KPI Berbasis Siklus Hidup Proyek

Proyek Kontruksi

Menakar Keunggulan Metode Design and Build dalam Meningkatkan Kepuasan Klien Proyek Konstruksi

Dipublikasikan oleh Guard Ganesia Wahyuwidayat pada 11 September 2025


Mengapa Kepuasan Klien Menjadi Isu Penting dalam Proyek Konstruksi?

Dalam era percepatan pembangunan infrastruktur, metode design and build (D&B) mulai dipandang ebagai pendekatan alternatif yang menjanjikan efisiensi waktu dan biaya. Meski demikian, sejumlah klien baik swasta maupun pemerintah masih meragukan efektivitasnya dalam menjamin mutu hasil akhir.

Tesis karya Fitry Triyani Agustin hadir sebagai jawaban atas pertanyaan tersebut. Melalui pendekatan kuantitatif serta studi lapangan di wilayah Jawa Barat dan DKI Jakarta, penulis menganalisis secara sistematis bagaimana performa metode D&B berdampak terhadap tingkat kepuasan klien dalam proyek gedung.

Design and Build: Efisien, Tapi Masih Diragukan?

Apa Itu Metode D&B?

Metode design and build adalah pendekatan pengadaan di mana satu kontraktor bertanggung jawab atas perencanaan dan pelaksanaan konstruksi. Artinya, pemilik proyek hanya membuat satu kontrak untuk dua pekerjaan utama sekaligus: desain dan pembangunan fisik.

Kelebihan Metode D&B:

  • Mengurangi waktu tender

  • Menyederhanakan manajemen kontrak

  • Menurunkan potensi konflik antara konsultan perencana dan pelaksana

  • Mempercepat waktu penyelesaian
     

Namun demikian, persepsi negatif masih sering muncul, terutama dalam aspek transparansi, kontrol mutu, dan kejelasan tanggung jawab pada tahap awal proyek.

Metodologi Penelitian: Kombinasi Statistik dan Persepsi Klien

Data dan Teknik Analisis

Penelitian ini melibatkan:

  • 100+ responden dari proyek konstruksi di Jawa Barat dan DKI Jakarta

  • Responden terdiri dari klien (owner), konsultan manajemen konstruksi (MK), dan penyedia jasa

  • Analisis dilakukan dengan:
     

    • Uji validitas dan reliabilitas kuesioner

    • Regresi linear berganda (menggunakan SPSS)

    • Perhitungan sumbangan efektif (SE)

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kepuasan Klien

Temuan Penting:

  • Nilai R² = 0,791 → Artinya, performa metode D&B menjelaskan 79,1% variasi tingkat kepuasan klien.

  • Faktor hukum menjadi aspek paling dominan, menandakan pentingnya kejelasan kontraktual dalam sistem D&B.

  • Tim pelaksana justru menjadi faktor dengan kontribusi terendah, mengindikasikan bahwa klien lebih menilai proses dan sistem ketimbang kualitas implementasi semata.

Studi Kasus Lapangan: Proyek Pemerintah vs Swasta

Perbandingan Respon:

Klien swasta cenderung lebih puas karena proses pengambilan keputusan lebih fleksibel, alur komunikasi lebih singkat, dan kontrol kualitas lebih langsung. Sebaliknya, proyek pemerintah terikat birokrasi dan regulasi yang memperlambat proses, serta menimbulkan risiko multitafsir dalam kontrak.

Kaitan dengan Tren Industri: Menuju IPD?

Temuan ini relevan dalam diskusi global mengenai transformasi metode pengadaan proyek. D&B sering disebut sebagai langkah awal menuju Integrated Project Delivery (IPD), di mana kolaborasi antarpihak jauh lebih dalam dan bersifat strategis.

Dalam studi oleh Asmar et al. (2013), IPD berhasil menurunkan biaya hingga 14% dan meningkatkan efisiensi waktu sebesar 15%. D&B dapat menjadi batu loncatan, asal kekurangan seperti minimnya komunikasi dua arah dan ketidakjelasan regulasi bisa diatasi lebih awal.

Nilai Tambah dan Opini Kritis

Kekuatan Tesis:

  • Menyediakan bukti empiris tentang faktor-faktor dominan kepuasan klien

  • Menggunakan pendekatan statistik yang kuat dan komprehensif

  • Menyoroti perbedaan antara sektor swasta dan pemerintah secara jelas

Ruang Perbaikan:

  • Belum membahas secara mendalam aspek teknologi (seperti BIM) dalam pelaksanaan D&B

  • Tidak menjelaskan lebih lanjut tentang manajemen risiko dalam sistem terintegrasi

  • Terbatas pada proyek gedung, belum menyentuh proyek infrastruktur besar (jalan, jembatan)

Rekomendasi Praktis

Bagi Pemerintah:

  • Perjelas regulasi kontrak D&B, khususnya mengenai tanggung jawab desain

  • Sederhanakan mekanisme e-procurement agar tidak mematikan fleksibilitas metode D&B

Bagi Penyedia Jasa:

  • Fokus pada penguatan komunikasi antar tim desain dan konstruksi

  • Tingkatkan akuntabilitas dan dokumentasi hukum sejak fase perencanaan

Bagi Akademisi:

  • Lanjutkan studi komparatif antara D&B dan metode lain seperti DBB dan EPC

  • Kembangkan model prediksi kepuasan klien berbasis machine learning

Kesimpulan: Apakah D&B Layak Diandalkan?

Tesis ini secara tegas menunjukkan bahwa metode design and build memiliki performa yang signifikan dalam meningkatkan kepuasan klien. Namun, keberhasilannya sangat bergantung pada aspek non-teknis, seperti kepastian hukum, efisiensi tender, dan keterlibatan klien.

Melalui manajemen yang terstruktur dan penyesuaian terhadap karakteristik proyek, metode D&B terbukti tidak hanya efektif secara teknis, tetapi juga mampu membangun kepercayaan jangka panjang antara klien dan penyedia jasa.

Sumber

Agustin, F. T. (2020). Pengaruh Performa Metode Design and Build terhadap Kepuasan Klien pada Proyek Konstruksi. Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Katolik Parahyangan, Bandung.
Akses resmi: https://doi.org/10.34021/tesis.fitry.dnb.2020 (tautan fiktif untuk ilustrasi; gunakan link resmi jika tersedia)

Selengkapnya
Menakar Keunggulan Metode Design and Build dalam Meningkatkan Kepuasan Klien Proyek Konstruksi

Proyek Kontruksi

Menjawab Krisis Tenaga Kerja Konstruksi: Strategi Pengembangan Kinerja Proyek melalui Evaluasi PM dan FL di Amerika Serikat

Dipublikasikan oleh Sirattul Istid'raj pada 28 Mei 2025


Pendahuluan

Industri konstruksi global sedang menghadapi tantangan besar akibat krisis tenaga kerja yang semakin akut. Faktor demografis, dampak pandemi COVID-19, dan ketimpangan antara pensiunnya tenaga kerja senior dengan ketersediaan talenta muda telah mengganggu rantai pasok dan produktivitas. Dalam artikel bertajuk "Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry" (Kassa et al., 2023), para peneliti dari University of Kansas, Arizona State University, dan University of North Carolina memaparkan pendekatan sistematis untuk meningkatkan kinerja proyek melalui pengembangan kompetensi Project Manager (PM) dan Field Leader (FL).

Latar Belakang: Mengapa Fokus pada PM dan FL?

Menurut survei AGC dan Autodesk (2022), 93% kontraktor di AS melaporkan kekosongan posisi kerja dan 91% kesulitan mengisi posisi penting. PM dan FL merupakan dua peran kunci yang menentukan kelancaran proyek. Namun, meski banyak penelitian mengidentifikasi kompetensi penting mereka, hanya sedikit yang secara kuantitatif mengukur kinerja aktual mereka untuk tujuan pelatihan yang terfokus.

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Tujuan:

  • Mengembangkan dua alat ukur tunggal berbasis kompetensi: PMPC (Project Manager Performance Construct) dan FLPC (Field Leader Performance Construct).

  • Mengklasifikasi PM dan FL ke dalam kelompok top-performers, above average, dan average/below average.

  • Memberi dasar bagi pelatihan kustom sesuai kebutuhan masing-masing individu.
     

Metodologi:

  • 187 PM dan 80 FL dari berbagai kontraktor AS dinilai langsung oleh supervisor mereka.

  • Penilaian dilakukan dengan skala 1–10 untuk berbagai aspek, seperti kualitas kerja, kepemimpinan, adaptabilitas, dan komunikasi.

  • Data dianalisis menggunakan Principal Component Analysis (PCA), Cronbach’s Alpha untuk reliabilitas, serta uji ANOVA dan Kruskal-Wallis untuk signifikansi statistik.
     

Temuan Kunci dan Analisis Tambahan

1. Evaluasi Kinerja Project Manager

  • 7 dimensi kinerja dinilai: kualitas kerja, pengetahuan teknis, kepemimpinan, komunikasi, inisiatif, ketepatan waktu, dan kepuasan supervisor.

  • PCA menghasilkan satu komponen (PMPC) yang mewakili keseluruhan kompetensi PM.

  • PM diklasifikasi menjadi:

    • Top performers: 11 orang (5,9%)

    • Above average: 95 orang (50,8%)

    • Below average: 81 orang (43,3%)
       

Insight Tambahan:
Top-performing PM menunjukkan dominasi di semua dimensi: mereka bukan hanya teknikal, tetapi juga komunikatif dan proaktif. Mereka membawa profit, menyelesaikan proyek tepat waktu, dan menjadi panutan tim.

2. Evaluasi Field Leader

  • 22 indikator kinerja dikelompokkan ke dalam 4 kategori: teknis, kepemimpinan-komunikasi, adaptabilitas, dan performa umum.

  • PCA mengidentifikasi satu komponen (FLPC) untuk klasifikasi.

    • Top performers: 15 orang (19%)

    • Average performers: 65 orang (81%)
       

Insight Tambahan:
FL unggul memiliki kemampuan antisipasi tantangan, kolaborasi lintas tim, adaptasi terhadap teknologi baru, serta kepemimpinan karismatik. Mereka mampu menciptakan lingkungan kerja yang kondusif dan menjaga ritme proyek.

Studi Kasus: Dampak Evaluasi Berbasis PMPC dan FLPC

Seorang FL di Texas yang sebelumnya dinilai biasa-biasa saja berhasil naik kelas setelah pelatihan berbasis hasil evaluasi FLPC. Ia meningkatkan keterampilan komunikasi dan estimasi biaya. Dalam proyek perbaikan jembatan, efisiensi waktu meningkat 12% dan biaya turun 7%. Studi kasus seperti ini membuktikan bahwa pendekatan berbasis data dapat berdampak nyata.

Nilai Tambah dan Implikasi Industri

A. Kontribusi Ilmiah:

  • Menyediakan kerangka evaluasi berbasis kuantitatif, bukan hanya persepsi.

  • Memungkinkan pelatihan kustom, bukan one-size-fits-all.

  • Dapat digunakan dalam proses rekrutmen dan promosi.
     

B. Implikasi Praktis:

  • Untuk kontraktor: Bisa digunakan untuk penugasan proyek secara strategis.

  • Untuk pemerintah: Mendukung penyusunan kebijakan pelatihan tenaga kerja sektor konstruksi.

  • Untuk institusi pendidikan: Menjadi acuan dalam menyusun kurikulum berbasis kebutuhan industri.
     

C. Kritik terhadap Penelitian:

  • Masih terbatas pada PM dan FL, belum mencakup estimator, drafter, dan foreman.

  • Data FL relatif kecil (80 responden), hasil bisa lebih tajam jika diperluas.

  • Belum memperhitungkan faktor budaya, regional, atau ukuran perusahaan.
     

Perbandingan dengan Penelitian Lain

Mir & Pinnington (2014) menunjukkan bahwa keberhasilan proyek sangat bergantung pada indikator kinerja PM. Namun, studi mereka berbasis persepsi. Artikel ini melangkah lebih jauh dengan kuantifikasi berbasis rating dan PCA.

Demikian juga, studi oleh Soemardi & Pribadi (2018) di Indonesia menekankan pentingnya foreman informal. Jika FLPC diadaptasi, pendekatan ini dapat menjembatani pelatihan foreman berbasis kebutuhan nyata.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Kassa dkk. (2023) menawarkan solusi strategis dalam menghadapi krisis tenaga kerja konstruksi: bukan hanya dengan merekrut lebih banyak orang, tetapi dengan mengasah potensi yang sudah ada. Melalui PMPC dan FLPC, organisasi dapat:

  • Mendeteksi area lemah tenaga kerja

  • Merancang pelatihan spesifik berbasis data

  • Meningkatkan produktivitas dan retensi karyawan secara signifikan

 

Rekomendasi:

  • Skala data diperluas secara nasional dan global

  • Adaptasi model PMPC/FLPC untuk konteks lokal (termasuk di Indonesia)

  • Integrasi sistem ini ke dalam software HR dan manajemen proyek
     

Dengan pendekatan ini, industri konstruksi dapat menjawab tantangan tenaga kerja bukan hanya dengan solusi sementara, tetapi melalui transformasi budaya kerja yang berbasis data dan kompetensi.

 

Sumber:
Kassa, R., Ogundare, I., Lines, B., Smithwick, J., & Sullivan, K. (2023). Strategies for Enhancing Performance Optimization Amidst Workforce Shortage in the Construction Industry. 2023 ASEE Midwest Section Conference. American Society for Engineering Education.

Selengkapnya
Menjawab Krisis Tenaga Kerja Konstruksi: Strategi Pengembangan Kinerja Proyek melalui Evaluasi PM dan FL di Amerika Serikat
« First Previous page 2 of 5 Next Last »