Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 17 September 2025
Prolog: Di Balik Data yang Menakutkan, Ada Kisah Kerugian Miliar Pound
Industri konstruksi adalah salah satu pilar terpenting dalam perekonomian Inggris, menyumbang sekitar 13% dari PDB global dan menyediakan hingga 10% lapangan kerja di Inggris dengan 2,93 juta pekerjaan. Pada tahun 2019 saja, sektor ini menghasilkan pendapatan kotor sebesar £117 miliar. Di balik angka-angka yang mengesankan ini, tersembunyi sebuah kerapuhan yang menggerogoti dari dalam: ketidakmampuan untuk mengelola klaim proyek secara efektif. Meskipun manajemen klaim telah meningkat secara substansial, industri ini masih menjadi salah satu yang paling rentan, bertanggung jawab atas 11% dari semua sengketa pada tahun 2019. Tesis ini secara implisit menyoroti kontradiksi yang mengejutkan antara skala ekonomi dan kerapuhan manajerial yang dialami sektor ini. Pertumbuhan ekonomi yang pesat dalam sektor ini tampaknya tidak sejalan dengan kematangan manajerial, menciptakan sebuah kondisi di mana kemajuan material justru memperparah risiko internal.
Permasalahan ini bukan sekadar detail administratif kecil. Laporan dari dewan kepemimpinan konstruksi Inggris (CLC) pada tahun 2021 menunjukkan adanya eskalasi jumlah notifikasi klaim di semua tingkatan rantai pasokan, mulai dari perusahaan kecil, menengah, hingga besar. Catatan mencengangkan lainnya adalah bahwa klaim ini sering kali membengkak hingga 25% dari nilai kontrak aktual. Untuk proyek senilai £100 juta, ini berarti klaim bisa melonjak hingga £25 juta. Ini bukan sekadar penyesuaian biaya kecil, melainkan ancaman signifikan terhadap profitabilitas dan kelangsungan proyek. Fenomena ini menunjukkan bahwa klaim, yang seharusnya menjadi bagian dari proses bisnis, telah menjadi penyakit kronis yang mengancam stabilitas finansial.
Tesis ini tidak hanya mengaitkan klaim dengan kerugian finansial, tetapi juga dengan kegagalan bisnis yang fatal. Bukti empiris menunjukkan bahwa 77–95% kegagalan finansial kontraktor disebabkan oleh banyaknya klaim yang tidak terkelola. Kasus kebangkrutan Carillion, perusahaan konstruksi terbesar kedua di Inggris, yang dilikuidasi dengan utang £900 juta dan defisit pensiun £600 juta, menjadi contoh nyata. Tesis ini berargumen bahwa kegagalan tersebut sebagian besar disebabkan oleh tidak adanya kerangka kerja manajemen klaim yang efektif. Perusahaan kecil dan menengah (UKM) bahkan lebih rentan, di mana keterlambatan pembayaran hingga lebih dari 60 hari menjadi masalah yang mendesak. Fakta-fakta ini menunjukkan bahwa manajemen klaim yang buruk bukan sekadar "biaya tak terduga," tetapi sebuah "penyakit kronis" yang jika dibiarkan tanpa pengawasan, dapat membunuh perusahaan. Tesis ini bertujuan untuk memahami dan mengatasi kesenjangan yang ada ini dengan mengembangkan kerangka kerja yang dapat memberikan manfaat nyata bagi perusahaan konstruksi, termasuk klaim yang dapat disubstansiasi, pengurangan biaya dan durasi, penghindaran biaya klaim yang tidak terduga, peningkatan hasil, dan efektivitas biaya yang lebih baik.1
Mengapa Masalah Ini Menjadi Kanker Kronis? Membongkar Akar Sengketa
Studi ini menemukan bahwa akar dari masalah klaim yang tidak efektif dan sengketa yang terus-menerus bukanlah semata-mata bersifat teknis atau finansial, melainkan juga terkait erat dengan faktor manusia dan psikologis. Konsep keadilan yang dirasakan (perceived fairness) menjadi salah satu temuan sentral. Berdasarkan wawancara dengan para pakar, proses manajemen klaim secara keseluruhan dirasakan adil sampai taraf tertentu, tetapi jauh dari sangat jujur, luar biasa, atau megah.1 Ketidakpuasan ini menggarisbawahi adanya keraguan fundamental yang mengikis kepercayaan antar pihak yang terlibat dalam proyek. Proses yang dianggap tidak adil memicu respons reaktif dari kontraktor, yang kemudian memvalidasi pandangan skeptis mereka terhadap proses manajemen klaim yang ada.
Tesis ini menyoroti adanya skeptisisme yang signifikan dari beberapa praktisi terhadap klaim bahwa investasi dalam manajemen klaim adalah hal yang sangat krusial.1 Beban ekonomi dan kurangnya kepercayaan terhadap manfaat finansial yang bisa diperoleh dari proses manajemen klaim justru mendorong kontraktor untuk mencari jalur litigasi, yang seringkali memakan waktu dan biaya besar.1 Penelitian ini menyimpulkan bahwa hubungan antara manajemen klaim yang efektif dan pengembangan strategi bersifat sangat lemah (tidak meningkat atau menurun secara linier).1 Temuan ini adalah sebuah ironi yang menarik. Ini menunjukkan bahwa memiliki strategi yang terdokumentasi tidaklah cukup; implementasi dan kesuksesan yang terukur tetap menjadi masalah yang problematis bagi kerangka kerja manajemen klaim yang ada. Intinya, keberhasilan tidak hanya terletak pada keberadaan strategi di atas kertas, tetapi pada adopsi dan penerapannya yang menuntut perubahan budaya.
Kekacauan dalam manajemen informasi juga menjadi faktor penyebab utama. Tesis ini mengungkapkan bahwa manajer proyek menghabiskan sekitar 70% waktu mereka untuk menangani informasi (membuat, mengelola, mendistribusikan, mengumpulkan, dan meneliti). Lebih lanjut, sekitar 65% pengerjaan ulang kontraktor dikaitkan dengan bahan yang tidak memadai, tidak cocok, atau kontradiktif.1 Kekacauan ini diperparah ketika dokumentasi proyek disimpan dalam basis data yang tidak terstruktur, dan masalah semakin memburuk jika persiapan klaim baru dilakukan setelah proyek selesai. Tesis ini menjelaskan bagaimana peristiwa klaim dapat menghilang atau menjadi kabur ketika staf kunci yang memiliki semua data klaim pergi, membuat tim baru kesulitan untuk memahami apa yang terjadi selama siklus proyek. Ini adalah efek domino di mana buruknya manajemen informasi di tahap awal (pre-stage claim) menciptakan masalah yang lebih besar, memperpanjang waktu penyelesaian klaim, dan akhirnya meningkatkan biaya serta risiko sengketa.1
Anatomi Sebuah Klaim: Membongkar Biaya Langsung dan Biaya Tak Terlihat
Analisis tesis ini secara kritis membedah hubungan antara klaim, sengketa, durasi, dan biaya proyek. Secara kualitatif, ditemukan bahwa sebagian besar sengketa muncul karena klaim.1 Ini menegaskan bahwa klaim adalah penyebab langsung dari sengketa, dan penyelesaian yang gagal adalah pemicu utama litigasi yang mahal. Untuk menjelaskan dampak finansial ini, penelitian ini membedah biaya klaim langsung dan biaya klaim tidak langsung. Biaya langsung adalah pengeluaran yang dapat diidentifikasi secara jelas terkait dengan pekerjaan tambahan, seperti tenaga kerja, material, dan peralatan.1 Sementara itu, biaya tidak langsung lebih sulit dilacak, mencakup biaya personel, biaya administrasi, overhead kantor pusat, biaya fotokopi, biaya legal untuk pengacara, arbitrator, dan adjudicator, serta kerugian reputasi dan profit.1
Tesis ini menemukan bahwa rata-rata durasi klaim di industri konstruksi Inggris adalah 14,58 bulan dan biaya rata-ratanya sekitar 22,8 juta dolar AS. Angka ini sejalan dengan laporan Global Construction Disputes Report tahun 2019 dari Arcadis yang mencatat durasi rata-rata 12,8 bulan dan biaya rata-rata 17,8 juta dolar AS di Inggris.1 Perbedaan kecil dalam angka-angka ini tidak mengurangi fakta bahwa sengketa klaim adalah masalah yang sangat signifikan, baik dalam hal waktu maupun uang.
Untuk memberikan gambaran yang lebih hidup tentang dampak ini, bayangkan sebuah proyek konstruksi seperti pengisian daya baterai pada ponsel pintar. Sebuah proyek yang berjalan mulus akan mengisi daya dari 20% hingga 70% dengan cepat dan efisien. Namun, klaim yang tidak terkelola dengan baik akan seperti mencabut dan mencolokkan kembali kabel pengisi daya setiap beberapa detik. Baterai mungkin terisi, tetapi prosesnya sangat lambat dan tidak efisien, membuang banyak energi (biaya) dan waktu.
Analisis 15 studi kasus yang dilakukan tesis ini secara konsisten menunjukkan bahwa sengketa paling sering muncul dari kegagalan proses di tingkat dasar. Klaim variasi (variation claims) menjadi salah satu pemicu utama. Tesis ini menyoroti kasus seperti Atkins Ltd v Secretary of State for Transport, di mana sengketa terkait klaim variasi menelan biaya £1,3 juta.1 Klaim keterlambatan (delay) dan disrupsi (disruption) juga merupakan sumber sengketa yang sangat umum.1 Kasus-kasus ini menunjukkan bahwa masalah klaim bukanlah akibat dari nasib buruk, melainkan hasil langsung dari administrasi kontrak yang buruk, kurangnya pemahaman terhadap klausul kontrak, dan kegagalan untuk memberikan pemberitahuan yang tepat sesuai persyaratan kontrak.1
Sebuah Cetak Biru untuk Perubahan: Kerangka Kerja Manajemen Klaim yang Efektif
Untuk mengatasi "lubang" dalam literatur dan praktik, tesis ini mengajukan kerangka kerja manajemen klaim investigatif yang komprehensif. Kerangka kerja ini dirancang untuk dapat diterima oleh semua pemangku kepentingan industri. Metodologi yang digunakan dalam penelitian ini sangat kuat, menggabungkan data kuantitatif dari 76 responden kuesioner dengan data kualitatif dari 16 pakar dan 15 studi kasus untuk membangun landasan yang kredibel dan dapat diverifikasi.1
Kerangka kerja yang diusulkan terdiri dari empat tahap utama yang saling terhubung:
Kerangka kerja ECMF ini bukan hanya daftar periksa, tetapi alat untuk mendorong perubahan budaya dari konfrontasional ke kooperatif, seperti yang diamanatkan oleh laporan strategi pemerintah Inggris. Tesis ini berpendapat bahwa dengan mengadopsi kerangka kerja ini, perusahaan akan memandang manajemen klaim sebagai investasi, bukan sebagai biaya, yang pada akhirnya akan menghasilkan proyek yang lebih efisien, hemat biaya, dan tepat waktu.
Jalan ke Depan: Kritik Realistis dan Dampak Nyata yang Menjanjikan
Tesis ini tidak mengklaim kerangka kerja yang diusulkan sebagai solusi instan. Ada kritik dan tantangan realistis yang diakui. Beberapa praktisi tetap skeptis bahwa menunjukkan hasil yang terukur sangatlah bermasalah karena hubungan antara strategi dan efektivitas seringkali sangat lemah.1 Tesis juga mengakui bahwa kerangka kerja ini hanya akan berhasil jika diikuti oleh semua pihak, dan masalah sering muncul karena kurangnya pemahaman tentang mekanisme kontraktual.
Meskipun demikian, validasi kerangka kerja melalui proses pengecekan formal dengan anggota (formal process of member checking) oleh para pakar memberikan kredibilitas yang kuat bahwa kerangka kerja ini tidak hanya valid secara akademis, tetapi juga relevan dan praktis di dunia nyata. Ini adalah langkah metodologis yang penting yang memastikan bahwa kerangka kerja ini memiliki potensi untuk diterapkan.
Jika diterapkan secara luas, kerangka kerja ini memiliki potensi besar untuk membantu pemerintah Inggris mencapai tujuannya dalam strategi konstruksi 2025, yaitu mengurangi biaya aset hingga 33% dan mempercepat waktu konstruksi hingga 50%.1 Dengan mengurangi litigasi dan mengalihkan sumber daya yang terbuang untuk sengketa ke arah inovasi dan efisiensi, kerangka kerja ini dapat menghasilkan dampak nyata. Ini adalah evolusi daripada revolusi. Dengan menyediakan metode yang jelas untuk mengidentifikasi, mendokumentasikan, dan menyelesaikan klaim secara adil, kerangka kerja ini dapat menciptakan proses kolaboratif yang lebih baik, yang pada gilirannya akan menghasilkan proyek yang lebih efisien, hemat biaya, dan tepat waktu. Ini merupakan pernyataan dampak yang kuat dan terukur yang menjanjikan masa depan yang lebih stabil dan menguntungkan bagi industri konstruksi di Inggris.1
Mengubah Paradigma: Dari Sengketa Menjadi Kolaborasi
Tesis ini memberikan cetak biru yang sangat dibutuhkan untuk perubahan paradigma. Klaim manajemen yang efektif bukanlah sebuah beban, melainkan sebuah investasi penting yang dapat mengubah industri konstruksi dari sektor yang rentan dan konfrontatif menjadi sektor yang efisien dan kolaboratif. Dengan mengatasi masalah mendasar seperti krisis kepercayaan, kurangnya dokumentasi, dan hubungan yang lemah antara strategi dan implementasi, kerangka kerja ini menawarkan jalan yang jelas untuk mengurangi sengketa, menghemat miliaran pound, dan akhirnya membangun industri yang lebih kuat dan tangguh.
Sumber Artikel:
Nosheen, A. (2022). Development of an effective claim management framework for the UK construction industry (Doctoral dissertation, Coventry University).
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Hansel pada 15 September 2025
Kisah Awal dari Atap yang Ambruk: Menyingkap Krisis RAAC Global
Ketakutan menyelimuti masyarakat Inggris pada tahun 2023. Atap-atap sekolah dan rumah sakit yang selama puluhan tahun dianggap aman, tiba-tiba dinyatakan berisiko ambruk. Lebih dari 150 institusi terpaksa ditutup mendadak karena otoritas menemukan bahwa struktur atap mereka terbuat dari material yang disebut Reinforced Autoclaved Aerated Concrete (RAAC) atau Beton Ringan Bertulang Autoklaf. Krisis ini bukan sekadar masalah estetika atau retakan kecil. Yang paling mengkhawatirkan adalah risiko kegagalan geser (shear failure) yang terkenal "brittle"—artinya, ia bisa runtuh tanpa memberikan tanda-tanda visual yang jelas sebelumnya. Ketidakpastian dan ketakutan akan keselamatan orang-orang terkasih menjadi narasi utama yang mendorong investigasi mendalam terhadap material konstruksi yang misterius ini.1
RAAC, material beton pracetak yang ringan, dikembangkan di Swedia pada awal abad ke-20.1 Berkat berbagai keunggulannya, seperti isolasi termal yang sangat baik, berat yang jauh lebih ringan, biaya produksi yang lebih rendah, dan dampak lingkungan yang minimal dibandingkan beton konvensional, RAAC menyebar luas di Eropa pada pertengahan 1950-an. Material ini menjadi pilihan favorit untuk dinding, lantai, dan terutama atap, hingga kekhawatiran tentang kinerja strukturalnya mulai muncul pada pertengahan 1990-an.1
Melihat betapa parahnya situasi di Inggris—dengan laporan kegagalan atap sekolah dan rumah sakit, korosi parah, retakan, dan pengelupasan—sebuah pertanyaan besar muncul: mengapa masalah serupa belum pernah (atau belum teridentifikasi) terjadi di Swedia? Sebuah laporan tesis master dari Royal Institute of Technology (KTH) di Swedia, berjudul "Investigation of Reinforced Autoclaved Aerated Concrete Structures," berusaha menyingkap misteri ini. Laporan ini secara sistematis menyelidiki apakah struktur RAAC di Swedia menghadapi risiko serupa dan, jika demikian, apa yang bisa dilakukan untuk mencegahnya.1
Mengurai Sifat Material: Mengapa Beton yang "Ringan" Menjadi "Berat"?
Sifat unik RAAC berasal dari proses pembuatannya. RAAC dibuat dari campuran pasir silika (atau serpihan batuan yang dibakar), kapur, air, dan bubuk aluminium. Bubuk aluminium inilah yang menjadi "kunci," bertindak sebagai agen pengembang yang menciptakan jutaan pori-pori udara di seluruh material, menyumbang hingga 80% dari total volume.1 Ini yang membuat RAAC sangat ringan dan memiliki daya insulasi luar biasa. Untuk memahaminya, bayangkan beton konvensional sebagai "batu padat" yang terbuat dari campuran kerikil dan pasir, sedangkan RAAC adalah "spons" yang dipadatkan dengan struktur berpori.1
Perbedaan mendasar ini bisa dirangkum dalam tabel perbandingan berikut, yang menunjukkan mengapa RAAC memiliki kekuatan yang jauh lebih rendah tetapi keunggulan lain yang signifikan.1
Reinforced Autoclaved Aerated Concrete (RAAC) memiliki sifat khas yang membedakannya dari beton konvensional. Dari segi densitas, RAAC jauh lebih ringan, yakni hanya berkisar antara 400 hingga 800 kg/m³, sementara beton konvensional memiliki densitas sekitar 2400 kg/m³. Perbedaannya bisa dianalogikan seperti membandingkan spons dengan batu: RAAC ringan dan berongga, sedangkan beton konvensional padat dan berat.
Dalam hal kekuatan tekan, RAAC umumnya berada pada kisaran 2,5 hingga 7,5 MPa, lebih rendah dibandingkan beton konvensional yang mampu mencapai 6,9 hingga 69 MPa. Secara sederhana, kekuatan RAAC bisa dianalogikan dengan kapur tulis, sedangkan beton konvensional lebih menyerupai batu bata yang kokoh.
Sementara itu, dari sisi porositas, RAAC memiliki tingkat porositas yang sangat tinggi, sekitar 80%, sedangkan beton konvensional cenderung rendah. Perbedaan ini dapat dibayangkan seperti perbandingan material berpori dengan material padat: RAAC memungkinkan lebih banyak ruang kosong di dalam strukturnya, sementara beton konvensional hampir tanpa rongga.
Namun, pori-pori yang sama yang memberikan RAAC keunggulannya juga menjadi sumber kerentanannya yang paling besar. Analisis mendalam menunjukkan bahwa air adalah musuh terberat material ini. Penelitian menemukan bahwa densitas, berat sendiri, dan kekuatan tekan RAAC sangat dipengaruhi oleh jumlah air yang meresap ke dalamnya.1 Dalam kondisi normal, RAAC memiliki kandungan air sekitar 6%, tetapi saat terjadi kebocoran yang parah, material ini bisa menjadi jenuh hingga kandungan airnya mencapai 100%.
Perubahan ini memiliki konsekuensi dramatis. Data perhitungan dari laporan menunjukkan bahwa densitas RAAC dengan kandungan air 100% bisa meningkat hampir dua kali lipat dari kondisi kering.1 Peningkatan berat ini seperti membiarkan atap mobil salju yang ringan tiba-tiba berubah menjadi kolam renang penuh air yang siap runtuh. Bersamaan dengan peningkatan beban yang signifikan, kekuatan tekan RAAC justru menurun drastis. Kekuatannya
bisa berkurang hingga 64% saat beralih dari kondisi kering ke kondisi jenuh.1 Ini membuat material yang tadinya kokoh menjadi "seperti biskuit yang basah dan rapuh."
Meskipun laporan menyimpulkan bahwa risiko kegagalan geser hanya karena infiltrasi air sangat kecil, kombinasi dari peningkatan beban dan penurunan kekuatan ini menjadikannya faktor pemicu utama saat ada kondisi lain yang membebani struktur, seperti genangan air hujan.1
Cerita di Balik Keretakan: Titik Lemah yang Tidak Terlihat Mata
Kegagalan struktur RAAC jarang disebabkan oleh satu faktor tunggal. Sering kali, itu adalah hasil dari kombinasi beberapa kelemahan yang saling memperburuk, menciptakan "rantai kegagalan" yang tidak terduga.
Salah satu ancaman paling berbahaya adalah korosi pada baja tulangan. Pada beton konvensional, lingkungan yang sangat basa (pH 12-13) berfungsi sebagai pelindung alami bagi baja. Namun, karena tingginya tingkat porositas RAAC, material ini rentan terhadap proses karbonasi. Karbon dioksida dari udara bereaksi dengan kapur di dalam beton, menurunkan pH-nya dan menghilangkan perlindungan pada baja tulangan. Yang membedakan RAAC adalah bahwa korosi pada material ini tidak selalu memberikan tanda-tanda visual di permukaan seperti beton konvensional.1 Ini terjadi karena produk korosi, yaitu karat, memiliki volume yang lebih besar dan dapat mengisi pori-pori besar RAAC sebelum memberikan tekanan yang cukup untuk menyebabkan pengelupasan atau spalling. Artinya, sebuah atap yang terlihat baik-baik saja dari luar bisa saja mengalami korosi parah yang tersembunyi di dalamnya. Kondisi ini membuat inspeksi visual saja sangat menipu.
Selain itu, masalah beban berlebihan akibat genangan air menjadi faktor signifikan, terutama di Inggris. Laporan ini menunjukkan perbedaan mencolok dalam desain beban salju antara kedua negara. Di Inggris, beban salju standar yang digunakan untuk desain berkisar antara 0,3 hingga 0,85 kN/m², sementara di Swedia, angkanya jauh lebih besar, yaitu 1,0 hingga 5,5 kN/m².1 Atap di Swedia yang dirancang untuk menahan beban salju yang berat secara alami memiliki "cadangan" kekuatan yang jauh lebih besar untuk menahan genangan air hujan, yang menjadi alasan utama mengapa masalah ini lebih sering terlihat di Inggris.1
Temuan lain yang sangat mengkhawatirkan adalah kesalahan pada desain dan pemasangan. Laporan menemukan bahwa beberapa kontraktor melakukan kesalahan fundamental dengan menghitung kapasitas RAAC seolah-olah itu adalah beton konvensional. Mereka menggunakan kekuatan tekan 37 N/mm², padahal RAAC hanya memiliki 3 N/mm².1 Ini adalah perbedaan sebesar 8% yang menunjukkan
ketidakpahaman mendasar antara kedua material. Lebih lanjut, panjang tumpuan (bearing length) yang terlalu pendek pada standar lama (hanya 45 mm) dan praktik memotong elemen RAAC untuk menyesuaikan ukuran dapat menghilangkan tulangan melintang yang berfungsi sebagai angkur.1 Tanpa tulangan angkur ini, panel RAAC menjadi
sangat rentan terhadap kegagalan geser mendadak.1
Penelitian mengenai kegagalan Reinforced Autoclaved Aerated Concrete (RAAC) menunjukkan bahwa ada beberapa penyebab utama yang perlu diwaspadai.
Salah satu faktor paling sering ditemui adalah infiltrasi air. Air yang masuk ke dalam struktur RAAC dapat meningkatkan densitas material sekaligus menurunkan kekuatan tekannya. Kondisi ini makin diperparah dengan siklus beku-cair (freeze-thaw) yang mempercepat degradasi. Gejala visual yang muncul biasanya berupa noda air, retakan, hingga material yang terasa lunak atau kenyal ketika disentuh. Tingkat risikonya tergolong tinggi karena dapat mempercepat kerusakan struktur.
Selain itu, beban berlebihan juga menjadi pemicu kegagalan. Hal ini dapat terjadi akibat genangan air hujan yang lama tertahan di atap atau karena adanya tambahan beban dari proses renovasi. RAAC yang menerima beban berlebihan biasanya menunjukkan tanda berupa defleksi berlebihan pada elemen struktural dan adanya genangan air di permukaan atap. Risiko yang ditimbulkan juga tinggi karena dapat memicu keruntuhan mendadak.
Faktor berikutnya adalah korosi tulangan. Proses karbonasi maupun paparan klorida dapat menyebabkan tulangan baja di dalam RAAC mengalami karat. Dampaknya terlihat pada pengelupasan (spalling) atau retakan yang kadang tidak tampak jelas di permukaan. Tanda noda karat juga sering muncul. Kerusakan akibat korosi tulangan ini digolongkan sebagai kritis karena langsung melemahkan elemen penahan beban utama.
Kegagalan juga bisa muncul dari aspek desain dan pemasangan. Contohnya, panjang tumpuan yang tidak memadai atau pemotongan elemen yang tidak tepat dapat menimbulkan masalah serius. Gejalanya berupa pengelupasan di ujung tumpuan serta retakan geser di area sekitar tumpuan. Risiko dari kesalahan desain dan pemasangan ini juga bersifat kritis karena langsung mengganggu kinerja struktural.
Terakhir, terdapat faktor eksternal yang juga berkontribusi terhadap kerusakan RAAC. Kondensasi dari atap baru, kerusakan akibat aktivitas di atap, atau kondisi lingkungan lainnya bisa mempercepat degradasi material. Gejala visual yang biasanya muncul berupa retakan, noda air, maupun pengelupasan di area tertentu. Tingkat risikonya berada pada kategori sedang hingga tinggi, tergantung seberapa luas kerusakan yang terjadi.
Kisah-kisah dari Lapangan: Bukti Nyata dari Teori
Untuk menguji teori-teori ini, laporan mengkaji beberapa kasus nyata di Swedia dan Inggris.
Proyek A: Krisis di Teater Stockholm
Di sebuah teater di Stockholm yang dibangun pada tahun 1966, beberapa elemen atap RAAC ambruk.1 Penyebab utamanya adalah
lapisan kedap air yang rusak akibat pengerukan salju, yang memungkinkan infiltrasi air secara terus-menerus. Investigasi di lokasi menemukan bahwa elemen RAAC yang ambruk telah menjadi lembek dan kenyal karena terendam air.1 Kondisi ini memicu
siklus beku-cair yang menyebabkan retakan dan, pada akhirnya, kegagalan.
Proyek B: Pemantauan yang Mencegah Bencana
Sebuah gedung industri di Gothenburg, Swedia, yang dibangun pada tahun 1977, menjadi subjek studi kasus lain setelah sepotong kecil atapnya jatuh.1 Meskipun tidak ditemukan kebocoran aktif,
noda air lama terlihat, mengindikasikan kerusakan yang terjadi di masa lalu. Inspeksi visual menemukan pengelupasan kecil pada tumpuan elemen atap. Laporan menyimpulkan bahwa meskipun kerusakan minor ini tidak mengancam kapasitas menahan beban secara keseluruhan, ada risiko serpihan beton jatuh, yang dapat membahayakan personel dan peralatan.1 Sebagai solusi sementara,
jaring pengaman dipasang dan kapur diaplikasikan pada tulangan yang terekspos untuk memperlambat korosi.
Proyek C: Beban Tersembunyi dari Atap Baru
Sebuah kasus di Inggris menyoroti faktor eksternal yang tidak terduga.1 Sebuah sekolah di Inggris yang dibangun pada 1960-an mengalami keretakan pada panel atap RAAC-nya setelah atap miring baru dipasang pada tahun 2015. Atap baru ini tidak memiliki ventilasi yang memadai, menyebabkan
kondensasi menumpuk di rangka baja, yang kemudian menetes ke insulasi wol di bawahnya. Air dari insulasi ini akhirnya menetes ke panel RAAC, menambah beban yang tidak terduga dan memicu keretakan pada material.1 Kasus ini adalah contoh nyata bagaimana faktor non-struktural bisa memicu kegagalan struktural.
Proyek D: Inovasi di Bawah Tanah
Di sebuah bangunan hunian di Stockholm yang dibangun pada pertengahan 1960-an, pelat lantai RAAC melengkung secara signifikan.1 Untuk mengatasi defleksi ini, sebuah solusi inovatif diterapkan:
beton ringan hidrofobik yang disebut SENADOHLWC dipompa ke dalam rongga di bawah pelat lantai. Material ini, yang memiliki sifat tidak menarik kelembaban, mengisi seluruh rongga, memberikan dukungan permanen dan menstabilkan pelat yang melengkung.
Jalan Menuju Keamanan: Solusi dan Masa Depan yang Lebih Baik
Penelitian ini menyimpulkan bahwa RAAC bukanlah "bom waktu" jika dirawat, dirancang, dan dipasang dengan benar. Sifatnya yang unik dan kerentanannya terhadap kesalahan membuat perawatan dan pemantauan yang ketat menjadi sangat krusial. Jika atap-atap RAAC sudah mengalami kerusakan parah, solusi jangka panjang yang paling signifikan adalah penggantian total dengan material yang berbeda, atau dengan panel RAAC baru yang dipasang sesuai standar modern.1
Namun, sebelum penggantian dilakukan, sejumlah langkah mitigasi sementara dapat diterapkan untuk meminimalisir risiko.1 Ini termasuk
penopangan darurat dengan balok kayu atau baja untuk mendukung atap yang rusak, penambahan panjang tumpuan dengan memasang siku baja, dan penggunaan kapur pada tulangan baja yang terekspos untuk menetralkan pH dan memperlambat laju korosi.1
Dalam upaya memajukan solusi ini, teknologi juga mulai berperan. Akademisi dari Loughborough University telah mengembangkan alat perangkat lunak AI yang dapat mengidentifikasi kerusakan RAAC secara progresif, menyoroti lokasi retakan, dan bahkan memprediksi perkiraan masa pakainya.1 Alat ini terbukti lebih cepat dan efisien dibandingkan inspeksi manual. Namun, laporan ini juga menekankan bahwa
alat AI tidak dimaksudkan untuk menggantikan inspeksi manual, melainkan untuk melengkapinya. Dengan akurasi 95%, verifikasi manusia tetap sangat penting untuk pengambilan keputusan akhir.1
Kesimpulan dan Rekomendasi: Mengapa Kita Harus Bertindak Sekarang
Temuan dari penelitian ini menunjukkan bahwa RAAC dapat menjadi bahan konstruksi yang tepat jika dirawat, dipasang, dan dirancang dengan benar. Risiko kegagalan geser akibat infiltrasi air tunggal sangat kecil, dan kemungkinan panjang tumpuan yang terlalu pendek adalah penyebab satu-satunya kegagalan juga tidak mungkin. Namun, yang sering terjadi adalah kegagalan akibat kombinasi faktor: penurunan kekuatan material akibat air, beban berlebihan, korosi tulangan yang tersembunyi, dan kesalahan mendasar pada desain dan pemasangan. Masalah genangan air terbukti menjadi risiko yang lebih besar di Inggris daripada di Swedia karena perbedaan standar beban salju.
Jika tindakan pencegahan seperti inspeksi berkala dan perbaikan lapisan kedap air diterapkan, temuan ini bisa mengurangi risiko dan biaya perbaikan besar-besaran dalam lima tahun ke depan.
Untuk memastikan keselamatan dan keawetan struktur, berikut adalah rekomendasi utama yang dapat diambil:
Penelitian ini berfungsi sebagai peringatan dini, terutama di wilayah yang kondisi cuacanya dapat memicu kegagalan RAAC. Penelitian lanjutan di LTH (Lunds Tekniska Högskola) saat ini sedang menguji kapasitas geser dan lentur elemen RAAC dari bangunan lama, yang menunjukkan bahwa investigasi mengenai material unik ini terus berlanjut.1
Sumber Artikel:
Löfman, N., & Molander, V. (2024). Investigation of Reinforced Autoclaved Aerated Concrete Structures.