Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 06 Mei 2024
Rumoh Acèh (dalam bahasa Aceh) merupakan rumah adat khas suku Aceh. Rumah ini bertipe rumah panggung dengan 3 bagan utama dan 1 bagian tambahan. Tiga bagian utama dari rumah Aceh yaitu seuramoë keuë (serambi depan), seuramoë teungoh (serambi tengah) dan seuramoë likôt (serambi belakang). Sedangkan 1 bagian tambahannya yaitu rumoh dapu (rumah dapur). Atap rumah berfungsi sebagai tempat penyimpanan pusaka keluarga.
Bagi suku bangsa Aceh, segala sesuatu yang akan mereka lakukan, selalu berlandaskan kitab adat. Kitab adat tersebut dikenal dengan Meukeuta Alam. Salah satu isi di dalam terdapat tentang pendirian rumah. Di dalam kitab adat menyebutkan: ”Tiap-tiap rakyat mendirikan rumah atau masjid atau balai-balai atau meunasah pada tiap-tiap tiang di atas itu hendaklah dipakai kain merah dan putih sedikit”. Kain merah putih yang dibuat khusus di saat memulai pekerjaan itu dililitkan di atas tiang utama yang di sebut tamèh raja dan tamèh putroë”. Oleh karenanya terlihat bahwa Suku Aceh bukanlah suatu suku yang melupakan apa yang telah diwariskan oleh nenek moyang mereka.
Dalam kitab tersebut juga dipaparkan bahwa; dalam Rumoh Aceh, bagian rumah dan pekarangannya menjadi milik anak-anak perempuan atau ibunya. Menurut adat Aceh, rumah dan pekarangannya tidak boleh di pra-é, atau dibelokkan dari hukum waris. Jika seorang suami meninggal dunia, maka Rumoh Aceh itu menjadi milik anak-anak perempuan atau menjadi milik isterinya bila mereka tidak mempunyai anak perempuan.Untuk itu, dalam Rumah Adat Aceh, istilah yang dinamakan peurumoh, atau jika diartikan dalam bahasa Indonesia adalah orang yang memiliki rumah.
Material
Rumoh Aceh bermaterial kayu pilihan. Kayu tersebut digunakan sebagai tiang-tiang penyangga rumah yang berjumlah 16, 24 atau 32 tiang. 16 tiang untuk rumah bertipe 3 ruangan, 24 tiang untuk rumah bertipe 5 ruangan dan 32 tiang untuk rumah bertipe 7 ruangan. Sedangkan dinding rumah bermaterial papan keras yang dilengkapi ukiran khas Aceh. Begitu juga dengan alas rumah yang terbuat dari papan, papan-papan tersebut hanya disematkan begitu saja tanpa dipaku sehingga mudah dilepas dan memudahkan ketika pemandian jenazah karena air tumpah langsung ke tanah. Adapun atap bermaterial daun rumbia. Daun rumbia bersifat ringan dan memberikan efek sejuk kepada rumah, selain itu struktur anyaman yang ditali dapat dipotong dengan mudah jika sewaktu-waktu terjadi kebakaran. Dalam memperkuat bangunan rumah aceh tidak menggunakan paku, melainkan memakai pasak atau pengikat dari tali rotan.
Fungsi dan Filosofi
Rumah Aceh tidak hanya berfungsi sebagai hunian. Tetapi juga mencerminkan keyakinan kepada Tuhan. Hal tersebut terlihat dari bangunan rumah yang berbentuk segi empat dan memanjang dari timur ke barat membentuk garis imajiner ke Ka'bah. Bagian sisi rumah yang menghadap barat dan timur pun berfungsi mengantisipasi badai. Hal ini karena angin badai di Aceh jika tidak bertiup dari barat, maka akan bertiup dari Timur.
Fungsi lainnya rumah aceh adalah menunjukan status sosial pemiliknya. Semakin banyak hiasan maka semakin kaya pemiliknya. Sedangkan untuk pemilik yang sederhana hiasannya relatif sedikit bahkan tidak ada sama sekali.
Rumah yang berbentuk panggung menyebabkan terdapat jarak antara permukaan tanah dengan lantai dasar. Biasanya jarak lantai dasar dari permukaan tanah terpisah 9 kaki atau lebih. Desain ini memiliki fungsi keselamatan dari gangguan binatang buas dan bencana banjir. Maksudnya, jika terjadi banjir maka penghuni rumah tidak ikut kebasahan atau pun terbawa arus banjir. Sedangkan bagian pintu dibangun setinggi 120–150 cm, hal tersebut membuat orang yang masuk harus sedikit menunduk ketika memasuki rumah. Filosofi menunduk ini adalah sebuah bentuk penghormatan kepada pemilik rumah tanpa melihat status sosial atau derajat sang tamu. Konsekuensi dari bentuk rumah yang panggung menyebabkan rumah aceh mempunyai tangga, anak-anak tangganya sengaja berjumlah ganjil. Menurut adat Aceh, angka ganjil bersifat unik dan sulit ditebak.
Bagian-bagian rumah
Bagian bawah rumah aceh disebut meuyup rumoh. Bagian meuyup rumoh merupakan bagian kosong diantara lantai rumah dengan permukaan tanah. Ruang kosong ini dimanfaatkan berbagai keperluan, seperti arena bermain anak, tempat kadang hewan peliharaan, tempat membuat ija sungkét (kain songket) khas Aceh dan tempat berjualan. Selain itu ruang kosong ini bisa dijadikan tempat penyimpanan penumbuk padi yang bernama jeungki dan sebuah krong pade (tempat menyimpan padi berbentuk bulat dengan tinggi dan diameter mencapai dua meter)
Bagian tengah rumah aceh merupakan tempat utama penghuni, di mana didalamnya tempat dilakukan segala aktivitas. Bagian ini terbagi menjadi tiga, yakni seuramoe reungeun (serambi depan), sueramoe teungoh (serambi tengah) dan seuramoe likot(serambi belakang)
Pertama serambi depan, ruangan ini tidak bersekat dan pintunya berada di ujung lantai sebelah kanan. Ruangan ini berfungsi untuk menerima tamu, tempat tidur anak laki-laki dan tempat mengaji. Sesekali ruangan ini difungsikan untuk menjamu tamu penting seperti makan bersama dan acara keduri.
Kedua serambi tengah, ruangan ini merupakan bagian inti dari rumah biasa disebut juga sebagai rumoh inong (rumah induk). Ruangan ini terletak lebih tinggi karena dianggap suci dan bersifat pribadi. Di dalam ruangan ini terdapat dua kamar yang menghadap utara atau selatan dengan pintu menghadap ke belakang. Kamar untuk kepala keluarga disebut rumoh inong, sedangkan untuk anak perempuan disebut rumoh anjung. Ketika anak perempuan menikah maka pengantin akan menempati rumoh inong sedangkan kepala keluarga di rumah anjong. Jika anak perempuan kedua menikah, rumoh inong difungsikan untuk pengantin dan kepala keluarga pindah ke rumoh likot sampai sang anak memiliki rumah sendiri. Selain itu rumoh inong difungsikan juga sebagai tempat memandikan mayat ketika ada peristiwa kematian keluarga.
Ketiga, serambi belakang. Serambi ini tingginya sama dengan serambi depan. Ruangannya tidak bersekat dan tidak ada kamar. Ruangan ini difungsikan sebagai ruang keluarga, tempat makan bersama keluarga atau bahkan dapur maupun tempat menenun-menyulam.
Bagian atas rumah berbentuk loteng segitiga yang mengerucut kebagian atas sehingga tampak lancip. Bagian atas ini disebut bubong. Bubong yang menyatukan bubong bagian kiri dengan bagian kanan disebut perabung. Letak bagian atas terletak tepat di atas serambi tengah. Fungsinya sebagai tempat penyimpanan barang-barang berharga keluarga.
Kontruksi dan elemen rumah
Konstruksi rumoh Aceh terbilang kokoh dan mempunya fungsi antisipasi bencana seperti gempa dan banjir. Terbukti, ketika peristiwa tsunami tahun 2004, rumoh aceh tidak bergeser sedikit pun dan tidak mengalami kerusakan berarti. Kekokohan rumoh aceh ini ditopang oleh konstruksi tiang-tiang penyangga. Ukuran tiap tiangnya berkisar 20–35 cm, di mana disetiap ujung bawah tiang dilengkapi batu landasan yang berguna mengantisipasi kayu masuk ke tanah ketika banjir/tanahnya lembab. Di bagian lantai terdapat balok penyangga. Balok-balok tersebut disusun rapat-rapat, sehingga kemungkinan roboh menjadi kecil.
Selain konstruksi, rumoh Aceh pun mempunyai elemen-elemen yang berguna sebagai penyangga dan penguat di setiap elemennya pun terdapat filosofinya. Berikut pemaparannya:
Dalam proses pengukuran, seluruh elemen rumah Aceh pengukurannya menggunakan alat ukur tradisional masyarakat Aceh, yaitu ukuran dengan anggota tubuhuh. Alat ukur tersebut antara lain jaroe (jari), hah (hasta), jingkai (jengkal , deupa (depa), dan lain-lain.
Misalnya, untuk mengukur puting balok dilakukan beberapa jari, sijaroe, dua jaroe, dan seterusnya; untuk mengukur panjang balok bisa dengan hasta seperti sihah, dua hah, dan seterusnya; untuk mengukur sesuatu yang pendek bisa dengan jengkal atau depa. Meengukur panjang balok bisa dengan hasta seperti sihah, dua hah, dan seterusnya; untuk mengukur sesuatu yang pendek bisa dengan jengkal atau depa.
Filosofi warna
Rumoh Aceh tidak sembarang dalam menggunakan warna, dalam setiap warnanya terdapat filosofi tersendiri, yaitu:
Kuning : Warna kuning digunakan di sisi segitiga perabung. Bagi adat aceh kuning bermakna kuat, hangat sekaligus memberikan kesan cerah. Selain itu, warna kuning tidak memantulkan sinar matahari.
Merah : Warna merah dipilih untuk melengkapi garis ukiran rumoh aceh. Warna merah bermaknakan emosi yang berubah-ubah dan naik turun. Sifat tersebut mencerminkan gairah, senang dan semangat. Hal tersebut menunjukan emosi orang Aceh naik turun sekaligus dipenuhi gairah dan semangat mengerjakan sesuatu. Emosi sejenis ini selaras dengan hadih maja/paribahasa Aceh yang berbunyi: "ureueng Aceh h'an jeuet teupèh, meunyo teupèh bu leubèh h'an jipeutaba, meunyo hana teupèh bak marèh jeuet taraba". Artinya orang Aceh tidak boleh tersinggung, jika tersinggung, nasi lebih pun tidak mau ia tawarkan, jika tidak tersinggung, nyawa ia berikan’.
Putih : Warna putih yang digunakan adalah putih netral yang bermaknakan suci dan bersih.
Jingga : Penggunaan orangnye dimaksudkan memberi makna kehangatan, kesehatan pikiran dan kegembiraan.
Hijau : Penggunakan warna hijau bermaknakan kesejukan, kesuburan dan kehangatan. Hal tersebut berkaitan dengan hijau itu tumbuhan dan warna padi sebelum matang.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 06 Mei 2024
Dalam dunia bangunan dan desain, istilah 'arsitek', 'firma arsitektur', dan 'firma teknik' sering digunakan secara bergantian, namun ketiganya mewakili entitas yang berbeda dalam industri konstruksi. Memahami perbedaan ini sangat penting bagi siapa pun yang memulai proyek arsitektur komersial, karena hal ini dapat menentukan dengan siapa Anda akan bekerja untuk merancang dan menyelesaikan proyek Anda.
Blog ini akan mengeksplorasi perbedaan-perbedaan ini, memberikan saran kapan harus menyewa masing-masing, dan menyoroti manfaat bekerja sama dengan firma arsitektur dibandingkan dengan firma teknik atau arsitek tunggal.
Arsitek vs firma arsitektur
Arsitek adalah profesional berlisensi yang mendesain bangunan dan sering kali mengawasi pembangunannya. Mereka menggabungkan visi artistik dengan keahlian teknis untuk menciptakan struktur yang fungsional dan estetis. Arsitek harus memiliki gelar di bidang arsitektur, lulus serangkaian ujian, dan memenuhi persyaratan lisensi lainnya.
Firma arsitektur, di sisi lain, adalah bisnis yang mempekerjakan beberapa arsitek dan menawarkan layanan yang lebih luas daripada arsitek perorangan. Sementara seorang arsitek dapat mengerjakan aspek desain bangunan, firma arsitektur dapat mengelola seluruh siklus hidup proyek bangunan, dari konsep hingga penyelesaian. Untuk memastikan bahwa proyek sesuai dengan visi, anggaran, dan batasan waktu klien, firma arsitektur juga akan berkoordinasi dengan berbagai pemangku kepentingan, termasuk klien, insinyur, dan kontraktor.
Firma arsitektur vs firma teknik
Sementara firma arsitektur berfokus pada desain dan estetika bangunan, firma teknik berspesialisasi dalam aspek teknis dan strukturalnya. Perusahaan teknik bertanggung jawab untuk memastikan bahwa sebuah bangunan aman, fungsional, dan sesuai dengan kode dan peraturan bangunan. Mereka fokus pada integritas mekanik, listrik, dan struktural bangunan untuk memastikan bangunan tersebut dapat bertahan dalam segala kondisi.
Meskipun demikian, arsitek dan insinyur sering kali berkolaborasi dalam proyek arsitektur, dengan arsitek berfokus pada tampilan dan nuansa bangunan secara keseluruhan. Namun, para insinyur berkonsentrasi untuk membuat visi tersebut layak secara struktural dan aman. Meskipun firma arsitektur mungkin memiliki insinyur sebagai staf, firma teknik biasanya tidak memiliki arsitek. Oleh karena itu, keduanya memainkan peran yang berbeda namun saling melengkapi dalam proses konstruksi.
Kapan harus menyewa yang mana
Memutuskan apakah akan menyewa arsitek, firma arsitektur, atau firma teknik tergantung pada ruang lingkup dan kompleksitas proyek Anda. Untuk proyek berskala kecil atau saran arsitektur yang spesifik, seorang arsitek individu mungkin sudah cukup. Namun, untuk proyek yang lebih besar dan lebih kompleks, seperti ruang kantor komersial, sekolah, atau gudang, firma arsitektur sering kali merupakan pilihan yang lebih baik, karena mereka dapat menawarkan berbagai keahlian.
Jika proyek Anda melibatkan pekerjaan struktural yang kompleks atau membutuhkan solusi teknik khusus, berkolaborasi dengan perusahaan teknik sangatlah penting. Dalam banyak kasus, terutama untuk proyek komersial, Anda memerlukan firma arsitektur dan firma teknik, karena mereka akan bekerja sama untuk mewujudkan visi Anda dengan cara yang aman, fungsional, dan menyenangkan secara estetika.
Manfaat menyewa firma arsitektur
Memilih firma arsitektur, dibandingkan dengan arsitek tunggal atau tim kecil arsitek, menawarkan beberapa keuntungan yang berbeda. Pertama dan terutama, Anda akan mendapatkan akses ke tim profesional dengan beragam keterampilan dan perspektif, yang dapat memberikan solusi desain yang lebih inovatif dan komprehensif.
Perusahaan arsitektur juga mengelola seluruh siklus hidup proyek, yang dapat mengurangi sebagian besar stres yang terkait dengan proyek bangunan. Tidak seperti arsitek, yang cenderung berspesialisasi dalam desain, banyak firma arsitektur menawarkan layanan manajemen konstruksi dan manajemen proyek. Layanan ini dapat mencakup mematuhi jadwal konstruksi, anggaran, atau kendala lain dari klien. Layanan ini juga mencakup koordinasi dengan pejabat bangunan dan perencanaan setempat. Mereka juga telah menjalin hubungan dengan kontraktor dan pemasok, yang dapat sangat berharga dalam memastikan kualitas dan efisiensi proyek Anda.
Dengan menyewa firma arsitektur, Anda dapat yakin bahwa proyek Anda akan dikelola secara profesional dari awal hingga akhir, karena mereka berhasil mewujudkan visi Anda.
Kesimpulan
Memahami perbedaan antara arsitek, firma arsitektur, dan firma teknik sangat penting bagi siapa pun yang terlibat dalam proyek konstruksi. Meskipun masing-masing memainkan peran unik dalam proses pembangunan, firma arsitektur sering kali merupakan pilihan terbaik untuk memulai proyek komersial.
Bagi mereka yang sedang mempertimbangkan proyek arsitektur komersial di Austin-atau di mana pun di Amerika Serikat-pertimbangkan untuk menghubungi Fuse Architecture Studio hari ini. Kami adalah firma arsitektur pemenang penghargaan dengan pengalaman luas dalam membangun semua jenis properti komersial. Kami mengutamakan klien kami di setiap tahap proses desain dan konstruksi untuk menjamin produk jadi kami memenuhi harapan mereka. Penekanan kami pada hubungan pribadi, profesionalisme, dan keahlian yang luas membuat Fuse sangat cocok untuk proyek komersial, pendidikan, atau industri apa pun.
Disadur dari: https://www.fuse-arch.com/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 06 Mei 2024
Arsitektur Batak mengacu pada tradisi dan desain arsitektur yang terkait dari berbagai suku Batak di Sumatera Utara, Indonesia. Enam kelompok Batak berbicara dalam bahasa yang terpisah namun saling terkait: Angkola, Mandailing di selatan, Toba, Pakpak/Dairi di utara, Simalungun, dan Karo. Meskipun kelompok-kelompok ini sekarang beragama Islam atau Kristen, unsur-unsur agama Batak kuno masih ada, terutama di antara suku Karo.
Bale ("balai pertemuan"), rumah ("rumah"), dan sopo ("lumbung padi") adalah tiga jenis bangunan utama yang umum dimiliki oleh kelompok-kelompok Batak yang berbeda. Rumah secara tradisional adalah rumah besar tempat sekelompok keluarga tinggal bersama. Pada siang hari, bagian dalam rumah menjadi ruang tamu bersama, dan pada malam hari, tirai kain atau anyaman memberikan privasi bagi keluarga. Sebagian besar orang Batak sekarang tinggal di rumah-rumah modern, dan banyak rumah tradisional yang ditinggalkan atau dalam kondisi rusak.
Arsitektur dan tata letak desa dari keenam kelompok Batak juga menunjukkan perbedaan yang signifikan. Rumah-rumah Batak Toba, misalnya, berbentuk perahu dengan atap pelana yang diukir rumit dan bubungan atap yang menjulang ke atas. Rumah Batak Karo menjulang tinggi dan bertingkat. Keduanya dibangun di atas tiang pancang dan berasal dari model Dong-Son kuno.
Desa-desa
Suku Batak Toba dan Karo tinggal di desa-desa permanen dan membudidayakan padi dan sayuran beririgasi. Di sisi lain, suku Angkola, Mandailing, dan Pakpak mempraktikkan pertanian ladang tebang dan bakar yang mengharuskan mereka berpindah-pindah tempat dan desa-desa mereka hanya bersifat semi permanen.
Penanaman padi beririgasi dapat mendukung populasi yang besar, dan suku Toba dan Karo tinggal di desa-desa yang mengelompok, yang dibatasi sekitar sepuluh rumah untuk menghemat lahan pertanian. Pertanian tebang-bakar yang tidak beririgasi mendukung desa-desa yang lebih kecil dengan hanya beberapa rumah. Semua desa terletak di dekat aliran air dan ladang. Perang Batak sebelum abad ke-20 membuat desa-desa berada di posisi yang mudah dipertahankan. Benteng-benteng bambu yang tinggi membentengi desa-desa Pakpak dan benteng-benteng tanah dengan pagar bambu dan pepohonan.
Setiap kelompok Batak memiliki aturan dan tradisi yang memandu tata letak desa. Rumah-rumah Batak Toba dibangun berdampingan dengan atap pelana menghadap ke jalan. Secara tradisional, setiap rumah memiliki lumbung padi di seberangnya yang akan menjadi barisan pelengkap di desa. Jalan yang terbentuk di antara deretan rumah dan lumbung padi dikenal sebagai alaman dan digunakan sebagai area untuk menjemur padi. Suku Mandailing juga membangun rumah mereka dalam barisan, namun, seperti Minangkabau, atap pelana depan menghadap ke atap pelana belakang rumah tetangganya. Suku Karo dan Pakpak tidak membangun rumah mereka di jalan-jalan, melainkan di sekitar pusat-pusat desa seperti balai pertemuan (bale) atau tempat menumbuk padi (lesung).
Arsitektur Toba
Budaya Batak Toba berpusat di Danau Toba dan pulau suci Samosir yang terletak di dalamnya. Jabu adalah kata dalam bahasa Toba untuk rumah adat. Rumah-rumah ini terdiri dari tiga bagian. Bagian bawah rumah terdiri dari pilar-pilar kayu besar yang bertumpu pada batu datar (atau beton saat ini) yang melindungi struktur rumah dari kelembaban. Beberapa pilar ini menopang balok-balok memanjang yang dikenal sebagai labe-labe, yang membentang sepanjang rumah setinggi kepala untuk menopang atap yang besar. Pilar-pilar lainnya menopang dua balok besar dengan ukiran kepala singa yang, dengan dua balok lateral yang disatukan, membentuk sebuah balok cincin besar yang menopang ruang tamu kecil. Substrukturnya diperkuat dengan balok-balok yang disatukan dengan tiang-tiang yang berfungsi ganda sebagai kandang malam untuk ternak. Dindingnya ringan dan condong ke arah luar dan memberikan stabilitas tambahan pada struktur. Dinding dan pelat dinding yang menopang kasau menggantung pada labe-labe dengan tali rotan, sementara dasar dinding berada di atas balok ring. Kasau muncul dari pelat dinding dan miring ke arah luar sehingga menghasilkan lekukan atap. Alih-alih reng penguat horisontal, ikatan diagonal-membentang dari tengah labe-labe ke ujung atap pelana-memberikan penguatan.
Atap pelana belakang yang besar dan miring mendominasi strukturnya. Atapnya terbuat dari jerami tradisional, dan tanpa rangka atap internal, atap ini menyediakan ruang internal yang besar. Atap segitiga yang diproyeksikan dengan tajam dan atap pelana tumpang tindih di sekeliling substruktur. Atap pelana depan lebih panjang dari atap pelana belakang dan diukir dan dilukis dengan halus dengan motif matahari, bintang, ayam jantan, dan motif geometris berwarna merah, putih, dan hitam. Atap belakang tetap polos.
Ruang tamu yang ditopang oleh balok-balok menyamping dan melintang berukuran kecil dan gelap. Cahaya masuk melalui jendela kecil di keempat sisinya. Penghuninya menghabiskan sebagian besar waktunya di luar ruangan dan rumah ini sebagian besar digunakan untuk tidur. Langit-langit kayu datar di atas sepertiga bagian depan ruang tamu menyediakan ruang loteng. Benda-benda pusaka keluarga dan terkadang tempat pemujaan disimpan di sini. Secara tradisional, orang Batak Toba akan memasak di atas perapian di bagian depan ruang tamu yang membuat ruang tamu berasap. Dengan perubahan terbaru dalam praktik kebersihan, dapur sekarang sering kali berada di bagian belakang rumah.
Rumah-rumah asli Batak Toba adalah rumah komunal yang besar, namun sekarang sudah jarang ditemukan, dengan sebagian besar rumah sekarang dibangun dengan gaya etnis Melayu dengan bahan modern dan tradisional. Meskipun lebih luas, berventilasi lebih baik, lebih terang, dan lebih murah untuk dibangun, jabu dianggap lebih bergengsi. Di mana jabu masih ditinggali, mereka umumnya merupakan tempat tinggal keluarga tunggal yang lebih kecil. Jika versi jabu sebelumnya diakses melalui pintu jebakan yang menyembunyikan tangga di lantai, sekarang ini tidak terlalu berbahaya, dan tangga kayu yang lebih nyaman di bagian depan rumah menyediakan akses.
Lumbung padi Batak Toba (sopo) dibangun dengan gaya yang sama namun lebih kecil dari jabu. Padi disimpan di dalam atap dan ditopang oleh enam pilar kayu besar, yang membawa cakram kayu besar untuk mencegah masuknya hewan pengerat. Platform terbuka di bawah struktur atap digunakan sebagai ruang kerja dan ruang penyimpanan umum dan sebagai tempat tidur untuk tamu dan pria yang belum menikah. Lumbung padi sekarang jarang digunakan untuk penyimpanan biji-bijian, dan banyak yang telah dikonversi menjadi ruang tamu dengan menembok bagian terbuka antara sub-struktur dan atap dan menambahkan pintu.
Arsitektur Karo
Rumah Karo anjong-anjong (miniatur rumah di atasnya sebagai hiasan) dan si empat ayo (dua atap pelana di sudut kanan)
Rumah adat Karo, yang dikenal sebagai 'Siwaluh Jabu', seperti halnya Rumah Aceh, berorientasi Utara-Selatan, mungkin untuk berlindung dari matahari.
Rumah adat Karo adalah rumah panjang, untuk hunian beberapa keluarga, hingga dua belas keluarga di beberapa daerah, meskipun biasanya delapan keluarga. Rumah panjang Karo akan berukuran besar, untuk menampung begitu banyak keluarga, dan dibangun di atas panggung.
Rumah-rumah ini dibangun dari kayu dan bambu, menggunakan serat ijuk untuk pengikat (tidak ada paku atau sekrup) dan atap jerami. Desainnya secara alami tahan gempa.
Untuk memilih lokasi yang cocok untuk rumah, guru (dukun) akan dikonsultasikan, yang akan menentukan apakah tanah itu buruk atau baik. Sebidang tanah akan dipatok dengan menggunakan pelepah kelapa, dan penduduk desa lainnya akan diberi waktu empat hari untuk mengajukan keberatan atas pembangunan yang diusulkan.
Setelah empat hari berlalu, sebuah lubang digali di tengah-tengah petak tanah tersebut, dan di dalamnya diletakkan pisau, daun sirih, dan beras. Sang guru dan kalimbubu serta anak beru akan melakukan ritual untuk menentukan apakah tanah tersebut cocok.
Setelah lokasi siap, upacara tujuh hari dilakukan, berkonsultasi dengan roh-roh hutan (untuk kayu) dan mengatur pembayaran untuk pengrajin yang bertanggung jawab untuk membuat dekorasi rumah.
Warna-warna yang digunakan dalam desain Karo adalah merah, putih, dan hitam. Merah menandakan semangat untuk hidup, 'bangun dan pergi', warna yang terlihat pada pakaian tradisional yang digunakan dalam pernikahan, hitam warna kematian, ketidaktahuan manusia akan kehendak Dibata (Tuhan), dan putih, warna kesucian Tuhan.
Ornamen merupakan hal yang mendasar dalam rumah Karo, dengan tanduk kerbau sebagai dekorasi penting rumah adat,[5] dan dua tanduk yang dicat putih dipasang di setiap ujung atap (pemasangannya dilakukan pada malam hari, sehingga tidak ada orang yang melihatnya), menggunakan kerbau jantan dan betina. Ornamen di rumah-rumah Karo secara tradisional berfungsi untuk melindungi penghuninya dari roh-roh jahat, dan untuk menunjukkan status pemiliknya. Dengan memudarnya kepercayaan religius tradisional (permena), ornamen-ornamen tersebut kini sebagian besar bersifat dekoratif dan menjadi pengingat akan tradisi budaya masa lalu.
Ornamen rumah Karo dapat ditemukan dalam tiga cara:
Atap
Atap rumah Karo berbeda dengan rumah orang Batak lainnya, yaitu atap yang miring. Atap adalah fitur dominan dari rumah, terkadang setinggi 15 meter, dengan penyangga dan dinding yang masing-masing sekitar 1,5 meter.
Rumah yang paling sederhana, yang dikenal sebagai rumah beru-beru, memiliki atap dasar berbentuk pinggul dan pelana. Rumah tersek memiliki atap bertingkat dua dengan atap pelana di atas bagian bawahnya. Hal ini meningkatkan ventilasi di dalam rumah, mengurangi dampak asap memasak. Rumah dengan empat atap pelana, yang dikenal sebagai si empat ayo memiliki dua atap pelana yang disilangkan pada sudut yang tepat. Dalam beberapa kasus, anjong-anjong, atau miniatur rumah, dapat ditempatkan di atas rumah untuk dekorasi lebih lanjut
Organisasi internal
Rumah adat Karo memiliki dua pintu masuk, di ujung utara dan selatan, dengan teras kecil (ture) di masing-masing sisi dan tangga menuju rumah. Ture berfungsi sebagai tempat untuk memandikan anak-anak dan mengobrol di malam hari.
Rumah panjang tradisional Karo untuk delapan keluarga terdiri dari empat dapur, masing-masing digunakan bersama oleh dua keluarga dekat, dan masing-masing memiliki dua kompor. Kompor-kompor tersebut dibuat dengan menggunakan lima batu sebagai simbol merga silima (lima Marga) Karo.
Rumah ini disusun sedemikian rupa sehingga pengulu (pemimpin) rumah menempati ruang kiri depan, dengan sembuyak (orang tua) di ruang sebelah kanan. Dalam bayangan cermin, anak beru dan kalimbubu akan menempati kamar-kamar yang sesuai yang masuk dari bagian belakang rumah. Empat kamar di tengah rumah berstatus lebih rendah dan masing-masing memiliki dapur, yang digunakan bersama dengan kamar-kamar di bagian luarnya.
Keben
Keben atau lumbung padi adalah bagian penting dari budaya Karo, karena padi merupakan lumbung kekayaan, dan ukuran keben menunjukkan kekayaan seseorang.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 06 Mei 2024
Arsitektur kolonial Indonesia mengacu pada bangunan yang dibuat di seluruh Indonesia selama masa penjajahan Belanda, pada masa itu, wilayah ini dikenal sebagai Hindia Belanda. Jenis bangunan era kolonial ini lebih banyak ditemukan di Jawa dan Sumatra, karena pulau-pulau tersebut dianggap lebih penting secara ekonomi selama periode kekaisaran Belanda. Sebagai akibatnya, ada sejumlah besar bangunan era kolonial yang terawat dengan baik yang masih terkonsentrasi di kota-kota Indonesia di Jawa dan Sumatra hingga hari ini.
Di daerah lain di nusantara, ada juga sejumlah besar benteng dan gudang era VOC yang dibangun pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, terutama di sekitar Kepulauan Maluku dan Sulawesi, meskipun cenderung lebih tersebar dan tidak terlalu padat dibandingkan dengan yang ada di Jawa dan Sumatra.
Tiga gaya arsitektur kolonial di Indonesia adalah:
Setelah tiba di Hindia Timur, arsitektur Belanda sebagian besar berasal dari pengetahuan dan keahlian di negara asalnya. Pada sebagian besar kasus, batu bata menjadi pilihan utama dalam pembangunannya. Sebelumnya, kayu dan produk sampingannya hampir secara eksklusif digunakan di Hindia Belanda, dengan pengecualian untuk beberapa arsitektur religius dan istana. Selama periode awal penjajahan, koloni-koloni Belanda sebagian besar diperintah oleh VOC, yang lebih mementingkan fungsionalitas konstruksinya daripada menjadikan struktur sebagai pajangan yang bergengsi.
Salah satu pemukiman besar pertama Belanda adalah Batavia (kemudian menjadi Jakarta) yang pada abad ke-17 dan ke-18 merupakan kota berbenteng batu bata dan pasangan bata yang dibangun di dataran rendah. Permukiman Belanda pada abad ke-17 umumnya berada di dalam kota, di dalam benteng pertahanan untuk melindungi mereka dari serangan saingan dagang Eropa dan pemberontakan pribumi. Benteng ini merupakan pangkalan militer sekaligus pusat perdagangan dan administrasi. Kota ini ditata dalam bentuk grid dengan blok-blok yang dipisahkan oleh kanal-kanal, lengkap dengan Balai Kota dan Gereja, seperti halnya kota-kota Belanda pada masa itu. Rumah-rumah di Batavia digambarkan sebagai "cukup tinggi dengan fasad sempit dan dinding yang diplester, disisipi jendela palang yang dilengkapi dengan anyaman rotan untuk ventilasi". Dan seperti halnya di Belanda, rumah-rumah itu umumnya bertingkat dengan halaman kecil. Perilaku perencanaan kota dan arsitektur yang serupa dapat dilihat pada pembangunan pelabuhan VOC di Semarang pada abad ke-18.
Selama hampir dua abad, para penjajah tidak banyak melakukan adaptasi terhadap kebiasaan arsitektur Eropa mereka terhadap iklim tropis. Di Batavia, misalnya, mereka membangun kanal-kanal yang melintasi dataran rendah, yang diapit rumah-rumah deret berjendela kecil dan berventilasi buruk, sebagian besar dalam gaya hibrida Cina-Belanda. Kanal-kanal tersebut menjadi tempat pembuangan limbah dan kotoran yang berbahaya serta tempat berkembang biak yang ideal bagi nyamuk anopheles, yang menyebabkan malaria dan disentri merajalela di seluruh ibu kota kolonial Hindia Belanda. Dan pada paruh kedua abad ke-17, orang-orang di dalam tembok Batavia mulai membangun perkebunan dan vila-vila pedesaan yang luas di sepanjang Terusan Molenvliet, contoh terbaik yang masih ada adalah bekas rumah besar Reyner de Klerk yang dibangun dengan gaya Eropa yang kaku.
Pengaruh Tionghoa
Baik VOC maupun pemerintah Belanda mendorong imigrasi orang Tionghoa ke wilayah jajahan mereka di Hindia Timur, orang-orang Tionghoa ini dibawa sebagai pekerja dan banyak dari mereka yang akhirnya menjadi kontraktor pada masa awal pembangunan Batavia. Bahkan pada awal abad ke-18, Batavia telah digambarkan sebagai "kota Cina", dan mereka telah mendominasi sektor perdagangan dan ekonomi di banyak pos-pos VOC di seluruh Hindia Timur. Banyak dari kota-kota kolonial utama memiliki sejumlah besar rumah toko Cina, yang menggabungkan elemen-elemen Cina, Belanda dan juga Pribumi, terutama dalam sistem ventilasi. Sayangnya, banyak contoh tempat tinggal orang Tionghoa ini sebagian besar telah dihancurkan dan digantikan oleh kantor-kantor kecil modern yang murah. Di beberapa daerah seperti Surabaya, Medan, Tangerang dan Semarang masih terdapat beberapa contoh di sekitar daerah Pecinan. Contoh yang paling terkenal adalah Tjong A Fie Mansion di Medan, yang dibangun pada tahun 1900 oleh seorang pengusaha Tionghoa kaya, Tjong A Fie; dan juga Gedung Candranaya di Jakarta yang dibangun pada tahun 1807 oleh seorang Kapitan Tionghoa. Orang Tionghoa juga telah membangun kelenteng leluhur mereka di banyak kota, terutama di kawasan Tionghoa bersejarah di seluruh negeri dan dengan gaya khas Tionghoa. Kelenteng tertua yang masih ada adalah Kim Tek Ie di Glodok yang dibangun pada tahun 1650.
Meskipun rumah-rumah berderet, kanal, dan tembok kokoh yang tertutup pada awalnya dianggap sebagai perlindungan terhadap penyakit tropis yang berasal dari udara tropis, bertahun-tahun kemudian orang Belanda belajar untuk menyesuaikan gaya arsitektur mereka dengan fitur bangunan lokal (atap yang panjang, beranda, serambi, jendela besar, dan lubang ventilasi). Rumah-rumah di Hindia Belanda pada pertengahan abad ke-18 merupakan salah satu bangunan kolonial pertama yang menggabungkan elemen arsitektur Indonesia dan mencoba beradaptasi dengan iklim. Bentuk dasarnya, seperti penataan ruang yang memanjang dan penggunaan struktur atap joglo dan limasan, merupakan gaya Jawa, tetapi juga menggabungkan elemen dekoratif Eropa seperti kolom neo-klasik di sekeliling beranda yang dalam. Gaya ini dikenal sebagai Gaya Hindia.
Abad ke-19
Pada akhir abad ke-19, perubahan besar terjadi di sebagian besar wilayah kolonial Indonesia, khususnya Jawa. VOC mengalami kebangkrutan dan kepemilikannya diambil alih oleh Kerajaan Belanda. Reformasi ekonomi dimulai oleh Gubernur Jenderal Daendels yang berpihak pada Prancis, yang ditunjuk di Jawa untuk mengelola pos-pos VOC yang memburuk. Daendels mempopulerkan gaya kekaisaran neoklasik Prancis di Hindia Belanda, yang kemudian dikenal sebagai gaya Kekaisaran Hindia. Daendels keluar dari kastil Batavia yang saat itu sudah bobrok dan memperluas daerah pinggiran di kota satelit Weltevreden di selatan. Karena blokade perdagangan oleh Inggris, ada kesulitan dalam mendapatkan bahan bangunan, dan dengan demikian sebagian besar benteng tua Batavia Lama dibongkar untuk membangun bangunan umum bergaya abad ke-19 di Batavia. Demikian pula, semua pos-pos di pulau-pulau di luar Jawa juga mengalami tren gaya arsitektur yang sama, namun hanya sedikit dari bangunan-bangunan ini yang berhasil bertahan.
Pada akhir abad ke-19, selera arsitektur di Eropa mulai bergeser ke Neo Gothic dan Neo Renaissance, namun di Hindia Belanda tidak mengalami booming dalam gaya arsitektur ini hingga beberapa waktu kemudian. Pada periode ini pula, apresiasi terhadap bentuk arsitektur pribumi semakin meningkat; stasiun kereta api Tawang (1864) di Semarang merupakan contoh asimilasi yang harmonis antara gagasan timur dan barat. Pada tahun 1869 Terusan Suez telah dibuka yang telah meningkatkan volume kapal yang melakukan perjalanan dari Eropa ke Timur, pelabuhan-pelabuhan baru seperti Tanjung Priok dan Tanjung Perak dibangun untuk mengakomodasi kapal-kapal yang berdatangan. Pada periode yang sama, Kebijakan Etis Belanda diterapkan untuk penduduk asli Hindia Belanda yang menghasilkan beberapa ledakan pembangunan di kota-kota. Menjelang akhir abad ke-19, sebuah bangunan sipil utama, Katedral Jakarta, dibangun dengan gaya Neo-Gotik, dan pada periode berikutnya beberapa gereja Katolik; seperti Gereja Kepanjen di Surabaya dan Gereja Ijen di Malang, juga dibangun dengan gaya yang sama. Namun, Neo Gothic masih asing di lingkungan tropis Hindia Belanda dan tidak diimplementasikan seperti di Kerajaan Inggris. Sementara Neo Renaissance dapat dilihat di beberapa bangunan seperti Gereja Blenduk Semarang.
Abad ke-20
Pada pergantian abad ke-20, terjadi perubahan signifikan lebih lanjut di tanah jajahan. Belanda pada periode ini telah berhasil menguasai sebagian besar wilayah yang sekarang menjadi wilayah Indonesia. Belanda juga telah menerapkan Kebijakan Etis Belanda yang mendorong peluang wirausaha bagi orang Eropa dan aliran investasi asing. Ada juga peningkatan minat untuk mengeksploitasi kekayaan minyak dan gas bumi Indonesia, membuat para kapitalis semakin mengincar nusantara dan Belanda meningkatkan infrastrukturnya. Peningkatan signifikan pada teknologi, komunikasi dan transportasi telah membawa kekayaan baru ke kota-kota di Jawa dan perusahaan swasta menjangkau pedesaan.
Tren arsitektur koloni mengikuti status metropolis baik dalam kesehatan ekonomi dan gaya yang dipopulerkan. Pada awal abad ke-20, sebagian besar bangunan di koloni ini dibangun dengan gaya Neo Renaisans Eropa yang telah dipopulerkan di Belanda oleh Pierre Cuypers. Keponakannya, Eduard Cuypers, kemudian melakukan perjalanan ke Hindia Belanda untuk merancang beberapa kantor megah untuk De Javasche Bank di seluruh negeri. Eduard Cuypers juga mendirikan biro arsitek terbesar di Hindia Belanda, yang saat itu bernama Hulswit-Fermont, Batavia dan Ed. Cuypers, Amsterdam. Arsitek terkemuka lainnya seperti Berlage merancang dua bangunan dengan gaya Belanda, yaitu perusahaan Asuransi Algemene di Surabaya dan sebuah bangunan di Batavia. Cosman Citroen juga merancang Lawang Sewu dengan gaya Eropa yang mencolok.
Namun, pada tahun 1920-an, selera arsitektur mulai bergeser ke arah gerakan Rasionalisme dan Modernisme, terutama dengan meningkatnya desain arsitektur Art Deco yang dipengaruhi oleh Berlage. Pada tiga dekade pertama abad ke-20, Departemen Pekerjaan Umum meluncurkan program-program pembangunan dan perencanaan kota yang besar. Perancang utamanya adalah T. Karsten, yang mengembangkan ide-ide pendahulunya untuk menggabungkan elemen-elemen asli Indonesia ke dalam bentuk-bentuk Eropa yang rasional. Bandung, yang pernah digambarkan sebagai "laboratorium", memiliki salah satu koleksi bangunan Art-Deco tahun 1920-an yang tersisa di dunia, dengan karya-karya penting dari beberapa arsitek dan perencana Belanda, termasuk Albert Aalbers, Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont, J. Gerber, dan C.P.W. Schoemaker. Sejumlah besar stasiun kereta api, hotel bisnis, pabrik dan blok perkantoran, rumah sakit, dan institusi pendidikan dibangun pada periode ini. Dengan pertumbuhan ekonomi dan meningkatnya migrasi orang Eropa ke koloni, terjadi peningkatan populasi kelas menengah dan urbanisasi dari pedesaan. Untuk mengakomodasi pertumbuhan ini, beberapa Garden Suburb modern dibangun di seluruh kota di Hindia Belanda seperti Menteng karya P.A.J. Moojen di Jakarta, New Candi Suburb karya T. Karsten di Semarang, dan sebagian besar wilayah Bandung Utara.
Berbagai arsitek Belanda juga menjadikan Hindia Belanda sebagai taman bermain arsitektur dan teknik mereka. Hal ini menghasilkan pengenalan gaya arsitektur seperti Nieuwe Zakelijkheid, De Stijl dan Amsterdam School, yang sebagian besar masih bertahan dan dapat diamati pada desain kantor, gereja, bangunan umum dan vila pada masa kolonial. Mungkin bentuk tertinggi dari "pencerahan" dapat dilihat pada Villa Isola, yang dirancang oleh Schoemaker di Bandung. Beberapa arsitek seperti C.P.W. Schoemaker dan H.M. Pont juga berusaha memodernisasi arsitektur asli Indonesia, dengan menggabungkannya dengan modernitas barat, yang membuka jalan bagi terciptanya gaya vernakular Hindia Baru. Perkembangan tren arsitektur ini sejalan dengan pertumbuhan Sekolah Delft di Belanda. Institut Teknologi Bandung, Pasar Gede di Solo dan Gereja Pohsarang di Kediri adalah contoh nyata dari eksperimen ini.
Upaya untuk menyesuaikan diri dengan arsitektur lokal sudah dimulai sejak masa awal VOC seperti yang tampak pada Indies Style. Perbedaannya adalah ketika rumah-rumah bergaya Indies Style pada dasarnya adalah rumah-rumah Indonesia dengan sentuhan Eropa, pada awal abad ke-20, trennya adalah pengaruh modernis-seperti art-deco-diekspresikan pada bangunan-bangunan Eropa dengan sentuhan Indonesia (seperti atap-atap rumah pada gambar yang memiliki atap tinggi dengan detil bubungan khas Jawa, dan sering kali dengan lebih banyak pertimbangan untuk ventilasi udara). Langkah-langkah praktis yang dibawa dari rumah-rumah bergaya Hindia Belanda sebelumnya, yang menanggapi iklim Indonesia, termasuk atap yang menjorok, jendela yang lebih besar, dan ventilasi di dinding.
Pulau-pulau terluar
Ada banyak arsitektur dan infrastruktur kolonial yang masih berfungsi di luar Jawa. Pulau Sumatera khususnya diuntungkan dengan melimpahnya minyak dan timah, dibandingkan dengan Jawa yang sebagian besar ekonominya berbasis perkebunan. Bangunan-bangunan terbaik terkonsentrasi di Sumatera Barat, Sumatera Utara dan Aceh. Medan pernah dikenal sebagai "Parijs van Sumatra" dan memiliki sejumlah besar kantor kolonial Art Deco yang terkonsentrasi di sekitar Kesawan Square. Untuk penduduk lokal Eropa dan kelas atas, Belanda telah merencanakan dan membangun Taman Pinggiran Polonia dengan arsitektur Kebangkitan Moor yang juga membuka jalan bagi desain Masjid di Sumatera. Istana Maimun dan Masjid Raya Medan adalah contoh indah dari gerakan ini. Terdapat konsentrasi besar kantor-kantor kolonial, bangunan umum dan vila di kota Padang, Sawahlunto, Bukittingi dan Banda Aceh, yang semuanya merupakan kota ekonomi utama di Sumatera pada masa kolonial. Wilayah lain di Sumatera juga termasuk Kabupaten Kepulauan Bangka-Belitung (sumber utama timah), dan pelabuhan lada di Bengkulu.
Di Makassar, yang dulunya dianggap sebagai pintu gerbang ke provinsi bagian Timur, memiliki beberapa bangunan era kolonial yang bagus. Contoh bangunan kolonial terbaik yang masih ada adalah Benteng Rotterdam, diikuti oleh Cityhall tua, gedung Pengadilan dan gedung Harmonie Society yang sekarang berfungsi sebagai galeri seni. Pembongkaran kota tua era kolonial dalam skala besar terjadi di Makassar sebagai akibat dari perluasan pelabuhan.
Kekuasaan kolonial tidak pernah seluas di Pulau Bali seperti di Jawa - hanya pada tahun 1906, misalnya, Belanda mendapatkan kendali penuh atas pulau ini - dan akibatnya pulau ini hanya memiliki persediaan arsitektur kolonial yang terbatas. Singaraja, bekas ibu kota dan pelabuhan kolonial di pulau ini, memiliki sejumlah rumah bergaya art-deco kantor, jalan-jalan yang dipenuhi pepohonan dan gudang-gudang yang bobrok. Kota perbukitan Munduk, sebuah kota di antara perkebunan yang didirikan oleh Belanda, merupakan satu-satunya kelompok arsitektur kolonial yang signifikan di Bali; sejumlah rumah-rumah mini bergaya Bali-Belanda masih bertahan.
Ada banyak benteng yang dibangun oleh kekuatan Eropa di seluruh nusantara, tetapi konsentrasi tertinggi terletak di sekitar Kepulauan Maluku. Sebagian besar dibangun pada awal era kolonial untuk melindungi kepentingan Belanda dalam perdagangan rempah-rempah. Terdapat konsentrasi bangunan kolonial yang tinggi di Banda Neira, Saparua, dan Nusa Laut, dengan beberapa gereja dan benteng dari abad ke-17 dan ke-18. Kota Ambon pernah terkenal dengan "pesona kolonial" dan koleksi bangunan Belanda; namun, kota ini sebagian besar hancur selama Perang Dunia II.
Pada masa Indonesia merdeka
Kurangnya pembangunan akibat Depresi Besar, gejolak Perang Dunia Kedua dan perjuangan kemerdekaan Indonesia pada tahun 1940-an, dan stagnasi ekonomi selama tahun 1950-an dan 60-an yang penuh gejolak politik, berarti banyak arsitektur kolonial yang masih dipertahankan hingga beberapa dekade terakhir. Meskipun rumah-rumah kolonial hampir selalu menjadi milik kaum elit Belanda, Indonesia, dan Tionghoa yang kaya, dan bangunan-bangunan semacam itu secara umum tidak dapat dihindari terkait dengan kolonialisme Eropa, gayanya sering kali merupakan kombinasi yang kaya dan kreatif dari dua budaya, sehingga rumah-rumah tersebut tetap dicari hingga abad ke-21. Arsitektur pribumi bisa dibilang lebih dipengaruhi oleh ide-ide baru Eropa daripada arsitektur kolonial yang dipengaruhi oleh gaya Indonesia; dan elemen-elemen Barat ini terus menjadi pengaruh dominan pada lingkungan binaan di Indonesia saat ini.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 06 Mei 2024
Rumah adat adalah rumah tradisional yang dibangun dengan gaya arsitektur vernakular Indonesia, yang secara kolektif termasuk dalam arsitektur Austronesia. Rumah adat dan pemukiman dari ratusan suku bangsa di Indonesia sangat bervariasi dan semuanya memiliki sejarahnya masing-masing.  Ini adalah varian Indonesia dari seluruh arsitektur Austronesia yang ditemukan di seluruh tempat yang dihuni oleh orang-orang Austronesia dari Pasifik hingga Madagaskar, masing-masing memiliki sejarah, budaya dan gaya mereka sendiri.
Kelompok-kelompok etnis di Indonesia sering dikaitkan dengan bentuk rumah adat mereka yang khas. Rumah-rumah tersebut merupakan pusat dari adat istiadat, hubungan sosial, hukum adat, pantangan, mitos, dan agama yang mengikat penduduk desa bersama-sama. Rumah menjadi fokus utama bagi keluarga dan komunitasnya, dan menjadi titik tolak dari berbagai aktivitas penghuninya. Penduduk desa membangun rumah mereka sendiri, atau komunitas mengumpulkan sumber daya mereka untuk sebuah struktur yang dibangun di bawah arahan seorang tukang atau tukang kayu.
Sebagian besar orang Indonesia tidak lagi tinggal di rumah adat, dan jumlahnya telah menurun dengan cepat karena perubahan ekonomi, teknologi, dan sosial.
Bentuk umum
Dengan beberapa pengecualian, masyarakat di kepulauan Indonesia memiliki nenek moyang yang sama, yaitu Austronesia (berasal dari Taiwan, sekitar 6.000 tahun yang lalu) atau Sundaland, sebuah wilayah yang cekung di Asia Tenggara, dan rumah-rumah adat di Indonesia memiliki beberapa karakteristik yang sama, seperti konstruksi kayu dan struktur atap yang bervariasi dan rumit. Struktur Austronesia yang paling awal adalah rumah panjang komunal di atas panggung, dengan atap miring yang curam dan atap pelana yang berat, seperti yang terlihat pada rumah adat Batak dan Tongkonan Toraja. Variasi dari prinsip rumah panjang komunal ditemukan di antara orang Dayak di Kalimantan, serta orang Mentawai.
Normalnya adalah sistem struktur tiang, balok, dan ambang yang menerima beban langsung ke tanah dengan dinding kayu atau bambu yang tidak menahan beban. Secara tradisional, alih-alih menggunakan paku, digunakan sambungan mortis dan duri serta pasak kayu. Bahan-bahan alami - kayu, bambu, rumbia dan ijuk - membentuk rumah adat. Kayu keras umumnya digunakan untuk tiang pancang dan kombinasi kayu lunak dan keras digunakan untuk dinding bagian atas rumah yang tidak menahan beban, dan sering kali terbuat dari kayu yang lebih ringan atau rumbia. Bahan rumbia dapat berupa daun kelapa dan aren, rumput alang alang dan jerami padi.
Rumah tradisional telah berkembang untuk merespon kondisi lingkungan alam, terutama iklim musim hujan yang panas dan basah di Indonesia. Seperti yang umum terjadi di seluruh Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sebagian besar rumah adat dibangun di atas panggung, dengan pengecualian di Jawa, Bali, dan rumah-rumah lain di Indonesia Timur. Membangun rumah di atas panggung memiliki beberapa tujuan: memungkinkan angin sepoi-sepoi untuk meredam suhu tropis yang panas; meninggikan tempat tinggal di atas limpasan air hujan dan lumpur; memungkinkan rumah-rumah dibangun di atas sungai dan pinggiran sawah; menjaga orang, barang dan makanan dari kelembaban dan kelembaban; mengangkat tempat tinggal di atas nyamuk pembawa malaria; dan mengurangi risiko busuk kering dan rayap. Atap yang miring tajam memungkinkan hujan tropis yang deras dengan cepat turun, dan atap yang menjorok ke dalam menjaga air keluar dari rumah dan memberikan keteduhan saat panas. Di daerah pesisir pantai yang panas dan lembab, rumah dapat memiliki banyak jendela yang menyediakan ventilasi silang yang baik, sedangkan di daerah pedalaman pegunungan yang lebih sejuk, rumah-rumah sering memiliki atap yang luas dan sedikit jendela.
Contoh
Contoh-contoh rumah adat antara lain:
Menurun
Jumlah rumah adat semakin berkurang di seluruh Indonesia. Tren ini berawal dari masa penjajahan, di mana orang Belanda pada umumnya memandang arsitektur tradisional sebagai arsitektur yang tidak higienis, dengan atap besar yang menjadi sarang tikus. Rumah multi-keluarga dipandang dengan penuh kecurigaan oleh pihak berwenang agama, begitu pula aspek-aspek rumah adat yang terkait dengan kepercayaan tradisional. Di beberapa wilayah di Hindia Belanda, pihak berwenang kolonial memulai program pembongkaran yang gencar, menggantikan rumah adat dengan rumah-rumah yang dibangun dengan teknik konstruksi Barat, seperti batu bata dan atap seng, fasilitas sanitasi yang memadai, dan ventilasi yang lebih baik. Para pengrajin tradisional dilatih kembali dalam teknik bangunan Barat. Sejak kemerdekaan, pemerintah Indonesia terus mempromosikan 'rumah sehat sederhana' ('rumah sehat sederhana') daripada rumah adat.
Keterpaparan terhadap ekonomi pasar membuat pembangunan rumah adat yang padat karya, seperti rumah Batak, menjadi sangat mahal (sebelumnya desa-desa akan bekerja sama untuk membangun rumah baru) untuk dibangun dan dipelihara. Selain itu, penggundulan hutan dan pertumbuhan penduduk berarti bahwa kayu tidak lagi menjadi sumber daya gratis yang dapat diambil sesuai kebutuhan dari hutan-hutan di sekitarnya, melainkan menjadi komoditas yang terlalu mahal. Dikombinasikan dengan selera umum terhadap modernitas, sebagian besar orang Indonesia sekarang tinggal di bangunan modern yang umum daripada di rumah adat tradisional.
Di daerah yang banyak dikunjungi turis, seperti Tanah Toraja, rumah adat dilestarikan sebagai tontonan bagi para turis, mantan penghuninya tinggal di tempat lain, dengan elemen desain yang dilebih-lebihkan sampai-sampai rumah-rumah adat tersebut jauh lebih tidak nyaman daripada desain aslinya. Meskipun di sebagian besar daerah, rumah adat sudah ditinggalkan, di beberapa daerah terpencil rumah-rumah tersebut masih digunakan, dan di daerah lain bangunan bergaya rumah adat tetap dipertahankan untuk tujuan seremonial, sebagai museum atau bangunan resmi.
Adaptasi kontemporer
Selama masa kolonial Hindia Belanda sekitar paruh pertama abad ke-20, gaya khas dan elemen-elemen vernakular rumah adat Indonesia sering digunakan sebagai inspirasi, dibuat ulang dan ditiru dengan sengaja untuk mewakili keanekaragaman budaya koloni, juga dimaksudkan untuk menciptakan suasana yang meriah dengan arsitektur yang fantastis. Pasar Gambir yang diselenggarakan setiap tahun antara tahun 1906 dan 1942 di Batavia, dikenal memiliki gerbang, panggung, menara dan paviliun yang dibangun dengan gaya rumah adat yang berasal dari seluruh penjuru nusantara. Setiap tahun, paviliun-paviliun rumah adat yang didesain secara unik ini dibuat dan dibangun kembali dengan menggunakan bahan-bahan yang tersedia secara lokal, dan dengan demikian juga menjadi daya tarik pameran ini.
Periode ini juga menunjukkan kebanggaan dan keinginan untuk menunjukkan keanekaragaman budaya koloni dengan menampilkan arsitektur vernakular nusantara. Pada tahun 1931, selama Pameran Kolonial Paris, Belanda menampilkan perpaduan budaya yang indah dari daerah jajahannya - Hindia Belanda. Paviliun kolonial Belanda terletak di lahan pameran seluas 3 hektar dan dibangun berdasarkan perpaduan berbagai elemen budaya Nusantara, kombinasi arsitektur vernakular Indonesia. Bangunan ini memiliki dinding yang terdiri dari 750.000 batang kayu ulin dari Kalimantan. Sebagai pusat perhatian, bagian depan dihiasi dengan menara Meru Bali kembar setinggi 50 meter. Atap paviliun dibuat dengan gaya tumpang atau tajug, ciri khas masjid Jawa, dilengkapi dengan pintu kayu berukir kori agung khas portal menjulang tinggi pura Bali, dipadukan dengan atap melengkung khas rumah gadang Minangkabau. Perpaduan arsitektur vernakular Indonesia ini menghadirkan sebuah paviliun yang megah dan megah seperti istana. Namun, pada tanggal 28 Juni 1931, sebuah kebakaran besar menghanguskan paviliun Belanda ini beserta seluruh benda-benda budaya yang ada di dalamnya.
Bangunan terkadang dibangun dengan teknik konstruksi modern yang menyertakan elemen-elemen gaya dari rumah adat, seperti The House of the Five Senses di Efteling, sebuah bangunan yang dimodelkan pada rumah gadang Minangkabau. Pada masa kolonial, beberapa orang Eropa membangun rumah sesuai dengan desain hibrida Barat dan adat, seperti Bendegom, yang membangun rumah 'peralihan' Barat-Batak Karo.
Di beberapa tempat, elemen atau ornamen rumah adat telah menjadi identitas daerah provinsi atau kabupaten. Oleh karena itu, pembangunan gedung-gedung pemerintahan dan publik didorong untuk memasukkan atau menampilkan elemen-elemen arsitektur asli ini. Meskipun secara teknis bangunan-bangunan baru dibangun dengan teknik kontemporer dengan rangka beton dan dinding bata, bukan dengan pertukangan kayu tradisional. Yang paling sering terjadi adalah penanaman atap tradisional di atas bangunan modern. Kecenderungan ini dapat dilihat di Sumatera Barat dan Tana Toraja, di mana atap khas Minang bagonjong (bertanduk) dan atap tongkonan Toraja ditanamkan di hampir semua bangunan publik; dari bandara hingga hotel, restoran, dan kantor pemerintah.
Telah dicatat bahwa rumah-rumah kayu tradisional umumnya lebih tahan gempa dibandingkan dengan rumah-rumah bata modern, meskipun lebih rentan terhadap kebakaran. Pembangunan rumah adat modern yang berbingkai beton dan berdinding batu bata telah merusak ciri khas rumah kayu tradisional, yaitu fleksibilitasnya dalam menyerap gelombang kejut yang ditimbulkan oleh gempa bumi. Bangunan rumah adat yang terbuat dari beton ini sering kali tidak mampu menahan gempa dan runtuh, seperti yang terjadi pada gempa Padang tahun 2009. Di beberapa daerah, konsep rumah adat 'semi-modern' telah diadopsi, seperti di antara beberapa orang Ngada, dengan elemen tradisional ditempatkan di dalam cangkang beton.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 06 Mei 2024
Arsitektur Indonesia dipengaruhi oleh keanekaragaman budaya, sejarah dan geografi di Indonesia. Para penyerang, penjajah, dan pedagang membawa perubahan kebudayaan yang sangat mempengaruhi gaya dan teknik konstruksi bangunan.
Banyak rumah adat telah muncul di seluruh kepulauan Indonesia. Rumah-rumah tradisional dan komunitas dari beragam suku bangsa di Indonesia menunjukkan berbagai macam karakteristik, masing-masing dengan latar belakang sejarah yang unik. Rumah-rumah ini memiliki arti sosial yang penting dalam masyarakat dan menunjukkan cara-cara cerdik masyarakat lokal beradaptasi dengan lingkungan mereka dan mengatur ruang hidup mereka.
Secara historis, pengaruh India memiliki dampak terbesar pada arsitektur Indonesia. Namun demikian, pengaruh Cina, Arab, dan Eropa juga memainkan peran penting dalam membentuk lanskap arsitektur negara ini. Arsitektur religius mencakup berbagai gaya, mulai dari desain asli hingga masjid, kuil, dan gereja. Istana-istana dibangun oleh para sultan dan penguasa lainnya. Kota-kota di Indonesia memiliki warisan arsitektur kolonial yang terkenal. Pada era pasca kemerdekaan, paradigma baru untuk arsitektur postmodern dan kontemporer telah muncul, menandai perkembangan Indonesia yang merdeka.
Arsitektur adat
Di Indonesia, setiap kelompok etnis biasanya diidentifikasikan dengan gaya rumah tradisionalnya yang unik, yang dikenal sebagai "rumah adat." Rumah-rumah ini berfungsi sebagai pusat jejaring adat istiadat, hubungan sosial, hukum adat, pantangan, mitos, dan praktik keagamaan yang menyatukan penduduk desa. Rumah adat memiliki arti penting karena menjadi titik fokus utama bagi keluarga dan masyarakat luas, serta menjadi titik awal dari berbagai kegiatan yang dilakukan oleh para penghuninya. Penduduk desa membangun rumah mereka sendiri, atau dalam beberapa kasus, masyarakat berkolaborasi dan menyatukan sumber daya mereka untuk membangun sebuah bangunan di bawah bimbingan seorang ahli bangunan dan/atau tukang kayu yang terampil.
Sebagian besar populasi di Indonesia memiliki akar dari warisan Austronesia yang sama, dan sebagai hasilnya, rumah-rumah tradisional di Indonesia menunjukkan kesamaan tertentu dengan rumah-rumah yang ditemukan di wilayah Austronesia lainnya. Struktur arsitektur Austronesia yang paling awal adalah rumah panjang komunal yang terbuat dari kayu, ditinggikan di atas panggung, dan dicirikan oleh atap miring yang curam dan atap pelana yang menonjol. Contohnya dapat dilihat pada rumah adat Batak dan Tongkonan Toraja. Variasi konsep rumah panjang komunal juga dapat ditemukan di antara masyarakat Dayak di Kalimantan dan masyarakat Mentawai.
Biasanya, rumah-rumah tradisional Indonesia mengikuti sistem struktur berdasarkan tiang, balok, dan ambang pintu, yang memindahkan beban langsung ke tanah. Dindingnya, biasanya terbuat dari kayu atau bambu, tidak menanggung beban struktural apa pun. Alih-alih menggunakan paku, metode konstruksi tradisional mengandalkan sambungan tanggam dan duri serta pasak kayu. Bahan-bahan yang biasa digunakan di rumah adat, termasuk kayu, bambu, ilalang, dan ijuk. Sebagai contoh, rumah-rumah adat di Nias menggunakan konstruksi tiang, balok, dan ambang pintu dengan sambungan yang fleksibel dan tidak memerlukan paku. Demikian pula, dinding yang tidak menahan beban adalah karakteristik umum dari rumah adat di seluruh Indonesia.
Rumah adat di Indonesia telah berevolusi sebagai respons terhadap iklim muson yang panas dan lembab. Mengikuti praktik umum di Asia Tenggara dan Pasifik Barat Daya, sebagian besar rumah adat dibangun di atas panggung, kecuali di Jawa dan Bali. Meninggikan rumah dari tanah memiliki beberapa tujuan: memungkinkan ventilasi alami untuk mendinginkan suhu tropis, melindungi dari limpasan air hujan dan lumpur, memungkinkan pembangunan di dekat sungai dan lahan basah, melindungi penghuni, barang, dan makanan dari basah dan kelembapan, mengangkat ruang hidup dari nyamuk pembawa penyakit malaria, dan mengurangi risiko pembusukan dan serangan rayap.
Atap yang miring secara efektif menumpahkan hujan tropis yang deras, sementara atap yang menjorok ke dalam mencegah air masuk ke dalam rumah dan memberikan keteduhan dari panas. Di daerah pesisir dataran rendah yang ditandai dengan kondisi panas dan lembab, rumah-rumah sering kali memiliki banyak jendela untuk memfasilitasi ventilasi silang. Sementara itu, di daerah pegunungan yang lebih sejuk, rumah-rumah biasanya memiliki atap yang luas dan lebih sedikit jendela untuk beradaptasi dengan iklim pegunungan.
Contoh-contoh
Berbagai rumah adat di Indonesia memiliki arti penting dan menampilkan fitur-fitur yang unik:
Jumlahnya yang menurun
Prevalensi rumah adat telah menurun di seluruh Indonesia. Kecenderungan ini dapat ditelusuri kembali ke era kolonial ketika pemerintah Belanda memiliki pandangan negatif terhadap arsitektur tradisional. Mereka menganggapnya tidak higienis dan mengaitkannya dengan praktik-praktik keagamaan tradisional yang mereka anggap meragukan. Akibatnya, pemerintah kolonial memulai program pembongkaran, menggantikan rumah-rumah tradisional dengan bangunan yang dibangun menggunakan teknik bangunan Barat. Rumah-rumah baru ini menggunakan material seperti batu bata dan atap besi bergelombang, serta fasilitas sanitasi dan ventilasi yang lebih baik. Para pengrajin tradisional juga dilatih dalam metode konstruksi Barat. Bahkan setelah kemerdekaan, pemerintah Indonesia terus mempromosikan konsep "rumah sehat sederhana" sebagai alternatif yang lebih disukai daripada rumah adat.
Dampak dari ekonomi pasar telah membuat pembangunan rumah adat yang bersifat padat karya, seperti rumah Batak, menjadi semakin mahal. Di masa lalu, masyarakat akan berkolaborasi untuk membangun rumah baru, tetapi dengan perubahan yang disebabkan oleh ekonomi pasar, praktik ini menjadi sangat mahal. Ketersediaan kayu keras, yang dulunya dapat diperoleh dengan mudah dari hutan-hutan di sekitar rumah, juga menjadi langka dan mahal. Akibatnya, mayoritas orang Indonesia sekarang tinggal di bangunan modern yang umum daripada rumah adat.
Arsitektur Hindu-Budha
Arsitektur religius telah berkembang di seluruh Indonesia, tetapi perkembangannya yang paling menonjol terjadi di Jawa. Sejarah sinkretisme agama yang kaya di pulau ini memengaruhi gaya arsitekturnya, sehingga memunculkan interpretasi khas Jawa terhadap arsitektur Hindu, Buddha, Islam, dan pada tingkat yang lebih rendah, arsitektur Kristen.
Selama masa kejayaan kerajaan-kerajaan Hindu-Buddha di Indonesia antara abad ke-8 dan ke-14, Jawa menjadi saksi pembangunan berbagai bangunan keagamaan yang rumit yang dikenal dengan sebutan "candi". Candi-candi kuno di Jawa menunjukkan kehebatan arsitektur dari era ini. Dataran Tinggi Dieng merupakan rumah bagi candi-candi Hindu paling awal yang masih ada di Jawa, meskipun hanya 8 dari 400 bangunan yang diduga asli yang masih ada saat ini. Candi-candi Dieng awal ini relatif sederhana dalam ukuran dan desain. Namun, kemajuan arsitektur terus berlanjut, dan dalam satu abad, Kerajaan Mataram membangun kompleks Prambanan yang mengesankan di dekat Yogyakarta, yang dianggap sebagai contoh arsitektur Hindu terbesar dan termegah di Jawa.
Borobudur yang terkenal, sebuah monumen Buddha yang terdaftar sebagai situs Warisan Dunia, dibangun oleh Dinasti Sailendra antara 750 dan 850 Masehi. Terlepas dari kemegahannya, monumen ini ditinggalkan tak lama setelah selesai dibangun karena kemunduran agama Buddha dan pergeseran kekuasaan ke arah timur Jawa. Monumen ini memiliki banyak ukiran rumit yang menceritakan sebuah kisah ketika seseorang naik ke tingkat yang lebih tinggi, yang melambangkan perjalanan menuju pencerahan.
Setelah runtuhnya Kerajaan Mataram sebelum 929 Masehi, Jawa bagian timur menjadi titik fokus arsitektur religius, yang menampilkan gaya dinamis yang dipengaruhi oleh ajaran Saiwa, Buddha, dan elemen budaya Jawa. Perpaduan pengaruh ini menjadi ciri khas bangunan keagamaan di seluruh Jawa. Para arkeolog biasanya membedakan antara gaya Jawa Tengah yang lebih monumental dan candi-candi Jawa Timur yang lebih kecil dan tersebar. Namun, Candi Badut di Malang, merupakan contoh candi bergaya Jawa Tengah yang dibangun di luar kawasannya.
Selama era klasik Indonesia, batu bata telah digunakan sampai batas tertentu dalam konstruksi. Namun, para pembangun kerajaan Majapahit-lah yang benar-benar menguasai seni pembuatan batu bata, dengan menggunakan campuran adukan semen (lepa) yang terbuat dari getah pohon anggur dan gula aren. Candi-candi yang dibangun pada masa Majapahit memiliki kualitas geometris yang berbeda, ditandai dengan vertikalitas yang kuat yang dicapai melalui penggunaan garis-garis horizontal secara strategis. Candi-candi ini sering menunjukkan estetika yang ramping dan proporsional, mengingatkan kita pada gaya art-deco. Pengaruh arsitektur Majapahit masih dapat diamati hingga saat ini di banyak pura Hindu yang tersebar di seluruh Bali. Di setiap desa, beberapa pura penting dapat ditemukan, bersama dengan tempat suci dan bahkan pura kecil di dalam rumah keluarga. Meskipun pura-pura ini memiliki beberapa elemen yang sama dengan gaya Hindu yang ditemukan di seluruh dunia, namun mereka memiliki gaya Bali yang unik yang berutang banyak pada era Majapahit.
Arsitektur Bali menggabungkan banyak elemen yang berasal dari tradisi arsitektur Hindu-Buddha kuno, banyak di antaranya dapat ditelusuri kembali ke pengaruh era Majapahit. Fitur-fitur arsitektur ini termasuk paviliun bale, menara Meru, paduraksa, dan gerbang candi Bentar. Gaya arsitektur Hindu-Buddha sebagian besar muncul antara abad ke-8 dan ke-15, dan warisannya terus membentuk arsitektur Bali saat ini.
Namun, perlu dicatat bahwa arsitektur Hindu-Buddha kuno di Jawa juga menjadi sumber inspirasi dan telah diimajinasikan kembali dalam desain arsitektur kontemporer. Contohnya dapat dilihat pada Gereja Ganjuran yang terletak di Bantul, Yogyakarta. Gereja ini menggabungkan kuil seperti candi, yang mengingatkan kita pada arsitektur bergaya Hindu, yang didedikasikan untuk Yesus. Perpaduan pengaruh ini menyoroti sifat dinamis dari tradisi arsitektur dan adaptasinya terhadap konteks budaya dan agama yang berbeda.
Arsitektur Islam
Pada abad ke-15, Islam telah menjadi agama yang dominan di Jawa dan Sumatra, dua pulau terpadat di Indonesia. Serupa dengan asimilasi Hindu dan Buddha di masa lalu, Islam dan pengaruh asing menyertainya diserap dan ditafsirkan ulang, menghasilkan pengembangan gaya masjid Indonesia/Jawa yang unik.
Selama periode ini, masjid-masjid Jawa mendapatkan inspirasi dari elemen-elemen arsitektur Hindu, Budha, dan bahkan Cina (lihat gambar "Masjid Agung" di Yogyakarta). Tidak seperti kubah Islam yang biasa terlihat di daerah lain, masjid-masjid Jawa menampilkan struktur kayu yang tinggi dengan atap bertingkat yang mengingatkan kita pada pagoda yang ditemukan di pura-pura Hindu di Bali, yang masih ada sampai sekarang.
Beberapa masjid kuno yang memiliki nilai sejarah yang signifikan masih dapat ditemukan di sepanjang pantai utara Jawa. Contohnya adalah Mesjid Agung di Demak yang dibangun pada tahun 1474, dan Masjid Menara Kudus di Kudus, yang diyakini merupakan menara bekas kuil Hindu. Gaya arsitektur masjid-masjid Jawa kemudian mempengaruhi desain masjid-masjid di daerah tetangga seperti Kalimantan, Sumatra, Maluku, serta di Malaysia, Brunei, dan Filipina selatan. Masjid-masjid seperti Masjid Sultan Suriansyah di Banjarmasin dan Masjid Kampung Hulu di Malaka menunjukkan pengaruh Jawa yang berbeda.
Di Sumatera Barat, khususnya di tanah Minangkabau, masjid-masjid tradisional menampilkan arsitektur vernakular lokal di wilayah tersebut. Contoh yang terkenal adalah masjid tua Bingkudu di Kabupaten Agam, dan Masjid Lubuk Bauk di Batipuh, Sumatera Barat.
Selama abad ke-19, kesultanan-kesultanan di seluruh nusantara mulai memasukkan pengaruh asing ke dalam arsitektur Islam mereka, sebagai alternatif dari gaya Jawa yang sudah populer di wilayah tersebut. Gaya Indo-Islam dan Moor mulai disukai, terutama di Kesultanan Aceh dan Kesultanan Deli. Hal ini terlihat dari desain arsitektur masjid-masjid penting seperti Masjid Raya Baiturrahman Banda Aceh yang dibangun pada 1881 dan Masjid Raya Medan yang dibangun pada 1906.
Pada era pasca kemerdekaan, telah terjadi pergeseran yang nyata terhadap pembangunan masjid yang lebih sesuai dengan gaya Islam global. Kecenderungan ini mencerminkan gerakan yang lebih luas di Indonesia menuju praktik Islam yang lebih ortodoks. Akibatnya, desain masjid kontemporer di Indonesia cenderung mengikuti konvensi arsitektur Islam yang sudah mapan di seluruh dunia.
Arsitektur istana
Gaya arsitektur keraton, yang dikenal sebagai "istana", di berbagai kerajaan dan kerajaan di Indonesia biasanya mengambil inspirasi dari gaya rumah tangga adat lokal di daerah masing-masing. Meskipun arsitektur rumah tangga berfungsi sebagai fondasi, istana-istana kerajaan memiliki kemampuan untuk menciptakan versi yang lebih megah dan rumit dari gaya-gaya tradisional ini. Sebagai contoh, di Kraton Jawa, pendopo besar dengan atap joglo yang dihiasi ornamen tumpang sari merupakan variasi yang rumit berdasarkan elemen arsitektur Jawa yang umum. Demikian pula, omo sebua (rumah kepala suku) di Bawomataluo, Nias, adalah versi yang diperbesar dari rumah-rumah desa. Di istana Bali seperti Puri Agung di Gianyar, bentuk bale tradisional digunakan, dan Istana Pagaruyung merupakan adaptasi tiga lantai dari Rumah Gadang Minangkabau.
Seperti halnya dalam arsitektur rumah tangga, penggabungan elemen-elemen Eropa ke dalam arsitektur istana Indonesia telah diamati selama dua abad terakhir. Namun, dalam konteks istana, perpaduan ini telah mengambil karakter yang lebih halus dan mewah, melampaui tingkat yang terlihat pada rumah-rumah tradisional.
Di dalam Kraton Jawa, pendopo merupakan aula yang paling tinggi dan paling luas. Berfungsi sebagai tempat duduk penguasa, pendopo memiliki arti penting dalam acara-acara seremonial dan menimbulkan rasa hormat. Biasanya, akses ke area ini dibatasi dan tunduk pada larangan tertentu.
Arsitektur kolonial
Selama abad ke-16 dan 17, bangsa Eropa tiba di Indonesia dan memperkenalkan penggunaan batu bata dalam konstruksi. Sebelumnya, kayu dan bahan-bahan terkait telah menjadi bahan bangunan utama di Indonesia, kecuali untuk bangunan-bangunan keagamaan dan istana yang terkenal. Di antara pemukiman awal Belanda, Batavia (kemudian dikenal sebagai Jakarta) muncul sebagai kota yang penting selama abad ke-17 dan ke-18, ditandai dengan desain berbenteng dan penggunaan batu bata dimana-mana.
Selama hampir dua abad, pemerintah kolonial di Indonesia tidak berbuat banyak untuk menyesuaikan praktik arsitektur Eropa agar sesuai dengan iklim tropis. Contoh kasus dapat dilihat di Batavia, di mana mereka membangun kanal-kanal di lanskap dataran rendah kota ini. Di sepanjang kanal, mereka membangun rumah-rumah deret dengan gaya perpaduan arsitektur Cina-Belanda, dengan ciri khas jendela-jendela kecil dan ventilasi yang buruk. Sayangnya, kanal-kanal ini akhirnya tercemar oleh sampah dan limbah, sehingga menjadi tempat berkembang biak yang ideal bagi nyamuk Anopheles pembawa penyakit. Akibatnya, malaria dan disentri menjadi masalah yang merajalela di ibu kota kolonial Hindia Belanda ini.
Awalnya, orang Belanda memandang rumah deret, kanal, dan dinding yang kokoh sebagai tindakan perlindungan terhadap penyakit tropis yang dibawa oleh udara tropis. Namun, seiring berjalannya waktu, mereka belajar mengadaptasi gaya arsitektur mereka dengan memasukkan fitur bangunan lokal yang lebih sesuai dengan iklim (atap panjang, beranda, serambi, jendela besar, bukaan ventilasi). Pada pertengahan abad ke-18, Gaya Hindia muncul sebagai salah satu gaya arsitektur kolonial pertama yang menggabungkan elemen-elemen Indonesia dan mengatasi tantangan iklim. Tata letak dasar, seperti pengaturan ruang yang memanjang dan penggunaan struktur atap tradisional Jawa seperti joglo dan limasan, yang mana itu berasal dari arsitektur Jawa. Elemen dekoratif Eropa, seperti tiang-tiang neoklasik, ditambahkan pada beranda dalam.[14] Rumah-rumah ini pada dasarnya mempertahankan bentuk arsitektur Indonesia tetapi dengan hiasan Eropa.
Pada awal abad ke-20, mulai terlihat pergeseran ke arah pengaruh modernis, seperti art-deco. Trennya adalah bangunan-bangunan Eropa dengan detail arsitektur Indonesia, seperti yang digambarkan pada gambar rumah dengan atapnya yang bernada tinggi dan detail bubungan Jawa. Langkah-langkah praktis dari hibrida Indo-Eropa sebelumnya, yang responsif terhadap iklim Indonesia, akhirnya terus berlanjut. Langkah-langkah ini termasuk penggabungan atap yang menjorok ke dalam, jendela yang lebih besar, dan ventilasi di dinding.
Pada akhir abad ke-19, perubahan signifikan terjadi terutama di Jawa. Kemajuan teknologi, komunikasi, dan transportasi telah membawa kemakmuran baru ke kota-kota di Jawa, dan kegiatan ekonomi meluas ke daerah pedesaan. Era pembangunan ini menjadi saksi kemunculan bangunan-bangunan modern yang sesuai dengan lanskap yang berubah, yang sangat dipengaruhi oleh gaya arsitektur internasional.
Bangunan-bangunan baru ini termasuk stasiun kereta api, hotel bisnis, pabrik, gedung perkantoran, rumah sakit, dan institusi pendidikan. Konsentrasi terbesar bangunan era kolonial dapat ditemukan di kota-kota besar di Jawa, seperti Bandung, Jakarta, Semarang, dan Surabaya. Bandung khususnya, menonjol dengan koleksi bangunan Art-Deco tahun 1920-an, yang merupakan salah satu yang terbesar yang tersisa di dunia. Beberapa arsitek dan perencana Belanda, termasuk Albert Aalbers, Thomas Karsten, Henri Maclaine Pont, J Gerber, dan C.P.W. Schoemaker, menyumbangkan karya-karya penting untuk lanskap arsitektur kota ini. Pada awal abad ke-20, berbagai gaya arsitektur dapat diamati di kota-kota besar, meliputi Gaya Hindia Baru, Ekspresionisme, Art Deco, Art Nouveau, dan Nieuwe Zakelijkheid (Objektivitas Baru).
Cakupan kekuasaan kolonial di Bali tidak pernah seluas di Jawa. Baru pada tahun 1906, Belanda mendapatkan kendali penuh atas pulau ini. Akibatnya, Bali memiliki koleksi arsitektur kolonial yang relatif terbatas dibandingkan dengan Jawa. Singaraja, yang merupakan bekas ibukota dan pelabuhan kolonial di pulau ini, merupakan tempat bagi beberapa rumah bergaya art-deco, jalan-jalan yang dipenuhi pepohonan, dan gudang-gudang kumuh. Gugusan arsitektur kolonial lainnya yang terkenal dapat ditemukan di kota perbukitan Munduk, yang awalnya didirikan oleh Belanda di tengah-tengah perkebunan. Di sini, beberapa rumah besar bergaya Bali-Belanda berhasil bertahan selama bertahun-tahun.
Pelestarian arsitektur kolonial di Indonesia dapat dikaitkan dengan berbagai faktor seperti dampak Depresi Besar, pergolakan Perang Dunia II, perjuangan kemerdekaan Indonesia pada 1940-an, dan stagnasi ekonomi selama periode pergolakan politik pada 1950-an dan 60-an. Keadaan ini mengakibatkan perkembangan yang terbatas dan berkontribusi pada pelestarian banyak bangunan kolonial hingga saat ini. Meskipun rumah-rumah kolonial terutama ditempati oleh elit Belanda, Indonesia, dan Tionghoa yang kaya, dan arsitektur kolonial dikaitkan dengan penderitaan akibat penjajahan, gaya arsitekturnya sendiri sering kali merepresentasikan perpaduan dua budaya, yang menampilkan kekayaan dan kreativitas. Akibatnya, rumah-rumah ini tetap memiliki daya tarik dan terus dicari bahkan di abad ke-21 ini.
Arsitektur pribumi di Indonesia mengalami pengaruh yang lebih besar dari ide-ide baru Eropa dibandingkan dengan pengaruh Indonesia terhadap arsitektur kolonial. Akibatnya, elemen-elemen Barat terus memberikan pengaruh yang signifikan terhadap lingkungan binaan kontemporer di Indonesia.
Dampak modernisme awal abad ke-20 masih terlihat jelas di banyak wilayah di Indonesia, terutama di daerah perkotaan. Kemerosotan ekonomi yang parah pada tahun 1930-an, ditambah dengan tahun-tahun berikutnya dari perang, revolusi, dan kekacauan, sangat menghambat kemajuan lingkungan binaan selama periode tersebut.
Arsitektur pasca kemerdekaan
Gaya art-deco Jawa pada tahun 1920-an menjadi dasar pengembangan awal gaya nasional Indonesia pada 1950-an. Tahun 1950-an yang penuh gejolak politik menimbulkan tantangan bagi Indonesia, baik dari segi keuangan maupun kurangnya fokus untuk mengadopsi gerakan arsitektur internasional baru seperti brutalisme modern. Sebaliknya, terdapat kelanjutan pengaruh arsitektur dari 1920-an dan 1930-an, yang didukung oleh para perencana Indonesia yang sebelumnya bekerja dengan arsitek Belanda, Karsten. Arsitek-arsitek penting dari periode ini, seperti Mohammad Soesilo, Liem Bwan Tjie, Soejoedi Wirjoatmodjo, dan Friedrich Silaban, memainkan peran penting dalam pendirian Ikatan Arsitek Indonesia.
Terlepas dari tantangan ekonomi yang dihadapi oleh negara yang baru saja merdeka ini, Indonesia memulai proyek-proyek besar yang didanai oleh pemerintah dengan gaya arsitektur modernis, terutama di ibu kota Jakarta. Proyek-proyek ini, yang mencerminkan ideologi politik Presiden Soekarno, bertujuan untuk menunjukkan kebanggaan dan nasionalisme bangsa. Presiden Soekarno, yang memiliki latar belakang di bidang teknik sipil dan juga pernah bekerja sebagai arsitek, menyetujui beberapa proyek penting, termasuk:
Tahun 1950-an menjadi saksi kemunculan gaya arsitektur Indonesia yang unik yang dikenal dengan nama "jengki." Istilah "jengki" berasal dari julukan Indonesia untuk angkatan bersenjata Amerika Serikat, "yankee", dan mencerminkan pengaruh budaya Amerika pada arsitektur Indonesia selama periode tersebut. Gaya jengki menyimpang dari arsitektur modernis Belanda sebelum Perang Dunia II, yang ditandai dengan bentuk-bentuk geometris yang kubistis dan kaku. Sebaliknya, gaya ini merangkul bentuk-bentuk yang lebih rumit dan tidak konvensional, termasuk segi lima dan bentuk-bentuk yang tidak beraturan. Gaya arsitektur ini merupakan representasi visual dari aspirasi politik rakyat Indonesia untuk kebebasan dan kemerdekaan.
Pada awal tahun 1970-an, ketika Indonesia mengalami periode peningkatan pembangunan di bawah pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Soeharto, para arsitek Indonesia mendapatkan inspirasi dari pengaruh Amerika yang signifikan di dalam fakultas-fakultas arsitektur di Indonesia sejak kemerdekaan. Gaya arsitektur yang berlaku pada masa ini adalah Gaya Internasional, yang juga mendominasi di banyak bagian dunia lainnya.
Kantor Gubernur Sumatera Barat
Pada tahun 1970-an, pemerintah Indonesia mengambil langkah untuk mempromosikan bentuk arsitektur asli Indonesia. Sebagai bagian dari inisiatif ini, taman hiburan Taman Mini Indonesia Indah dibangun pada 1975. Taman ini memiliki lebih dari dua puluh bangunan yang dirancang dengan proporsi yang berlebihan untuk menampilkan bentuk-bentuk rumah adat Indonesia. Selain itu, pemerintah mendorong para arsitek Indonesia untuk mengembangkan gaya arsitektur yang unik untuk negara ini. Pada tahun 1980-an, bangunan-bangunan publik secara mencolok menampilkan elemen-elemen berlebihan yang terinspirasi oleh bentuk-bentuk rumah adat. Contoh dari pendekatan ini termasuk penggunaan atap besar bergaya Minangkabau pada gedung-gedung beton pemerintah di Padang, penggabungan struktur joglo raksasa Jawa di gedung Grha Sabha Pramana Universitas Gadjah Mada, dan penyertaan atap bertingkat meru Jawa-Bali pada menara rektorat di Universitas Indonesia.
Terlepas dari upaya yang patut dipuji untuk mendefinisikan arsitektur Indonesia dengan mengambil inspirasi dari elemen-elemen asli arsitektur vernakular dan tradisi, eksekusi dan hasilnya terkadang tidak sesuai dengan harapan. Dalam beberapa kasus, hasilnya dikritik karena dianggap sebagai tambahan yang dangkal pada bangunan modern, hanya memasukkan ornamen tradisional atau memasang atap tradisional. Namun, ada beberapa pengecualian untuk hal ini, seperti desain asli terminal 1 dan 2 Bandara Internasional Soekarno-Hatta. Terminal-terminal ini berhasil menciptakan lingkungan bandara yang dikelilingi oleh taman tropis. Konsep desainnya mengambil bentuk paviliun pendopo Jawa, yang mengingatkan kita pada bangunan keraton Jawa, menawarkan pengalaman arsitektur yang unik dan luar biasa.
Arsitektur zaman sekarang
Pada tahun 1970-an, 1980-an, dan 1990-an, terjadi investasi asing dan pertumbuhan ekonomi; ledakan konstruksi yang besar membawa perubahan besar pada kota-kota di Indonesia, termasuk penggantian gaya awal abad ke-20 dengan gaya modern dan pascamodern. Ledakan konstruksi perkotaan terus berlanjut di abad ke-21 dan membentuk cakrawala kota-kota di Indonesia. Banyak bangunan baru yang dibalut dengan permukaan kaca mengkilap untuk memantulkan sinar matahari tropis. Gaya arsitektur dipengaruhi oleh perkembangan arsitektur internasional, termasuk pengenalan arsitektur dekonstruktivisme.
Arsitektur pada zaman sekarang banyak dipengaruhi oleh arsitektur global. Saat ini, banyak arsitektur Indonesia mulai mengadaptasi gaya kontemporer yang minimalis. Namun, banyak arsitek mulai mendorong gerakan hijau dan keberlanjutan untuk menjaga lingkungan dan juga budaya Indonesia. Maka dari itu, arsitektur Indonesia didominasi oleh gaya Barat dan gaya lokal.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/