Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 21 Februari 2025
Memilih keramik teras rumah bisa menjadi suatu hal yang membuat bingung tidak sedikit orang. Maka dari itu, penting untuk mengetahui beragam hal yang perlu diperhatikan dalam memilih keramik teras rumah. Hal ini bertujuan agar keramik yang dipilih tidak keliru dan bisa benar-benar sesuai dengan teras rumahmu. Dikutip dari akun Instagram @mitraruma_official, Selasa (15/2/2022), berikut ini empat tips memilih keramik teras rumah.
Memerhatikan Pemilihan Warna dan Motif
Penting untuk menetapkan bentuk dan konsep teras rumah Anda sebelum memilih keramik. Jika Anda menginginkan teras yang memiliki kesan glamor dan ceria, Anda bisa memilih keramik dengan motif yang beragam dan penuh warna. Pastikan juga motif yang Anda pilih selaras dengan tema keseluruhan ruangan agar tidak terjadi ketidakcocokan.
Gunakan Ukuran yang Tepat
Salah satu tips penting dalam memilih keramik teras adalah memperhatikan ukurannya dengan cermat. Jika teras Anda luas, disarankan untuk menggunakan keramik berukuran besar untuk menciptakan kesan yang lapang. Sebaliknya, jika teras Anda memiliki ruang yang terbatas, lebih baik memilih keramik berukuran kecil agar proporsinya sesuai. Hal ini dikarenakan ukuran keramik memiliki peranan penting dalam menciptakan ilusi yang luas di rumah, sehingga akan memberikan kenyamanan pada saat di dalamnya.
Mempertimbangkan Tekstur Keramik
Salah satu hal yang harus diperhatikan secara teliti saat memilih keramik adalah memastikan kesesuaian antara lokasi pemasangan dengan tekstur keramik yang dipilih. Sebagai contoh, disarankan untuk memilih keramik dengan tekstur yang tidak licin atau matte untuk menghindari risiko terpeleset saat berjalan di atasnya. Tujuannya adalah untuk menjaga keselamatan pengguna teras rumah agar tidak mudah terpeleset.
Memerhatikan Material Keramik
Beberapa material umum digunakan untuk membuat keramik teras rumah, termasuk keramik glazur, porselen, granit, dan soapstone. Salah satu tips terpenting dalam memilih keramik adalah memprioritaskan perhatian pada kualitas, berat, dan kekuatan keramik tersebut agar dapat menghindari kesalahan dalam pemilihan.
Sumber: www.kompas.com
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Raynata Sepia Listiawati pada 21 Februari 2025
Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur menetapkan 14 bangunan dan benda sebagai cagar budaya baru di Kabupaten Madiun pada Rabu (2/2/2022). Setelah penetapan tersebut dilakukan, selanjutnya adalah pelaksanakaan revitalisasi yang saat ini masih dalam tahap pengkajian. Dilansir dari laman resmi Pemerintah Kabupaten Madiun, Bupati Madiun Ahmad Dawami mengatakan pihaknya akan terus berkoordinasi dengan lembaga terkait. “Arah kita ke revitalisasi. Identitas inventarisasi data juga akan kita maksimalkan,” jelas Bupati Madiun.
Terkait hal ini, Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya Provinsi Jawa Timur Zakaria Kasimin menjelaskan, cagar budaya yang baru saja ditetap ini dilindungi secara hukum. Revitalisasi akan dilakukan sesuai dengan keadaan semula karena setiap bangunan dan benda memiliki nilai sejarah, bahkan bisa difungsikan untuk kepentingan agama. “Salah satu usia, mengandung nilai sejarah, pendidikan dan ekonomi. Bila difungsikan untuk kepentingan agama,” jelas Zakaria. Harapannya, penetapan cagar budaya tersebut bisa memberikan bantuan ekonomi bagi masyarakat, layaknya Candi Borobudur.
Candi Wonorejo, Kabupaten Madiun (Pemkab. Madiun)
Adapun daftar 14 bangunan dan benda yang ditetapkan sebagai cagar budaya di Kabupaten Madiun adalah sebagai berikut:
Sumber: www.kompas.com
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025
Soejoedi Wirjoatmodjo (27 Desember 1928 – 17 Juni 1981) dulu adalah seorang arsitek di Indonesia yang aktif mulai akhir dekade 1960-an hingga pertengahan dekade 1970-an. Pada tahun 1964, ia diminta oleh Presiden Sukarno untuk menjadi kepala arsitek dari sejumlah proyek arsitektur nasional di Jakarta. Soejoedi dianggap sebagai arsitek asli Indonesia pertama pasca kolonial dan dianggap sebagai pendukung arsitek dan perancang modernis.
Biografi
Soejoedi lahir di Surakarta pada tahun 1928. Sejak masih muda, ia mendukung ide nasionalis. Selama periode Revolusi Nasional, Soejodi bergabung ke Brigade Tentara Pelajar 17 di Surakarta untuk melawan serangan militer dari Belanda antara tahun 1945 dan 1949. Setelah Belanda keluar dari Indonesia pada tahun 1949, setahun kemudian, Soejoedi melamar sebagai arsitek di Departemen Bangunan dari TH Bandung, yang saat itu masih mempekerjakan dosen berkebangsaan Belanda. Berkat kualitas kerjanya, Soejoedi lalu berhasil mendapat beasiswa dari pemerintah Prancis untuk berkuliah di L’Ecole des Beaux Arts di Paris pada tahun 1955. Ia pun pergi ke Paris, tetapi ia merasa tidak nyaman, karena selalu teringat kampung halamannya. Mentor Soejoedi di Bandung, Prof. Ir. Vincent Rogers van Romondt, lalu menyusun kuliah lebih lanjut untuk Soejoedi di TH Delft di Belanda, sehingga ia tidak harus mengulang dari awal. Selama kuliah, Soejoedi pun dapat melihat karya dari arsitek modern Belanda, seperti Jacob Bakema dan Aldo van Eyck. Namun, ia tidak mengerjakan skripsi. Ia malah bekerja paruh waktu sebagai juru gambar teknik di Kraaijvanger Architects, yang saat itu masih berskala kecil. Di biro arsitek tersebut, ia mengerjakan proyek rekonstruksi kota Rotterdam.
Situasi politik mengenai Irian Barat lalu meningkatkan ketegangan antara Indonesia dan Belanda. Sehingga memaksa sejumlah mahasiswa asal Indonesia untuk pergi dari Belanda pada tahun 1957, termasuk Soejoedi, yang harus pergi sebelum mendapat gelar di bidang arsitektur. Soejoedi pun harus mencari kampus lain untuk menyelesaikan kuliahnya di bidang teknik arsitektur. Pada tahun yang sama, Soejoedi pindah ke Berlin agar dapat memperoleh gelar di bidang arsitektur dari Universitas Teknologi Berlin. Ia akhirnya lulus pada tahun 1959 dengan skripsi mengenai pesantren, dengan nilai terbaik.
Sementara itu, meningkatnya ketegangan antara Belanda dan Indonesia karena Presiden Sukarno memutuskan untuk menasionalisasi perusahaan Belanda yang beroperasi di Indonesia, juga menyebabkan kampus di Indonesia kesulitan, terutama karena sebagian besar tenaga pengajarnya berkebangsaan Belanda. Sehingga Indonesia membutuhkan banyak orang asli yang berkompeten untuk mengajar di kampus. Pada tahun 1960, Soejoedi kembali dari Jerman ke Indonesia dan bekerja sebagai dosen di TH Bandung, yang kemudian namanya diubah menjadi Institut Teknologi Bandung (ITB). Setelah bekerja selama beberapa bulan, Soejoedi dipromosikan menjadi kepala departemen arsitektur
Selama menjabat sebagai kepala departemen, ia menekankan penggunaan dan eksplorasi teknologi modern dalam konstruksi dan bahan bangunan, terutama struktur baja dan beton. Antara tahun 1960 dan 1964, ia pun merancang dan membangun sejumlah bangunan dan rumah di Bandung. Sebagai dosen, ia memberi kuliah mengenai pendekatan artistik. Bentuk, fungsi, dan bahan harus diintegrasikan sebagai komposisi geometris dan pahatan yang sesuai dengan tujuan dan konteks tertentu, serta selaras dengan lokasinya.
Pada tahun 1964, Soejoedi dipanggil oleh Presiden Sukarno untuk menjadi kepala arsitek dari sejumlah proyek arsitektur nasional di Jakarta. Ia lalu mengajak sejumlah koleganya dari ITB dan mendirikan PT Gubahlaras pada tahun 1969. Visinya untuk perusahaan tersebut adalah untuk menunjukkan modernitas Indonesia melalui arsitektur.
Filosofi rancangan
Soejoedi percaya bahwa modernitas arsitektur dapat menjadi kendaraan untuk membebaskan diri dari jejak kolonialisme. Ia pun memperkenalkan lokalitas Indonesia bukan sebagai imitasi terhadap ikon, bentuk, dan gaya tradisional; tetapi sebagai inspirasi untuk prinsip tata ruang. Ia memakai konsep kategorisasi tata ruang Jawa ke dalam rancangannya, yakni keseimbangan luar (jaba) dan dalam (njero), serta gradasi nilai dari luar (purwa), tengah (madya), dan dalam (utama atau ndalem).
Rancangan Soejoedi dapat dicirikan dari komposisi geometris murninya. Ia menekankan pada lokasi bangunan yang ia rancang, untuk memastikan bahwa bangunan yang ia rancang selaras dengan lokasi dan kondisinya. Tidak seperti rancangan besar Frederich Silaban, seperti Masjid Istiqlal, Soejoedi mencoba untuk tidak merancang bangunan agar terlihat besar. Soejoedi menyadari bahwa arsitektur bukan karya seni murni, tetapi juga upaya publik dan utilitarian yang berhubungan dengan estetika dan pengalaman manusia, seperti keamanan, kenyamanan, dan kesehatan. Untuk itu, Soejoedi selalu mencoba membuka dialog antara alasan dan intuisi. Untuknya, arsitektur adalah tempat bermain bagi manusia untuk mencari sesuatu yang berguna dan indah bagi manusia.
Karya arsitektur pasca-kolonial
Karya Soejoedi antara lain gedung untuk Conefo (1964-1983). Untuk gedung tersebut, Soejoedi menginterpretasikan keinginan Presiden Sukarno untuk mencitrakan independensi dari blok komunis Timur dan blok kapitalis demokrat Barat dengan merancang kompleks modern yang tidak mirip dengan gedung-gedung yang telah ada sebelumnya.
Karya lain Soejoedi adalah Hotel Duta Merlin. Hotel tersebut dirancang untuk menggantikan Hotel des Indes karya arsitek F.J.L. Ghijsels, yang dirancang dengan gaya Art Deco, tetapi menyesuaikan dengan iklim tropis Jawa, yang kemudian dikenal sebagai Gaya Hindia Baru. Untuk Soejoedi, mendirikan bangunan baru untuk kebanggaan nasional agaknya lebih penting daripada mempertahankan bangunan lama yang berbau kolonialisme.
Berikut ini sejumlah karya Soejoedi:
Sumber: https://id.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025
Liem Bwan Tjie (6 September 1891 – 28 Juli 1966) adalah arsitek ternama dan pelopor arsitektur modern generasi pertama di Indonesia.
Riwayat
Liem adalah anak kelima dari Liem Soei Tjhing, seorang pedagang tekstil di Gang Warung, Semarang. Keluarga Peranakan Tionghoa ini sudah di Indonesia selama 4 generasi. Pada tahun 1910, Liem yang berusia 19 tahun dikirim orang tuanya ke Belanda untuk menuntut pendidikan menengah. Selama Perang Dunia Pertama (1914-1918), ia berkerja untuk beberapa biro arsitek terkemuka di Amsterdam, antara lain Michel de Klerk, Gulden en Geldmaker dan Eduard Cuypers. Pada tahun 1920, Liem kemudian belajar di Universitas Teknik di Delft, Belanda dan di École nationale supérieure des Beaux-Arts di Paris, Prancis pada tahun 1924.
Saat Liem berencanana kembali ke tanah air pada tahun 1929, ia dilarang pulang oleh pemerintah Hindia Belanda karena dianggap terpengaruh dengan Komunisme. Dengan referensi dan dukungan dari tokoh masyarakat Tionghoa, antara lain anggota Volksraad Loa Sek Hie, sang arsitek akhirnya diberikan izin untuk menetap kembali di kota kelahirannya, yaitu Semarang.
Ia banyak mendesain bangunan-bangunan untuk kalangan "Cabang Atas" Peranakan. Karya-karyanya mencakup bangunan umum maupun kediaman pribadi, dan tersebar di beberapa kota besar di Indonesia, termasuk Jakarta, Surabaya, Bandung, Tegal, Manado dan Makasar.
Pada tanggal 16 September 1959, di kediaman Liem di Jalan Wastukancana, Bandung, terjadi awal pertemuan pertama antara arsitek-arsitek senior Indonesia Liem Bwan Tjie, Frederich Silaban, Mohammad Soesilo dengan 18 arsitek muda lulusan pertama ITB tahun 1958. Inilah tonggak awal sejarah Ikatan Arsitek Indonesia, yang akhirnya didirikan secara resmi pada 17 September 1959.
Liem meninggalkan Indonesia saat berusua 74 tahun pada tahun 1965, dan pindah ke Belanda untuk mengikuti anaknya yang sedang menuntut ilmu di sana. Ia meninggal setahun kemudian di Belanda, dan arsip karyanya sekarang disimpan di Nederlands Architectuurinstituut (NAi).
Karya-Karya
Sumber: https://id.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025
Katedral Jakarta (bahasa Indonesia: Gereja Katedral Jakarta, bahasa Belanda: Kathedraal van Jakarta) adalah sebuah katedral Katolik Roma di Jakarta, Indonesia, yang juga merupakan tempat kedudukan uskup agung Katolik Roma di Jakarta, yang saat ini dipimpin oleh Uskup Agung Jakarta Mgr Ignatius Suharyo Hardjoatmodjo. Nama resminya adalah Gereja Santa Maria Diangkat ke Surga, yang diambil dari nama aslinya dalam bahasa Belanda, De Kerk van Onze Lieve Vrouwe ten Hemelopneming (bahasa Indonesia: Gereja Bunda Maria Diangkat ke Surga). Katedral yang sekarang ini ditahbiskan pada tahun 1901 dan dibangun dengan gaya neo-Gotik, sebuah gaya arsitektur yang umum digunakan untuk membangun gereja pada masa itu. Katedral Jakarta terletak di Jakarta Pusat dekat dengan Lapangan Merdeka dan Istana Merdeka, tepat di depan katedral berdiri Masjid Istiqlal.
Sejarah
Setelah kedatangan VOC pada tahun 1619, Gereja Katolik Roma dilarang di Hindia Belanda dan hanya terbatas di Flores dan Timor. Belanda dikenal mendukung agama Protestan dan berusaha membatasi pengaruh dan otoritas Tahta Suci. Selama Perang Revolusi Prancis dan Perang Napoleon, Belanda, termasuk Hindia Belanda dan koloni-koloninya yang lain, berada di bawah kendali Revolusi Prancis dan kemudian Kekaisaran Prancis. Pada tahun 1806, Napoleon melantik adiknya yang beragama Katolik, Louis Napoleon (bahasa Belanda: Lodewijk), sebagai Raja Belanda. Sejak saat itu, Gereja Katolik bebas beroperasi di Hindia Belanda.
Komisaris Jenderal Batavia, Du Bus de Gisignies (1825-1830), berjasa dalam menyediakan tanah untuk membangun gereja Katolik pertama di Batavia. Bekas kediaman Jenderal de Kock di daerah Weltevredeen direnovasi menjadi gereja. Monseigneur Prinsen memberkati dan meresmikan gereja tersebut pada tanggal 6 November 1829 dan menamainya "Bunda Maria Diangkat ke Surga." Gereja ini direnovasi pada tahun 1859, namun runtuh pada 9 April 1890.
Gereja yang sekarang adalah bangunan yang dibangun kembali antara tahun 1891 dan 1901. Pastor Antonius Dijkmans, SJ ditunjuk sebagai arsiteknya. Pembangunan sempat terhenti karena kurangnya dana, namun uskup baru gereja, Mgr E. S. Luypen, SJ, menggalang dana yang diperlukan di Belanda, dan arsitek MJ Hulswit melanjutkan pembangunan pada tahun 1899. "De Kerk van Onze Lieve Vrowe ten Hemelopneming - Gereja Bunda Maria Diangkat ke Surga" diberkati dan diresmikan oleh Mgr Edmundus Sbrandus Luypen, SJ pada tanggal 21 April 1901. Gereja ini direnovasi antara tahun 1988 dan 2002.
Denah katedral berbentuk salib dengan panjang 60 meter dan lebar 10 meter, ditambah 5 meter di setiap lorong. Disebut katedral karena di dalamnya terdapat "cathedra", singgasana uskup. Pintu masuk utama bangunan ini menghadap ke barat. Di trumeau portal utama berdiri patung Bunda Maria, sementara di atas portal terdapat kalimat yang ditulis dalam bahasa Latin: "Beatam Me Dicentes Omnes Generationes" yang berarti "Semua generasi akan menyebut saya diberkati". Selain itu, terdapat kaca patri bundar besar Rozeta Rosa Mystica, yang merupakan simbol Bunda Maria.
Ada tiga menara utama di Katedral Jakarta: dua menara tertinggi memiliki tinggi 60 meter dan terletak di depan di setiap sisi portal. Menara utara disebut Turris Davidica, atau "Menara Daud"-sebuah gelar kebaktian kepada Maria yang melambangkan Maria sebagai tempat perlindungan dan pelindung dari kuasa kegelapan. Menara selatan, juga setinggi 60 meter, disebut "Menara Gading", yang putih dan kemurnian gading menggambarkan kemurnian Perawan Maria. Di Menara Gading, terdapat jam tua yang masih berfungsi dan juga lonceng gereja. Puncak menara ketiga menjulang di atas persimpangan salib atap dengan tinggi 45 meter dari permukaan tanah, dan disebut "Menara Angelus Dei".
Bangunan ini terdiri dari dua lantai, lantai atas dapat dicapai dari tangga di menara utara. Awalnya, lantai dua digunakan sebagai tempat paduan suara selama misa, tetapi karena katedral ini sudah cukup tua, dikhawatirkan bangunan tidak dapat menopang beban terlalu banyak orang di lantai atas. Saat ini, lantai atas berfungsi sebagai Museum Katedral Jakarta, yang menyimpan benda-benda peninggalan ritual Katolik, seperti cawan perak, topi, dan jubah Hindia Belanda serta uskup agung dan kardinal Indonesia. Museum ini juga menampilkan sejarah agama Katolik Roma di Indonesia.
Di sisi selatan, terdapat patung Pietà, yang menggambarkan kesedihan Bunda Maria saat memeluk tubuh Yesus Kristus setelah penyaliban. Dinding yang mengelilingi bagian dalam memiliki beberapa adegan yang menggambarkan Jalan Salib. Katedral ini memiliki empat mimbar untuk layanan pengakuan dosa, dua di setiap sisi. Di bagian tengah, terdapat podium kayu yang ditinggikan dengan atap berbentuk kerang untuk memantulkan suara. Podium ini dipasang pada tahun 1905 dan menampilkan gambar Neraka di sisi bawah, sementara gambar khotbah Yesus dan adegan lainnya berada di sisi tengah. Bagian atas podium menampilkan pemandangan Surga yang dihiasi dengan malaikat bersayap. Di sisi selatan, terdapat sebuah organ besar bergaya neo-Gotik yang dibuat di Verschueren, Belgia, yang kemudian dipindahkan dan dipasang di Jakarta pada tahun 1988. Organ ini diambil dari desa Amby di dekat Maastricht.
Ada tiga altar di katedral ini: di sisi kiri adalah "Altar Santa Maria", untuk merayakan pengangkatan Maria ke Surga. Altar ini dibuat pada tahun 1915 oleh Atelier Ramakers. Di sisi kanan adalah "Altar Santo Yosef", yang selesai dibangun pada bulan Mei 1922. Tahta uskup, yang disebut katedral, terletak di sisi kiri dengan tiga singgasana. Altar utama yang terletak di tengah dibuat pada abad ke-19 di Belanda. Altar ini dipindahkan dari sebuah gereja Yesuit di Groningen pada tahun 1956. Di altar ini terdapat salib utama Yesus dan tabernakel.
Tubuh bangunan terbuat dari batu bata merah tebal yang dilapisi plester dan diaplikasikan dengan pola untuk meniru konstruksi batu alam. Dinding yang besar dibuat untuk menopang balok-balok kayu jati yang membentang lebar pada konstruksi atap. Bagian atas menara terbuat dari rangka besi, sedangkan atapnya terbuat dari konstruksi kayu jati. Besi dan kayu tidak cocok karena bahan arsitektur neo-Gotik yang khas biasanya menggunakan pasangan batu. Namun, bahan-bahan tersebut dipilih karena relatif lebih ringan dibandingkan pasangan batu, mengingat Indonesia merupakan wilayah yang rawan gempa.
Musik
Ada sebuah piano, dua electone, dan dua organ pipa yang dapat dimainkan.
Di atas panggung yang ditinggikan di transept selatan terdapat sebuah organ yang dibuat oleh George Verschueren dari Tongeren, Belgia, yang dibangun pada tahun 1988. Tuts-tuts disusun di setiap sisi meja tuts dan tiupan diaktifkan dari tuts di sisi kiri. Tuts manual terdiri dari empat oktaf dan papan pedal datar dua setengah oktaf. Pagar loteng organ dan selubung organ mencerminkan sifat gotik katedral dan semua kayu diwarnai agar sesuai dengan kayu yang ada di gereja. Pipa-pipa disajikan dalam bentuk datar dengan menara pusat yang besar dan dua menara kecil yang mengapit di sisi kiri dan kanan kotak organ.
Daftar nada dari organ ini adalah:
Manual I (56 nada/4 oktaf)
Manual II (56 nada/4 oktaf)
Pedal (30 nada/2 1/2 oktaf)
Penggandeng
Disadur: https://en.wikipedia.org/
Properti dan Arsitektur
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 20 Februari 2025
Gereja Protestan Indonesia Barat Immanuel Semarang (bahasa Indonesia: Gereja Protestan Indonesia Barat Immanuel Semarang), lebih dikenal dengan nama Gereja Blenduk, adalah sebuah gereja Protestan di Semarang, Jawa Tengah, Indonesia. Dibangun pada tahun 1753, gereja ini merupakan gereja tertua di provinsi ini.
Arsitektur dan tata letak
Gereja Blenduk, di Jalan Letjen Suprapto No. 32 di kota tua Semarang, Jawa Tengah, terletak di sebuah halaman kecil di antara bekas gedung perkantoran. Gedung Jiwasraya terletak di sebelah selatan, di seberang jalan, sementara kantor Kerta Niaga berada di sebelah barat.
Gereja berbentuk segi delapan ini dibangun di atas fondasi batu dan dengan dinding bata satu lapis, dengan lantai dasar yang berada di permukaan jalan. Gereja ini memiliki kubah besar berkulit tembaga, yang menjadi asal mula namanya; kata mblenduk dalam bahasa Jawa berarti kubah. Kubah ini ditopang oleh 32 balok baja, 8 balok besar dan 24 balok kecil. Dua menara, berbentuk persegi di bagian dasar dan perlahan-lahan membulat hingga puncaknya berupa kubah kecil, terletak di kedua sisi pintu masuk utama, sementara cornice yang terdiri dari garis-garis horizontal membentang di sekeliling bangunan; serambi bergaya Romawi yang ditutupi atap berbentuk pelana terletak di sisi timur, selatan, dan barat. Blenduk juga dilengkapi dengan jendela kaca berukir dan kaca patri, serta pintu ganda berpanel kayu di pintu masuk yang menghadap ke selatan.
Bangku-bangku kayu di dalam Blenduk memiliki dudukan rotan, sementara mimbarnya sepenuhnya terbuat dari kayu dan terletak di atas panggung segi delapan yang terbuat dari kayu jati. Sebuah organ pipa Barok yang sudah tidak berfungsi dari tahun 1700-an juga terletak di dalamnya. Lantainya dilapisi ubin hitam, kuning, dan putih. Di bagian utara interior terdapat tangga spiral dengan ukiran nama pembuatnya, Pletterij den haag (Rolling Mill, Den Haag), yang mengarah ke lantai dua.
Sejarah
Blenduk didirikan pada tahun 1753; bangunan awalnya bergaya joglo. Meskipun diperuntukkan bagi umat Protestan, umat Katolik juga menggunakannya hingga gereja Katolik pertama di kota ini, di Gedangan, dibangun.
Gereja ini kemudian dibangun kembali pada tahun 1787. Renovasi kembali yang dipelopori oleh H.P.A. de Wilde dan W. Westmas, mulai dikerjakan pada tahun 1894. Selama renovasi ini, kubah dan dua menara ditambahkan. Rangkaian renovasi lainnya dimulai pada awal tahun 2000-an. Pada tahun 2004, gereja ini memiliki 200 keluarga dalam jemaatnya dan mengadakan kebaktian rutin pada hari Minggu; gereja ini juga menjadi daya tarik wisata. Pada tahun 2003, gereja ini merayakan tahun ke-250.
Penghargaan
Pada bulan Februari 2009, Blenduk menerima penghargaan sebagai Tempat Ibadah Tua yang Dipelihara dengan Baik dari Ikatan Arsitek Indonesia cabang Jawa Tengah.
Disadur dari: https://en.wikipedia.org/