Pengelolaan Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 Juli 2025
Pendahuluan: Mengapa Proyek Ini Penting untuk Indonesia?
Eks Proyek Lahan Gambut (Ex-Mega Rice Project/EMRP) di Kalimantan Tengah adalah contoh nyata dari ambisi besar yang tidak memperhitungkan kondisi ekologi dan sosial secara menyeluruh. Proyek ini dibuka pada era Orde Baru dengan target menjadikan Kalimantan sebagai lumbung beras nasional. Namun dalam praktiknya, pembangunan kanal tanpa studi lingkungan yang cukup justru menyebabkan kerusakan besar pada ekosistem gambut tropis yang sensitif.
Laporan ini menjadi salah satu rujukan teknis utama untuk merancang strategi rehabilitasi lahan dan air secara komprehensif di kawasan EMRP, dengan menyeimbangkan antara konservasi dan pembangunan pertanian.
Sejarah Singkat Proyek: Dari Ambisi Menjadi Krisis Lingkungan
Mega Rice Project (MRP) dimulai tahun 1995 dengan tujuan membuka satu juta hektare lahan untuk sawah. Namun realisasinya menyebabkan kerusakan gambut yang luas:
Studi Kasus: Blok A Lamunti & Dadahup
Blok A menjadi lokasi transmigrasi baru dengan infrastruktur irigasi sebagian selesai. Namun karena desain yang tidak tuntas dan ketidaksesuaian lahan (termasuk gambut dalam), banyak transmigran meninggalkan area. Sisanya mengelola sawah dan palawija, namun menghadapi masalah air, keasaman tanah, dan saluran irigasi tak terpelihara.
Fakta Penting EMRP
Masalah Utama yang Diidentifikasi
1. Kerusakan Ekosistem Gambut
Over-drainage dari kanal-kanal besar menyebabkan kekeringan, kebakaran, dan hilangnya fungsi ekosistem gambut.
2. Infrastruktur Tidak Terselesaikan
Desain irigasi seperti “kolam” dan kanal mati menghambat sirkulasi air, menyebabkan stagnasi dan peningkatan keasaman.
3. Ketidakcocokan Sosial dan Budaya
Transmigran dari Jawa tidak memiliki pengalaman mengelola tanah rawa dan gambut, tidak seperti masyarakat lokal (Banjar dan Dayak).
4. Kurangnya Operasi dan Pemeliharaan
O&M pasca-krisis 1998 lumpuh total akibat desentralisasi mendadak dan keterbatasan SDM di tingkat daerah.
Klasifikasi Hidrologi dan Zonasi
Laporan ini membagi kawasan menjadi empat zona berdasarkan pengaruh pasang-surut dan sungai:
Strategi Pengelolaan Air dan Lahan
Konservasi Lahan Gambut
Revitalisasi Pertanian
Pemanfaatan Lahan Tidur
Peran Komunitas Lokal: Pembelajaran dari Banjar dan Dayak
Sistem “Handil” Tradisional
Dampak Iklim dan Perubahan Topografi
Proyeksi menunjukkan:
Rekomendasi Teknis Kunci
Kesimpulan: Masa Depan EMRP Ada di Tangan Sistem yang Adaptif
Laporan ini menekankan bahwa rehabilitasi lahan eks-PLG harus berbasis ilmu, bukan ambisi politik. Keberhasilan bergantung pada pemahaman menyeluruh terhadap ekosistem, pengelolaan air, serta keterlibatan masyarakat lokal dan kelembagaan yang kuat.
Tidak cukup hanya membangun infrastruktur—tanpa perawatan dan kesesuaian sosial-ekologis, semua akan kembali gagal. Lahan gambut bukan sekadar tanah, tapi ekosistem hidup yang kompleks.
📚 Sumber Asli:
Houterman, J. dan Ritzema, H. (2009). Land and Water Management in the Ex-Mega Rice Project Area in Central Kalimantan. Technical Report No. 4. Euroconsult Mott MacDonald dan Deltares | Delft Hydraulics, Maret 2009.
Pengelolaan Air
Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati pada 29 Juli 2025
Pendahuluan: IWRM dan Peran Modeling dalam Menjawab Tantangan Air Global
Integrated Water Resource Management (IWRM) bukan sekadar konsep, melainkan proses kompleks yang mengintegrasikan aspek sosial, lingkungan, dan teknis dalam pengelolaan air. Artikel karya Badham et al. (2019) ini menyajikan panduan sistematis untuk praktik modeling IWRM yang efektif, dengan menekankan pentingnya konteks, keterlibatan pemangku kepentingan, dan siklus hidup model dari perencanaan hingga pemeliharaan.
Dengan melibatkan 21 penulis lintas disiplin dan pengalaman global, artikel ini menjadi referensi penting bagi praktisi, peneliti, dan pembuat kebijakan yang ingin menerapkan IWRM secara nyata dan berdampak.
Empat Fase Modeling IWRM: Kerangka Praktis yang Kontekstual.
Penulis membagi proses modeling IWRM ke dalam empat fase utama:
1. Perencanaan (Planning)
Fokus pada definisi masalah, identifikasi pemangku kepentingan, perencanaan proyek, dan pengembangan model konseptual awal.
Contoh: Dalam proyek MurrayDarling Basin di Australia, model digunakan untuk menentukan batas ekstraksi air yang berkelanjutan.
2. Pengembangan (Development)
Meliputi pengumpulan data, konstruksi model, kalibrasi, analisis ketidakpastian, dan pengujian.
Catatan penting: Kalibrasi tidak hanya teknis, tapi juga membangun kepercayaan pemangku kepentingan terhadap hasil model.
3. Aplikasi (Application)
Model digunakan untuk eksperimen skenario, visualisasi hasil, dan komunikasi kepada pemangku kepentingan.
Contoh: Model digunakan untuk mengevaluasi dampak kebijakan alokasi air terhadap ekosistem dan petani.
4. Pemeliharaan (Perpetuation)
Termasuk dokumentasi, evaluasi proses, dan rencana pemutakhiran model.
Poin penting: Dokumentasi harus mencakup kode, asumsi, dan batasan model agar dapat direplikasi dan dikembangkan.
Studi Kasus dan Praktik Nyata: Dari Australia hingga AS
Artikel ini tidak hanya teoritis, tetapi juga menyajikan contoh nyata dari berbagai wilayah:
MurrayDarling Basin (Australia):
Chesapeake Bay (AS):
Kritik terhadap IWRM dan Peran Modeling sebagai Solusi
Penulis mengakui bahwa IWRM sering dikritik karena terlalu abstrak dan sulit diimplementasikan (Biswas, 2004). Namun, mereka berargumen bahwa modeling yang efektif dapat menjembatani kesenjangan antara konsep dan praktik.
Tiga tantangan utama IWRM yang diangkat:
Seperti konflik antar sektor, ketidakpastian iklim, dan keterbatasan data.
Banyak proyek gagal karena partisipasi hanya simbolik.
Model sering mengabaikan dimensi keadilan distribusi dan partisipasi.
Nilai Tambah Artikel: Lima Agenda Riset Masa Depan
Penulis mengusulkan lima area pengembangan modeling IWRM:
1. Berbagi Pengetahuan (Knowledge Sharing):
Dokumentasi praktik modeling harus sistematis dan terbuka.
2. Mengatasi Keterbatasan Data:
Gunakan pendekatan semikuantitatif, data satelit, dan media sosial.
3. Keterlibatan Pemangku Kepentingan yang Inklusif:
Gunakan visualisasi interaktif dan pendekatan partisipatif sejak awal.
4. Keadilan Sosial:
Model harus mempertimbangkan distribusi manfaat dan suara kelompok rentan.
5. Manajemen Ketidakpastian:
Gunakan pendekatan robust decisionmaking dan skenario ekstrem.
Opini dan Perbandingan: Apa yang Membuat Artikel Ini Unggul?
Dibandingkan dengan literatur IWRM lainnya, artikel ini menawarkan panduan praktis yang sangat aplikatif, bukan hanya kerangka konseptual. Pendekatannya mirip dengan design thinking dalam dunia teknologi—berbasis iterasi, kolaborasi, dan kontekstualisasi.
Namun, satu kritik yang layak diajukan adalah kurangnya eksplorasi mendalam terhadap model berbasis kecerdasan buatan atau machine learning, yang kini mulai digunakan dalam prediksi air dan pengambilan keputusan berbasis data besar.
Relevansi Global dan Implikasi untuk Indonesia
Dengan tantangan pengelolaan air di DAS Citarum, Brantas, dan Kapuas, pendekatan modeling IWRM seperti yang dijabarkan dalam artikel ini sangat relevan. Terutama dalam:
Kesimpulan: Modeling sebagai Jembatan antara Ilmu dan Kebijakan
Artikel ini menegaskan bahwa modeling bukan sekadar alat teknis, tetapi proses sosial yang membentuk cara kita memahami, bernegosiasi, dan memutuskan masa depan air. Dengan pendekatan yang kontekstual, kolaboratif, dan reflektif, modeling dapat menjadi tulang punggung implementasi IWRM yang adil dan berkelanjutan.
Sumber Artikel :
Badham, J., Elsawah, S., Guillaume, J. H. A., Hamilton, S. H., Hunt, R. J., Jakeman, A. J., Pierce, S. A., Snow, V. O., BabbarSebens, M., Fu, B., Gober, P., Hill, M. C., Iwanaga, T., Loucks, D. P., Merritt, W. S., Peckham, S. D., Richmond, A. K., Zare, F., Ames, D., & Bammer, G. (2019). Effective modeling for Integrated Water Resource Management: A guide to contextual practices by phases and steps and future opportunities. Environmental Modelling & Software, 116, 40–56.
Pengelolaan Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Mengapa Integrasi IWRM dan Tata Guna Lahan Jadi Kunci Masa Depan?
Di tengah eskalasi krisis iklim, urbanisasi cepat, dan degradasi lingkungan, kolaborasi antar sektor tak lagi opsional. Salah satu pendekatan yang tengah naik daun adalah integrasi strategi pengelolaan sumber daya air (water resources management/WRM) ke dalam perencanaan tata guna lahan. Artikel dari Kalogiannidis et al. (2023) yang terbit di Sustainability menyodorkan kajian kuantitatif dari Yunani yang membuktikan bahwa sinergi antara WRM dan land use planning berkontribusi signifikan terhadap konservasi lingkungan.
IWRM dan Tata Guna Lahan: Dua Dunia yang Saling Bertaut
Secara historis, pengelolaan air dan perencanaan lahan kerap berjalan sendiri-sendiri. Namun dalam konteks modern, keduanya adalah sisi dari mata uang yang sama:
Kalogiannidis et al. menyoroti bahwa pengambilan keputusan yang terfragmentasi memperparah degradasi lingkungan. Mereka mendorong pendekatan lintas sektor untuk menciptakan kebijakan yang lebih tangguh dan adil.
Studi Kasus: Yunani sebagai Laboratorium Kebijakan
Penelitian ini mengambil sampel 278 ahli lingkungan di Yunani melalui survei daring, lalu dianalisis dengan regresi menggunakan SPSS. Hasil utamanya:
Nilai Tambah: Membaca Tren Lebih Luas
A. Relevansi Global
Dari California hingga Jakarta, pendekatan terintegrasi mulai jadi norma baru. Contoh:
B. Tantangan Nyata
Meski secara teoritis sinergi WRM dan perencanaan lahan ideal, ada banyak batu sandungan:
Studi Kalogiannidis et al. menunjukkan bahwa mayoritas responden memiliki >10 tahun pengalaman, menambah bobot validitasnya. Namun, generalisasi global perlu hati-hati karena konteks sosial-politik tiap negara berbeda.
C. Kritik dan Peluang Perbaikan
Rekomendasi Strategis
Untuk Pembuat Kebijakan
Untuk Industri & Komunitas
Kesimpulan: Menuju Perencanaan Ruang yang Berkelanjutan
Integrasi strategi WRM ke dalam tata guna lahan bukan sekadar jargon akademik, tapi kunci praktis untuk masa depan yang tangguh iklim. Studi Kalogiannidis et al. membuktikan adanya hubungan nyata antara kebijakan spasial dan kualitas lingkungan. Namun implementasi tak boleh setengah hati. Butuh kepemimpinan kolaboratif, pembiayaan adaptif, dan teknologi pendukung agar visi ini benar-benar terwujud.
Sumber: Kalogiannidis, S., Kalfas, D., Giannarakis, G., & Paschalidou, M. (2023). Integration of water resources management strategies in land use planning towards environmental conservation. Sustainability, 15(21), 15242
Pengelolaan Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 20 Mei 2025
Pengantar: Air Bukan Lagi Sekadar Kebutuhan, Tapi Isu Strategis
Air tidak hanya menjadi hak dasar manusia, tetapi juga isu strategis nasional. Buku "Pengembangan Sumber Daya Air" yang ditulis oleh Armus, Tumpu, Tamim, Affandy, dan timnya ini (2021) menawarkan pendekatan holistik atas problematika pengelolaan air di Indonesia, dari dimensi kebijakan hingga rekayasa teknis. Lebih dari sekadar kumpulan teori, buku ini mengajak pembaca untuk memahami tantangan riil dan solusi yang mungkin diterapkan di berbagai wilayah dengan konteks geografis dan sosial yang berbeda.
Kajian Kebijakan: Masih Jauh dari Koordinasi Efektif
Bab awal buku ini banyak membahas kebijakan nasional dalam pengelolaan sumber daya air, terutama dengan merujuk pada UUD 1945, UU No. 7 Tahun 2004, hingga Perpres No. 33 Tahun 2011. Buku ini menggarisbawahi pentingnya prinsip integrated water resources management (IWRM). Namun, realitas di lapangan masih menghadapi banyak hambatan:
Di sinilah penulis mengkritisi bahwa hukum dan kebijakan masih bersifat normatif, belum cukup mengikat dalam sistem pengawasan dan alokasi sumber daya secara adil.
Studi Lapangan: DAS Walanae dan Metodologi Teknis
Bagian paling menarik dari buku ini adalah penerapan model HEC-RAS di DAS Walanae, Sulawesi Selatan. Penggunaan kombinasi HEC-RAS 4.1 dan 5.0.7 menandakan bahwa penulis tidak hanya menganalisis secara teoretis, tetapi juga membumikan metode pemodelan hidraulik dan hidrologi berbasis teknologi terkini.
Pendekatan ini menunjukkan bagaimana data spasial, digital elevation model (DEM), dan skema sungai bisa dipakai untuk simulasi dan perencanaan tata ruang yang lebih presisi.
Dimensi Teknis: Waduk, Detention Pond, dan Optimasi
Buku ini juga menyajikan detail teknis terkait pembangunan dan perencanaan bendungan. Mulai dari pemilihan lokasi, tipe bendungan, hingga perhitungan beban statik dan dinamik. Salah satu bab membahas detention pond sebagai solusi pengendalian banjir urban, sangat relevan untuk kota-kota seperti Jakarta dan Bandung.
Hal menarik lain adalah:
Penerapan metode rasional dalam menghitung runoff juga memperkuat kualitas teknis buku ini.
Konservasi dan Keadilan Ekologi: Dimensi Sosial Tidak Dilupakan
Dalam Bab 10, penulis menekankan pentingnya pelestarian sumber daya air melalui:
Isu-isu ketimpangan spasial (wilayah kering vs basah) dan distribusi air juga dikupas sebagai persoalan keadilan ekologis. Buku ini mendorong pemikiran bahwa konservasi bukan sekadar proyek fisik, tetapi transformasi sosial dan kultural.
Kelebihan dan Kritik: Apa yang Bisa Ditambah?
Kelebihan:
Kritik:
Relevansi dengan Isu Kontemporer
Di tengah ancaman krisis air global dan perubahan iklim, buku ini hadir tepat waktu. Topik seperti water security, sponge city, dan nature-based solutions perlu menjadi kelanjutan dari riset ini. Terutama bagi pembuat kebijakan, aktivis lingkungan, dan akademisi, buku ini bisa menjadi referensi penting.
Kesimpulan: Fondasi Kuat untuk Reformasi SDA
"Pengembangan Sumber Daya Air" adalah karya penting yang mengisi celah antara teori kebijakan dan praktik lapangan. Dengan pendekatan integratif dan berbasis data, buku ini memberikan panduan strategis untuk reformasi pengelolaan air di Indonesia.
Sumber:
Armus, R., Tumpu, M., Tamim, T., Affandy, N.N., Syam, M.A., Hamdi, F., Rustan, F.R., Mukrim, M.I., & Mansida, A. (2021). Pengembangan Sumber Daya Air. Yayasan Kita Menulis.
Pengelolaan Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 19 Mei 2025
Mengapa Air Kini Jadi Isu Hukum yang Strategis?
Dalam lanskap ketatanegaraan Indonesia, air bukan sekadar komoditas alam biasa. Ia adalah representasi dari hak dasar manusia, sumber kehidupan, dan kini—pusat konflik antara kepentingan publik dan korporasi. Tesis Andi Aswar, berjudul Implikasi Hukum Pengaturan Sumber Daya Air Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013, menyajikan sebuah analisis mendalam mengenai transisi hukum dalam pengelolaan air di Indonesia. Putusan ini membatalkan UU No. 7 Tahun 2004 karena dianggap melenceng dari semangat konstitusi, yakni Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 yang menyatakan bahwa air dikuasai negara untuk kemakmuran rakyat.
Problematika UU No. 7 Tahun 2004: Saat Air Dijadikan Komoditas
UU No. 7 Tahun 2004 membawa semangat liberalisasi air. Hak guna usaha air yang dibuka bagi swasta dianggap membahayakan akses masyarakat terhadap air. Contoh nyata kegagalan ini terlihat di DKI Jakarta, di mana dua perusahaan swasta menguasai distribusi air namun gagal memenuhi kebutuhan warga secara adil. Warga harus membeli air jerigen dengan harga lebih mahal karena tidak mendapat akses dari pipa distribusi.
Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013: Kemenangan untuk Hak Rakyat
Mahkamah Konstitusi membatalkan UU tersebut dan menghidupkan kembali UU No. 11 Tahun 1974. MK menyatakan bahwa air bukan barang dagangan, melainkan benda sosial yang tak boleh dikuasai oleh segelintir entitas berorientasi profit. Dalam ratio decidendi-nya, MK menekankan bahwa air adalah hak dasar warga negara dan harus dikelola negara secara langsung atau melalui BUMN/BUMD, dengan partisipasi aktif masyarakat sekitar sumber air.
Implikasi Hukum: Antara Kekosongan dan Harapan Baru
Putusan MK tersebut memang memicu kekosongan hukum sementara. UU No. 11/1974 yang diberlakukan kembali sudah uzur dan tidak sinkron dengan sistem otonomi daerah pasca reformasi. Namun, momen ini justru membuka jalan lahirnya UU No. 17 Tahun 2019, yang secara tegas menegaskan kembali penguasaan negara atas air, sekaligus memperbaiki celah hukum yang selama ini dieksploitasi swasta.
UU No. 17 Tahun 2019: Reformasi atau Sekadar Revisi?
UU No. 17/2019 menegaskan prinsip bahwa air harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat. Namun tetap membuka ruang partisipasi swasta dalam pengelolaan air dalam batasan yang ketat. Yang jadi pertanyaan, apakah ini kompromi cerdas atau bentuk soft-privatization? Studi Andi Aswar menunjukkan bahwa selama negara tetap menjadi pengendali utama, dan akses masyarakat dijamin, keterlibatan swasta tidak serta merta menjadi bentuk pelanggaran konstitusi.
Studi Kasus: Krisis Air di Jakarta, Makassar, dan Bintan
Aswar mencatat berbagai kasus kelangkaan air bersih di Jakarta, Makassar, Maros, hingga Bintan. Sebagian wilayah harus membeli air dengan harga mahal atau mengandalkan sumur bor yang kualitasnya tidak terjamin. Sementara perusahaan air minum swasta justru mencatatkan keuntungan besar. Ini menunjukkan ketimpangan distribusi hak atas air, sekaligus memperkuat argumen mengapa regulasi air harus diawasi ketat.
Kritik atas Regulasi dan Implementasinya
Aswar dengan tajam mengkritik disharmoni antara undang-undang dan peraturan pelaksananya. Misalnya, PP No. 16 Tahun 2005 tentang Sistem Penyediaan Air Minum masih membuka peran besar swasta, yang sejatinya kontradiktif dengan semangat putusan MK. Selain itu, lemahnya penegakan hukum dan minimnya keterlibatan publik dalam perumusan kebijakan membuat banyak daerah rentan terhadap praktik komersialisasi air.
Opini: Reposisi Negara sebagai Penguasa, Bukan Sekadar Regulator
Salah satu nilai penting dari tesis ini adalah gagasan untuk menempatkan negara bukan hanya sebagai regulator, tapi sebagai pengelola utama air. Dengan kata lain, negara harus punya kapasitas teknis, kelembagaan, dan pendanaan untuk mengelola air secara adil dan berkelanjutan. Ini sejalan dengan putusan MK dan dengan prinsip sustainable development yang berbasis keadilan sosial.
Kontribusi Akademik dan Praktis
Tesis ini memperkaya wacana hukum air dengan menautkan aspek konstitusi, hak asasi, dan pembangunan berkelanjutan. Selain itu, kontribusinya pada ranah praktis adalah dengan menawarkan peta jalan implementasi UU No. 17 Tahun 2019 agar tidak mengulang kesalahan masa lalu.
Rekomendasi Strategis:
Penutup: Air untuk Rakyat, Bukan untuk Diperdagangkan
Tesis ini adalah alarm bagi bangsa bahwa air bukan milik pasar, tapi milik rakyat. Putusan MK Nomor 85/PUU-XI/2013 adalah tonggak penting yang harus terus dijaga dan diterjemahkan dalam kebijakan nyata, bukan hanya dalam retorika.
Sumber: Aswar, A. (2022). Implikasi Hukum Pengaturan Sumber Daya Air Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013. Program Pascasarjana, Fakultas Hukum, Universitas Hasanuddin.
Pengelolaan Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 15 Mei 2025
Pengantar: Air dan Tata Ruang dalam Ketegangan Regulasi
Dalam era pembangunan pesat dan krisis ekologi, air tak lagi sekadar sumber daya—melainkan komoditas strategis. Namun, pengelolaannya seringkali terpisah dari rencana tata ruang, yang seharusnya menjadi fondasi dalam mendesain masa depan wilayah. Studi oleh Silviani Junita dan Imam Buchori (2016) membedah efektivitas lembaga pemerintah dalam mengintegrasikan pola pengelolaan air ke dalam Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), dengan fokus di Provinsi Jawa Tengah.
Hasilnya? Integrasi yang diharapkan belum optimal. Artikel ini akan mengupas sebab-akibatnya, mengaitkan dengan tren kebijakan air nasional dan memberikan pandangan strategis ke depan.
Metodologi dan Fokus Penelitian
Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif dengan basis deduktif. Data dikumpulkan dari:
Fokus utama adalah efektivitas koordinasi kelembagaan antar sektor—baik pusat maupun daerah—dalam menyatukan pola pengelolaan air dan perencanaan ruang.
Hasil Penelitian: Banyak Aturan, Minim Integrasi
Masalah Substansi Regulasi:
Struktur Lembaga:
Studi Kasus Jawa Tengah: Koordinasi Belum Tuntas
Fakta Lapangan:
Dampaknya:
Analisis & Opini: Ego Sektoral dan Masalah Klasik Tata Kelola
Kritik Penulis:
Perbandingan Global:
Saran Tambahan:
Penutup: Tata Ruang Tanpa Air adalah Rencana Tanpa Nyawa
Penelitian ini menyuarakan realita bahwa tata ruang tidak bisa berdiri sendiri tanpa integrasi yang kokoh dengan pola pengelolaan air. Dengan ancaman krisis air, fragmentasi kelembagaan dan regulasi yang bertabrakan adalah risiko besar bagi keberlanjutan pembangunan.
Kuncinya bukan menambah regulasi baru, tetapi menyatukan visi antara pengelolaan air dan tata ruang, dengan kelembagaan yang berfungsi aktif, bukan pasif.
Sumber:
Junita, S., & Buchori, I. (2016). Efektivitas kelembagaan pemerintah dalam integrasi pola pengelolaan sumber daya air dalam RTRW (Studi Kasus: Provinsi Jawa Tengah). Jurnal Wilayah dan Lingkungan, 4(1), 1–12.