Pengelolaan Air

Pengelolaan Air dan Lahan Menentukan Arah Rehabilitasi Eks Proyek Lahan Gambut Kalimantan

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 Juli 2025


Pendahuluan: Mengapa Proyek Ini Penting untuk Indonesia?

Eks Proyek Lahan Gambut (Ex-Mega Rice Project/EMRP) di Kalimantan Tengah adalah contoh nyata dari ambisi besar yang tidak memperhitungkan kondisi ekologi dan sosial secara menyeluruh. Proyek ini dibuka pada era Orde Baru dengan target menjadikan Kalimantan sebagai lumbung beras nasional. Namun dalam praktiknya, pembangunan kanal tanpa studi lingkungan yang cukup justru menyebabkan kerusakan besar pada ekosistem gambut tropis yang sensitif.

Laporan ini menjadi salah satu rujukan teknis utama untuk merancang strategi rehabilitasi lahan dan air secara komprehensif di kawasan EMRP, dengan menyeimbangkan antara konservasi dan pembangunan pertanian.

Sejarah Singkat Proyek: Dari Ambisi Menjadi Krisis Lingkungan

Mega Rice Project (MRP) dimulai tahun 1995 dengan tujuan membuka satu juta hektare lahan untuk sawah. Namun realisasinya menyebabkan kerusakan gambut yang luas:

  • Dibangun kanal sepanjang 187 km dan ribuan km kanal primer, sekunder, dan tersier.
  • Over-drainage menyebabkan pengeringan gambut, kebakaran besar, dan subsiden tanah.
  • Ribuan hektare hutan dan lahan gambut rusak permanen.
  • Proyek resmi dihentikan melalui Keppres No. 80/1999.

Studi Kasus: Blok A Lamunti & Dadahup

Blok A menjadi lokasi transmigrasi baru dengan infrastruktur irigasi sebagian selesai. Namun karena desain yang tidak tuntas dan ketidaksesuaian lahan (termasuk gambut dalam), banyak transmigran meninggalkan area. Sisanya mengelola sawah dan palawija, namun menghadapi masalah air, keasaman tanah, dan saluran irigasi tak terpelihara.

Fakta Penting EMRP

  • Luas total: ±1,46 juta ha
  • Area gambut >3 meter: 447.000 ha (≈30%)
  • Saluran irigasi utama: 187 km kanal utama + 900 km kanal tersier
  • Curah hujan: ±2.400 mm/tahun
  • Tipe banjir: tidal, sungai, air hujan, dan limpasan dari gambut

Masalah Utama yang Diidentifikasi

1. Kerusakan Ekosistem Gambut

Over-drainage dari kanal-kanal besar menyebabkan kekeringan, kebakaran, dan hilangnya fungsi ekosistem gambut.

2. Infrastruktur Tidak Terselesaikan

Desain irigasi seperti “kolam” dan kanal mati menghambat sirkulasi air, menyebabkan stagnasi dan peningkatan keasaman.

3. Ketidakcocokan Sosial dan Budaya

Transmigran dari Jawa tidak memiliki pengalaman mengelola tanah rawa dan gambut, tidak seperti masyarakat lokal (Banjar dan Dayak).

4. Kurangnya Operasi dan Pemeliharaan

O&M pasca-krisis 1998 lumpuh total akibat desentralisasi mendadak dan keterbatasan SDM di tingkat daerah.

Klasifikasi Hidrologi dan Zonasi

Laporan ini membagi kawasan menjadi empat zona berdasarkan pengaruh pasang-surut dan sungai:

  • Zona I: Penuh tidal sepanjang tahun, memungkinkan irigasi gravitasi.
  • Zona II: Tidal saat musim kering, terbatas saat musim hujan.
  • Zona III & IV: Non-tidal, rawan banjir musiman dan butuh pompa untuk pengelolaan air.

Strategi Pengelolaan Air dan Lahan

Konservasi Lahan Gambut

  • Menjaga tinggi muka air untuk mencegah kebakaran dan subsiden.
  • Menerapkan "wise use" untuk penggunaan terbatas dengan teknologi adaptif.
  • Pelarangan pembukaan hutan gambut dalam (>3 m).

Revitalisasi Pertanian

  • Rehabilitasi lahan mineral untuk sawah dan hortikultura.
  • Diversifikasi tanaman (kering dan basah).
  • Penerapan sistem drainase terkontrol dan leaching untuk tanah sulfat masam.

Pemanfaatan Lahan Tidur

  • Banyak transmigrasi eks PLG menyisakan lahan tidak dimanfaatkan.
  • Rekomendasi: dikembangkan untuk hutan rakyat, industri kayu, atau pertanian komunitas.

Peran Komunitas Lokal: Pembelajaran dari Banjar dan Dayak

Sistem “Handil” Tradisional

  • Kanal pendek 2–4 km dari sungai, dibangun secara swadaya sejak awal abad ke-20.
  • Masyarakat Banjar mengandalkan pasang surut untuk irigasi sawah dan kelapa.
  • Masyarakat Dayak mengembangkan kanal untuk pertanian karet dan perikanan.

Dampak Iklim dan Perubahan Topografi

Proyeksi menunjukkan:

  • Suhu naik hingga 3,3°C di tahun 2080
  • Kenaikan muka laut 65 cm (Bappenas, 2004)
  • Penurunan drainabilitas akibat subsiden lahan gambut

Rekomendasi Teknis Kunci

  • Restorasi hidrologi gambut dan penutupan kanal-kanal PLG di blok dalam.
  • Monitoring mikro-topografi dan pemetaan detail hidrologi untuk desain sistem drainase.
  • Peningkatan kapasitas SDM di bidang O&M, terutama petugas pengairan lapangan.
  • Peninjauan ulang izin perkebunan di area gambut dalam.

Kesimpulan: Masa Depan EMRP Ada di Tangan Sistem yang Adaptif

Laporan ini menekankan bahwa rehabilitasi lahan eks-PLG harus berbasis ilmu, bukan ambisi politik. Keberhasilan bergantung pada pemahaman menyeluruh terhadap ekosistem, pengelolaan air, serta keterlibatan masyarakat lokal dan kelembagaan yang kuat.

Tidak cukup hanya membangun infrastruktur—tanpa perawatan dan kesesuaian sosial-ekologis, semua akan kembali gagal. Lahan gambut bukan sekadar tanah, tapi ekosistem hidup yang kompleks.

📚 Sumber Asli:

Houterman, J. dan Ritzema, H. (2009). Land and Water Management in the Ex-Mega Rice Project Area in Central Kalimantan. Technical Report No. 4. Euroconsult Mott MacDonald dan Deltares | Delft Hydraulics, Maret 2009.

Selengkapnya
Pengelolaan Air dan Lahan Menentukan Arah Rehabilitasi Eks Proyek Lahan Gambut Kalimantan

Pengelolaan Air

Panduan Praktis Modeling IWRM: Strategi Efektif untuk Tata Kelola Air Terpadu

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 Juli 2025


Pendahuluan: IWRM dan Peran Modeling dalam Menjawab Tantangan Air Global

Integrated Water Resource Management (IWRM) bukan sekadar konsep, melainkan proses kompleks yang mengintegrasikan aspek sosial, lingkungan, dan teknis dalam pengelolaan air. Artikel karya Badham et al. (2019) ini menyajikan panduan sistematis untuk praktik modeling IWRM yang efektif, dengan menekankan pentingnya konteks, keterlibatan pemangku kepentingan, dan siklus hidup model dari perencanaan hingga pemeliharaan.

Dengan melibatkan 21 penulis lintas disiplin dan pengalaman global, artikel ini menjadi referensi penting bagi praktisi, peneliti, dan pembuat kebijakan yang ingin menerapkan IWRM secara nyata dan berdampak.

 Empat Fase Modeling IWRM: Kerangka Praktis yang Kontekstual.

Penulis membagi proses modeling IWRM ke dalam empat fase utama:

1. Perencanaan (Planning) 

   Fokus pada definisi masalah, identifikasi pemangku kepentingan, perencanaan proyek, dan pengembangan model konseptual awal. 

   Contoh: Dalam proyek MurrayDarling Basin di Australia, model digunakan untuk menentukan batas ekstraksi air yang berkelanjutan.

2. Pengembangan (Development) 

   Meliputi pengumpulan data, konstruksi model, kalibrasi, analisis ketidakpastian, dan pengujian. 

   Catatan penting: Kalibrasi tidak hanya teknis, tapi juga membangun kepercayaan pemangku kepentingan terhadap hasil model.

3. Aplikasi (Application) 

   Model digunakan untuk eksperimen skenario, visualisasi hasil, dan komunikasi kepada pemangku kepentingan. 

   Contoh: Model digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan alokasi air terhadap ekosistem dan petani.

4. Pemeliharaan (Perpetuation) 

   Termasuk dokumentasi, evaluasi proses, dan rencana pemutakhiran model. 

   Poin penting: Dokumentasi harus mencakup kode, asumsi, dan batasan model agar dapat direplikasi dan dikembangkan.

 Studi Kasus dan Praktik Nyata: Dari Australia hingga AS

Artikel ini tidak hanya teoritis, tetapi juga menyajikan contoh nyata dari berbagai wilayah:

 MurrayDarling Basin (Australia): 

  •   Model digunakan untuk mengevaluasi batas ekstraksi air dan dampaknya terhadap ekosistem sungai. 
  •   Hasil: Model membantu menyusun kebijakan berbasis bukti dalam Basin Plan.

 Chesapeake Bay (AS): 

  •   Model digunakan untuk mengevaluasi skenario pengurangan polusi nutrien. 
  •   Temuan: Model sederhana dengan narasi kuat lebih efektif dalam membangun konsensus dibanding model kompleks yang sulit dipahami.

 Kritik terhadap IWRM dan Peran Modeling sebagai Solusi

Penulis mengakui bahwa IWRM sering dikritik karena terlalu abstrak dan sulit diimplementasikan (Biswas, 2004). Namun, mereka berargumen bahwa modeling yang efektif dapat menjembatani kesenjangan antara konsep dan praktik.

Tiga tantangan utama IWRM yang diangkat:

  •  Masalah wicked (kompleks dan tidak terdefinisi jelas): 

  Seperti konflik antar sektor, ketidakpastian iklim, dan keterbatasan data.

  •  Keterlibatan pemangku kepentingan yang lemah: 

  Banyak proyek gagal karena partisipasi hanya simbolik.

  •  Ketimpangan sosial dan keadilan air: 

  Model sering mengabaikan dimensi keadilan distribusi dan partisipasi.

 Nilai Tambah Artikel: Lima Agenda Riset Masa Depan

Penulis mengusulkan lima area pengembangan modeling IWRM:

1. Berbagi Pengetahuan (Knowledge Sharing): 

   Dokumentasi praktik modeling harus sistematis dan terbuka.

2. Mengatasi Keterbatasan Data

   Gunakan pendekatan semikuantitatif, data satelit, dan media sosial.

3. Keterlibatan Pemangku Kepentingan yang Inklusif: 

   Gunakan visualisasi interaktif dan pendekatan partisipatif sejak awal.

4. Keadilan Sosial: 

   Model harus mempertimbangkan distribusi manfaat dan suara kelompok rentan.

5. Manajemen Ketidakpastian: 

   Gunakan pendekatan robust decisionmaking dan skenario ekstrem.

 Opini dan Perbandingan: Apa yang Membuat Artikel Ini Unggul?

Dibandingkan dengan literatur IWRM lainnya, artikel ini menawarkan panduan praktis yang sangat aplikatif, bukan hanya kerangka konseptual. Pendekatannya mirip dengan design thinking dalam dunia teknologi—berbasis iterasi, kolaborasi, dan kontekstualisasi.

Namun, satu kritik yang layak diajukan adalah kurangnya eksplorasi mendalam terhadap model berbasis kecerdasan buatan atau machine learning, yang kini mulai digunakan dalam prediksi air dan pengambilan keputusan berbasis data besar.

 Relevansi Global dan Implikasi untuk Indonesia

Dengan tantangan pengelolaan air di DAS Citarum, Brantas, dan Kapuas, pendekatan modeling IWRM seperti yang dijabarkan dalam artikel ini sangat relevan. Terutama dalam:

  •  Membangun model partisipatif berbasis komunitas.
  •  Mengintegrasikan data lokal dan pengetahuan tradisional.
  •  Mengembangkan model prediktif untuk skenario perubahan iklim.

 Kesimpulan: Modeling sebagai Jembatan antara Ilmu dan Kebijakan

Artikel ini menegaskan bahwa modeling bukan sekadar alat teknis, tetapi proses sosial yang membentuk cara kita memahami, bernegosiasi, dan memutuskan masa depan air. Dengan pendekatan yang kontekstual, kolaboratif, dan reflektif, modeling dapat menjadi tulang punggung implementasi IWRM yang adil dan berkelanjutan.

Sumber Artikel

Badham, J., Elsawah, S., Guillaume, J. H. A., Hamilton, S. H., Hunt, R. J., Jakeman, A. J., Pierce, S. A., Snow, V. O., BabbarSebens, M., Fu, B., Gober, P., Hill, M. C., Iwanaga, T., Loucks, D. P., Merritt, W. S., Peckham, S. D., Richmond, A. K., Zare, F., Ames, D., & Bammer, G. (2019). Effective modeling for Integrated Water Resource Management: A guide to contextual practices by phases and steps and future opportunities. Environmental Modelling & Software, 116, 40–56.

Selengkapnya
Panduan Praktis Modeling IWRM: Strategi Efektif untuk Tata Kelola Air Terpadu

Pengelolaan Air

Integrasi Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Perencanaan Tata Guna Lahan untuk Konservasi Lingkungan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025


Mengapa Integrasi IWRM dan Tata Guna Lahan Jadi Kunci Masa Depan?

Di tengah eskalasi krisis iklim, urbanisasi cepat, dan degradasi lingkungan, kolaborasi antar sektor tak lagi opsional. Salah satu pendekatan yang tengah naik daun adalah integrasi strategi pengelolaan sumber daya air (water resources management/WRM) ke dalam perencanaan tata guna lahan. Artikel dari Kalogiannidis et al. (2023) yang terbit di Sustainability menyodorkan kajian kuantitatif dari Yunani yang membuktikan bahwa sinergi antara WRM dan land use planning berkontribusi signifikan terhadap konservasi lingkungan.

IWRM dan Tata Guna Lahan: Dua Dunia yang Saling Bertaut

Secara historis, pengelolaan air dan perencanaan lahan kerap berjalan sendiri-sendiri. Namun dalam konteks modern, keduanya adalah sisi dari mata uang yang sama:

  • IWRM menekankan pada pengelolaan terpadu yang mencakup air permukaan, air tanah, dan ekosistem terkait.
  • Land Use Planning mengarahkan fungsi ruang seperti zona pemukiman, pertanian, industri, dan konservasi.

Kalogiannidis et al. menyoroti bahwa pengambilan keputusan yang terfragmentasi memperparah degradasi lingkungan. Mereka mendorong pendekatan lintas sektor untuk menciptakan kebijakan yang lebih tangguh dan adil.

Studi Kasus: Yunani sebagai Laboratorium Kebijakan

Penelitian ini mengambil sampel 278 ahli lingkungan di Yunani melalui survei daring, lalu dianalisis dengan regresi menggunakan SPSS. Hasil utamanya:

  • IWRM menjadi strategi WRM paling populer (29.9%) diikuti pendekatan berbasis ekosistem (21.2%).
  • Zoning and designation (29.9%) dan brownfield redevelopment (21.9%) merupakan aspek perencanaan lahan paling diakui.
  • Manfaat utama integrasi adalah mitigasi banjir dan kekeringan (34.5%) dan perlindungan ekosistem (25.5%).
  • Korelasi positif ditemukan antara strategi WRM, aspek tata lahan, dan hasil konservasi lingkungan (R² = 0.627).

Nilai Tambah: Membaca Tren Lebih Luas

A. Relevansi Global

Dari California hingga Jakarta, pendekatan terintegrasi mulai jadi norma baru. Contoh:

  • Singapura memadukan zonasi hijau dan pengelolaan air hujan dalam konsep kota spons.
  • California sukses memadukan Water Supply Plans dengan Urban Growth Boundaries.

B. Tantangan Nyata

Meski secara teoritis sinergi WRM dan perencanaan lahan ideal, ada banyak batu sandungan:

  • Konflik antar lembaga dan skala kewenangan.
  • Data spasial yang tidak sinkron.
  • Minimnya partisipasi publik.

Studi Kalogiannidis et al. menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki >10 tahun pengalaman, menambah bobot validitasnya. Namun, generalisasi global perlu hati-hati karena konteks sosial-politik tiap negara berbeda.

C. Kritik dan Peluang Perbaikan

  • Kritik: Studi hanya berfokus pada persepsi, tanpa menguji dampak fisik secara longitudinal (misalnya, kualitas air sungai atau perubahan tutupan lahan).
  • Peluang: Dengan dukungan remote sensing, AI (misalnya spiking neural network), dan IoT, kini evaluasi integrasi bisa lebih presisi dan real-time.

Rekomendasi Strategis

Untuk Pembuat Kebijakan

  1. Sinkronisasi Data: Bangun dashboard kolaboratif antara dinas tata ruang dan sumber daya air.
  2. Harmonisasi Regulasi: Satu peta zonasi, satu bahasa kebijakan.
  3. Insentif Ekologis: Misalnya, pengurangan pajak untuk pembangunan ramah air.

Untuk Industri & Komunitas

  • Developer: Terapkan pendekatan TOD dan green infrastructure.
  • Komunitas: Dorong partisipasi aktif dalam musrenbang dan perencanaan daerah aliran sungai.

Kesimpulan: Menuju Perencanaan Ruang yang Berkelanjutan

Integrasi strategi WRM ke dalam tata guna lahan bukan sekadar jargon akademik, tapi kunci praktis untuk masa depan yang tangguh iklim. Studi Kalogiannidis et al. membuktikan adanya hubungan nyata antara kebijakan spasial dan kualitas lingkungan. Namun implementasi tak boleh setengah hati. Butuh kepemimpinan kolaboratif, pembiayaan adaptif, dan teknologi pendukung agar visi ini benar-benar terwujud.

Sumber: Kalogiannidis, S., Kalfas, D., Giannarakis, G., & Paschalidou, M. (2023). Integration of water resources management strategies in land use planning towards environmental conservation. Sustainability, 15(21), 15242

Selengkapnya
Integrasi Strategi Pengelolaan Sumber Daya Air dalam Perencanaan Tata Guna Lahan untuk Konservasi Lingkungan

Pengelolaan Air

Mengurai Strategi Pengembangan Sumber Daya Air di Indonesia: Analisis Kritis Buku Karya Armus dkk.

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 20 Mei 2025


Pengantar: Air Bukan Lagi Sekadar Kebutuhan, Tapi Isu Strategis

Air tidak hanya menjadi hak dasar manusia, tetapi juga isu strategis nasional. Buku "Pengembangan Sumber Daya Air" yang ditulis oleh Armus, Tumpu, Tamim, Affandy, dan timnya ini (2021) menawarkan pendekatan holistik atas problematika pengelolaan air di Indonesia, dari dimensi kebijakan hingga rekayasa teknis. Lebih dari sekadar kumpulan teori, buku ini mengajak pembaca untuk memahami tantangan riil dan solusi yang mungkin diterapkan di berbagai wilayah dengan konteks geografis dan sosial yang berbeda.

Kajian Kebijakan: Masih Jauh dari Koordinasi Efektif

Bab awal buku ini banyak membahas kebijakan nasional dalam pengelolaan sumber daya air, terutama dengan merujuk pada UUD 1945, UU No. 7 Tahun 2004, hingga Perpres No. 33 Tahun 2011. Buku ini menggarisbawahi pentingnya prinsip integrated water resources management (IWRM). Namun, realitas di lapangan masih menghadapi banyak hambatan:

  • Koordinasi lembaga pengelola lemah.
  • Regulasi banyak tumpang tindih.
  • Implementasi partisipatif belum optimal.

Di sinilah penulis mengkritisi bahwa hukum dan kebijakan masih bersifat normatif, belum cukup mengikat dalam sistem pengawasan dan alokasi sumber daya secara adil.

Studi Lapangan: DAS Walanae dan Metodologi Teknis

Bagian paling menarik dari buku ini adalah penerapan model HEC-RAS di DAS Walanae, Sulawesi Selatan. Penggunaan kombinasi HEC-RAS 4.1 dan 5.0.7 menandakan bahwa penulis tidak hanya menganalisis secara teoretis, tetapi juga membumikan metode pemodelan hidraulik dan hidrologi berbasis teknologi terkini.

  • Area tangkapan air: 17,2 km²
  • Kemiringan topografi: 0,01–0,12
  • Software utama: HEC-RAS dan RAS Mapper

Pendekatan ini menunjukkan bagaimana data spasial, digital elevation model (DEM), dan skema sungai bisa dipakai untuk simulasi dan perencanaan tata ruang yang lebih presisi.

Dimensi Teknis: Waduk, Detention Pond, dan Optimasi

Buku ini juga menyajikan detail teknis terkait pembangunan dan perencanaan bendungan. Mulai dari pemilihan lokasi, tipe bendungan, hingga perhitungan beban statik dan dinamik. Salah satu bab membahas detention pond sebagai solusi pengendalian banjir urban, sangat relevan untuk kota-kota seperti Jakarta dan Bandung.

Hal menarik lain adalah:

  • Pemodelan curah hujan dan debit sungai
  • Optimasi operasi waduk tunggal dengan metode linear programming
  • Pendekatan konservasi berbasis DAS

Penerapan metode rasional dalam menghitung runoff juga memperkuat kualitas teknis buku ini.

Konservasi dan Keadilan Ekologi: Dimensi Sosial Tidak Dilupakan

Dalam Bab 10, penulis menekankan pentingnya pelestarian sumber daya air melalui:

  • Restorasi vegetasi DAS
  • Edukasi masyarakat
  • Penegakan hukum terhadap eksploitasi berlebih

Isu-isu ketimpangan spasial (wilayah kering vs basah) dan distribusi air juga dikupas sebagai persoalan keadilan ekologis. Buku ini mendorong pemikiran bahwa konservasi bukan sekadar proyek fisik, tetapi transformasi sosial dan kultural.

Kelebihan dan Kritik: Apa yang Bisa Ditambah?

Kelebihan:

  • Bahasa teknis namun tetap komunikatif.
  • Kaya data dan studi kasus konkret.
  • Multidisipliner: hukum, teknik sipil, sosial.

Kritik:

  • Masih minim pendekatan ekonomi-politik dalam analisis konflik air.
  • Belum banyak membahas isu gender dalam pengelolaan air.
  • Perlu penekanan lebih kuat pada climate resilience.

Relevansi dengan Isu Kontemporer

Di tengah ancaman krisis air global dan perubahan iklim, buku ini hadir tepat waktu. Topik seperti water security, sponge city, dan nature-based solutions perlu menjadi kelanjutan dari riset ini. Terutama bagi pembuat kebijakan, aktivis lingkungan, dan akademisi, buku ini bisa menjadi referensi penting.

Kesimpulan: Fondasi Kuat untuk Reformasi SDA

"Pengembangan Sumber Daya Air" adalah karya penting yang mengisi celah antara teori kebijakan dan praktik lapangan. Dengan pendekatan integratif dan berbasis data, buku ini memberikan panduan strategis untuk reformasi pengelolaan air di Indonesia.

Sumber:
Armus, R., Tumpu, M., Tamim, T., Affandy, N.N., Syam, M.A., Hamdi, F., Rustan, F.R., Mukrim, M.I., & Mansida, A. (2021). Pengembangan Sumber Daya Air. Yayasan Kita Menulis.

Selengkapnya
Mengurai Strategi Pengembangan Sumber Daya Air di Indonesia: Analisis Kritis Buku Karya Armus dkk.

Pengelolaan Air

Mengupas Implikasi Hukum Pengelolaan Air Pasca Putusan MK 85/PUU-XI/2013: Kajian Kritis Tesis Andi Aswar

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025


Mengapa Air Kini Jadi Isu Hukum yang Strategis?

Dalam lanskap ketatanegaraan Indonesia, air bukan sekadar komoditas alam biasa. Ia adalah representasi dari hak dasar manusia, sumber kehidupan, dan kini—pusat konflik antara kepentingan publik dan korporasi. Tesis Andi Aswar, berjudul Implikasi Hukum Pengaturan Sumber Daya Air Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, menyajikan sebuah analisis mendalam mengenai transisi hukum dalam pengelolaan air di Indonesia. Putusan ini membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 karena dianggap melenceng dari semangat konstitusi, yakni Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa air dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.

Problematika UU No. 7 Tahun 2004: Saat Air Dijadikan Komoditas

UU No. 7 Tahun 2004 membawa semangat liberalisasi air. Hak guna usaha air yang dibuka bagi swasta dianggap membahayakan akses masyarakat terhadap air. Contoh nyata kegagalan ini terlihat di DKI Jakarta, di mana dua perusahaan swasta menguasai distribusi air namun gagal memenuhi kebutuhan warga secara adil. Warga harus membeli air jerigen dengan harga lebih mahal karena tidak mendapat akses dari pipa distribusi.

Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013: Kemenangan untuk Hak Rakyat

Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut dan menghidupkan kembali UU No. 11 Tahun 1974. MK menyatakan bahwa air bukan barang dagangan, melainkan benda sosial yang tak boleh dikuasai oleh segelintir entitas berorientasi profit. Dalam ratio decidendi-nya, MK menekankan bahwa air adalah hak dasar warga negara dan harus dikelola negara secara langsung atau melalui BUMN/BUMD, dengan partisipasi aktif masyarakat sekitar sumber air.

Implikasi Hukum: Antara Kekosongan dan Harapan Baru

Putusan MK tersebut memang memicu kekosongan hukum sementara. UU No. 11/1974 yang diberlakukan kembali sudah uzur dan tidak sinkron dengan sistem otonomi daerah pasca reformasi. Namun, momen ini justru membuka jalan lahirnya UU No. 17 Tahun 2019, yang secara tegas menegaskan kembali penguasaan negara atas air, sekaligus memperbaiki celah hukum yang selama ini dieksploitasi swasta.

UU No. 17 Tahun 2019: Reformasi atau Sekadar Revisi?

UU No. 17/2019 menegaskan prinsip bahwa air harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun tetap membuka ruang partisipasi swasta dalam pengelolaan air dalam batasan yang ketat. Yang jadi pertanyaan, apakah ini kompromi cerdas atau bentuk soft-privatization? Studi Andi Aswar menunjukkan bahwa selama negara tetap menjadi pengendali utama, dan akses masyarakat dijamin, keterlibatan swasta tidak serta merta menjadi bentuk pelanggaran konstitusi.

Studi Kasus: Krisis Air di Jakarta, Makassar, dan Bintan

Aswar mencatat berbagai kasus kelangkaan air bersih di Jakarta, Makassar, Maros, hingga Bintan. Sebagian wilayah harus membeli air dengan harga mahal atau mengandalkan sumur bor yang kualitasnya tidak terjamin. Sementara perusahaan air minum swasta justru mencatatkan keuntungan besar. Ini menunjukkan ketimpangan distribusi hak atas air, sekaligus memperkuat argumen mengapa regulasi air harus diawasi ketat.

Kritik atas Regulasi dan Implementasinya

Aswar dengan tajam mengkritik disharmoni antara undang-undang dan peraturan pelaksananya. Misalnya, PP No. 16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum masih membuka peran besar swasta, yang sejatinya kontradiktif dengan semangat putusan MK. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan minimnya keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan membuat banyak daerah rentan terhadap praktik komersialisasi air.

Opini: Reposisi Negara sebagai Penguasa, Bukan Sekadar Regulator

Salah satu nilai penting dari tesis ini adalah gagasan untuk menempatkan negara bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai pengelola utama air. Dengan kata lain, negara harus punya kapasitas teknis, kelembagaan, dan pendanaan untuk mengelola air secara adil dan berkelanjutan. Ini sejalan dengan putusan MK dan dengan prinsip sustainable development yang berbasis keadilan sosial.

Kontribusi Akademik dan Praktis

Tesis ini memperkaya wacana hukum air dengan menautkan aspek konstitusi, hak asasi, dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, kontribusinya pada ranah praktis adalah dengan menawarkan peta jalan implementasi UU No. 17 Tahun 2019 agar tidak mengulang kesalahan masa lalu.

Rekomendasi Strategis:

  1. Sinkronisasi Regulasi: Harmonisasi antara UU, PP, dan Perda harus segera dilakukan.
  2. Audit Perjanjian Swasta: Semua kontrak pengelolaan air oleh swasta harus ditinjau ulang pasca-putusan MK.
  3. Penguatan Peran BUMD: BUMD dan BUMDes harus menjadi ujung tombak layanan air bersih.
  4. Keterlibatan Publik: Mekanisme konsultasi publik dalam perencanaan kebijakan air harus diwajibkan.
  5. Penguatan Pengawasan MK: MK harus punya mekanisme monitoring atas pelaksanaan putusannya.

Penutup: Air untuk Rakyat, Bukan untuk Diperdagangkan

Tesis ini adalah alarm bagi bangsa bahwa air bukan milik pasar, tapi milik rakyat. Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 adalah tonggak penting yang harus terus dijaga dan diterjemahkan dalam kebijakan nyata, bukan hanya dalam retorika.

Sumber: Aswar, A. (2022). Implikasi Hukum Pengaturan Sumber Daya Air Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin.

Selengkapnya
Mengupas Implikasi Hukum Pengelolaan Air Pasca Putusan MK 85/PUU-XI/2013: Kajian Kritis Tesis Andi Aswar

Pengelolaan Air

Resensi Kritis Integrasi Pengelolaan Sumber Daya Air dalam RTRW: Studi Jawa Tengah

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 15 Mei 2025


Pengantar: Air dan Tata Ruang dalam Ketegangan Regulasi

Dalam era pembangunan pesat dan krisis ekologi, air tak lagi sekadar sumber daya—melainkan komoditas strategis. Namun, pengelolaannya seringkali terpisah dari rencana tata ruang, yang seharusnya menjadi fondasi dalam mendesain masa depan wilayah. Studi oleh Silviani Junita dan Imam Buchori (2016) membedah efektivitas lembaga pemerintah dalam mengintegrasikan pola pengelolaan air ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dengan fokus di Provinsi Jawa Tengah.

Hasilnya? Integrasi yang diharapkan belum optimal. Artikel ini akan mengupas sebab-akibatnya, mengaitkan dengan tren kebijakan air nasional dan memberikan pandangan strategis ke depan.

Metodologi dan Fokus Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan basis deduktif. Data dikumpulkan dari:

  • Wawancara dan kuesioner: 30 responden dari Kementerian PU, Bappeda, Dinas PSDA, Dinas Cipta Karya
  • Kajian dokumen hukum dan RTRW
  • Analisis kebijakan dan daya dukung kelembagaan

Fokus utama adalah efektivitas koordinasi kelembagaan antar sektor—baik pusat maupun daerah—dalam menyatukan pola pengelolaan air dan perencanaan ruang.

Hasil Penelitian: Banyak Aturan, Minim Integrasi

Masalah Substansi Regulasi:

  • UU No. 7/2004 tentang SDA vs UU No. 26/2007 tentang Penataan Ruang → berbeda istilah dan pendekatan
  • SDA gunakan istilah pengelolaan, RTRW gunakan penataan
  • Perbedaan penggunaan istilah DAS dan Wilayah Sungai
  • Konsep "pola pengelolaan DAS" tidak sinkron dengan "pola pengelolaan wilayah sungai"

Struktur Lembaga:

  • Kelembagaan SDA: melibatkan Dirjen SDA, Dinas PSDA, Balai Wilayah Sungai
  • Kelembagaan RTRW: Bappeda, BKPRD, Dinas Cipta Karya & Tata Ruang
  • Ada forum seperti TKPSDA dan Dewan SDA, namun belum efektif menjembatani sektor

Studi Kasus Jawa Tengah: Koordinasi Belum Tuntas

Fakta Lapangan:

  • 5 Wilayah Sungai jadi kewenangan pusat, 2 dikelola daerah
  • Banyak program konservasi dan pembangunan air jalan sendiri-sendiri
  • Pemanfaatan lahan sering bertabrakan dengan zona konservasi air
  • Dewan SDA dan BKPRD belum sinkron dalam penetapan prioritas ruang air

Dampaknya:

  • RTRW tidak mencerminkan prioritas pelestarian sumber air
  • Rencana teknis pengelolaan air tidak termuat dalam perencanaan ruang
  • Ketidakpastian regulasi dalam investasi infrastruktur air

Analisis & Opini: Ego Sektoral dan Masalah Klasik Tata Kelola

Kritik Penulis:

  • Kelembagaan hanya formal di atas kertas
  • Koordinasi sektoral minim, padahal saling ketergantungan tinggi
  • Lemahnya political will untuk harmonisasi kebijakan lintas sektor

Perbandingan Global:

  • Negara seperti Belanda dan Portugal telah menyatukan pengelolaan air dan ruang dalam satu badan regulasi
  • Di Indonesia, desentralisasi justru menciptakan fragmentasi tata kelola (Faguet, 2004)

Saran Tambahan:

  • Gunakan data spasial digital dan dashboard terintegrasi untuk menyatukan informasi SDA & RTRW
  • Adopsi pendekatan landscape planning yang menyatukan fungsi ekologi dan perencanaan sosial
  • Rekomendasi Strategis
  1. Revisi Undang-Undang agar sinkronisasi istilah dan tujuan SDA-RTRW tercapai
  2. Bentuk forum regulasi tetap antara Dewan SDA dan BKPRD
  3. Bangun kapasitas kelembagaan daerah, agar koordinasi lintas sektor lebih adaptif
  4. Kembangkan pedoman teknis terpadu tentang muatan SDA dalam RTRW
  5. Dorong kepemimpinan Gubernur sebagai penghubung dua sektor

Penutup: Tata Ruang Tanpa Air adalah Rencana Tanpa Nyawa

Penelitian ini menyuarakan realita bahwa tata ruang tidak bisa berdiri sendiri tanpa integrasi yang kokoh dengan pola pengelolaan air. Dengan ancaman krisis air, fragmentasi kelembagaan dan regulasi yang bertabrakan adalah risiko besar bagi keberlanjutan pembangunan.

Kuncinya bukan menambah regulasi baru, tetapi menyatukan visi antara pengelolaan air dan tata ruang, dengan kelembagaan yang berfungsi aktif, bukan pasif.

Sumber:
Junita, S., & Buchori, I. (2016). Efektivitas kelembagaan pemerintah dalam integrasi pola pengelolaan sumber daya air dalam RTRW (Studi Kasus: Provinsi Jawa Tengah). Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 4(1), 1–12.

 

Selengkapnya
Resensi Kritis Integrasi Pengelolaan Sumber Daya Air dalam RTRW: Studi Jawa Tengah
page 1 of 1