Menguak Kunci Transformasi Tata Kelola Iklim Kota: Studi Kasus Rotterdam & New York dalam Membangun Kapasitas Perubahan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

13 Juni 2025, 09.37

pixabay.com

Kota sebagai Arena Utama Transformasi Iklim

Kota-kota dunia kini berada di garis depan dalam menghadapi krisis iklim. Dengan lebih dari separuh populasi dunia tinggal di wilayah urban, kota menjadi pusat emisi gas rumah kaca sekaligus korban utama dampak perubahan iklim seperti banjir, gelombang panas, dan kenaikan permukaan laut. Namun, kota juga menyimpan potensi besar sebagai laboratorium inovasi untuk mitigasi dan adaptasi iklim.

Disertasi Katharina Hölscher (2019) menawarkan analisis mendalam tentang bagaimana kota dapat mengubah tata kelola iklimnya agar lebih transformatif. Dengan membedah dua studi kasus—Rotterdam (Belanda) dan New York City (AS)—penelitian ini membangun kerangka kapasitas tata kelola yang dapat direplikasi di kota-kota lain di dunia.

Kerangka Teoritis: Transformative Climate Governance

Mengapa Butuh Pendekatan Transformatif?

Hölscher menegaskan bahwa perubahan iklim bukan sekadar masalah lingkungan, melainkan gejala dan pemicu dari ketergantungan jalur pembangunan kota yang tidak berkelanjutan. Oleh karena itu, solusi parsial atau reaktif tidak cukup. Diperlukan perubahan sistemik—baik dalam tata kelola, perilaku, maupun institusi—yang mampu mengintegrasikan mitigasi, adaptasi, dan tujuan pembangunan berkelanjutan.

Empat Kapasitas Kunci Tata Kelola Transformatif

Penelitian ini merumuskan empat kapasitas utama yang harus dimiliki kota untuk mewujudkan tata kelola iklim yang transformatif:

  1. Stewarding Capacity
    Kemampuan mengantisipasi, melindungi, dan memulihkan diri dari risiko serta ketidakpastian (misal: banjir, badai, gelombang panas).
  2. Unlocking Capacity
    Kapasitas mengenali dan membongkar ketergantungan pada pola lama yang tidak berkelanjutan (misal: kebijakan pro-fossil fuel, tata ruang yang rentan).
  3. Transformative Capacity
    Kemampuan menciptakan, menyebarluaskan, dan melembagakan inovasi (teknologi, peraturan, pola hidup).
  4. Orchestrating Capacity
    Kemampuan mengoordinasikan berbagai aktor, sektor, dan skala pemerintahan secara sinergis dan inklusif.

Studi Kasus: Rotterdam dan New York City

Rotterdam: Kota Delta yang Tangguh

  • Konteks: Rotterdam adalah kota pelabuhan terbesar di Eropa, sangat rentan terhadap banjir akibat letaknya di delta Sungai Rhine-Meuse.
  • Kebijakan: Rotterdam Climate Initiative dan program adaptasi “Rotterdam Climate Proof” menargetkan kota bebas karbon pada 2050 dan 100% tahan banjir pada 2025.
  • Inovasi:
    • Benthemplein Water Square—ruang publik multifungsi yang menampung air hujan saat badai, mengurangi risiko banjir, sekaligus menjadi pusat komunitas.
    • Floating Pavilion—bangunan apung sebagai laboratorium hidup untuk adaptasi permukiman terhadap kenaikan permukaan air.

Angka Kunci:

  • Investasi adaptasi mencapai €500 juta antara 2008–2018.
  • Target pengurangan emisi CO₂ sebesar 50% pada 2030 dibanding 1990.

New York City: Resiliensi Pasca Sandy

  • Konteks: NYC menghadapi risiko banjir pesisir, badai, dan gelombang panas. Badai Sandy (2012) menjadi titik balik penguatan tata kelola iklim.
  • Kebijakan:
    • OneNYC—strategi pembangunan berkelanjutan dan resiliensi jangka panjang.
    • Rebuild by Design—kompetisi inovasi tata ruang pasca Sandy yang menghasilkan proyek-proyek seperti Living Breakwaters (terumbu buatan untuk meredam ombak dan memperkuat ekosistem pesisir).
  • Inovasi:
    • Penguatan jaringan komunitas lokal untuk respons bencana.
    • Integrasi data risiko iklim ke dalam perencanaan tata ruang dan infrastruktur.

Angka Kunci:

  • Kerugian akibat Sandy: US$19 miliar.
  • Investasi resiliensi: US$20 miliar (2013–2020).
  • Proyeksi: 800.000 penduduk NYC tinggal di zona rawan banjir pada 2050.

Analisis Perbandingan: Bagaimana Kapasitas Tata Kelola Terbentuk?

Stewarding Capacity

  • Rotterdam:
    • Pengembangan data risiko banjir dan sistem peringatan dini.
    • Perencanaan jangka panjang berbasis skenario iklim.
  • NYC:
    • Integrasi pengetahuan ilmiah (NPCC, Panel Iklim Kota) ke dalam kebijakan.
    • Penguatan jejaring sosial dan komunitas untuk respons darurat.

Unlocking Capacity

  • Rotterdam:
    • Penghapusan insentif untuk pembangunan di zona rawan banjir.
    • Aliansi strategis dengan sektor swasta untuk inovasi hijau.
  • NYC:
    • Regulasi baru yang membatasi pembangunan di kawasan pesisir.
    • Fasilitasi transisi energi terbarukan dan transportasi rendah karbon.

Transformative Capacity

  • Rotterdam:
    • Eksperimen ruang publik adaptif dan infrastruktur hijau.
    • Penyebaran narasi kota tahan iklim untuk membangun dukungan publik.
  • NYC:
    • Proyek inovasi seperti Living Breakwaters dan Big U (tanggul hijau).
    • Skema pendanaan kolaboratif lintas sektor (federal, lokal, swasta).

Orchestrating Capacity

  • Rotterdam:
    • Koordinasi lintas departemen kota dan kemitraan dengan universitas.
    • Forum multi-aktor untuk perencanaan dan evaluasi kebijakan.
  • NYC:
    • Pembentukan kantor khusus (Office of Recovery and Resiliency, Office of Sustainability).
    • Keterlibatan aktif komunitas, LSM, dan sektor swasta dalam pengambilan keputusan.

Tantangan dan Kesenjangan

Kesenjangan Implementasi

  • Kapasitas transformatif masih menjadi “niche”, belum terintegrasi penuh dalam arsitektur kebijakan kota.
  • Insentif ekonomi dan regulasi masih condong ke kepentingan jangka pendek.
  • Fragmentasi antar sektor dan level pemerintahan menghambat mainstreaming inovasi.

Hambatan Sosial dan Politik

  • Resistensi terhadap perubahan di tingkat birokrasi dan masyarakat.
  • Konflik kepentingan antara pembangunan ekonomi dan perlindungan lingkungan.
  • Keterbatasan sumber daya untuk memperluas eksperimen menjadi kebijakan arus utama.

Studi Kasus Mikro: Benthemplein Water Square & Living Breakwaters

Benthemplein Water Square (Rotterdam)

  • Fungsi: Menampung hingga 1,7 juta liter air hujan saat badai, mencegah banjir di kawasan padat penduduk.
  • Manfaat tambahan: Ruang publik untuk olahraga, seni, dan interaksi sosial saat tidak tergenang.
  • Pembelajaran: Kolaborasi lintas disiplin (arsitek, insinyur, komunitas) mempercepat adopsi inovasi.

Living Breakwaters (NYC)

  • Fungsi: Terumbu buatan sepanjang 4,5 km di pesisir Staten Island, meredam ombak, memperkuat ekosistem, dan menyediakan habitat baru.
  • Dampak: Mengurangi risiko banjir, meningkatkan keanekaragaman hayati, dan memperkuat ketahanan sosial.
  • Pembelajaran: Kolaborasi antara pemerintah, LSM, dan komunitas lokal menghasilkan solusi multifungsi dan berkelanjutan.

Opini & Kritik: Apa yang Bisa Dipelajari Kota Lain?

Nilai Tambah Penelitian

  • Kerangka kapasitas yang dikembangkan sangat aplikatif untuk kota-kota lain, terutama di Asia dan Amerika Latin yang menghadapi tantangan serupa.
  • Penekanan pada multi-aktor & multi-skala menjadi kunci keberhasilan inovasi tata kelola.
  • Studi kasus konkret memberi inspirasi nyata, bukan sekadar teori.

Kritik

  • Kurangnya data kuantitatif dampak jangka panjang dari inovasi yang diadopsi.
  • Tantangan mainstreaming: Banyak inovasi masih bersifat pilot project, belum menjadi kebijakan utama.
  • Konteks politik dan budaya lokal sangat memengaruhi keberhasilan, sehingga replikasi ke kota lain butuh adaptasi kontekstual.

Hubungan dengan Tren Global & Industri

  • Jaringan kota dunia seperti C40 dan 100 Resilient Cities mempercepat pertukaran pengetahuan dan replikasi inovasi.
  • Digitalisasi dan big data mulai diadopsi untuk pemantauan risiko dan perencanaan adaptasi.
  • Solusi berbasis alam (nature-based solutions) dan infrastruktur hijau menjadi tren utama dalam perencanaan kota tahan iklim.

Rekomendasi Praktis untuk Kota Menuju Transformasi Iklim

  1. Bangun kapasitas lintas sektor: Libatkan semua pemangku kepentingan sejak perencanaan hingga implementasi.
  2. Dorong eksperimen dan inovasi: Jadikan kota sebagai laboratorium hidup untuk solusi iklim.
  3. Integrasikan mitigasi dan adaptasi: Hindari pendekatan silo, cari sinergi antara pengurangan emisi dan adaptasi.
  4. Perkuat jejaring komunitas: Keterlibatan warga memperkuat legitimasi dan efektivitas kebijakan.
  5. Mainstreaming inovasi: Skala-up proyek pilot menjadi kebijakan arus utama melalui regulasi dan insentif.

Menuju Kota Tahan Iklim yang Inklusif dan Inovatif

Transformasi tata kelola iklim kota bukan sekadar soal teknologi atau kebijakan, tetapi tentang membangun kapasitas kolektif untuk berinovasi, berkolaborasi, dan beradaptasi secara berkelanjutan. Studi Rotterdam dan New York City menunjukkan bahwa perubahan nyata dimulai dari keberanian bereksperimen, keterbukaan pada kolaborasi lintas sektor, dan komitmen jangka panjang. Kota masa depan adalah kota yang mampu belajar, berinovasi, dan menempatkan warganya sebagai aktor utama perubahan.

Sumber Artikel

Hölscher, K. (2019). Transforming urban climate governance: Capacities for transformative climate governance. Doctoral thesis, Erasmus University Rotterdam.