Kolaborasi Adaptasi Iklim: Menyatukan Tata Kelola Air dan Perencanaan Kota untuk Masa Depan Urban Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah

13 Juni 2025, 09.41

pixabay.com

Kota, Air, dan Tantangan Iklim Abad ke-21

Urbanisasi pesat, perubahan iklim, dan pertumbuhan penduduk telah mengubah wajah tantangan pengelolaan air di kota-kota dunia. Dalam 70 tahun terakhir, populasi perkotaan melonjak dari 0,8 miliar (29,6%) pada 1950 menjadi 4,4 miliar (56,2%) pada 2020, dan diproyeksikan mencapai 6,7 miliar (68,4%) pada 2050. Bersamaan dengan itu, konsumsi air meningkat enam kali lipat, terutama didorong kebutuhan pertanian, industri, dan domestik1.

Di tengah krisis ini, paper karya Vinagre dkk. (2023) menyoroti pentingnya integrasi antara pengelolaan air perkotaan (urban water management) dan perencanaan kota (city planning) sebagai kunci adaptasi perubahan iklim. Melalui tinjauan sistematis literatur, artikel ini mengidentifikasi konsep, tren, tantangan, dan peluang kolaborasi lintas sektor yang dapat memperkuat ketahanan air perkotaan di era iklim ekstrem.

Metodologi: Tinjauan Sistematis dan Analisis Bibliometrik

Penulis menggunakan pendekatan systematic literature review berbasis PRISMA untuk menelusuri, menyeleksi, dan menganalisis 39 artikel ilmiah utama dari total 524 publikasi terkait tema “climate change”, “sustainable urban water management”, dan “city planning” hingga 2022. Proses seleksi melibatkan kombinasi kata kunci, iterasi pencarian, dan snowballing untuk memastikan cakupan dan relevansi1.

Hasil utama:

  • Lonjakan jumlah publikasi dalam dekade terakhir, menunjukkan meningkatnya perhatian ilmiah pada integrasi air-ruang kota-iklim.
  • Dominasi studi kasus dari negara maju (Belanda, AS, Australia, China, Inggris), menandakan masih minimnya kajian mendalam di negara berkembang.
  • Studi kasus menonjol dari Israel dan Singapura, negara kecil dengan tantangan kelangkaan air ekstrem namun sukses dalam inovasi tata kelola air1.

Konsep Kunci: Evolusi Paradigma Pengelolaan Air Perkotaan

Dari Sentralisasi Menuju Hybridisasi Sistem

Sejak abad ke-19, sistem air kota didesain terpusat untuk menjamin kesehatan dan sanitasi. Namun, sistem ini kini menghadapi tantangan besar:

  • Infrastruktur usang, biaya investasi tinggi, dan ketergantungan pada sumber air jauh.
  • Tidak fleksibel menghadapi fluktuasi populasi, pola konsumsi, dan ancaman iklim ekstrem (banjir, kekeringan)1.

Paradigma baru yang berkembang:

  • Desentralisasi: Sistem air lokal (rainwater harvesting, grey water recycling) untuk efisiensi, resilien, dan adaptasi.
  • Hybridisasi: Kombinasi sistem sentralisasi-decentralisasi untuk mengatasi lock-in effect dan meningkatkan fleksibilitas1.

Konsep dan Praktik SUWM (Sustainable Urban Water Management)

Berbagai konsep dan pendekatan telah dikembangkan:

  • Low-Impact Development (LID): Pengelolaan air berbasis lanskap alami, dimulai di AS dan Selandia Baru sejak 1977.
  • Integrated Urban Water Management (IUWM): Koordinasi lintas layanan air (air minum, limbah, air hujan) dengan prinsip pembangunan berkelanjutan.
  • Water Sensitive Urban Design (WSUD): Perencanaan kota ramah air, menekankan perlindungan ekosistem dan siklus hidrologi lokal (Australia, 1996).
  • Sustainable Urban Drainage Systems (SUDS): Teknologi drainase yang meniru pola alami, populer di Inggris sejak 2000.
  • Sponge City: Konsep urbanisasi di Tiongkok (2014) yang mengedepankan penyerapan, penyimpanan, dan pemanfaatan air hujan melalui infrastruktur hijau1.

Studi Kasus:

  • Sponge Cities di China: Kota seperti Wuhan dan Shenzhen mengadopsi sistem taman resapan, atap hijau, dan kolam retensi untuk mengurangi banjir dan meningkatkan cadangan air tanah.
  • NEWATER di Singapura: Sistem daur ulang air limbah menjadi air minum, didukung teknologi membran canggih dan edukasi publik, berhasil mengurangi ketergantungan pada air impor hingga 40%1.

Analisis Vektor Adaptasi: Sinergi dan Tantangan

1. Vektor Operasional

  • Strategi penghematan air, pengurangan kebocoran, pemisahan saluran air hujan dan limbah, serta pemanfaatan air hujan cadangan menjadi fokus utama.
  • Grey water (limbah domestik non-toilet) berpotensi menyediakan 50–80% air limbah rumah tangga untuk didaur ulang1.

2. Vektor Organisasi & Institusi

  • Desentralisasi infrastruktur menuntut perubahan tata kelola: siapa bertanggung jawab, bagaimana pengawasan, dan kolaborasi antar lembaga.
  • Studi di Inggris menunjukkan sektor air dan pengendalian banjir paling aktif beradaptasi, namun seringkali top-down dan sulit diimplementasikan di lapangan1.

3. Vektor Ekonomi

  • Investasi sistem SUWM seringkali tidak menguntungkan secara finansial murni, namun memberi banyak eksternalitas positif (pengurangan risiko, ruang hijau, mitigasi pulau panas).
  • Studi di Spanyol dan Belanda: Rainwater harvesting pada skala kecil belum ekonomis, namun berpotensi menurunkan biaya drainase publik jika diadopsi secara luas1.

4. Vektor Perilaku

  • Resistensi publik terhadap air daur ulang (“yuck factor”) masih tinggi, meski kualitas air sudah sangat baik. Di Singapura, keberhasilan NEWATER ditopang edukasi dan transparansi teknologi1.
  • Studi di Israel dan AS: 13% responden menolak air daur ulang untuk konsumsi, terutama karena persepsi risiko kesehatan.

5. Vektor Teknologi

  • Inovasi seperti membran bioreaktor (MBR), forward osmosis, dan teknologi desalinasi semakin efisien, namun biaya masih menjadi kendala.
  • Solusi berbasis alam (green roofs, bioretention, permeable pavement) terbukti efektif mengendalikan banjir dan memperbaiki kualitas air1.

6. Vektor Perencanaan Kota

  • Urban planning memegang peran vital dalam mengatur densitas, tata ruang, dan lokasi infrastruktur air untuk mengoptimalkan siklus air perkotaan.
  • London mengembangkan konsep “water neutrality” melalui integrasi data spasial dan model IUWM (CityPlan-Water)1.

Studi Kasus Global: Implementasi dan Pelajaran

Israel: Daur Ulang Air untuk Pertanian

  • 85% air limbah didaur ulang untuk irigasi, tertinggi di dunia.
  • Kunci keberhasilan: regulasi ketat, insentif ekonomi, dan edukasi petani.
  • Tantangan: persepsi risiko, biaya teknologi, dan kebutuhan pemantauan kualitas air secara kontinu1.

California Selatan: Hybridisasi Sistem

  • Kombinasi sistem sentralisasi (air permukaan dan tanah) dengan desentralisasi (rainwater harvesting, grey water reuse).
  • Investasi besar pada infrastruktur daur ulang dan desalinasi, namun tetap menghadapi resistensi publik dan tantangan biaya1.

China: Sponge City dan Urban Flooding

  • Kota-kota besar seperti Shenzhen dan Wuhan menerapkan konsep Sponge City untuk mengatasi banjir dan kekeringan.
  • Infrastruktur hijau seperti taman resapan, kolam retensi, dan atap hijau terbukti mengurangi volume limpasan air hujan hingga 70% di beberapa zona pilot1.

Diskusi: Gap, Tantangan, dan Arah Masa Depan

Gap Pengetahuan dan Praktik

  • Kolaborasi antara pengelola air dan perencana kota masih minim, terutama dalam integrasi antara pengendalian banjir dan pengelolaan kekeringan.
  • Studi lebih banyak fokus pada solusi teknis dan pengendalian banjir, kurang pada manajemen permintaan air dan adaptasi kekeringan1.
  • Implementasi sistem hybrid (sentralisasi-desentralisasi) masih menghadapi tantangan pembagian tanggung jawab, regulasi, dan model bisnis.

Tantangan Utama

  • Lock-in effect: Infrastruktur lama sulit diubah, baik karena biaya maupun resistensi institusi.
  • Keterbatasan data dan kapasitas SDM: Kota kecil dan negara berkembang kekurangan staf dan keahlian untuk mengelola sistem adaptif.
  • Kesenjangan ekonomi: Analisis biaya-manfaat sering mengabaikan nilai eksternalitas lingkungan dan sosial.

Peluang dan Rekomendasi

  • Analisis biaya-manfaat holistik: Perlu mengintegrasikan manfaat lingkungan, kesehatan, dan sosial dalam evaluasi proyek SUWM.
  • Hybridisasi sistem: Kombinasi sentralisasi dan desentralisasi dapat meningkatkan resiliensi dan efisiensi.
  • Edukasi publik dan transparansi: Kunci penerimaan air daur ulang dan inovasi teknologi.
  • Kolaborasi lintas sektor: Diperlukan mekanisme formal dan informal untuk memperkuat sinergi antara pengelola air, perencana kota, dan masyarakat.
  • Adopsi teknologi cerdas: Artificial intelligence dan big data untuk pemantauan, prediksi, dan perencanaan adaptif1.

Hubungan dengan Tren Industri dan Kebijakan Global

  • Circular economy: Konsep WICER (World Bank) mendorong pergeseran dari sistem linier ke sirkular dalam pengelolaan air, limbah, dan energi.
  • Nature-based solutions: Restorasi lahan basah, green-blue infrastructure, dan desain kota berbasis ekosistem menjadi tren utama adaptasi iklim.
  • Water-wise cities: Prinsip IWA menekankan pentingnya kolaborasi, inovasi, dan kepemimpinan dalam membangun kota tahan iklim1.

Kritik dan Opini

Kelebihan

  • Analisis komprehensif: Paper ini berhasil merangkum berbagai konsep, praktik, dan tantangan dalam pengelolaan air perkotaan berkelanjutan.
  • Studi kasus nyata: Menyajikan contoh konkret dari berbagai negara, memperkaya wawasan pembaca.
  • Identifikasi gap: Menyoroti perlunya kolaborasi lintas sektor dan inovasi dalam tata kelola air kota.

Kekurangan

  • Minim data kuantitatif dampak jangka panjang: Banyak solusi masih berupa pilot project, belum ada evaluasi sistemik jangka panjang.
  • Konteks negara berkembang kurang dieksplorasi: Studi lebih banyak dari negara maju, padahal tantangan di Global South sangat berbeda.
  • Kurangnya roadmap implementasi: Rekomendasi masih bersifat konseptual, belum konkret dalam langkah-langkah kebijakan.

Kesimpulan: Adaptasi Bersama, Kota Tangguh Masa Depan

Paper ini menegaskan bahwa adaptasi perubahan iklim di kota hanya bisa berhasil jika pengelolaan air dan perencanaan kota berjalan seiring. Kolaborasi, inovasi teknologi, edukasi publik, dan pendekatan sistemik menjadi kunci. Kota masa depan harus mampu mengintegrasikan solusi teknis, sosial, dan kelembagaan untuk membangun ketahanan air dan kualitas hidup yang berkelanjutan.

Sumber Artikel 

Vinagre, V.; Fidélis, T.; Luís, A. How Can We Adapt Together? Bridging Water Management and City Planning Approaches to Climate Change. Water 2023, 15, 715.