Pertanian

Tebu: Budidaya, Karakteristik, dan Persyaratan Lingkungan untuk Pertumbuhan yang Optimal

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 30 April 2024


Tebu, juga dikenal sebagai sugar cane dalam bahasa Inggris, adalah tanaman yang dibudidayakan terutama untuk menghasilkan gula dan vetsin. Tanaman ini tumbuh baik di daerah beriklim tropis dan termasuk dalam kelompok rumput-rumputan. Masa tanamnya sekitar 1 tahun sebelum dapat dipanen, dan di Indonesia, tebu banyak ditanam di pulau Jawa dan Sumatra. Karakteristik tebu mencakup adanya bulu-bulu dan duri di sekitar pelepah dan helai daunnya, yang jumlahnya bervariasi tergantung pada varietasnya. Tinggi tanaman tebu bervariasi antara 2,5 hingga 4 meter dengan diameter batang 2 – 4 cm. Tanaman ini termasuk dalam kategori monokotil dan dapat menghasilkan anakan dari pangkal batang yang berkembang menjadi rumpun.

Tanaman tebu memerlukan iklim subtropis untuk tumbuh dengan baik. Pertumbuhannya sangat dipengaruhi oleh kondisi iklim, sehingga kualitasnya dapat menurun jika iklimnya tidak mendukung. Persyaratan lingkungan yang ideal untuk pertumbuhan tebu mencakup ketinggian 0 – 900 mdpl, curah hujan tahunan sekitar 2000mm, suhu udara antara 21 – 32o C, dan pH tanah 5 – 6.

Batang tebu yang sudah dipanen diekstraksi untuk menghasilkan nira, yang kemudian diolah menjadi gula pasir. Dalam proses ini, ampas tebu dan tetes (molasse) juga dihasilkan. Daun tebu kering sering digunakan sebagai bahan bakar untuk memasak, karena memiliki nilai kalori tinggi. Di pabrik gula, daun tebu dan ampas batangnya digunakan sebagai bahan bakar boiler untuk proses produksi dan pembangkit listrik. Air perasan tebu juga bisa dikonsumsi sebagai minuman segar, yang dikenal baik bagi kesehatan karena mengandung glukosa.

Produksi Tebu di Indonesia

Di Indonesia, produksi tebu terutama terpusat di pulau Jawa dan Sumatera. Menurut data Departemen Umum Produksi Tanaman pada tahun 2016, luas area penanaman tebu mencapai 445.520 hektar, menghasilkan sekitar 2,222 juta ton tebu. Luas panen tebu terus meningkat sejak tahun 1980, dari 316.063 hektar menjadi 427.123 hektar pada tahun 2013, dengan peningkatan ini didorong oleh ekspansi area panen dari perkebunan rakyat yang mendominasi industri tebu di Indonesia.

Meskipun produksi tebu terus meningkat sejak 1980, terjadi penurunan produksi pada tahun 1998 saat Indonesia mengalami krisis ekonomi. Pada tahun tersebut, produksi tebu kristalisasi turun drastis menjadi 1,48 juta ton dari 2,19 juta ton pada tahun sebelumnya. Situasi ini berlanjut hingga tahun 2004, di mana produksi tebu kembali mencapai 2 juta ton setelah pulih dari resesi pada tahun 1998. Hingga tahun 2016, produktivitas tebu di Indonesia diperkirakan mencapai 2,71 ton per hektar, meningkat sekitar 116% dari tahun 1998.

Standardisasi Produk Gula

Produk olahan utama dari tebu yaitu gula telah distandardisasi oleh pemerintah Indonesia, tepatnya oleh Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu Kementerian Perdagangan Indonesia. Gula Kristal putih (GKP) termasuk produk yang diberlakukan wajib SNI berdasarkan Peraturan Menteri Pertanian Nomor 68/Permentann/OT.140/6/2013. SNI GKP adalah SNI 3140.3:2010 dan Amandemen 1.2011 Gula Kristal Putih. 

Pendekatan Metabolomik untuk Meningkatan Produksi Tebu Indonesia

Salah satu kajian metabolomik yang telah dilakukan mengenai tebu adalah kajian relasi profil metabolit pada bagian pertumbuhan tebu, yaitu batang dan tunas tebu, terhadap kemampuan pertunasan tebu. Bagian tunas aksila pada tebu umumnya berada pada kondisi dorman; walaupun begitu, ketika segmen dari batang yang memuat bagian dari node dan internode dengan embrio akar dan setidaknya sebuah tunas viabel diisolasi dari badan tanaman dan ditanam pada tanah, pertumbuhan tunas dapat teramati dan tanaman tebu baru dapat dihasilkan.

Tebu juga diketahui dapat mengakumulasi sukrosa dalam jumlah yang besar pada batangnya. Sukrosa ini kemudian dapat digunakan sebagai substrat oleh tebu untuk menunjang pertumbuhannya melalui integrasi pada suatu proses metabolisme tertentu yang bersifat dinamis dan dapat dikarakterisasi dengan siklus sintesis dan degradasi yang dinamis pula, mencakup keterlibatan beragam enzim dan isoformnya. Sukrosa yang terdapat dalam batang tebu dapat diamati sebagai gradien, dengan kandungan sukrosa pada internoda yang masih muda lebih rendah dibandingkan dengan internoda yang sudah tua. Oleh karena itu, karbon yang disimpan oleh tanaman tebu dalam bentuk sukrosa ini diasumsikan memiliki peranan dalam pertumbuhan tunas dan pembentukan tanaman tebu baru. Anggapan ini didasarkan pada informasi bahwa sukrosa merupakan salah satu metabolit yang terlibat dalam pertumbuhan di beberapa jenis tanaman lainnya.

Komposisi metabolit adalah salah satu tool yang powerful untuk menjembatani interaksi gen dan fenotip yang teramati pada suatu organisme, yang pada dasarnya merupakan cerminan dari komposisi kimia yang dikandung sel. Kajian yang telah dilakukan terhadap tanaman tebu terkait dengan hal ini adalah pengeksplorasian lebih lanjut jaringan metabolit (metabolic networks) dari bagian batang dan tunas tebu, jaringan yang terlibat dalam perbanyakan vegetatif spesies ini. Dikarenakan pertumbuhan tunas merupakan kunci untuk menentukan keberhasilan pertumbuhan tanaman tebu di area tumbuhnya, maka potensi pertumbuhan tunas dari tanaman tebu ini dievaluasi. Profiling metabolit primer berhasil memberikan gambaran yang lebih elaboratif pada keberagaman fitur metabolit tebu bahkan pada latar belakang genetik yang saling berdekatan. Metabolit yang terkorelasi dalam dan di antara jaringan ternyata lebih sensitif terhadap metabolit kunci (sukrosa, putrescine, glutamat, serin, dan myo-inositol) dan berpengaruh terhadap kemampuan pertumbuhan tunas. Selain itu, metabolit juga didapatkan bisa diaplikasikan sebagai indikator untuk penentuan latar belakang genetis.

Salah satu permasalahan yang masih dialami oleh petani tebu dan produksi tebu di Indonesia secara keseluruhan adalah rendahnya nilai rendemen tanaman tebu Indonesia. Rendemen tebu sendiri dapat didefinisikan sebagai kadar kandungan gula di dalam batang tebu yang dinyatakan dalam persen; bila rendemen tebu diyatakan memiliki nilai 10%, maka berarti bahwa dari 100 kg tebu yang digiling saat produksi gula, hanya dapat diperoleh gula sebanyak 10 kg. Menurut Center for Indonesian Policy Studies, nilai rendemen tebu sangat diperlukan untuk menambah daya saing gula produksi petani tebu Indonesia. Untuk saat ini, rendemen tebu Indonesia hanya mencapai nilai 7,50%. Angka ini terbilang rendah jika dibandingkan dengan nilai rendemen tebu Filipina yaitu sebesar 9,20% dan rendemen tebu Thailand, yaitu sebesar 10,70%. Jika hal ini disualisasikan lebih lanjut, maka untuk menghasilkan gula dengan jumlah yang sama, misalnya 1 juta ton, maka Filipina harus memanen tebu sejumlah10,8 ton, sementara Thailand sejumlah 9,3 ton, dan Indonesia sejumlah 13,3 ton. Hal ini tentu merugikan bagi para petani tebu Indonesia, selain itu karena hal ini pasokan gula di Indonesia masih ada yang berasal dari impor gula putih murni.

Oleh karena itu, untuk kajian metabolomik yang berpotensi untuk dilakukan pada komoditas tebu adalah kajian metabolomik yang dapat meningkatan nilai rendemen tanaman tebu di Indonesia. Beberapa faktor terkait dengan rendahnya rendemen tebu memang tidak secara langsung berkaitan dengan kandungan gula pada batang tebu, diantaranya merupakan sistem tanam yang diterapkan oleh petani. Namun, aplikasi metabolomik dapat berperan dalam mengoptimalisasi kandungan-kandungan metabolit batang tebu sehingga produktivitasnya sebagai bahan baku dalam produksi <ref>gula dapat lebih ditingkatkan.


Sumber: id.wikipedia.org

Selengkapnya
Tebu: Budidaya, Karakteristik, dan Persyaratan Lingkungan untuk Pertumbuhan yang Optimal

Pertanian

Dinamika Pertanian dan Perkebunan di Indonesia

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 30 April 2024


Pertanian memainkan peran penting dalam perekonomian Indonesia. Meskipun kontribusinya terhadap PDB cenderung menurun, sektor ini masih menjadi sumber pendapatan bagi banyak rumah tangga. Pada tahun 2022, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan diperkirakan akan menyumbang sekitar 12,4% dari PDB nasional, turun dari 14,43% pada tahun 2013 dan 15,19% pada tahun 2003. Pada tahun yang sama, sekitar 38,7 juta orang diperkirakan akan bekerja di sektor ini, menurun dari 49 juta orang pada tahun 2012. Sekitar 31,2% dari total lahan Indonesia digunakan untuk pertanian.

Pertanian Indonesia dibagi menjadi dua kategori utama: perkebunan besar dan produksi skala kecil. Perkebunan besar lebih fokus pada produk ekspor seperti kelapa sawit dan karet, sementara produksi skala kecil lebih berorientasi pada produk hortikultura untuk memasok kebutuhan lokal dan regional seperti beras, kedelai, jagung, buah-buahan, dan sayuran.

Indonesia, dengan iklim tropisnya, memiliki potensi pertanian yang besar dengan tanah yang subur. Negara ini merupakan produsen utama berbagai produk pertanian tropis seperti minyak sawit, karet alam, kakao, kopi, teh, singkong, beras, dan rempah-rempah. Saat ini, Indonesia merupakan produsen terbesar di dunia untuk beberapa komoditas seperti minyak sawit, cengkeh, dan kayu manis, serta produsen terbesar kedua untuk pala, singkong, dan vanila. Selain itu, Indonesia juga merupakan produsen terbesar ketiga untuk beras dan kakao, produsen kopi terbesar keempat, produsen rokok terbesar kelima, dan produsen teh terbesar keenam di dunia.

Bentuk pertanian

  • Sawah adalah jenis pertanian yang dilakukan di lahan basah dan membutuhkan banyak air, termasuk sawah irigasi, lebak, tadah hujan, dan pasang surut.
  • Tegalan, di sisi lain, merupakan area pertanian yang terletak di lahan kering dan bergantung pada air hujan untuk irigasi. Lahan tegalan cenderung sulit untuk dibuat pengairan irigasi karena topografinya yang tidak rata, dan pada musim kemarau, lahan ini menjadi kering dan sulit untuk menanam tanaman.
  • Pekarangan adalah lahan pertanian yang berada di dalam lingkungan rumah, sering kali dipagari, dan dimanfaatkan untuk menanam tanaman pertanian.

Produksi Makanan Dalam Pertanian

Sektor pertanian dan perikanan memainkan peran penting dalam memenuhi kebutuhan pangan dan keamanan pangan bagi populasi Indonesia yang besar. Produksi total perikanan pada tahun 2015 mencapai sekitar 22,31 juta metrik ton, dengan nilai sekitar 18,10 miliar dolar AS. Produksi dari penangkapan ikan liar mengalami tren stabil, sementara produksi dari akuakultur mengalami peningkatan tajam.

Padi merupakan makanan pokok dalam diet Indonesia, dan Indonesia adalah produsen padi terbesar ketiga di dunia setelah Tiongkok dan India. Namun, karena populasi Indonesia yang besar, sebagian besar produksi padi dikonsumsi secara internal. Pemerintah bertanggung jawab mengatur harga dan ketersediaan beras melalui Badan Urusan Logistik Indonesia (Bulog), sementara untuk memastikan keamanan pangan, pemerintah melakukan impor dari negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Kamboja.

Hortikultura, yang mencakup produksi buah dan sayuran, memiliki peran penting dalam ekonomi Indonesia dan dalam mencapai keamanan pangan. Indonesia memiliki beragam produk hortikultura, mulai dari buah-buahan tropis seperti durian, manggis, rambutan, hingga buah-buahan non-tropis seperti apel dan strawberry yang ditanam di daerah pegunungan yang lebih dingin. Meskipun Indonesia adalah pasar yang besar untuk produk hortikultura, sektor ini dianggap kurang optimal, sehingga Indonesia masih perlu mengimpor sebagian besar kebutuhan buah dan sayurannya.

Rempah-rempah adalah elemen penting dalam masakan Indonesia, dengan pulau-pulau Maluku yang dikenal sebagai "Kepulauan Rempah-rempah" karena kontribusinya terhadap pengenalan rempah-rempah dunia. Beberapa rempah-rempah asli Indonesia meliputi pala, cengkeh, daun pandan, dan laos. Meskipun demikian, sebagian besar rempah-rempah di Indonesia diperkenalkan dari India, Asia Tenggara daratan, dan Tiongkok pada zaman kuno, sementara rempah-rempah dari Dunia Baru seperti cabai dan tomat diperkenalkan oleh pedagang Portugis dan Spanyol pada abad ke-16.

Komoditas di Indonesia

  • Minyak Kelapa Sawit:

Indonesia adalah produsen dan konsumen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, menyumbang sekitar setengah dari pasokan global. Indonesia memiliki 6 juta hektar perkebunan kelapa sawit, dan menggunakan minyak kelapa sawit sebagai bahan utama untuk minyak goreng, makanan, dan kosmetik. Indonesia juga bertujuan untuk menjadi pusat produksi bahan bakar nabati berbasis kelapa sawit yang terkemuka.

  • Kelapa:

Kelapa memainkan peran penting dalam kuliner dan ekonomi Indonesia, dengan santan sebagai bahan yang umum digunakan dalam masakan seperti rendang dan soto. Indonesia adalah produsen kelapa terbesar kedua di dunia, dengan produksi 15.319.500 ton pada tahun 2009.

  • Karet:

Industri karet di Indonesia berakar pada masa kolonial Hindia Belanda. Indonesia adalah produsen karet terbesar kedua di dunia setelah Thailand. Meskipun merupakan eksportir utama, tingkat produktivitas Indonesia lebih rendah dibandingkan dengan negara-negara tetangga seperti Thailand, Vietnam, dan Malaysia. Sebagian besar perkebunan karet di Indonesia dimiliki oleh petani kecil.

  • Kopi:

Indonesia adalah produsen kopi terbesar keempat di dunia, dengan kondisi geografisnya yang menyediakan kondisi ideal untuk perkebunan kopi. Negara ini memproduksi sekitar 540.000 metrik ton kopi pada tahun 2014, dengan sebagian besar diekspor. Industri kopi telah memainkan peran penting dalam pertumbuhan Indonesia sejak sejarah kolonialnya.

  • Teh:

Indonesia adalah produsen teh terbesar keenam di dunia, dengan produksi yang sudah ada sejak abad ke-18. Mayoritas teh Indonesia diekspor, yang mengindikasikan konsumsi domestik yang relatif rendah. Teh hitam merupakan sebagian besar varietas teh Indonesia, dengan pengakuan global yang terbatas.

  • Tembakau:

Indonesia berada di peringkat kelima dunia dalam hal produksi tembakau dan ukuran pasar. Negara ini mencatat lebih dari 165 miliar penjualan rokok pada tahun 2008, yang mencerminkan keberadaan industri tembakau yang signifikan.


DIsadur dari: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Dinamika Pertanian dan Perkebunan di Indonesia

Pertanian

Eksplorasi Lebih Lanjut tentang Konsep Perkebunan

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 30 April 2024


Perkebunan adalah pertanian yang mengkhususkan diri pada tanaman komersial, biasanya terutama menanam tanaman tunggal, dengan area tambahan untuk sayuran untuk dimakan dan sebagainya. Perkebunan, yang berpusat di rumah perkebunan, menanam tanaman termasuk kapas, ganja, kopi, teh, kakao, tebu, opium, sisal, biji minyak, kelapa sawit, buah-buahan, pohon karet, dan pohon-pohon hutan. Kebijakan proteksionis dan keunggulan komparatif alamiah terkadang turut menentukan lokasi perkebunan.

Dalam penggunaan modern, istilah ini biasanya hanya merujuk pada perkebunan berskala besar. Namun demikian, sebelum sekitar tahun 1800, istilah ini merupakan istilah yang umum digunakan untuk perkebunan dalam berbagai ukuran di bagian selatan Amerika Utara Britania, dan seperti yang dicatat oleh Noah Webster, "perkebunan" menjadi istilah yang umum digunakan di bagian utara Maryland. Istilah ini digunakan di sebagian besar koloni Inggris, namun sangat jarang digunakan di Inggris sendiri dalam pengertian ini. Di sana, seperti halnya di Amerika, istilah ini digunakan terutama untuk perkebunan pohon, area yang ditanami pohon secara artifisial, baik murni untuk kehutanan komersial, atau sebagian untuk efek hias di kebun dan taman, yang juga dapat mencakup penanaman semak-semak di taman.

Di antara contoh perkebunan yang paling awal adalah latifundia di Kekaisaran Romawi, yang menghasilkan biji-bijian, anggur, dan minyak zaitun dalam jumlah besar untuk diekspor. Pertanian perkebunan berkembang pesat seiring dengan meningkatnya perdagangan internasional dan perkembangan ekonomi dunia yang mengikuti ekspansi kolonialisme Eropa.

Tanaman

  • Perkebunan pohon

Perkebunan pohon, di Amerika Serikat sering disebut perkebunan pohon, didirikan untuk produksi komersial kayu atau produk pohon seperti kelapa sawit, kopi, atau karet. Perkebunan jati dan bambu di India telah memberikan hasil yang baik dan menjadi solusi tanaman alternatif bagi para petani di India tengah, di mana pertanian konvensional tersebar luas. Namun karena meningkatnya biaya input pertanian, banyak petani telah melakukan perkebunan jati dan bambu, yang hanya membutuhkan sedikit air (hanya selama dua tahun pertama). Jati dan bambu memiliki perlindungan hukum dari pencurian. Bambu, sekali ditanam, dapat menghasilkan selama 50 tahun sampai berbunga. Jati membutuhkan waktu 20 tahun untuk tumbuh dewasa dan menghasilkan.

Bambu dapat ditanam untuk perlindungan daerah aliran sungai atau tanah. Hutan tanaman ini ditanam untuk pengendalian erosi, stabilisasi tanah longsor, dan penahan angin. Perkebunan semacam itu didirikan untuk menumbuhkan spesies asli dan mendorong regenerasi hutan di lahan yang terdegradasi sebagai alat restorasi lingkungan.

 

Pekerja tebu di Puerto Rico, 1941

  • Gula

Perkebunan gula sangat dihargai di Karibia oleh penjajah Inggris dan Prancis pada abad ke-17 dan ke-18, dan penggunaan gula di Eropa meningkat selama periode ini. Tebu masih merupakan tanaman penting di Kuba. Perkebunan gula juga muncul di negara-negara seperti Barbados dan Kuba karena kekayaan alam yang mereka miliki. Kekayaan alam ini termasuk tanah yang kondusif untuk menanam gula dan produk marjinal yang tinggi dari tenaga kerja yang direalisasikan melalui peningkatan jumlah orang yang diperbudak.

  • Karet

 

Perkebunan tebu di pedesaan Kuba

Penanaman pohon karet Pará (Hevea brasiliensis) biasanya disebut perkebunan.

  • Tanaman Kelapa Sawit

Pertanian kelapa sawit berkembang pesat di seluruh wilayah tropis basah dan biasanya dikembangkan dalam skala perkebunan.

  • Kebun Buah-buahan

Kebun buah terkadang dianggap sebagai perkebunan.

  • Tanaman yang dapat ditanami

Ini termasuk tembakau, tebu, nanas, paprika, dan kapas, terutama dalam penggunaan historis. Sebelum munculnya kapas di Amerika Selatan, nila dan padi juga terkadang disebut tanaman perkebunan.

Dampak ekologis

Mungkin faktor yang paling penting yang dimiliki perkebunan terhadap lingkungan setempat adalah lokasi di mana perkebunan didirikan. Di Brazil, perkebunan kopi menggunakan sistem pertanian tebang dan bakar, dengan menebang hutan hujan dan menanam pohon kopi yang menguras unsur hara di dalam tanah.


Memanen teh di Bogor, Jawa Barat.

Setelah tanahnya habis, para petani akan berpindah ke tempat lain. Jika hutan alam ditebang untuk hutan tanaman, maka akan terjadi penurunan keanekaragaman hayati dan hilangnya habitat. Dalam beberapa kasus, pendirian hutan tanaman mungkin melibatkan pengeringan lahan basah untuk menggantikan kayu keras campuran yang sebelumnya didominasi oleh spesies pinus. Jika hutan tanaman dibangun di lahan pertanian yang ditinggalkan atau lahan yang sangat terdegradasi, maka hal ini dapat meningkatkan habitat dan keanekaragaman hayati. Hutan tanaman dapat dibangun secara menguntungkan di lahan yang tidak akan mendukung pertanian atau mengalami kekurangan regenerasi alami.

Spesies pohon yang digunakan dalam perkebunan juga merupakan faktor penting. Ketika varietas atau spesies yang tidak asli ditanam, hanya sedikit fauna asli yang dapat beradaptasi untuk memanfaatkannya, dan kehilangan keanekaragaman hayati pun terjadi. Namun demikian, bahkan spesies pohon non-asli dapat berfungsi sebagai koridor bagi satwa liar dan bertindak sebagai penyangga bagi hutan asli, sehingga mengurangi efek tepi.

Setelah sebuah perkebunan dibangun, pengelolaannya menjadi faktor lingkungan yang penting. Aspek yang paling penting dalam pengelolaan adalah periode rotasi. Hutan tanaman yang dipanen dalam periode rotasi yang lebih panjang (30 tahun atau lebih) dapat memberikan manfaat yang sama dengan hutan yang diregenerasi secara alami yang dikelola untuk produksi kayu dalam rotasi yang sama. Hal ini terutama berlaku jika spesies asli digunakan. Dalam kasus spesies eksotis, habitat dapat ditingkatkan secara signifikan jika dampaknya dimitigasi dengan langkah-langkah seperti menyisakan blok-blok spesies asli di dalam hutan tanaman atau mempertahankan koridor-koridor hutan alam. Di Brazil, langkah-langkah serupa diwajibkan oleh peraturan pemerintah.

Ekonomi budak perkebunan

Pemilik perkebunan secara ekstensif menggunakan orang Afrika yang diperbudak untuk bekerja di perkebunan awal (seperti perkebunan tembakau, padi, kapas, rami, dan gula) di koloni-koloni Amerika dan Amerika Serikat, di seluruh Karibia, Amerika, dan di daerah-daerah yang diduduki oleh orang Eropa di Afrika. Di zaman modern, upah rendah yang biasanya dibayarkan kepada pekerja perkebunan menjadi dasar profitabilitas perkebunan di beberapa daerah.

Pada masa kini, perbudakan terbuka telah digantikan oleh perbudakan para atau perbudakan dalam bentuk barang, termasuk sistem bagi hasil, dan bahkan sistem ini telah sangat berkurang. Yang paling ekstrem, para pekerja berada dalam "jeratan utang": mereka harus bekerja untuk melunasi utang dengan bunga yang sangat tinggi sehingga utang tersebut tidak akan pernah lunas. Yang lainnya bekerja dengan jam kerja yang sangat panjang dan dibayar dengan upah subsisten yang (dalam praktiknya) hanya dapat dibelanjakan di toko perusahaan. Di Brasil, perkebunan tebu disebut sebagai engenho ("mesin"), dan penggunaan bahasa Inggris pada abad ke-17 untuk produksi kolonial yang terorganisir adalah "pabrik". Struktur sosial dan ekonomi kolonial seperti itu dibahas di bagian Ekonomi perkebunan. Para pekerja gula di perkebunan di Kuba dan di tempat lain di Karibia tinggal di kota-kota perusahaan yang dikenal sebagai bateyes.

  • Amerika Selatan

Kompleks perkebunan merupakan hal yang umum di perkebunan pertanian di Amerika Serikat bagian Selatan dari abad ke-17 hingga abad ke-20. Kompleks ini mencakup segala sesuatu mulai dari tempat tinggal utama hingga kandang ternak. Hingga penghapusan perbudakan, perkebunan semacam itu umumnya merupakan pemukiman mandiri yang mengandalkan kerja paksa dari orang-orang yang diperbudak.

Perkebunan merupakan aspek penting dalam sejarah Amerika Serikat bagian Selatan, terutama sebelum Perang Saudara Amerika. Iklim yang sejuk, curah hujan yang tinggi, dan tanah yang subur di Amerika Serikat bagian tenggara memungkinkan tumbuh suburnya perkebunan-perkebunan besar, di mana banyak orang Afrika yang diperbudak ditawan dan dipaksa untuk menghasilkan tanaman untuk menciptakan kekayaan bagi kaum elit kulit putih.

Saat ini, seperti halnya di masa lalu, ada banyak pendapat tentang apa yang membedakan perkebunan dengan pertanian. Biasanya, fokus sebuah pertanian adalah pertanian subsisten. Sebaliknya, fokus utama perkebunan adalah produksi tanaman komersial, dengan hasil panen yang cukup untuk memenuhi kebutuhan pangan penduduk dan ternak.  Definisi umum tentang apa yang dimaksud dengan perkebunan adalah bahwa perkebunan biasanya memiliki lahan seluas 500 hingga 1.000 hektar (2,0 hingga 4,0 km2) atau lebih dan menghasilkan satu atau dua tanaman komersial untuk dijual. Para ahli lain mencoba mendefinisikannya berdasarkan jumlah orang yang diperbudak.

Masyarakat dan budaya

  • Penangkapan Ikan

Ketika Newfoundland dijajah Inggris pada tahun 1610, para penjajah asli disebut "pekebun", dan tempat penangkapan ikan mereka dikenal sebagai "perkebunan ikan". Istilah ini digunakan hingga abad ke-20.

Tiga perkebunan berikut ini dikelola oleh Pemerintah Newfoundland dan Labrador sebagai situs warisan provinsi:

  • Sea-Forest Plantation adalah perkebunan perikanan abad ke-17 yang didirikan di Cuper's Cove (sekarang Cupids) di bawah piagam kerajaan yang dikeluarkan oleh Raja James I.
  • Perkebunan Mockbeggar adalah perkebunan perikanan abad ke-18 di Bonavista.
  • Pool Plantation adalah perkebunan perikanan abad ke-17 yang dikelola oleh Sir David Kirke dan ahli warisnya di Ferryland. Perkebunan ini dihancurkan oleh penjajah Prancis pada tahun 1696.

Perkebunan perikanan lainnya:

  • Bristol's Hope Plantation, perkebunan perikanan abad ke-17 yang didirikan di Harbour Grace, yang dibuat oleh Perkumpulan Petualang Pedagang Bristol.
  • Benger Plantation, perkebunan perikanan abad ke-18 yang dikelola oleh James Benger dan ahli warisnya di Ferryland. Perkebunan ini dibangun di lokasi perkebunan Georgia.
  • Perkebunan Piggeon, perkebunan perikanan abad ke-18 yang dikelola oleh Ellias Piggeon di Ferryland.


Disadur dari: en.wikipedia.org

Selengkapnya
Eksplorasi Lebih Lanjut tentang Konsep Perkebunan

Pertanian

Mengenal Apa itu Ubi Kayu

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 30 April 2024


Ubi kayu, atau disebut juga singkongkaspeketela pohonubi sampa atau ubi prancis (Manihot esculenta, sinonim: Manihot utilissima), adalah perdu tropis dan subtropis tahunan dari suku Euphorbiaceae. Umbinya dikenal luas sebagai makanan pokok penghasil karbohidrat dan daunnya sebagai sayuran.

Deskripsi

Perdu bisa mencapai hingga 7 meter dengan cabang agak jarang. Singkong memiliki akar tunggang dengan sejumlah akar cabang yang kemudian membesar menjadi umbi akar yang dapat dimakan. Ukuran umbi rata-rata bergaris tengah 2–3 cm dan panjang 50–80 cm, tergantung dari klon/kultivar. Bagian dalam umbinya berwarna putih atau kekuning-kuningan. Umbi singkong tidak tahan simpan meskipun ditempatkan di lemari pendingin. Gejala kerusakan ditandai dengan keluarnya warna biru gelap akibat terbentuknya asam sianida yang bersifat racun bagi manusia.

Umbi dari ubi kayu merupakan sumber energi yang kaya karbohidrat, tetapi sangat miskin protein. Sumber protein yang bagus justru terdapat pada daun singkong karena mengandung asam amino metionina.

Sejarah dan pengaruh ekonomi

  • Sejarah budidaya dan penyebarannya

Manihot esculenta pertama kali dikenal di Amerika Selatan kemudian dikembangkan pada masa prasejarah di Brasil dan Paraguay, sejak kurang lebih 10 ribu tahun yang lalu. Bentuk-bentuk modern dari spesies yang telah dibudidayakan dapat ditemukan bertumbuh liar di Brasil selatan. Meskipun ada banyak spesies Manihot yang liar, semua kultivar M. esculenta dapat dibudidayakan. Walaupun demikian, bukti-bukti arkeologis budidaya singkong justru banyak ditemukan di kebudayaan Indian Maya, tepatnya di Meksiko dan El Salvador.

Produksi singkong dunia, diperkirakan mencapai 192 juta ton pada tahun 2004. Nigeria menempati urutan pertama dengan 52,4 juta ton, disusul Brasil dengan 25,4 juta ton. Indonesia menempati posisi ketiga dengan 24,1 juta ton, diikuti Thailand dengan 21,9 juta ton (FAO, 2004) Sebagian besar produksi dihasilkan di Afrika 99,1 juta ton dan 33,2 juta ton di Amerika Latin dan Kepulauan Karibia.

  • Di Hindia Belanda

Singkong ditanam secara komersial di wilayah Indonesia (waktu itu Hindia Belanda) pada sekitar tahun 1810, setelah sebelumnya diperkenalkan orang Portugis pada abad ke-16 dari Brasil. Menurut Haryono Rinardi dalam Politik Singkong Zaman Kolonial, singkong masuk ke Indonesia dibawa oleh Portugis ke Maluku sekitar abad ke-16. Tanaman ini dapat dipanen sesuai kebutuhan. “Sifat itulah yang menyebabkan tanaman ubi kayu sering kali disebut sebagai gudang persediaan di bawah tanah,” tulis Haryono.

Butuh waktu lama singkong menyebar ke daerah lain, terutama ke Pulau Jawa. Diperkirakan singkong kali pertama diperkenalkan di suatu kabupaten di Jawa Timur pada 1852. “Bupatinya sebagai seorang pegawai negeri harus memberikan contoh dan bertindak sebagai pelopor. Kalau tidak, rakyat tidak akan memercayainya sama sekali,” tulis Pieter Creutzberg dan J.T.M. van Laanen dalam Sejarah Statistik Ekonomi Indonesia.

Namun hingga 1876, sebagaimana dicatat H.J. van Swieten, kontrolir di Trenggalek, dalam buku De Zoete Cassave (Jatropha janipha) yang terbit 1875, singkong kurang dikenal atau tidak ada sama sekali di beberapa bagian Pulau Jawa, tetapi ditanam besar-besaran di bagian lain. “Bagaimanapun juga, singkong saat ini mempunyai arti yang lebih besar dalam susunan makanan penduduk dibandingkan dengan setengah abad yang lalu,” tulisnya, sebagaimana dikutip Creutzberg dan van Laanen. Sampai sekitar tahun 1875, konsumsi singkong di Jawa masih rendah. Baru pada permulaan abad ke-20, konsumsinya meningkat pesat. Pembudidayaannya juga meluas. Terlebih rakyat diminta memperluas tanaman singkong mereka.

Peningkatan penanaman singkong sejalan dengan pertumbuhan penduduk Pulau Jawa yang pesat. Ditambah lagi produksi padi tertinggal di belakang pertumbuhan penduduk. “Singkong khususnya menjadi sumber pangan tambahan yang disukai,” tulis Marwati Djoened Poesponegoro dan Nugroho Notosusanto dalam Sejarah Nasional Indonesia V. Hingga saat ini, singkong telah menjadi salah satu bahan pangan yang utama, tidak saja di Indonesia tetapi juga di dunia. Di Indonesia, singkong merupakan makanan pokok ketiga setelah padi-padian dan jagung.

Hindia Belanda pernah menjadi salah satu pengekspor dan penghasil tepung tapioka terbesar di dunia. Di Jawa banyak sekali didirikan pabrik-pabrik pengolahan singkong untuk dijadikan tepung tapioka. Seperti dalam buku Handbook of the Netherlands East Indies, pada tahun 1928 tercatat 21,9% produksi tapioka diekspor ke Amerika Serikat, 16,7% ke Inggris, 8,4% ke Jepang, lalu 7% dikirim ke Belanda, Jerman, Belgia, Denmark dan Norwegia. Biasanya tepung olahan singkong tersebut dimanfaatkan sebagai bahan baku lem dan permen karet, industri tekstil dan furniture.

Sampai dan Singkong adalah nama lokal di kawasan Jawa Barat untuk tanaman ini. Nama "ubi kayu" dan "ketela pohon" dipakai dalam bahasa Melayu secara luas. Nama "ketela" secara etimologi berasal dari kata dalam bahasa Portugis "castilla" (dibaca "kastiya"), karena tanaman ini dibawa oleh orang Portugis dan Castilla (Spanyol).

Pengolahan

Umbi singkong dapat dimakan mentah. Kandungan utamanya adalah pati dengan sedikit glukosa sehingga rasanya sedikit manis. Pada keadaan tertentu, terutama bila teroksidasi, akan terbentuk glukosida racun yang selanjutnya membentuk asam sianida (HCN). Sianida ini akan memberikan rasa pahit. Umbi yang rasanya manis menghasilkan paling sedikit 20 mg HCN per kilogram umbi segar, dan 50 kali lebih banyak pada umbi yang rasanya pahit. Proses pemasakan dapat secara efektif menurunkan kadar racun.

Dari pati umbi ini dibuat tepung tapioka (kanji).

Penggunaan

Dimasak dengan berbagai cara, singkong banyak digunakan pada berbagai macam masakan. Direbus untuk menggantikan kentang, dan pelengkap masakan. Tepung singkong dapat digunakan untuk mengganti tepung gandum, cocok untuk pengidap alergi gluten.

Kadar gizi

Kandungan gizi singkong per 100 gram meliputi:

  • Kalori 121 kal
  • Air 62,50 gram
  • Fosfor 40,00 gram
  • Karbohidrat 34,00 gram
  • Kalsium 33,00 miligram
  • Vitamin C 30,00 miligram
  • Protein 1,20 gram
  • Besi 0,70 miligram
  • Lemak 0,30 gram
  • Vitamin B1 0,01 miligram

Sedangkan daun singkong yang banyak dijadikan sayuran pada masakan Sunda dan masakan Padang memiliki nutrisi sebagia berikut:

Nutrisi: Protein, Kalsium, Fosfor, Besi, Vitamin A, Vitamin C

Satuan: gram, mg, mg, mg, IU, mg

Kadar: 6.8, 165, 54, 2.0, 11000, 275

Varietas tanaman singkong

Tanaman singkong disebut manis atau beracun, tergantung kandungan asam hydrocyanic dalam akarnya, yang umum diakui mengandung kurang dari 50 miligram asam hydrocyanic per kilogram bahan segar. Saat ini tersedia 10 varietas ubi kayu di pasaran. Kesepuluh varietas tersebut dikelompokkan menjadi dua, yakni kelompok varietas ubi kayu untuk pangan dan untuk industri.

Varietas untuk pangan adalah

  • N1 Mekarmanik
  • Adira 1
  • Malang 1
  • Malang 2
  • Darul Hidayah.

Sedangkan untuk ubi industri adalah

  • N1 Mekarmanik
  • Adira 2
  • Adira 4
  • Malang 4
  • Malang 6
  • UJ 5
  • UJ 3.

Varietas untuk pangan mempunyai tekstur umbi yang pulen dengan kadar HCN < 50 miligram per kilogram dan mempunyai rasa tidak pahit. Sedangkan ubi jalar untuk industri mempunyai kadar patin atau kadar bahan kering sekitar 0,6 gram per kilogram

Beberapa varietas unggul singkong yang telah dilepas oleh Kementrian Pertanian antara lain Adira 1, Adira 2, Adira 4, Malang 1, Malang 2, Darul Hidayah, Malang 4 maupun Malang 6.

Etimologi

Nama "ubi kayu" dan "ketela pohon" dipakai dalam bahasa Melayu secara luas. Nama "ketela" secara etimologi berasal dari kata "castilla" (dibaca "kastilya"), karena tanaman ini dibawa oleh orang Portugis dan Castilla (Spanyol).

Dalam bahasa lokal, bahasa Jawa menyebutnya Telo, bahasa Sangihe bungkahe, bahasa Tolitoli dan Gorontalo kasubi, dan bahasa Sunda sampeu. Sementara dalam bahasa Rejang, tanaman ini dikenal sebagai ubai.

Disadur dari: https://en.wikipedia.org/

Selengkapnya
Mengenal Apa itu Ubi Kayu

Pertanian

Kesejahteraan Hewan: Sejarah, Penilaian, Organisasi

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 29 April 2024


Kesejahteraan hewan merupakan ukuran kondisi atau kualitas hidup hewan nonmanusia. Konsep ini berhubungan erat dengan etika terhadap hewan. Kesejahteraan hewan mencakup kondisi fisik dan mental hewan, dan sejauh mana sifat alamiahnya terpenuhi.

Penerapan kesejahteraan hewan sering kali didasarkan pada keyakinan bahwa hewan nonmanusia memiliki sensibilitas dan bahwa manusia harus mempertimbangkan kesejahteraan atau penderitaan mereka, terutama ketika mereka berada di bawah kendali manusia. Kondisi-kondisi yang harus dipertimbangkan tersebut misalnya bagaimana hewan pangan disembelih, bagaimana hewan digunakan dalam penelitian ilmiah, bagaimana hewan dipelihara (sebagai hewan kesayangan, di kebun binatang, peternakan, sirkus, dan sebagainya), dan bagaimana aktivitas manusia memengaruhi kesejahteraan dan kelangsungan hidup satwa liar.

Sejarah

Meskipun pandangan dan tulisan mengenai kesejahteraan hewan telah ada sejak lama, tetapi produk hukum modern berupa undang-undang nasional baru ditetapkan pada abad ke-19. Salah satu undang-undang pertama yang melindungi hewan adalah "Undang-Undang Kekejaman terhadap Hewan 1835" di Britania Raya yang kemudian diikuti oleh "Undang-Undang Perlindungan Hewan 1911". Amerika Serikat butuh waktu bertahun-tahun sampai terbit undang-undang nasional untuk melindungi hewan, yakni "Undang-Undang Kesejahteraan Hewan 1966", meskipun sebelumnya telah ada sejumlah negara bagian yang mengesahkan undang-undang anti-kekejaman terhadap hewan antara tahun 1828 dan 1898.

Pada tahun 1965, pemerintah Britania Raya melakukan investigasi mengenai kesejahteraan hewan-hewan yang diternakkan secara intensif. Investigasi yang dipimpin oleh Profesor Roger Brambell ini dilakukan sebagai tanggapan atas kekhawatiran yang diangkat dalam buku Mesin Hewan karya Ruth Harrison pada tahun 1964. Berdasarkan laporan Brambell, pemerintah Inggris lalu membentuk Komite Penasihat Kesejahteraan Hewan Ternak pada tahun 1967, yang menjadi Dewan Kesejahteraan Hewan Ternak pada tahun 1979. Pedoman pertama yang diterbitkan komite tersebut merekomendasikan bahwa hewan memerlukan kebebasan untuk "berdiri, berbaring, berbalik, merawat diri mereka sendiri, dan meregangkan anggota badan mereka." Pedoman tersebut kemudian dikembangkan lebih lanjut menjadi konsep lima kebebasan.

Penilaian

  • Lima kebebasan

Salah satu model atau pendekatan yang banyak digunakan untuk menilai derajat kesejahteraan hewan adalah lima kebebasan hewan, yaitu:

  1. Bebas dari rasa lapar atau haus—dengan menyediakan akses untuk memperoleh air segar dan diet untuk menjaga kesehatan dan kebugaran.
  2. Bebas dari ketidaknyamanan—dengan menyediakan lingkungan yang sesuai, termasuk tempat berteduh dan tempat beristirahat yang nyaman.
  3. Bebas dari rasa sakit, cedera, atau penyakit—dengan pencegahan atau diagnosis dan pengobatan penyakit dan gangguan kesehatan lain secara cepat.
  4. Bebas untuk mengekspresikan (sebagian besar) perilaku normal—dengan menyediakan ruang yang cukup, fasilitas yang layak, dan rekan dari jenis hewan itu sendiri.
  5. Bebas dari rasa takut dan tertekan—dengan memastikan kondisi dan perawatan hewan yang menghindari penderitaan mental.
  • Lima ranah

Pada perkembangan selanjutnya, penilaian kesejahteraan hewan bergeser dari kondisi negatif yang berusaha dihindari menjadi kondisi positif yang perlu dipromosikan. Konsep lima ranah pun dikembangkan guna menilai kesejahteraan hewan untuk keperluan ini, yang meliputi (1) nutrisi, (2) lingkungan, (3) kesehatan, (4) perilaku, dan (5) kondisi mental. Empat ranah pertama berkaitan dengan fisik atau fungsional (ranah kesatu hingga ketiga merupakan faktor yang berhubungan dengan kelangsungan hidup, sedangkan ranah keempat merupakan faktor yang berhubungan dengan situasi yang dialami hewan). Sementara itu, ranah kelima berhubungan dengan pengalaman afektif hewan.

Organisasi

Selain menangani masalah kesehatan hewan, Organisasi Kesehatan Hewan Dunia (WOAH) juga mengurusi kesejahteraan hewan. Menurut WOAH, kesrawan adalah "keadaan fisik dan mental seekor hewan dalam hubungannya dengan kondisi tempatnya hidup dan mati". Dua standar yang diterbitkan WOAH, yaitu Kode Kesehatan Hewan Terestrial dan Kode Kesehatan Hewan Akuatik berisi bab yang menguraikan pedoman kesrawan pada hewan terestrial (meliputi aktivitas transportasi hewan, penyembelihan hewan, pemusnahan hewan untuk keperluan pengendalian penyakit, penggunaan hewan untuk penelitian dan pendidikan, manajemen populasi anjing, serta sistem produksi pada peternakan) dan pedoman kesrawan pada hewan akuatik yang dibudidayakan (meliputi aktivitas transportasi ikan serta pemingsanan dan pematian ikan).

Beberapa organisasi internasional didirikan untuk mempromosikan kesejahteraan hewan, seperti World Federation for the Protection of Animals (WFPA) yang didirikan pada tahun 1950 dan International Society for the Protection of Animals (ISPA) yang didirikan pada tahun 1959. Kedua organisasi ini bergabung menjadi World Society for the Protection of Animals (WSPA) pada tahun 1981 dan kemudian berubah menjadi World Animal Protection (WAP) pada tahun 2014. Organisasi ini menerbitkan Indeks Perlindungan Hewan pada tahun 2014 dan 2020 yang menilai penerapan kesrawan di 50 negara. Sebanyak lima tema dan 15 indikator digunakan sebagai bahan penilaian. Suatu negara akan mendapatkan nilai dari A (nilai terbaik) hingga G (nilai terburuk).

Sumber: https://id.wikipedia.org/

Selengkapnya
Kesejahteraan Hewan: Sejarah, Penilaian, Organisasi

Pertanian

Peternak Rakyat Terjepit dalam Sistem Industri Peternakan Ayam

Dipublikasikan oleh Nadia Pratiwi pada 29 April 2024


Peternakan ayam pedaging merupakan salah satu industri terpenting di Indonesia. Riset BRIN menunjukkan bahwa peternakan ayam menghasilkan produksi protein hewani yang dominan, mencapai 71,35% dari produksi daging nasional. Dari sisi sumber daya yang terlibat, jumlah SDM yang menjadi tenaga kerja  dalam industri peternakan ini cukup banyak.  Berdasarkan publikasi BPS tahun 2022 Tenaga kerja di Subsektor ini tahun 2021 sebanyak 4.9 juta jiwa, mayoritas hanya memiliki pendidikan dasar.

Berdasarkan data itu industri peternakan ini memiliki kontribusi yang signifikan terhadap perekonomian masyarakat. Namun pada kenyataannya, kelompok ini masuk dalam kelompok marginal. Terdapat banyak masalah yang dijumpai di lapangan. Ada persoalan mendasar dalam sistem industri yang berlaku. Hal itu kelihatan melalui berbagai bentuk ungkapan aspirasi yang dilakukan para petani peternak, menyuarakan masalah yang mereka hadapi.

Dalam beberapa tahun terakhir, peternak ayam mandiri berulang kali menggelar demonstrasi di Indonesia. Petani mengeluhkan masalah yang mereka hadapi. Mereka mencurigai adanya kecurangan dalam peternakan ayam, ayam pedaging, dan ayam petelur. Hal ini tercermin dari selisih harga antara harga yang berlaku di tingkat konsumen dengan harga unggas hidup di tingkat peternak. Sugeng Wahyudi, Sekjen Gabungan Peternak Unggas Nasional (GOPAN), mengumumkan harga pasaran ayam potong mendekati Rp. 40.000 per kilogram. Padahal harga ayam hidup bervariasi hanya sekitar Rp. 21.000/kg.

Sistem industri yang timpang

Pembahasan tentang persoalan ini dapat dilihat dari analisis sistem industrinya. Sistem industri adalah suatu sistem yang dibangun dari beberapa unsur yang saling berhubungan dan terorganisir yang bertujuan untuk menciptakan, memproduksi, dan mendistribusikan barang dan jasa yang dibutuhkan oleh masyarakat. Sistem ini mencakup berbagai aspek seperti teknologi, manajemen dan sumber daya manusia.

Dalam konteks industri peternakan ayam, elemen-elemen pembentuk sistemnya berkaitan dengan proses bisnis utama budidaya peternakan ayam yaitu mulai dari produksi bibit, pemberian pakan, pemeliharaan, pengolahan dan pemasaran produk ayam. masing-masing elemen sistem tersebut memiliki saling ketergantungan yang tinggi untuk berjalannya sistem industri secara efektif. Secara ringkas akan digambarkan dalam bagian berikut.

  1. Produksi benih. Anak ayam diproduksi untuk pembibitan ayam pedaging atau petelur berkualitas tinggi. Kualitas genetik bibit ayam yang dihasilkan harus baik agar dapat tumbuh dengan cepat dan sehat. Peternakan ayam dapat dilakukan secara tradisional atau modern dengan menggunakan teknik pembibitan seperti inseminasi buatan. pemeliharaan.
  2. Produksi makanan. Pakan ayam harus memiliki kandungan nutrisi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan nutrisi ayam. Produksi pakan dapat dilakukan secara mandiri dengan membuat pakan sendiri atau membeli pakan dari produsen pakan.
  3. Pemeliharaan ternak: Saat ayam mencapai umur panen, maka dikumpulkan dan diolah menjadi produk olahan ayam seperti daging ayam, telur dan hasil olahan lainnya. Teknologi modern dan higienis digunakan dalam pengolahan daging ayam sehingga produk yang dihasilkan aman untuk dikonsumsi.
  4. Pemeliharaan kesehatan. Aktivitas utama ini meliput upaya untuk menjaga kesehatan ayam melalui vaksinasi serta pemberian obat untuk pencegahan atau mengatasi penyakit.
  5. Pemasaran. Produk industri peternakan ayam tersebut kemudian dijual dalam berbagai bentuk dan dikemas di pasaran. Produk ayam dipasarkan melalui berbagai saluran seperti  pasar tradisional, toko modern, restoran dan supermarket.

Setiap proses bisnis utama yang juga dikenal dengan panca usaha ini, dapat dijalankan oleh aktor atau pelaku sama atau berbeda. Hanya saya untuk dapat menjalankan keseluruhannya dibutuhkan skala ekonomi yang sesuai. Mayoritas peternak rakyat tidak memiliki kemampuan untuk menjalankan keseluruhannya. Hal itu disebab di antara proses tersebut membutuhkan investasi yang besar serta memerlukan teknologi tinggi dan mahal. Karena itu para peternak mandiri biasanya hanya fokus pada pengelolaan pemeliharaan di kandang.

Di lain pihak perusahaan pemilik modal yang memiliki akses dana kuat mampu menjalankan keseluruhan proses bisnis itu secara integratif. Mulai dari pembibitan, memproduksi pakan berkualitas, penguasaan distribusi obat, pemeliharaan di kandang hingga mengelola pemasaran. Dengan model integratif tersebut maka akan diperoleh efisiensi yang tinggi. Perusahaan memiliki kemampuan untuk mengontrol input hingga output. Mereka mampu mengontrol biaya produksi, sekaligus posisi tawar harga jual yang kuat.

Hidup mati peternak mandiri ditentukan pemain besar

Jika dilihat dari perspektif supply chain dan value chain, kita akan dapat melihat saling ketergantungan antara proses bisnis utama dan aktor pada setiap segment. Namun pihak yang menguasai lebih banyak proses bisnis akan menjadi penentu dalam industri ini, kemudian menjelma menjadi sistem industri yang monopolistik. Sistem industri peternakan ayam di Indonesia menunjukkan bahwa segelintir perusahaan besar memiliki penguasaan sangat dominan pada keseluruhan aktivitas utama. Sehingga perusahaan itu menjadi pengatur berjalannya sistem.

Persoalan utama yang ada saat ini adalah nyaris seluruh peternak rakyat atau peternak mandiri berada pada posisi yang sangat lemah. Mereka tidak memiliki posisi tawar terhadap supplier yang memasok komponen input seperti bibit, pakan dan obat, pada saat yang sama, juga tidak memiliki posisi tawar dari sisi penjualan, karena pasar dikuasai oleh pemain besar.

Dengan posisi peternak rakyat sedemikian di dalam sistem industri peternakan ayam, maka hidup mati mereka ditentukan oleh pemain besar. Pemain besar dapat menentukan harga bibit, harga pakan dan harga obat, sekaligus menentukan harga jual kepada konsumen. Sering menjadi keluhan peternak mandiri bahwa pada saat harga input naik, tidaklah serta merta diikuti dengan harga jual produksinya. Mereka menghadapi situasi sulit, bahkan sering kali harga penjualan lebih tinggi dari biaya pokok produksi yang telah dikeluarkan. 

Perlu intervensi pemerintah

Sistem industri peternakan ayam seperti yang telah dipaparkan ini adalah sistem yang timpang dan tidak adil. Terjadi kondisi monopoli atau oligopoli yang parah, sebagai akibat penguasaan mutlak yang ada pada tangan segelintir perusahaan atas proses bisnis utama. Jika terus dibiarkan, maka peternak rakyat atau peternak mandiri akan terusir dari sistem industri ini. Atau pada akhirnya bersedia hanya sekedar menjadi buruh atau pekerja bagi pengusaha besar, meski dikemas dengan istilah kemitraan, namun tidak sejajar.

Sikap keberpihakan pemerintah mendesak untuk diwujudkan. Bahkan di negara ekonomi liberal seperti Amerika Serikat pun sangat sensitif terhadap issue monopoli. Perusahaan raksasa, seperti Microsoft, Google, Facebook menuai begitu banyak gugatan. Dalam beberapa kasus perusahaan itu telah merasakan tajamnya pisau regulasi anti monopoli seperti Google yang didenda US$270 juta atau setara Rp3,86 triliun, akibat monopoli periklanan tahun 2021 lalu.

Pemerintah perlu segera membuat regulasi untuk mencegah berlanjutnya praktik monopoli dalam sistem industri ini. Perusahaan besar perlu dibatasi penguasaannya, agar peternak rakyat atau peternak mandiri memiliki posisi tawar, berbekal regulasi yang berpihak pada rakyat. Ada jutaan jiwa yang menggantungkan harapan masa depan dalam industri peternakan ini, sehingga mengaturnya agar berjalan sehat adalah bagian dari kewajiban pemerintah untuk mengatur permainan di industri ini agar berlangsung adil.

Sumber: https://unand.ac.id/

Selengkapnya
Peternak Rakyat Terjepit dalam Sistem Industri Peternakan Ayam
« First Previous page 20 of 27 Next Last »