Mengenal tentang Kotagede Yogyakarta

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi

13 Mei 2024, 08.10

Sumber: pinterest

Kotagede (bahasa Jawa: ꦏꦸꦛꦒꦼꦝꦺ, bahasa Latin: Kuthagedhé) adalah sebuah kelurahan dan lingkungan bersejarah di Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Kotagede memiliki sisa-sisa peninggalan ibu kota pertama Kesultanan Mataram yang didirikan pada abad ke-16. Beberapa peninggalan Kotagede lama adalah sisa-sisa keraton, pemakaman kerajaan, masjid kerajaan, dan tembok pertahanan serta parit. Kotagede terkenal di dunia internasional karena kerajinan peraknya.

Sejarah

  • Kota kerajaan dan tempat ziarah

Kotagede sebelumnya adalah sebuah hutan bernama Mentaok, di sebelah timur Sungai Gajah Wong. Pada seperempat terakhir abad ke-16, penguasa Kerajaan Islam Pajang, sekitar 100 kilometer di sebelah timur situs ini, menghadiahkan hutan tersebut kepada Ki Ageng Pemanahan, salah satu punggawanya yang berhasil memadamkan pemberontakan. Pemanahan membuka hutan bersama putranya, Danang Sutawijaya, yang juga merupakan anak angkat sang penguasa. Sebuah pemukiman didirikan dan diberi nama Mataram karena Pemanahan sendiri disebut Ki Gedhe Mataram, "Penguasa Mataram".

Setelah Pemanahan wafat pada tahun 1575, Danang Sutawijaya mengumumkan dirinya sebagai raja Mataram dengan gelar Panembahan Senapati Ingalaga, "Tuan yang Disembah, Panglima di Medan Perang." Dia memperluas wilayahnya dengan menaklukkan beberapa bagian utama di Jawa, termasuk Pajang, ibu kota ayah angkatnya. Kota kecil ini kemudian menjadi ibu kota Mataram dan sejak saat itu kota ini dijuluki Kotagede, "Kota Besar". Pada masa itu, kota ini dibentengi dengan tembok. Tembok sebelah barat dibangun di sepanjang Sungai Gajah Wong, yang dialirkan untuk mengairi parit-parit di tiga sisi benteng.

Agar berhasil memerintah suatu wilayah, Senapati juga menjalin persekutuan dengan kekuatan gaib dengan melakukan pertapaan. Menurut Babad Mangkubumi, ketika melakukan meditasi di atas batu di tengah sungai di antara Gunung Merapi dan Samudera Hindia, seekor ikan mitos raksasa bernama Tunggulwulung menawari Senapati tumpangan untuk bertualang ke arah selatan samudera tempat roh terkuat di Jawa menguasai alam baka, bernama Kangjeng Ratu Kidul. Karena terpesona oleh aura Senapati, sang ratu memberikan dukungan atas upaya besar Senapati untuk menaklukkan rakyat Jawa. Ia bahkan mempersembahkan dirinya untuk menjadi permaisuri Senapati, dan juga seluruh keturunannya yang berkuasa, hingga saat ini.

Seorang pangeran bernama Mas Jolang menggantikan Senapati pada tahun 1601. Selama 12 tahun masa pemerintahannya, ia melakukan banyak proyek pembangunan di dalam istana dan daerah sekitarnya, bangunan terpenting yang ia bangun di istana adalah Prabayeksa. Arkeolog Willem Frederik Stutterheim mencatat pentingnya bangunan pusat ini sejak masa pra-Islam Majapahit. Di Keraton Yogyakarta saat ini, nama ini merujuk pada sebuah bangunan kayu raksasa yang sepenuhnya tertutup yang berfungsi sebagai tempat suci bagian dalam kediaman raja di mana sebagian besar benda pusaka dan senjata yang memiliki kekuatan magis disimpan.

Jolang memprakarsai pembangunan beberapa Taman (taman kesenangan tertutup). Dia dikenang dengan nama anumerta sebagai Panembahan Seda Krapyak ("Penguasa yang Meninggal saat Berburu (di Pondok Berburu)") karena konon dia terbunuh oleh seekor rusa ketika berburu di krapyak (hutan berburu tertutup) miliknya.

Pengganti Jolang untuk naik tahta adalah Mas Rangsang (berkuasa 1613-1645) yang lebih dikenal sebagai Sultan Agung Hanyakrakusuma, "Sultan Agung, Penguasa Alam Semesta". Ia memperluas wilayah kekuasaannya hingga mencakup Jawa Tengah dan Jawa Timur. Dia menyerang Batavia dua kali meskipun tidak berhasil. Sultan Agung memutuskan untuk meninggalkan Kotagede menuju sebuah tempat bernama Kerta, sekitar 5 km sebelah selatan Kotagede, dan memulai pembangunan ibu kota baru dengan tembok yang jauh lebih besar di dekatnya yang bernama Plered.

Ibukota Mataram berpindah beberapa kali setelah itu hanya untuk kembali lagi ke lokasi dekat Kotagede. Dari Kerta, ibukota Mataram dipindahkan ke Plered oleh putra Agung, Mangkurat I. Hanya satu generasi yang menetap di Plered sebelum jatuhnya kota ini setelah dikalahkan oleh beberapa penentang Mangkurat I pada tahun 1677.

Setelah pemberontakan berhasil dipadamkan, penggantinya, Mangkurat II, memutuskan untuk mendirikan ibu kota baru bernama Kartasura yang berjarak 50 km ke arah timur. Pembantaian orang Tionghoa di Batavia berubah menjadi kekacauan di banyak wilayah utama di Jawa pada paruh pertama abad ke-18. Pemimpin pemberontak, Sunan Kuning, menduduki tahta Mataram di Kartasura setelah Pakubawana II meninggalkan ibukota dalam kekalahan. Pakubuwana II kemudian mendapatkan kembali kerajaannya, tetapi tahta telah ternoda, sehingga sebuah istana baru harus didirikan untuk memiliki pusat pemurnian. Pada tahun 1745, ia menciptakan tempat baru yang menjadi jantung kota Surakarta.

Tidak seperti banyak daerah lain di Jawa, beberapa tanah leluhur termasuk Kotagede tidak dapat dibagi-bagi karena dianggap sebagai semacam pusaka dan bukan wilayah yang dapat diukur. Pemakaman dan masjid dijaga oleh pejabat dari kedua pengadilan dan tanah di sekitarnya ditugaskan sebagai appanage untuk menopang kehidupan para pejabat ini. Seiring dengan pergeseran kekuasaan politik, Kotagede pada dasarnya menjadi kota ziarah dengan makam kerajaan dan situs-situs lain yang terkait dengan pendirian kerajaan Mataram.

  • Era kolonial

Pada akhir abad ke-19, transportasi dan monetisasi ekonomi pertanian membaik. Para pedagang Kotagede menjadi makmur pada masa ini. Rumah-rumah pedagang bertembok yang disebut rumah Kalang muncul pada masa ini, dibangun dengan tembok batu yang tebal untuk melindungi harta benda yang terkumpul. Rumah-rumah pedagang tradisional ini terkadang menggabungkan elemen-elemen dari arsitektur Belanda yang dianggap mewah, menghasilkan arsitektur eklektik. Kerajinan perak berkembang pesat pada era ini.

  • Reformasi agama

Reformasi Islam muncul pada kuartal pertama abad ke-20. Beberapa pemimpin agama lokal mendirikan organisasi keagamaan bernama Syarikatul Mubtadi (Serikat Pemula) yang bertujuan untuk mendidik masyarakat Kotagede tentang cara hidup Islam yang "benar". Gerakan awal ini semakin berkembang dengan diperkenalkannya Muhammadiyah, sebuah organisasi pembaharuan Islam yang berbasis di Yogyakarta. Pembaharuan ini bertujuan untuk memperkenalkan rasionalitas dan ajaran Islam kepada masyarakat Kotagede, yang dianggap takhayul. Masjid Perak dibangun pada tahun 1940 di jalan utama Kotagede.

  • Sekarang

Indonesia mengalami "booming pariwisata" pada awal tahun 1970-an dan hal ini memberikan pengaruh positif bagi Kotagede. Beberapa rumah tua dikembangkan sebagai ruang pamer kerajinan dan restoran. Reruntuhan bangunan masih dipertahankan.

Banyak bangunan tua di Kotagede yang hancur akibat gempa bumi Yogyakarta tahun 2006. Program revitalisasi Kotagede diprakarsai oleh Pusaka Jogja Bangkit! ("Kebangkitan Pusaka Jogja!"). Pihak-pihak yang berkolaborasi terdiri dari Jogja Heritage Society, Balai Pelestarian Cagar Budaya, Jurusan Teknik Arsitektur dan Perencanaan Universitas Gajah Mada, Jaringan Pelestarian Cagar Budaya Indonesia, ICOMOS Indonesia, dan lembaga-lembaga pendukung lainnya termasuk masyarakat setempat.

Saat ini, Kotagede masih dianggap sebagai tempat asal muasal kekuatan gaib yang dipercaya sebagai pusat berkah dan kemakmuran leluhur.

Administrasi

Secara administratif, wilayah Kotagede dibagi menjadi tiga kelurahan: Prenggan, Purbayan, dan Rejowinangun yang bersama-sama membentuk Kecamatan Kotagede di Kota Yogyakarta. Secara eksternal, Jagalan termasuk ke dalam wilayah Kecamatan Banguntapan yang bersebelahan dengan Kabupaten Bantul.

Perencanaan kota

Tata kota asli Kotagede mirip dengan tata kota Majapahit: konfigurasi empat kali lipat dari Masjid-Keraton-Pasar-Alun-alun yang disebut catur gatra tunggal, dikelilingi oleh tembok pertahanan: cepuri (dinding dalam) dan baluwerti (dinding luar). Pasar dan alun-alun pada dasarnya merupakan ruang terbuka, sedangkan Masjid dan Keraton merupakan kompleks bertembok yang masing-masing terdiri dari banyak bangunan. Kota ini lebih tepat digambarkan sebagai sebuah istana kota

Hanya ada sedikit peninggalan fisik dari istana dan kota. Bagian yang masih ada antara lain masjid agung kuno Kotagede, pemakaman kerajaan (cikal bakal Imogiri), dan beberapa bagian dari tembok kota yang masih ada. Masjid agung dan pemakaman kerajaan sekarang terletak di daerah yang disebut Dondongan.

Toponim menunjukkan banyak jejak perencanaan awal kota. Sebuah lingkungan yang disebut Alun-alun terletak di sebelah selatan pasar, tepat di depan masjid agung. Sebuah tempat yang disebut Dalem (rumah dalam) menandakan peruntukannya sebagai kediaman penguasa.

  • Kedhaton (istana kerajaan)

Kedhaton, (juga Kedaton), atau "istana kerajaan", berdiri di situs ini pada tahun 1509. Saat ini, satu-satunya peninggalan dari istana kerajaan adalah tiga buah batu yang masing-masing disebut batu gilang ("batu berkilauan"), batu gatheng ("batu gatheng (permainan lempar batu)"), dan batu genthong ("batu gentong"). Saat ini, batu-batu tersebut dilindungi di dalam sebuah bangunan kecil yang terletak di tengah jalan dan dikelilingi oleh tiga pohon beringin.

Batu gilang (juga disebut watu gilang) adalah lempengan batu hitam berbentuk persegi yang diyakini sebagai batu tempat beristirahatnya Panembahan Senopati. Di atasnya tertulis secara melingkar kata-kata: "Demikianlah Dunia", masing-masing dalam bahasa Latin, Prancis, Belanda, dan Italia: Ita movetur Mundus - Ainsi va le Monde - Zoo gaat de wereld - Cosi va il Mondo. Di bagian luar, kata-kata Latin di dalam lingkaran bertuliskan: AD AETERNAM MEMORIAM INFELICIS - INFORTUNA CONSORTES DIGNI VALETE QUID STUPEARIS INSANI VIDETE IGNARI ET RIDETE, CONTEMNITE VOS CONTEMTU VERE DIGNI - IGM (In Glorium Maximam).

Batu gatheng (juga disebut watu cantheng) adalah tiga buah bola batu berwarna kekuningan dengan ukuran berbeda yang diletakkan di atas lempengan batu. Bola-bola ini diyakini oleh penduduk setempat sebagai batu permainan Raden Rongo, putra Panembahan Senapati. Ada juga yang mengatakan bahwa batu-batu tersebut adalah peluru meriam.

Batu genthong dipercaya sebagai batu tempat air wudhu yang digunakan dalam ritual Islam. Batu ini digunakan oleh para penasihat kerajaan Panembahan Senopati: Ki Juru Mertani dan Ki Ageng Giring.

  • Masjid gede (masjid agung)

Masjid gede Kotagede adalah monumen terbesar yang dikaitkan dengan kerajaan Mataram, oleh karena itu saat ini disebut Masjid Mataram. Masjid ini pertama kali didirikan pada tahun 1575, tahun wafatnya Ki Ageng Pemanahan. Pembangunan ulang besar-besaran pertama dilakukan pada masa pemerintahan Sultan Agung untuk menghormati para leluhurnya. Penguasa Mataram, Surakarta, dan Yogyakarta melakukan beberapa kali rehabilitasi di kemudian hari. Pembangunan kembali terakhir dilakukan pada tahun 1926 di bawah perintah Sunan Pakubuwana X setelah masjid ini terbakar.

Masjid ini dibangun dengan arsitektur tradisional Jawa. Terdiri dari sepasang bangunan: ruang sholat utama dan ruang depan yang biasa disebut serambi. Ruang salat adalah bangunan dengan dinding polos yang tebal, sedangkan serambi adalah bangunan semi-menyatu dengan serambi. Di sekeliling serambi terdapat parit yang memungkinkan seseorang untuk mencelupkan kakinya sebelum mencapai serambi, yang secara simbolis menyucikan apa pun yang masuk ke dalam masjid.

Masjid ini terletak tepat di sebelah timur pemakaman kerajaan. Area masjid adalah halaman luas yang ditumbuhi pohon sawo kecik (Manilkara kauki), dua bangunan utama hanya seluas kurang dari sepersepuluh dari keseluruhan area.

  • Pemakaman kerajaan

Pemakaman kerajaan ini bernama Makam Kota Gede (dalam bahasa Indonesia) atau secara resmi (Pasareyan) Hasta Kitha Ageng (dalam bahasa Jawa). Makam ini terletak di sebelah barat Masjid Agung. Ini adalah bagian yang paling utuh dari Kotagede. Sejarah menyebutkan bahwa ayah Senapati, Ki Gedhe Mataram, dimakamkan di sebelah barat masjid dan Senapati sendiri dimakamkan di sebelah selatan masjid, searah dengan arah kaki ayahnya. Orang-orang penting lainnya yang dimakamkan di pemakaman ini antara lain Sultan Hadiwijaya. Pemakaman ini dijaga dan dirawat oleh Juru Kunci yang dipekerjakan oleh dua keraton Yogyakarta dan Surakarta. Gapura pemakaman ini memiliki ciri khas arsitektur Hindu, setiap gerbangnya terbuat dari kayu tebal yang dihiasi dengan ukiran. Pemakaman bertembok ini tidak berfungsi sebagai pelindung fisik dari makam dan perhiasannya, cungkup memisahkan dunia orang mati dengan dunia orang hidup.

Pemakaman kerajaan lain di dekatnya adalah pemakaman Hastorenggo. Dibangun pada tahun 1934, pemakaman ini merupakan pemakaman kerajaan untuk keturunan tertentu dari keraton Yogyakarta dan masih digunakan sampai sekarang.

  • Alun-alun

Sebagai sebuah lapangan terbuka, tidak ada sisa-sisa alun-alun. Sebuah kampung yang sekarang disebut "Alun-alun" terletak di sebelah selatan pasar, tepat di depan masjid besar, menandakan di mana bekas alun-alun berada. Kampung lain yang bernama Cokroyudan juga terletak di dekat bekas alun-alun.

Kampung Alun-alun dan Cokroyudan telah ditetapkan sebagai kawasan cagar budaya dengan nama "Kampung Pusaka Alun-alun Cokroyudan".

Pasar

Pasar Kotagede terletak di tengah kota, di persimpangan empat jalan utama. Karena dianggap sebagai bagian penting dari kota, Kotagede juga dikenal sebagai Pasar Gede atau singkatnya, Sargede. Sejak Panembahan Senapati memiliki nama kecil Ngabehi Loring Pasar, "Penguasa Pasar Utara", keberadaan pasar ini sama tuanya dengan kerajaan. Sama halnya dengan Forum Romawi, pasar juga merupakan tempat pertemuan.

Legi, sebuah hari dalam satu minggu dalam penanggalan Jawa, adalah hari pasar di Kotagede, sehingga pasar ini juga dikenal sebagai Pasar Legi atau Sarlegi. Pasar Legi di Kotagede selalu diadakan pada hari Legi, sebuah keunikan tersendiri di Yogyakarta.

  • Tembok pertahanan

Panembahan Senopati membangun tembok dalam kota (cepuri) yang dilengkapi dengan parit di sekeliling keraton. Tembok dalam ini meliputi area seluas kurang lebih 400x400 meter. Reruntuhannya masih dapat dilihat di sudut barat daya dan tenggara. Temboknya setebal 4 meter dan terbuat dari balok-balok batu. Parit dapat dilihat di sebelah timur, selatan, dan barat.

Tembok kota luar (baluwerti) terletak di sebelah selatan situs Batu Gilang. Reruntuhan batu bata sepanjang 50 meter dengan sisa-sisa parit.

Bokong Semar adalah nama untuk sisa-sisa sudut tenggara tembok kota. Ini adalah benteng pertahanan yang berbentuk lingkaran, nama Bokong Semar terinspirasi dari bentuknya yang bulat.

  • Lingkungan Kotagede

Lanskap kota di lingkungan Kotagede terdiri dari rumah-rumah joglo kayu tradisional dan rumah-rumah pedagang yang eklektik. Rumah-rumah pedagang di Kotagede bertembok untuk melindungi harta benda mereka yang menumpuk selama periode kekayaan Kotagede abad ke-18 hingga 19. Rumah-rumah pedagang ini terkadang menggabungkan elemen-elemen dari rumah kayu tradisional Jawa dengan arsitektur bata Belanda untuk membentuk perpaduan eklektik arsitektur Jawa-Belanda yang dikenal dengan sebutan "Rumah Kalang".

Beberapa lingkungan memiliki gang-gang sempit yang dibatasi oleh rumah-rumah batu bata yang mirip dengan kota-kota di abad pertengahan Eropa.

  • Jagalan

Kelurahan Jagalan, sebuah daerah di Kotagede, memiliki beberapa rumah joglo bersejarah, pendopo tradisional Jawa, dan beberapa Rumah Kalang yang eklektik. Joglo tertua di daerah ini berasal dari tahun 1750-an. Bangunan-bangunan tersebut dilindungi sebagai situs warisan.

Bentuk lain dari arsitektur tradisional Jawa adalah langgar dhuwur (masjid keluarga). Langgar dhuwur adalah rumah ibadah keluarga yang terletak di loteng beberapa rumah tradisional di Kotagede. Langgar dhuwur dibangun dengan konstruksi kayu dan ditopang oleh tiang-tiang tembok. Dahulu, penempatan langgar dhuwur banyak membentuk rangkaian yang melingkari Keraton Mataram di Kotagede. Saat ini, hanya dua langgar dhuwur yang tersisa, keduanya milik pribadi.

Selama gempa bumi Yogyakarta tahun 2006, banyak rumah tradisional yang hancur. Beberapa rumah joglo dibangun kembali, salah satu contohnya adalah Omah UGM, sebuah joglo yang dibeli oleh Universitas Gajah Mada dan dibangun kembali.

Budaya

Kotagede terkenal dengan kerajinan peraknya. Kotagede juga dikenal dengan kerajinan dan kesenian Jawa lainnya (emas, perak, tembaga, kulit, dll.) dan makanan lokal (kipo, legomoro, dll.)

Seni pertunjukan termasuk karawitan (kelompok musik gamelan lokal), syalawatan (kelompok musik Islam), mocopat (pembacaan puisi Jawa), kroncong, tingklung wayang, dan upacara persembahan pada hari-hari tertentu (caos) dan menjalani kehidupan religius pertapaan (tirakatan).

  • Kerajinan perak

Pengrajin perak Kotagede tumbuh sejak berdirinya Kotagede sebagai ibu kota Mataram. Pada masa itu, industri perak, emas, dan tembaga tradisional mulai berkembang, yang didominasi oleh penggunaan teknik repoussé (timbul). Hasil produksi dari wilayah ini digunakan untuk memenuhi kebutuhan peralatan rumah tangga dan upacara bagi keluarga kerajaan. Pada masa kolonial tahun 1930-an, kerajinan perak dan kerajinan perak berkembang pesat di Kotagede. Pemerintah kolonial Belanda mendirikan Stichting Beverding van het Yogyakarta Kent Ambacht untuk melindungi kerajinan perak di Kotagede. Teknik kerawang masuk ke Kotagede sekitar tahun 1950 di bawah pengaruh pengrajin dari Kendari, Sulawesi. Menurut pengrajin perak lokal, Sastro Dimulyo dengan perusahaannya "SSO" adalah pelopor yang memperkenalkan teknik filigree di Kotagede.

Peralatan perak Kotagede memiliki ciri khas dengan motif bunga, seperti daun atau bunga teratai, yang berasal dari tradisi Hindu; dan pengerjaannya secara manual, yang secara historis masih terjaga keasliannya. Jenis kerajinan perak yang diproduksi oleh Kotagede adalah kerawang, pengecoran perak, patung (miniatur), dan produk buatan tangan (kalung, cincin).

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/