Manajemen Risiko

Mengurai Akar Risiko Keterlambatan Proyek Konstruksi pada Proyek The Himana Condotel

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Dalam dunia konstruksi yang semakin dinamis dan penuh tekanan waktu, keterlambatan proyek bukan lagi sekadar isu teknis, tetapi dapat berdampak sistemik terhadap biaya, kepuasan klien, bahkan reputasi perusahaan. Artikel ilmiah berjudul “Analisis Faktor Risiko terhadap Keterlambatan Proyek Konstruksi The Himana Condotel” karya Ni Made Sintya Rani dan Ni Kadek Sri Ebtha Yuni memberikan gambaran konkret mengenai bagaimana berbagai elemen risiko dapat menggagalkan rencana proyek secara keseluruhan, khususnya melalui studi kasus pembangunan The Himana Condotel di Badung, Bali.

Konteks dan Urgensi Penelitian

Proyek The Himana Condotel diinisiasi dengan durasi target 18 bulan, namun kenyataan di lapangan menunjukkan penyimpangan dari jadwal akibat berbagai kendala. Dalam konteks pembangunan gedung yang pesat di Kabupaten Badung, proyek ini menjadi studi kasus yang sangat relevan untuk memahami mengapa keterlambatan bisa terjadi dan bagaimana cara menanganinya. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif deskriptif dengan instrumen berupa kuesioner dan wawancara kepada para pelaku inti proyek seperti project manager, site manager, hingga quality control.

Lima Pilar Risiko Keterlambatan

Hasil analisis dari penelitian ini berhasil mengidentifikasi lima variabel utama yang menyumbang terhadap keterlambatan proyek, yakni aspek perencanaan, dokumen pekerjaan dan kontrak, pelaksanaan, sumber daya, serta lingkungan. Kelima aspek ini dirinci menjadi 48 uraian risiko, di mana 17 di antaranya diklasifikasikan sebagai risiko tinggi.

Pada aspek perencanaan, misalnya, ketidaktepatan dalam menentukan durasi kerja dan kurangnya rincian jadwal menjadi penyebab awal yang berdampak domino. Sedangkan dari sisi dokumen dan kontrak, ketidakjelasan dalam gambar kerja dan seringnya terjadi perubahan desain selama pelaksanaan proyek membuat proses menjadi tidak efisien. Pelaksanaan di lapangan juga tak lepas dari masalah, termasuk perbedaan antara volume pekerjaan aktual dengan yang direncanakan, hingga kelalaian terhadap standar keselamatan kerja.

Salah satu faktor yang paling mencolok adalah kurangnya ketersediaan tenaga kerja terampil dan alat yang memadai. Dalam aspek sumber daya, keterlambatan pembayaran termin oleh pemilik proyek dan ketidaksesuaian bahan yang tersedia dengan kebutuhan lapangan menjadi pemicu utama hambatan eksekusi. Lingkungan pun tak bisa diabaikan, termasuk gangguan karena bencana alam, kerusuhan, atau kegiatan adat yang tidak terjadwal.

Statistik dan Pemeringkatan Risiko

Penelitian ini menggunakan skala pengukuran frekuensi dan konsekuensi risiko berbasis model AS/NZS 4360:2004. Hasilnya menunjukkan bahwa sebagian besar risiko tergolong sebagai “high risk” (36%) dan “extreme risk” (25%). Misalnya, 44% responden menilai konsekuensi risiko proyek berada dalam kategori tinggi, walaupun frekuensi kejadiannya cenderung jarang (40%). Ini berarti walau risiko tertentu jarang terjadi, dampaknya dapat sangat besar jika tidak ditangani dengan tepat.

Modus frekuensi risiko teridentifikasi pada skala “sangat jarang” (40%), tetapi yang mengejutkan adalah bahwa konsekuensi yang timbul justru dominan di kategori “tinggi” (44%). Hal ini menyiratkan perlunya perhatian manajemen terhadap kejadian yang mungkin jarang muncul namun berdampak besar.

Studi Kasus Lapangan dan Realitas Proyek

Di lapangan, keterlambatan paling krusial teridentifikasi pada sejumlah titik vital, seperti penundaan dalam persetujuan gambar kerja oleh pemilik proyek, adanya pekerjaan tambahan yang tidak direncanakan sebelumnya, dan tidak sinkronnya volume pekerjaan aktual dengan perhitungan awal. Selain itu, kualitas manajerial yang buruk dari personel proyek, kekurangan tenaga kerja, serta alat yang tidak sesuai spesifikasi menjadi penopang utama keterlambatan.

Dalam satu contoh konkret, terjadi mismatch antara jumlah pekerja yang dibutuhkan dan yang tersedia. Upaya menyiasatinya adalah dengan lembur atau penambahan pekerja secara mendadak, yang berdampak pada peningkatan biaya dan potensi penurunan produktivitas.

Strategi Mitigasi: Solusi yang Ditawarkan

Setelah mengidentifikasi risiko dominan, penelitian ini mengajukan berbagai strategi mitigasi yang aplikatif. Salah satunya adalah memperjelas alokasi waktu setiap pekerjaan dan menyusun jadwal kerja yang lebih realistis. Untuk mengatasi risiko pada aspek dokumen dan kontrak, disarankan adanya SOP pengajuan dan revisi gambar yang lebih ketat serta penyusunan ulang BQ saat terjadi perubahan desain.

Dalam aspek pelaksanaan, penting dilakukan evaluasi berkala terhadap BQ dan spesifikasi teknis serta briefing keselamatan kerja harian kepada tenaga proyek. Masalah sumber daya disiasati dengan penggantian pekerja yang tidak kompeten, evaluasi metode pengadaan bahan, dan penggantian alat dengan teknologi yang lebih memadai.

Strategi mitigasi lingkungan seperti menyusun ulang jadwal saat terjadi bencana, melakukan koordinasi intensif dengan pihak keamanan saat ada potensi kerusuhan, serta menyiasati hari libur adat dengan penambahan tenaga kerja juga menjadi bagian integral dari pendekatan holistik yang ditawarkan.

Kekuatan dan Keterbatasan Penelitian

Kekuatan utama dari penelitian ini terletak pada pendekatan sistematis dan data lapangan yang kaya. Dengan melibatkan tujuh responden kunci yang berpengalaman lebih dari 10 tahun, penelitian ini menjamin kredibilitas data yang diperoleh. Selain itu, pemanfaatan skala penilaian berbasis standar internasional membuat hasilnya memiliki daya banding yang baik dengan proyek-proyek lainnya.

Namun demikian, penelitian ini masih terbatas pada satu proyek saja, yaitu The Himana Condotel, sehingga generalisasi ke proyek lain di lokasi dan skala berbeda memerlukan studi lanjutan. Selain itu, mitigasi yang diajukan cenderung normatif dan belum diuji efektivitasnya secara longitudinal.

Relevansi dengan Tren Industri

Dalam konteks industri konstruksi saat ini, di mana proyek harus diselesaikan cepat, efisien, dan dengan kualitas tinggi, temuan dari penelitian ini sangat relevan. Penekanan terhadap koordinasi lintas tim, kejelasan dokumen kerja, dan pentingnya tenaga kerja profesional sejalan dengan praktik manajemen proyek berbasis lean construction dan agile project delivery.

Tren digitalisasi seperti penggunaan BIM (Building Information Modeling) dan project scheduling software juga bisa menjadi jawaban terhadap permasalahan teknis seperti ketidaksesuaian spesifikasi dan volume pekerjaan yang kerap terjadi. Artikel ini bisa menjadi batu loncatan bagi pelaku industri untuk mengintegrasikan pendekatan konvensional dengan teknologi mutakhir.

Kesimpulan: Menjawab Tantangan Melalui Manajemen Risiko Proaktif

Resensi ini menunjukkan bahwa manajemen risiko bukan hanya alat bantu tambahan dalam proyek konstruksi, melainkan pondasi untuk keberhasilan proyek secara keseluruhan. Penelitian yang dilakukan oleh Ni Made Sintya Rani dan Ni Kadek Sri Ebtha Yuni membuktikan bahwa identifikasi dan mitigasi risiko yang tepat mampu mengurangi dampak keterlambatan secara signifikan.

Dengan pendekatan kuantitatif yang sistematis dan disertai data lapangan aktual, artikel ini tidak hanya menawarkan analisis tetapi juga solusi nyata. Bagi pelaku industri, akademisi, maupun mahasiswa teknik sipil, temuan ini dapat menjadi referensi penting dalam memahami bahwa suksesnya proyek bukan semata pada rancang bangun fisik, tetapi juga pada kemampuan mengelola ketidakpastian.

Sumber asli artikel:
Ni Made Sintya Rani dan Ni Kadek Sri Ebtha Yuni. (2021). Analisis Faktor Risiko terhadap Keterlambatan Proyek Konstruksi The Himana Condotel. PADURAKSA: Volume 10 Nomor 1, Juni 2021. P-ISSN: 2303-2693 | E-ISSN: 2581-2939.

 

Selengkapnya
Mengurai Akar Risiko Keterlambatan Proyek Konstruksi pada Proyek The Himana Condotel

Manajemen Risiko

Mengelola Risiko dalam Proyek Konstruksi Kecil: Menembus Batas Teori ke Praktik Lapangan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Industri konstruksi sering kali dikaitkan dengan proyek-proyek raksasa bernilai miliaran dolar, namun fakta menarik terungkap dalam penelitian Kajsa Simu sebagian besar proyek konstruksi di Swedia justru termasuk dalam kategori proyek kecil. Data dari 2003 menunjukkan bahwa 83% dari semua proyek konstruksi di Swedia bernilai di bawah 15 juta SEK (sekitar €1,65 juta). Ini bukan hanya angka statistik setiap kegagalan kecil dalam proyek-proyek kecil ini, jika dikumulasi, dapat menghasilkan kerugian besar secara nasional.

Namun ironisnya, sebagian besar sistem manajemen risiko yang diterapkan di industri dirancang untuk proyek-proyek besar. Paper ini hadir untuk menjawab ketimpangan tersebut dan membuka tabir bagaimana risiko sebenarnya dikelola (atau tidak dikelola) di proyek-proyek kecil.

Tujuan dan Metodologi Penelitian

Studi ini bertujuan mengeksplorasi:

  • Alat dan metode manajemen risiko dalam proyek konstruksi kecil.
  • Bagaimana metode tersebut diaplikasikan di lapangan.
  • Perbandingan antara kerangka teoretis manajemen risiko dengan praktik aktual di perusahaan konstruksi.
  • Hambatan dan pendorong penerapan manajemen risiko.

Untuk menjawab pertanyaan tersebut, Simu melakukan studi kualitatif mendalam melalui 28 wawancara yang mencakup 10 proyek dari 7 perusahaan konstruksi di berbagai wilayah Swedia. Wawancara melibatkan tiga peran utama dalam proyek: site manager, project manager kontraktor, dan project manager klien. Pendekatan triangulasi juga dilakukan melalui studi dokumen dan literatur.

Temuan Utama: Kesenjangan Antara Teori dan Praktik

1. Minimnya Sistematisasi Manajemen Risiko

Meski sebagian besar perusahaan mengklaim menerapkan sistem manajemen risiko, kenyataannya di lapangan sistem tersebut jarang digunakan secara sistematis. Mayoritas proyek mengandalkan pengalaman pribadi dan intuisi daripada prosedur formal.

2. Rendahnya Pendidikan dan Pelatihan Terkait Risiko

Sebagian besar individu kunci di proyek mengaku tidak pernah menerima pelatihan formal terkait manajemen risiko. Hal ini menyebabkan pendekatan terhadap risiko cenderung reaktif ketimbang proaktif.

3. Dominasi Alat Sederhana: Checklist

Dari seluruh alat manajemen risiko yang tersedia, checklist menjadi yang paling umum digunakan. Namun, checklist ini digunakan lebih sebagai formalitas administratif ketimbang sebagai alat strategis untuk identifikasi dan mitigasi risiko.

4. Sistem Manajemen = Hambatan, Bukan Solusi

Ironisnya, sistem manajemen proyek (misalnya ISO 9000 atau sistem mutu internal perusahaan) justru dipandang sebagai beban birokrasi daripada alat bantu. Banyak responden menyatakan frustrasi terhadap prosedur yang dianggap "berlebihan" dan tidak sesuai dengan konteks proyek kecil.

5. Tingginya Ketergantungan pada Individu

Karena lemahnya sistem dan minimnya pelatihan, keberhasilan manajemen risiko sangat bergantung pada kemampuan personal site manager. Keputusan dan penilaian individu lebih berpengaruh daripada sistem formal.

Analisis Studi Kasus: 10 Proyek dengan Karakteristik Serupa

Proyek-proyek yang diteliti bervariasi dari pekerjaan tanah, perbaikan jaringan pemanas, hingga renovasi bangunan perkantoran. Namun semuanya memiliki nilai kontrak antara 1–15 MSEK dan jangka waktu pelaksanaan di bawah 12 bulan.

Beberapa contoh menonjol:

  • Proyek 1: Renovasi apartemen dengan nilai 12 MSEK. Meski site manager sudah memiliki pengalaman mengerjakan proyek serupa sebelumnya, tidak ada prosedur manajemen risiko formal yang diterapkan. Checklist digunakan hanya pada awal proyek dan tidak diperbarui selama eksekusi.
  • Proyek 6: Pekerjaan tanah untuk pembangunan perumahan. Meski risiko teknis cukup tinggi karena pekerjaan di area lembab, tidak dilakukan risk assessment mendalam. Sebagian besar keputusan diambil secara ad-hoc oleh site manager.
  • Proyek 9 & 10: Perbaikan jalan dan kanal. Risiko kerja di sekitar air dan lalu lintas tinggi tidak dimitigasi melalui rencana tertulis. Keamanan bergantung pada kebiasaan kerja dan insting.

Statistik Menarik dari Studi:

  • Hanya 2 dari 10 proyek yang menggunakan dokumen formal analisis risiko.
  • 100% site manager mengandalkan pengalaman pribadi sebagai alat utama mengelola risiko.
  • 70% responden menyatakan sistem manajemen mutu perusahaan “tidak membantu” di proyek kecil.
  • Lebih dari 50% menyebutkan kurangnya waktu sebagai alasan utama tidak mengikuti prosedur formal.

Kritik Terhadap Sistem yang Berlaku

Studi ini menyoroti ironi besar: sistem manajemen risiko yang dirancang untuk proyek besar justru diterapkan pula pada proyek kecil tanpa adaptasi. Hasilnya adalah sistem yang terasa kaku, tidak efisien, dan tidak memberikan nilai tambah nyata.

Sistem yang terlalu birokratis hanya cocok untuk proyek besar dengan struktur organisasi luas. Pada proyek kecil, di mana satu orang sering menangani dua proyek sekaligus, sistem yang sama menjadi beban administratif.

Peluang Perbaikan dan Rekomendasi

  1. Pengembangan Sistem Fleksibel untuk Proyek Kecil

Sistem manajemen risiko harus disesuaikan untuk proyek-proyek bernilai <15 MSEK. Misalnya, pendekatan berbasis matriks risiko sederhana dan aplikasi mobile bisa menggantikan dokumen checklist panjang.

  1. Fokus pada Pelatihan Praktis

Alih-alih pelatihan teoritis panjang, dibutuhkan pelatihan singkat dan aplikatif yang relevan langsung ke jenis proyek yang dikerjakan, misalnya pelatihan “1 jam” sebelum proyek dimulai.

  1. Integrasi dengan Budaya Organisasi

Manajemen risiko harus menjadi bagian dari budaya kerja sehari-hari. Mengembangkan “kebiasaan bertanya” (contoh: “Apa yang bisa salah hari ini?”) lebih efektif daripada mengisi dokumen panjang.

  1. Pemanfaatan Teknologi Sederhana

Aplikasi digital ringan berbasis cloud (seperti Trello, Notion, atau bahkan WhatsApp grup proyek) bisa digunakan untuk mencatat, memperbarui, dan berbagi risiko secara real time tanpa hambatan administratif.

Perbandingan dengan Studi Sebelumnya

Kajsa Simu menyandingkan temuannya dengan studi dari Akintoye & MacLeod (1997), Flanagan & Norman (1993), dan Lyons & Skitmore (2004). Hasilnya konsisten: pada praktiknya, penggunaan sistem risiko di proyek konstruksi sering terbatas pada identifikasi awal dan jarang dilanjutkan ke tahap mitigasi dan pemantauan. Risiko diidentifikasi melalui brainstorming dan pengalaman individu, bukan analisis formal.

Namun, pendekatan yang lebih sistematis di proyek besar ternyata juga tidak selalu berhasil. Kajsa menyimpulkan bahwa terlepas dari ukuran proyek, faktor manusia (risk attitude dan risk culture) tetap menjadi kunci sukses manajemen risiko.

Kesimpulan: Membuka Mata Industri

Paper ini memberikan pencerahan penting: bahwa pendekatan manajemen risiko perlu dirombak secara radikal untuk proyek-proyek kecil. Fokus harus berpindah dari dokumen ke dialog, dari sistem ke individu, dari formalitas ke fungsionalitas.

Studi ini menyarankan arah baru riset dan kebijakan: fokus pada sikap individu terhadap risiko, pengembangan budaya risiko yang sehat, dan penerapan sistem ringan yang intuitif dan kontekstual.

Dengan demikian, jika ingin meningkatkan efisiensi sektor konstruksi secara keseluruhan, kita tidak bisa terus mengabaikan proyek-proyek kecil yang justru merupakan tulang punggung industri.

Sumber asli artikel:
Simu, Kajsa. Risk Management in Small Construction Projects. Licentiate Thesis. Luleå University of Technology, Department of Civil and Environmental Engineering, Division of Architecture and Infrastructure, 2006.

 

Selengkapnya
Mengelola Risiko dalam Proyek Konstruksi Kecil: Menembus Batas Teori ke Praktik Lapangan

Manajemen Risiko

Optimalisasi Manajemen Risiko Melalui Pemilihan Opsi Pengadaan dalam Proyek Konstruksi di Swedia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Dalam dunia konstruksi yang semakin kompleks, manajemen risiko telah menjadi fondasi penting dalam memastikan keberhasilan proyek dari segi biaya, waktu, dan kualitas. Paper berjudul “Risk Management in Construction Projects: A Comparative Study of the Different Procurement Options in Sweden” karya Ekaterina Osipova (Luleå University of Technology, 2008) secara sistematis membedah keterkaitan antara metode pengadaan (procurement) dan efektivitas manajemen risiko dalam proyek konstruksi di Swedia.

Melalui pendekatan studi kasus terhadap sembilan proyek nyata dan kombinasi metode kuantitatif (kuesioner) dan kualitatif (wawancara), paper ini tidak hanya mengisi celah pengetahuan mengenai peran kolektif klien, kontraktor, dan konsultan dalam manajemen risiko, tetapi juga memberikan insight strategis untuk industri konstruksi global yang relevan dengan era kolaboratif dan digital saat ini.

H2: Kerangka Teoritis: Risiko, Ketidakpastian, dan Model Kontrak

H3: Tiga Bentuk Pengadaan: DBB, DB, dan Partnering

  1. Design-Bid-Build (DBB)
    Kontrak tradisional di mana klien memisahkan peran perancang dan pelaksana. Paper menunjukkan bahwa DBB cenderung tidak memfasilitasi diskusi terbuka tentang risiko proyek, dan manajemen risiko menjadi kurang terintegrasi antar aktor.
  2. Design-Build (DB)
    Kontrak yang menggabungkan desain dan konstruksi di bawah satu kontraktor. Pendekatan ini memungkinkan keterlibatan lebih awal dari kontraktor dalam manajemen risiko, yang meningkatkan sinergi desain dan eksekusi.
  3. Partnering
    Pendekatan kolaboratif non-kontraktual di Swedia, mirip dengan “relational contracting.” Partnering mendorong kerja tim dan komunikasi terbuka, menciptakan lingkungan yang lebih kondusif untuk manajemen risiko kolektif.

H2: Studi Kasus: 9 Proyek Konstruksi di Swedia

Gambaran Umum Proyek

Penelitian ini menganalisis sembilan proyek konstruksi dengan nilai kontrak antara 5 hingga 95 juta SEK (sekitar €500.000 hingga €9 juta), terdiri dari bangunan publik dan infrastruktur, tersebar di Norrbotten dan Stockholm.

Studi Kasus Menarik

  • Proyek 1 (Design-Build, 41.1 MSEK):
    Proyek pembangunan gedung pertemuan di universitas dengan waktu pelaksanaan 15 bulan. Terjadi risiko tak terduga yang menambah biaya secara moderat (43.5 MSEK final). Klien menganggap proyek sukses secara biaya, sementara kontraktor menilai proyek kurang menguntungkan.
  • Proyek 4 (Design-Bid-Build, 19.7 MSEK):
    Proyek pembangunan jalan dengan deviasi biaya akhir mencapai 24.5 MSEK. Baik risiko yang teridentifikasi maupun tidak terduga memberikan dampak besar pada anggaran kontraktor.
  • Proyek 9 (DBB + Partnering, 15 MSEK):
    Merupakan satu-satunya proyek dengan pendekatan partnering. Meski menghadapi risiko, kolaborasi intens antara klien dan kontraktor berhasil menekan biaya akhir. Partnering terbukti mendukung manajemen risiko proaktif.

H2: Temuan Kunci: Kapan dan Siapa yang Mengelola Risiko?

H3: Fase Manajemen Risiko yang Sering Terlewat

  • Fase program (perencanaan awal) adalah fase paling kritis namun paling jarang difokuskan. Justru di fase ini, potensi mitigasi risiko terbesar bisa dicapai.
  • Fase produksi (konstruksi) cenderung menjadi pusat perhatian risiko, meskipun banyak risiko sudah dapat dicegah lebih awal.

H3: Peran Aktor Proyek

  • Klien: Memiliki pengaruh dominan dalam fase awal dan pengambilan keputusan risiko makro.
  • Kontraktor: Lebih aktif dalam fase produksi, namun partisipasi mereka pada fase awal (dalam DB dan partnering) meningkatkan efektivitas risiko.
  • Konsultan: Sayangnya, dalam banyak kasus, peran mereka dalam manajemen risiko cenderung terbatas, terutama dalam pendekatan DBB.

H2: Analisis Kritis: Hambatan & Pendorong Efektivitas Manajemen Risiko

H3: Hambatan Utama

  • Kurangnya iterasi proses risiko – Risiko tidak dikelola secara berkelanjutan.
  • Komunikasi antar aktor yang buruk – Informasi risiko tidak mengalir efektif.
  • Kontrak kaku dan budaya penghindaran risiko – Aktor cenderung melempar risiko ke pihak lain.

H3: Pendorong Keberhasilan

  • Keterlibatan semua pihak sejak awal
  • Komunikasi terbuka dan saling percaya
  • Dokumentasi risiko dan transparansi berbasis pengalaman

H2: Implikasi Industri: Mengapa Temuan Ini Relevan untuk Proyek Global?

Meskipun konteksnya adalah Swedia, temuan Osipova sangat aplikatif di konteks global, khususnya:

  • Untuk proyek publik: Pentingnya pengadaan yang transparan dan kolaboratif.
  • Untuk proyek besar dengan banyak pemangku kepentingan: Partnering dapat menghindari silo dan konflik.
  • Untuk pasar negara berkembang: Mengadopsi pendekatan DB atau partnering dapat membantu menghindari kegagalan proyek yang diakibatkan oleh desain buruk dan komunikasi lemah.

H2: Rekomendasi Strategis bagi Praktisi Konstruksi

  1. Gunakan model manajemen risiko yang berulang dan terdokumentasi – Tidak cukup hanya mengidentifikasi risiko di awal proyek.
  2. Libatkan kontraktor sejak fase desain – Memberikan mereka insentif untuk mendeteksi risiko lebih dini.
  3. Dorong pendekatan partnering – Khususnya untuk proyek kompleks dan bernilai tinggi.
  4. Tingkatkan pelatihan dan kesadaran risiko lintas fungsi – Bukan hanya manajer proyek, tapi seluruh tim.

H2: Perbandingan dengan Literatur Lain

Paper ini memperkuat temuan dari Chapman & Ward (2003) bahwa proses manajemen risiko harus bersifat proaktif dan kolaboratif. Namun, keunggulan Osipova adalah pendekatan empiris langsung pada proyek nyata dan keterlibatan lintas aktor, sesuatu yang jarang ditemukan dalam studi manajemen risiko sebelumnya.

H2: Kesimpulan: Manajemen Risiko Bukan Tambahan, Tapi Inti dari Strategi Proyek

Ekaterina Osipova memberikan kontribusi besar pada pemahaman hubungan antara metode pengadaan dan efektivitas manajemen risiko. Penelitiannya menyiratkan bahwa manajemen risiko yang sukses tidak tergantung pada metode kontrak semata, tetapi pada kualitas hubungan antar aktor, keterlibatan sejak dini, dan pola pikir kolaboratif.

Dalam era proyek-proyek infrastruktur besar seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) atau smart city global, integrasi antara kontrak, komunikasi, dan manajemen risiko harus menjadi prioritas utama.

Sumber Asli

Osipova, Ekaterina. Risk Management in Construction Projects: A Comparative Study of the Different Procurement Options in Sweden. Luleå University of Technology, 2008.

Selengkapnya
Optimalisasi Manajemen Risiko Melalui Pemilihan Opsi Pengadaan dalam Proyek Konstruksi di Swedia

Manajemen Risiko

Strategi Mitigasi Risiko dalam Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah – Studi Kasus Kabupaten Minahasa Selatan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 03 Juni 2025


Pengadaan jasa konstruksi di sektor publik sering kali menjadi medan kompleks yang penuh dengan tantangan teknis, regulatif, dan administratif. Artikel ilmiah berjudul "Analisis Risiko dan Mitigasi Terhadap Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Ditinjau dari Sisi Pengadaan pada Pengguna Jasa di Kabupaten Minahasa Selatan" karya Donny A.D. Mamesah, Cindy J. Supit, dan Steeva G. Rondonuwu membuka wawasan tentang bagaimana pengelolaan risiko yang terstruktur mampu menyelamatkan proyek dari pemborosan biaya, keterlambatan, hingga kegagalan bangunan. Dengan pendekatan House of Risk (HOR), riset ini mengidentifikasi risiko-risiko utama dan menyusun prioritas mitigasi secara strategis yang sangat relevan bagi pemerintah daerah dan pelaku konstruksi nasional.

Konteks dan Relevansi Penelitian

Pengadaan jasa konstruksi merupakan salah satu proses krusial dalam pembangunan infrastruktur pemerintah. Di Kabupaten Minahasa Selatan, seperti halnya banyak daerah lain di Indonesia, proses ini tak lepas dari dinamika risiko yang dapat menimbulkan konsekuensi serius, baik berupa keterlambatan proyek, pembengkakan anggaran, hingga tuntutan hukum dan kerugian reputasional bagi pihak pengguna jasa.

Penelitian ini memusatkan perhatian pada persepsi dan pengalaman dari pihak pengguna jasa (owner) dalam lingkup pemerintahan, mulai dari Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Kelompok Kerja (Pokja) Pemilihan, hingga staf teknis pelaksana pengadaan. Dengan menjadikan House of Risk sebagai kerangka analisis, peneliti menyasar bagaimana risiko-risiko tersebut bisa dikenali, dikategorikan, dan ditangani secara proaktif.

Pendekatan Metodologi dan Fokus Penelitian

Penelitian ini menggunakan pendekatan deskriptif kualitatif dengan metode House of Risk tahap I dan II. Pengumpulan data dilakukan melalui wawancara mendalam, brainstorming bersama para ahli, dan penyebaran kuesioner kepada 30 narasumber yang merupakan bagian aktif dari ekosistem pengadaan di Kabupaten Minahasa Selatan.

Dari hasil validasi awal, peneliti menyaring 29 risk events dan 45 risk agents yang paling berpengaruh dalam siklus pengadaan konstruksi. Analisis HOR Tahap I digunakan untuk menentukan prioritas risiko berdasarkan nilai Aggregate Risk Potential (ARP), sedangkan HOR Tahap II bertujuan menyusun aksi mitigasi strategis berdasarkan efektivitas dan tingkat kesulitan implementasi tindakan pencegahan.

Studi Kasus: Siklus Risiko dalam Proyek Konstruksi

Dalam studi ini, proses pengadaan dipetakan ke dalam enam tahapan penting, yaitu perencanaan pengadaan, persiapan pengadaan, persiapan pemilihan penyedia, pelaksanaan pemilihan, pelaksanaan kontrak, dan serah terima pekerjaan. Setiap tahapan memiliki profil risiko yang khas.

Pada tahap pelaksanaan kontrak, misalnya, ditemukan 11 risk events yang berpotensi besar mengganggu jalannya proyek. Salah satunya adalah “pekerjaan dilaksanakan pada lahan/lokasi yang bermasalah hukum” (kode E16), yang bisa mengakibatkan pembatalan kontrak, sengketa, hingga kerugian finansial bagi pemerintah.

Dalam proses HOR Tahap I, risiko paling dominan ditemukan pada risk agent A44, yakni “pengawasan pelaksanaan pekerjaan tidak efektif”, dengan nilai ARP sebesar 1008, mencakup 6,95% dari total akumulasi ARP. Ini menunjukkan bahwa lemahnya sistem pengawasan berdampak besar terhadap mutu, waktu, dan biaya proyek konstruksi.

Selain itu, risk agent lain seperti ketidaktepatan revisi spesifikasi teknis (A12), penyedia yang tidak berkompeten (A39), dan tidak dilakukannya penilaian kinerja penyedia oleh PPK (A26) juga menempati posisi atas dalam daftar risiko yang harus dimitigasi.

Analisis Strategi Mitigasi: Dari SOP hingga Sanksi Tegas

Melalui HOR Tahap II, penelitian ini mengusulkan 21 tindakan mitigasi yang diprioritaskan berdasarkan efektivitas (TEK) dan tingkat kesulitan implementasi (DK). Aksi mitigasi yang dinilai paling strategis adalah pembuatan Standard Operating Procedure (SOP) untuk pengawasan pekerjaan dan pemberlakuan sanksi kepada penyedia jasa (PA13).

Langkah ini sejalan dengan praktik manajemen risiko modern yang menekankan pentingnya tata kelola (governance), akuntabilitas, dan transparansi. Tanpa pengawasan yang ketat dan panduan prosedural yang jelas, risiko-risiko teknis dan administratif dalam pengadaan jasa konstruksi sangat mudah tereskalasi.

Mitigasi lain yang masuk prioritas tinggi meliputi review berjenjang atas dokumen spesifikasi teknis (PA11), evaluasi ulang Harga Perkiraan Sendiri (HPS) sebelum proses pemilihan (PA24), serta pelibatan pihak ketiga (konsultan) dalam proses perencanaan dan pengawasan (PA10). Strategi mitigasi ini bersifat holistik dan menjangkau seluruh siklus pengadaan, dari perencanaan hingga serah terima.

Data Kuantitatif yang Kuat

Penelitian ini sangat menonjol dalam aspek kuantitatif. Dari 74 risk agents awal yang diidentifikasi, disaring menjadi 45 yang signifikan, dengan pemeringkatan berdasarkan ARP. Misalnya, peringkat tertinggi A44 (1008), diikuti A12 (684), A45 (675), dan A36 (648). Prosentase akumulatif dari 21 risiko tertinggi sudah mencakup lebih dari 80% total potensi risiko, menunjukkan tingkat konsentrasi risiko yang signifikan dan perlunya fokus manajemen pada area-area tertentu.

Lebih lanjut, profil responden memperkuat validitas data. Sebagian besar responden (67%) memiliki masa kerja antara 11–15 tahun dan 83% berpendidikan strata satu, yang menandakan tingkat pengalaman dan kapabilitas teknis yang memadai dalam memberikan penilaian risiko.

Kekuatan dan Kelemahan Penelitian

Salah satu kelebihan utama dari artikel ini adalah adopsi metode HOR yang terstruktur dan berbasis data lapangan. Pendekatan ini memungkinkan penilaian risiko dilakukan secara sistematis dan menghasilkan rekomendasi yang dapat langsung diimplementasikan dalam kebijakan pengadaan daerah.

Namun demikian, penelitian ini hanya memotret perspektif dari sisi pengguna jasa (owner) dan belum mencakup pandangan dari penyedia jasa maupun pihak konsultan. Hal ini dapat memunculkan bias dalam identifikasi dan evaluasi risiko, karena tidak mempertimbangkan kompleksitas dinamika dari sisi kontraktor atau penyedia jasa lainnya.

Keterbatasan lain adalah ruang lingkup geografis yang hanya mencakup Kabupaten Minahasa Selatan. Meskipun bermanfaat secara lokal, untuk dapat diadopsi secara nasional, model ini perlu diuji di daerah lain yang memiliki struktur birokrasi dan kapasitas SDM yang berbeda.

Relevansi dengan Tren Industri Konstruksi Indonesia

Di tengah upaya pemerintah Indonesia dalam memperkuat tata kelola pengadaan dan mendorong efisiensi anggaran, artikel ini hadir sebagai referensi yang sangat relevan. Tantangan pengadaan jasa konstruksi tidak hanya bersifat teknis, tetapi juga administratif dan institusional. Apalagi dengan semakin kuatnya pengawasan dari auditor seperti BPK dan aparat penegak hukum, setiap potensi risiko harus dikelola secara aktif sejak awal.

Penggunaan HOR yang masih belum luas diadopsi dalam pengadaan pemerintah membuka peluang baru untuk perbaikan kebijakan. Artikel ini juga mendukung narasi bahwa risiko pengadaan bukan untuk dihindari, melainkan harus dikenali, diukur, dan dimitigasi secara sistematis dan profesional.

Kesimpulan: Pilar Kebijakan Pengadaan Masa Depan

Riset ini menyuguhkan temuan yang bisa dijadikan pilar dalam reformasi kebijakan pengadaan jasa konstruksi, khususnya di pemerintahan daerah. Dengan menyusun prioritas risiko dan tindakan mitigasi yang jelas, pemerintah daerah dapat mengurangi pemborosan anggaran, mempercepat pelaksanaan proyek, dan meningkatkan akuntabilitas publik.

Sebagai langkah lanjutan, pemerintah daerah disarankan untuk menyusun framework pengendalian risiko yang dapat digunakan oleh seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD). Hal ini akan menciptakan konsistensi, standarisasi, dan keberlanjutan dalam pengelolaan pengadaan yang lebih akuntabel dan adaptif terhadap risiko.

Sumber artikel asli:
Donny A. D. Mamesah, Cindy J. Supit, Steeva G. Rondonuwu. 2022. Analisis Risiko dan Mitigasi Terhadap Penyelenggaraan Jasa Konstruksi Ditinjau Dari Sisi Pengadaan Pada Pengguna Jasa di Kabupaten Minahasa Selatan. Jurnal Ilmiah Media Engineering Vol. 12 No. 1, Maret 2022. ISSN: 2087-9334.

 

 

Selengkapnya
Strategi Mitigasi Risiko dalam Pengadaan Jasa Konstruksi Pemerintah – Studi Kasus Kabupaten Minahasa Selatan

Manajemen Risiko

Strategi Manajemen Risiko dalam Proyek Infrastruktur Skala Besar – Pelajaran dari Tiga Megaproyek Dunia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 02 Juni 2025


Proyek infrastruktur berskala besar seperti bendungan, terowongan, dan kanal bukan hanya menjadi tulang punggung mobilitas dan pertumbuhan ekonomi, tetapi juga menjadi medan uji paling keras bagi pengelolaan risiko strategis. Artikel ilmiah berjudul Risk Management Strategies in Large-Scale Infrastructure Projects karya Adeiza Agbor Lawrence (2024) mengulas secara menyeluruh bagaimana strategi manajemen risiko berperan penting dalam memastikan keberhasilan proyek raksasa yang kerap melibatkan investasi miliaran dolar, rentang waktu pelaksanaan lebih dari satu dekade, dan rentetan kompleksitas sosial, teknis, hingga politik.

Melalui pendekatan komprehensif yang mencakup seluruh siklus proyek dari perencanaan hingga operasi, serta studi kasus mendalam terhadap tiga proyek ikonik—Big Dig di Boston, Bendungan Hoover, dan Ekspansi Terusan Panama—artikel ini menawarkan panduan nyata dan relevan dalam menghadapi tantangan global pembangunan infrastruktur.

Kerangka Manajemen Risiko: Empat Pilar Strategis yang Saling Terhubung

Penulis membangun fondasi teoritisnya di atas empat pilar utama yang umum digunakan dalam standar ISO 31000 dan pendekatan akademik terkemuka: identifikasi, penilaian, mitigasi, dan pemantauan risiko. Setiap pilar ini dijelaskan secara praktis.

Pada tahap identifikasi, pendekatan yang digunakan adalah kombinasi wawancara ahli, telaah historis kegagalan proyek sebelumnya, dan teknik brainstorming. Misalnya, risiko keuangan seperti fluktuasi biaya bahan atau keterlambatan pembiayaan diidentifikasi bersama risiko lingkungan seperti degradasi tanah dan kehilangan keanekaragaman hayati.

Selanjutnya, penilaian risiko dilakukan melalui analisis kualitatif dan kuantitatif, menggunakan tools seperti matriks risiko. Risiko-risiko yang dinilai memiliki dampak tinggi dan probabilitas besar mendapatkan prioritas dalam alokasi sumber daya.

Strategi mitigasi yang disarankan mencakup perencanaan kontinjensi, pengalihan risiko lewat kontrak atau asuransi, hingga penerapan teknologi konstruksi yang adaptif. Sedangkan pemantauan dilakukan secara berkala agar strategi yang sudah ditetapkan tetap relevan terhadap perubahan kondisi proyek.

Integrasi Manajemen Risiko Sepanjang Siklus Proyek

Salah satu keunggulan artikel ini adalah penekanan kuat terhadap pentingnya integrasi manajemen risiko di setiap fase siklus proyek—bukan hanya sebagai tahapan awal semata. Pada fase perencanaan, manajemen risiko membantu memperjelas ruang lingkup proyek dan meminimalkan ambiguitas sejak awal. Di fase desain, risiko teknis dapat diminimalkan dengan investigasi tapak yang lebih menyeluruh dan simulasi berbasis model. Saat konstruksi, risiko meningkat drastis karena keterbatasan waktu, perubahan cuaca, dan faktor eksternal tak terduga. Maka, pemantauan harian dan penyesuaian strategi sangat dibutuhkan.

Di tahap operasi, manajemen risiko lebih menitikberatkan pada keberlanjutan kinerja infrastruktur serta manajemen gangguan yang muncul pasca pelaksanaan, seperti perawatan jembatan atau sistem irigasi yang tidak berjalan maksimal akibat perubahan iklim.

Kategori Risiko: Dari Keuangan hingga Sosial

Penulis mengklasifikasikan risiko ke dalam lima kategori utama: keuangan, lingkungan, regulasi, sosial, dan teknis.

Risiko keuangan seperti cost overrun kerap terjadi karena estimasi awal yang kurang akurat. Flyvbjerg et al. (2003) yang dikutip dalam artikel mencatat bahwa 9 dari 10 megaproyek mengalami pembengkakan anggaran signifikan, dengan rata-rata 28% melebihi anggaran awal.

Dari sisi lingkungan, contoh konkret ditampilkan pada proyek Terusan Panama yang menyebabkan deforestasi lebih dari 150 mil persegi, mengubah lanskap ekologi secara drastis. Sementara itu, laporan UNEP tahun 2022 mengungkap bahwa sektor konstruksi menyumbang hampir 40% emisi CO2 global—fakta yang menegaskan pentingnya pendekatan desain berkelanjutan.

Risiko regulasi meliputi penundaan izin dan perubahan peraturan di tengah jalan. Perubahan undang-undang lingkungan atau keamanan proyek bisa memaksa pelaksana merombak rencana kerja yang sudah disusun berbulan-bulan sebelumnya. Ketidakpatuhan terhadap regulasi bahkan bisa memicu litigasi berkepanjangan dan kerusakan reputasi.

Risiko sosial juga tak kalah penting. Penolakan warga, relokasi paksa, hingga risiko keselamatan kerja menjadi perhatian utama dalam proyek padat karya. Ini tampak jelas dalam proyek Big Dig di Boston yang sempat menghadapi resistensi komunitas lokal karena getaran dan kebisingan yang ditimbulkan selama bertahun-tahun pengerjaan.

Sementara itu, risiko teknis meliputi cacat desain, kesalahan perhitungan material, hingga kegagalan struktur akibat penggunaan bahan berkualitas rendah. Kesalahan semacam ini dapat menyebabkan kecelakaan besar, seperti robohnya konstruksi jembatan atau kebocoran bendungan.

Studi Kasus 1: Big Dig, Boston – Ambisi Besar yang Dibalut Risiko Finansial dan Politik

Big Dig merupakan salah satu proyek infrastruktur paling mahal dalam sejarah Amerika Serikat, dengan total biaya akhir mencapai 24 miliar USD, hampir sembilan kali lipat dari estimasi awalnya. Proyek ini bertujuan memindahkan jalur Interstate 93 ke bawah tanah guna mengurangi kemacetan parah di pusat kota Boston.

Risiko utama yang dihadapi mencakup pembengkakan biaya, tantangan teknis saat membangun terowongan di bawah kota yang tetap berfungsi, serta tekanan politik dan media. Strategi mitigasi yang diterapkan termasuk teknologi slurry wall, sistem pemantauan real-time terhadap getaran dan struktur, serta penunjukan tim khusus untuk kontrol anggaran.

Walau proyek ini mendapat banyak kritik karena manajemen awal yang buruk, hasil akhirnya tetap signifikan: waktu tempuh berkurang drastis, kualitas udara membaik, dan nilai properti meningkat pesat di area terdampak.

Studi Kasus 2: Hoover Dam – Efisiensi Logistik dan Keamanan dalam Proyek Skala Kolosal

Bendungan Hoover dibangun pada masa Depresi Besar dan selesai lebih cepat dari jadwal serta di bawah anggaran. Ini menjadikannya contoh klasik proyek publik yang sukses dari sisi manajemen risiko. Terletak di perbatasan Nevada dan Arizona, bendungan ini menyediakan listrik untuk jutaan orang serta air irigasi untuk pertanian di barat daya AS.

Risiko terbesar datang dari faktor lingkungan ekstrem dan skala konstruksi. Untuk mengatasinya, tim proyek menggunakan desain lengkung-gravitasi yang inovatif dan logistik presisi dalam pengiriman beton dan baja. Bahkan, protokol kesehatan dan keselamatan yang diterapkan kala itu tergolong maju untuk zamannya, dengan penyediaan asrama, fasilitas kesehatan, dan pelatihan keselamatan untuk ribuan pekerja.

Studi Kasus 3: Ekspansi Terusan Panama – Keseimbangan antara Lingkungan dan Profit Global

Ekspansi Terusan Panama menambahkan jalur kunci bagi kapal besar kelas Post-Panamax dan selesai pada 2016. Risiko utamanya adalah geologi tak stabil, ancaman kekurangan air, serta ketidakpastian biaya akibat kompleksitas proyek.

Tim proyek menerapkan survei geologi mendalam, inovasi seperti kolam daur ulang air untuk menghemat suplai, dan kontrak harga tetap dengan insentif berbasis performa. Strategi ini terbukti efektif—proyek selesai sesuai jadwal dan kini meningkatkan efisiensi logistik global, terutama bagi perdagangan antara Asia dan Pantai Timur Amerika.

Kesimpulan: Proyek Besar Butuh Strategi Risiko yang Cerdas dan Proaktif

Dari tiga studi kasus tersebut dan kerangka teoritis yang dibangun dalam artikel ini, terlihat jelas bahwa manajemen risiko bukan sekadar formalitas administratif, melainkan fondasi strategis dalam menjaga keberlanjutan dan keberhasilan proyek infrastruktur besar. Strategi yang adaptif, berbasis data, dan terintegrasi dari awal hingga akhir menjadi faktor pembeda antara kegagalan dan kesuksesan.

Kunci keberhasilan terletak pada pendekatan proaktif—dimulai dari perencanaan matang, evaluasi risiko berbasis bukti, kolaborasi lintas sektor, hingga pemanfaatan teknologi dan metode konstruksi terbaru. Untuk negara berkembang yang tengah gencar membangun, pelajaran dari Big Dig, Hoover Dam, dan Panama Canal sangat berharga: jangan meremehkan risiko, karena keberhasilan tak hanya soal membangun, tetapi membangun dengan cerdas.

Sumber asli:
Adeiza Agbor Lawrence. Risk Management Strategies in Large-Scale Infrastructure Projects. IOSR Journal of Business and Management (IOSR-JBM), Volume 26, Issue 6. Ser. 2 (June 2024), pp. 38–43.

 

Selengkapnya
Strategi Manajemen Risiko dalam Proyek Infrastruktur Skala Besar – Pelajaran dari Tiga Megaproyek Dunia

Manajemen Risiko

Mengungkap Tantangan Strategi Manajemen Risiko dalam Proyek Infrastruktur Publik

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 28 Mei 2025


Manajemen risiko merupakan komponen penting dalam pengelolaan proyek, terlebih dalam konteks proyek infrastruktur publik yang kompleks, penuh ketidakpastian, dan dikelola dalam lingkungan organisasi besar seperti lembaga pemerintah. Dalam tesis bertajuk “Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects,” Dylan Vorgers secara mendalam mengeksplorasi bagaimana strategi manajemen risiko dipilih dalam proyek-proyek publik, serta apa saja faktor internal dan eksternal yang memengaruhi pilihan tersebut.

Melalui pendekatan kualitatif berbasis studi kasus terhadap Rijkswaterstaat—lembaga eksekutif dari Kementerian Infrastruktur dan Manajemen Air Belanda—penelitian ini tidak hanya mengupas proses teknis pengelolaan risiko, tetapi juga menyentuh sisi budaya organisasi, dinamika tim, dan tekanan akuntabilitas publik. Artikel ini akan membahas temuan utama dari tesis tersebut, disertai studi kasus, kutipan wawancara, dan data numerik, sekaligus mengaitkannya dengan tren manajemen proyek modern.

Mengapa Strategi Manajemen Risiko Itu Penting?

Proyek infrastruktur publik seperti pembangunan jalan, bendungan, atau sistem irigasi beroperasi dalam lingkungan yang dinamis dan tidak pasti. Hal ini ditandai oleh banyaknya pemangku kepentingan, regulasi ketat, dan ekspektasi publik yang tinggi. Dalam lingkungan seperti itu, risiko seperti perubahan iklim, keterlambatan kontraktor, atau resistensi dari masyarakat lokal dapat muncul dengan cepat dan sulit diprediksi.

Tesis ini menyoroti bagaimana tim manajemen proyek (PMT) menghadapi dilema dalam memilih strategi pengelolaan risiko: apakah mereka akan menghindari, menerima, mengendalikan, atau mentransfer risiko. Namun, kenyataannya, sebagaimana terungkap dalam riset, pilihan tersebut jarang menjadi keputusan eksplisit.

Studi Kasus Rijkswaterstaat: Realitas Lapangan yang Kompleks

Penelitian ini berfokus pada Rijkswaterstaat sebagai studi kasus utama. Organisasi ini bertanggung jawab atas berbagai proyek infrastruktur besar di Belanda, dan telah mengintegrasikan kerangka kerja manajemen risiko berdasarkan standar internasional seperti COSO-ERM dan ISO 31000.

Dalam studi ini, Dylan melakukan analisis terhadap 16 risk file dari proyek-proyek berbeda, termasuk proyek jalan, air, dan teknologi informasi. Proyek-proyek ini mencakup fase yang beragam—dari perencanaan hingga pelaksanaan akhir—sehingga memberikan cakupan data yang luas dan variatif.

Dari 16 risk file yang dianalisis, ditemukan bahwa 89% tindakan mitigasi risiko bersifat preventif, sedangkan hanya 11% yang bersifat korektif. Ini menunjukkan adanya kecenderungan kuat dalam organisasi untuk menghindari risiko ketimbang menerima atau menanganinya saat risiko tersebut benar-benar terjadi.

Temuan Utama: Kontrol Risiko Mendominasi

Salah satu hasil penting dari penelitian ini adalah kecenderungan dominan untuk menggunakan strategi kontrol risiko. Dalam wawancara dengan 15 anggota PMT, mayoritas menyatakan bahwa strategi pengendalian (controlling) menjadi pendekatan standar, meskipun tidak selalu melalui pertimbangan eksplisit antara empat strategi yang tersedia. Bahkan, beberapa responden tidak menyadari bahwa ada empat strategi utama dalam pengelolaan risiko.

Sebagai contoh, seorang manajer proyek mengatakan, “Kami terutama berusaha mengurangi peluang dan konsekuensi dari risiko.” Ini menunjukkan bahwa pendekatan default adalah pengendalian, bukan keputusan strategis yang didasarkan pada konteks atau analisis biaya-manfaat.

Kelemahan dari Pendekatan “Over-Control”

Strategi kontrol yang berlebihan membawa dampak tersendiri. Dalam proyek besar, banyaknya tindakan kontrol menyebabkan file risiko menjadi sangat besar dan kompleks. Hal ini justru membuat tim kesulitan untuk memantau dan mengelola risiko secara efektif. Salah satu manajer proyek menyatakan bahwa sulit untuk menjaga keterlibatan semua pihak terhadap daftar risiko yang terlalu panjang.

Fakta ini mencerminkan gejala "over-management" yang pernah dikritik oleh Mikes (2009) dan Power (2009), yaitu ketika perhatian terhadap risiko berlebihan justru melemahkan efisiensi proyek.

Peran Budaya Organisasi dan Akuntabilitas Publik

Penelitian ini mengungkap bahwa strategi manajemen risiko tidak hanya dipengaruhi oleh pertimbangan teknis, tetapi juga oleh faktor budaya organisasi. Dalam konteks Rijkswaterstaat, terdapat budaya yang sangat menekankan pada kontrol dan minimisasi risiko. Hal ini berkaitan erat dengan peran organisasi sebagai pelayan publik yang harus menjaga keselamatan dan keandalan infrastruktur nasional.

Sebanyak 7 dari 15 anggota tim PMT secara eksplisit menyebut bahwa “mengendalikan risiko adalah bagian dari budaya Rijkswaterstaat.” Nilai-nilai organisasi seperti “selalu ingin menunjukkan kontrol penuh” menjadikan penerimaan risiko sebagai hal yang tabu, karena dapat dianggap sebagai bentuk kelalaian atau ketidaksiapan.

Di sisi lain, akuntabilitas publik juga menjadi faktor penekan. Risiko yang direalisasi (materialized risks) bisa memicu pertanyaan dari parlemen atau pengawasan publik, sehingga mendorong organisasi untuk lebih memilih kontrol ketat ketimbang menerima risiko.

Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Pilihan Strategi

Vorgers membagi faktor-faktor yang memengaruhi pemilihan strategi risiko menjadi dua kategori utama: faktor yang berasal dari tim proyek (PMT) dan faktor dari organisasi induk.

Dari sisi PMT, terdapat variasi persepsi risiko yang besar antar individu. Beberapa anggota tim bersifat risk-averse, sementara yang lain lebih toleran. Dalam sesi diskusi kelompok (risk sessions), perbedaan ini menjadi arena diskusi terbuka yang konstruktif. Salah satu responden menyatakan bahwa diskusi kolektif membantu menghindari penilaian risiko yang terlalu subjektif dan ekstrem.

Namun, efek seperti groupthink dan tekanan kelompok juga menjadi tantangan. Bila suasana tim tidak mendukung kritik terbuka, maka strategi yang dipilih bisa saja bias.

Dari sisi organisasi induk, selain budaya dan akuntabilitas publik, faktor seperti sistem pelaporan dan dokumentasi risiko juga berperan besar. Risk file tidak hanya digunakan untuk internal proyek, tetapi juga untuk laporan ke pemangku kepentingan, anggaran, dan negosiasi kontrak. Ini menyebabkan preferensi terhadap kuantifikasi risiko dalam angka (dampak waktu dan biaya), meskipun beberapa risiko tidak mudah dikalkulasikan secara matematis.

Implikasi Praktis dan Tantangan Strategis

Penelitian ini menyimpulkan bahwa kemampuan memilih strategi yang tepat sangat penting untuk efisiensi sumber daya proyek. PMT perlu diberi ruang untuk membuat penilaian strategis berdasarkan konteks, bukan sekadar mengikuti prosedur standar.

Empat tantangan utama yang diidentifikasi oleh Dylan Vorgers dalam tesis ini adalah:

  1. Meningkatkan Ketepatan Penilaian Risiko oleh PMT, dengan cara membangun keragaman pandangan dan budaya diskusi yang terbuka.
  2. Mengintegrasikan Nilai-Nilai Organisasi dalam Strategi Risiko, sehingga penerimaan risiko bukan lagi dianggap sebagai kelemahan, melainkan sebagai pilihan strategis dalam kondisi tertentu.
  3. Menyeimbangkan Pendekatan Kuantitatif dan Kualitatif, terutama untuk risiko yang sulit diukur.
  4. Mengelola Tekanan Akuntabilitas Publik, tanpa mengorbankan efisiensi proyek. Hal ini membutuhkan transparansi dan edukasi publik tentang manajemen risiko.

Relevansi dengan Tren Industri Konstruksi dan Infrastruktur Global

Temuan dalam studi ini sangat relevan dengan situasi global, terutama di negara-negara dengan birokrasi besar dan proyek-proyek publik berskala raksasa. Dalam banyak proyek internasional seperti pembangunan bendungan di Ethiopia, proyek MRT di Jakarta, atau sistem pengolahan limbah di Jerman, tekanan untuk “tidak gagal” menyebabkan organisasi memilih pendekatan risk-averse yang ekstrem. Padahal, dalam lingkungan yang penuh ketidakpastian, justru dibutuhkan fleksibilitas dan keberanian untuk menerima risiko tertentu.

Penelitian ini menambah kontribusi penting terhadap diskursus manajemen risiko proyek, terutama karena menyatukan pendekatan teoritis dengan praktik nyata di lapangan, serta memberikan bukti empiris dari organisasi kelas dunia.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Tesis Dylan Vorgers memberikan wawasan mendalam tentang bagaimana strategi manajemen risiko dipraktikkan dalam proyek infrastruktur publik dan mengapa pendekatan yang terlalu kaku dapat menimbulkan inefisiensi. Organisasi publik perlu mengembangkan budaya risiko yang seimbang—berani menerima ketidakpastian saat memang diperlukan, dan fokus pada kontrol saat memang risiko dapat dikendalikan dengan efektif.

Pendekatan strategis semacam ini membutuhkan kepemimpinan organisasi yang visioner, sistem pelatihan yang baik bagi PMT, dan kerangka kerja yang mendukung penilaian kualitatif serta diskusi terbuka. Pada akhirnya, keberhasilan proyek publik tidak hanya bergantung pada seberapa banyak risiko yang dihindari, tetapi juga pada ketepatan strategi dalam mengelola risiko tersebut secara proporsional dan kontekstual.

Sumber Asli:
Vorgers, Dylan. Challenges in Risk Management Strategies in Public Infrastructure Projects. Master Thesis. University of Twente, Faculty of Engineering Technology, Civil Engineering and Management. 2020.

Selengkapnya
Mengungkap Tantangan Strategi Manajemen Risiko dalam Proyek Infrastruktur Publik
« First Previous page 7 of 11 Next Last »