KOMPAS.com - "Sulit Pak, selama daring saya tidak memahami kompetensi siswa," gumam seorang kawan yang sama-sama berprofesi guru kepada saya tempo hari.
Ini hanyalah gambaran singkat bagaimana perasaan seorang guru saat ini. Banyak guru yang merasa skeptis tentang pembelajaran daring. Banyak guru yang beranggapan pembelajaran daring memiliki risiko "learning loss" yang besar pada generasi.
Di sisi lain, selama pandemi berlangsung, banyak orang tua yang akhirnya tidak mendaftarkan anaknya untuk sekolah, terutama anak-anak yang ada pada masa usia dini.
Padahal pada usia dini, tumbuh kembang anak perlu sangat diperhatikan. Hal ini juga bisa menjadi pemicu awal terjadinya learning loss pada generasi.
Risiko learning loss memang sudah diprediksi akan terjadi dari mulai awal terjadinya penutupan sekolah di seluruh dunia karena pandemi Covid-19.
Berdasarkan laporan tentang framework pembukaan kembali sekolah yang dikeluarkan bersama oleh UNESCO, UNICEF, World Bank, dan WFP pada bulan April 2020, dikatakan penutupan sekolah secara global sebagai tanggapan terhadap pandemi menghadirkan risiko merusak pendidikan, perlindungan, dan kesejahteraan anak-anak (UNESCO et al, 2020).
Selain itu, Michelle Kaffenberger, akademisi dari Blavatnik School of Government, University of Oxford, memprediksi anak-anak bisa kehilangan pembelajaran selama lebih dari satu tahun menyusul penutupan sekolah selama tiga bulan karena tertinggal pelajaran ketika sekolah kembali dibuka (Kaffenberger, 2020).
Pada studi yang lain diperkirakan bahwa antara 7 dan 9,7 juta anak akan putus sekolah sekolah karena dampak ekonomi dari pandemi (Wagner dan Warren, 2020).
Dari sisi sejarah, problematika learning loss ini sebenarnya sudah terbukti ada dari pengalaman yang terjadi di masa lalu.
Berdasarkan penelitian berbasis pada pandemi polio tahun 1916 telah ditemukan bahwa penutupan sekolah dapat memiliki dampak negatif jangka panjang pada hasil pendidikan anak-anak, seperti berkurangnya pencapaian sekolah dan keterampilan kognitif atas mereka, selama seumur hidupnya (Meyers dan Thomasson, 2017).
Berdasarkan penelitian-penelitian yang ada itu, kita memahami bahwa learning loss adalah sebuah keniscayaan.
Siswa yang lebih rentan mengalami learning loss adalah siswa yang tidak memiliki akses yang maksimal untuk melakukan pembelajaran daring. Misalnya, siswa yang berada di pedesaan atau daerah pedalaman dimana akses internet sulit didapatkan.
Jika pun ada akses internet, keterbatasan infrastruktur tetap menjadi kendala bagi siswa mengikuti pembelajaran. Misalnya keterbatasan kuota internet, atau tidak adanya perangkat elektronik untuk mengakses internet.
Faktor orangtua juga memiliki dampak yang signifikan pada terjadinya learning loss.
Bagi orangtua yang memiliki tingkat pendidikan rendah atau orangtua yang tidak memahami pembelajaran daring, ada anggapan bahwa pembelajaran daring itu sebenarnya tidak ada atau mengada-ada.
Bagi mereka, tanpa adanya tatap muka, peran sekolah bisa dikatakan tidak ada dalam pembelajaran. Kini, seolah-olah sekolah memasuki masa libur berkepanjangan. Dengan pemikiran orangtua seperti ini yang paling rentan terkena dampaknya adalah siswa putri.
Ada orangtua yang akhirnya memutuskan untuk menikahkan dini putrinya dalam rangka mengurangi beban keluarga.
Selain itu, orangtua yang memiliki kendala ekonomi terkadang juga menjadi problematika.
Alih-alih mendukung anaknya untuk belajar daring, mereka justru terpaksa memanfaatkan anaknya untuk bekerja membantu keuangan orangtua untuk memenuhi kebutuhan keluarga di tengah krisis pandemi.
Berdasarkan laporan penelitian-penelitian tersebut risiko learning loss memang sangat besar terjadi di masa pandemi. Namun, hal ini tidak seharusnya membuat kita berpangku tangan dan berdiam diri. Banyak hal yang bisa kita lakukan untuk mengatasi hal ini, apalagi dengan kemajuan era teknologi digital saat ini.
Bagi yang tinggal di perkotaan atau di daerah yang relatif lebih mapan, learning loss bisa saja diminimalisir dengan membuat program pembelajaran dalam jaringan (daring) yang lebih maksimal, efisien dan efektif.
Penggunaan berbagai macam platform pendidikan online bisa menjadi alternatif jalan yang sangat membantu pembelajaran siswa di masa pandemi sehingga siswa tidak terlalu tertinggal dalam belajar.
Dalam hal ini, guru memiliki peran yang sangat penting. Hal ini bisa kita jelaskan dengan analogi guru sebagai seorang koki.
Seorang koki harus bisa meramu resep masakan sehingga bisa menghasilkan masakan yang lezat rasanya. Jika rasanya lezat, orang yang memakannya pasti akan ketagihan, ingin makan lagi setelah mencicipinya.
Koki pun akan merasa senang dan semangat untuk membuat resep-resep lain yang berbeda.
Begitu halnya guru, jika guru mampu meramu pembelajaran daring dengan baik, guru akan merasa senang dan tak sabar untuk memulai pembelajaran.
Sementara siswa akan menantikan pembelajaran dengan rasa penuh penasaran. Penasaran akan hal baru apa yang akan dilakukan gurunya di pembelajaran.
Jika tidak seperti ini, pembelajaran daring bisa menjadi sangat membosankan, apalagi tanpa adanya kreativitas dari guru dalam menyampaikan pembelajarannya.
Sejatinya guru harus mampu menuangkan ide-ide kreatif dan inovatifnya menjadi sebuah proses pembelajaran yang baik sehingga siswa tertarik dan akan tetap semangat mengikuti pembelajaran daring.
Selain guru, kurikulum juga harus dibuat lebih fleksibel dengan menentukan standar minimum pencapaian. Standar pencapaian ketuntasan kurikulum sebelum masa pandemi harus ditinjau ulang.
Materi pelajaran yang tidak begitu perlu bisa dihapuskan, yang terlalu panjangan harus dimodifikasi menjadi lebih singkat, dan yang terlalu dalam harus lebih disederhanakan.
Meskipun hal ini terlihat tidak maksimal, setidaknya hal ini bisa meminimalisir terjadinya learning loss pada siswa.
Sebenarnya, learning loss tidak melulu berkutat tentang persoalan akademik, ada dimensi pendidikan karakter juga di dalamnya.
Dalam pemaparan panduan penyelenggaraan pembelajaran pada semester genap tahun ajaran dan tahun akademik 2020/2021 di masa pandemi Covid-19 pada tanggal 20 November 2020, Mendikbud Nadiem Anwar Makarim menegaskan hilangnya pembelajaran secara berkepanjangan berisiko terhadap pembelajaran jangka panjang, baik kognitif maupun perkembangan karakter.
Jika mau jujur, pembahasan hilangnya pembelajaran karakter semestinya lebih bisa dikedepankan. Sebenarnya, degradasi moral dan penurunan akhlak sudah terjadi jauh sebelum pandemi ini ada.
Sejak dunia memasuki era millenial dan revolusi industri 4.0, kemajuan teknologi, selain memiliki dampak positif, ada juga dampak negatif yang yang sangat signifikan pada pendidikan karakter di sekolah.
Hal ini yang menyebabkan para ahli pendidikan merasa perlu mengedepankan pendidikan karakter di sekolah. Pendidikan karakter yang mengedepankan nilai-nilai inti yang bersifat universal.
Sebenarnya, andai saja penguatan pendidikan karakter bisa berjalan dengan baik sebelum datangnya pandemi, potensi loss learning, baik di pedesaan atau di perkotaan, otomatis bisa diminimalisir.
Siswa yang berkarakter akan memiliki motivasi belajar yang tinggi pada kondisi apapun. Ada atau tidak ada krisis, siswa yang berkarakter akan bisa tetap bisa belajar dengan caranya sendiri.
Sejatinya, banyak cara belajar yang bisa dilakukan tanpa harus tergantung dengan formalitas pendidikan di sekolah. Hal ini membutuhkan motivasi yang tinggi bagi siswa untuk mengeksplor semua potensi belajar dari lingkungan yang ada di sekitarnya.
Penguatan pendidikan karakter inilah yang telah terlupakan selama ini karena kita terlalu fokus memikirkan kompetensi kognitif siswa.
Bahkan di masa krisis pandemi seperti saat ini, kita masih saja terjebak ke dalam pola pikir yang sama. Akhirnya, kita sendiri yang kerepotan menghadapi ancaman learning loss yang bisa sangat merugikan dampaknya bagi kemanusiaan.
Alhasil, setelah hampir satu tahun pembelajaran daring dilakukan pastinya banyak sudah learning loss yang kita rasakan, baik secara kognitif maupun pengembangan karakter.
Mengedepankan pendidikan karakter yang bisa membuat siswa memiliki motivasi belajar dari dalam dirinya sendiri menjadi hal yang perlu kita lakukan sebagai sebuah alternatif solusi agar learning loss tidak terlalu berdampak buruk.
Meskipun guru tak bisa maksimal memberikan pelajaran, peran orang tua menanamkan pendidikan karakter sejak usia dini menjadi kunci penting pemecahan learning loss yang mungkin terjadi pada siswa di masa krisis seperti sekarang ini.
Sumber: kompas.com