Properti dan Arsitektur

Apa Liem Bwan Tjie Itu?

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025


Liem Bwan Tjie (6 September 1891 – 28 Juli 1966) adalah arsitek ternama dan pelopor arsitektur modern generasi pertama di Indonesia.

Riwayat

Liem adalah anak kelima dari Liem Soei Tjhing, seorang pedagang tekstil di Gang Warung, Semarang. Keluarga Peranakan Tionghoa ini sudah di Indonesia selama 4 generasi. Pada tahun 1910, Liem yang berusia 19 tahun dikirim orang tuanya ke Belanda untuk menuntut pendidikan menengah. Selama Perang Dunia Pertama (1914-1918), ia berkerja untuk beberapa biro arsitek terkemuka di Amsterdam, antara lain Michel de Klerk, Gulden en Geldmaker dan Eduard Cuypers. Pada tahun 1920, Liem kemudian belajar di Universitas Teknik di Delft, Belanda dan di École nationale supérieure des Beaux-Arts di Paris, Prancis pada tahun 1924.

Saat Liem berencanana kembali ke tanah air pada tahun 1929, ia dilarang pulang oleh pemerintah Hindia Belanda karena dianggap terpengaruh dengan Komunisme. Dengan referensi dan dukungan dari tokoh masyarakat Tionghoa, antara lain anggota Volksraad Loa Sek Hie, sang arsitek akhirnya diberikan izin untuk menetap kembali di kota kelahirannya, yaitu Semarang.

Ia banyak mendesain bangunan-bangunan untuk kalangan "Cabang Atas" Peranakan. Karya-karyanya mencakup bangunan umum maupun kediaman pribadi, dan tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Surabaya, Bandung, Tegal, Manado dan Makasar.

Pada tanggal 16 September 1959, di kediaman Liem di Jalan Wastukancana, Bandung, terjadi awal pertemuan pertama antara arsitek-arsitek senior Indonesia Liem Bwan Tjie, Frederich Silaban, Mohammad Soesilo dengan 18 arsitek muda lulusan pertama ITB tahun 1958. Inilah tonggak awal sejarah Ikatan Arsitek Indonesia, yang akhirnya didirikan secara resmi pada 17 September 1959.

Liem meninggalkan Indonesia saat berusua 74 tahun pada tahun 1965, dan pindah ke Belanda untuk mengikuti anaknya yang sedang menuntut ilmu di sana. Ia meninggal setahun kemudian di Belanda, dan arsip karyanya sekarang disimpan di Nederlands Architectuurinstituut (NAi).

Karya-Karya

  • Woonhuis Loa Sek Hie, Jalan Sumatra, Menteng, Jakarta (1929-1930)
  • Kantor pusat Oei Tiong Ham Concern di Jalan Kepodang, Semarang (1930)
  • Villa Oei Tjong Hauw, putra hartawan Oei Tiong Ham (1931)
  • Villa Han Tiauw Tjong di Jalan Tumpang, Semarang (1932)
  • Stadion Renang (Gemeente Zwembad) di Jalan Ki Mangunsarkoro, Semarang (1938)
  • Villa Tan Liok Tiauw, Jalan Kramat Raya, Jakarta (sekarang Balai Media TNI) (1938-1940)
  • Stadion Teladan di Medan (1953-1955)
  • Kantor Dinas Departemen Pertanahan di Jakarta (1960-1961)

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Apa Liem Bwan Tjie Itu?

Properti dan Arsitektur

Mengenal Bangunan Katedral Jakarta

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025


Katedral Jakarta (bahasa Indonesia: Gereja Katedral Jakarta, bahasa Belanda: Kathedraal van Jakarta) adalah sebuah katedral Katolik Roma di Jakarta, Indonesia, yang juga merupakan tempat kedudukan uskup agung Katolik Roma di Jakarta, yang saat ini dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo. Nama resminya adalah Gereja Santa Maria Diangkat ke Surga, yang diambil dari nama aslinya dalam bahasa Belanda, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming (bahasa Indonesia: Gereja Bunda Maria Diangkat ke Surga). Katedral yang sekarang ini ditahbiskan pada tahun 1901 dan dibangun dengan gaya neo-Gotik, sebuah gaya arsitektur yang umum digunakan untuk membangun gereja pada masa itu. Katedral Jakarta terletak di Jakarta Pusat dekat dengan Lapangan Merdeka dan Istana Merdeka, tepat di depan katedral berdiri Masjid Istiqlal.

Sejarah

Setelah kedatangan VOC pada tahun 1619, Gereja Katolik Roma dilarang di Hindia Belanda dan hanya terbatas di Flores dan Timor. Belanda dikenal mendukung agama Protestan dan berusaha membatasi pengaruh dan otoritas Tahta Suci. Selama Perang Revolusi Prancis dan Perang Napoleon, Belanda, termasuk Hindia Belanda dan koloni-koloninya yang lain, berada di bawah kendali Revolusi Prancis dan kemudian Kekaisaran Prancis. Pada tahun 1806, Napoleon melantik adiknya yang beragama Katolik, Louis Napoleon (bahasa Belanda: Lodewijk), sebagai Raja Belanda. Sejak saat itu, Gereja Katolik bebas beroperasi di Hindia Belanda.

Komisaris Jenderal Batavia, Du Bus de Gisignies (1825-1830), berjasa dalam menyediakan tanah untuk membangun gereja Katolik pertama di Batavia. Bekas kediaman Jenderal de Kock di daerah Weltevredeen direnovasi menjadi gereja. Monseigneur Prinsen memberkati dan meresmikan gereja tersebut pada tanggal 6 November 1829 dan menamainya "Bunda Maria Diangkat ke Surga." Gereja ini direnovasi pada tahun 1859, namun runtuh pada 9 April 1890.

Gereja yang sekarang adalah bangunan yang dibangun kembali antara tahun 1891 dan 1901. Pastor Antonius Dijkmans, SJ ditunjuk sebagai arsiteknya. Pembangunan sempat terhenti karena kurangnya dana, namun uskup baru gereja, Mgr E. S. Luypen, SJ, menggalang dana yang diperlukan di Belanda, dan arsitek MJ Hulswit melanjutkan pembangunan pada tahun 1899. "De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming - Gereja Bunda Maria Diangkat ke Surga" diberkati dan diresmikan oleh Mgr Edmundus Sbrandus Luypen, SJ pada tanggal 21 April 1901. Gereja ini direnovasi antara tahun 1988 dan 2002.

Arsitektur

Denah katedral berbentuk salib dengan panjang 60 meter dan lebar 10 meter, ditambah 5 meter di setiap lorong. Disebut katedral karena di dalamnya terdapat "cathedra", singgasana uskup. Pintu masuk utama bangunan ini menghadap ke barat. Di trumeau portal utama berdiri patung Bunda Maria, sementara di atas portal terdapat kalimat yang ditulis dalam bahasa Latin: "Beatam Me Dicentes Omnes Generationes" yang berarti "Semua generasi akan menyebut saya diberkati". Selain itu, terdapat kaca patri bundar besar Rozeta Rosa Mystica, yang merupakan simbol Bunda Maria.

Ada tiga menara utama di Katedral Jakarta: dua menara tertinggi memiliki tinggi 60 meter dan terletak di depan di setiap sisi portal. Menara utara disebut Turris Davidica, atau "Menara Daud"-sebuah gelar kebaktian kepada Maria yang melambangkan Maria sebagai tempat perlindungan dan pelindung dari kuasa kegelapan. Menara selatan, juga setinggi 60 meter, disebut "Menara Gading", yang putih dan kemurnian gading menggambarkan kemurnian Perawan Maria. Di Menara Gading, terdapat jam tua yang masih berfungsi dan juga lonceng gereja. Puncak menara ketiga menjulang di atas persimpangan salib atap dengan tinggi 45 meter dari permukaan tanah, dan disebut "Menara Angelus Dei".

Bangunan ini terdiri dari dua lantai, lantai atas dapat dicapai dari tangga di menara utara. Awalnya, lantai dua digunakan sebagai tempat paduan suara selama misa, tetapi karena katedral ini sudah cukup tua, dikhawatirkan bangunan tidak dapat menopang beban terlalu banyak orang di lantai atas. Saat ini, lantai atas berfungsi sebagai Museum Katedral Jakarta, yang menyimpan benda-benda peninggalan ritual Katolik, seperti cawan perak, topi, dan jubah Hindia Belanda serta uskup agung dan kardinal Indonesia. Museum ini juga menampilkan sejarah agama Katolik Roma di Indonesia.

Di sisi selatan, terdapat patung Pietà, yang menggambarkan kesedihan Bunda Maria saat memeluk tubuh Yesus Kristus setelah penyaliban. Dinding yang mengelilingi bagian dalam memiliki beberapa adegan yang menggambarkan Jalan Salib. Katedral ini memiliki empat mimbar untuk layanan pengakuan dosa, dua di setiap sisi. Di bagian tengah, terdapat podium kayu yang ditinggikan dengan atap berbentuk kerang untuk memantulkan suara. Podium ini dipasang pada tahun 1905 dan menampilkan gambar Neraka di sisi bawah, sementara gambar khotbah Yesus dan adegan lainnya berada di sisi tengah. Bagian atas podium menampilkan pemandangan Surga yang dihiasi dengan malaikat bersayap. Di sisi selatan, terdapat sebuah organ besar bergaya neo-Gotik yang dibuat di Verschueren, Belgia, yang kemudian dipindahkan dan dipasang di Jakarta pada tahun 1988. Organ ini diambil dari desa Amby di dekat Maastricht.

Ada tiga altar di katedral ini: di sisi kiri adalah "Altar Santa Maria", untuk merayakan pengangkatan Maria ke Surga. Altar ini dibuat pada tahun 1915 oleh Atelier Ramakers. Di sisi kanan adalah "Altar Santo Yosef", yang selesai dibangun pada bulan Mei 1922. Tahta uskup, yang disebut katedral, terletak di sisi kiri dengan tiga singgasana. Altar utama yang terletak di tengah dibuat pada abad ke-19 di Belanda. Altar ini dipindahkan dari sebuah gereja Yesuit di Groningen pada tahun 1956. Di altar ini terdapat salib utama Yesus dan tabernakel.

Tubuh bangunan terbuat dari batu bata merah tebal yang dilapisi plester dan diaplikasikan dengan pola untuk meniru konstruksi batu alam. Dinding yang besar dibuat untuk menopang balok-balok kayu jati yang membentang lebar pada konstruksi atap. Bagian atas menara terbuat dari rangka besi, sedangkan atapnya terbuat dari konstruksi kayu jati. Besi dan kayu tidak cocok karena bahan arsitektur neo-Gotik yang khas biasanya menggunakan pasangan batu. Namun, bahan-bahan tersebut dipilih karena relatif lebih ringan dibandingkan pasangan batu, mengingat Indonesia merupakan wilayah yang rawan gempa.

Musik

Ada sebuah piano, dua electone, dan dua organ pipa yang dapat dimainkan.

  • Organ pipa

Di atas panggung yang ditinggikan di transept selatan terdapat sebuah organ yang dibuat oleh George Verschueren dari Tongeren, Belgia, yang dibangun pada tahun 1988. Tuts-tuts disusun di setiap sisi meja tuts dan tiupan diaktifkan dari tuts di sisi kiri. Tuts manual terdiri dari empat oktaf dan papan pedal datar dua setengah oktaf. Pagar loteng organ dan selubung organ mencerminkan sifat gotik katedral dan semua kayu diwarnai agar sesuai dengan kayu yang ada di gereja. Pipa-pipa disajikan dalam bentuk datar dengan menara pusat yang besar dan dua menara kecil yang mengapit di sisi kiri dan kanan kotak organ.

Daftar nada dari organ ini adalah:

Manual I (56 nada/4 oktaf)

  • Gamba 8'
  • Bourdon 8'
  • Flute 8'
  • Nazard 2 2/3'
  • Gemshorn 2'
  • Terompet 8'

Manual II (56 nada/4 oktaf)

  • Bourdon 16'
  • Buka Diapason 8'
  • Menghentikan Diapason 8'
  • Oktaf 4'
  • Kelimabelas 2'
  • Sesquieltera rk Bass
  • Sesquieltera rk Treble
  • Peringkat Campuran IV

Pedal (30 nada/2 1/2 oktaf)

  • Subbass 16'
  • Kayu Terbuka 8'

Penggandeng

  • I + II
  • P + I
  • P + II

Disadur: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Bangunan Katedral Jakarta

Properti dan Arsitektur

Mengenal Bangunan Gereja Blenduk

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025


Gereja Protestan Indonesia Barat Immanuel Semarang (bahasa Indonesia: Gereja Protestan Indonesia Barat Immanuel Semarang), lebih dikenal dengan nama Gereja Blenduk, adalah sebuah gereja Protestan di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Dibangun pada tahun 1753, gereja ini merupakan gereja tertua di provinsi ini.

Arsitektur dan tata letak

Gereja Blenduk, di Jalan Letjen Suprapto No. 32 di kota tua Semarang, Jawa Tengah, terletak di sebuah halaman kecil di antara bekas gedung perkantoran. Gedung Jiwasraya terletak di sebelah selatan, di seberang jalan, sementara kantor Kerta Niaga berada di sebelah barat.

Gereja berbentuk segi delapan ini dibangun di atas fondasi batu dan dengan dinding bata satu lapis, dengan lantai dasar yang berada di permukaan jalan. Gereja ini memiliki kubah besar berkulit tembaga, yang menjadi asal mula namanya; kata mblenduk dalam bahasa Jawa berarti kubah. Kubah ini ditopang oleh 32 balok baja, 8 balok besar dan 24 balok kecil. Dua menara, berbentuk persegi di bagian dasar dan perlahan-lahan membulat hingga puncaknya berupa kubah kecil, terletak di kedua sisi pintu masuk utama, sementara cornice yang terdiri dari garis-garis horizontal membentang di sekeliling bangunan; serambi bergaya Romawi yang ditutupi atap berbentuk pelana terletak di sisi timur, selatan, dan barat. Blenduk juga dilengkapi dengan jendela kaca berukir dan kaca patri, serta pintu ganda berpanel kayu di pintu masuk yang menghadap ke selatan.

Bangku-bangku kayu di dalam Blenduk memiliki dudukan rotan, sementara mimbarnya sepenuhnya terbuat dari kayu dan terletak di atas panggung segi delapan yang terbuat dari kayu jati. Sebuah organ pipa Barok yang sudah tidak berfungsi dari tahun 1700-an juga terletak di dalamnya. Lantainya dilapisi ubin hitam, kuning, dan putih. Di bagian utara interior terdapat tangga spiral dengan ukiran nama pembuatnya, Pletterij den haag (Rolling Mill, Den Haag), yang mengarah ke lantai dua.

Sejarah

Blenduk didirikan pada tahun 1753; bangunan awalnya bergaya joglo. Meskipun diperuntukkan bagi umat Protestan, umat Katolik juga menggunakannya hingga gereja Katolik pertama di kota ini, di Gedangan, dibangun.

Gereja ini kemudian dibangun kembali pada tahun 1787. Renovasi kembali yang dipelopori oleh H.P.A. de Wilde dan W. Westmas, mulai dikerjakan pada tahun 1894. Selama renovasi ini, kubah dan dua menara ditambahkan. Rangkaian renovasi lainnya dimulai pada awal tahun 2000-an. Pada tahun 2004, gereja ini memiliki 200 keluarga dalam jemaatnya dan mengadakan kebaktian rutin pada hari Minggu; gereja ini juga menjadi daya tarik wisata. Pada tahun 2003, gereja ini merayakan tahun ke-250.

Penghargaan

Pada bulan Februari 2009, Blenduk menerima penghargaan sebagai Tempat Ibadah Tua yang Dipelihara dengan Baik dari Ikatan Arsitek Indonesia cabang Jawa Tengah.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

 

Selengkapnya
Mengenal Bangunan Gereja Blenduk

Properti dan Arsitektur

Mengenal Museum Sejarah Jakarta

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025


Museum Sejarah Jakarta (bahasa Indonesia: Museum Sejarah Jakarta), juga dikenal sebagai Museum Fatahillah atau Museum Batavia, terletak di Kota Tua, Jakarta, Indonesia. Bangunan ini dibangun pada tahun 1710 sebagai Stadhuis (balai kota) Batavia. Museum Sejarah Jakarta dibuka pada tahun 1974 dan menampilkan benda-benda dari periode prasejarah wilayah kota, pendirian Jayakarta pada tahun 1527, dan periode penjajahan Belanda dari abad ke-16 hingga Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.

Museum ini terletak di sisi selatan Alun-alun Fatahillah (bekas alun-alun kota Batavia), berdekatan dengan Museum Wayang dan Museum Seni Rupa dan Keramik. Bangunan ini diyakini meniru model Istana Dam.

Sejarah

  • VOC

Bangunan tempat museum ini berdiri dulunya adalah balai kota Batavia, Stadhuis. Stadhuis pertama selesai dibangun pada tahun 1627 di lokasi bangunan yang sekarang. Pembangunan gedung ini dilanjutkan pada tahun 1649. Pada tahun 1707, bangunan ini direnovasi secara keseluruhan, yang menghasilkan bangunan yang sekarang. Beberapa fitur bangunan yang sekarang berasal dari tahun ini, termasuk serambi. Renovasi selesai pada tahun 1710 dan gedung ini diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck sebagai kantor pusat administratif Perusahaan Hindia Timur Belanda.

  • Pemerintah kolonial Belanda

Setelah kebangkrutan VOC, gedung ini diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda dan digunakan sebagai balai kota pemerintah kolonial.

Seiring dengan perluasan kota ke arah selatan, fungsi gedung sebagai balai kota (gemeentehuis Belanda) berakhir pada tahun 1913.

  • Pasca kemerdekaan

Setelah deklarasi Indonesia pada tahun 1945, gedung ini digunakan sebagai kantor gubernur Jawa Barat hingga tahun 1961, ketika Jakarta dinyatakan sebagai daerah otonom. Setelah itu, gedung ini digunakan sebagai markas KODIM 0503 Jakarta Barat.

Pada tahun 1970, Lapangan Fatahillah ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Upaya ini merupakan awal dari pengembangan kawasan bersejarah Kota Jakarta yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Museum Sejarah Jakarta diresmikan sebagai museum pada tanggal 30 Maret 1974 sebagai pusat koleksi, konservasi dan penelitian segala macam benda cagar budaya yang berkaitan dengan sejarah Kota Jakarta.

Arsitektur

Bangunan ini terletak di depan sebuah lapangan umum, yang pada masa lalu dikenal dengan nama Stadhuisplein, Alun-alun Balai Kota. Alun-alun tersebut kini dikenal sebagai Fatahillah Square (bahasa Indonesia: Taman Fatahillah). Di tengah alun-alun terdapat air mancur yang digunakan sebagai sumber air pada masa penjajahan. Di alun-alun ini juga terdapat meriam peninggalan Portugis (dikenal dengan nama Meriam Si Jagur) dengan ornamen tangan yang menunjukkan gerakan fico, yang dipercaya oleh masyarakat setempat dapat meningkatkan kesuburan wanita. Alun-alun ini juga digunakan sebagai tempat eksekusi.

Bangunan ini berskala besar dengan balok kayu dan lantai kayu yang masif. Bangunan ini memiliki 37 ruangan berornamen. Ada juga beberapa sel yang terletak di bawah serambi depan yang digunakan sebagai penjara bawah tanah, yang berfungsi hingga tahun 1846. Seorang pejuang kemerdekaan Jawa, Pangeran Diponegoro, yang ditangkap secara diam-diam, dipenjara di sini pada tahun 1830 sebelum akhirnya dibuang ke Manado, Sulawesi Utara.

Bangunan ini meniru Paleis op de Dam di Amsterdam. Kemiripannya antara lain kubah kubah yang memahkotai bangunan ini dan proporsi khas balai kota Belanda abad ke-17.

Koleksi

Museum Sejarah Jakarta memiliki koleksi sekitar 23.500 benda, beberapa di antaranya diwarisi dari de Oude Bataviasche Museum (sekarang Museum Wayang). Koleksi tersebut meliputi benda-benda dari Perusahaan Hindia Belanda, peta bersejarah, lukisan, keramik, mebel, dan benda-benda arkeologi dari zaman prasejarah seperti prasasti dan pedang kuno. Museum Sejarah Jakarta juga memiliki koleksi mebel bergaya Betawi yang paling kaya dari abad ke-17 hingga abad ke-19. Koleksi-koleksi tersebut terbagi dalam beberapa ruangan seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang M.H. Thamrin.

Museum ini juga memiliki replika Prasasti Tugu (yang aslinya ada di Museum Nasional) dari zaman Raja Purnawarman, yang merupakan bukti bahwa pusat Kerajaan Tarumanegara terletak di sekitar pelabuhan Tanjung Priok di pesisir Jakarta. Ada juga replika peta abad ke-16 dari Monumen Padrao Portugis, sebuah bukti sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa kuno.

Konservasi

Museum ini sempat ditutup sementara pada bulan Juli 2011 untuk konservasi. Kegiatan konservasi yang dilakukan dengan bantuan dari pemerintah Belanda dilakukan mulai tahun 2012 dan renovasi selesai pada bulan Februari 2015. Sebuah "Ruang Konservasi" baru ditambahkan selama renovasi, yang menampilkan visi dan misi JOTR (Jakarta Old Town Reborn) untuk masa depan Batavia Lama.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Museum Sejarah Jakarta

Properti dan Arsitektur

Mengenal Lebih dalam Bangunan Gedung Sate

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025


Gedung Sate (bahasa Sunda: ᮌᮨᮓᮧᮀ ᮞᮒᮦ, translit. Gedong Saté) merupakan gedung kantor Gubernur Jawa Barat. Gedung ini memiliki ciri khas berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, yang telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, tetapi juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta Api Tasikmalaya. Gedung berwarna putih ini mulai dibangun pada tahun 1920 dan masih berdiri kokoh hingga saat ini.

Gedung Sate yang pada masa Hindia Belanda dibangun sebagai kantor Departemen Badan Usaha Milik Negara Hindia Belanda (Belanda: Department van Gouvernementsbedrijven), peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung walikota Bandung, Bertus Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli 1920, merupakan hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. VL. Slors dengan melibatkan 2000 pekerja, 150 orang di antaranya pemahat, atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan China yang berasal dari Konghu atau Kanton, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk Kampung Sekeloa, Kampung Coblong Dago, Kampung Gandok dan Kampung Cibarengkok, yang sebelumnya mereka menggarap Gedong Sirap (Kampus ITB) dan Gedong Papak (Balai Kota Bandung).

Selama kurun waktu 4 tahun pada bulan September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf) dan Perpustakaan. Perpustakaan Gedung Sate memuat 250.000 buku yang didapat dari perusahaan kereta api, dinas pos, telegraf dan telepon, dan dinas pertambangan. Perpustakaan ini menjadi perpustakan terbesar di Hindia Belanda untuk kategori ilmu pengetahuan. Sementara untuk kategori umum, perpustakaan Gedung Sate menjadi yang terbesar kedua setelah perpustakaan “Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”.

Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara.

Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.

Beberapa pendapat tentang megahnya Gedung Sate di antaranya Cor Pashier dan Jan Wittenberg dua arsitek Belanda, yang mengatakan "langgam arsitektur Gedung Sate adalah gaya hasil eksperimen sang arsitek yang mengarah pada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa".

D. Ruhl dalam bukunya Bandoeng en haar Hoogvlakte 1952, "Gedung Sate adalah bangunan terindah di Indonesia".

Ir. H.P.Berlage, sewaktu kunjungan ke Gedung Sate April 1923, menyatakan, "Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar, yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis". Seperti halnya gaya arsitektur Italia pada masa renaiscance terutama pada bangunan sayap timur. Sedangkan menara bertingkat di tengah bangunan mirip atap meru atau pagoda. Masih banyak lagi pendapat arsitek Indonesia yang menyatakan kemegahan Gedung Sate misalnya Slamet Wirasonjaya, dan Ir. Harnyoto Kunto.

Kuat dan utuhnya Gedung Sate hingga kini, tidak terlepas dari bahan dan teknis konstruksi yang dipakai. Dinding Gedung Sate terbuat dari kepingan batu ukuran besar (1 × 1 × 2 m) yang diambil dari kawasan perbukitan batu di Bandung timur sekitar Arcamanik dan Gunung Manglayang. Konstruksi bangunan Gedung Sate menggunakan cara konvensional yang profesional dengan memperhatikan standar teknik.

Gedung Sate berdiri di atas lahan seluas 27.990,859 m², luas bangunan 10.877,734 m² terdiri dari Basement 3.039,264 m², Lantai I 4.062,553 m², teras lantai I 212,976 m², Lantai II 3.023,796 m², teras lantai II 212.976 m², menara 121 m² dan teras menara 205,169 m².

Gerber sendiri memadukan beberapa aliran arsitektur ke dalam rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan untuk bangunannya dalah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara, Gerber memasukkan aliran Asia, yaitu gaya atap pura Bali atau pagoda di Thailand. Di puncaknya terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden - jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate. Ornamen yang terbuat dari batu, terletak di atas pintu utama Gedung Sate, sering dikaitkan dengan candi Borobudur karena bentuknya yang serupa.

Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.

Dalam perjalanannya semula diperuntukkan bagi Departemen Lalulintas dan Pekerjaan Umum, bahkan menjadi ibukota Hindia Belanda, sehingga digunakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum. Tanggal 3 Desember 1945 terjadi peristiwa yang memakan korban tujuh orang pemuda yang mempertahankan Gedung Sate dari serangan pasukan Gurkha. Untuk mengenang ke tujuh pemuda itu, dibuatkan tugu dari batu yang diletakkan di belakang halaman Gedung Sate. Atas perintah Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 3 Desember 1970 Tugu tersebut dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate.

Gedung Sate sejak tahun 1980 dikenal dengan sebutan Kantor Gubernur karena sebagai pusat kegiatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang sebelumnya Pemerintahaan Provinsi Jawa Barat menempati Gedung Kerta Mukti di Jalan Braga Bandung.

Ruang kerja Gubernur terdapat di lantai II bersama dengan ruang kerja Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, Para Assisten dan Biro. Saat ini Gubernur di bantu oleh tiga Wakil Gubernur yang menangani Bidang Pemerintahan, Bidang Ekonomi dan Pembangunan, serta Bidang Kesejahteraan Rakyat, seorang Sekretaris Daerah dan Empat Asisten yaitu Asisten Ketataprajaan, Asisten Administrasi Pembangunan, Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi.

Namun tidak seluruh Asisten menempati Gedung Sate. Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi bersama staf menempati Gedung Baru.

Di bagian timur dan barat terdapat dua ruang besar yang akan mengingatkan pada ruang dansa (ball room) yang sering terdapat pada bangunan masyarakat Eropa. Ruangan ini lebih sering dikenal dengan sebutan aula barat dan aula timur, sering digunakan kegiatan resmi. Di sekeliling kedua aula ini terdapat ruangan-ruangan yang di tempati beberapa Biro dengan Stafnya.

Paling atas terdapat lantai yang disebut Menara Gedung Sate, lantai ini tidak dapat dilihat dari bawah, untuk menuju ke lantai teratas menggunakan Lift atau dengan menaiki tangga kayu.

Kesempurnaan megahnya Gedung Sate dilengkapi dengan Gedung Baru yang mengambil sedikit gaya arsitektur Gedung Sate namun dengan gaya konstektual hasil karya arsitek Ir.Sudibyo yang dibangun tahun 1977 diperuntukkan bagi para Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Lembaga Legislatif Daerah.

Gedung Sate telah menjadi salah satu tujuan objek wisata di kota Bandung. Khusus wisatawan manca negara banyak dari mereka yang sengaja berkunjung karena memiliki keterkaitan emosi maupun history pada Gedung ini. Keterkaitan emosi dan history ini mungkin akan terasa lebih lengkap bila menaiki anak tangga satu per satu yang tersedia menuju menara Gedung Sate. Ada 6 tangga yang harus dilalui dengan masing-masing 10 anak tangga yang harus dinaiki.

Keindahan Gedung Sate dilengkapi dengan taman di sekelilingnya yang terpelihara dengan baik, tidak heran bila taman ini diminati oleh masyarakat kota Bandung dan para wisatawan baik domestik maupun manca negara. Keindahan taman ini sering dijadikan lokasi kegiatan yang bernuansakan kekeluargaan, lokasi shooting video klip musik baik artis lokal maupun artis nasional, lokasi foto keluarga atau foto diri bahkan foto pasangan pengantin.

Khusus pada hari minggu lingkungan halaman Gedung Sate dijadikan pilihan tempat sebagian besar masyarakat untuk bersantai, berfoto-foto bersama rekan, sekadar duduk-duduk menikmati udara segar kota Bandung atau berolahraga ringan.

Membandingkan Gedung Sate dengan bangunan-bangunan pusat pemerintahan (capitol building) di banyak ibu kota negara sepertinya tidak berlebihan. Persamaannya semua dibangun di tengah kompleks hijau dengan menara sentral yang megah. Terlebih dari segi letak gedung sate serta lanskapnya yang relatif mirip dengan Gedung Putih di Washington, DC, Amerika Serikat. Dapat dikatakan Gedung Sate adalah "Gedung Putih"nya kota Bandung.

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Lebih dalam Bangunan Gedung Sate

Properti dan Arsitektur

Mengenal Arsitektur Hindia Baru

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025


Gaya Hindia Baru (bahasa Belanda: Nieuwe Indische Bouwstijl) adalah sebuah gaya arsitektur modern yang digunakan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) antara akhir abad ke-19 hingga sebelum Perang Dunia II abad ke-20. Gaya Hindia Baru pada dasarnya adalah arsitektur modern awal (barat) (misalnya Rasionalisme dan Art Deco), yang menerapkan elemen arsitektur lokal seperti atap yang lebar atau atap yang menonjol sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan iklim tropis Indonesia.

Meskipun Gaya Hindia Baru secara khusus merujuk pada gerakan Rasionalisme Belanda yang muncul di Indonesia pada tahun 1910-an, untuk tujuan mencakup banyak gaya arsitektur yang muncul selama periode modern awal yang singkat, istilah ini digunakan sebagai istilah umum untuk semua gaya arsitektur yang muncul antara akhir abad ke-19 hingga abad ke-20 sebelum Perang Dunia II.

Sejarah

Upaya untuk mensintesiskan arsitektur Belanda dengan arsitektur lokal Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-18. Pemeliharaan yang berat terhadap bangunan-bangunan bergaya Belanda abad ke-17 di daerah tropis telah memaksa Belanda untuk mengikuti contoh dari arsitektur asli Indonesia. Upaya ini pertama kali muncul di rumah-rumah pedesaan Hindia Belanda pada abad ke-18 dan ke-19, sebuah gaya yang secara akademis dikenal sebagai Gaya Indo-Eropa (Indo-Europian) atau Gaya Hindia (Indisch Stijl), juga Gaya Hindia Lama (Oud Indische Stijl) untuk membedakannya dengan gaya yang lebih baru.

Kelahiran Gaya Hindia Baru terkait dengan pengenalan bahan bangunan baru, kebangkitan Modernisme dan pengenalan Undang-Undang Agraria 1870 di Jawa. Undang-undang baru ini membuka Jawa untuk orang asing, memungkinkan mereka untuk mendirikan perusahaan swasta di Hindia Belanda. Jenis bangunan, pengembangan, dan standar baru harus diterapkan di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial, di bawah Departement voor Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum), mengembangkan standar baru untuk konstruksi bangunan seperti rumah sakit, sekolah, balai kota, kantor pos, dan utilitas publik lainnya, untuk mempertimbangkan iklim lokal (tropis) sebagai sarana untuk mengurangi biaya pembangunan dan biaya pemeliharaan bangunan. Salah satu contoh paling awal adalah Kantor Syahbandar di Semarang yang dibangun pada awal abad ke-19.

Yang juga mempengaruhi Gaya Hindia Baru adalah generasi baru arsitek Belanda, yang dilatih di Belanda, yang pergi ke Hindia Belanda untuk memperkenalkan Modernisme. Pada tahun 1910-an, arsitek Belanda mulai bereksperimen dengan bahan baru pada bentuk tradisional Belanda sambil mengembangkan arsitektur yang ramah tropis, menjembatani evolusi arsitektur antara Tradisionalis dan Modernis di Hindia Belanda.

Tahun 1920-an dan 1930-an merupakan masa kemunculan Modernisme di Hindia Belanda. Ciri khasnya adalah atap datar dan bentuk kubus, dengan sedikit pertimbangan terhadap daerah tropis. Ornamen Art Deco terkadang dimasukkan ke dalam desain. Albert Frederik Aalbers adalah salah satu perwakilan dari gerakan Modern di Indonesia sebelum Perang Dunia Kedua. Karyanya dicirikan oleh elevasi yang bersih, fungsionalis, yang sering menampilkan garis lengkung, dan tidak adanya ornamen eksternal dan perangkat dekoratif murni lainnya.

Pada periode yang sama, Nasionalisme diwujudkan dalam pencarian gaya arsitektur baru - yang mencerminkan identitas budaya wilayah tersebut. Beberapa arsitek mulai meredam etos Modernis dengan memasukkan elemen arsitektur asli, sehingga menciptakan gaya arsitektur modern yang khas Indonesia. Maclaine Pont dan Thomas Karsten adalah eksponen terkemuka di sini.

Arsitektur

Istilah Gaya Hindia Baru merujuk secara khusus pada jenis arsitektur yang muncul pada tahun 1910-an di Hindia Belanda. Selama masa transisi singkat di awal abad ke-20, gaya ini hidup berdampingan dengan varian arsitektur Modern lainnya di Hindia Belanda: Art Deco, arsitektur Ekspresionis, Nieuwe Zakelijkheid, dll. Gaya-gaya ini mewakili kemajuan teknologi selama periode singkat sebelum Perang Dunia II.

Gaya Hindia Baru

Di Indonesia, istilah Gaya Hindia Baru adalah istilah yang diterima secara akademis untuk Rasionalisme Belanda. Sama halnya dengan Rasionalisme Belanda, gaya ini merupakan hasil dari upaya untuk mengembangkan solusi baru untuk mengintegrasikan preseden tradisional (klasisisme) dengan kemungkinan teknologi baru. Gaya ini dapat digambarkan sebagai gaya transisi antara Tradisionalis (gaya Kerajaan Hindia Belanda) dan Modernis. Di Belanda, gaya ini sangat dipengaruhi oleh desain Berlage; hal ini juga tercermin di Indonesia.

Secara karakteristik, Gaya Hindia Baru mirip dengan Rasionalisme Belanda dengan penggunaan lengkungan yang terinspirasi dari gaya Romawi dengan tetap menjaga keteraturan bentuk Klasikis tradisional. Bentuknya mulai menunjukkan pendekatan fungsional; dekorasi dikurangi. Perbedaannya dengan versi Barat adalah bahwa di Hindia Belanda, bangunan-bangunannya dicat putih, kontras dengan bata yang dominan seperti di Belanda. Perbedaan lainnya adalah atap atap yang berlebihan yang membentuk overhang yang signifikan yang melindungi bukaan apapun, sebuah gaya yang tidak muncul pada versi Belanda.

Gaya Hindia Baru menggunakan konsep 'fasad ganda' yang diwujudkan dalam galeri tertutup. Galeri tertutup tidak hanya diterapkan di lantai dasar tetapi juga di lantai dua. Fasad ganda melindungi fasad dari curah hujan yang tinggi dan sinar matahari yang kuat, sebuah fitur penting dari desain tropis. Bukaan yang luas dalam bentuk beberapa pintu atau jendela yang tinggi dilakukan untuk memungkinkan ventilasi silang untuk mendinginkan interior.

Art Deco dan Nieuwe Bouwen

Art Deco di Hindia Belanda juga dipengaruhi oleh Art Deco di Belanda. Art Deco berevolusi dari Rasionalisme tipe Berlage sebelumnya. Ciri khasnya adalah warna yang kaya, bentuk geometris yang berani dan ornamen. Bentuknya simetris dan memancarkan kemajuan teknologi dan kemewahan. Salah satu contoh awal Art Deco muncul pada desain Stasiun Semarang Poncol (1914). Contoh bangunan dengan gaya ini adalah bekas kantor pusat KPM karya Ghijsels (1917) dan Jaarbeurs karya Schoemaker (1920). Gedung Sate karya Gerber menunjukkan pertimbangan arsitek lokal dalam bentuk atapnya.

Variasi lain pada periode ini adalah Amsterdam School, bagian dari gerakan internasional Ekspresionisme yang muncul sekitar tahun 1920-an. Popularitas gaya ini tidak seluas di Belanda, namun mempengaruhi detail bangunan di Hindia Belanda. Salah satu bentuk Amsterdam School tampak pada Balai Kota Cirebon (1926) karya J.J. Jiskoot dengan bentuk-bentuk distorsi yang ekspresif yang menjadi ciri khas gaya Amsterdam School.4 Pengaruh Amsterdam School juga tampak pada bangunan-bangunan yang didesain oleh Schoemaker yang sering berkolaborasi dengan para pemahat: Relief ekspresif Grand Preanger Hotel (1929) dan patung-patung di Bandung Jaarbeurs (1920).

Kemudian antara tahun 1920 dan 1940, Art Deco berevolusi menjadi gaya baru yang dikenal di Belanda sebagai Nieuwe Bouwen (Modernisme) atau Fungsionalisme. Gerakan arsitektur baru ini sebagian besar dipengaruhi oleh Bauhaus dari Jerman dan Le Corbusier dari Prancis. Alih-alih menciptakan gaya pada fasad, arsitek menciptakan gaya dalam pengaturan ruang yang jelas dan logis. Preferensi yang digunakan adalah menggunakan bentuk universal seperti kubus atau silinder atau garis horizontal melengkung dan motif bahari yang dikenal sebagai Streamline Moderne di dunia Anglophone.

Industrialisasi dan standarisasi material juga berperan. Albert Aalbers adalah ekspresi paling representatif dari Nieuwe Bouwen di Indonesia, terlihat dari rancangannya untuk Savoy Homann Hotel (1939), Denis Bank (1936), dan "Driekleur" (1937) di Bandung. Di Indonesia, gaya ini dicirikan oleh keterbukaannya, garis-garis fasad yang ramping, dan efek spasial yang kuat pada eksterior dan dinding tirai. Banyak bangunan yang menggunakan variasi Art Deco ini masih ada di Bandung, salah satu koleksi bangunan Streamline Moderne - Art Deco terbesar yang masih ada di dunia.

Contoh lain dari Nieuwe Bouwen di Indonesia adalah karya-karya Cosma Citroen, K. Bos, W. Lemei, Liem Bwan Tjie dan beberapa bangunan dari AIA Bureau of Schoemaker, yaitu Bandung Jaarbeurs, yang ia rancang tidak lama setelah perjalanan studinya ke Amerika, yang jelas-jelas terinspirasi oleh Frank Lloyd Wright. Villa Isola juga menunjukkan pengaruh kuat Nieuwe Bouwen dalam konstruksi rangka baja, jendela baja, dan beton bertulang.

Pada akhir tahun 1920-an, Nieuwe Zakelijkheid ("Objektivitas Baru") menjadi populer di Hindia Belanda. Bentuknya bahkan lebih sederhana dan lebih sederhana dari pendahulunya, menggunakan bentuk dan desain bersudut yang pada dasarnya bebas dari dekorasi. Gaya ini menunjukkan transisi awal ke Gaya Internasional. Contoh paling awal dari hal ini adalah Museum Bank Mandiri (1929), yang dibangun di bawah perencanaan tata ruang yang terencana dengan baik di sekitar alun-alun Stasiun Kota, sebuah contoh perencanaan kota sebelum Perang Dunia II yang benar-benar belum pernah ada di Asia Tenggara dan masih baru. Contoh penting lainnya adalah Balai Kota Palembang (Snuyf, 1928-1931, dijuluki Gedung Ledeng, "gedung tegak lurus") dan Gedung Kantor Pos Kota (Baumgartner, 1929).

Bentuk neo vernakular

Di Belanda, Nieuwe Bouwen yang modernis dan fungsionalis menghadirkan kontras yang mencolok dengan Delft School yang tradisionalis. Delft School di Belanda diekspresikan sebagai arsitektur modern dengan tampilan sederhana yang terinspirasi dari rumah-rumah tua di pedesaan Belanda. Delft School tidak muncul di Indonesia, namun dapat didefinisikan sebagai gaya arsitektur abad ke-20 yang sesuai dengan pertimbangan tropis tradisional - arsitektur Hindia Belanda (Indische architectuur).

Terlepas dari perbedaan yang sangat kontras antara Nieuwe Bouwen dan Indische architectuur, kedua gaya ini sama-sama memiliki semangat untuk mengatasi gaya arsitektur kerajaan dan sisa-sisa simbolis dari penguasa feodal abad ke-19.

Aliran pemikiran dan desain baru ini dengan kuat menerapkan unsur-unsur tradisional dengan menggunakan teknologi abad ke-20 dan prinsip-prinsip arsitektur Modernis dari Eropa muncul terutama pada tahun 1920-an dan 1930-an. Atap-atap pribumi menjadi perhatian khusus dan terdapat banyak perpaduan yang menarik antara bentuk-bentuk lokal dan Eropa serta teknik konstruksi. Ketertarikan kaum Modernis terhadap interaksi dinamis elemen geometris segera dimasukkan ke dalam gaya baru dan mengarah pada eksperimen yang berani yang menggabungkan bentuk-bentuk struktural ini dengan ornamen vernakular tradisional. Thomas Karsten dan Henri Maclaine Pont termasuk di antara para arsitek yang aktif dalam mengembangkan gerakan ini.

Salah satu contohnya adalah bekas kantor perusahaan kereta uap Belanda, Joana Stoomtram Maatschappij, di Semarang karya Thomas Karsten (1930). Denah dasar bangunan satu lantai ini identik dengan Joglo tradisional Jawa: tiang-tiang tinggi menopang atap berpinggul dan bertingkat dua, yang memfasilitasi ventilasi silang pada rongga atap.

Contoh penting dari gerakan ini muncul dalam desain Maclaine Pont untuk aula seremonial Technische Hoogeschool te Bandung (yang kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung). Bangunan ini menampilkan perpaduan eklektik dari berbagai bentuk lokal Indonesia, termasuk arsitektur Danau Toba, kepulauan Mentawai, dan Sunda. Bangunan ini merupakan contoh yang mencolok dari arsitektur tropis yang inovatif. Dengan elevasi yang memanjang dan sejajar dengan sumbu timur-barat, bangunan ini dilengkapi dengan ventilasi alami yang efektif. Orientasi ini juga meminimalkan efek radiasi matahari karena matahari pagi dan sore hanya menyinari fasad ujung bangunan yang sempit. Galeri eksternal bangunan menciptakan fasad ganda yang melindungi interior dari sinar matahari langsung, sementara menara pendingin di kedua ujungnya memastikan ventilasi yang baik.

Contoh lainnya adalah wisma Bataafsche Petroleum Maatschappij di Brastagi (1939) karya Herman van den Houvel dari biro arsitektur Langereis & Co.

Arsitek-arsitek pribumi pada masa kolonial

Pada masa kolonial, sudah ada arsitek-arsitek pribumi Indonesia. Lulus dari Technische Hoogeschool di Bandung, para arsitek pribumi ini bekerja untuk arsitek Belanda, atau mendirikan praktik desain sendiri. Di antaranya adalah Anwari dan Sukarno (yang kemudian menjadi presiden pertama Republik Indonesia) yang belajar arsitektur di Technische Hoogeschool Bandung pada tahun 1920. Insinyur sipil Roosseno, yang berkolaborasi sebentar dengan Sukarno pada tahun 1931, menjalankan perusahaan konstruksinya sendiri dari tahun 1932.

Salah satu desain pertama yang berasal dari arsitek asli Indonesia adalah rumah Dr. Han Tiauw Tjong di Semarang (1932), yang dirancang oleh arsitek Liem Bwan Tjie. Liem Bwan Tjie berasal dari keluarga Tionghoa Peranakan di Semarang. Selain mendesain rumah pribadi, rumah dinas dan kantor, Liem Bwan Tjie juga membuat desain untuk fasilitas umum seperti bioskop, kolam renang, rumah sakit dan tugu makam. Salah satu tugas terbesarnya adalah kompleks rumah sakit di Karang Panjang, Kota Ambon (1963-1964).

Arsitek Indonesia lainnya yang aktif pada masa itu adalah Sudarsono, Soehamir dan Friedrich Silaban. Silaban bekerja sebagai Kepala Jawatan di Pontianak, Kalimantan Barat dari tahun 1937, kemudian diangkat sebagai Direktur Pekerjaan Kota Bogor pada tahun 1942 pada awal Perang Dunia. Beliau menyelesaikan jabatan ini hingga tahun 1965, diselingi pada tahun 1951 untuk belajar arsitektur selama satu tahun di Academie van Bouwkunst di Amsterdam. Dia akan menjadi salah satu arsitek paling terkenal di Indonesia ketika rancangannya untuk masjid terbesar di Asia Tenggara terpilih.

Periode pasca-kolonial

Setelah tahun 1949, hanya sedikit arsitek dan perencana kota yang berasal dari Eropa atau yang dilatih di Eropa yang masih tinggal di Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Beberapa arsitek yang tersisa, seperti Blankenberg, Kreisler, Liem dan Lüning, merancang kota dan bangunan baru bersama rekan-rekan mereka dari Indonesia. Setelah masalah Irian Barat, semua orang Belanda yang tidak memilih kewarganegaraan Indonesia dipulangkan pada tahun 1957. Beberapa firma arsitektur Belanda ditutup atau dinasionalisasi sebagai akibat dari kebijakan ini. Salah satu dari beberapa arsitek yang tersisa yang memilih kewarganegaraan Indonesia adalah Han Groenewegen, yang membantu Silaban dalam mendesain Bank Indonesia di Jalan Thamrin, Jakarta.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Arsitektur Hindia Baru
« First Previous page 5 of 12 Next Last »