Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 11 Juni 2024
Candi adalah istilah dalam Bahasa Indonesia yang merujuk kepada sebuah bangunan keagamaan tempat ibadah peninggalan purbakala yang berasal dari peradaban Hindu-Buddha. Bangunan ini digunakan sebagai tempat ritual ibadah, pemujaan dewa-dewi, penghormatan leluhur ataupun memuliakan Sang Buddha. Akan tetapi, istilah 'candi' tidak hanya digunakan oleh masyarakat untuk menyebut tempat ibadah saja, banyak situs-situs purbakala non-religius dari masa Hindu-Buddha Indonesia klasik, baik sebagai istana (kraton), pemandian (petirtaan), gapura, dan sebagainya, disebut dengan istilah candi.
Candi merupakan bangunan replika tempat tinggal para dewa yang sebenarnya, yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola hias yang disesuaikan dengan alam Gunung Mahameru. Candi-candi dan pesan yang disampaikan lewat arsitektur, relief, serta arca-arcanya tak pernah lepas dari unsur spiritualitas, daya cipta, dan keterampilan para pembuatnya.
Beberapa candi, seperti Candi Borobudur dan Prambanan dibangun amat megah, detail, kaya akan hiasan yang mewah, bercitarasa estetika yang luhur, dengan menggunakan teknologi arsitektur yang maju pada zamannya. Bangunan-bangunan ini hingga kini menjadi bukti betapa tingginya kebudayaan dan peradaban nenek moyang bangsa Indonesia.
Terminologi
"Antara abad ke-7 dan ke-15 masehi, ratusan bangunan keagamaan dibangun dari bahan bata merah atau batu andesit di pulau Jawa, Sumatra, dan Bali. Bangunan ini disebut candi. Istilah ini juga merujuk kepada berbagai bangunan pra-Islam termasuk gerbang, dan bahkan pemandian, akan tetapi manifestasi utamanya tetap adalah bangunan suci keagamaan."
— Soekmono, R. "Candi:Symbol of the Universe".
Istilah "Candi" diduga berasal dari kata “Candika” yang berarti nama salah satu perwujudan Dewi Durga sebagai dewi kematian. Candi selalu dihubungkan dengan monumen tempat pedharmaan untuk memuliakan raja anumerta (yang sudah meninggal) contohnya candi Kidal untuk memuliakan Raja Anusapati.
Penafsiran yang berkembang di luar negeri — terutama di antara penutur bahasa Inggris dan bahasa asing lainnya — adalah; istilah candi hanya merujuk kepada bangunan peninggalan era Hindu-Buddha di Indonesia, sedangkan dalam bahasa Melayu disebut dengan istilah kuil. Sama halnya dengan istilah wat yang dikaitkan dengan candi di Kamboja dan Thailand. Akan tetapi dari sudut pandang Bahasa Indonesia, istilah 'candi' juga merujuk kepada semua bangunan bersejarah Hindu-Buddha di seluruh dunia; tidak hanya di Nusantara, tetapi juga Kamboja, Myanmar, Thailand, Laos, Vietnam, Sri Lanka, India, dan Nepal; seperti candi Angkor Wat di Kamboja dan candi Khajuraho di India. Istilah candi juga terdengar mirip dengan istilah chedi dalam bahasa Thailand yang berarti 'stupa'.
Candi di Indonesia
Di Indonesia, candi dapat ditemukan di pulau Jawa, Bali, Sumatra, dan Kalimantan, akan tetapi candi paling banyak ditemukan di kawasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Kebanyakan orang Indonesia mengetahui adanya candi-candi di Indonesia yang termasyhur seperti Borobudur, Prambanan, dan Mendut.
Pada suatu era dalam sejarah Indonesia, yaitu dalam kurun abad ke-8 hingga ke-10 tercatat sebagai masa paling produktif dalam pembangunan candi. Pada kurun kerajaan Medang Mataram ini candi-candi besar dan kecil memenuhi dataran Kedu dan dataran Kewu di Jawa Tengah dan Yogyakarta. Hanya peradaban yang cukup makmur dan terpenuhi kebutuhan sandang dan pangannya sajalah yang mampu menciptakan karya cipta arsitektur bernilai seni tinggi seperti ini. Beberapa candi yang bercorak Hindu di Indonesia adalah Candi Prambanan, Candi Jajaghu (Candi Jago), Candi Gedongsongo, Candi Dieng, Candi Panataran, Candi Angin, Candi Selogrio, Candi Pringapus, Candi Singhasari, dan Candi Kidal. Candi yang bercorak Buddha antara lain Candi Borobudur dan Candi Sewu. Candi Prambanan di Jawa Tengah adalah salah satu candi Hindu-Siwa yang paling indah. Candi itu didirikan pada abad ke-9 Masehi pada masa Kerajaan Mataram Kuno.
Nama candi
Kebanyakan candi-candi yang ditemukan di Indonesia tidak diketahui nama aslinya. Kesepakatan di dunia arkeologi adalah menamai candi itu berdasarkan nama desa tempat ditemukannya candi tersebut. Candi-candi yang sudah diketahui masyarakat sejak dulu, kadang kala juga disertai dengan legenda yang terkait dengannya. Ditambah lagi dengan temuan prasasti atau mungkin disebut dalam naskah kuno yang diduga merujuk kepada candi tersebut. Akibatnya nama candi dapat bermacam-macam, misalnya candi Prambanan, candi Rara Jonggrang, dan candi Siwagrha merujuk kepada kompleks candi yang sama. Prambanan adalah nama desa tempat candi itu berdiri. Rara Jonggrang adalah legenda rakyat setempat yang terkait candi tersebut. Sedangkan Siwagrha (Sanskerta: "rumah Siwa") adalah nama bangunan suci yang dipersembahkan untuk Siwa yang disebut dalam Prasasti Siwagrha dan merujuk kepada candi yang sama. Berikut adalah sebagian kecil candi-candi yang dapat diketahui kemungkinan nama aslinya:
Selebihnya, nama candi-candi lain biasanya dinamakan berdasarkan nama desanya.
Jenis dan fungsi
Berdasarkan latar belakang keagamaannya, candi dapat dibedakan menjadi candi Hindu, candi Buddha, paduan sinkretis Siwa-Buddha, atau bangunan yang tidak jelas sifat keagamaanya dan mungkin bukan bangunan keagamaan.
Jenis berdasarkan hierarki dan ukuran
Dari ukuran, kerumitan, dan kemegahannya candi terbagi atas beberapa hierarki, dari candi terpenting yang biasanya sangat megah, hingga candi sederhana. Dari tingkat skala kepentingannya atau peruntukannya, candi terbagi menjadi:
Fungsi
Candi dapat berfungsi sebagai berikut.
Beberapa bangunan purbakala, seperti batur-batur landasan pendopo berumpak, tembok dan gerbang, dan bangunan lain yang sesungguhnya bukan merupakan candi, sering kali secara keliru disebut pula sebagai candi. Bangunan seperti ini banyak ditemukan di situs Trowulan, ataupun paseban atau pendopo di kompleks Ratu Boko yang bukan merupakan bangunan keagamaan.
Arsitektur
Pembangunan candi dibuat berdasarkan beberapa ketentuan yang terdapat dalam suatu kitab Vastusastra atau Silpasastra yang dikerjakan oleh silpin, yaitu seniman yang membuat candi (arsitek zaman dahulu). Salah satu bagian dari kitab Vastusastra adalah Manasara yang berasal dari India Selatan, yang tidak hanya berisi pedoman-pedoman membuat kuil beserta seluruh komponennya saja, melainkan juga arsitektur profan, bentuk kota, desa, benteng, penempatan kuil-kuil di kompleks kota dan desa.
Lokasi
Kitab-kitab ini juga memberikan pedoman mengenai pemilihan lokasi tempat candi akan dibangun. Hal ini terkait dengan pembiayaan candi, karena biasanya untuk pemeliharaan candi maka ditentukanlah tanah sima, yaitu tanah swatantra bebas pajak yang penghasilan panen berasnya diperuntukkan bagi pembangunan dan pemeliharaan candi. Beberapa prasasti menyebutkan hubungan antara bangunan suci dengan tanah sima ini. Selain itu pembangunan tata letak candi juga sering kali memperhitungkan letak astronomi (perbintangan).
Beberapa ketentuan dari kitab selain Manasara namun sangat penting di Indonesia adalah syarat bahwa bangunan suci sebaiknya didirikan di dekat air, baik air sungai, terutama di dekat pertemuan dua buah sungai, danau, laut, bahkan kalau tidak ada harus dibuat kolam buatan atau meletakkan sebuah jambangan berisi air di dekat pintu masuk bangunan suci tersebut. Selain di dekat air, tempat terbaik mendirikan sebuah candi, yaitu di puncak bukit, di lereng gunung, di hutan, atau di lembah. Seperti kita ketahui, candi-candi pada umumnya didirikan di dekat sungai, bahkan candi Borobudur terletak di dekat pertemuan sungai Elo dan sungai Progo. Sedangkan candi Prambanan terletak di dekat sungai Opak. Sebaran candi-candi di Jawa Tengah banyak tersebar di kawasan subur dataran Kedu dan dataran Kewu.
Struktur
Kebanyakan bentuk bangunan candi meniru tempat tinggal para dewa yang sesungguhnya, yaitu Gunung Mahameru. Oleh karena itu, seni arsitekturnya dihias dengan berbagai macam ukiran dan pahatan berupa pola yang menggambarkan alam Gunung Mahameru.
Peninggalan-peninggalan purbakala, seperti bangunan-bangunan candi, patung-patung, prasasti-prasasti, dan ukiran-ukiran pada umumnya menunjukkan sifat kebudayaan Indonesia yang dilapisi oleh unsur-unsur Hindu-Budha. Pada hakikatnya, bentuk candi-candi di Indonesia adalah punden berundak, di mana punden berundak sendiri merupakan unsur asli Indonesia.
Berdasarkan bagian-bagiannya, bangunan candi terdiri atas tiga bagian penting, antara lain, kaki, tubuh, dan atap.
Kaki candi merupakan bagian bawah candi. Bagian ini melambangkan dunia bawah atau bhurloka. Pada konsep Buddha disebut kamadhatu, yaitu menggambarkan dunia hewan, alam makhluk halus seperti iblis, raksasa dan asura, serta tempat manusia biasa yang masih terikat nafsu rendah. Bentuknya berupa bujur sangkar yang dilengkapi dengan jenjang pada salah satu sisinya. Bagian dasar candi ini sekaligus membentuk denahnya, dapat berbentuk persegi empat atau bujur sangkar. Tangga masuk candi terletak pada bagian ini, pada candi kecil tangga masuk hanya terdapat pada bagian depan, pada candi besar tangga masuk terdapat di empat penjuru mata angin. Biasanya pada kiri-kanan tangga masuk dihiasi ukiran makara.
Pada dinding kaki candi biasanya dihiasi relief flora dan fauna berupa sulur-sulur tumbuhan, atau pada candi tertentu dihiasi figur penjaga seperti dwarapala. Pada bagian tengah alas candi, tepat di bawah ruang utama biasanya terdapat sumur yang didasarnya terdapat pripih (peti batu). Sumur ini biasanya diisi sisa hewan kurban yang dikremasi, lalu diatasnya diletakkan pripih. Di dalam pripih ini biasanya terdapat abu jenazah raja serta relik benda-benda suci seperti lembaran emas bertuliskan mantra, kepingan uang kuno, permata, kaca, potongan emas, lembaran perak, dan cangkang kerang.
Tubuh candi adalah bagian tengah candi yang berbentuk kubus yang dianggap sebagai dunia antara atau bhuwarloka. Pada konsep Buddha disebut rupadhatu, yaitu menggambarkan dunia tempat manusia suci yang berupaya mencapai pencerahan dan kesempurnaan batiniah. Pada bagian depan terdapat gawang pintu menuju ruangan dalam candi. Gawang pintu candi ini biasanya dihiasi ukiran kepala kala tepat di atas-tengah pintu dan diapit pola makara di kiri dan kanan pintu. Tubuh candi terdiri dari garbagriha, yaitu sebuah bilik (kamar) yang ditengahnya berisi arca utama, misalnya arca dewa-dewi, bodhisatwa, atau Buddha yang dipuja di candi itu.
Di bagian luar dinding di ketiga penjuru lainnya biasanya diberi relung-relung yang berukir relief atau diisi arca. Pada candi besar, relung keliling ini diperluas menjadi ruangan tersendiri selain ruangan utama di tengah. Terdapat jalan selasar keliling untuk menghubungkan ruang-ruang ini sekaligus untuk melakukan ritual yang disebut pradakshina. Pada lorong keliling ini dipasangi pagar langkan, dan pada galeri dinding tubuh candi maupun dinding pagar langkan biasanya dihiasi relief, baik yang bersifat naratif (berkisah) ataupun dekoratif (hiasan).
Atap candi adalah bagian atas candi yang menjadi simbol dunia atas atau swarloka. Pada konsep Buddha disebut arupadhatu, yaitu menggambarkan ranah surgawi tempat para dewa dan jiwa yang telah mencapai kesempurnaan bersemayam. Pada umumnya, atap candi terdiri dari tiga tingkatan yang semakin atas semakin kecil ukurannya. Sedangkan atap langgam Jawa Timur terdiri atas banyak tingkatan yang membentuk kurva limas yang menimbulkan efek ilusi perspektif yang mengesankan bangunan terlihat lebih tinggi. Pada puncak atap dimahkotai stupa, ratna, wajra, atau lingga semu. Pada candi-candi langgam Jawa Timur, kemuncak atau mastakanya berbentuk kubus atau silinder dagoba. Pada bagian sudut dan tengah atap biasanya dihiasi ornamen antefiks, yaitu ornamen dengan tiga bagian runcing penghias sudut. Kebanyakan dinding bagian atap dibiarkan polos, akan tetapi pada candi-candi besar, atap candi ada yang dihiasi berbagai ukiran, seperti relung berisi kepala dewa-dewa, relief dewa atau bodhisatwa, pola hias berbentuk permata atau kala, atau sulur-sulur untaian roncean bunga.
Tata letak
Bangunan candi ada yang berdiri sendiri ada pula yang berkelompok. Ada dua sistem dalam pengelompokan atau tata letak kompleks candi, yaitu:
Bahan bangunan
Bahan material bangunan pembuat candi bergantung kepada lokasi dan ketersediaan bahan serta teknologi arsitektur masyarakat pendukungnya. Candi-candi di Jawa Tengah menggunakan batu andesit, sedangkan candi-candi pada masa Majapahit di Jawa Timur banyak menggunakan bata merah. Demikian pula candi-candi di Sumatra seperti Biaro Bahal, Muaro Jambi, dan Muara Takus yang berbahan bata merah. Bahan-bahan untuk membuat candi antara lain:
Kayu, beberapa candi diduga terbuat dari kayu atau memiliki komponen kayu. Candi kayu serupa dengan Pura Bali yang ditemukan kini. Beberapa candi tertinggal hanya batu umpak atau batur landasannya saja yang terbuat dari batu andesit atau bata, sedangkan atasnya yang terbuat dari bahan organik kayu telah lama musnah. Beberapa dasar batur di Trowulan Majapahit disebut candi, meskipun sesungguhnya merupakan landasan pendopo yang bertiang kayu. Candi Sambisari dan candi Kimpulan memiliki umpak yang diduga candi induknya dinaungi bangunan atap kayu. Beberapa candi seperti Candi Sari dan Candi Plaosan memiliki komponen kayu karena pada struktur batu ditemukan bekas lubang-lubang untuk meletakkan kayu gelagar penyangga lantai atas, serta lubang untuk menyisipkan daun pintu dan jeruji jendela.
Gaya arsitektur
Soekmono, seorang arkeolog terkemuka di Indonesia, mengidentifikasi perbedaan gaya arsitektur (langgam) antara candi Jawa tengah dengan candi Jawa Timur. Langgam Jawa Tengahan umumnya adalah candi yang berasal dari sebelum tahun 1000 masehi, sedangkan langgam Jawa Timuran umumnya adalah candi yang berasal dari sesudah tahun 1000 masehi. Candi-candi di Sumatra dan Bali karena kemiripannya dikelompokkan ke dalam langgam Jawa Timur.
Meskipun demikian terdapat beberapa pengecualian dalam pengelompokkan langgam candi ini. Sebagai contoh candi Penataran, Jawi, Jago, Kidal, dan candi Singhasari jelas masuk dalam kelompok langgam Jawa Timur, akan tetapi bahan bangunannya adalah batu andesit, sama dengan ciri candi langgam Jawa Tengah; dikontraskan dengan reruntuhan Trowulan seperti candi Brahu, serta candi Majapahit lainnya seperti candi Jabung dan candi Pari yang berbahan bata merah. Bentuk candi Prambanan adalah ramping serupa candi Jawa Timur, tetapi susunan dan bentuk atapnya adalah langgam Jawa Tengahan. Lokasi candi juga tidak menjamin kelompok langgamnya, misalnya candi Badut terletak di Malang, Jawa Timur, akan tetapi candi ini berlanggam Jawa Tengah yang berasal dari kurun waktu yang lebih tua pada abad ke-8 masehi.
Bahkan dalam kelompok langgam Jawa Tengahan terdapat perbedaan tersendiri dan terbagi lebih lanjut antara langgam Jawa Tengah Utara (misalnya kelompok Candi Dieng) dengan Jawa Tengah Selatan (misalnya kelompok Candi Sewu). Candi Jawa Tengah Utara ukirannya lebih sederhana, bangunannya lebih kecil, dan kelompok candinya lebih sedikit; sedangkan langgam candi Jawa Tengah Selatan ukirannya lebih raya dan mewah, bangunannya lebih megah, serta candi dalam kompleksnya lebih banyak dengan tata letak yang teratur.
Pada kurun akhir Majapahit, gaya arsitektur candi ditandai dengan kembalinya unsur-unsur langgam asli Nusantara bangsa Austronesia, seperti kembalinya bentuk punden berundak. Bentuk bangunan seperti ini tampak jelas pada candi Sukuh dan candi Cetho di lereng gunung Lawu, selain itu beberapa bangunan suci di lereng Gunung Penanggungan juga menampilkan ciri-ciri piramida berundak mirip bangunan piramida Amerika Tengah.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 11 Juni 2024
Stasiun Jakarta Kota (bahasa Indonesia: Stasiun Jakarta Kota, kode stasiun: JAKK) adalah sebuah stasiun kereta api yang terletak di kawasan kota tua Kota, Jakarta, Indonesia.
Stasiun ini dulunya bernama Batavia Zuid (atau Batavia Selatan) hingga awal abad ke-20. Stasiun ini juga dikenal dengan nama Stasiun Beos sebagai singkatan dari nama pemilik stasiun sebelumnya, Bataviasche Oosterspoorweg Maatschapij (BOS).
Stasiun Jakarta Kota merupakan stasiun utama, bersama dengan Stasiun Gambir, Stasiun Jatinegara, dan Stasiun Pasar Senen, untuk beberapa jalur kereta api antarkota di Pulau Jawa. Stasiun ini juga melayani dua dari lima jalur kereta KRL Commuterline yang beroperasi di wilayah metropolitan Jakarta.
Nama Beos pada julukan stasiun ini memiliki banyak versi. Pertama, nama Beos merujuk pada pemilik stasiun Batavia, Bataviasche Oosterspoorweg Maatschapij (Perusahaan Kereta Api Batavia Timur atau BOS), yang berada di lokasi yang sama sebelum stasiun ini dihancurkan. Ini adalah perusahaan kereta api swasta yang menghubungkan Batavia dengan Kedunggedeh. Pada versi lain, Beos berasal dari kata Batavia En Omstreken, yang berarti “Batavia dan Sekitarnya”, yang berasal dari fungsi stasiun ini sebagai pusat transportasi kereta api yang menghubungkan Batavia dengan kota-kota lain seperti Bekassie (Bekasi), Buitenzorg (Bogor), Parijs van Java (Bandung), Karavam (Karawang), dan lain-lain.
Sebenarnya masih ada nama lain dari Stasiun Jakarta Kota ini, yaitu Batavia Zuid yang berarti Stasiun Batavia Selatan. Nama ini muncul karena pada akhir abad ke-19, Batavia sudah memiliki lebih dari dua stasiun kereta api. Salah satunya adalah Stasiun Batavia Noord (Batavia Utara) yang terletak di sebelah selatan Museum Sejarah Jakarta saat ini. Batavia Noord awalnya merupakan milik perusahaan kereta api Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, dan merupakan stasiun pemberhentian untuk jalur Batavia-Buitenzorg. Pada tahun 1913, jalur Batavia-Buitenzorg dijual kepada pemerintah Hindia Belanda dan dikelola oleh Staatsspoorwegen. Pada saat itu wilayah Jatinegara dan Tanjung Priok belum menjadi bagian dari gemeente Batavia.
Stasiun pertama dibangun pada tahun 1887 oleh BOS, sebuah perusahaan kereta api swasta. Stasiun ini diberi nama Batavia Zuid (Batavia Selatan) untuk membedakannya dengan stasiun Batavia Noord (Batavia Utara) yang lebih tua (dimiliki oleh Nederlandsch-Indische Spoorweg Maatschappij, sebuah perusahaan kereta api swasta lainnya), yang terletak agak jauh di sebelah utara, tepat di belakang bekas balai kota. Perusahaan kereta api publik Staatsspoorwegen mengakuisisi stasiun selatan dan utara pada tahun 1898 dan 1913.
Stasiun BOS selatan ditutup pada tahun 1923, dan dibangun kembali antara tahun 1926 dan 1929, di mana semua layanan kereta api untuk sementara waktu diambil alih oleh stasiun Batavia Utara. Bangunan stasiun ini dirancang pada tahun 1927-1928 oleh arsitek Asselbergs, Frans Johan Louwrens Ghijsels, dan Hes dari perusahaan arsitek Algemeen Ingenieurs-en Architectenbureau (AIA) di Batavia. Selama pembangunan pada tahun 1928-1929, digunakan beton dari Hollandsche Beton Maatschappij (“Perusahaan Beton Belanda”). Bangunan utama dirancang dengan 12 rel kereta api, yang dirancang untuk menghubungkan Batavia dengan Buitenzorg, pelabuhan Tandjoeng Priok, dan pelabuhan Merak di dekat Selat Sunda dengan kapal feri yang menghubungkan Jawa bagian Barat dengan Sumatera bagian Selatan. Bangunan baru dan yang sekarang ini secara resmi dibuka pada tanggal 8 Oktober 1929 dengan sebuah upacara pribadi oleh staf perusahaan. Semua layanan kereta api ke kota lama kemudian dipindahkan ke stasiun selatan yang baru, sementara stasiun utara yang tersisa dihancurkan.
Stasiun baru ini dijuluki BEOS sesuai dengan nama pemilik stasiun sebelumnya, BOS. Secara resmi bernama Stasiun Batavia Stad (“Stasiun Kota Batavia”), stasiun ini terletak di Stationsplein (“Alun-alun stasiun”) di Batavia Benedenstad (“Pusat Kota Batavia”), yang sekarang menjadi Jalan Stasiun Kota Barat.
Stasiun Beos merupakan mahakarya Ghijsels yang dikenal dengan ekspresi Het Indische Bouwen, yang merupakan perpaduan antara struktur dan teknik modern barat yang dipadukan dengan bentuk-bentuk tradisional setempat. Dengan balutan art deco yang kental, desain Ghijsels ini terkesan sederhana meskipun memiliki cita rasa yang tinggi. Menurut filosofi Yunani kuno, kesederhanaan adalah jalan terpendek menuju keindahan.
Stasiun Jakarta Kota akhirnya ditetapkan sebagai cagar budaya melalui Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. 475 tahun 1993. Meski masih berfungsi, masih ada beberapa sudut yang tidak terawat dengan baik. Keberadaannya mulai terusik dengan adanya kabar pembangunan pusat perbelanjaan di atas bangunan stasiun. Begitu juga dengan kebersihan yang tidak terjaga dengan baik, sampah-sampah berserakan di rel kereta api. Selain itu, banyaknya masyarakat yang tinggal di kanan-kiri rel kereta api di dekat stasiun mengurangi nilai estetika dari stasiun ini. Kini, Kereta Api Indonesia melalui Unit Pelestarian Benda dan Bangunan Bersejarah mulai menata stasiun bersejarah ini.
Bangunan dan tata letak
Desain stasiun yang dirancang oleh arsitek Belanda Frans Johan Louwrens Ghijsels (lahir 8 September 1882) ini merupakan perpaduan antara gaya Art Deco Barat dan arsitektur lokal.
Stasiun Jakarta Kota merupakan stasiun dua lantai yang dikelilingi oleh jalan di ketiga sisinya dengan satu pintu masuk utama dan dua pintu masuk samping. Pintu masuk utama dan aula memiliki ciri khas atap kubah tong dengan bukaan yang disusun secara horizontal dengan bagian atas didominasi oleh unit vertikal (lunette).
Dinding bagian dalam aula dilapisi dengan keramik berwarna coklat bertekstur kasar dan dinding luar pada bagian bawah seluruh bangunan dilapisi dengan plesteran berwarna hijau kekuningan. Lantai stasiun menggunakan kayu jati kuning dan kayu abu-abu, dan untuk lantai peron menggunakan kayu jati wafel kuning. Stasiun Jakarta Kota memiliki enam peron yang melayani 12 jalur. Peron-peron tersebut dinaungi oleh kanopi yang ditopang oleh tiang-tiang baja.
Pada awalnya, stasiun ini memiliki dua belas jalur kereta api dengan jalur 4 dan 5 merupakan jalur ganda sepur lurus dari dan ke arah Kampung Bandan Bawah-Pasar Senen-Jatinegara, jalur 8 dan 9 merupakan jalur ganda sepur lurus dari dan ke arah Kampung Bandan Atas-Tanjung Priuk, serta jalur 11 dan 12 merupakan jalur ganda sepur layang dari dan ke arah Gambir-Manggarai. Namun, saat ini jumlah jalur tersebut berkurang menjadi sebelas jalur karena jalur 1 yang lama telah ditutup dan dialihfungsikan menjadi ruang tunggu penumpang untuk beberapa kereta api antarkota yang layanan rutenya berhenti di stasiun ini.
Stasiun ini terakhir kali direnovasi pada tahun 2019, salah satunya adalah penambahan ruang tunggu baru untuk kereta jarak jauh. Per 23 Februari 2020, saklar kereta api Inggris dan gunting stasiun yang telah digunakan selama hampir lima puluh tahun kini telah diganti dengan yang terbaru.
Pada budaya populer
Stasiun ini dijadikan salah satu lokasi syuting video musik oleh sejumlah grup musik dan penyanyi, seperti Krakatau dalam lagu yang berjudul Kau Datang pada tahun 1989, TIC Band dalam lagu Terbaik Untukmu pada tahun 2001, film Cinlok pada tahun 2008, Kotak dalam lagu Selalu Cinta pada tahun 2013, penyanyi Kunto Aji dalam lagu debutnya yang berjudul Terlalu Lama Sendiri pada tahun 2014, dan Maudy Ayunda dalam lagu Jakarta Ramai pada tahun 2016.
Layanan kereta api
Sejak sekitar tahun 2013-2014 semua kereta api penumpang jarak jauh dan menengah yang dahulu memiliki terminus ke Stasiun Jakarta Kota dialihkan ke Stasiun Pasar Senen, antara lain KA Gumarang, KA Gaya Baru Malam Selatan, KA Tegal Arum (sekarang tidak beroperasi lagi), dan KA Serayu. Pemindahan juga dilakukan ke Gambir untuk KA Argo Parahyangan dan KA Gajayana. Sejak tanggal 9 Februari 2017 semua perjalanan KA lokal Daop I bagian timur (KA Walahar Ekspres/Lokal Purwakarta dan KA Jatiluhur/Lokal Cikampek) dipindahkan ke Stasiun Tanjung Priuk.
Sejak tanggal 29 Mei 2019, tiga perjalanan kereta api jarak jauh dan menengah kelas ekonomi yang semula berakhir di Stasiun Pasar Senen (KA Jayakarta, Menoreh, dan Kutojaya Utara), dipindahkan ke Stasiun Jakarta Kota. Dengan berlakunya Gapeka 2021 tanggal 10 Februari 2021, maka stasiun terminus KA Jayakarta dikembalikan lagi ke Stasiun Pasar Senen untuk memudahkan pelayanan penumpang kereta api rangkaian panjang.
Mulai 1 Juni 2023 sejak diberlakukan Gapeka 2023, keberangkatan KA Menoreh dikembalikan ke Stasiun Pasar Senen karena okupansi yang minim di Stasiun Jakarta Kota.
Berikut ini adalah layanan kereta api yang berhenti di stasiun ini sesuai Gapeka 2023
​​​​​​​Pada 26 Desember 2014 pukul 06.30, lokomotif CC201 89 07 menabrak peron di Stasiun Jakarta Kota, pada saat melangsir rangkaian kereta api Argo Parahyangan. Lokomotif tersebut melampaui batas aman berhenti, sehingga meloncat keluar rel kemudian menggerus lantai peron. Tidak ada korban jiwa dalam peristiwa ini.
​​​​​​​
Galeri
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 13 Mei 2024
Soejoedi Wirjoatmodjo (27 Desember 1928 – 17 Juni 1981) dulu adalah seorang arsitek di Indonesia yang aktif mulai akhir dekade 1960-an hingga pertengahan dekade 1970-an. Pada tahun 1964, ia diminta oleh Presiden Sukarno untuk menjadi kepala arsitek dari sejumlah proyek arsitektur nasional di Jakarta. Soejoedi dianggap sebagai arsitek asli Indonesia pertama pasca kolonial dan dianggap sebagai pendukung arsitek dan perancang modernis.
Biografi
Soejoedi lahir di Surakarta pada tahun 1928. Sejak masih muda, ia mendukung ide nasionalis. Selama periode Revolusi Nasional, Soejodi bergabung ke Brigade Tentara Pelajar 17 di Surakarta untuk melawan serangan militer dari Belanda antara tahun 1945 dan 1949. Setelah Belanda keluar dari Indonesia pada tahun 1949, setahun kemudian, Soejoedi melamar sebagai arsitek di Departemen Bangunan dari TH Bandung, yang saat itu masih mempekerjakan dosen berkebangsaan Belanda. Berkat kualitas kerjanya, Soejoedi lalu berhasil mendapat beasiswa dari pemerintah Prancis untuk berkuliah di L’Ecole des Beaux Arts di Paris pada tahun 1955. Ia pun pergi ke Paris, tetapi ia merasa tidak nyaman, karena selalu teringat kampung halamannya. Mentor Soejoedi di Bandung, Prof. Ir. Vincent Rogers van Romondt, lalu menyusun kuliah lebih lanjut untuk Soejoedi di TH Delft di Belanda, sehingga ia tidak harus mengulang dari awal. Selama kuliah, Soejoedi pun dapat melihat karya dari arsitek modern Belanda, seperti Jacob Bakema dan Aldo van Eyck. Namun, ia tidak mengerjakan skripsi. Ia malah bekerja paruh waktu sebagai juru gambar teknik di Kraaijvanger Architects, yang saat itu masih berskala kecil. Di biro arsitek tersebut, ia mengerjakan proyek rekonstruksi kota Rotterdam.
Situasi politik mengenai Irian Barat lalu meningkatkan ketegangan antara Indonesia dan Belanda. Sehingga memaksa sejumlah mahasiswa asal Indonesia untuk pergi dari Belanda pada tahun 1957, termasuk Soejoedi, yang harus pergi sebelum mendapat gelar di bidang arsitektur. Soejoedi pun harus mencari kampus lain untuk menyelesaikan kuliahnya di bidang teknik arsitektur. Pada tahun yang sama, Soejoedi pindah ke Berlin agar dapat memperoleh gelar di bidang arsitektur dari Universitas Teknologi Berlin. Ia akhirnya lulus pada tahun 1959 dengan skripsi mengenai pesantren, dengan nilai terbaik.
Sementara itu, meningkatnya ketegangan antara Belanda dan Indonesia karena Presiden Sukarno memutuskan untuk menasionalisasi perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, juga menyebabkan kampus di Indonesia kesulitan, terutama karena sebagian besar tenaga pengajarnya berkebangsaan Belanda. Sehingga Indonesia membutuhkan banyak orang asli yang berkompeten untuk mengajar di kampus. Pada tahun 1960, Soejoedi kembali dari Jerman ke Indonesia dan bekerja sebagai dosen di TH Bandung, yang kemudian namanya diubah menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah bekerja selama beberapa bulan, Soejoedi dipromosikan menjadi kepala departemen arsitektur
Selama menjabat sebagai kepala departemen, ia menekankan penggunaan dan eksplorasi teknologi modern dalam konstruksi dan bahan bangunan, terutama struktur baja dan beton. Antara tahun 1960 dan 1964, ia pun merancang dan membangun sejumlah bangunan dan rumah di Bandung. Sebagai dosen, ia memberi kuliah mengenai pendekatan artistik. Bentuk, fungsi, dan bahan harus diintegrasikan sebagai komposisi geometris dan pahatan yang sesuai dengan tujuan dan konteks tertentu, serta selaras dengan lokasinya.
Pada tahun 1964, Soejoedi dipanggil oleh Presiden Sukarno untuk menjadi kepala arsitek dari sejumlah proyek arsitektur nasional di Jakarta. Ia lalu mengajak sejumlah koleganya dari ITB dan mendirikan PT Gubahlaras pada tahun 1969. Visinya untuk perusahaan tersebut adalah untuk menunjukkan modernitas Indonesia melalui arsitektur.
Filosofi rancangan
Soejoedi percaya bahwa modernitas arsitektur dapat menjadi kendaraan untuk membebaskan diri dari jejak kolonialisme. Ia pun memperkenalkan lokalitas Indonesia bukan sebagai imitasi terhadap ikon, bentuk, dan gaya tradisional; tetapi sebagai inspirasi untuk prinsip tata ruang. Ia memakai konsep kategorisasi tata ruang Jawa ke dalam rancangannya, yakni keseimbangan luar (jaba) dan dalam (njero), serta gradasi nilai dari luar (purwa), tengah (madya), dan dalam (utama atau ndalem).
Rancangan Soejoedi dapat dicirikan dari komposisi geometris murninya. Ia menekankan pada lokasi bangunan yang ia rancang, untuk memastikan bahwa bangunan yang ia rancang selaras dengan lokasi dan kondisinya. Tidak seperti rancangan besar Frederich Silaban, seperti Masjid Istiqlal, Soejoedi mencoba untuk tidak merancang bangunan agar terlihat besar. Soejoedi menyadari bahwa arsitektur bukan karya seni murni, tetapi juga upaya publik dan utilitarian yang berhubungan dengan estetika dan pengalaman manusia, seperti keamanan, kenyamanan, dan kesehatan. Untuk itu, Soejoedi selalu mencoba membuka dialog antara alasan dan intuisi. Untuknya, arsitektur adalah tempat bermain bagi manusia untuk mencari sesuatu yang berguna dan indah bagi manusia.
Karya arsitektur pasca-kolonial
Karya Soejoedi antara lain gedung untuk Conefo (1964-1983). Untuk gedung tersebut, Soejoedi menginterpretasikan keinginan Presiden Sukarno untuk mencitrakan independensi dari blok komunis Timur dan blok kapitalis demokrat Barat dengan merancang kompleks modern yang tidak mirip dengan gedung-gedung yang telah ada sebelumnya.
Karya lain Soejoedi adalah Hotel Duta Merlin. Hotel tersebut dirancang untuk menggantikan Hotel des Indes karya arsitek F.J.L. Ghijsels, yang dirancang dengan gaya Art Deco, tetapi menyesuaikan dengan iklim tropis Jawa, yang kemudian dikenal sebagai Gaya Hindia Baru. Untuk Soejoedi, mendirikan bangunan baru untuk kebanggaan nasional agaknya lebih penting daripada mempertahankan bangunan lama yang berbau kolonialisme.
Berikut ini sejumlah karya Soejoedi:
Sumber: https://id.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 13 Mei 2024
Liem Bwan Tjie (6 September 1891 – 28 Juli 1966) adalah arsitek ternama dan pelopor arsitektur modern generasi pertama di Indonesia.
Riwayat
Liem adalah anak kelima dari Liem Soei Tjhing, seorang pedagang tekstil di Gang Warung, Semarang. Keluarga Peranakan Tionghoa ini sudah di Indonesia selama 4 generasi. Pada tahun 1910, Liem yang berusia 19 tahun dikirim orang tuanya ke Belanda untuk menuntut pendidikan menengah. Selama Perang Dunia Pertama (1914-1918), ia berkerja untuk beberapa biro arsitek terkemuka di Amsterdam, antara lain Michel de Klerk, Gulden en Geldmaker dan Eduard Cuypers. Pada tahun 1920, Liem kemudian belajar di Universitas Teknik di Delft, Belanda dan di École nationale supérieure des Beaux-Arts di Paris, Prancis pada tahun 1924.
Saat Liem berencanana kembali ke tanah air pada tahun 1929, ia dilarang pulang oleh pemerintah Hindia Belanda karena dianggap terpengaruh dengan Komunisme. Dengan referensi dan dukungan dari tokoh masyarakat Tionghoa, antara lain anggota Volksraad Loa Sek Hie, sang arsitek akhirnya diberikan izin untuk menetap kembali di kota kelahirannya, yaitu Semarang.
Ia banyak mendesain bangunan-bangunan untuk kalangan "Cabang Atas" Peranakan. Karya-karyanya mencakup bangunan umum maupun kediaman pribadi, dan tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Surabaya, Bandung, Tegal, Manado dan Makasar.
Pada tanggal 16 September 1959, di kediaman Liem di Jalan Wastukancana, Bandung, terjadi awal pertemuan pertama antara arsitek-arsitek senior Indonesia Liem Bwan Tjie, Frederich Silaban, Mohammad Soesilo dengan 18 arsitek muda lulusan pertama ITB tahun 1958. Inilah tonggak awal sejarah Ikatan Arsitek Indonesia, yang akhirnya didirikan secara resmi pada 17 September 1959.
Liem meninggalkan Indonesia saat berusua 74 tahun pada tahun 1965, dan pindah ke Belanda untuk mengikuti anaknya yang sedang menuntut ilmu di sana. Ia meninggal setahun kemudian di Belanda, dan arsip karyanya sekarang disimpan di Nederlands Architectuurinstituut (NAi).
Karya-Karya
Sumber: https://id.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 13 Mei 2024
Katedral Jakarta (bahasa Indonesia: Gereja Katedral Jakarta, bahasa Belanda: Kathedraal van Jakarta) adalah sebuah katedral Katolik Roma di Jakarta, Indonesia, yang juga merupakan tempat kedudukan uskup agung Katolik Roma di Jakarta, yang saat ini dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo. Nama resminya adalah Gereja Santa Maria Diangkat ke Surga, yang diambil dari nama aslinya dalam bahasa Belanda, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming (bahasa Indonesia: Gereja Bunda Maria Diangkat ke Surga). Katedral yang sekarang ini ditahbiskan pada tahun 1901 dan dibangun dengan gaya neo-Gotik, sebuah gaya arsitektur yang umum digunakan untuk membangun gereja pada masa itu. Katedral Jakarta terletak di Jakarta Pusat dekat dengan Lapangan Merdeka dan Istana Merdeka, tepat di depan katedral berdiri Masjid Istiqlal.
Sejarah
Setelah kedatangan VOC pada tahun 1619, Gereja Katolik Roma dilarang di Hindia Belanda dan hanya terbatas di Flores dan Timor. Belanda dikenal mendukung agama Protestan dan berusaha membatasi pengaruh dan otoritas Tahta Suci. Selama Perang Revolusi Prancis dan Perang Napoleon, Belanda, termasuk Hindia Belanda dan koloni-koloninya yang lain, berada di bawah kendali Revolusi Prancis dan kemudian Kekaisaran Prancis. Pada tahun 1806, Napoleon melantik adiknya yang beragama Katolik, Louis Napoleon (bahasa Belanda: Lodewijk), sebagai Raja Belanda. Sejak saat itu, Gereja Katolik bebas beroperasi di Hindia Belanda.
Komisaris Jenderal Batavia, Du Bus de Gisignies (1825-1830), berjasa dalam menyediakan tanah untuk membangun gereja Katolik pertama di Batavia. Bekas kediaman Jenderal de Kock di daerah Weltevredeen direnovasi menjadi gereja. Monseigneur Prinsen memberkati dan meresmikan gereja tersebut pada tanggal 6 November 1829 dan menamainya "Bunda Maria Diangkat ke Surga." Gereja ini direnovasi pada tahun 1859, namun runtuh pada 9 April 1890.
Gereja yang sekarang adalah bangunan yang dibangun kembali antara tahun 1891 dan 1901. Pastor Antonius Dijkmans, SJ ditunjuk sebagai arsiteknya. Pembangunan sempat terhenti karena kurangnya dana, namun uskup baru gereja, Mgr E. S. Luypen, SJ, menggalang dana yang diperlukan di Belanda, dan arsitek MJ Hulswit melanjutkan pembangunan pada tahun 1899. "De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming - Gereja Bunda Maria Diangkat ke Surga" diberkati dan diresmikan oleh Mgr Edmundus Sbrandus Luypen, SJ pada tanggal 21 April 1901. Gereja ini direnovasi antara tahun 1988 dan 2002.
Denah katedral berbentuk salib dengan panjang 60 meter dan lebar 10 meter, ditambah 5 meter di setiap lorong. Disebut katedral karena di dalamnya terdapat "cathedra", singgasana uskup. Pintu masuk utama bangunan ini menghadap ke barat. Di trumeau portal utama berdiri patung Bunda Maria, sementara di atas portal terdapat kalimat yang ditulis dalam bahasa Latin: "Beatam Me Dicentes Omnes Generationes" yang berarti "Semua generasi akan menyebut saya diberkati". Selain itu, terdapat kaca patri bundar besar Rozeta Rosa Mystica, yang merupakan simbol Bunda Maria.
Ada tiga menara utama di Katedral Jakarta: dua menara tertinggi memiliki tinggi 60 meter dan terletak di depan di setiap sisi portal. Menara utara disebut Turris Davidica, atau "Menara Daud"-sebuah gelar kebaktian kepada Maria yang melambangkan Maria sebagai tempat perlindungan dan pelindung dari kuasa kegelapan. Menara selatan, juga setinggi 60 meter, disebut "Menara Gading", yang putih dan kemurnian gading menggambarkan kemurnian Perawan Maria. Di Menara Gading, terdapat jam tua yang masih berfungsi dan juga lonceng gereja. Puncak menara ketiga menjulang di atas persimpangan salib atap dengan tinggi 45 meter dari permukaan tanah, dan disebut "Menara Angelus Dei".
Bangunan ini terdiri dari dua lantai, lantai atas dapat dicapai dari tangga di menara utara. Awalnya, lantai dua digunakan sebagai tempat paduan suara selama misa, tetapi karena katedral ini sudah cukup tua, dikhawatirkan bangunan tidak dapat menopang beban terlalu banyak orang di lantai atas. Saat ini, lantai atas berfungsi sebagai Museum Katedral Jakarta, yang menyimpan benda-benda peninggalan ritual Katolik, seperti cawan perak, topi, dan jubah Hindia Belanda serta uskup agung dan kardinal Indonesia. Museum ini juga menampilkan sejarah agama Katolik Roma di Indonesia.
Di sisi selatan, terdapat patung Pietà, yang menggambarkan kesedihan Bunda Maria saat memeluk tubuh Yesus Kristus setelah penyaliban. Dinding yang mengelilingi bagian dalam memiliki beberapa adegan yang menggambarkan Jalan Salib. Katedral ini memiliki empat mimbar untuk layanan pengakuan dosa, dua di setiap sisi. Di bagian tengah, terdapat podium kayu yang ditinggikan dengan atap berbentuk kerang untuk memantulkan suara. Podium ini dipasang pada tahun 1905 dan menampilkan gambar Neraka di sisi bawah, sementara gambar khotbah Yesus dan adegan lainnya berada di sisi tengah. Bagian atas podium menampilkan pemandangan Surga yang dihiasi dengan malaikat bersayap. Di sisi selatan, terdapat sebuah organ besar bergaya neo-Gotik yang dibuat di Verschueren, Belgia, yang kemudian dipindahkan dan dipasang di Jakarta pada tahun 1988. Organ ini diambil dari desa Amby di dekat Maastricht.
Ada tiga altar di katedral ini: di sisi kiri adalah "Altar Santa Maria", untuk merayakan pengangkatan Maria ke Surga. Altar ini dibuat pada tahun 1915 oleh Atelier Ramakers. Di sisi kanan adalah "Altar Santo Yosef", yang selesai dibangun pada bulan Mei 1922. Tahta uskup, yang disebut katedral, terletak di sisi kiri dengan tiga singgasana. Altar utama yang terletak di tengah dibuat pada abad ke-19 di Belanda. Altar ini dipindahkan dari sebuah gereja Yesuit di Groningen pada tahun 1956. Di altar ini terdapat salib utama Yesus dan tabernakel.
Tubuh bangunan terbuat dari batu bata merah tebal yang dilapisi plester dan diaplikasikan dengan pola untuk meniru konstruksi batu alam. Dinding yang besar dibuat untuk menopang balok-balok kayu jati yang membentang lebar pada konstruksi atap. Bagian atas menara terbuat dari rangka besi, sedangkan atapnya terbuat dari konstruksi kayu jati. Besi dan kayu tidak cocok karena bahan arsitektur neo-Gotik yang khas biasanya menggunakan pasangan batu. Namun, bahan-bahan tersebut dipilih karena relatif lebih ringan dibandingkan pasangan batu, mengingat Indonesia merupakan wilayah yang rawan gempa.
Musik
Ada sebuah piano, dua electone, dan dua organ pipa yang dapat dimainkan.
Di atas panggung yang ditinggikan di transept selatan terdapat sebuah organ yang dibuat oleh George Verschueren dari Tongeren, Belgia, yang dibangun pada tahun 1988. Tuts-tuts disusun di setiap sisi meja tuts dan tiupan diaktifkan dari tuts di sisi kiri. Tuts manual terdiri dari empat oktaf dan papan pedal datar dua setengah oktaf. Pagar loteng organ dan selubung organ mencerminkan sifat gotik katedral dan semua kayu diwarnai agar sesuai dengan kayu yang ada di gereja. Pipa-pipa disajikan dalam bentuk datar dengan menara pusat yang besar dan dua menara kecil yang mengapit di sisi kiri dan kanan kotak organ.
Daftar nada dari organ ini adalah:
Manual I (56 nada/4 oktaf)
Manual II (56 nada/4 oktaf)
Pedal (30 nada/2 1/2 oktaf)
Penggandeng
Disadur: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 13 Mei 2024
Gereja Protestan Indonesia Barat Immanuel Semarang (bahasa Indonesia: Gereja Protestan Indonesia Barat Immanuel Semarang), lebih dikenal dengan nama Gereja Blenduk, adalah sebuah gereja Protestan di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Dibangun pada tahun 1753, gereja ini merupakan gereja tertua di provinsi ini.
Arsitektur dan tata letak
Gereja Blenduk, di Jalan Letjen Suprapto No. 32 di kota tua Semarang, Jawa Tengah, terletak di sebuah halaman kecil di antara bekas gedung perkantoran. Gedung Jiwasraya terletak di sebelah selatan, di seberang jalan, sementara kantor Kerta Niaga berada di sebelah barat.
Gereja berbentuk segi delapan ini dibangun di atas fondasi batu dan dengan dinding bata satu lapis, dengan lantai dasar yang berada di permukaan jalan. Gereja ini memiliki kubah besar berkulit tembaga, yang menjadi asal mula namanya; kata mblenduk dalam bahasa Jawa berarti kubah. Kubah ini ditopang oleh 32 balok baja, 8 balok besar dan 24 balok kecil. Dua menara, berbentuk persegi di bagian dasar dan perlahan-lahan membulat hingga puncaknya berupa kubah kecil, terletak di kedua sisi pintu masuk utama, sementara cornice yang terdiri dari garis-garis horizontal membentang di sekeliling bangunan; serambi bergaya Romawi yang ditutupi atap berbentuk pelana terletak di sisi timur, selatan, dan barat. Blenduk juga dilengkapi dengan jendela kaca berukir dan kaca patri, serta pintu ganda berpanel kayu di pintu masuk yang menghadap ke selatan.
Bangku-bangku kayu di dalam Blenduk memiliki dudukan rotan, sementara mimbarnya sepenuhnya terbuat dari kayu dan terletak di atas panggung segi delapan yang terbuat dari kayu jati. Sebuah organ pipa Barok yang sudah tidak berfungsi dari tahun 1700-an juga terletak di dalamnya. Lantainya dilapisi ubin hitam, kuning, dan putih. Di bagian utara interior terdapat tangga spiral dengan ukiran nama pembuatnya, Pletterij den haag (Rolling Mill, Den Haag), yang mengarah ke lantai dua.
Sejarah
Blenduk didirikan pada tahun 1753; bangunan awalnya bergaya joglo. Meskipun diperuntukkan bagi umat Protestan, umat Katolik juga menggunakannya hingga gereja Katolik pertama di kota ini, di Gedangan, dibangun.
Gereja ini kemudian dibangun kembali pada tahun 1787. Renovasi kembali yang dipelopori oleh H.P.A. de Wilde dan W. Westmas, mulai dikerjakan pada tahun 1894. Selama renovasi ini, kubah dan dua menara ditambahkan. Rangkaian renovasi lainnya dimulai pada awal tahun 2000-an. Pada tahun 2004, gereja ini memiliki 200 keluarga dalam jemaatnya dan mengadakan kebaktian rutin pada hari Minggu; gereja ini juga menjadi daya tarik wisata. Pada tahun 2003, gereja ini merayakan tahun ke-250.
Penghargaan
Pada bulan Februari 2009, Blenduk menerima penghargaan sebagai Tempat Ibadah Tua yang Dipelihara dengan Baik dari Ikatan Arsitek Indonesia cabang Jawa Tengah.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/