Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Konflik Memanas: Protes Warga dan Penangkapan Massal Terkait Proyek Bendungan Bener di Desa Wadas

Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 17 April 2024


Purworejo - Tagar #SaveBendunganBener menjadi viral di media sosial setelah muncul video petugas polisi bersenjata lengkap berjalan di jalanan Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo. Mereka tergabung dalam tim Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang pada Selasa (15/2/2024) melakukan survei lahan proyek pembangunan Bendungan Beneri.

Survei lapangan dilakukan usai Kepala Kanwil BPN Jateng, Senin (2 Juli 2024) bersama Kapolda Jateng. Dalam pertemuan tersebut, Kepala Kantor Wilayah BPN Jateng meminta bantuan keamanan kepada polisi untuk melakukan survei tanah yang menjadi sengketa antara warga dan pemerintah.

Proyek pembangunan Bendungan Beneri memang menjadi perdebatan sejak awal berdirinya. Warga setempat menolak proyek tersebut karena takut kehilangan tanah dan sumber air. Mereka juga mengkritik proses kompensasi negara yang dinilai tidak adil dan tidak transparan. Warga mengaku tidak pernah dilibatkan dalam perencanaan dan pelaksanaan proyek tersebut.

Tagar #SaveBendunganBener merupakan bentuk protes warga terhadap proyek pembangunan Bendungan Bener yang dianggap merugikan mereka. Warga meminta pemerintah menghentikan proyek tersebut dan menghormati hak mereka sebagai pemilik tanah. Warga pun meminta pemerintah berdialog dengan mereka untuk mencari solusi yang baik bagi semua pihak.

Purworejo - Selain survei tanah, proyek pembangunan Bendungan Beneri di Purworejo juga menimbulkan konflik antara warga dan aparat keamanan. Pada Selasa (15 Februari 2024), polisi menangkap 23 warga Desa Wadas yang diduga melakukan aktivitas anarkis terhadap proyek tersebut.

Polisi menyatakan 23 orang membawa senjata tajam seperti arit, busur, dan pisau yang dapat digunakan untuk mengganggu kemajuan proyek. Polisi juga menuding mereka melakukan provokasi dan bentrok dengan warga lain yang mendukung pembangunan bendungan tersebut.

Namun warga Desa Wadasi membantah tuduhan polisi tersebut. Mereka mengatakan senjata tajam adalah alat mereka yang biasa digunakan untuk bercocok tanam dan membuat kerajinan bambu. Mereka menegaskan, tidak bermaksud menimbulkan keributan, melainkan hanya ingin menyampaikan keinginannya sebagai pemilik properti yang menjadi sasaran proyek tersebut.

Salah satu warga yang ditangkap, Siswanto (30), mengaku sedang menenun besek (kerajinan tangan bambu) dengan pisau saat ratusan polisi tiba di Desa Wadasi. Ia mengaku tidak tahu menahu soal proyek bendungan tersebut dan hanya ingin mencari nafkah. “Kami tidak tahu apa-apa, kami hanya ingin hidup damai. Kami tidak ingin main-main dengan siapa pun. “Kami hanya meminta hak kami dihormati,” kata Siswanto

Purworejo. Warga Desa Wadasi yang ditangkap polisi terkait proyek pembangunan Bendungan Beneri mengungkapkan kekecewaannya atas tindakan aparat keamanan yang dinilai anarkis. Mereka mengaku tidak keberatan, melainkan hanya salat di masjid hingga dilakukan pengukuran tanah.

Siswanto (30), salah satu warga yang ditangkap mengatakan, dirinya bersama warga lainnya sedang salat mujahada di masjid saat ratusan petugas bersenjata lengkap tiba di kampungnya. Ia mengaku kesal saat polisi meminta mereka menunaikan salat Dzuhur, namun kemudian menangkap mereka dan membawanya ke mobil polisi.

“Masyarakat Desa Wadasi tidak pernah mau membuat keributan, kami hanya ingin hidup damai. Kami tidak tahu apa-apa tentang proyek bendungan, kami hanya ingin negara kami dihormati. “Kami merasa pemerintah dan aparat keamanan memperlakukan kami tidak adil,” kata Siswanto.

Purworejo - Penangkapan warga Desa Wadas terkait proyek pembangunan bendungan Beneri rupanya lebih banyak dari pemberitaan sebelumnya. Menurut Siswanto (30), salah satu warga yang ditangkap, polisi tidak menangkap 25 orang, melainkan 60 orang dibawa ke Polsek Beneri.

Siswanto juga mengatakan, pada Selasa malam (15/02/2024), aparat gabungan polisi dan TNI masih berjaga di Kampung Wadasi dengan bersenjata lengkap. Karena itu, warga tidak berani keluar rumah karena takut ditangkap atau dianiaya.

Berdasarkan informasi yang diterima Kompas.com, aparat gabungan akan terus menjaga lokasi proyek selama proses survei yang berlangsung pada 8-10 Februari 2024. Proses survei tanah tersebut menjadi sumber konflik antar pihak. warga dan pemerintah, karena warga menentang proyek bendungan yang dianggap merampas tanah dan sumber air mereka.

Sumber: kompas.com

 
Selengkapnya
Konflik Memanas: Protes Warga dan Penangkapan Massal Terkait Proyek Bendungan Bener di Desa Wadas

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Batu Andesit di Desa Wadas: Konflik Antara Ketersediaan Air dan Hak Warga

Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 17 April 2024


Warga Desa Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah, menolak rencana pembangunan tambang andesit di wilayahnya. Mereka prihatin dengan dampak lingkungan dan sosial dari operasi penambangan mereka. Namun, pihak perusahaan dan polisi tetap ingin melanjutkan proyek tersebut.

Pada hari Selasa tanggal 13 Februari 2024 terjadi bentrokan antara warga yang datang ke desa tersebut dengan polisi. Polisi bersenjata lengkap dan menangkap beberapa warga yang dianggap menghambat kemajuan proyek. Sebuah video yang menggambarkan kekerasan polisi menjadi viral di media sosial dan memicu protes dari berbagai kalangan.

Warga Desa Wadasi mendapat dukungan dari aktivis lingkungan hidup, mahasiswa dan masyarakat sipil lainnya. Mereka menuntut diakhirinya proyek penambangan andesit dan pembebasan warga yang ditahan. Mereka juga menggunakan tagar #SaveWadas #WadasMelawan #WadasTolakTambang untuk menyampaikan keinginannya.

Warga Desa Wadas yang ditangkap polisi pada Selasa 13 Februari 2024 ternyata adalah pemilik tanah yang tak mau menyerahkan tanahnya untuk penambangan andesit. Mereka mengaku sudah mempunyai hak atas tanah tersebut dan tidak mau menggusurnya.

Perusahaan mengklaim tambang andesit di Desa Wadas merupakan bagian dari Proyek Pengembangan Waduk Beneri yang bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan air dan irigasi di Kabupaten Purworejo. Namun warga menilai alasan tersebut hanya kedok eksploitasi sumber daya alam di desanya.

Warga Desa Wadasi juga menyoroti dampak negatif penambangan andesit, seperti kerusakan lingkungan, pencemaran udara, kebisingan, dan risiko tanah longsor. Mereka menuntut pemerintah dan perusahaan menghormati hak warga negara dan pemilik tanah. Mereka pun mencari dukungan dari masyarakat luas untuk memperjuangkan nasibnya.

Andesit adalah batuan beku intrusif yang terbentuk di bumi akibat aktivitas gunung berapi. Batuan ini berwarna keabu-abuan dan terdiri dari berbagai mineral seperti feldspar, piroksen, kuarsa dan horblende. Batuan andesit banyak dijumpai di wilayah Jawa baik berupa badan intrusif yang tersingkap maupun berupa potongan breksi vulkanik yang merupakan bekas aliran lava.

Ciri-ciri batu andesit adalah keras, kompak, berat dan tahan aus. Batu ini sangat cocok digunakan sebagai bahan bangunan seperti pondasi, landasan pacu, penahan dan tiang jalan. Andesit juga memiliki nilai sejarah dan budaya karena sering digunakan sebagai bahan pembuatan artefak seperti menhir, batu api, batu mortar, batu candi, dan lingga yoni.

Sumber: kompas.com

 
Selengkapnya
Batu Andesit di Desa Wadas: Konflik Antara Ketersediaan Air dan Hak Warga

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Bendungan: Dampak Tersembunyi pada Lingkungan dan Masyarakat

Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 17 April 2024


JAKARTA, KOMPAS.com – Pemerintah terus mengupayakan pembangunan infrastruktur sumber daya air (SDA) di seluruh wilayah Indonesia.

Pembangunan infrastruktur SDA ini mencakup waduk, bendung dan bendungan yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan air masyarakat.

Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono kerap mengemukakan alasan lain dibangunnya bendungan, seperti mendukung ketahanan pangan, pembangkit listrik tenaga air, mereduksi banjir hingga desitinasi wisata yang mampu meningkatkan perekonomian warga.

Akan tetapi, selain manfaat yang dihadirkan melalui pengadaan bendungan, terdapat berbagai dampak negatif yang jarang disebutkan dan diketahui oleh masyarakat.

Dilansir dari American Rivers, Jumat (11/2/2022), sebuah studi oleh para peneliti di Eropa mengatakan, sebanyak 3.700 bendungan baru yang sedang dibangun di seluruh dunia tidak akan mampu memenuhi kebutuhan listrik di negara-negara berkembang seperti tujuan awal.

Sebaliknya, bendungan diperkirakan menghasilkan emisi gas metana yang jauh lebih tinggi dari perolehan energi.

Alih-alih berkontribusi untuk menyelesaikan krisis iklim, tetapi bendungan malah memberikan dampak negatif yang besar bagi lingkungan.

Selain itu, pembangunan bendungan bisa menimbulkan masalah ekologi baru dengan pengurangan jumlah sungai yang mampu mengalir bebas di seluruh dunia sebesar 21 persen.

Pembangunan bendungan juga kerap membutuhkan sebagian lahan warga sekitar yang tidak jarang menimbulkan konflik dalam proses pembebasannya.

Misalnya adalah konflik antara warga dan kepolisian di Desa Wadas, Kecamatan Bener, Kabupaten Purworejo, Provinsi Jawa Tengah, belum lama ini.

Beberapa warga tidak menyetujui lahan mereka akan dibebaskan dan digunakan sebagai area pertambangan batu andesit yang disebut merupakan salah satu material pembangunan Bendungan Bener.

Sementara itu, dilansir dari Arcadia, kehadiran bendungan juga menimbulkan risiko penumpukan sedimen ketika air mengalir melalui turbin internal.

Hal tersebut dapat menciptakan penumpukan sedimen dan mencemari serta mengganggu ekologi air.

Lebih lanjut, ketika air sungai dialihkan karena bendungan, ini dapat sangat mengganggu ekosistem alam yang rapuh serta menyebabkan kematian flora dan fauna yang tidak mampu bertahan.

Sebagai contoh, setelah Bendungan Aswan di Mesir dibangun, para ilmuwan melihat adanya penurunan tajam dalam produksi ikan di area sekitar karena jumlah nutrisi dan makanan yang berkurang.

Tangga ikan yang dibangun di bendungan untuk membantu ikan bermigrasi juga tidak dapat digunakan dengan baik oleh ikan, terlebih ketika air bendungan bergerak sangat cepat.

Tidak hanya itu, erosi akibat pengurangan sedimen pasca pembangunan Bendungan Aswan turut mempersempit lahan warga untuk bertani dan bekerja.

Hal yang sama juga terjadi pada wilayah sekitar Bendungan Tiga Ngarai di China yang mengalami pengikisan tanah pada garis pantai terdekatnya.

Terkait masalah ini, Pengamat Bendungan Didiek Djarwadi mengatakan bahwa lokasi suatu penelitian bendungan dan fungsi bendungan dapat memberikan hasil yang berbeda.

“Misalkan di Eropa yang fungsi bendungan biasanya hanya untuk energi listrik, akan beda dengan daerah lain seperti Asia yang bendungannya multifungsi, untuk irigasi, pembangkit listrik, pengendalian banjir, air baku suatu kota atau daerah dan tempat wisata,” ujar Didiek saat dihubungi Kompas.com, Kamis (10/2/2022).

Sedangkan jika melihat kondisi Indonesia dengan dua musim, yakni musim hujan dan kemarau, mengumpulkan air sungai dalam suatu tampungan yang terukur volumenya untuk pemanfaatan secara berkelanjutan menjadi lebih baik dibandingkan dengan tanpa bendungan.

"Apabila air ditampung di suatu bendungan maka air yang terkumpul dalam siklus tahunan dapat memberikan manfaat, seperti air irigasi yang konstan dan pembangkit listrik yang konstan yang tentunya akan didasarkan pada kapasitas air yang handal dalam kurun waktu satu tahun,” pungkas Didiek.

Sumber: kompas.com

 

Selengkapnya
Bendungan: Dampak Tersembunyi pada Lingkungan dan Masyarakat

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Menentukan Lokasi Bendungan: Kriteria Penting untuk Keberhasilan Pembangunan

Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 17 April 2024


JAKARTA, KOMPAS.com – Bendungan adalah bangunan yang berupa urukan tanah, batu dan beton yang dibangun untuk menahan dan menampung air.

Selain itu, bendungan juga dibangun untuk menahan dan menampung limbah tambang atau menampung lumpur, sehingga terbentuk sebuah waduk.

Pengamat Bendungan Didiek Djarwadi mengatakan, bendungan bermanfaat untuk memenuhi ketersediaan air untuk kehidupan sehari.

“Apabila air tidak dibendung, pemanfaatannya kurang optimal. Di Indonesia dengan dua musim, apabila air ditampung di suatu bendungan maka air yang terkumpul dalam siklus tahunan dapat memberikan manfaat,” jelas Didiek saat dihubungi Kompas.com, Kamis (10/2/2022).

Adapun untuk membangun sebuah bendungan, penentuan lokasi harus dipertimbangkan secara matang agar tidak memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan bisa memberikan manfaat berkelanjutan.

Terkait hal ini, Didiek menyebutkan terdapat beberapa kriteria lokasi dalam membangun bendungan.

Pertama, bendungan harus terletak pada sungai yang mempunyai tebing di bagian kiri dan kanan untuk sandaran bendungan.

Kedua, lokasi bendungan memiliki daerah tampungan di hulu yang cukup besar atau sesuai dengan rencana tampungan andalan.

Ketiga, lokasi bendungan mempunyai kondisi geologi yang baik dan tidak terletak pada sesar aktif sebagai sumber gempa yang membahayakan konstruksi.

Keempat, lokasi bendungan disarankan dekat dengan sumber bahan bendungan, berupa tanah, pasir dan batuan dengan volume yang mencukupi untuk membuat bendungan.

Lalu, apa dampak jika bendungan tidak dibangun pada lokasi yang sesuai dengan kriteria?

Didiek kembali menjelaskan, ada banyak dampak besar yang ditimbulkan jika bendungan tidak dibangun sesuai dengan kriteria lokasi yang tepat.

Misalnya, bendungan yang dibangun pada kondisi geologi dengan batuan yang rapuh, akan berpotensi mengalami kebocoran pada pondasi. Ini akan memakan biaya yang lebih mahal perihal perbaikan.

Selain itu, lokasi bendungan yang tidak tepat terlebih terletak pada sesar aktif sebagai sumber gempa akan mampu merusak bendungan.

Hal ini seperti yang terjadi pada Bendungan Shih-Kang di Taiwan yang rusak akibat gempa Chicihi tahun 1999 dan tidak lagi dapat digunakan.

Kendati demikian, terdapat perhitungan biaya pembuatan dan pemeliharaan dengan besar manfaat yang bisa diperoleh sebagai acuan suatu bendungan dapat dibangun atau tidak.

“Kalau hitung-hitungannya, selama umur layan bendungan masih memberikan keuntungan, maka meskipun bendungan terletak di lokasi yang kurang ideal, tetap bisa dilaksanakan,” pungkas Didiek.

Sumber: kompas.com

Selengkapnya
Menentukan Lokasi Bendungan: Kriteria Penting untuk Keberhasilan Pembangunan

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Mengungkap Progres Bendungan Meninting Lombok Barat: Investasi Rp 1,3 Triliun untuk Kesejahteraan dan Wisata

Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 17 April 2024


JAKARTA, KOMPAS.com – Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) membangun Bendungan Meninting di Kabupaten Lombok Barat, Provinsi Nusa Tenggara Barat.

Merupakan bagian dari Proyek Strategis Nasional (PSN), Bendungan Meninting habiskan anggaran senilai Rp 1,3 triliun.

Kepala Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I Kementerian PUPR Hendra Ahyadi mengatakan, bendungan ini berkapasitas daya tampung 12 juta meter kubik.

Adapun pengerjaan dilakukan dalam 2 paket. Paket pertama menghabiskan dana sebesar Rp 875,25 miliar dan paket kedua senilai Rp 481,33 miliar.

Paket pertama dimulai dengan pembangunan jalan masuk, bendungan utama dan pekerjaan pendukung lain yang digarap oleh kontraktor PT Hutama Karya-PT Bahagia Bangunnusa, KSO.

Sedangkan paket kedua yang meliputi pekerjaan jalan relokasi, bangunan pengelak, bangunan pelimpah dan bangunan fasilitas dikerjakan oleh PT Nindya Karya-PT Sac Nusantara, KSO.

Proyek bendungan yang telah dimulai sejak tahun 2019 tersebut dilaporkan telah mencapai 23,14 persen penyelesaian per November 2021.

“Berdasarkan data hingga November 2021, progres keseluruhan pembangunan Bendungan Meninting sebesar 23,14 persen dengan target rampung tahun 2023," jelas Hendra.

Terkait hal ini, Menteri PUPR Basuki Hadimuljono mengatakan bahwa kunci pembangunan di wilayah NTB adalah mengenai ketersediaan air.

Menurut Basuki, jika ketersediaan air dapat berlangsung terus menerus melalui pengadaan bendungan, petani bisa bercocok tanam menjadi 2-3 kali tanam dalam setahun.

Adapun manfaat lainnya adalah Bendungan Meninting berpotensi mengairi daerah irigasi seluas 1.559,29 hektar serta memenuhi kebutuhan air baku Kabupaten Lombok Barat khususnya di daerah Senggigi dan sebagian Lombok Utara sebesar 150 liter per detik.

Selain itu, bendungan ini dikatakan mampu memberikan energi listrik sebesar 2 x 0,4 MW dan menjadi destinasi wisata baru yang dapat meningkatkan perekonomian masyarakat sekitar.

Fasilitas ini juga disebut mampu mendukung suplesi air ke daerah lain, terutama ke daerah Lombok Selatan yang memiliki potensi lahan untuk areal pertanian lebih besar.

Tambahan tampungan air bendungan nantinya akan turut membantu Pemerintah Daerah dalam melakukan mitigasi kekeringan di Pulau Lombok.

Untuk diketahui, Bendungan Meninting adalah salah satu dari enam bendungan yang akan hadir di NTB.

Tiga bendungan yang sudah selesai pengerjaannya adalah Bendungan Tanju, Bendungan Mila dan Bendungan Bintang Bano.

Sedangkan Bendungan Sila, Bendungan Tiu Suntuk adalah dua bendungan lain yang masih dalam tahap pembangunan.

Sumber: kompas.com

 

Selengkapnya
Mengungkap Progres Bendungan Meninting Lombok Barat: Investasi Rp 1,3 Triliun untuk Kesejahteraan dan Wisata

Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat

Drama Kelam Wadas: Protes Warga dan Kenangan Pahit dari Waduk Kedung Ombo

Dipublikasikan oleh Dimas Dani Zaini pada 17 April 2024


Warga Desa Wadasi di Kecamatan Beneri, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah menolak menambang batu andesit untuk pembangunan Bendungan Beneri. Mereka mengalami kekerasan dari aparat keamanan yang datang mengamankan tambang. Warga merasa pemerintah tidak menghargai hak mereka sebagai pemilik tanah.

Kasus ini mengingatkan kita pada proyek Waduk Kedugi Ombo yang menimbulkan konflik antara masyarakat dan negara antara tahun 1984 hingga 1991. Dibangun untuk pengendalian banjir, irigasi, dan pembangkit listrik, waduk tersebut menenggelamkan 37 desa di tiga kabupaten, yakni Boyolali, Grobogan, dan Sragen. . Ribuan warga kehilangan rumah dan tanahnya tanpa kompensasi yang adil.

Warga Purworejo berharap pemerintah tidak mengulangi kesalahan yang sama dan menghentikan penambangan batu andesit untuk Bendungan Beneri. Mereka juga meminta aparat keamanan tidak menggunakan kekerasan terhadap warga penentang penambangan.

Warga terdampak proyek Waduk Kedugi Ombo merasa diperlakukan tidak adil oleh pemerintah dalam hal ganti rugi lahan. Mereka mengaku hanya mendapat Rs 700-400 per meter persegi pekarangan, sawah, dan ladang padahal harga pasarnya jauh lebih tinggi. Bahkan, Menteri Dalam Negeri saat itu Soeparjo Rustam menyebut ganti rugi yang harus dibayarkan sebesar Rp3.000 per meter persegi.

Warga yang sebagian besar berprofesi sebagai petani menolak menyerahkan tanahnya kepada negara. Mereka memandang tanahnya sebagai sumber penghidupan dan warisan leluhur yang tidak bisa digantikan oleh uang. Mereka juga menuntut pemerintah menghormati hak-hak mereka sebagai warga negara.

Warga di wilayah proyek Waduk Kedung Ombo mengalami tekanan dan intimidasi dari pemerintah dan aparat keamanan. Mereka dituding sebagai anggota Partai Komunis Indonesia (PKI) dan mantan tahanan politik, padahal mereka hanya menuntut haknya sebagai pemilik tanah. Beberapa warga bahkan lari ke hutan karena takut ditangkap atau dibunuh.

Warga yang mengadu ke Dana Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) mengaku terus menerus dipanggil dan dimintai keterangan oleh aparat kecamatan dan Koramil. Mereka merasa tidak punya pilihan selain menyerah dan pindah dari negaranya. Mereka meminta pemerintah menghentikan kekerasan dan menghormati hak asasi manusia.


Sumber: kompas.com

Selengkapnya
Drama Kelam Wadas: Protes Warga dan Kenangan Pahit dari Waduk Kedung Ombo
« First Previous page 39 of 52 Next Last »