Pertambangan dan Perminyakan

Proses Terjadinya Bahan Bakar Gas Alam

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 22 April 2024


Gas alam, seperti halnya batu bara dan minyak, adalah bahan bakar fosil yang berasal dari bahan organik seperti tanaman, hewan, dan mikroorganisme yang hidup jutaan tahun yang lalu. Teori saat ini menyatakan bahwa gas alam terbentuk di bawah tanah di bawah kondisi tekanan tinggi. Ketika bahan organik terurai, bahan tersebut terkubur di bawah lapisan tanah, sedimen, dan terkadang batuan selama jutaan tahun, mengalami kompresi dan paparan suhu tinggi di dalam kerak bumi. Proses ini memecah ikatan karbon di dalam bahan organik, menghasilkan pembentukan metana termogenik, komponen utama gas alam.

Cadangan gas alam sering ditemukan di dekat cadangan minyak, dengan cadangan yang lebih dalam biasanya mengandung lebih banyak gas alam daripada minyak karena suhu dan tekanan yang lebih tinggi. Beberapa gas alam juga terbentuk di dekat permukaan oleh mikroorganisme yang disebut metanogen, yang menguraikan bahan organik menjadi metana biogenik melalui proses yang dikenal sebagai metanogenesis. Meskipun sebagian besar metana biogenik dilepaskan ke atmosfer, berbagai upaya sedang dilakukan untuk menangkap dan memanfaatkan sumber energi potensial ini.

Baik metana termogenik maupun metana biogenik dapat terlepas ke atmosfer, tetapi sebagian besar metana termogenik terperangkap dalam formasi geologi kedap air yang dikenal sebagai cekungan sedimen. Cekungan ini, yang ditemukan di seluruh dunia di lingkungan mulai dari gurun dan daerah tropis hingga daerah kutub, menyimpan cadangan gas alam yang signifikan. Untuk mengakses cadangan ini, sumur dibor melalui formasi batuan untuk memungkinkan gas keluar dan dipanen.

Cekungan sedimen yang kaya akan gas alam tersebar di seluruh dunia, termasuk wilayah seperti gurun pasir di Arab Saudi, daerah tropis di Venezuela, dan ladang es di Alaska. Di Amerika Serikat, produksi gas alam yang signifikan terjadi di negara-negara bagian di sepanjang Teluk Meksiko, seperti Texas dan Louisiana, serta di negara-negara bagian utara seperti Dakota Utara, Dakota Selatan, dan Montana, di mana operasi pengeboran di cekungan sedimen telah berkembang dalam beberapa tahun terakhir.

Jenis-jenis Gas Alam

Ada beberapa jenis gas alam yang berbeda, termasuk gas alam konvensional dan non-konvensional. Gas alam konvensional terperangkap dalam material yang dapat ditembus di bawah batuan yang tidak dapat ditembus dan lebih mudah diekstraksi. Sementara itu, gas alam non-konvensional ditemukan dalam kondisi geologis yang lebih sulit untuk diakses dan diekstraksi, seperti gas alam di lapisan batuan sedimen yang sangat dalam, gas alam serpih, gas alam yang sangat rapat, gas metana di lapisan batu bara, gas di zona geopressure, dan hidrat metana.

Biogas adalah jenis gas yang dihasilkan ketika bahan organik terurai tanpa adanya oksigen. Proses ini disebut penguraian anaerobik dan terjadi di tempat-tempat seperti tempat pembuangan sampah atau di mana bahan organik seperti kotoran hewan, limbah rumah tangga, atau limbah industri mengalami penguraian. Biogas mengandung lebih sedikit metana dibandingkan gas alam, tetapi dapat diproses dan digunakan sebagai sumber energi terbarukan.

Gas alam di lapisan batuan yang sangat dalam adalah jenis gas alam yang tidak konvensional. Gas alam serpih adalah jenis lain dari deposit non-konvensional. Gas alam serpih terperangkap di antara lapisan batuan serpih yang sangat kedap air, dan pemulihan gas alam serpih membutuhkan teknologi seperti hidrofraktori dan pengeboran horizontal. Gas alam padat juga merupakan gas alam non-konvensional yang terperangkap di dalam batuan kedap air dan membutuhkan metode ekstraksi yang sulit.

Gas metana batu bara adalah jenis gas alam non-konvensional lainnya yang umumnya ditemukan di sepanjang lapisan batu bara yang mengalir di bawah tanah. Gas di zona geopressure terbentuk di kedalaman yang sangat dalam di bawah permukaan bumi dan memiliki potensi energi yang tinggi meskipun sulit untuk diekstraksi. Metana hidrat adalah jenis gas alam non-konvensional lainnya yang terbentuk di lapisan es dan sedimen laut, dan memiliki potensi energi yang besar tetapi membutuhkan penanganan yang hati-hati karena potensi dampak lingkungan yang besar.

Pengeboran dan Pengangkutan

Gas alam diekstraksi dari dalam bumi melalui pengeboran vertikal dan sering kali menggunakan teknik hydrofracturing, pengeboran horizontal, dan pengasaman untuk meningkatkan produktivitas sumur. Namun, praktik-praktik ini dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan, termasuk menurunkan permukaan air dan mencemari sumber air bawah tanah. Setelah diekstraksi, gas alam umumnya diangkut melalui jaringan pipa besar. Di Amerika Serikat, terdapat lebih dari 210 sistem jaringan pipa yang menghubungkan gas alam di seluruh negara bagian.

Gas alam juga dapat dikonversi menjadi LNG dengan cara didinginkan ke dalam bentuk cair. LNG memungkinkan penyimpanan dan pengangkutan yang lebih mudah, terutama ke daerah-daerah yang tidak memiliki infrastruktur pipa gas. LNG diangkut dengan kapal tanker khusus yang diisolasi untuk menjaga suhu LNG tetap stabil. Amerika Serikat saat ini meningkatkan produksi LNG domestiknya dan juga mengimpor dari negara-negara seperti Trinidad dan Tobago dan Qatar.

Mengkonsumsi Gas Alam

Meskipun gas alam membutuhkan waktu jutaan tahun untuk dikembangkan, energinya baru dieksploitasi dalam beberapa ribu tahun terakhir. Sekitar tahun 500 SM, para insinyur Cina menggunakan gas alam yang merembes dari dalam tanah untuk membuat tabung bambu. Pipa-pipa ini mengalirkan gas untuk memanaskan air. Pada akhir abad ke-18, perusahaan-perusahaan Inggris memasok gas alam untuk lampu jalan dan penerangan rumah. Saat ini, gas alam digunakan untuk berbagai keperluan industri, komersial, perumahan dan transportasi. Menurut Departemen Energi AS (DOE), gas alam bisa lebih murah hingga 68 persen daripada listrik.

Gas Alam dan Lingkungan

Gas alam biasanya harus diproses sebelum digunakan karena dapat mengandung berbagai elemen dan senyawa selain metana, seperti air, etana, butana, propana, hidrogen sulfida, karbon dioksida, uap air, dan terkadang helium dan nitrogen. Metana dipisahkan dan diproses hingga menjadi hampir murni sebelum digunakan sebagai sumber energi di rumah kita. Sama seperti bahan bakar fosil lainnya, gas alam dapat dibakar untuk menghasilkan energi. Namun, gas alam adalah bahan bakar yang paling bersih, karena ketika dibakar, gas alam hanya menghasilkan sedikit produk sampingan.

Tidak seperti batu bara dan minyak, yang memiliki formasi molekul yang kompleks dan mengandung banyak karbon, nitrogen, dan sulfur, metana dalam gas alam memiliki struktur molekul yang sederhana: CH4. Ketika dibakar, gas ini hanya mengeluarkan karbon dioksida dan uap air, sama seperti yang dilakukan manusia ketika bernapas.

Keamanan

Gas alam, sumber energi yang sangat penting, diekstraksi melalui pengeboran. Namun, proses ini memiliki risiko. Kantong-kantong tekanan tinggi yang tak terduga dapat menyebabkan kebocoran yang berbahaya, dan sumur yang rusak dapat pecah. Meskipun gas alam menghilang dengan cepat, kebocoran masih menimbulkan bahaya lingkungan, melepaskan lumpur dan minyak ke daerah sekitarnya.

Rekahan hidraulik, yang digunakan untuk memperluas sumur, dapat mencemari habitat lokal dan air minum dengan bahan radioaktif. Emisi metana yang tidak terkendali bahkan dapat memaksa evakuasi sementara. Secara historis, jaringan pipa besi cor memungkinkan terjadinya kebocoran gas yang signifikan. Saat ini, jaringan pipa modern yang terbuat dari berbagai bahan membantu mengurangi emisi metana di sektor gas alam AS. Menyeimbangkan kebutuhan energi dengan keselamatan tetap menjadi tantangan penting. 
 

Disadur dari: https://education.nationalgeographic.org/resource/natural-gas/

Selengkapnya
Proses Terjadinya Bahan Bakar Gas Alam

Pertambangan dan Perminyakan

Kendala dalam Optimalisasi Pemanfaatan Gas Bumi

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 22 April 2024


Gas bumi dapat menjadi salah satu sumber daya yang dapat digunakan untuk menjembatani transisi energi di Indonesia. Namun, pengembangan sektor ini terhambat oleh regulasi dan infrastruktur yang belum memadai. Padahal, penggunaan gas untuk energi terbarukan semakin krusial karena banyak negara tengah memperebutkannya.

Chairman Indonesian Gas Society Aris Mulya Azof menjelaskan, gas merupakan salah satu sumber energi untuk mendukung ketahanan energi nasional dan menjembatani transisi energi yang dilakukan pemerintah. Emisi pembakaran gas bumi dinilai lebih rendah ketimbang bahan bakar minyak dan batubara sehingga dapat mempercepat target penurunan gas rumah kaca Indonesia, yaitu sebesar 29 persen di tahun 2030. Jika dibandingkan dengan minyak bumi, emisi pembakaran gas bumi lebih rendah sekitar 20 gram CO2e/MJ (ekuivalen karbon dioksida per megajoule), sedangkan dibandingkan batubara lebih rendah sekitar 43 gram CO2e/MJ.

Aktivitas pekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa 2 yang dikelola oleh PT Indonesia Power di Ancol, Jakarta, Rabu (3/2/2021).
Aktivitas pekerja di Pembangkit Listrik Tenaga Gas dan Uap (PLTGU) Jawa 2 yang dikelola oleh PT Indonesia Power di Ancol, Jakarta, Rabu (3/2/2021).

”Apalagi kita memiliki cadangan gas commercially proven 43,57 triliun kaki kubik dan di tahun 2020 mampu memproduksi gas sebesar 2.4 juta kaki kubik,” jelasnya di Jakarta, Kamis (16/3/2023). Berdasarkan hal tersebut pula, gas masih dapat dimanfaatkan selama proses transisi menuju energi terbarukan yang diprediksi akan mulai getol dilakukan tahun 2030. Gas juga bisa menjadi jembatan untuk menyiasati masih tingginya biaya investasi di bidang renewable energy.

Meskipun begitu, utilisasi gas di Indonesia belum berjalan dengan optimal karena masih minimnya dukungan infrastruktur, khususnya terkait jaringan pipa, terminal, serta pabrik untuk likuifikasi dan regasifikasi gas. Adapun total kebutuhan belanja modal (capex) untuk pembangunan infrastruktur gas bumi nasional adalah sebesar Rp 1,2 miliar setiap tahunnya. Untuk mendorong hal tersebut, pemerintah perlu menciptakan iklim usaha yang baik untuk menarik investasi dapat masuk.

Walaupun begitu, Aris menambahkan, investor dinilai belum tertarik masuk karena regulasi harga, salah satunya terkait penetapan harga gas bumi tertentu (HGBT), yang kini ditetapkan sebesar 6 dollar AS per juta metrik british thermal unit (MMBTU) oleh pemerintah. Di sektor hulu, harga tersebut dinilai tidak sesuai dengan kondisi keekonomian gas sehingga perlu ada koreksi. ”Harapannya bisa dikoreksi menjadi lebih tinggi,” jelasnya.

Di sektor hilir, kebijakan HGBT juga dinilai belum efektif memberikan manfaat bagi tujuh industri penerima manfaat program ini. Padahal, program ini diharapkan bisa mendorong pertumbuhan di tujuh industri yaitu, petrokimia, oleokimia, pupuk, baja, kimia, keramik, kaca, dan sarung tangan karet. Hal tersebut tecermin dari realisasi investasi di sektor tersebut.Berdasarkan data Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat tahun 2022, realisasi investasi di sektor tersebut turun dari tahun 2020 di angka Rp 120 triliun, menjadi sebesar Rp 93 triliun di tahun 2021. Meski demikian, penerimaan pajak dari tujuh sektor tersebut tetap naik dari Rp 13 triliun di tahun 2020, menjadi Rp 15 triliun pada tahun 2021.

”Kita harapannya dievaluasi karena dampaknya membebani hulu dan pencapaian di hilir tidak sesuai target,” ujarnya. Selama ini, jaringan pipa di Indonesia mayoritas berada di area Sumatera dan Jawa, bahkan itu pun masih belum terkoneksi di beberapa bagian. Pemerintah berencana untuk memperpanjang jaringan yang ada, salah satunya Dumai-Sei Mangke di Sumatera dan Cirebon-Semarang di Jawa.

Di luar daerah tersebut, khususnya Indonesia timur, pemerintah berencana membangun terminal gas bumi cair (LNG) skala kecil dan fasilitas produksinya (LNG Plant). Hal ini dipengaruhi faktor geografis seperti kedalaman laut dan jauhnya jarak antardaerah yang membuat pembangunan akan diarahkan kepada infrastruktur nonpipa. Ada beberapa daerah yang rencananya menjadi sasaran, seperti di Bintuni, Papua dan Masela, Maluku, serta beberapa terminal skala kecil di Bali dan Nusa Tenggara. ”Harus ada aksesibilitas dan koneksi infrastruktur agar pemanfaatannya optimal,” jelasnya.

Tidak hanya harga

HGBT perlu dievaluasi mengingat faktor pertumbuhan di sektor hulu dan hilir tidak melulu ditentukan tinggi-rendahnya harga gas. Direktur Eksekutif Indonesia Petroleum Association Meity Wajong menerangkan, kondisi kerja di setiap lapangan minyak dan gas bumi di Indonesia berbeda-beda, khususnya terkait faktor geografis, distribusi, dan lainnya. Hal tersebut menyebabkan tentu adanya perbedaan dalam sisi biaya operasional.

Untuk itu, ia berharap adanya kebijakan penyesuaian harga yang lebih proporsional terhadap penentuan harga. Selain itu, pembenahan regulasi diperlukan karena investasi ke sektor tidak terbarukan diprediksikan menurun karena investor lebih tertarik ke sektor energi terbarukan. ”Dengan berkurangnya porsi investasi di energi fosil, investor sekarang benar-benar mempertimbangkan di mana mereka akan berinvestasi,” ucapnya. Dalam mengembangkan sektor gas bumi dari hulu-hilir, pemerintah perlu memperhatikan faktor lain agar tidak terpaku kepada permasalahan harga saja. Direktur Eksekutif Reforminer Institute Komaidi Notonegoro menerangkan, harga gas bumi bukan satu-satunya variabel penentu pertumbuhan di sektor hilir.

Terdapat 15 variabel lainnya yang juga harus dilihat oleh pemerintah, salah satunya tentang kemampuan daya saing industri. Indonesia harus jeli melihat peluang pemanfaatan gas untuk transisi energi karena banyak negara masih mengandalkan sumber daya ini untuk menyokong pembangunan energi terbarukannya. ”Amerika Serikat, Jerman, Rusia, China, dan Australia akan mengakselerasi penggunaan gas. Hal itu membuat persaingan memperebutkan gas bumi akan sangat besar di kemudian hari, apalagi Indonesia masih impor, kita harus optimalkan gas bumi kita,” jelasnya.

 

Sumber: www.kompas.id

Selengkapnya
Kendala dalam Optimalisasi Pemanfaatan Gas Bumi

Pertambangan dan Perminyakan

Indonesia Siapkan Strategi Transisi ke Energi Terbarukan Menghadapi Naik-Turun Harga Komoditi

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 22 April 2024


Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia perlu mempersiapkan diri terhadap naik-turunnya harga komoditi serta tren dunia ke depan menuju peningkatan penggunaan energi hijau. Salah satu hal yang bisa dilakukan Indonesia menangani keadaan ini yakni dengan memanfaatkan peluang di masa transisi energi menuju energi terbarukan.

Gas bumi merupakan salah satu komoditi energi yang ikut berperan dalam mendorong ketahanan ataupun kemandirian energi dalam negeri saat ini. Di sisi lain, dengan meningkatnya pembangunan industri manufaktur dalam negeri, turun juga berdampak pada kebutuhan komoditas energi seperti gas bumi.

Umumnya, gas menggunakan pipa ke industri yang membutuhkan atau bisa juga diubah menjadi LNG yang saat ini sudah berfungsi sebagai komoditi dan bisa diperjual belikan. Berdasarkan data Kementerian ESDM, Indonesia punya cadangan gas alam sebesar 41,62 triliun kaki kubik persegi (trillion square cubic feet/TSCF) pada 2021.

Cadangan gas bumi terbukti paling banyak berada di wilayah Maluku, yakni 13.988 miliar kaki kubik persegi (billion square cubic feet/BSCF), serta Papua 11.412 BSCF. Indonesia memang memiliki cadangan gas sangat besar. Namun sayangnya cadangan itu belum bisa dimanfaatkan karena infrastruktur yang belum memadai.

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Bea Cukai yang diolah Badan Pusat Statistik (BPS), sepanjang 2022 Indonesia melakukan impor gas bumi mencapai angka 6,8 juta ton. Angka ini naik 5,5% dibandingkan tahun 2021 sekaligus menjadi impor gas terbesar dalam lima tahun terakhir. berikut negara asal impor gas Indonesia.

Berdasarkan data di atas, Pada 2022 Indonesia paling banyak mengimpor gas dari Amerika Serikat (AS), dengan volume sekitar 2,8 juta ton. Sementara Uni Emirat Arab menjadi pemasok terbesar nomor dua, dengan volume sekitar 1,9 juta ton.
 

sumber: www.cnbcindonesia.com

Selengkapnya
Indonesia Siapkan Strategi Transisi ke Energi Terbarukan Menghadapi Naik-Turun Harga Komoditi

Pertambangan dan Perminyakan

Memahami Keuntungan Gas Alam sebagai Bahan Baku Industri dan Kebutuhan Rumah Tangga

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 22 April 2024


Gas alam adalah sumber energi yang bersumber dari fosil tanaman, hewan, dan mikroorganisme. Sisa bahan organik ini tersimpan di bawah tanah selama ribuan hingga jutaan tahun lamanya.
Manfaat gas alam di Indonesia begitu terasa di bidang perindustrian, pembangkit listrik, hingga pemenuhan kehidupan sehari-hari. Berikut penjelasan lebih detail dikutip dari laman Kementerian ESDM

Manfaat Gas Alam

  • Sebagai Bahan Baku Industri

Pemanfaatan gas alam yang banyak digunakan sebagai bahan baku industri. Contohnya sebagai bahan baku pupuk, petrokimia, metanol, plastik, hujan buatan, besi tuang, pengelasan, dan pemadam api ringan.

  • Sebagai Bahan Bakar

Gas alam juga merupakan salah satu bahan bakar yang sangat umum digunakan. Sebagai bahan bakar gas alam biasanya digunakan untuk Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), kendaraan bermotor (Bahan Bakar Gas/BBG, Liquefied Gas for Vehicle/LGV, Compressed Natural Gas), Industri ringan, dan menengah berat.

  • Sebagai Komoditas Ekspor

Gas alam merupakan salah satu komoditas ekspor Indonesia. Misalnya, gas alam cair (Liquefied Natural Gas/LNG) dan gas non-konvensional seperti gas metana batubara dan shale gas.

  • Memenuhi Kebutuhan Rumah Tangga

Pemanfaatan gas alam juga cukup memenuhi berbagai kebutuhan rumah tangga, restoran, hingga hotel. Pemanfaatan gas alam ini berbentuk Liquefied Petroleum Gas (LPG).

  • Sumber Energi Listrik

Batu bara adalah salah satu sumber energi listrik yang bersifat fatal bagi Indonesia. Uap dari proses pembakaran batu bara menggerakkan turbin yang menghasilkan listrik. Salah satu PLTU batu bara terletak di Desa Binor, Kecamatan Paiton dengan nama PLTU Paiton 3.

  • Jenis Gas Alam di Indonesia

Di Indonesia, gas alam telah dimanfaatkan sejak tahun 1960-an. Dilansir dari laman Pertamina Gas (Pertagas), Indonesia menempati urutan ketiga sebagai negara yang memiliki sumber cadangan gas alam terbesar di Asia Pasifik. Indonesia memiliki beberapa jenis gas alam, antara lain Compressed Natural Gas (CNG) yang memiliki sifat tidak berbau dan tidak korosif. CNG banyak dimanfaatkan untuk keperluan gas industri.

Selain itu ada juga jenis Liquefied Natural Gas (LNG), merupakan gas alam yang banyak dimanfaatkan sebagai bahan bakar. LNG adalah jenis gas alam yang memiliki sifat tidak berbau, tidak beracun, tidak korosif dan tidak mudah terbakar. Kemudian, Indonesia juga memiliki gas alam bernama Liquefied Petroleum Gas (LPG). LPG banyak digunakan oleh masyarakat Indonesia untuk bahan bakar memasak. LPG merupakan gas alam yang tidak memiliki bau, tidak berwarna, tidak berasa, mudah terbakar, dan memiliki tingkat racun yang sangat sedikit.
 

Sumber: www.detik.com

Selengkapnya
Memahami Keuntungan Gas Alam sebagai Bahan Baku Industri dan Kebutuhan Rumah Tangga

Pertambangan dan Perminyakan

Perusahaan dengan Produksi Gas Terbesar di Indonesia

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 21 April 2024


Kementerian Enegi dan Sumber Daya (ESDM) potensi gas bumi di Tanah Air cukup menjanjikan dengan cadangan mencapai 41,62 triliun kaki kubik (TCF). Meski cadangannya tidak signifikan dibandingkan cadangan dunia, Indonesia masih memiliki 68 cekungan potensial yang belum tereksplorasi yang ditawarkan kepada investor.

Berdasarkan Neraca Gas Indonesia 2022-2030, Indonesia akan mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri dari lapangan migas yang ada. Dalam 10 tahun ke depan, Indonesia juga diperkirakan akan mengalami surplus gas hingga 1715 MMSCFD yang berasal dari beberapa proyek potensial.

Jika menilik data Kementerian ESDM, pada 2021 rata-rata produksi gas bumi di Tanah Air bisa mencapai 6.667 juta standar kaku kubik per hari (million standart cubic feed per day/MMSCFD). Dari besaran tersebut, tercatat beberapa perusahaan yang memiliki kapasitas produksi terbesar.

Tabel Perusahaan Produksi Gas Bumi di Indonesia

Berdasarkan data tersebut perusahaan yang memiliki kapasitas produksi gas bumi terbesar di Tanah Air adalah BP Berau Ltd, yang merupakan anak perusahaan British Petroleum (BP) asal Inggris. Dalam laporannya perusahaan ini mampu menghasilkan rata-rata 1.312 MMSCFD, sekitar 19,6% atau hampir seperlima dari kapasitas produksi gas bumi nasional tahun 2020. Sebagai informasi, BP Berau Ltd mengoperasikan proyek Tangguh LNG, yakni enam ladang gas bumi terpadu di wilayah Kontrak Kerja Sama (KKS) Wiriagar, Berau, dan Muturi di Teluk Bintuni, Papua Barat.

Selain BP Berau Ltd, ConocoPhillips (Grissik) Ltd menyusul di posisi kedua dengan kapasitas produksi mencapai 988,95 MMSCFD. Posisi selanjutnya, ada PT Pertamina EP dengan kapasitas produksi 889,79 MMSCFD tahun 2021. Untuk tahun 2023 ini, informasi terbaru menyebutkan bahwa PT Pertamina EP tengah tancap gas mencari sumber minyak dan gas bumi baru. Salah satunya dilakukan di Kalimantan Utara demi mendukung pemerintah RI dalam mewujudkan kebutuhan energi nasional 12 miliar standar kaki kubik gas tahun 2030.

TIM RISET CNBC INDONESIA
 

Sumber: www.cnbcindonesia.com

Selengkapnya
Perusahaan dengan Produksi Gas Terbesar di Indonesia

Pertambangan dan Perminyakan

Kontribusi Gas Alam dalam Mewujudkan Pengembangan Energi yang Berkelanjutan

Dipublikasikan oleh Muhammad Ilham Maulana pada 21 April 2024


Transisi energi, baik dalam pengertian bergesernya pengelolaan energi dari yang lebih berbasis pada sumber energi non-terbarukan ke sumber energi baru-terbarukan maupun dalam pengertian bertransformasinya pengelolaan energi ke arah yang lebih ramah lingkungan telah menjadi tema dan gerakan kolektif dengan skala global. Bauran energi (energy mix) baik untuk energi primer maupun energi final, di tingkat global, regional, maupun nasional, tak terkecuali Indonesia, bergerak ke arah bauran energi dengan porsi energi "bersih" yang terus meningkat.

Dalam konteks ini, mencermati perkembangannya hingga saat ini, gas bumi (natural gas), sebagai salah satu sumber energi fosil yang relatif (paling) bersih dan secara teknis-ekonomis telah memiliki kemapanan (established), terlihat memainkan perannya yang strategis dan sentral, baik sebagai komponen maupun sebagai jembatan transisi energi.

Gas dalam Bauran Energi Global

Merujuk pada BP Statistical Review of World Energy 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer global saat ini adalah sekitar 24% dan diproyeksi terus meningkat. Konsumsi gas bumi global selama 2011-2021 tercatat meningkat sekitar 1,78% per tahun. Sampai dengan 2030, rata-rata konsumsi gas global diproyeksikan terus meningkat hingga mencapai sekitar 74 billion cubic feet (bcf) per hari di tahun 2030. Sekitar 76% dari porsi peningkatan konsumsi gas bumi global tersebut diproyeksikan terutama berasal dari negara-negara Non-OECD.

Salah satu faktor pendorong relatif stabilnya pertumbuhan permintaan gas global adalah penggunaan gas di sektor ketenagalistrikan. Dalam skenario Net Zero Emission - International Energy Agency (IEA), pembangkit gas diproyeksi tumbuh untuk menggantikan fungsi pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara. Permintaan gas untuk kebutuhan pembangkit diproyeksi meningkat dari 3,849 billion cubic metres (BCM) pada tahun 2018 menjadi 4,613 BCM pada 2035. Hal ini karena dari aspek teknis pembangkit gas memiliki keunggulan dan karakteristik yang relatif sama dengan PLTU.

Pembangkit gas memiliki capacity factor yang cukup tinggi sehingga dapat sangat berfungsi menjadi pembangkit base load. Biaya investasi per Mega Watt untuk pembangkit gas sejauh ini tercatat juga masih lebih rendah dibanding sebagian pembangkit energi non-fosil. Kebijakan pemanfaatan gas sebagai jembatan transisi energi memang menjadi pilihan rasional dan dilakukan oleh negara-negara dengan kelompok ekonomi utama seperti Amerika Serikat, Jerman, Rusia, dan China. Sampai dengan 2030, AS diproyeksi masih akan mempertahankan porsi gas di dalam bauran energi primernya sebesar 31%. Pada periode yang sama, porsi gas bumi di dalam bauran energi Rusia dan Jerman masing-masing diproyeksi masih sekitar 50% dan 12%. China juga berencana meningkatkan porsi gas dalam bauran energinya dari sekitar 10% pada 2020 menjadi 15% pada 2030.

Gas dalam Bauran Energi Nasional

Pada tahun 2022, porsi gas bumi dalam bauran energi primer nasional mencapai kisaran 15,96%. Proporsi tersebut diproyeksi terus berlanjut dan meningkat hingga 2050 mendatang. Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pemerintah memproyeksikan porsi gas bumi dalam bauran energi primer Indonesia tahun 2050 menjadi sekitar 24% atau terbesar kedua setelah energi baru terbarukan. Peran penting gas di dalam memenuhi kebutuhan energi nasional juga tercermin dari porsi dan volume pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik yang terus meningkat. Pada tahun 2022 porsi pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik tercatat sekitar 67,3%, meningkat dari tahun 2010 yang tercatat sekitar 43,8%.

Pada periode yang sama, volume pemanfaatan gas untuk kepentingan domestik juga meningkat sekitar 9%. Sektor industri, pupuk dan ketenagalistrikan tercatat sebagai kontributor utama dalam peningkatan konsumsi gas bumi domestik. Porsi konsumsi gas bumi sektor industri, pupuk dan ketenagalistrikan pada tahun 2022 masing-masing tercatat sekitar 31,7%,11,31% dan 10,92% dari total produksi gas nasional. Khusus di sektor industri, peran gas bumi sangat vital di industri petrokimia, baik sebagai sumber energi maupun sebagai bahan baku. Dari data Kementerian Perindustrian (2022) diketahui bahwa kapasitas produksi petrokimia Indonesia yang saat ini sekitar 7,1 juta ton per tahun, dengan sekitar 70 % kebutuhan petrokimia untuk domestik masih dipenuhi dari impor.

Berdasarkan perhitungan ReforMiner Institute, kebutuhan gas untuk bahan baku industri petrokimia domestik dengan kapasitas 7,1 juta ton per tahun tersebut dapat mencapai kisaran 716 BBTUD. Kebutuhan gas untuk bahan baku dan sumber energi untuk industri petrokimia berpotensi meningkat signifikan jika pemerintah menerapkan kebijakan substitusi terhadap sekitar 70% kebutuhan petrokimia yang masih diimpor dengan produksi dalam negeri.

Ketersediaan Gas Nasional

Berbeda dengan minyak bumi yang dalam hal ketersediaan - cadangan dan produksinya - dalam dua dekade terakhir ini trennya terus menurun, ketersediaan gas bumi nasional dari sisi kondisi dan perkembangannya relatif lebih baik. Berdasarkan data Kementerian ESDM (2022), Indonesia memiliki cadangan gas bumi terbukti sebesar 41,62 triliun kaki kubik persegi (trillion standard cubic feet/TSCF), dan diproyeksi masih dapat memenuhi kebutuhan nasional di periode transisi energi hingga 20 tahun mendatang. Dalam hal cadangan potensial yang jumlahnya mencapai 18,99 TSCF lebih dapat dikonversi menjadi cadangan terbukti, ketersediaan gas bumi untuk memenuhi kebutuhan nasional akan lebih memadai untuk waktu yang lebih lama lagi.

Penemuan cadangan migas di tanah air dalam beberapa tahun terakhir seperti penemuan di Bronang-02, Wes Belut, Parang-02, Rembang-3B, dan Wolai- 02 juga lebih didominasi oleh gas bumi, Kandidat proyek strategis nasional sektor energi 2020-2024 seperti poyek Jambaran Tiung Biru, pengembangan lapangan Abadi Masela, proyek gas laut dalam IDD (Indonesian Deepwater Development) lapangan Gendalo-Gehem dan pengembangan Train-3 Tangguh merupakan proyek pengembangan dan pemanfaatan gas bumi.

Meskipun dari sisi ketersediaan cadangan dan potensinya masih (sangat) memadai, bukan berarti itu sudah akan menjamin berfungsinya gas bumi sebagai komponen dan jembatan transisi energi nasional secara optimal. Keterbatasan infrastruktur baik dalam hal infrastruktur pemrosesan, penerima, transmisi, distribusi untuk dapat menghubungkan titik-titik suplai dengan sentra-sentra konsumen gas bumi tetap dan akan terus menjadi penghalang optimalnya pengembangan dan pemanfaatan gas nasional, jika tidak ada terobosan langkah dan kebijakan yang dilakukan.

Ketidakpastian perihal keberlanjutan pelaksanaan proyek-proyek strategis seperti halnya pengembangan lapangan gas Abadi Masela dan proyek IDD Gendalo-Gehem, jika dibiarkan berlarut-larut dan tidak ditangani dengan baik, bisa membawa implikasi negatif dalam hal pemenuhan kebutuhan gas bumi nasional ke depan. Kemudahan berusaha dan jaminan pengembalian investasi yang kompetitif pada infrastruktur dan proyek-proyek gas tersebut, dengan demikian, dapat dikatakan merupakan kunci bagi Indonesia untuk dapat menerapkan transisi energi nasional secara mulus, dengan gas bumi sebagai salah satu komponen utama dan sekaligus jembatannya.

 

Sumber: www.cnbcindonesia.com

Selengkapnya
Kontribusi Gas Alam dalam Mewujudkan Pengembangan Energi yang Berkelanjutan
« First Previous page 13 of 23 Next Last »