Properti dan Arsitektur

10 Biro Arsitek Terbaik di Dunia

Dipublikasikan oleh Farrel Hanif Fathurahman pada 10 Mei 2024


Bangunan merupakan bagian penting yang tak terpisahkan dari lanskap sebuah kota. Anda pasti pernah melihat bangunan nan indah, berada di berbagai belahan dunia. Kebanyaan dari bangunan tersebut merupakan rancangan firma-firma arsitektur terbaik. Tak hanya menawarkan rancangan yang indah, namun kekuatan gedung juga menjadi jaminan. Terlebih hingga sekarang banyak permintaan untuk pembangunan kota pintar sehingga dalam pembangunannya harus melibatkan firma arsitektur terbaik.

Berikut 10 firma arsitektur teratas di dunia 2021, berdasarkan omset, skala proyek, dan pengelolaan perusahaan menurut situs konstruksi Construction Review dan Fortune:

  1. Aecom (AS)

Aecom merupakan salah satu perusahaan favorit yang dinobatkan oleh majalah Fortune selama enam tahun berturut-turut. Perusahaan ini memiliki jaringan operasional yang luas mulai dari layanan arsitektur, desain, teknik, arkeologi, dan manajemen risiko. Portofolio proyek yang ditangani Aecom seperti bandara internasional Hong Kong, Sydney, LAX, JFK, dan Abu Dhabi. Aecom juga telah mengerjakan konstruksi bagi Olimpiade Musim Panas 2016 di Rio dan Marina Bay Singapura. Perusahaan ini memiliki kantor pusat di Los Angeles dan memiliki 87.000 karyawan yang tersebar di seluruh dunia.

  1. Aedas (Hong Kong)

Aedas pertama kali beroperasi sejak tahun 2002 dan dibentuk setelah penggabungan tiga perusahaan dari Inggris, Australia, dan Hong Kong. Perusahaan ini memiliki 1.400 karyawan yang tersebar di 12 kantor cabang, di seluruh dunia. Selain menawarkan jasa arsitektur, Aedas juga menawarkan desain interior dan urban. Perusahaan ini barus saja ini meraih sembilan penghargaan dalam ajang Penghargaan Desain Internasional 2020.

  1. BDP (Inggris)

Building Design Partnership (BDP) yang merupakan perusahaan arsitektur terbesar kedua di Inggris ini memiliki total 950 pekerja. Kantor pusat BDP berada di Manchester dan delapan kantor lainnya di seluruh Inggris. BDP juga memiliki kantor global di Cina, UEA, India, Kanada, dan Singapura. Perusahaan ini merupakan salah satu firma arsitek tertua dan telah terbentuk sejak tahun 1961. Namun mereka bergabung dengan perusahaan konstruksi Jepang, Nippon Koei pada tahun 2016. Proyek terbaru BDP adalah pengembangan Liverpool One dan Melbourne City Waterfront. Perusahaan ini berhasil mencapai omset tertinggi mereka pada tahun 2019 yakni 106,8 juta poundsterling (Rp 2,02 triliun).

  1. DLR Grup  (AS)

DLR Grup merupakan firma arsitektur yang mengkhususkan dirinya untuk memangun gedung dengan desain keberlanjutan. Komitmen perusahaan terhadap hal-hal yang terkait dengan keberlanjutan dapat dilihat di banyak proyeknya seperti kanopi surya di American Airlines Arena Miami. DLR Group menawarkan berbagaui layanan kepada konsumen seperti arsitektur, desain interior, arsitektur lanskap, pelestarian, dan energi.

  1. DP Architects (Singapura)

DP Architects telah beroperasi sejak tahun 1967 dan memiliki 16 kantor cabang di seluruh Asia. Perusahaan ini memiliki jaringan yang luas di Singapura. Beberapa karya mereka sanagt terkenal dan merupakan perusahaan dibalik pembuatan masterplan Golden Mile Complex dan area retail Orchard Road. Perusahaan ini diketahui memiliki lebih dari 1.100 karyawan.  

  1. Foster and Partners (Inggris)

Foster and Partners telah ada sejak tahun 1967 dan berada di bawah pimpinan sang arsitek andal asal Inggris, Norman Foster. Perusahaan ini bermarkas di Inggris dan telah memiliki 1.600 karyawan serta jaringan kantor cabang di seluruh dunia. Karena kontribusinya dalam bidang aristek, firma ini telah menerima banyak penghargaan seperti Aga Khan Award (sekali) dan Stirling Prize( tiga kali). Beberapa proyek yang pernah dikerjakan oleh firma ini termasuk Jembatan Milenium, Stadion Wembley yang baru, Gherkin (30 St Mary Axe), dan Balai Kota Inggris. Pada 2019, Foster and Partners melaporkan besar pendapatan yang mereka dapatkan adalah sebesar 258 juta poundsterling atau Rp4,8 triliun.

  1. Gensler (AS)

Gensler merupakan perusahaan yang berbasis di AS dengan telah operasi kurang lebih pada 48 kota di seluruh dunia. Perusahaan ini memiliki lebih dari 6.000 karyawan dan berhasil meraup pendapatan sebesar 1,2 miliar Dolar AS (Rp 17,2 trilyun) pada tahun 2018. Gensler telah beroperasi sejak tahun 1965 dan memiliki kantor pusat di San Francisco.

  1. HDR (AS)

Perusahaan ini telah terjun dalam industri arsitektur dunia sejak tahun 1917 dan memiliki kantor pusat yang berlokasi di Ohama. HDR memiliki lebih dari 225 kantor di Eropa, Australia, dan Asia dan memiliki lebih dari 10.000 karyawan yang tersebar di seluruh dunia. Perusahaan milik karyawan ini memiliki omzet hingga 2,2 miliar dolar AS (Rp31,6 trilyun) per tahun.

  1. Heerim Architects and Planners (Korea Selatan)

Didirikan pada tahun 1970, Heerim adalah perusahaan arsitektur terbesar di Korea Selatan. Perusahaan ini memiliki 1.200 staf dan menawarkan berbagai layanan termasuk konstruksi, penerangan, dan manajemen. Heerim memiliki kantor pusat di Seoul dan memiliki 13 kantor yang tersebar di seluruh dunia untuk menjalankan misi globalnya.

  1. HKS (AS)

HKS merupakan firma arisitek internasional yang berlokasi di Dallas, Amerika Serikat dan didirikan oleh Harwood K. Smith dan istrinya Kate pada tahun 1939. Firma ini telah mengerjakan banyak proyek bergengsi seperti resor Atlantic Paradise Island di Bahama, 311 South Wacker Drive di Chicago, dan sejumlah stadion di seluruh AS. HKS telah mempekerjakan 1.400 orang di 24 kantor cabang.

 

Sumber: www.kompas.com 

Selengkapnya
10 Biro Arsitek Terbaik di Dunia

Properti dan Arsitektur

Rumah Adat Krong Bade Berasal dari Aceh: Ciri-ciri, Fungsi, Keunikan, dan Arsitektur

Dipublikasikan oleh Admin pada 08 Mei 2024


Rumah Krong Bade adalah rumah adat yang terletak di Nanggroe Aceh Darussalam. Rumah ini sering disebut rumoh Aceh. Sepertihalnya rumah-rumah tradisional pada umumnya, Rumah Krong Bade banyak menggunakan bahan baku alam. Selain sebagai tempat tinggal, ukiran yang terdapat di dalam rumah menjadi penanda status ekonomi pemiliknya. Rumah Krong Bade merupakan rumah adat yang hampir punah karena saat ini masyarakat Aceh lebih senang tinggal di rumah modern. Karena, biaya pembuatan dan perawatan Rumah Krong Bade cukup besar.

Ciri-ciri Rumah Klonbade

Rumah Krong Bade berbentuk persegi panjang yang memanjang dari timur ke barat. Rumah ini memiliki tangga di depan rumah yang berfungsi untuk masuk ke dalam rumah. Tinggi tangga tersebut sekitar 2,5-3 meter dari permukaan tanah. Pada umumnya, anak tangga Rumah Krong Bade berjumlah ganjil, sekitar 7 - 9 anak tangga. Bahan dasar bangunan Rumah Krong Bade berasal dari alam. Dalam pembuatan rumah, masyarakat Aceh tidak menggunakan paku.

Sebagai gantinya, mereka menggunakan tali untuk mengikat dan menyatukan bahan bangunan yang satu dengan yang lain. Dinding rumah adat terbuat dari kayu enau yang dihiasi dengan lukisan dan atapnya terbuat dari daun rumbia. Ukiran yang terdapat di Rumah Krong Bade bervariasi tergantung dari kondisi ekonomi pemiliknya. Semakin, banyak jumlah ukiran di dinding rumah, maka semakin sejahtera tingkat ekonominya.

Tanggag dan bagian bawah rumah adat Krong Bade

Tanggag dan bagian bawah rumah adat Krong Bade (beratayuda.eu.org)

Rumah Krong Bade Saat Ini

Saat ini, Rumah Krong Bade tidak terlalu diminati masyarakat Aceh. Selain karena derasnya arus modernitas, pembangunan Rumah Krong Bade membutuhkan biaya yang banyak serta tenaga dalam pemeliharaannya. Pasalnya, materi dasar pembuatan rumah berasal dari kayu yang saat ini tergolong sulit diperoleh. Pembagian Ruang di Rumah Krong Bade Rumah Krong Bade dibagi menjadi empat bagian yang memiliki fungsi yang berbeda antara satu dengan yang lainnya.

1. Ruang bawah

Ruang bawah digunakan sebagai gudang penyimpanan. Adapun, barang-barang yang disimpan seperti padi atau hasil panen lainnya serta tempat penyimpanan alat penumbuk padi. Ruang bawah juga digunakan sebagai aktivitas kaum perempuan untuk membuat kain khas Aceh. Proses penjualan kain juga dilakukan di ruang bawah. Selain itu, ruang bawah berfungsi juga untuk mencegah masuknya binatang buas serta menghindari kebanjiran.


Tangga dan bagian bawah rumah adat Krong Bade (beratayuda.eu.org).

2. Ruang depan

Ruang depan tidak memiliki kamar. Ruang ini digunakan sebagai tempat anggota keluarga untuk bersantai, beristirahat, dan sebagai tempat anak-anak belajar. Ruang depan juga digunakan untuk menerima tamu.

3. Ruang Tengah

Ruang tengah atau seuramoe teungoh adalah ruang inti Rumah Krong Bade. Bagian rumah ini dikenal sebagai rumah inong atau rumah induk. Ruang ini memiliki beberapa kamar di sisi kiri dan sisi kanan. Letak ruang tengah lebih tinggi dibandingkan ruang depan. Ruang tengah dikhususkan hanya untuk anggota keluarga, sehingga para tamu tidak diizinkan masuk ke dalam ruangan ini. Bahkan, anggota keluargapun tidak semuanya boleh masuk. Ruang tengah dipakai sebagai ruang tidur kepala keluarga. Pada acara-acara keluarga seperti pernikahan, ruang tengah dipakai sebagai ruang tidur pengantin.


Rumah adat Krong Bade berasal dari Aceh (kemdikbud.go.id)

Ruang tengah juga dipakai pada acara kematian sebagai ruang pemandian mayat. Ruang belakang atau seurameo likot digunakan juga sebagai ruang santai untuk keluarga. Selain itu, ruang ini berfungsi sebagai dapur serta tempat keluarga ngobrol.


Sumber: regional.kompas.com 

Selengkapnya
Rumah Adat Krong Bade Berasal dari Aceh: Ciri-ciri, Fungsi, Keunikan, dan Arsitektur

Properti dan Arsitektur

Mengenal Apa itu Pura Mangkunagaran

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 08 Mei 2024


Pura Mangkunegaran (Pura Mangkunegaran, ꦥꦸꦫꦩꦁꦏꦸꦤꦒꦫꦤ꧀) adalah sebuah kompleks istana di kota Surakarta, Jawa Tengah, Indonesia. Ini adalah istana resmi dan tempat tinggal Adipati Mangkunegara dan keluarganya. Kompleks istana ini merupakan salah satu pusat kebudayaan Jawa dan memiliki museum yang memamerkan artefak kerajaan Mangkunegaran.

Sejarah

Kompleks istana ini dibangun pada tahun 1757 (AJ 1690) dengan mengikuti gaya keraton atas perintah Mangkunegara I, Adipati Mangkunegaran yang pertama.

Istana ini dibangun setelah Perjanjian Salatiga ditandatangani oleh Mangkunegara I, Hamengkubuwana I, Pakubuwana III, dan VOC pada bulan Maret 1757. Perjanjian ini mengawali pembentukan Kadipaten Mangkunegaran dan penobatan Mangkunegara I sebagai penguasa pertama.

Seperti istana-istana lain di Jawa, Pura Mangkunegaran telah mengalami beberapa kali renovasi, peremajaan, perubahan pada bagian dan strukturnya, dan juga penambahan gaya Eropa yang populer pada arsitekturnya selama masa penjajahan Belanda.

Arsitektur

Arsitektur Pura Mangkunegaran memiliki ciri-ciri yang mirip dengan istana-istana lain di Surakarta dan Yogyakarta, memiliki berbagai fitur seperti halaman (pamédan), aula (pendapa), ruang depan atau ruang depan (pringgitan), rumah utama (dalem), dan harem atau apartemen pribadi (keputrèn). Hampir seluruh kompleks Pura Mangkunegaran dikelilingi oleh tembok, kecuali halaman (pamédan) yang hanya dikelilingi oleh pagar besi. Halaman itu sendiri dulunya dan sekarang masih digunakan sebagai tempat latihan pasukan Legiun Mangkunegaran. Di sebelah timur halaman terdapat markas pasukan infanteri dan kavaleri Legiun Mangkunegaran yang memiliki bangunan seperti benteng.

Gerbang kedua Pura Mangkunegaran mengarah ke halaman dalam dan Pendopo Ageng yang berukuran 3.500 m2 (37.673,69 kaki persegi). Pendopo Agung Pura Mangkunegaran dapat menampung lima hingga sepuluh ribu orang, dan dianggap sebagai pendopo terbesar di Indonesia. Pilar-pilar kayu di Pendopo Agung berbentuk persegi dan terbuat dari kayu yang berasal dari pohon-pohon Hutan Kethu (Alas Kethu) yang terletak di Wonogiri dan merupakan salah satu wilayah yang dimiliki oleh Kadipaten Mangkunegaran. Seluruh bagian bangunan Pura Mangkunegaran dibangun tanpa menggunakan paku sebagai pengikatnya.

Warna utama dari pendopo ini adalah hijau, kuning, dan merah tua (pareanom) yang merupakan warna kebesaran Kadipaten Mangkunegaran. Warna cerah pada langit-langit Pura Mangkunegaran melambangkan astrologi Hindu-Jawa yang lekat dengan budaya dinasti Mataram. Langit-langit Pura Mangkunegaran juga memiliki beberapa lampu gantung antik. Pada era awal Kadipaten Mangkunegaran, orang-orang yang hadir di Pura Mangkunegaran biasanya duduk bersila di lantai. Kemudian pada masa pemerintahan Mangkunegara VI, penggunaan kursi mulai diperkenalkan. Di dalam Pura Mangkunegaran terdapat beberapa gamelan keramat, yaitu gamelan Kyai Seton, gamelan Kyai Kanyut Mesem, dan gamelan Lipur Sari, masing-masing gamelan tersebut hanya dimainkan pada acara-acara khusus atau tertentu.

Di belakang Bangsal Agung, terdapat beranda terbuka yang disebut Pringgitan yang memiliki tangga menuju ke rumah utama (Dalem Ageng). Beranda ini berukuran 1.000 m² dan digunakan sebagai tempat pertunjukan wayang kulit.

Pringgitan mengarah ke rumah utama (Dalem Ageng), merupakan bangunan berbentuk limas dengan luas ± 1.000 m2 (10.763,91 kaki persegi). Secara tradisional, rumah utama ini digunakan sebagai kamar pengantin adipati dan bangsawan, namun saat ini bangunan ini telah difungsikan sebagai museum yang memamerkan beberapa artefak kerajaan Mangkunegaran, foto-foto adipati Mangkunegaran, pakaian dan pakaian kerajaan, medali, perhiasan kerajaan, peralatan wayang kulit, uang logam, petanen (tempat bersemayamnya Dewi Sri), dan masih banyak lagi.

Di belakang rumah utama (Dalem Ageng), terdapat Keputrèn yang secara kasar diterjemahkan sebagai harem. Secara tradisional, tempat ini digunakan sebagai tempat tinggal permaisuri dan putri kerajaan. Namun sekarang, Keputrèn digunakan sebagai apartemen atau tempat tinggal pribadi untuk adipati dan keluarganya. Bagian dari Pura Mangkunegaran ini memiliki taman dengan berbagai macam tanaman, bunga, semak hias, sangkar burung, kolam air mancur, dan beberapa patung bergaya Eropa klasik.

Menghadap ke arah taman, terdapat pula Pracimoyasa, sebuah ruang tamu dengan bentuk segi delapan yang difungsikan sebagai ruang pertemuan. Di dalam ruangan ini terdapat beberapa perabotan Eropa dan cermin berbingkai emas di dindingnya.

Kompleks Pura Mangkunagaran juga memiliki sebuah perpustakaan yang disebut Perpustakaan Rekso Pustoko yang dibangun pada tahun 1867 oleh Mangkunegara IV. Perpustakaan ini terletak di lantai dua Kantor Urusan Istana yang terletak di sebelah kiri halaman (pamèdan). Perpustakaan ini memiliki beberapa peninggalan sejarah yang berharga seperti naskah bersampul kulit, buku-buku yang ditulis dalam bahasa dan aksara Jawa, koleksi gambar-gambar bersejarah, foto-foto, dan berkas-berkas arsip perkebunan dan harta benda yang dimiliki Kadipaten Mangkunegaran.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Apa itu Pura Mangkunagaran

Properti dan Arsitektur

Mengenal Kesunanan Surakarta Hadiningrat

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 08 Mei 2024


Kasunanan Surakarta (bahasa Indonesia: Kasunanan Surakarta; bahasa Jawa: ꦟꦒꦫꦶꦑꦱꦸꦤꦤ꧀ꦤꦤ꧀ꦯꦸꦫꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦁꦫꦠ꧀, diromanisasi: Kasunanan/Kraton Surakarta Hadiningrat) adalah sebuah kerajaan Jawa yang berpusat di kota Surakarta, di provinsi Jawa Tengah, Indonesia.

Keraton Surakarta didirikan pada tahun 1745 oleh Pakubuwono II. Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta merupakan penerus Kesultanan Mataram. Tidak seperti rekan-rekan mereka di Yogyakarta, yang menggunakan gelar sultan, penguasa Surakarta menggunakan gelar sunan. Nama Belanda digunakan selama masa pemerintahan kolonial Belanda hingga tahun 1940-an. Gelar ini terkadang diindonesiakan menjadi Kerajaan Solo, dari lokasi istana mereka.

Sejarah

Setelah Sultan Agung I, kekuasaan dan prestise Kesultanan Mataram menurun karena perebutan kekuasaan dan konflik suksesi di dalam keluarga kerajaan. VOC (Perusahaan Dagang Hindia Timur Belanda) mengeksploitasi perebutan kekuasaan tersebut untuk meningkatkan kekuasaannya di Jawa, dan berhasil mendapatkan konsesi dari bekas jajahan Mataram di Priangan dan Semarang. Pusat pemerintahan Mataram di Plered dekat Kotagede runtuh setelah pemberontakan Trunojoyo pada tahun 1677. Sunan Amral (Amangkurat II) memindahkan istana ke Kartasura. Pada masa pemerintahan Sunan Pakubuwono II, pada tahun 1742 Raden Mas Garendi (Sunan Kuning) memimpin tentara bayaran dari Cina dan melancarkan pemberontakan terhadap kerajaan dan juga VOC. Raden Mas Garendi adalah putra dari Pangeran Teposono dan juga cucu dari Amangkurat II.

Para pemberontak berhasil menguasai ibukota Kartasura dan menggulingkan Pakubuwono II yang kemudian melarikan diri dan mengungsi ke Ponorogo. Dengan bantuan Adipati Cakraningrat IV, penguasa Madura bagian barat, Pakubuwono II berhasil merebut kembali ibukota dan menumpas pemberontakan. Namun istana Kartasura dihancurkan dan dianggap tidak menguntungkan karena pertumpahan darah terjadi di sana. Pakubuwono II memutuskan untuk membangun istana dan ibu kota baru di desa Sala (Solo). Pemindahan ibu kota ke desa Sala diperingati dalam babad Sengkala "Kombuling Pudya Kepyarsihing Nata" yang bertepatan dengan hari Rabu tanggal 12 Sura 1670 tahun Jawa (17 Februari 1745). Tanggal tersebut dianggap sebagai hari berdirinya Kasunanan Surakarta.

Pakubuwono II menghadapi banyak pemberontakan, antara lain dari Raden Mas Said, dan kemudian dari adiknya sendiri, Pangeran Mangkubumi yang bergabung dengan pemberontakan Mas Said pada tahun 1746. Pakubuwono II meninggal karena sakit pada tahun 1749, namun sebelum meninggal, ia mempercayakan urusan kerajaan Surakarta kepada pelindung kepercayaannya, Baron von Hohendorff, seorang perwira VOC. Atas nama penerus Pakubuwono II, Pakubuwono III, VOC berhasil menengahi perundingan damai dengan Pangeran Mangkubumi. Kesepakatan damai tercapai dengan Kesultanan Mataram dibagi menjadi dua berdasarkan Perjanjian Giyanti tanggal 13 Februari 1755: Kesultanan Yogyakarta di bawah kekuasaan Pangeran Mangkubumi yang kemudian bergelar Hamengku Buwono I dan Kasunanan Surakarta di bawah kepemimpinan Pakubuwono III.

Perjanjian Giyanti mengangkat Pangeran Mangkubumi sebagai Sultan Yogyakarta. Pada masa pemerintahan Belanda, ada dua kerajaan utama di Vorstenlanden Mataram yang diakui, yaitu Kasunanan Surakarta dan Kesultanan Yogyakarta. Kemudian beberapa tahun kemudian, Surakarta dibagi lagi dengan berdirinya Praja Mangkunegaran setelah Perjanjian Salatiga (17 Maret 1757). Praja Mangkunegaran dipimpin oleh seorang pemberontak terkenal Raden Mas Said yang bergelar Mangkunegara I. Wilayah Kasunanan Surakarta semakin berkurang setelah terjadinya Perang Jawa (1825-1830) yang dipimpin oleh Pangeran Diponegoro. Susuhunan Pakubuwono VI dituduh secara diam-diam mendukung pemberontakan Diponegoro, dan sebagai hukuman setelah Perang Jawa, Kasunanan diwajibkan untuk menyerahkan sebagian besar wilayahnya kepada Belanda.

Selama era Hindia Belanda, Kasunanan Surakarta menikmati status otonom di bawah pengaturan Vorstenlanden Mataram. Bersama dengan Kasultanan Yogyakarta, Kasunanan Surakarta dianggap sebagai negara bawahan Kerajaan Belanda di bawah perlindungan kerajaan di bawah mahkota Belanda. Puncak kejayaan dan kekuasaan Kasunanan Surakarta terjadi pada masa pemerintahan Pakubuwono X (1893-1939), dimana Sunan merenovasi dan memperbesar Keraton Surakarta serta membangun berbagai proyek infrastruktur dan gedung-gedung di kota Surakarta. Kerajaan ini menghadapi era perselisihan dan ketidakpastian selama Perang Dunia II dan pendudukan Jepang di Hindia Belanda.

Setelah deklarasi kemerdekaan Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, yang diikuti oleh Revolusi Nasional Indonesia, Kasunanan Surakarta dengan Praja Mangkunegaran mengirimkan surat kepercayaan kepada Sukarno untuk menunjukkan dukungan mereka terhadap Republik Indonesia. Sebagai imbalannya, Republik Indonesia memberikan status Daerah Istimewa (Daerah Istimewa, mirip dengan Kesultanan Yogyakarta saat ini) dalam Republik Indonesia. Namun, karena agitasi politik dan oposisi dari komunis Indonesia yang mengarah pada gerakan anti-monarki dan pemberontakan pada awal 1946, pada tanggal 16 Juni 1946, Republik Indonesia membatalkan status daerah istimewa; status Surakarta dan Mangkunegaran diturunkan menjadi hanya sebuah tempat tinggal dan kemudian digabungkan ke dalam provinsi Jawa Tengah.

Sebaliknya, Kesultanan Yogyakarta berhasil mempertahankan status istimewa. Dukungan historis dan hubungan erat Yogyakarta dengan para pendiri Republik Indonesia selama perang kemerdekaan dan revolusi nasional Indonesia. Kasunanan Surakarta tidak memiliki kekuatan politik yang nyata. Kekuatannya terbatas pada prestise kerajaan dan posisi khusus dalam mempertahankan budaya tradisional Jawa. Gengsi ini masih tetap ada, yang membuat banyak pemimpin dan tokoh politik di Indonesia mencari afiliasi dengan Kasunanan.

Tempat tinggal

Tempat tinggal utama para sunan adalah kraton (istana), yang kadang-kadang disebut Kraton Surakarta atau Kraton Solo, namun secara formal dikenal sebagai Karaton Surakarta Hadiningrat. Seperti halnya dengan sejumlah keraton lain di berbagai kota di Jawa, Karaton Surakarta telah menjadi cukup terabaikan selama bertahun-tahun. Sedikit sekali dana yang tersedia untuk pemeliharaan, banyak bagian dari keraton yang sudah dalam kondisi rusak parah.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Kesunanan Surakarta Hadiningrat

Properti dan Arsitektur

Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 08 Mei 2024


Keraton Yogyakarta (bahasa Indonesia: Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, bahasa Jawa: ꦏꦿꦠꦺꦴꦤ꧀ꦔꦪꦺꦴꦒꦾꦏꦂꦠꦲꦢꦶꦤꦶꦔꦿꦠ꧀, diromanisasi: Kadhaton Ngayogyakarta Adiningrat) adalah sebuah kompleks istana di kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta, Indonesia. Ini adalah tempat tinggal Sultan Yogyakarta yang berkuasa dan keluarganya. Kompleks ini merupakan pusat kebudayaan Jawa dan memiliki museum yang memamerkan artefak kerajaan. Tempat ini dijaga oleh Pengawal Keraton Yogyakarta (bahasa Indonesia: Prajurit Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat).

Sejarah

Kompleks ini dibangun pada tahun 1755-1756 (AJ 1682) untuk Hamengku Buwono I, Sultan Yogyakarta yang pertama. Ini adalah salah satu tindakan pertama raja setelah penandatanganan Perjanjian Giyanti, yang mengakui pembentukan Kesultanan Yogyakarta di bawah VOC. Sebuah hutan beringin, yang terlindung dari banjir karena lokasinya yang berada di antara dua sungai, dipilih sebagai lokasi istana.

Meskipun jumlah mereka lebih banyak dari Inggris, orang Jawa tidak siap menghadapi serangan tersebut. Yogyakarta jatuh dalam satu hari, dan istana direbut dan dibakar. Serangan tersebut merupakan serangan pertama terhadap istana Jawa, dan Kesultanan Yogyakarta sempat berada di bawah kekuasaan Inggris sebelum pemerintah Inggris mengembalikan kekuasaan Indonesia kepada Belanda. Sebagian besar istana yang ada saat ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (yang berkuasa pada tahun 1921-1939) dan dibangun kembali setelah gempa bumi pada tahun 1876 dan 2006.

Serangan tersebut merupakan serangan pertama terhadap istana Jawa, dan Kesultanan Yogyakarta sempat berada di bawah kekuasaan Inggris sebelum pemerintah Inggris mengembalikan kendali Indonesia kepada Belanda. Sebagian besar istana yang ada saat ini dibangun oleh Sultan Hamengku Buwono VIII (yang memerintah dari tahun 1921 hingga 1939) dan dibangun kembali setelah gempa bumi pada tahun 1876 dan 2006.

Arsitektur

Arsitek utama istana ini adalah Sultan Hamengku Buwono I, yang mendirikan Kesultanan Yogyakarta. Keahlian arsitekturnya dihargai oleh ilmuwan Belanda Theodoor Gautier Thomas Pigeaud dan Lucien Adam, yang menganggapnya sebagai penerus yang layak untuk Pakubuwono II (pendiri Kasunanan Surakarta). Tata letak istana, yang mengikuti desain dasar kota tua Yogyakarta, selesai dibangun pada tahun 1755-1756; bangunan lain ditambahkan oleh Sultan Yogyakarta selanjutnya.

Kompleks ini terdiri dari halaman yang dilapisi pasir dari pantai selatan, bangunan utama, dan bangunan sekunder. Bangunan-bangunan tersebut dipisahkan oleh dinding dengan regol bergaya semar tinandu. Pintu istana terbuat dari kayu jati yang tebal. Di belakang (atau di depan) pintu gerbang dalam arsitektur Jawa biasanya terdapat tembok penyekat (Renteng atau Baturono), terkadang dengan ornamen tradisional yang khas.

Atap joglo berbentuk trapesium biasanya ditutupi dengan sirap merah atau abu-abu, genteng, atau seng. Ditopang oleh tiang utama (soko guru) dan tiang-tiang sekunder. Pilar biasanya berwarna hijau tua atau hitam, dengan sorotan kuning, hijau muda merah atau emas. Elemen bangunan kayu lainnya senada dengan warna pilar.

Alas batu (Ompak), warna hitam dikombinasikan dengan ornamen emas. Warna putih mendominasi dinding bangunan dan kompleks. Lantai, biasanya marmer putih atau ubin bermotif, lebih tinggi dari halaman berpasir. Beberapa bangunan memiliki lantai utama yang lebih tinggi. Bangunan lain memiliki batu persegi (Selo Gilang) untuk singgasana sultan.

Setiap bangunan diklasifikasikan berdasarkan penggunaannya. Bangunan kelas utama (yang digunakan oleh sultan) memiliki lebih banyak ornamen daripada bangunan kelas bawah, yang memiliki sedikit atau tanpa ornamen.

Simbolisme

Keraton adalah istana. Keraton adalah tempat tinggal keluarga kerajaan. Pohon asam dan ceri Spanyol berjejer di sepanjang jalan dari Rumah Buru Krapyak menuju keraton, yang membentang dari Tugu Yogyakarta ke keraton.

Tugu Yogyakarta (Tugu Gilig golong), di sisi utara kota tua, melambangkan "penyatuan antara raja (golong) dan rakyat (gilig)" (bahasa Jawa: manunggaling kawulo gusti)." Ini juga melambangkan kesatuan akhir antara pencipta (Khalik) dan rakyatnya. Gapura Donopratoro (gerbang menuju kawasan Kedaton) melambangkan "orang yang baik adalah orang yang murah hati dan tahu bagaimana mengendalikan hawa nafsunya", dan dua patung Dwarapala (Balabuta dan Cinkarabala) melambangkan kebaikan dan kejahatan. Artefak-artefak istana ini dipercaya memiliki kekuatan untuk mengusir kejahatan.

Pertunjukan

Keraton ini menjadi tuan rumah bagi pertunjukan gamelan (musik), tarian Jawa, macapat (puisi), dan wayang.

Dalam budaya populer

Kraton Ngayogyakarta Hadiningrat adalah Pit Stop kedua dalam The Amazing Race 19.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat

Properti dan Arsitektur

Mengenal Masjid Agung Banten

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 08 Mei 2024


Masjid Agung Banten adalah sebuah masjid bersejarah di Banten Lama, 10 km sebelah utara Serang, Indonesia. Masjid yang dibangun pada abad ke-16 ini merupakan salah satu dari sedikit peninggalan yang masih ada dari kota pelabuhan Banten, pusat perdagangan paling makmur di nusantara setelah runtuhnya Kesultanan Demak pada pertengahan abad ke-16.

Sejarah

Masjid Agung Banten menunjukkan desain eklektik, sebuah bukti pengaruh internasional di Banten pada saat pembangunannya pada tahun 1552. Masjid ini dibangun dengan gaya Jawa pada masa pemerintahan Sultan Maulana Yusuf, Sultan ketiga Kesultanan Banten, pada bulan Dzulhijjah 966 (1566 M).

Pada tahun 1632, menara setinggi 24 meter ditambahkan ke dalam kompleks masjid. Menara ini dirancang oleh seorang Cina bernama Cek-ban-cut. Sekitar periode yang sama, tiyamah bergaya Belanda ditambahkan ke masjid mengikuti desain Hendrik Lucaasz Cardeel, seorang Belanda yang masuk Islam.

Elemen-elemen desain Masjid Agung Banten memiliki pengaruh agama dan budaya dari Islam, Hindu, Budha, Tionghoa dan Belanda. Budaya-budaya ini telah menanamkan nilai-nilai dan gaya mereka pada arsitektur Masjid Agung Banten, tetapi juga telah berpadu dengan baik dengan budaya Jawa di Indonesia. Sebagai contoh, terdapat perpaduan elemen arsitektur Hindu dan Jawa yang terdiri dari konstruksi bata Belanda. Cardeel menggabungkan fitur arsitektur Barok Eropa awal dalam desain masjidnya, yang terutama dapat dilihat pada menara, bangunan tiyamah, dan dinding masjid. Hal ini membuat Masjid Agung Banten berbeda dengan masjid-masjid tradisional lainnya di Indonesia, karena terdapat perpaduan budaya yang berbeda yang tertanam dalam desain dan elemen arsitekturnya.

Arsitektur

  • Struktur keseluruhan

Struktur keseluruhan masjid sering dianggap mengacu pada tubuh manusia sesuai dengan konsep yang berkaitan dengan tubuh manusia dalam budaya tradisional Jawa. Menurut konsep tersebut, bangunan dapat dibagi menjadi tiga bagian: kepala, badan, dan kaki. Masing-masing, atap Masjid Agung Banten mewakili kepala, dinding mewakili tubuh dan tunggul mewakili kaki.

Atap masjid dibangun dengan gaya joglo, gaya atap tradisional Jawa. Atapnya terdiri dari tingkat-tingkat yang bertingkat, yang mewakili karakteristik yang berbeda dari kepercayaan Islam. Tingkat-tingkat atap yang bertingkat, dari bawah ke atas, mewakili: semua umat Islam, Orang Beriman, Dermawan, Tulus, dan Berhati-hati. Atapnya berbentuk segitiga, dengan ujung atap yang melambangkan Sang Pencipta, Allah, pada titik tertinggi dalam iman Islam. Gaya segitiga ini mirip dengan bentuk rebung, mengikuti gaya atap limas tradisional masjid khas Jawa.

Badan masjid terdiri dari 24 tiang (tiang soko) yang berbentuk segi delapan dan ditempatkan di tengah-tengah masjid untuk menopang atap. Terdapat empat tiang utama dan 20 tiang penyangga, mengikuti budaya khas Jawa. Setiap tiang memiliki bentuk seperti labu dan desain bunga teratai di bagian atas dan bawahnya. Desain teratai ini melambangkan kehadiran dan kebangkitan Islam di Indonesia dan juga merupakan simbol kekuatan bagi para mualaf saat mereka menjalani gaya hidup baru. Bentuk labu sangat penting karena pentingnya labu sebagai sumber makanan selama musim kemarau di Indonesia. Bentuk melingkar dari kolom berasal dari pengaruh agama Buddha, karena melambangkan keseimbangan kekuatan dari berbagai arah dan fokus energi di dalam masjid. Keberadaan hal ini dianalogikan dengan pengaruh yang berbeda dari Islam, Hindu, dan Budha yang bekerja sama dalam gaya arsitektur Masjid Agung Banten.

Kaki (umpak) masjid menopang 24 tiang dan melambangkan hubungan antara tanah dan Allah. Dengan demikian, umpak masjid bertindak sebagai fondasi, menghidupkan masjid dengan menopangnya.

  • Tata letak

Sebagai kota pelabuhan, Masjid Agung Banten menampilkan elemen eklektik, yang tampak pada keseluruhan ruang tertutup masjid, menara, dan bangunan tiyamah. Menara adalah ikon populer Masjid Agung Banten. Menara ini terbuat dari batu bata setinggi 24 meter, dengan dasar segi delapan berdiameter 10 meter. Bentuknya mengingatkan kita pada mercusuar. Arsitekturnya menampilkan perpaduan antara pola Mughal India dan dekorasi candi kuno.

Di samping masjid terdapat sebuah bangunan berlantai dua yang dibangun dengan gaya Belanda abad ke-17. Bangunan yang dikenal dengan nama tiyamah ini didirikan atas perintah Sultan Haji dari Banten dan dirancang oleh seorang Belanda, Hendrik Lucaasz Cardeel. Cardeel memeluk agama Islam, menjadi anggota kerajaan Banten dengan gelar Pangeran Wiraguna, dan merancang bangunan yang sekarang berdiri di sisi barat daya Masjid Agung ini. Bangunan ini masih digunakan sebagai pusat studi Islam. Bangunan tiyamah adalah tempat pertemuan sosial diadakan, dan merupakan satu-satunya masjid tradisional di Indonesia yang memiliki bangunan seperti itu di sebelahnya. Bangunan tiyamah dibangun untuk mengakomodasi iklim tropis Indonesia, yang terlihat melalui denah lantai terbuka dengan ventilasi dan pencahayaan maksimum dan melalui fitur-fitur yang melindungi bangunan seperti atap dengan sudut lancip untuk mengatasi hujan lebat. Bahan konstruksi yang digunakan adalah kayu, batu bata, dan ubin. Jendela dan pintu memiliki desain simetris dengan garis horizontal dan vertikal.

Di dalam Masjid Agung Banten juga terdapat ruang salat wanita, yang disebut pewastren, dan beberapa makam di dalam kompleks masjid, seperti makam Sultan Maulana Hasanuddin dan istrinya, Sultan Ageng Tirtayasa, dan makam Sultan Abu Nasir Abdul Qohhar. Karena makam-makam tersebut termasuk dalam tata letak masjid, 24 tiang masjid tidak terletak di tengah ruangan, seperti biasanya. Tidak seperti kebanyakan masjid tradisional yang memiliki dasar persegi, Masjid Agung Banten dibangun dengan dasar persegi panjang. Hal ini terutama karena adanya pewastren dan makam.

 

  • Eksterior

Dengan arsitektur khas masjid Jawa, Masjid Agung Banten terdiri dari ruang sholat utama dan beranda tertutup (serambi). Serambi adalah struktur seperti teras semi-menyatu yang menyediakan pintu masuk ke ruang sholat utama. Ruang salat utama memiliki atap bertingkat lima yang ditopang oleh empat tiang utama (saka guru). Tiga tingkat paling atas disusun agak unik, tampak lebih mirip pagoda Cina daripada atap bertingkat biasa dari arsitektur Jawa. Ada perselisihan mengenai jumlah asli dari tingkatan ruang sembahyang utama; sketsa kota pada tahun 1596, 1624, 1661 dan 1726 menunjukkan jumlah tingkat tidak lebih dari tiga tingkat, sementara Valentijn (1858) menyebutkan jumlah tingkat adalah lima seperti sekarang. Serambi-serambi tertutup ditambahkan pada bangunan utama masjid, dibangun di sisi utara dan selatan masjid.

  • Interior

Interior Masjid Agung Banten tidak terlalu dekoratif atau rumit karena tidak ada kaligrafi atau bentuk seni hias. Satu-satunya elemen dekoratif dapat ditemukan pada bukaan ventilasi udara yang memiliki pola geometris. Gaya desain interior minimalis ini mirip dengan Masjid Pecinan Tinggi, sebuah masjid untuk komunitas Tionghoa di Indonesia.

Terdapat pengaruh Buddha yang besar pada tunggul kolom masjid. Bentuk melingkar dan bentuk motif teratai yang mendetail di bagian atas dan bawah setiap kolom berasal dari pendekatan budaya Tionghoa, yang memiliki pengaruh Buddha. Bentuk bundar melingkar ini membawa keseimbangan pada masjid, karena melambangkan keseimbangan semua kekuatan dan kekuatan. Selain itu, ditemukan bahwa motif teratai yang terperinci ini sesuai dengan lapisan mediasi Buddha, yang dikenal sebagai enam puluh tingkat. Kesesuaian ini terlihat dari tiang-tiang yang menjadi titik fokus dari doa-doa yang dilakukan di dalam masjid, energinya mengalir melalui tiang-tiang tersebut hingga ke titik tertinggi masjid.

Ada tiga area utama di kompleks Masjid Agung Banten: Masjid Agung, bangunan tiyamah, dan area pemakaman. Bangunan tiyamah berfungsi sebagai ruang untuk pertemuan sosial, sementara pemakaman tetap menjadi tradisi budaya yang menjadi tempat makam keluarga kerajaan. Pemakaman memiliki pengaruh paling besar terhadap kegiatan sosial dan budaya yang terjadi di dalam kompleks Masjid. Banyak pengunjung kompleks Masjid Agung yang datang ke sana dengan tujuan untuk mengunjungi makam Sultan Maulana Hasanuddin dan anggota keluarganya. Hal ini mempengaruhi jenis kegiatan tradisional yang dilakukan di area tersebut.

Masjid Agung Banten pada awalnya dibangun untuk berfungsi sebagai lokasi bagi umat Islam untuk memenuhi kebutuhan religius mereka dan melakukan kegiatan keagamaan. Sejalan dengan kebutuhan untuk belajar lebih banyak tentang Islam, Indonesia juga memiliki populasi mualaf yang terus meningkat. Keragaman dan koeksistensi bentuk arsitektur yang mengacu pada pertukaran budaya dengan agama lain termasuk Buddha dan Hindu yang terlihat di Masjid Agung Banten dimaksudkan untuk melambangkan konvergensi ini.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Masjid Agung Banten
« First Previous page 3 of 12 Next Last »