Pendidikan
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Februari 2025
KOMPAS.com - "Sulit Pak, selama daring saya tidak memahami kompetensi siswa," gumam seorang kawan yang sama-sama berprofesi guru kepada saya tempo hari.
Ini hanyalah gambaran singkat bagaimana perasaan seorang guru saat ini. Banyak guru yang merasa skeptis tentang pembelajaran daring. Banyak guru yang beranggapan pembelajaran daring memiliki risiko "learning loss" yang besar pada generasi.
Di sisi lain, selama pandemi berlangsung, banyak orang tua yang akhirnya tidak mendaftarkan anaknya untuk sekolah, terutama anak-anak yang ada pada masa usia dini.
Padahal pada usia dini, tumbuh kembang anak perlu sangat diperhatikan. Hal ini juga bisa menjadi pemicu awal terjadinya learning loss pada generasi.
Risiko learning loss memang sudah diprediksi akan terjadi dari mulai awal terjadinya penutupan sekolah di seluruh dunia karena pandemi Covid-19.
Berdasarkan laporan tentang framework pembukaan kembali sekolah yang dikeluarkan bersama oleh UNESCO, UNICEF, World Bank, dan WFP pada bulan April 2020, dikatakan penutupan sekolah secara global sebagai tanggapan terhadap pandemi menghadirkan risiko merusak pendidikan, perlindungan, dan kesejahteraan anak-anak (UNESCO et al, 2020).
Selain itu, Michelle Kaffenberger, akademisi dari Blavatnik School of Government, University of Oxford, memprediksi anak-anak bisa kehilangan pembelajaran selama lebih dari satu tahun menyusul penutupan sekolah selama tiga bulan karena tertinggal pelajaran ketika sekolah kembali dibuka (Kaffenberger, 2020).
Pada studi yang lain diperkirakan bahwa antara 7 dan 9,7 juta anak akan putus sekolah sekolah karena dampak ekonomi dari pandemi (Wagner dan Warren, 2020).
Dari sisi sejarah, problematika learning loss ini sebenarnya sudah terbukti ada dari pengalaman yang terjadi di masa lalu.
Berdasarkan penelitian berbasis pada pandemi polio tahun 1916 telah ditemukan bahwa penutupan sekolah dapat memiliki dampak negatif jangka panjang pada hasil pendidikan anak-anak, seperti berkurangnya pencapaian sekolah dan keterampilan kognitif atas mereka, selama seumur hidupnya (Meyers dan Thomasson, 2017).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada itu, kita memahami bahwa learning loss adalah sebuah keniscayaan.
Siswa yang lebih rentan mengalami learning loss adalah siswa yang tidak memiliki akses yang maksimal untuk melakukan pembelajaran daring. Misalnya, siswa yang berada di pedesaan atau daerah pedalaman dimana akses internet sulit didapatkan.
Jika pun ada akses internet, keterbatasan infrastruktur tetap menjadi kendala bagi siswa mengikuti pembelajaran. Misalnya keterbatasan kuota internet, atau tidak adanya perangkat elektronik untuk mengakses internet.
Faktor orangtua juga memiliki dampak yang signifikan pada terjadinya learning loss.
Bagi orangtua yang memiliki tingkat pendidikan rendah atau orangtua yang tidak memahami pembelajaran daring, ada anggapan bahwa pembelajaran daring itu sebenarnya tidak ada atau mengada-ada.
Bagi mereka, tanpa adanya tatap muka, peran sekolah bisa dikatakan tidak ada dalam pembelajaran. Kini, seolah-olah sekolah memasuki masa libur berkepanjangan. Dengan pemikiran orangtua seperti ini yang paling rentan terkena dampaknya adalah siswa putri.
Ada orangtua yang akhirnya memutuskan untuk menikahkan dini putrinya dalam rangka mengurangi beban keluarga.
Selain itu, orangtua yang memiliki kendala ekonomi terkadang juga menjadi problematika.
Alih-alih mendukung anaknya untuk belajar daring, mereka justru terpaksa memanfaatkan anaknya untuk bekerja membantu keuangan orangtua untuk memenuhi kebutuhan keluarga di tengah krisis pandemi.
Berdasarkan laporan penelitian-penelitian tersebut risiko learning loss memang sangat besar terjadi di masa pandemi. Namun, hal ini tidak seharusnya membuat kita berpangku tangan dan berdiam diri. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi hal ini, apalagi dengan kemajuan era teknologi digital saat ini.
Bagi yang tinggal di perkotaan atau di daerah yang relatif lebih mapan, learning loss bisa saja diminimalisir dengan membuat program pembelajaran dalam jaringan (daring) yang lebih maksimal, efisien dan efektif.
Penggunaan berbagai macam platform pendidikan online bisa menjadi alternatif jalan yang sangat membantu pembelajaran siswa di masa pandemi sehingga siswa tidak terlalu tertinggal dalam belajar.
Dalam hal ini, guru memiliki peran yang sangat penting. Hal ini bisa kita jelaskan dengan analogi guru sebagai seorang koki.
Seorang koki harus bisa meramu resep masakan sehingga bisa menghasilkan masakan yang lezat rasanya. Jika rasanya lezat, orang yang memakannya pasti akan ketagihan, ingin makan lagi setelah mencicipinya.
Koki pun akan merasa senang dan semangat untuk membuat resep-resep lain yang berbeda.
Begitu halnya guru, jika guru mampu meramu pembelajaran daring dengan baik, guru akan merasa senang dan tak sabar untuk memulai pembelajaran.
Sementara siswa akan menantikan pembelajaran dengan rasa penuh penasaran. Penasaran akan hal baru apa yang akan dilakukan gurunya di pembelajaran.
Jika tidak seperti ini, pembelajaran daring bisa menjadi sangat membosankan, apalagi tanpa adanya kreativitas dari guru dalam menyampaikan pembelajarannya.
Sejatinya guru harus mampu menuangkan ide-ide kreatif dan inovatifnya menjadi sebuah proses pembelajaran yang baik sehingga siswa tertarik dan akan tetap semangat mengikuti pembelajaran daring.
Selain guru, kurikulum juga harus dibuat lebih fleksibel dengan menentukan standar minimum pencapaian. Standar pencapaian ketuntasan kurikulum sebelum masa pandemi harus ditinjau ulang.
Materi pelajaran yang tidak begitu perlu bisa dihapuskan, yang terlalu panjangan harus dimodifikasi menjadi lebih singkat, dan yang terlalu dalam harus lebih disederhanakan.
Meskipun hal ini terlihat tidak maksimal, setidaknya hal ini bisa meminimalisir terjadinya learning loss pada siswa.
Sebenarnya, learning loss tidak melulu berkutat tentang persoalan akademik, ada dimensi pendidikan karakter juga di dalamnya.
Dalam pemaparan panduan penyelenggaraan pembelajaran pada semester genap tahun ajaran dan tahun akademik 2020/2021 di masa pandemi Covid-19 pada tanggal 20 November 2020, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menegaskan hilangnya pembelajaran secara berkepanjangan berisiko terhadap pembelajaran jangka panjang, baik kognitif maupun perkembangan karakter.
Jika mau jujur, pembahasan hilangnya pembelajaran karakter semestinya lebih bisa dikedepankan. Sebenarnya, degradasi moral dan penurunan akhlak sudah terjadi jauh sebelum pandemi ini ada.
Sejak dunia memasuki era millenial dan revolusi industri 4.0, kemajuan teknologi, selain memiliki dampak positif, ada juga dampak negatif yang yang sangat signifikan pada pendidikan karakter di sekolah.
Hal ini yang menyebabkan para ahli pendidikan merasa perlu mengedepankan pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan karakter yang mengedepankan nilai-nilai inti yang bersifat universal.
Sebenarnya, andai saja penguatan pendidikan karakter bisa berjalan dengan baik sebelum datangnya pandemi, potensi loss learning, baik di pedesaan atau di perkotaan, otomatis bisa diminimalisir.
Siswa yang berkarakter akan memiliki motivasi belajar yang tinggi pada kondisi apapun. Ada atau tidak ada krisis, siswa yang berkarakter akan bisa tetap bisa belajar dengan caranya sendiri.
Sejatinya, banyak cara belajar yang bisa dilakukan tanpa harus tergantung dengan formalitas pendidikan di sekolah. Hal ini membutuhkan motivasi yang tinggi bagi siswa untuk mengeksplor semua potensi belajar dari lingkungan yang ada di sekitarnya.
Penguatan pendidikan karakter inilah yang telah terlupakan selama ini karena kita terlalu fokus memikirkan kompetensi kognitif siswa.
Bahkan di masa krisis pandemi seperti saat ini, kita masih saja terjebak ke dalam pola pikir yang sama. Akhirnya, kita sendiri yang kerepotan menghadapi ancaman learning loss yang bisa sangat merugikan dampaknya bagi kemanusiaan.
Alhasil, setelah hampir satu tahun pembelajaran daring dilakukan pastinya banyak sudah learning loss yang kita rasakan, baik secara kognitif maupun pengembangan karakter.
Mengedepankan pendidikan karakter yang bisa membuat siswa memiliki motivasi belajar dari dalam dirinya sendiri menjadi hal yang perlu kita lakukan sebagai sebuah alternatif solusi agar learning loss tidak terlalu berdampak buruk.
Meskipun guru tak bisa maksimal memberikan pelajaran, peran orang tua menanamkan pendidikan karakter sejak usia dini menjadi kunci penting pemecahan learning loss yang mungkin terjadi pada siswa di masa krisis seperti sekarang ini.
Sumber: kompas.com
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Februari 2025
KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 selama satu tahun terakhir ini membuat proses pendidikan terpaksa dilakukan secara daring atau Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Namun, banyak siswa tidak bisa mengakses belajar secara virtual karena terkendala akses pada ponsel dan infrastruktur internet.
Tidak semua daerah, mendapat infrastruktur internet, gawai yang memadai. Jika siswa tersebut tinggal di wilayah perkotaan, maka saat ia belajar daring tidak banyak menghadapi kendala. Beda cerita bagi siswa di pelosok pedesaan atau daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).
Mereka lebih kesulitan mengakses pembelajaran daring dan mau tidak mau, seringkali ada materi yang tertinggal.
Apalagi, dampak ekonomi yang dirasakan masyarakat akibat pandemi sekarang ini menyebabkan adanya penurunan kualitas kemampuan linguistik pada anak karena guru tidak bisa menyampaikan materi ajar secara kontekstual.
Oleh karena itu, guru diminta untuk melakukan improvisasi dan inovasi dalam memberikan materi belajar yakni membangun interaksi dengan siswa meski dilakukan secara daring.
Bukan sekadar menyerahkan tugas kepada siswa lewat grup media sosial. Hal itu patut dilakukan untuk terus mengasah kemampuan berbahasa pada anak selama pandemi. Apalagi, setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda.
"Kalau melihat dari sisi pendidikan dan pengajaran, banyak terjadi distorsi materi ajar karena hanya dipahami secara tekstual yang seharusnya guru bisa membangun secara kontekstual," kata Pakar Ilmu Linguistik Fakultas Ilmu Budaya Universitas Gadjah Mada (UGM) Sailal Arimi, dilansir dari laman resmi UGM.
Menurut dia, dalam kondisi normal seorang guru bahasa bisa mengajarkan materi secara kontekstual.
Namun lantaran secara daring bahkan tidak semua siswa belajar secara virtual, menyebabkan penyerapan materi ajar lebih bersifat tekstual, sehingga besar kemungkinan terjadi penurunan pengajaran bahasa atau penurunan kemampuan linguistik.
Menyiasati kondisi ini, ia mengusulkan agar guru banyak melakukan inovasi dan modifikasi agar interaksi dengan siswa bisa terbangun.
Sebab, proses belajar mengajar tidak hanya transfer pengetahuan, namun juga mampu mengubah perilaku dan karakter siswa.
"Jika selama ini hanya mengirimkan perintah mengerjakan tugas sehingga kehilangan konteks. Yang ada hanya teks. Memang murid membaca buku tematik, namun guru tidak hadir di situ," ungkapnya.
Meski kondisi pandemi yang mengharuskan guru dan murid menerapkan protokol kesehatan dengan menjaga jarak, maka salah satu yang bisa dilakukan membangun interaksi secara virtual.
Ia menilai jika siswa SMP dan SMA bisa melakukan kegiatan belajar daring lewat aplikasi pertemuan virtual. Namun berbeda dengan siswa SD. Untuk itu perlu membentuk grup di aplikasi pesan dalam batas waktu tertentu.
"Di aplikasi pesan itu bisa menerapkan umpan balik antar siswa dan guru. Bila ada feedback dan diskusi diberi penilaian dengan waktu setengah atau satu jam. Waktu belajar bisa gantian guru-gurunya," jelasnya.
Sailal mengatakan, agak maklum dengan adanya kegiatan belajar mengajar secara daring di mana pendampingan dari guru digantikan orangtua.
Otomatis, tidak sedikit para orangtua yang merasa kewalahan dan mengeluh dikarenakan mau tidak mau harus belajar kembali untuk memahami dan menguasai materi pelajaran si anak.
"Akibatnya guru sebagai role model untuk belajar budi pekerti bahasa yang baik akibat pandemi ini menjadi jauh berkurang," ungkapnya.
Sumber : kompas.com
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 14 Februari 2025
Selain itu, aktivitas lain seperti bersosialisasi dan ngobrol dengan orang lain terhenti sementara akibat pandemi. Sekalipun tidak mendapat bantuan langsung dari guru atau dosen, siswa membutuhkan karya dan prestasi. Jangan sampai pandemi Covid-19 membuat pelajar menjadi malas dan terlena. Sekretaris Jenderal Ikatan Alumni (IKA) Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya Thonthowi Djauhari ingin berbagi beberapa tips jitu agar sukses dalam pembelajaran daring akibat pandemi Covid-19.
1. Maksimalkan Alat Bantu
Homeschooling hadir dengan beragam tantangan. Termasuk alat dan infrastruktur untuk berpartisipasi dalam pembelajaran online. Thonthowi mengatakan kesulitan ini bisa diminimalisir jika kampus atau sekolah bisa menerima siswanya tanpa alat bantu. Pihak kampus, lanjut Thonthowi, akan semaksimal mungkin membantu mereka dengan menyediakan fasilitas yang memadai ketika peralatan mereka terbatas. Salah satunya dengan bekerja sama dengan berbagai pihak untuk membantu siswa yang membutuhkan. Hal ini untuk memastikan mereka dapat terus berpartisipasi dalam proses belajar mengajar secara online. “Kalau semua siswa punya fasilitas yang memadai, bisa dipastikan mereka bisa menyelesaikan proses belajar mengajar di rumah juga,” kata Thonthowi kepada Kompas.com, Minggu (2 Juli 2021). Baca juga: Mahasiswa ITS
2. Meningkatkan Soft Skills
Kompetensi seseorang tidak bisa dilihat hanya dari kemampuannya dalam memahami pelajaran atau dari segi akademik. Namun mereka juga harus memiliki soft skill yang baik. Thonthowi menambahkan, baik mahasiswa maupun sarjana setidaknya harus memoles soft skill mereka. Hal ini diperlukan untuk dapat bekerja setelah lulus. Selain itu, soft skill sangat dibutuhkan ketika memasuki dunia kerja. Meski di masa pandemi, softskill tetap bisa diasah dengan mengikuti kegiatan kampus meski hanya secara daring. “Dengan tetap terorganisir, Anda dapat meningkatkan keterampilan dalam mengartikulasikan ide, memimpin dan dipimpin, serta bekerja dalam tim,” tambahnya.
3. Berdiskusi untuk menambah ilmu
Selain belajar dari atau dari dosen, materi pembelajaran dapat ditingkatkan melalui diskusi. Bisa dengan teman sekelas, satu kampus, atau bahkan kampus lain. Selain itu, banyak sekali materi di internet berupa video yang dapat dijadikan bahan diskusi untuk memperluas pengetahuan.
4. Inilah Cara Menjangkau Seseorang
Salah satu cara mudah untuk mencapai kesuksesan adalah dengan terinspirasi oleh orang-orang hebat. Hal ini dapat dilakukan dengan membaca buku atau menonton film dokumenter tentang orang tersebut.
5. Jangan takut gagal.
Thonthowi mengatakan kegagalan adalah hal yang lumrah bagi para pekerja. Lebih baik melakukan sesuatu meski harus gagal terlebih dahulu. “Dari kegagalan tersebut kita bisa belajar apa penyebab kegagalan tersebut. Agar kegagalan tersebut tidak terulang lagi. Jika ini dilakukan secara konsisten dalam pembelajaran daring, maka hal ini akan bisa dilakukan baik oleh pelajar maupun mahasiswa di masa pandemi seperti sekarang,” ujarnya. \N.
Sumber: kompas.com
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 10 Februari 2025
Indonesia berada di tengah-tengah krisis pembelajaran. Meskipun telah melakukan banyak hal untuk meningkatkan akses pendidikan dalam beberapa dekade terakhir, Indonesia hanya melakukan sedikit hal untuk meningkatkan penguasaan keterampilan dasar dalam hal literasi, berhitung, dan sains.
Indonesia secara umum berada di urutan terbawah dari daftar negara yang dinilai dan berada di belakang negara-negara tetangga seperti Malaysia, Vietnam, dan Thailand dalam tes-tes pembelajaran siswa berstandar internasional seperti Programme for International Student Assessment (PISA), Trends in International Mathematics and Science Study (TIMSS), dan Progress in International Literacy Reading Study (PIRLS), sejak Indonesia mulai berpartisipasi dalam tes-tes ini pada awal tahun 2000-an.
Krisis pembelajaran diperparah oleh COVID-19, yang membuat sekolah-sekolah ditutup di seluruh negeri selama kurang lebih dua tahun. Menurut sebuah studi Bank Dunia, pandemi ini mengakibatkan 'perkiraan hilangnya waktu belajar antara 0,9 hingga 1,2 tahun dan penurunan kompetensi membaca sebesar 25 hingga 35 poin pada skor membaca [PISA] hingga pertengahan 2021, dan kemungkinan akan ada lebih banyak lagi kehilangan waktu belajar sebagai akibat dari berlanjutnya penutupan sekolah setelah titik tersebut.
Namun, seburuk apapun dampak pandemi terhadap sistem sekolah di Indonesia, pandemi bukanlah penyebab utama dari krisis pembelajaran di Indonesia. Krisis ini memiliki akar yang lebih dalam.
Banyak analisis tentang hasil pembelajaran yang buruk di negara-negara berkembang telah menekankan pada faktor-faktor seperti tingkat pendanaan yang tidak memadai, defisit sumber daya manusia, struktur insentif yang tidak tepat, dan manajemen yang buruk. Hal-hal tersebut merupakan ciri khas dari sistem pendidikan di Indonesia.
Namun, krisis pendidikan di Indonesia pada dasarnya mencerminkan sifat 'penyelesaian politik' yang telah menjadi ciri ekonomi politik Indonesia dalam beberapa dekade terakhir. Penyelesaian politik adalah "keseimbangan atau distribusi kekuasaan antara kelompok-kelompok sosial dan kelas-kelas sosial yang saling bersaing, yang menjadi dasar dari sebuah negara".
Penyelesaian politik di Indonesia sedikit berbeda dari waktu ke waktu, yaitu lebih bersifat ekslusif pada masa Orde Baru yang otoriter (1966-1998) dan lebih bersifat inklusif pada masa pasca-Orde Baru yang demokratis dan terdesentralisasi (1998-sekarang). Namun, dalam kedua kasus tersebut, keduanya ditandai oleh dominasi politik dari elit politik, birokrasi, dan korporasi predatoris yang memiliki kepentingan dominan untuk memanfaatkan aparatur negara untuk mendapatkan rente dan mempertahankan kekuasaan.
Sesuai dengan kepentingan ini, mereka berusaha menggunakan sistem pendidikan untuk mengakumulasi sumber daya, mendistribusikan patronase, memobilisasi dukungan politik, dan melakukan kontrol politik daripada mempromosikan pembelajaran dan perolehan keterampilan.
Elemen-elemen progresif dalam masyarakat sipil yang berkomitmen terhadap hak asasi manusia dan keadilan sosial dan elemen-elemen teknokratis yang berkomitmen terhadap pasar bebas dan gagasan neoliberal tentang tata kelola pemerintahan yang baik, yang keduanya mendukung fokus yang lebih kuat pada pembelajaran dan akuisisi keterampilan dasar (meskipun dengan alasan politis dan ideologis yang berbeda), relatif terpinggirkan.
Dalam konteks ini, pemerintah telah gagal mengadopsi dan mengimplementasikan kebijakan pendidikan yang mendorong pembelajaran di sekolah-sekolah di Indonesia sesuai dengan apa yang dinilai oleh tes-tes seperti PISA, TIMSS, dan PIRLS. Kontestasi agenda-agenda predatoris oleh elemen-elemen teknokratis dan progresif secara umum telah diselesaikan untuk kepentingan para elit predatoris.
Di bawah ini, kami mengilustrasikan poin-poin tersebut dengan melihat bagaimana penyelesaian politik dan proses-proses konflik dan kontestasi yang terkait telah membentuk salah satu area kunci dalam kebijakan pendidikan dan implementasinya di Indonesia, yaitu kurikulum sekolah.
Orde baru
Reformasi kurikulum selama 32 tahun Orde Baru yang otoriter sebagian besar merupakan latihan indoktrinasi. Walaupun kurikulum yang direvisi disusun dengan mengacu pada teori-teori pendidikan yang sedang populer saat itu (misalnya Manajemen Berdasarkan Tujuan (Kurikulum 1975), Pembelajaran Siswa Aktif (Kurikulum 1984), Otonomi Sekolah (Kurikulum 1994), perkembangan teknokratis semacam itu hanya diterima sejauh tidak bertentangan dengan agenda utama pemeliharaan rezim.
Agenda ini paling jelas terlihat dalam perubahan isi pelajaran yang dirancang untuk mengindoktrinasi siswa dengan seperangkat nilai dan norma perilaku yang melegitimasi negara otoriter. Kurikulum 1975 memperkenalkan pelajaran wajib Pancasila (PMP atau Pendidikan Moral Pancasila) untuk setiap tingkat sistem pendidikan.
Kurikulum 1984 memasukkan mata pelajaran wajib tentang 'Sejarah Perjuangan Bersenjata' yang menyajikan kisah pengorbanan dan jasa-jasa rezim. Pada tahun yang sama, siswa sekolah menengah atas dan mahasiswa diwajibkan untuk menyelesaikan mata pelajaran ekstra kurikuler tambahan tentang Pancasila.
Sementara pembobotan unit-unit 'nilai' eksplisit (PMP dan Agama) dalam kurikulum merupakan hal yang umum terjadi di negara-negara berkembang yang majemuk secara etnis dan agama seperti Malaysia dan Filipina, pengajaran ideologi meresap ke dalam kurikulum dalam porsi yang lebih besar melalui mata pelajaran bahasa dan ilmu pengetahuan sosial.
Era reformasi
Tepat sekali, reformasi kurikulum pertama di era pasca-Suharto adalah untuk mengatasi warisan sejarahnya. Motivasi utama dari "Suplemen Kurikulum 1999" (amandemen dari Kurikulum 1994) adalah untuk merevisi konten yang berkaitan dengan kebangkitan Orde Baru dan peran militer dalam politik.
Ini merupakan tanda awal dari pergeseran ke arah penyelesaian politik yang inklusif di sekitar masalah desain kurikulum, karena keputusan tersebut merupakan pengakuan yang sangat simbolis terhadap peran koalisi progresif (terutama mahasiswa) dalam memaksa pengunduran diri Soeharto.
Reformasi yang jauh lebih substansial, bagaimanapun, adalah peluncuran kurikulum baru pada tahun 2004. Dikenal dengan sebutan KBK atau Kurikulum Berbasis Kompetensi, kurikulum ini dirancang untuk mengakomodasi ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam paket otonomi daerah yang memberikan kontrol yang signifikan kepada daerah dalam penyelenggaraan pendidikan dan untuk memenuhi ketentuan-ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003.
Rancangan kurikulum baru ini dipimpin oleh Pusat Kurikulum Kementerian Pendidikan Nasional, yang mulai bekerja pada tahun 2000 sebagai kelanjutan dari reformasi kurikulum 1994. Kurikulum ini mengandung ciri khas agenda teknokratis, terutama teori Manajemen Publik Baru, karena hasil belajar siswa terkait dengan berbagai standar kompetensi yang ditetapkan dan indikator terkait.
Disadur dari: www.melbourneasiareview.edu.au
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 10 Februari 2025
Universitas-universitas di Indonesia sedang memobilisasi sumber daya mereka untuk meningkatkan daya saing internasional mereka dan mencapai status “kelas dunia”, Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi Nadiem Makarim mengatakan, dengan menyatakan bahwa kementeriannya memberikan “dukungan penuh” untuk usaha tersebut.
Sebanyak 54 universitas, baik negeri maupun swasta, saat ini sedang dinilai oleh kementerian dan didukung dalam upaya mereka untuk mencapai standar internasional. “Kita harus melakukan perbaikan dalam proses pembelajaran, penelitian, dan kurikulum,” ujar Nadiem dalam Pertemuan Tahunan ke-25 Forum Rektor Indonesia pada tanggal 15 Januari lalu.
Presiden Indonesia Joko Widodo juga mendukung upaya ini. Berbicara di forum yang sama, Jokowi, demikian ia biasa disapa, mengatakan bahwa pemerintah harus meningkatkan anggaran pendidikan tinggi dan penelitian sekarang, sehingga program 'kelas dunia' dapat berlanjut di bawah presiden berikutnya.
Ia merujuk pada pemilihan umum pada tanggal 14 Februari, ketika masa jabatan Jokowi berakhir. “Sektor pendidikan membutuhkan anggaran dan pembiayaan yang besar, namun tetap saja, ini adalah kewajiban kita untuk mencari jalan,” kata Jokowi.
Alokasi anggaran negara untuk sektor pendidikan telah mencapai Rp6.400 triliun (US$404 miliar), yang menurut Jokowi tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan pendidikan tinggi dan mengantarkan pada perbaikan.
Kekhawatiran tentang kualitas
Rendahnya kualitas institusi pendidikan tinggi di Indonesia, terutama dalam hal penelitian, telah menjadi keprihatinan para politisi sejak lama. Sejak tahun 2015, kementerian ini telah mendorong agar universitas-universitas di negara ini masuk dalam daftar 500 universitas terbaik di dunia dalam peringkat internasional.
Kementerian ini mengeluarkan IKU-nya sendiri, singkatan dari indikator kinerja utama, untuk universitas. IKU ini mencakup penilaian apakah lulusan universitas mendapatkan pekerjaan yang layak, hasil penelitian dosen, inovasi yang digunakan di masyarakat luas, dan program studi berstandar internasional.
Sejauh ini, hanya tiga universitas di Indonesia yang telah memenuhi syarat untuk mendapatkan label 'kelas dunia' di bawah kriteria kementerian. Ketiga universitas tersebut adalah Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), dan Universitas Gadjah Mada (UGM), menurut Quacquarelli Symonds (QS) World University Ranking.
Tahun lalu, QS menempatkan UI di peringkat 290, menempatkannya di antara 300 universitas terbaik di dunia - sebuah peningkatan dari peringkat tahun 2022 yang berada di posisi 305.
Profesor Muhammad Anis, mantan rektor UI, mengatakan bahwa kenaikan peringkat ini merupakan hasil dari kerja keras dan komitmen yang kuat dari para pimpinan, staf, dosen dan karyawan UI. “Kami berkomitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan, mengintensifkan penelitian dan inovasi,” tegasnya.
Universitas menetapkan target
Dalam rencana strategis lima tahun 2021-2025, ITB menetapkan target untuk menjadi salah satu dari 200 universitas terbaik di dunia. Hal ini dapat dicapai dengan mengintensifkan publikasi penelitian, kerja sama dengan universitas asing, dan membuka diri terhadap mahasiswa asing.
Rektor ITB Reini Wirahadikusumah mengatakan kepada University World News bahwa rencana untuk mengamankan posisi ITB di antara 200 universitas terbaik di dunia “bukanlah sesuatu yang mustahil jika kita tetap berpegang teguh pada rencana kita, mengerahkan semua sumber daya dan bekerja keras”.
UGM, yang berada di peringkat 254 oleh QS tahun lalu, mengatakan bahwa mereka bertekad untuk mengatasi kekurangan dan tantangan yang ada, serta mengejar ketertinggalan dari universitas-universitas berkelas dunia. Namun, Rektor UGM Profesor Panut Mulyono mengakui bahwa universitasnya saat ini masih tertinggal dari universitas-universitas di negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand. “Malaysia saja memiliki lima universitas yang masuk dalam 100 universitas terbaik dunia. Kita tidak punya satu pun,” katanya.
Memutuskan apakah peringkat internasional harus menjadi prioritas bagi UGM merupakan salah satu tantangan yang dihadapi Panut di dalam universitas. “Beberapa orang berpandangan bahwa peran sosial UGM lebih penting daripada reputasi yang meningkatkan kebanggaan peringkat dunia. Mereka memiliki argumen yang kuat,” akunya.
Beberapa orang mengatakan bahwa “manfaat yang dapat diberikan oleh universitas kami kepada masyarakat di sekitar kami, untuk memberikan kehidupan yang lebih bermakna bagi masyarakat,” tambahnya.
Kompetisi regional
Beberapa universitas yang beroperasi di bawah Kementerian Agama juga telah bergabung dalam perlombaan universitas 'kelas dunia'.
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung (UIN SGD Bandung) telah berhasil menjadi “universitas terbaik” di bawah naungan Kementerian Agama. Sekarang, UIN SGD Bandung telah menetapkan tujuannya untuk menjadi universitas terbaik di kawasan Asia Tenggara, yang menurut Ahmad Sarbini, direktur Sekolah Pascasarjana UIN SGD Bandung, merupakan target yang lebih realistis.
“Perjalanan masih panjang, tapi kami sedang menuju ke arah sana. Ini adalah agenda kami,” kata Sarbini kepada University World News. “Di tingkat regional ini, ini bukan mimpi, ini adalah rencana.”
“Langkah-langkah yang realistis dan bertahap” akan dilakukan untuk memastikan relevansi universitas dengan masyarakat tetap terjaga, ujarnya, karena masyarakat mendapatkan manfaat langsung dari keberadaan universitas. “Kami tidak ingin menjadi universitas yang diakui dunia tetapi tidak peduli dengan masyarakat kita sendiri,” kata Sarbini.
“Upaya untuk mencapai status kelas dunia tidak akan berarti jika mengabaikan kondisi lokal, nasional, dan regional. Setiap universitas yang memulai perjalanan untuk mengejar status kelas dunia setidaknya harus melaksanakan tanggung jawab lokal dan nasionalnya,” kata Sarbini.
Untuk dapat unggul di tingkat regional, UIN SGD Bandung kini mendorong para dosen dan mahasiswanya untuk terlibat dalam proyek-proyek akademik internasional. “Kami mendorong para dosen kami untuk terlibat dan bahkan memprakarsai penelitian bersama internasional dan menghasilkan lebih banyak publikasi ilmiah,” kata Sarbini.
Dia menambahkan bahwa UIN SGD Bandung sekarang sedang mempersiapkan kelas internasional untuk mahasiswa asing yang sesuai dengan standar pengajaran dan pembelajaran internasional.
Asep Saeful Muhtadi, seorang pakar komunikasi di UIN SGD Bandung, mengatakan bahwa memberikan manfaat bagi masyarakat lokal harus menjadi prioritas utama bagi universitas. “Sangat ironis bahwa kita memiliki universitas teknologi yang ingin memiliki reputasi global, sementara teknologi masyarakatnya masih rendah. Bahkan teknologi yang paling sederhana pun kita beli dari luar,” katanya.
Kuantitas versus kualitas
Namun, menurut Sumanto Al-Qurtuby, profesor antropologi yang saat ini mengajar di King Fahd University of Petroleum and Minerals, Arab Saudi, banyaknya jumlah universitas di Indonesia berarti banyak yang tidak memiliki kualitas akademis yang tinggi. Indonesia memiliki 4.523 kampus dengan 31.399 program studi, menurut data tahun 2023 dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, dan Teknologi.
“Suka atau tidak suka, Indonesia memiliki kualitas pendidikan yang rendah. Mengatasi standar pendidikan yang rendah harus menjadi prioritas utama daripada mengejar peringkat dunia,” kata Al-Qurtuby. Ia menunjuk negara tetangga Singapura yang hanya memiliki 34 universitas, dua di antaranya - National University of Singapore dan Nanyang Technological University - masuk dalam 100 universitas terbaik di dunia.
“Lihatlah Malaysia yang hanya memiliki 100 universitas. Salah satunya, Universiti Malaya, berada di urutan ke-65 dalam peringkat dunia QS. Empat lainnya masuk dalam 200 universitas terbaik dunia,” katanya.
Al-Qurtuby, yang juga pendiri dan direktur Nusantara Institute, sebuah organisasi riset di Jakarta, mengatakan bahwa dengan hanya sekitar 6.000 mahasiswa asing di negara ini secara keseluruhan, universitas-universitas di Indonesia masih belum menjadi daya tarik bagi para mahasiswa asing. Dia mencatat bahwa sebagai perbandingan, Singapura memiliki sekitar 55.000 mahasiswa asing, dan Malaysia sekitar 170.000 mahasiswa asing.
Universitas-universitas di Indonesia juga memiliki tingkat publikasi ilmiah yang rendah karena beberapa alasan. Al-Qurtuby mengatakan salah satu alasan utamanya adalah karena para dosen dibebani dengan tugas-tugas pengajaran dan administrasi. “Dosen memiliki waktu yang sangat terbatas untuk melakukan penelitian dan menulis, dengan tingkat kompensasi yang rendah,” katanya.
Disadur dari: www.universityworldnews.com
Pendidikan
Dipublikasikan oleh Muhammad Armando Mahendra pada 10 Februari 2025
Pada acara ini dilakukan penandatanganan pakta integritas dan dibacakan deklarasi yang dipimpin oleh Budi Santoso, Ketua Senat UMN, kepada seluruh dosen dan pegawai UMN. Langkah ini digagas UMN sebagai bagian dari komitmennya terhadap pencegahan dan penanganan kekerasan seksual. Diharapkan mengundang Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual seluruh perguruan tinggi swasta di Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III untuk bersama-sama menyuarakan pentingnya permasalahan ini.
Acara tersebut dihadiri oleh jajaran Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, rektorat UMN, dan perwakilan dari 148 institusi pendidikan di lingkungan Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III.
Toni Toharudin, S.Si., M.Si., Kepala Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi Wilayah III, menekankan pentingnya percepatan pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di seluruh perguruan tinggi swasta. Hingga saat ini, baru sekitar 50% perguruan tinggi swasta yang mempunyai Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Ia juga menyampaikan bahwa Perguruan Tinggi telah menetapkan strategi untuk mendukung percepatan tersebut, antara lain dengan mengevaluasi Kartu Indonesia Pintar dan menunda kenaikan pangkat bagi dosen perguruan tinggi swasta yang belum membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
Selaku tuan rumah, Rektor UMN Dr. Ninok Leksono, MA menegaskan, kasus kekerasan seksual merupakan hal yang harus ditanggapi dengan serius. Hal ini sejalan dengan UMN yang telah mengambil langkah tegas dengan membentuk Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
“Saya berharap melalui acara seperti ini bapak dan ibu dapat terinspirasi bagaimana menciptakan ruang aman namun juga memiliki pengetahuan tentang gugus tugas penanganan permasalahan yang ada,” kata Dr. Ninok.
Dr Chatarina Berikan Dukungannya kepada Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual Perguruan Tinggi (Dok. UMN)
Sumber: www.umn.ac.id
Hadir dalam acara ini, Dr Chatarina Muliana Girsang, Inspektorat Jenderal Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), turut memberikan keterangannya. Ia menegaskan, mengatasi kasus kekerasan seksual bukanlah hal yang mudah. Dr. Chatarina menekankan bahwa akan ada banyak tantangan mulai dari perancangan peraturan hingga implementasinya karena komitmen ini memerlukan waktu dan upaya yang sangat baik.
“Kami sangat mengapresiasi peran institusi dalam upaya pencegahan kekerasan seksual ini karena pemerintah memiliki visi pendidikan nasional yang tidak hanya mengedepankan kecerdasan intelektual tetapi juga kesehatan mental anak bangsa,” jelas Dr. Chatarina.
Ia menambahkan, pembentukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual merupakan bagian dari program pemerintah untuk mencegah salah satu dosa besar pendidikan yaitu kekerasan seksual. Pemerintah terus mengembangkan dan menerapkan kebijakan untuk memfasilitasi langkah-langkah yang dilakukan Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
“Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan menjamin tersedianya ruang komunikasi bagi perguruan tinggi yang ingin berdiskusi,” kata Dr. Chatarina.
Pada sesi kedua, panitia menghadirkan Nathanael, EJ Sumampouw, M.Psi., Ph.D., seorang psikolog forensik yang menjelaskan teknik investigasi terhadap pelaku dan korban dari sudut pandang korban. Ia menegaskan, tidak menghakimi korban dalam proses wawancara adalah hal yang penting. Penanya sebaiknya mengutamakan mendengarkan cerita korban secara aktif dan memberikan ruang terbuka bagi mereka untuk berbicara.
“Dalam mengumpulkan informasi, kekuatan ingatan korban adalah kuncinya; Oleh karena itu, penting bagi korban untuk merasa nyaman dan tidak terbebani saat memberikan keterangannya,” jelas Natanael. Ia menambahkan, dalam memeriksa pelaku, penanya perlu memahami hubungan antara pelaku dan korban serta mengajukan pertanyaan secara terbuka dan tidak menyalahkan agar pelaku tidak merasa tertekan dan melakukan perlawanan.
Sumber: www.umn.ac.id
Ketua Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual, Intan Primadini, S.Sos., M.Si., menegaskan, UMN memandang penanganan kasus kekerasan seksual merupakan prioritas yang harus diperhatikan. Berbagai langkah telah dilakukan UMN dalam penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di kampus.
UMN berupaya menciptakan ruang aman dan hubungan sehat bagi seluruh warga kampus melalui kegiatan pembekalan dan seminar. Inisiatif tersebut antara lain berupa pembekalan tentang kesetaraan gender, teknik investigasi, dan pelibatan pelajar dalam peran aktif sebagai anggota Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual.
“Satgas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual secara rutin mengkampanyekan informasi edukasi dan melakukan pembinaan cara pelaporan kasus kekerasan seksual, sehingga meningkatkan kesadaran dan keterlibatan seluruh elemen kampus dalam pencegahan dan penanganan permasalahan tersebut,” kata Intan. .
Dalam acara pembekalan ini dilakukan sesi Focus Group Discussion (FGD) yang membahas tantangan dan solusi terkait pembentukan Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual. Melalui FGD ini, perwakilan dari berbagai universitas saling berbagi pengalaman dan belajar. Hasil FGD ini kemudian dijadikan bahan diskusi bagi Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi dan Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi dalam menyusun strategi penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di lingkungan perguruan tinggi.
Acara ini merupakan langkah konkrit upaya bersama penanganan dan pencegahan kekerasan seksual di perguruan tinggi. Dengan adanya kerjasama antara Lembaga Layanan Pendidikan Tinggi, perguruan tinggi, dan kementerian, hasil seminar dan FGD ini diharapkan menjadi landasan bagi implementasi kebijakan yang lebih efektif dan komprehensif di masa depan.
Disadur dari: www.umn.ac.id