Gaya Kekaisaran Hindia Belanda (bahasa Belanda: Indisch Rijksstijl) adalah sebuah gaya arsitektur yang berkembang di masa kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia) antara pertengahan abad ke-18 dan akhir abad ke-19. Gaya ini merupakan tiruan dari Gaya Kekaisaran neoklasik yang populer di Prancis pada pertengahan abad ke-19. Sesuai dengan lingkungan tropis Indonesia, gaya ini kemudian dikenal di Hindia Belanda sebagai gaya Kekaisaran Hindia.
Sejarah
- Bangkitnya gaya Kekaisaran Hindia-Belanda
Perkembangan gaya Indies Empire sangat terkait dengan budaya Indies, masyarakat keturunan campuran yang berkembang di Hindia Belanda. Masyarakat Hindia mengasosiasikan diri mereka dengan status tinggi dan mengekspresikannya dengan membangun rumah-rumah pedesaan yang mewah yang biasanya diasosiasikan dengan bangsawan Eropa. Banyak dari rumah-rumah pedesaan ini muncul di pinggiran Batavia sekitar pertengahan abad ke-17, yang gaya arsitekturnya mencapai puncaknya ketika menyatu dengan arsitektur lokal Jawa, sebuah gaya baru yang dikenal sebagai gaya Hindia Lama.
Dengan kedatangan Herman Willem Daendels pada awal abad ke-19, perkembangan gaya arsitektur rumah-rumah pedesaan ini mengambil arah yang berbeda. Daendels adalah mantan kolonel jenderal Louis Bonaparte dari Perancis. Pada saat itu, gerakan arsitektur neoklasik yang dinamai Empire Style sedang populer di Prancis. Ketika Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ia membuat Gaya Kekaisaran menjadi populer di Hindia Belanda. Sesuai dengan arsitektur tropis Indonesia, gaya ini kemudian dikenal sebagai Gaya Kekaisaran Hindia.
Pada akhir abad ke-19, clubhouse dan gedung pertunjukan dibangun di kota-kota besar di Hindia Belanda seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya; sebagian besar dibangun mengikuti tren gaya Indies Empire. Perkembangan kota pada akhir abad ke-19 juga mempengaruhi bentuk gaya Indies Empire. Kurangnya ruang yang tersedia di pusat kota mengharuskan modifikasi rumah-rumah bergaya Indies Empire. Kolom-kolom batu diganti dengan kolom kayu atau besi sempit yang biasanya diimpor dari Belanda. Yang juga berubah adalah penambahan corak baja bergelombang yang ditopang oleh konsol besi tuang untuk melindungi jendela dan teras depan dari air hujan dan sinar matahari. Contoh rumah bergaya Indies Empire dari periode ini adalah Museum Tekstil Jakarta dan beberapa rumah di Jalan Bubutan, Surabaya.
Pada abad ke-19, gaya Indies Empire dianggap sebagai perwakilan dari "pusat kota" Batavia, daerah di sebelah selatan "pusat kota" Kota Tua. Gaya Indies Empire digambarkan sebagai tren di mana rumah-rumah dibangun dengan "...satu lantai dengan taman yang luas, dengan galeri depan dan belakang serta aula yang tinggi dan lebar; rumah-rumah dengan atap menggantung di mana keteduhan, udara, dan kesejukan menjadi keistimewaan yang dominan ...", dibandingkan dengan rumah-rumah bergaya Belanda sebelumnya di Kota Tua, yang digambarkan sebagai rumah-rumah dengan "...kamar-kamar gelap yang tinggi dengan langit-langit yang berseri-seri, dinding yang dicat putih, dan lantai keramik merah."
Kemunduran
Gaya Indies Empire berkembang hingga awal abad ke-20, ketika gaya ini mendapat kritik. Gaya Indies Empire di Indonesia bukanlah hasil karya arsitek profesional, melainkan hasil rancangan pengawas bangunan (opzichter). Para akademisi modern seperti arsitek Berlage dan Moojen menganggap bangunan bergaya Indies Empire memiliki kualitas yang rendah; yang kemudian memunculkan kebangkitan kembali gaya arsitektur yang mencari identitas baru yang unik dan secara khusus dikaitkan dengan budaya Hindia Belanda. Kemudian muncul gaya baru, yang dikenal sebagai Gaya Hindia Baru, sebuah gerakan modern dan cabang dari Rasionalisme Belanda yang pada akhirnya menggantikan gaya Kekaisaran Hindia.
Karakteristik
Gaya Indies Empire pada dasarnya adalah Gaya Kekaisaran yang disesuaikan dengan lingkungan tropis Hindia Belanda. Mirip dengan Gaya Kekaisaran, Gaya Kekaisaran Hindia membuat penggunaan eklektik motif antik - biasanya Yunani-Romawi - untuk meniru dinasti kolonial kekaisaran. Beberapa bangunan di Hindia Belanda mengacu pada gaya Gotik, misalnya kediaman Raden Saleh. Tata letaknya simetris, dengan langit-langit yang tinggi, dinding yang tebal, dan lantai marmer. Bangunan-bangunan tersebut biasanya memiliki serambi depan (voorgalerij) dan serambi belakang (achtergalerij) yang diapit oleh tiang-tiang Yunani. Serambi depan dan belakang ini sangat luas dibandingkan dengan gaya Eropa aslinya untuk meningkatkan ventilasi silang ke dalam interior serta melindunginya dari panas dan hujan tropis yang hebat - sebuah upaya Eropa untuk meniru pringgitan lokal, beranda Jawa dengan bangku bambu di mana orang dapat tidur di siang hari yang terik. Perabotan dapat ditempatkan di serambi. Pesta dansa sore hari atau permainan kartu biasanya diadakan di serambi, sebuah tradisi yang lebih meniru tradisi Prancis daripada tradisi Belanda atau Jawa.
Sebuah bangunan bergaya Indies Empire memiliki tata letak dan komposisi yang simetris. Terdiri dari sebuah bangunan utama, terkadang dengan paviliun tambahan yang terletak di kedua sisi bangunan utama. Bangunan utama berisi aula tengah yang menghubungkan serambi depan dan belakang serta berbagai ruangan di dalamnya. Sebuah galeri menghubungkan bangunan utama dengan bangunan servis yang berisi kamar-kamar untuk para budak, gudang, dapur, dan fasilitas servis lainnya. Keseluruhan kompleks ini terletak di lahan yang luas dengan taman-taman yang luas di bagian depan, belakang, dan samping bangunan utama. Pohon-pohon palem tropis biasanya menghiasi lansekap ini.
Contoh
Bangunan bergaya Indies Empire masih dapat ditemukan di kota-kota kolonial besar di Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya. Di bawah ini adalah contoh-contoh bangunan bergaya Indies Empire yang terkenal di Indonesia.
- Bangunan tempat tinggal
- Gedung Pancasila (Jakarta, 1830)
- Istana Bogor (Bogor, 1856)
- Istana Merdeka (Jakarta, 1873)
- Istana Negara (Jakarta, 1804-1848)
- Balai Kota Jakarta (Jakarta)
- Hotel Marine, Batavia (Jakarta, 1815?)
- Galeri Nasional Indonesia - bangunan utama (Jakarta, 1817)
- Istana Daendels, sekarang Gedung A.A. Maramis (1809)
- Bangunan sipil
- Museum Seni Rupa dan Keramik (Jakarta, 1870)
- Gedung Kesenian Jakarta (Jakarta, 1821)
- Gereja Immanuel Jakarta (Jakarta, 1839)
- Museum Nasional Indonesia (Jakarta, 1862)
- Societeit Harmonie (Jakarta, 1815)
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/