Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025
Museum Sejarah Jakarta (bahasa Indonesia: Museum Sejarah Jakarta), juga dikenal sebagai Museum Fatahillah atau Museum Batavia, terletak di Kota Tua, Jakarta, Indonesia. Bangunan ini dibangun pada tahun 1710 sebagai Stadhuis (balai kota) Batavia. Museum Sejarah Jakarta dibuka pada tahun 1974 dan menampilkan benda-benda dari periode prasejarah wilayah kota, pendirian Jayakarta pada tahun 1527, dan periode penjajahan Belanda dari abad ke-16 hingga Kemerdekaan Indonesia pada tahun 1945.
Museum ini terletak di sisi selatan Alun-alun Fatahillah (bekas alun-alun kota Batavia), berdekatan dengan Museum Wayang dan Museum Seni Rupa dan Keramik. Bangunan ini diyakini meniru model Istana Dam.
Sejarah
Bangunan tempat museum ini berdiri dulunya adalah balai kota Batavia, Stadhuis. Stadhuis pertama selesai dibangun pada tahun 1627 di lokasi bangunan yang sekarang. Pembangunan gedung ini dilanjutkan pada tahun 1649. Pada tahun 1707, bangunan ini direnovasi secara keseluruhan, yang menghasilkan bangunan yang sekarang. Beberapa fitur bangunan yang sekarang berasal dari tahun ini, termasuk serambi. Renovasi selesai pada tahun 1710 dan gedung ini diresmikan oleh Gubernur Jenderal Abraham van Riebeeck sebagai kantor pusat administratif Perusahaan Hindia Timur Belanda.
Setelah kebangkrutan VOC, gedung ini diambil alih oleh pemerintah kolonial Belanda dan digunakan sebagai balai kota pemerintah kolonial.
Seiring dengan perluasan kota ke arah selatan, fungsi gedung sebagai balai kota (gemeentehuis Belanda) berakhir pada tahun 1913.
Setelah deklarasi Indonesia pada tahun 1945, gedung ini digunakan sebagai kantor gubernur Jawa Barat hingga tahun 1961, ketika Jakarta dinyatakan sebagai daerah otonom. Setelah itu, gedung ini digunakan sebagai markas KODIM 0503 Jakarta Barat.
Pada tahun 1970, Lapangan Fatahillah ditetapkan sebagai Cagar Budaya. Upaya ini merupakan awal dari pengembangan kawasan bersejarah Kota Jakarta yang dilakukan oleh Pemerintah DKI Jakarta. Museum Sejarah Jakarta diresmikan sebagai museum pada tanggal 30 Maret 1974 sebagai pusat koleksi, konservasi dan penelitian segala macam benda cagar budaya yang berkaitan dengan sejarah Kota Jakarta.
Bangunan ini terletak di depan sebuah lapangan umum, yang pada masa lalu dikenal dengan nama Stadhuisplein, Alun-alun Balai Kota. Alun-alun tersebut kini dikenal sebagai Fatahillah Square (bahasa Indonesia: Taman Fatahillah). Di tengah alun-alun terdapat air mancur yang digunakan sebagai sumber air pada masa penjajahan. Di alun-alun ini juga terdapat meriam peninggalan Portugis (dikenal dengan nama Meriam Si Jagur) dengan ornamen tangan yang menunjukkan gerakan fico, yang dipercaya oleh masyarakat setempat dapat meningkatkan kesuburan wanita. Alun-alun ini juga digunakan sebagai tempat eksekusi.
Bangunan ini berskala besar dengan balok kayu dan lantai kayu yang masif. Bangunan ini memiliki 37 ruangan berornamen. Ada juga beberapa sel yang terletak di bawah serambi depan yang digunakan sebagai penjara bawah tanah, yang berfungsi hingga tahun 1846. Seorang pejuang kemerdekaan Jawa, Pangeran Diponegoro, yang ditangkap secara diam-diam, dipenjara di sini pada tahun 1830 sebelum akhirnya dibuang ke Manado, Sulawesi Utara.
Bangunan ini meniru Paleis op de Dam di Amsterdam. Kemiripannya antara lain kubah kubah yang memahkotai bangunan ini dan proporsi khas balai kota Belanda abad ke-17.
Koleksi
Museum Sejarah Jakarta memiliki koleksi sekitar 23.500 benda, beberapa di antaranya diwarisi dari de Oude Bataviasche Museum (sekarang Museum Wayang). Koleksi tersebut meliputi benda-benda dari Perusahaan Hindia Belanda, peta bersejarah, lukisan, keramik, mebel, dan benda-benda arkeologi dari zaman prasejarah seperti prasasti dan pedang kuno. Museum Sejarah Jakarta juga memiliki koleksi mebel bergaya Betawi yang paling kaya dari abad ke-17 hingga abad ke-19. Koleksi-koleksi tersebut terbagi dalam beberapa ruangan seperti Ruang Prasejarah Jakarta, Ruang Tarumanegara, Ruang Jayakarta, Ruang Fatahillah, Ruang Sultan Agung, dan Ruang M.H. Thamrin.
Museum ini juga memiliki replika Prasasti Tugu (yang aslinya ada di Museum Nasional) dari zaman Raja Purnawarman, yang merupakan bukti bahwa pusat Kerajaan Tarumanegara terletak di sekitar pelabuhan Tanjung Priok di pesisir Jakarta. Ada juga replika peta abad ke-16 dari Monumen Padrao Portugis, sebuah bukti sejarah Pelabuhan Sunda Kelapa kuno.
Konservasi
Museum ini sempat ditutup sementara pada bulan Juli 2011 untuk konservasi. Kegiatan konservasi yang dilakukan dengan bantuan dari pemerintah Belanda dilakukan mulai tahun 2012 dan renovasi selesai pada bulan Februari 2015. Sebuah "Ruang Konservasi" baru ditambahkan selama renovasi, yang menampilkan visi dan misi JOTR (Jakarta Old Town Reborn) untuk masa depan Batavia Lama.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025
Gedung Sate (bahasa Sunda: ᮌᮨᮓᮧᮀ ᮞᮒᮦ, translit. Gedong Saté) merupakan gedung kantor Gubernur Jawa Barat. Gedung ini memiliki ciri khas berupa ornamen tusuk sate pada menara sentralnya, yang telah lama menjadi penanda atau markah tanah Kota Bandung yang tidak saja dikenal masyarakat di Jawa Barat, tetapi juga seluruh Indonesia bahkan model bangunan itu dijadikan pertanda bagi beberapa bangunan dan tanda-tanda kota di Jawa Barat. Misalnya bentuk gedung bagian depan Stasiun Kereta Api Tasikmalaya. Gedung berwarna putih ini mulai dibangun pada tahun 1920 dan masih berdiri kokoh hingga saat ini.
Gedung Sate yang pada masa Hindia Belanda dibangun sebagai kantor Departemen Badan Usaha Milik Negara Hindia Belanda (Belanda: Department van Gouvernementsbedrijven), peletakan batu pertama dilakukan oleh Johanna Catherina Coops, puteri sulung walikota Bandung, Bertus Coops dan Petronella Roelofsen, mewakili Gubernur Jenderal di Batavia, J.P. Graaf van Limburg Stirum pada tanggal 27 Juli 1920, merupakan hasil perencanaan sebuah tim yang terdiri dari Ir.J.Gerber, arsitek muda kenamaan lulusan Fakultas Teknik Delft Nederland, Ir. Eh. De Roo dan Ir. G. Hendriks serta pihak Gemeente van Bandoeng, diketuai Kol. Pur. VL. Slors dengan melibatkan 2000 pekerja, 150 orang di antaranya pemahat, atau ahli bongpay pengukir batu nisan dan pengukir kayu berkebangsaan China yang berasal dari Konghu atau Kanton, dibantu tukang batu, kuli aduk dan peladen yang berasal dari penduduk Kampung Sekeloa, Kampung Coblong Dago, Kampung Gandok dan Kampung Cibarengkok, yang sebelumnya mereka menggarap Gedong Sirap (Kampus ITB) dan Gedong Papak (Balai Kota Bandung).
Selama kurun waktu 4 tahun pada bulan September 1924 berhasil diselesaikan pembangunan induk bangunan utama Gouverments Bedrijven, termasuk kantor pusat PTT (Pos, Telepon dan Telegraf) dan Perpustakaan. Perpustakaan Gedung Sate memuat 250.000 buku yang didapat dari perusahaan kereta api, dinas pos, telegraf dan telepon, dan dinas pertambangan. Perpustakaan ini menjadi perpustakan terbesar di Hindia Belanda untuk kategori ilmu pengetahuan. Sementara untuk kategori umum, perpustakaan Gedung Sate menjadi yang terbesar kedua setelah perpustakaan “Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappen”.
Arsitektur Gedung Sate merupakan hasil karya arsitek Ir. J.Gerber dan kelompoknya yang tidak terlepas dari masukan maestro arsitek Belanda Dr.Hendrik Petrus Berlage, yang bernuansakan wajah arsitektur tradisional Nusantara.
Banyak kalangan arsitek dan ahli bangunan menyatakan Gedung Sate adalah bangunan monumental yang anggun mempesona dengan gaya arsitektur unik mengarah kepada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa, (Indo Europeeschen architectuur stijl), sehingga tidak mustahil bila keanggunan Candi Borobudur ikut mewarnai Gedung Sate.
Beberapa pendapat tentang megahnya Gedung Sate di antaranya Cor Pashier dan Jan Wittenberg dua arsitek Belanda, yang mengatakan "langgam arsitektur Gedung Sate adalah gaya hasil eksperimen sang arsitek yang mengarah pada bentuk gaya arsitektur Indo-Eropa".
D. Ruhl dalam bukunya Bandoeng en haar Hoogvlakte 1952, "Gedung Sate adalah bangunan terindah di Indonesia".
Ir. H.P.Berlage, sewaktu kunjungan ke Gedung Sate April 1923, menyatakan, "Gedung Sate adalah suatu karya arsitektur besar, yang berhasil memadukan langgam timur dan barat secara harmonis". Seperti halnya gaya arsitektur Italia pada masa renaiscance terutama pada bangunan sayap timur. Sedangkan menara bertingkat di tengah bangunan mirip atap meru atau pagoda. Masih banyak lagi pendapat arsitek Indonesia yang menyatakan kemegahan Gedung Sate misalnya Slamet Wirasonjaya, dan Ir. Harnyoto Kunto.
Kuat dan utuhnya Gedung Sate hingga kini, tidak terlepas dari bahan dan teknis konstruksi yang dipakai. Dinding Gedung Sate terbuat dari kepingan batu ukuran besar (1 × 1 × 2 m) yang diambil dari kawasan perbukitan batu di Bandung timur sekitar Arcamanik dan Gunung Manglayang. Konstruksi bangunan Gedung Sate menggunakan cara konvensional yang profesional dengan memperhatikan standar teknik.
Gedung Sate berdiri di atas lahan seluas 27.990,859 m², luas bangunan 10.877,734 m² terdiri dari Basement 3.039,264 m², Lantai I 4.062,553 m², teras lantai I 212,976 m², Lantai II 3.023,796 m², teras lantai II 212.976 m², menara 121 m² dan teras menara 205,169 m².
Gerber sendiri memadukan beberapa aliran arsitektur ke dalam rancangannya. Untuk jendela, Gerber mengambil tema Moor Spanyol, sedangkan untuk bangunannya dalah Rennaisance Italia. Khusus untuk menara, Gerber memasukkan aliran Asia, yaitu gaya atap pura Bali atau pagoda di Thailand. Di puncaknya terdapat "tusuk sate" dengan 6 buah ornamen sate (versi lain menyebutkan jambu air atau melati), yang melambangkan 6 juta gulden - jumlah biaya yang digunakan untuk membangun Gedung Sate. Ornamen yang terbuat dari batu, terletak di atas pintu utama Gedung Sate, sering dikaitkan dengan candi Borobudur karena bentuknya yang serupa.
Fasade (tampak depan) Gedung Sate ternyata sangat diperhitungkan. Dengan mengikuti sumbu poros utara-selatan (yang juga diterapkan di Gedung Pakuan, yang menghadap Gunung Malabar di selatan), Gedung Sate justru sengaja dibangun menghadap Gunung Tangkuban Perahu di sebelah utara.
Dalam perjalanannya semula diperuntukkan bagi Departemen Lalulintas dan Pekerjaan Umum, bahkan menjadi ibukota Hindia Belanda, sehingga digunakan oleh Jawatan Pekerjaan Umum. Tanggal 3 Desember 1945 terjadi peristiwa yang memakan korban tujuh orang pemuda yang mempertahankan Gedung Sate dari serangan pasukan Gurkha. Untuk mengenang ke tujuh pemuda itu, dibuatkan tugu dari batu yang diletakkan di belakang halaman Gedung Sate. Atas perintah Menteri Pekerjaan Umum pada tanggal 3 Desember 1970 Tugu tersebut dipindahkan ke halaman depan Gedung Sate.
Gedung Sate sejak tahun 1980 dikenal dengan sebutan Kantor Gubernur karena sebagai pusat kegiatan Pemerintah Provinsi Jawa Barat, yang sebelumnya Pemerintahaan Provinsi Jawa Barat menempati Gedung Kerta Mukti di Jalan Braga Bandung.
Ruang kerja Gubernur terdapat di lantai II bersama dengan ruang kerja Wakil Gubernur, Sekretaris Daerah, Para Assisten dan Biro. Saat ini Gubernur di bantu oleh tiga Wakil Gubernur yang menangani Bidang Pemerintahan, Bidang Ekonomi dan Pembangunan, serta Bidang Kesejahteraan Rakyat, seorang Sekretaris Daerah dan Empat Asisten yaitu Asisten Ketataprajaan, Asisten Administrasi Pembangunan, Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi.
Namun tidak seluruh Asisten menempati Gedung Sate. Asisten Kesejahteraan Sosial dan Asisten Administrasi bersama staf menempati Gedung Baru.
Di bagian timur dan barat terdapat dua ruang besar yang akan mengingatkan pada ruang dansa (ball room) yang sering terdapat pada bangunan masyarakat Eropa. Ruangan ini lebih sering dikenal dengan sebutan aula barat dan aula timur, sering digunakan kegiatan resmi. Di sekeliling kedua aula ini terdapat ruangan-ruangan yang di tempati beberapa Biro dengan Stafnya.
Paling atas terdapat lantai yang disebut Menara Gedung Sate, lantai ini tidak dapat dilihat dari bawah, untuk menuju ke lantai teratas menggunakan Lift atau dengan menaiki tangga kayu.
Kesempurnaan megahnya Gedung Sate dilengkapi dengan Gedung Baru yang mengambil sedikit gaya arsitektur Gedung Sate namun dengan gaya konstektual hasil karya arsitek Ir.Sudibyo yang dibangun tahun 1977 diperuntukkan bagi para Pimpinan dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Jawa Barat dalam melaksanakan tugas dan fungsinya sebagai Lembaga Legislatif Daerah.
Gedung Sate telah menjadi salah satu tujuan objek wisata di kota Bandung. Khusus wisatawan manca negara banyak dari mereka yang sengaja berkunjung karena memiliki keterkaitan emosi maupun history pada Gedung ini. Keterkaitan emosi dan history ini mungkin akan terasa lebih lengkap bila menaiki anak tangga satu per satu yang tersedia menuju menara Gedung Sate. Ada 6 tangga yang harus dilalui dengan masing-masing 10 anak tangga yang harus dinaiki.
Keindahan Gedung Sate dilengkapi dengan taman di sekelilingnya yang terpelihara dengan baik, tidak heran bila taman ini diminati oleh masyarakat kota Bandung dan para wisatawan baik domestik maupun manca negara. Keindahan taman ini sering dijadikan lokasi kegiatan yang bernuansakan kekeluargaan, lokasi shooting video klip musik baik artis lokal maupun artis nasional, lokasi foto keluarga atau foto diri bahkan foto pasangan pengantin.
Khusus pada hari minggu lingkungan halaman Gedung Sate dijadikan pilihan tempat sebagian besar masyarakat untuk bersantai, berfoto-foto bersama rekan, sekadar duduk-duduk menikmati udara segar kota Bandung atau berolahraga ringan.
Membandingkan Gedung Sate dengan bangunan-bangunan pusat pemerintahan (capitol building) di banyak ibu kota negara sepertinya tidak berlebihan. Persamaannya semua dibangun di tengah kompleks hijau dengan menara sentral yang megah. Terlebih dari segi letak gedung sate serta lanskapnya yang relatif mirip dengan Gedung Putih di Washington, DC, Amerika Serikat. Dapat dikatakan Gedung Sate adalah "Gedung Putih"nya kota Bandung.
Sumber: https://id.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025
Gaya Hindia Baru (bahasa Belanda: Nieuwe Indische Bouwstijl) adalah sebuah gaya arsitektur modern yang digunakan di Hindia Belanda (sekarang Indonesia) antara akhir abad ke-19 hingga sebelum Perang Dunia II abad ke-20. Gaya Hindia Baru pada dasarnya adalah arsitektur modern awal (barat) (misalnya Rasionalisme dan Art Deco), yang menerapkan elemen arsitektur lokal seperti atap yang lebar atau atap yang menonjol sebagai upaya untuk menyesuaikan diri dengan iklim tropis Indonesia.
Meskipun Gaya Hindia Baru secara khusus merujuk pada gerakan Rasionalisme Belanda yang muncul di Indonesia pada tahun 1910-an, untuk tujuan mencakup banyak gaya arsitektur yang muncul selama periode modern awal yang singkat, istilah ini digunakan sebagai istilah umum untuk semua gaya arsitektur yang muncul antara akhir abad ke-19 hingga abad ke-20 sebelum Perang Dunia II.
Sejarah
Upaya untuk mensintesiskan arsitektur Belanda dengan arsitektur lokal Indonesia sudah dimulai sejak abad ke-18. Pemeliharaan yang berat terhadap bangunan-bangunan bergaya Belanda abad ke-17 di daerah tropis telah memaksa Belanda untuk mengikuti contoh dari arsitektur asli Indonesia. Upaya ini pertama kali muncul di rumah-rumah pedesaan Hindia Belanda pada abad ke-18 dan ke-19, sebuah gaya yang secara akademis dikenal sebagai Gaya Indo-Eropa (Indo-Europian) atau Gaya Hindia (Indisch Stijl), juga Gaya Hindia Lama (Oud Indische Stijl) untuk membedakannya dengan gaya yang lebih baru.
Kelahiran Gaya Hindia Baru terkait dengan pengenalan bahan bangunan baru, kebangkitan Modernisme dan pengenalan Undang-Undang Agraria 1870 di Jawa. Undang-undang baru ini membuka Jawa untuk orang asing, memungkinkan mereka untuk mendirikan perusahaan swasta di Hindia Belanda. Jenis bangunan, pengembangan, dan standar baru harus diterapkan di Hindia Belanda. Pemerintah kolonial, di bawah Departement voor Burgerlijke Openbare Werken (Departemen Pekerjaan Umum), mengembangkan standar baru untuk konstruksi bangunan seperti rumah sakit, sekolah, balai kota, kantor pos, dan utilitas publik lainnya, untuk mempertimbangkan iklim lokal (tropis) sebagai sarana untuk mengurangi biaya pembangunan dan biaya pemeliharaan bangunan. Salah satu contoh paling awal adalah Kantor Syahbandar di Semarang yang dibangun pada awal abad ke-19.
Yang juga mempengaruhi Gaya Hindia Baru adalah generasi baru arsitek Belanda, yang dilatih di Belanda, yang pergi ke Hindia Belanda untuk memperkenalkan Modernisme. Pada tahun 1910-an, arsitek Belanda mulai bereksperimen dengan bahan baru pada bentuk tradisional Belanda sambil mengembangkan arsitektur yang ramah tropis, menjembatani evolusi arsitektur antara Tradisionalis dan Modernis di Hindia Belanda.
Tahun 1920-an dan 1930-an merupakan masa kemunculan Modernisme di Hindia Belanda. Ciri khasnya adalah atap datar dan bentuk kubus, dengan sedikit pertimbangan terhadap daerah tropis. Ornamen Art Deco terkadang dimasukkan ke dalam desain. Albert Frederik Aalbers adalah salah satu perwakilan dari gerakan Modern di Indonesia sebelum Perang Dunia Kedua. Karyanya dicirikan oleh elevasi yang bersih, fungsionalis, yang sering menampilkan garis lengkung, dan tidak adanya ornamen eksternal dan perangkat dekoratif murni lainnya.
Pada periode yang sama, Nasionalisme diwujudkan dalam pencarian gaya arsitektur baru - yang mencerminkan identitas budaya wilayah tersebut. Beberapa arsitek mulai meredam etos Modernis dengan memasukkan elemen arsitektur asli, sehingga menciptakan gaya arsitektur modern yang khas Indonesia. Maclaine Pont dan Thomas Karsten adalah eksponen terkemuka di sini.
Arsitektur
Istilah Gaya Hindia Baru merujuk secara khusus pada jenis arsitektur yang muncul pada tahun 1910-an di Hindia Belanda. Selama masa transisi singkat di awal abad ke-20, gaya ini hidup berdampingan dengan varian arsitektur Modern lainnya di Hindia Belanda: Art Deco, arsitektur Ekspresionis, Nieuwe Zakelijkheid, dll. Gaya-gaya ini mewakili kemajuan teknologi selama periode singkat sebelum Perang Dunia II.
Gaya Hindia Baru
Di Indonesia, istilah Gaya Hindia Baru adalah istilah yang diterima secara akademis untuk Rasionalisme Belanda. Sama halnya dengan Rasionalisme Belanda, gaya ini merupakan hasil dari upaya untuk mengembangkan solusi baru untuk mengintegrasikan preseden tradisional (klasisisme) dengan kemungkinan teknologi baru. Gaya ini dapat digambarkan sebagai gaya transisi antara Tradisionalis (gaya Kerajaan Hindia Belanda) dan Modernis. Di Belanda, gaya ini sangat dipengaruhi oleh desain Berlage; hal ini juga tercermin di Indonesia.
Secara karakteristik, Gaya Hindia Baru mirip dengan Rasionalisme Belanda dengan penggunaan lengkungan yang terinspirasi dari gaya Romawi dengan tetap menjaga keteraturan bentuk Klasikis tradisional. Bentuknya mulai menunjukkan pendekatan fungsional; dekorasi dikurangi. Perbedaannya dengan versi Barat adalah bahwa di Hindia Belanda, bangunan-bangunannya dicat putih, kontras dengan bata yang dominan seperti di Belanda. Perbedaan lainnya adalah atap atap yang berlebihan yang membentuk overhang yang signifikan yang melindungi bukaan apapun, sebuah gaya yang tidak muncul pada versi Belanda.
Gaya Hindia Baru menggunakan konsep 'fasad ganda' yang diwujudkan dalam galeri tertutup. Galeri tertutup tidak hanya diterapkan di lantai dasar tetapi juga di lantai dua. Fasad ganda melindungi fasad dari curah hujan yang tinggi dan sinar matahari yang kuat, sebuah fitur penting dari desain tropis. Bukaan yang luas dalam bentuk beberapa pintu atau jendela yang tinggi dilakukan untuk memungkinkan ventilasi silang untuk mendinginkan interior.
Art Deco dan Nieuwe Bouwen
Art Deco di Hindia Belanda juga dipengaruhi oleh Art Deco di Belanda. Art Deco berevolusi dari Rasionalisme tipe Berlage sebelumnya. Ciri khasnya adalah warna yang kaya, bentuk geometris yang berani dan ornamen. Bentuknya simetris dan memancarkan kemajuan teknologi dan kemewahan. Salah satu contoh awal Art Deco muncul pada desain Stasiun Semarang Poncol (1914). Contoh bangunan dengan gaya ini adalah bekas kantor pusat KPM karya Ghijsels (1917) dan Jaarbeurs karya Schoemaker (1920). Gedung Sate karya Gerber menunjukkan pertimbangan arsitek lokal dalam bentuk atapnya.
Variasi lain pada periode ini adalah Amsterdam School, bagian dari gerakan internasional Ekspresionisme yang muncul sekitar tahun 1920-an. Popularitas gaya ini tidak seluas di Belanda, namun mempengaruhi detail bangunan di Hindia Belanda. Salah satu bentuk Amsterdam School tampak pada Balai Kota Cirebon (1926) karya J.J. Jiskoot dengan bentuk-bentuk distorsi yang ekspresif yang menjadi ciri khas gaya Amsterdam School.4 Pengaruh Amsterdam School juga tampak pada bangunan-bangunan yang didesain oleh Schoemaker yang sering berkolaborasi dengan para pemahat: Relief ekspresif Grand Preanger Hotel (1929) dan patung-patung di Bandung Jaarbeurs (1920).
Kemudian antara tahun 1920 dan 1940, Art Deco berevolusi menjadi gaya baru yang dikenal di Belanda sebagai Nieuwe Bouwen (Modernisme) atau Fungsionalisme. Gerakan arsitektur baru ini sebagian besar dipengaruhi oleh Bauhaus dari Jerman dan Le Corbusier dari Prancis. Alih-alih menciptakan gaya pada fasad, arsitek menciptakan gaya dalam pengaturan ruang yang jelas dan logis. Preferensi yang digunakan adalah menggunakan bentuk universal seperti kubus atau silinder atau garis horizontal melengkung dan motif bahari yang dikenal sebagai Streamline Moderne di dunia Anglophone.
Industrialisasi dan standarisasi material juga berperan. Albert Aalbers adalah ekspresi paling representatif dari Nieuwe Bouwen di Indonesia, terlihat dari rancangannya untuk Savoy Homann Hotel (1939), Denis Bank (1936), dan "Driekleur" (1937) di Bandung. Di Indonesia, gaya ini dicirikan oleh keterbukaannya, garis-garis fasad yang ramping, dan efek spasial yang kuat pada eksterior dan dinding tirai. Banyak bangunan yang menggunakan variasi Art Deco ini masih ada di Bandung, salah satu koleksi bangunan Streamline Moderne - Art Deco terbesar yang masih ada di dunia.
Contoh lain dari Nieuwe Bouwen di Indonesia adalah karya-karya Cosma Citroen, K. Bos, W. Lemei, Liem Bwan Tjie dan beberapa bangunan dari AIA Bureau of Schoemaker, yaitu Bandung Jaarbeurs, yang ia rancang tidak lama setelah perjalanan studinya ke Amerika, yang jelas-jelas terinspirasi oleh Frank Lloyd Wright. Villa Isola juga menunjukkan pengaruh kuat Nieuwe Bouwen dalam konstruksi rangka baja, jendela baja, dan beton bertulang.
Pada akhir tahun 1920-an, Nieuwe Zakelijkheid ("Objektivitas Baru") menjadi populer di Hindia Belanda. Bentuknya bahkan lebih sederhana dan lebih sederhana dari pendahulunya, menggunakan bentuk dan desain bersudut yang pada dasarnya bebas dari dekorasi. Gaya ini menunjukkan transisi awal ke Gaya Internasional. Contoh paling awal dari hal ini adalah Museum Bank Mandiri (1929), yang dibangun di bawah perencanaan tata ruang yang terencana dengan baik di sekitar alun-alun Stasiun Kota, sebuah contoh perencanaan kota sebelum Perang Dunia II yang benar-benar belum pernah ada di Asia Tenggara dan masih baru. Contoh penting lainnya adalah Balai Kota Palembang (Snuyf, 1928-1931, dijuluki Gedung Ledeng, "gedung tegak lurus") dan Gedung Kantor Pos Kota (Baumgartner, 1929).
Bentuk neo vernakular
Di Belanda, Nieuwe Bouwen yang modernis dan fungsionalis menghadirkan kontras yang mencolok dengan Delft School yang tradisionalis. Delft School di Belanda diekspresikan sebagai arsitektur modern dengan tampilan sederhana yang terinspirasi dari rumah-rumah tua di pedesaan Belanda. Delft School tidak muncul di Indonesia, namun dapat didefinisikan sebagai gaya arsitektur abad ke-20 yang sesuai dengan pertimbangan tropis tradisional - arsitektur Hindia Belanda (Indische architectuur).
Terlepas dari perbedaan yang sangat kontras antara Nieuwe Bouwen dan Indische architectuur, kedua gaya ini sama-sama memiliki semangat untuk mengatasi gaya arsitektur kerajaan dan sisa-sisa simbolis dari penguasa feodal abad ke-19.
Aliran pemikiran dan desain baru ini dengan kuat menerapkan unsur-unsur tradisional dengan menggunakan teknologi abad ke-20 dan prinsip-prinsip arsitektur Modernis dari Eropa muncul terutama pada tahun 1920-an dan 1930-an. Atap-atap pribumi menjadi perhatian khusus dan terdapat banyak perpaduan yang menarik antara bentuk-bentuk lokal dan Eropa serta teknik konstruksi. Ketertarikan kaum Modernis terhadap interaksi dinamis elemen geometris segera dimasukkan ke dalam gaya baru dan mengarah pada eksperimen yang berani yang menggabungkan bentuk-bentuk struktural ini dengan ornamen vernakular tradisional. Thomas Karsten dan Henri Maclaine Pont termasuk di antara para arsitek yang aktif dalam mengembangkan gerakan ini.
Salah satu contohnya adalah bekas kantor perusahaan kereta uap Belanda, Joana Stoomtram Maatschappij, di Semarang karya Thomas Karsten (1930). Denah dasar bangunan satu lantai ini identik dengan Joglo tradisional Jawa: tiang-tiang tinggi menopang atap berpinggul dan bertingkat dua, yang memfasilitasi ventilasi silang pada rongga atap.
Contoh penting dari gerakan ini muncul dalam desain Maclaine Pont untuk aula seremonial Technische Hoogeschool te Bandung (yang kemudian menjadi Institut Teknologi Bandung). Bangunan ini menampilkan perpaduan eklektik dari berbagai bentuk lokal Indonesia, termasuk arsitektur Danau Toba, kepulauan Mentawai, dan Sunda. Bangunan ini merupakan contoh yang mencolok dari arsitektur tropis yang inovatif. Dengan elevasi yang memanjang dan sejajar dengan sumbu timur-barat, bangunan ini dilengkapi dengan ventilasi alami yang efektif. Orientasi ini juga meminimalkan efek radiasi matahari karena matahari pagi dan sore hanya menyinari fasad ujung bangunan yang sempit. Galeri eksternal bangunan menciptakan fasad ganda yang melindungi interior dari sinar matahari langsung, sementara menara pendingin di kedua ujungnya memastikan ventilasi yang baik.
Contoh lainnya adalah wisma Bataafsche Petroleum Maatschappij di Brastagi (1939) karya Herman van den Houvel dari biro arsitektur Langereis & Co.
Arsitek-arsitek pribumi pada masa kolonial
Pada masa kolonial, sudah ada arsitek-arsitek pribumi Indonesia. Lulus dari Technische Hoogeschool di Bandung, para arsitek pribumi ini bekerja untuk arsitek Belanda, atau mendirikan praktik desain sendiri. Di antaranya adalah Anwari dan Sukarno (yang kemudian menjadi presiden pertama Republik Indonesia) yang belajar arsitektur di Technische Hoogeschool Bandung pada tahun 1920. Insinyur sipil Roosseno, yang berkolaborasi sebentar dengan Sukarno pada tahun 1931, menjalankan perusahaan konstruksinya sendiri dari tahun 1932.
Salah satu desain pertama yang berasal dari arsitek asli Indonesia adalah rumah Dr. Han Tiauw Tjong di Semarang (1932), yang dirancang oleh arsitek Liem Bwan Tjie. Liem Bwan Tjie berasal dari keluarga Tionghoa Peranakan di Semarang. Selain mendesain rumah pribadi, rumah dinas dan kantor, Liem Bwan Tjie juga membuat desain untuk fasilitas umum seperti bioskop, kolam renang, rumah sakit dan tugu makam. Salah satu tugas terbesarnya adalah kompleks rumah sakit di Karang Panjang, Kota Ambon (1963-1964).
Arsitek Indonesia lainnya yang aktif pada masa itu adalah Sudarsono, Soehamir dan Friedrich Silaban. Silaban bekerja sebagai Kepala Jawatan di Pontianak, Kalimantan Barat dari tahun 1937, kemudian diangkat sebagai Direktur Pekerjaan Kota Bogor pada tahun 1942 pada awal Perang Dunia. Beliau menyelesaikan jabatan ini hingga tahun 1965, diselingi pada tahun 1951 untuk belajar arsitektur selama satu tahun di Academie van Bouwkunst di Amsterdam. Dia akan menjadi salah satu arsitek paling terkenal di Indonesia ketika rancangannya untuk masjid terbesar di Asia Tenggara terpilih.
Periode pasca-kolonial
Setelah tahun 1949, hanya sedikit arsitek dan perencana kota yang berasal dari Eropa atau yang dilatih di Eropa yang masih tinggal di Republik Indonesia yang baru saja merdeka. Beberapa arsitek yang tersisa, seperti Blankenberg, Kreisler, Liem dan Lüning, merancang kota dan bangunan baru bersama rekan-rekan mereka dari Indonesia. Setelah masalah Irian Barat, semua orang Belanda yang tidak memilih kewarganegaraan Indonesia dipulangkan pada tahun 1957. Beberapa firma arsitektur Belanda ditutup atau dinasionalisasi sebagai akibat dari kebijakan ini. Salah satu dari beberapa arsitek yang tersisa yang memilih kewarganegaraan Indonesia adalah Han Groenewegen, yang membantu Silaban dalam mendesain Bank Indonesia di Jalan Thamrin, Jakarta.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025
Gaya Kekaisaran Hindia Belanda (bahasa Belanda: Indisch Rijksstijl) adalah sebuah gaya arsitektur yang berkembang di masa kolonial Hindia Belanda (sekarang Indonesia) antara pertengahan abad ke-18 dan akhir abad ke-19. Gaya ini merupakan tiruan dari Gaya Kekaisaran neoklasik yang populer di Prancis pada pertengahan abad ke-19. Sesuai dengan lingkungan tropis Indonesia, gaya ini kemudian dikenal di Hindia Belanda sebagai gaya Kekaisaran Hindia.
Sejarah
Perkembangan gaya Indies Empire sangat terkait dengan budaya Indies, masyarakat keturunan campuran yang berkembang di Hindia Belanda. Masyarakat Hindia mengasosiasikan diri mereka dengan status tinggi dan mengekspresikannya dengan membangun rumah-rumah pedesaan yang mewah yang biasanya diasosiasikan dengan bangsawan Eropa. Banyak dari rumah-rumah pedesaan ini muncul di pinggiran Batavia sekitar pertengahan abad ke-17, yang gaya arsitekturnya mencapai puncaknya ketika menyatu dengan arsitektur lokal Jawa, sebuah gaya baru yang dikenal sebagai gaya Hindia Lama.
Dengan kedatangan Herman Willem Daendels pada awal abad ke-19, perkembangan gaya arsitektur rumah-rumah pedesaan ini mengambil arah yang berbeda. Daendels adalah mantan kolonel jenderal Louis Bonaparte dari Perancis. Pada saat itu, gerakan arsitektur neoklasik yang dinamai Empire Style sedang populer di Prancis. Ketika Daendels diangkat menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda, ia membuat Gaya Kekaisaran menjadi populer di Hindia Belanda. Sesuai dengan arsitektur tropis Indonesia, gaya ini kemudian dikenal sebagai Gaya Kekaisaran Hindia.
Pada akhir abad ke-19, clubhouse dan gedung pertunjukan dibangun di kota-kota besar di Hindia Belanda seperti Batavia, Semarang, dan Surabaya; sebagian besar dibangun mengikuti tren gaya Indies Empire. Perkembangan kota pada akhir abad ke-19 juga mempengaruhi bentuk gaya Indies Empire. Kurangnya ruang yang tersedia di pusat kota mengharuskan modifikasi rumah-rumah bergaya Indies Empire. Kolom-kolom batu diganti dengan kolom kayu atau besi sempit yang biasanya diimpor dari Belanda. Yang juga berubah adalah penambahan corak baja bergelombang yang ditopang oleh konsol besi tuang untuk melindungi jendela dan teras depan dari air hujan dan sinar matahari. Contoh rumah bergaya Indies Empire dari periode ini adalah Museum Tekstil Jakarta dan beberapa rumah di Jalan Bubutan, Surabaya.
Pada abad ke-19, gaya Indies Empire dianggap sebagai perwakilan dari "pusat kota" Batavia, daerah di sebelah selatan "pusat kota" Kota Tua. Gaya Indies Empire digambarkan sebagai tren di mana rumah-rumah dibangun dengan "...satu lantai dengan taman yang luas, dengan galeri depan dan belakang serta aula yang tinggi dan lebar; rumah-rumah dengan atap menggantung di mana keteduhan, udara, dan kesejukan menjadi keistimewaan yang dominan ...", dibandingkan dengan rumah-rumah bergaya Belanda sebelumnya di Kota Tua, yang digambarkan sebagai rumah-rumah dengan "...kamar-kamar gelap yang tinggi dengan langit-langit yang berseri-seri, dinding yang dicat putih, dan lantai keramik merah."
Kemunduran
Gaya Indies Empire berkembang hingga awal abad ke-20, ketika gaya ini mendapat kritik. Gaya Indies Empire di Indonesia bukanlah hasil karya arsitek profesional, melainkan hasil rancangan pengawas bangunan (opzichter). Para akademisi modern seperti arsitek Berlage dan Moojen menganggap bangunan bergaya Indies Empire memiliki kualitas yang rendah; yang kemudian memunculkan kebangkitan kembali gaya arsitektur yang mencari identitas baru yang unik dan secara khusus dikaitkan dengan budaya Hindia Belanda. Kemudian muncul gaya baru, yang dikenal sebagai Gaya Hindia Baru, sebuah gerakan modern dan cabang dari Rasionalisme Belanda yang pada akhirnya menggantikan gaya Kekaisaran Hindia.
Karakteristik
Gaya Indies Empire pada dasarnya adalah Gaya Kekaisaran yang disesuaikan dengan lingkungan tropis Hindia Belanda. Mirip dengan Gaya Kekaisaran, Gaya Kekaisaran Hindia membuat penggunaan eklektik motif antik - biasanya Yunani-Romawi - untuk meniru dinasti kolonial kekaisaran. Beberapa bangunan di Hindia Belanda mengacu pada gaya Gotik, misalnya kediaman Raden Saleh. Tata letaknya simetris, dengan langit-langit yang tinggi, dinding yang tebal, dan lantai marmer. Bangunan-bangunan tersebut biasanya memiliki serambi depan (voorgalerij) dan serambi belakang (achtergalerij) yang diapit oleh tiang-tiang Yunani. Serambi depan dan belakang ini sangat luas dibandingkan dengan gaya Eropa aslinya untuk meningkatkan ventilasi silang ke dalam interior serta melindunginya dari panas dan hujan tropis yang hebat - sebuah upaya Eropa untuk meniru pringgitan lokal, beranda Jawa dengan bangku bambu di mana orang dapat tidur di siang hari yang terik. Perabotan dapat ditempatkan di serambi. Pesta dansa sore hari atau permainan kartu biasanya diadakan di serambi, sebuah tradisi yang lebih meniru tradisi Prancis daripada tradisi Belanda atau Jawa.
Sebuah bangunan bergaya Indies Empire memiliki tata letak dan komposisi yang simetris. Terdiri dari sebuah bangunan utama, terkadang dengan paviliun tambahan yang terletak di kedua sisi bangunan utama. Bangunan utama berisi aula tengah yang menghubungkan serambi depan dan belakang serta berbagai ruangan di dalamnya. Sebuah galeri menghubungkan bangunan utama dengan bangunan servis yang berisi kamar-kamar untuk para budak, gudang, dapur, dan fasilitas servis lainnya. Keseluruhan kompleks ini terletak di lahan yang luas dengan taman-taman yang luas di bagian depan, belakang, dan samping bangunan utama. Pohon-pohon palem tropis biasanya menghiasi lansekap ini.
Contoh
Bangunan bergaya Indies Empire masih dapat ditemukan di kota-kota kolonial besar di Indonesia seperti Jakarta dan Surabaya. Di bawah ini adalah contoh-contoh bangunan bergaya Indies Empire yang terkenal di Indonesia.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025
Landhuis (bahasa Belanda untuk "rumah besar, rumah bangsawan", jamak landhuizen; bahasa Indonesia: rumah kongsi; bahasa Portugis: kas di shon atau kas grandi) adalah sebuah rumah pedesaan kolonial Belanda, yang sering kali menjadi pusat administratif sebuah tanah partikulir atau wilayah pribadi di Hindia Belanda, yang kini bernama Indonesia. Banyak rumah-rumah pedesaan yang dibangun oleh Belanda di permukiman kolonial lainnya, seperti Galle, Cape Town, dan Curaçao, tetapi tidak ada yang seluas atau serumit di Karesidenan Batavia (sebuah wilayah yang meliputi sebagian wilayah Jakarta, Jawa Barat, dan Banten saat ini). Reputasi Batavia sebagai "Ratu dari Timur" banyak bertumpu pada kemegahan rumah-rumah mewah abad ke-18 ini.
Rumah-rumah ini dibangun sebagai replika arsitektur Belanda. Belakangan, desainnya memasukkan fitur-fitur dari arsitektur vernakular Jawa, sebagian sebagai respons terhadap iklim tropis. Hasilnya, perpaduan arsitektur Barat dan Jawa, yang kemudian dikenal sebagai 'Gaya Hindia' dari Hindia Belanda. Gaya Hindia adalah bentuk pertama dari perpaduan arsitektur Belanda dan lokal yang kemudian memunculkan gaya arsitektur Rasionalis Belanda di Indonesia. Meskipun berstatus sebagai warisan budaya dan dilindungi, banyak rumah-rumah bergaya Hindia Belanda yang dibiarkan rusak atau dihancurkan, sering kali karena kurangnya perawatan. Banyak dari rumah-rumah ini berada di dalam kompleks yang dimiliki oleh Kepolisian Republik Indonesia. Banyak yang diubah menjadi asrama dengan perawatan yang tidak tepat.
Sejarah
Pada abad ke-17 Belanda, semakin pentingnya Belanda sebagai negara maritim utama dengan kerajaan komersial yang berkembang, terutama di Timur, telah menghasilkan modal bagi kelas pedagang di Amsterdam. Para pedagang yang semakin kaya ini mulai menginvestasikan keuntungan mereka di tempat tinggal kedua di luar Amsterdam. Tempat tinggal kedua ini, atau landhuizen, berkisar dari tempat peristirahatan pedesaan yang sederhana hingga rumah-rumah bangsawan yang mewah, dan biasanya terletak di sepanjang sungai Amstel dan Vecht. Di Batavia, tren serupa terjadi pada pertengahan abad ke-18. Ketika Batavia semakin tidak sehat pada abad ke-18, para pejabat VOC yang kaya raya menjadi orang pertama yang melarikan diri dan membangun rumah-rumah megah di daerah pedesaan, biasanya terletak di antara sungai-sungai dan jalan-jalan menuju Batavia.
Para pejabat VOC membangun rumah-rumah pedesaan di luar kota bertembok Batavia ketika Ommelanden (daerah pedalaman yang berada tepat di luar kota bertembok) telah berhasil ditenangkan dan dijaga agar tidak diserang oleh para pemberontak Jawa, yang berusaha mengusir penjajah Belanda. Hal ini dicapai dengan membangun barisan melingkar pos-pos berbenteng di tempat-tempat seperti Antjol, Jacatra, Noordwijk, Rijswijk, Angke, dan Vijfhoek; yang sebagian besar didirikan pada pertengahan abad ke-17.
Rumah-rumah pertama merupakan bangunan sederhana, namun seiring berjalannya waktu, rumah-rumah ini menjadi rumah pedesaan yang mewah dengan taman-taman yang mewah, sering kali dilengkapi dengan paviliun musik dan menara lonceng.
Gaya Hindia
Gaya Hindia tampak sangat menonjol di rumah-rumah pedesaan di Hindia Belanda. Gaya ini muncul pada akhir abad ke-18 dan secara bertahap beradaptasi dengan iklim tropis. Gaya ini dapat dibagi menjadi tiga pola dasar utama: Rumah bergaya Belanda, rumah bergaya Hindia Belanda Transisi, dan rumah bergaya Hindia. Setidaknya satu dari setiap gaya tersebut masih bertahan hingga tahun 2015.
Rumah-rumah bergaya Belanda (Nederlandse stijl) sangat populer antara tahun 1730 dan 1770. Rumah-rumah ini biasanya berupa bangunan dua lantai yang hampir mirip dengan rumah-rumah Belanda. Pengaruh Belanda terlihat jelas pada atap berpinggul, fasad yang tertutup dan kokoh, serta jendela-jendela yang tinggi. Mereka sering kali dilengkapi dengan menara lonceng, paviliun musik, dan taman hiburan khas Eropa. Satu-satunya kelonggaran terhadap iklim tropis adalah atap yang relatif besar dibandingkan dengan aslinya. Tidak seperti rumah-rumah Belanda, rumah-rumah di Batavia memiliki ruang tambahan yang luas untuk mengakomodasi para pelayan, yang biasanya berada di bagian belakang rumah. Interiornya biasanya lebih besar daripada rumah Belanda, dengan langit-langit yang jauh lebih tinggi.
Contohnya adalah rumah negara Weltevreden, Rumah Groeneveld di Condet, rumah negara Reynier de Klerck (sekarang menjadi gedung Arsip Nasional Indonesia), dan rumah negara Jan Schreuder.
Rumah-rumah bergaya Nederlands-Indische stijl ini muncul antara tahun 1750 dan 1800. Struktur dan bentuknya menunjukkan akulturasi dengan iklim tropis. Masih berupa bangunan dua lantai, fasadnya terlindung dari sinar matahari dan hujan lebat oleh atap yang menjorok ke dalam di semua sisinya. Profil atapnya menyerupai atap gaya joglo lokal yang secara tradisional diperuntukkan bagi bangsawan Jawa. Lantai atas biasanya dicapai dengan tangga eksternal dan sering kali bagian tengahnya dibiarkan terbuka untuk ventilasi maksimum; serta jendela tinggi dengan daun jendela. Gaya ini juga populer di Sumatera.
Contohnya adalah Rumah Cililitan Besar (1775), yang masih ada hingga sekarang, meskipun sudah rusak. Contoh lainnya adalah rumah pedesaan Pondok Gedeh dan rumah pedesaan Cengkareng.
Juga dikenal sebagai rumah Indo-Eropa (Indo Europeesche Stijl)[3] atau Indische stijl, tipe ini muncul antara tahun 1790 dan 1820. Bentuknya merupakan perpaduan gaya Belanda dan pribumi (Jawa). Rumah-rumah bergaya Hindia-Belanda biasanya dibangun sebagai bangunan satu lantai dengan beranda depan (pringgitan) dan beranda belakang (gadri), ditutupi oleh atap bernada tinggi berbentuk joglo yang membentang di atas beranda. Sering kali beranda dihubungkan ke galeri samping untuk perlindungan dari cuaca. Beranda sering kali memiliki pot-pot pohon palem, ubin beton atau marmer yang dingin dan dilapisi dengan tikar bambu yang dibelah. Referensi barat muncul dalam kolom-kolom neo-klasik Tuscan yang menopang atap besar yang menggantung dan pintu serta jendela yang dihias.
Gaya ini ditiru di seluruh nusantara pada periode selanjutnya. Salah satu dari beberapa contoh yang masih ada adalah rumah Cimanggis yang bobrok, yang atapnya runtuh sebelum tahun 2013. Contoh lainnya adalah Rumah Jepang (dibangun untuk Andries Hartsinck pada akhir abad ke-18, dihancurkan pada tahun 1996), Rumah Tjitrap (Citeureup), Rumah Telukpucung, Rumah Camis, dan Rumah Tjilodong (Cilodong).
Kemunduran
Dengan bubarnya VOC, rumah-rumah pedesaan menjadi kurang populer. Selama abad ke-19, dua kelompok gerakan arsitektur menguasai Hindia Belanda: gaya Neoklasik yang diterima secara universal namun mulai memudar, yang sesuai untuk sebuah kerajaan kolonial; dan Modernis, yang memunculkan aliran neo-vernakular yang digabungkan dengan Art Deco untuk menciptakan gaya tropis yang dijuluki Gaya Hindia Baru. Jika sebelumnya Gaya Hindia pada dasarnya adalah rumah-rumah Indonesia dengan sentuhan Eropa, pada awal abad ke-20, trennya adalah pengaruh modernis yang diekspresikan dalam bangunan-bangunan Eropa dengan sentuhan Indonesia. Langkah-langkah praktis yang dibawa dari Gaya Hindia sebelumnya, yang menanggapi iklim Indonesia, termasuk atap yang menjorok, jendela yang lebih besar, dan ventilasi di dinding.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 19 Februari 2025
Rumah Lamin atau rumah panjang adalah rumah adat Suku Dayak, Kalimantan Timur. Selayaknya rumah adat lain, arsitektur rumah Lamin mengusung nilai-nilai dan keunikan yang kemungkinan hanya berlaku bagi masyarakat suku Dayak. Mengutip buku digital berjudul Jelajah Arsitektur Lamin Suku Dayak Kenyah oleh Tri Agustin Kusumaningrum, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tahun 2018, arsitektur rumah Lamin dipengaruhi oleh faktor geografis Kalimantan Timur. Wilayah Kalimantan Timur yang berada di jalur khatulistiwa memiliki struktur tanah gambut dengan banyak kandungan mineral. Mayoritas lingkungannya masih tertutup hutan hujan tropis lebat. Hal tersebut memengaruhi kondisi iklim dan cuaca Kalimantan Timur yang sangat panas dengan tingkat kelembapan yang tinggi, sehingga ikut membentuk karakter rumah Lamin.
Rumah Lamin dihuni secara berkelompok dan tidak hanya digunakan sebagai tempat tinggal, melainkan juga pusat kegiatan suku Dayak. Panjang rumah Lamin berkisar antara 100-200 meter dengan lebar 15-25 meter dan tinggi sekitar 3 meter dari permukaan tanah. Dengan ukuran itu, rumah Lamin mampu menampung sebanyak 12 sampai dengan 30 anggota keluarga.
Akan tetapi, ukuran rumah Lamin juga bisa berubah sesuai dengan kebutuhan, misalnya Lamin Adat Pemung Tawai lebih kecil dengan panjang 40 meter dan lebar 18 meter. Selain itu, rumah Lamin juga seringkali disebut dengan rumah panjang karena berbentuk kotak memanjang dan struktur layang atau panggung untuk menghindari kelembapan tanah. Arsitektur tersebut juga berfungsi untuk memberikan keamanan penghuni rumah dari serangan binatang buas.
Adapun bahan bangunan rumah Lamin sebagaian besar berasal dari kayu ulin karena kuat. Sebagian kecil lainnya diketahui menggunakan kayu meranti, kapur, dan bengkirai. Motif ukir dan gambar yang banyak dijumpai pada rumah Lamin adalah ornamen lengkung yang khas dan dinamis. Pada bagian atap yang disebut dengan kepang atau sirap, memiliki ukuran 70x40 sentimeter pada tiap lembarannya dan terbuat dari kayu ulin. Kepang tersebut disusun dengan teliti untuk menghindari panas terik matahari. Sementara bagian puncak atap rumah Lamin disebut dengan berlubung umaq yang dipasang dari hiasan kayu ukir dan mencuat sampai 2 meter.
Sumber: www.kompas.com