Manajemen Risiko

Strategi Manajemen Risiko yang Efektif dalam Proyek Infrastruktur: Pembelajaran Penting dari Studi McKinsey

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025


Proyek infrastruktur berskala besar merupakan tulang punggung pertumbuhan ekonomi, namun sejarah telah menunjukkan bahwa proyek-proyek ini kerap menghadapi kegagalan akibat manajemen risiko yang buruk. Laporan McKinsey Working Papers on Risk No. 52 berjudul "A Risk-Management Approach to a Successful Infrastructure Project: Initiation, Financing, and Execution" menjadi referensi penting yang menawarkan kerangka kerja sistematis untuk mengidentifikasi, mengelola, dan mengalokasikan risiko sepanjang siklus hidup proyek infrastruktur. Artikel ini memberikan resensi kritis terhadap temuan McKinsey, menyoroti studi kasus kegagalan proyek global, serta mengeksplorasi strategi mitigasi risiko yang dapat mengubah pendekatan pelaksanaan proyek publik dan swasta secara lebih efektif.

Manajemen Risiko: Kebutuhan Mendesak dalam Proyek Infrastruktur Global

Menurut McKinsey, nilai total pipeline proyek infrastruktur global diperkirakan mencapai $9 triliun, di mana sepertiganya berada di Asia. India, misalnya, merencanakan investasi sebesar $550 miliar dalam lima tahun ke depan, terutama untuk sektor energi dan utilitas. Namun, kendati kebutuhan meningkat pesat, mayoritas proyek ini masih diwarnai oleh pembengkakan biaya, keterlambatan, dan kerugian besar akibat kurangnya pengelolaan risiko yang terstruktur.

Contohnya, proyek Eurotunnel antara Inggris dan Prancis mencatat biaya akhir sebesar €15 miliar, lebih dari dua kali lipat anggaran awal €7,5 miliar. Jalur kereta barang Betuwe Line di Belanda awalnya direncanakan sebesar €2,3 miliar, namun realisasi biayanya melebihi €5 miliar. Proyek Bandara Kuala Lumpur Terminal Baru pun mengalami penundaan lebih dari satu tahun dengan biaya yang terus membengkak.

Dampak Ekonomi dari Risiko yang Tidak Dikelola

McKinsey memperkirakan bahwa dalam lima tahun ke depan, nilai kerugian langsung akibat risiko yang tidak dikelola dalam proyek-proyek infrastruktur berskala besar bisa melebihi $1,5 triliun. Ini belum termasuk dampak terhadap pertumbuhan PDB dan efek reputasi yang merugikan negara dan masyarakat. Hal ini terjadi karena manajemen risiko tidak terintegrasi secara menyeluruh dalam siklus proyek, mulai dari tahap perencanaan, desain, pengadaan, pelaksanaan konstruksi, hingga operasi.

Kesalahan Umum: Risiko Tidak Dialokasikan ke Pihak yang Tepat

Salah satu akar masalah paling serius adalah kesalahan dalam mengalokasikan risiko. Dalam proyek-proyek publik, pemerintah seringkali gagal memahami batas kemampuan dan selera risiko dari pihak swasta, terutama dalam struktur kemitraan publik-swasta (PPP). Hasilnya adalah pembiayaan swasta menjadi mahal, berisiko tinggi, atau bahkan tidak tersedia, yang akhirnya dibebankan ke anggaran negara dan masyarakat umum.

Pendekatan Manajemen Risiko Berbasis Siklus Hidup Proyek

McKinsey menawarkan model manajemen risiko yang mencakup seluruh siklus hidup proyek, mulai dari perencanaan hingga operasional. Model ini meliputi:

  1. Risiko harus dipetakan dan dianalisis sebelum proyek dimulai. Ini mencakup skenario terburuk seperti bencana alam, konflik sosial, inflasi biaya material, dan keterlambatan pengadaan.
  2. Risiko harus dialokasikan kepada pihak yang paling mampu mengelolanya, baik itu pengembang, kontraktor, pemerintah, atau penyedia dana.
  3. Proyek harus dinilai berdasarkan risiko dan potensi imbal hasilnya, termasuk dalam studi kelayakan dan pemodelan ekonomi.
  4. Perlu ada mekanisme komunikasi risiko yang berjalan dari manajemen puncak ke lapangan, serta pelatihan risiko untuk semua pemangku kepentingan.
  5. Misalnya, penggunaan KPI kontrak berbasis milestone, kontrol kualitas mingguan, dan pelaporan risiko harian di lapangan.

Studi Kasus: Gagalnya Manajemen Risiko di Proyek Nyata

Laporan ini memuat beberapa studi kasus sebagai bukti nyata dari risiko yang tidak dikelola secara benar:

  • Proyek Jalur Kereta HSL-Zuid di Belanda: Meski sempat memenangkan penghargaan “PPP Deal of the Year”, proyek ini mengalami pembengkakan biaya sebesar 43% karena desain proyek dibagi menjadi tiga subproyek tanpa koordinasi yang memadai, memunculkan risiko antarmuka yang tidak diantisipasi sejak awal.
  • Bandara Hong Kong: Penundaan dalam pembukaan bandara menyebabkan kerugian ekonomi sebesar $600 juta akibat konektivitas dan fungsi operasional yang tidak optimal.
  • Proyek Oedo Subway Line di Tokyo: Perkiraan pendapatan awal sangat optimistik, namun pada kenyataannya realisasi pendapatan jauh di bawah ekspektasi, menunjukkan pentingnya stress-testing dan forecasting berbasis realita.

Transformasi Budaya Risiko: Contoh Penerapan Nyata

Salah satu perusahaan transportasi besar pada tahun 2011 memutuskan untuk melakukan reformasi menyeluruh terhadap sistem manajemen risikonya. Tujuannya adalah mengurangi provision risiko sebesar sepertiga. Permasalahan awal yang mereka hadapi antara lain:

  • Tidak adanya definisi risiko yang seragam antarproyek.
  • Silo antar departemen dalam mengelola risiko.
  • Kurangnya pelatihan risiko di semua tingkatan organisasi.

Setelah perubahan dilakukan, perusahaan membentuk struktur tata kelola risiko yang baru, menetapkan KPI risiko yang transparan, dan melakukan pelaporan risiko secara reguler. Hasilnya adalah peningkatan efisiensi, pengurangan keterlambatan, dan pengelolaan portofolio proyek yang lebih efektif.

Relevansi dan Penerapan di Indonesia

Dalam konteks Indonesia, pendekatan ini sangat relevan mengingat banyak proyek besar seperti tol trans-Jawa, MRT Jakarta, dan Ibu Kota Negara (IKN) yang melibatkan investasi multi-miliar dolar dan kompleksitas tinggi. Seringkali proyek tersebut mengalami keterlambatan atau pembengkakan biaya akibat faktor cuaca, perubahan desain, atau ketidakjelasan tanggung jawab antar lembaga. Jika pemerintah dan mitra swasta dapat mengadopsi pendekatan siklus hidup dan mengintegrasikan praktik manajemen risiko sejak tahap perencanaan, maka kualitas dan efisiensi pembangunan bisa meningkat secara signifikan.

Kritik terhadap Praktik Saat Ini dan Rekomendasi Perubahan

Laporan ini memberikan kritik tajam terhadap ketergantungan pada pendekatan ad hoc, administratif, dan sekadar kepatuhan terhadap regulasi. Sebaliknya, McKinsey mendorong transformasi mendalam menuju manajemen risiko yang terintegrasi dan strategis. Untuk mencapai ini, rekomendasi yang dapat diterapkan adalah:

  • Membentuk tim risiko proyek independen sejak tahap inisiasi.
  • Menyusun risk register berbasis probabilitas dan dampak serta memperbarui secara berkala.
  • Menggunakan sistem insentif/punitive berbasis kepatuhan risiko untuk kontraktor dan mitra.
  • Menerapkan manajemen perubahan yang adaptif terhadap fluktuasi pasar dan dinamika sosial-politik.

Kesimpulan: Mengelola Risiko, Meningkatkan Kesuksesan Proyek

Pendekatan McKinsey terhadap manajemen risiko proyek infrastruktur adalah seruan untuk bertindak di tengah besarnya nilai proyek global dan seringnya kegagalan pelaksanaan. Tanpa pendekatan risiko yang matang dan menyeluruh, proyek-proyek besar akan terus menghadapi krisis reputasi, pembengkakan biaya, dan pemborosan anggaran. Namun dengan mengadopsi kerangka kerja yang mencakup seluruh siklus hidup, mengalokasikan risiko secara strategis, dan menanamkan budaya risiko dari atas ke bawah, infrastruktur masa depan dapat dibangun lebih cepat, lebih murah, dan lebih andal. Ini adalah perubahan paradigma yang harus diadopsi tidak hanya oleh negara maju, tetapi juga oleh negara berkembang yang tengah melakukan pembangunan besar-besaran seperti Indonesia.

Sumber asli:
Frank Beckers, Nicola Chiara, Adam Flesch, Jiri Maly, Eber Silva, Uwe Stegemann. A Risk-Management Approach to a Successful Infrastructure Project: Initiation, Financing, and Execution. McKinsey Working Papers on Risk, No. 52, November 2013.

Selengkapnya
Strategi Manajemen Risiko yang Efektif dalam Proyek Infrastruktur: Pembelajaran Penting dari Studi McKinsey

Manajemen Risiko

Evaluasi Risiko Konstruksi Jalan Lintas Selatan Lumajang–Jember: Studi Kritis terhadap Dampak Biaya, Waktu, dan Mutu Proyek

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025


Pembangunan infrastruktur jalan di wilayah pesisir dan perbukitan seperti proyek Jalan Lintas Selatan (JLS) Lumajang–Jember merupakan tantangan besar dalam dunia konstruksi. Tesis karya Kardian Susilo S dari Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya memberikan kontribusi penting dalam memahami risiko-risiko utama pada proyek jalan berskala regional. Melalui pendekatan berbasis studi kasus dan analisis risiko kualitatif, penelitian ini mengkaji tiga dimensi krusial: biaya, waktu, dan mutu. Artikel ini menyajikan resensi mendalam terhadap temuan dan relevansi penelitian tersebut dalam konteks konstruksi jalan nasional dan manajemen risiko modern.

Mengapa Risiko Jalan Perlu Dievaluasi?

Risiko dalam proyek konstruksi tidak hanya menyangkut faktor teknis, tapi juga sosial, politik, dan lingkungan. Dalam kasus proyek JLS ini, panjang total trase Lumajang–Jember mencapai 149,5 km dengan konstruksi melalui medan yang rumit: hutan, sawah, area pantai, dan perbukitan. Ini menjadikannya rentan terhadap banjir, longsor, abrasi pantai, dan gangguan sosial-politik seperti konflik tambang pasir. Evaluasi ini sangat penting mengingat proyek merupakan bagian dari Regional Road Development Project (RRDP) yang didanai pemerintah.

Metodologi yang Kuat Berbasis Data Historis dan Responden Profesional

Penelitian ini menggunakan data primer melalui wawancara dan kuesioner kepada sepuluh responden ahli—mulai dari Kasatker JLS, PPK, kepala proyek, hingga staf PU Jember. Sebagian besar dari mereka memiliki pengalaman kerja lebih dari 15 tahun, dan mayoritas berlatar pendidikan teknik sipil S2, menunjukkan bahwa penilaian terhadap risiko dilakukan oleh profesional berpengalaman.

Selain itu, data sekunder dikumpulkan dari studi literatur, laporan proyek sebelumnya, serta dokumen resmi dari Balai Besar Pelaksanaan Jalan Nasional V. Peneliti juga menggunakan Matriks Probabilitas dan Dampak (skala 1–5) untuk menghitung level risiko (R = P x I).

Temuan Kunci: Delapan Risiko Utama

Dari total 16 variabel risiko yang teridentifikasi, delapan di antaranya dikategorikan sebagai risiko dengan tingkat keparahan tertinggi:

  1. Terjadi akibat penutupan tambang pasir Lumajang selama 3 bulan karena konflik sosial. Hal ini menyebabkan suplai material terganggu, yang berdampak langsung pada biaya konstruksi.
  2. Terjadi lebih dari 20 kali selama proyek, sangat mengganggu jadwal konstruksi dan kualitas pekerjaan tanah serta perkerasan jalan.
  3. Memberikan tekanan pada anggaran, terutama dalam pembelian material dan biaya tenaga kerja.
  4. Beberapa titik pembangunan hanya dapat dicapai dengan alat berat melalui medan berbukit.
  5. Terjadi akibat ketidaksesuaian kondisi lapangan dengan asumsi awal.
  6. Akibat kualitas pekerjaan yang kurang baik serta kesalahan dalam pengukuran awal.
  7. Terjadi karena faktor eksternal seperti hujan dan abrasi pantai.
  8. Terjadi terutama pada titik lokasi dengan lereng tinggi dan struktur tanah tidak stabil.

Efektivitas Mitigasi: Studi Empiris yang Bernilai Tinggi

Studi ini tidak berhenti pada identifikasi risiko, tetapi melangkah lebih jauh dengan mengevaluasi efektivitas langkah mitigasi yang telah diterapkan. Misalnya, untuk mengatasi banjir dan abrasi, pembangunan saluran drainase dan dinding penahan gelombang dilakukan. Setelah mitigasi, kejadian banjir yang sebelumnya terjadi sebanyak 6 kali berhasil ditekan menjadi nol, menunjukkan intervensi tersebut efektif.

Untuk masalah harga material dan inflasi, peneliti merekomendasikan sistem kontrak payung yang menjamin stok dan harga tetap melalui kerjasama dengan pemasok lokal. Di sisi teknis, rework dicegah dengan peningkatan koordinasi antara mandor, pengawas, dan pekerja serta pengecekan progres secara rutin.

Nilai Tambah: Integrasi Evaluasi Historis dengan Risiko Masa Depan

Salah satu keunggulan tesis ini adalah penggunaan data historis (2007–2015) untuk mengevaluasi risiko pada masa depan (2017–2019). Sebagai contoh, berdasarkan kejadian sebelumnya, proyek telah menghadapi 16 jenis gangguan besar dengan frekuensi yang beragam. Dengan mengetahui jenis dan frekuensi kejadian masa lalu, seperti hujan deras (lebih dari 20x), tanah longsor (4x), dan abrasi pantai (4x), maka risiko pembangunan tahap lanjutan dapat diantisipasi lebih matang.

Kekuatan Analisis: Matriks Risiko dan Penilaian Dampak

Penilaian risiko dilakukan dengan metode semi-kuantitatif yang melibatkan scoring probabilitas dan dampak. Dalam skala risiko 1–5, dampak terhadap mutu paling tinggi terjadi pada risiko pekerjaan ulang dan gangguan perkerasan jalan, dengan nilai tertinggi mencapai 5 (sangat besar). Dampak terhadap waktu dominan pada hujan deras, longsor, dan keterlambatan peralatan, sedangkan biaya paling terdampak oleh kenaikan harga material dan inflasi. Risiko-risiko ini kemudian dipetakan dalam matriks risiko, yang memberikan gambaran prioritas tindakan. Risiko dengan nilai 20–25 (skala maksimal) dikategorikan sebagai ekstrem dan harus ditangani segera.

Relevansi Industri: Mengaitkan Temuan dengan Tren Nasional

Dalam konteks nasional, proyek-proyek jalan strategis seperti JLS merupakan tulang punggung konektivitas antarwilayah. Studi ini sangat relevan dengan pergeseran pendekatan manajemen risiko ke arah yang lebih prediktif dan berbasis data historis. Banyak proyek jalan di Indonesia yang menghadapi risiko serupa, mulai dari gangguan cuaca ekstrem hingga konflik sosial. Oleh karena itu, pendekatan komprehensif seperti ini bisa direplikasi di wilayah lain. Selain itu, temuan penelitian ini juga selaras dengan standar manajemen risiko global seperti ISO 31000 dan pedoman PMBOK (Project Management Body of Knowledge), memperkuat validitas akademik dan aplikatifnya.

Kritik dan Ruang untuk Pengembangan

Meski tesis ini menyajikan data yang sangat kaya dan mendalam, ruang pengembangan tetap terbuka. Pertama, aspek risiko lingkungan seperti gangguan pada flora-fauna atau polusi udara tidak dibahas secara mendalam, padahal ini krusial dalam konteks keberlanjutan. Kedua, keterlibatan komunitas lokal dan analisis risiko sosial seperti protes masyarakat bisa diperdalam agar aspek sosial-politik lebih terwakili. Penggunaan metode Monte Carlo Simulation atau analisis sensitivitas juga bisa ditambahkan untuk memperkuat dimensi kuantitatif dari analisis risiko.

Kesimpulan: Sebuah Model Evaluasi Risiko yang Layak Direplikasi

Tesis ini memberikan gambaran utuh dan realistis mengenai risiko pada proyek konstruksi jalan di Indonesia, khususnya di kawasan dengan topografi dan kondisi sosial-politik yang menantang. Melalui kombinasi data historis, wawasan lapangan, dan metode analisis yang komprehensif, studi ini berhasil menyusun model evaluasi dan respons risiko yang dapat diadopsi pada proyek sejenis di seluruh Indonesia. Kunci keberhasilannya terletak pada keberanian mengevaluasi proyek masa lalu secara jujur, kejelasan dalam penentuan risiko dominan, serta saran mitigasi yang dapat diimplementasikan secara langsung.

Sebagai penutup, studi ini layak menjadi referensi wajib bagi pemangku kepentingan proyek jalan—baik dari pemerintah, konsultan, maupun kontraktor. Jika dikelola dengan baik, risiko bukanlah ancaman, melainkan peluang untuk memperbaiki sistem dan membangun infrastruktur yang lebih tangguh.

Sumber asli:
Kardian Susilo S. (2017). Evaluasi dan Analisis Risiko Terhadap Biaya, Waktu dan Mutu Konstruksi JLS Kabupaten Lumajang-Kabupaten Jember. Tesis. Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Surabaya.

Selengkapnya
Evaluasi Risiko Konstruksi Jalan Lintas Selatan Lumajang–Jember: Studi Kritis terhadap Dampak Biaya, Waktu, dan Mutu Proyek

Manajemen Risiko

Mengelola Risiko pada Proyek Irigasi: Pembelajaran dari Studi Kasus Progomanggis dan Sedadi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 27 Mei 2025


Pekerjaan konstruksi selalu melibatkan risiko, tetapi ketika proyek tersebut menyangkut infrastruktur vital seperti irigasi, tingkat kompleksitas dan konsekuensi kegagalan meningkat drastis. Dalam tesis yang dikaji kali ini, Achmad Zulfikar Armandoko menggambarkan secara mendalam bagaimana kontraktor konstruksi menghadapi, mengidentifikasi, dan memitigasi risiko dalam proyek rehabilitasi jaringan irigasi, mengambil dua lokasi utama sebagai studi kasus: Daerah Irigasi Progomanggis dan Saluran Sekunder Daerah Irigasi Sedadi di Provinsi Jawa Tengah.

Penelitian ini bukan hanya mendeskripsikan risiko secara teoritis, melainkan membuktikannya secara nyata melalui dua proyek rehabilitasi irigasi yang sangat penting bagi pertanian dan ekonomi lokal. Melalui pendekatan kuantitatif dan kualitatif dengan kombinasi metode wawancara, survei, serta pemetaan risiko, penulis menyusun pemetaan risiko yang rinci dan menyarankan strategi mitigasi yang berbasis praktik lapangan.

Daerah Irigasi Progomanggis merupakan warisan kolonial yang dibangun antara tahun 1891 hingga 1905. Dengan luas potensi 3.633 hektar dan sistem saluran sepanjang lebih dari 65 kilometer, irigasi ini menjadi penopang utama pertanian padi dengan estimasi produksi tahunan sebesar 45.412,5 ton, senilai sekitar Rp204,36 miliar. Namun, nilai ekonomi ini dapat terganggu oleh risiko teknis seperti ketidaksesuaian gambar kerja dengan kondisi lapangan, keterlambatan pengadaan material, hingga produktivitas pekerja yang rendah. Selain itu, kondisi cuaca dan jadwal buka-tutup air yang tidak sinkron dengan pola tanam menambah tantangan dalam pelaksanaan proyek ini.

Tak kalah penting, proyek kedua yang menjadi fokus kajian adalah Rehabilitasi Saluran Sekunder D.I. Sedadi. Proyek ini mencakup area irigasi yang lebih luas dengan total cakupan lebih dari 55.000 hektar melalui beberapa skema saluran, termasuk Lanang, Sedadi, Klambu Kanan, Wilarung, dan Klambu Kiri. Sumber air dari Sungai Tuntang ini menjadi kunci irigasi terutama pada musim kemarau. Kompleksitas proyek ini diperparah oleh risiko seperti keterbatasan suplai air, kebutuhan koordinasi lintas wilayah, dan kemungkinan dampak lingkungan seperti sedimentasi dan kerusakan saluran.

Penulis mengelompokkan risiko ke dalam empat kategori utama: teknis, finansial, sosial, dan politik. Di antara risiko teknis yang paling mencolok adalah keterlambatan pengiriman material, kualitas material yang tidak memenuhi standar, dan akses menuju lokasi kerja yang sulit dijangkau. Sementara dari sisi finansial, risiko utama adalah fluktuasi harga material serta keterlambatan pembayaran dari pihak pemberi kerja. Risiko sosial mencakup tantangan komunikasi antara tim proyek dan masyarakat, serta gangguan non-teknis di lapangan seperti acara adat atau konflik lokal. Risiko politik meliputi perubahan kebijakan pemerintah dan gangguan eksternal seperti pemilihan kepala daerah yang berdampak pada stabilitas proyek.

Untuk mengukur dan memetakan risiko, Armandoko menggunakan pendekatan Risk Breakdown Structure (RBS), yang diikuti oleh evaluasi risiko dengan mempertimbangkan probabilitas kejadian dan dampaknya terhadap biaya, waktu, dan kualitas. Penilaian dilakukan melalui kuesioner kepada responden ahli yang terlibat langsung dalam proyek, dengan menggunakan skala lima poin baik untuk probabilitas maupun konsekuensi dampak.

Hasil pemetaan risiko menunjukkan bahwa pada proyek Progomanggis, risiko seperti cuaca ekstrem, kerusakan alat, dan keterlambatan material tergolong ke dalam kategori risiko tinggi. Sementara pada proyek Sedadi, risiko utama justru berasal dari aspek pengelolaan dan konektivitas jaringan irigasi antar wilayah yang saling tergantung satu sama lain.

Salah satu temuan menarik dari penelitian ini adalah bagaimana faktor cuaca menjadi elemen yang paling tak terkontrol namun berdampak besar pada semua fase konstruksi. Penjadwalan kerja yang bersinggungan dengan musim tanam serta jadwal buka-tutup air irigasi menyebabkan tumpang tindih pekerjaan dan mengharuskan adanya penyesuaian mendadak di lapangan. Hal ini menunjukkan pentingnya fleksibilitas dalam manajemen proyek irigasi, yang belum tentu sebesar itu pada proyek konstruksi gedung atau infrastruktur kering lainnya.

Untuk mitigasi risiko, strategi yang disarankan mencakup penggunaan metode kerja alternatif, penyusunan ulang jadwal proyek, pengadaan material yang terencana dengan kontrak harga tetap, serta pendekatan komunikasi aktif antara kontraktor, pemilik proyek, dan masyarakat lokal. Selain itu, pemanfaatan teknologi seperti Building Information Modeling (BIM) meski belum dibahas secara eksplisit dalam tesis ini, dapat menjadi peluang pengembangan lebih lanjut agar simulasi risiko dapat dilakukan sejak tahap perencanaan.

Penelitian ini sangat relevan dalam konteks pembangunan berkelanjutan di sektor konstruksi Indonesia. Ketika proyek-proyek rehabilitasi menjadi semakin sering dilakukan untuk mempertahankan infrastruktur lama, pemahaman mendalam tentang manajemen risiko sangat dibutuhkan oleh kontraktor maupun pihak pemberi kerja. Selain itu, kajian ini berkontribusi dalam menjembatani kesenjangan antara teori manajemen risiko dan implementasinya di lapangan.

Jika dibandingkan dengan penelitian sebelumnya, seperti yang dilakukan oleh Ali (2020) dan Aripandi et al. (2020), pendekatan dalam tesis ini lebih menyeluruh karena tidak hanya mengidentifikasi risiko, tetapi juga memetakan dampaknya dan memberikan strategi konkret pengendalian berdasarkan data lapangan. Penulis tidak berhenti pada identifikasi tetapi sampai pada langkah mitigasi dan evaluasi, yang jarang dilakukan dalam riset-riset lain.

Namun, satu kritik yang bisa diajukan adalah keterbatasan pengaplikasian digital tools dalam proses evaluasi dan simulasi risiko. Di era industri konstruksi 4.0, pemanfaatan software manajemen risiko atau pemodelan risiko berbasis BIM akan menjadi nilai tambah signifikan untuk analisis yang lebih presisi dan prediktif.

Secara keseluruhan, tesis ini memberikan sumbangan penting dalam pengembangan ilmu manajemen risiko konstruksi, khususnya pada proyek irigasi yang memiliki karakteristik unik dan tantangan tersendiri. Relevansi terhadap kebutuhan nasional dalam menjaga ketahanan pangan melalui infrastruktur pertanian semakin menegaskan pentingnya penelitian ini untuk dijadikan acuan dalam proyek-proyek sejenis di masa depan.

Dengan menghadirkan studi kasus nyata, lengkap dengan data produksi pertanian, luas area proyek, nilai ekonomis proyek, dan skema risiko yang terstruktur, tulisan ini juga memiliki nilai aplikatif yang tinggi. Para profesional di bidang konstruksi, manajer proyek, dan pembuat kebijakan dapat mengambil banyak pelajaran dari strategi identifikasi dan mitigasi risiko yang diuraikan dengan baik dalam penelitian ini.

Sumber asli artikel:
Achmad Zulfikar Armandoko. (2023). Analisis Identifikasi dan Mitigasi Risiko pada Kontraktor Pekerjaan Irigasi. Tesis Magister Teknik Sipil, Universitas Islam Indonesia Yogyakarta.

Selengkapnya
Mengelola Risiko pada Proyek Irigasi: Pembelajaran dari Studi Kasus Progomanggis dan Sedadi

Manajemen Risiko

Strategi Mitigasi Risiko Keterlambatan Proyek Konstruksi The Himana Condotel

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 26 Mei 2025


Dalam dunia konstruksi modern, keterlambatan proyek bukan hanya sebuah ketidakefisienan, melainkan potensi kerugian besar yang bisa berdampak pada reputasi, biaya, dan relasi antar pihak. Artikel “Analisis Faktor Risiko terhadap Keterlambatan Proyek Konstruksi The Himana Condotel” oleh Ni Made Sintya Rani dan Ni Kadek Sri Ebtha Yuni dari Politeknik Negeri Bali memberikan studi kasus konkret mengenai bagaimana risiko keterlambatan teridentifikasi dan diatasi secara sistematis melalui pendekatan manajemen risiko berbasis kuantitatif.

Artikel ini menjadi sangat relevan, terutama dalam konteks pertumbuhan industri konstruksi di kawasan wisata seperti Bali, di mana tekanan terhadap kualitas dan ketepatan waktu sangat tinggi. Resensi ini akan mengurai poin-poin utama dalam artikel tersebut dan mengaitkannya dengan praktik terbaik industri serta tren manajemen proyek global.

Proyek The Himana Condotel yang dikerjakan oleh PT. Jaya Kusuma Sarana Bali di Kabupaten Badung, Bali, dirancang untuk diselesaikan dalam waktu 18 bulan. Namun, dalam pelaksanaannya, proyek ini mengalami keterlambatan yang signifikan. Penelitian ini mengidentifikasi 48 uraian risiko yang dikategorikan ke dalam 5 variabel utama:

  • Aspek Perencanaan
  • Aspek Dokumen Pekerjaan dan Kontrak
  • Aspek Pelaksanaan
  • Aspek Sumber Daya
  • Aspek Lingkungan

Dari kelima aspek tersebut, penelitian menemukan bahwa 17 uraian risiko memiliki tingkat risiko tinggi dengan persentase dominan sebesar 36%, menjadikan risiko ini sebagai perhatian utama dalam proses mitigasi.

Pendekatan yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif, dengan pengumpulan data melalui:

  • Kuesioner dengan skala semantic differential (1–5)
  • Wawancara langsung dengan tujuh responden kunci (Direktur proyek, manajer proyek, site manager, supervisor, dan quality control)

Dengan dominasi responden berpengalaman (57,14% memiliki pengalaman kerja 10–15 tahun), keandalan data menjadi kekuatan utama studi ini.

Analisis Risiko: Apa Saja Faktor Paling Menentukan?

1. Risiko Perencanaan

Salah satu risiko dominan adalah penentuan durasi waktu kerja yang kurang terperinci. Ini menimbulkan efek domino yang menghambat berbagai tahapan pelaksanaan proyek. Hal ini menunjukkan pentingnya penyusunan jadwal berbasis metode seperti CPM (Critical Path Method) dan integrasi dengan tools seperti BIM 4D.

2. Risiko Dokumen dan Kontrak

Termasuk di antaranya:

  • Spesifikasi dan gambar yang tidak jelas
  • Permintaan perubahan pekerjaan setelah pekerjaan selesai
  • Penambahan pekerjaan di luar lingkup awal

Masalah-masalah ini berkorelasi kuat dengan lemahnya manajemen perubahan (change management), yang dalam proyek konstruksi seharusnya diatur melalui dokumen formal seperti addendum kontrak dan SOP persetujuan desain.

3. Risiko Pelaksanaan

  • Kecelakaan kerja akibat pengabaian K3
  • Buruknya kualitas manajerial di tim kontraktor
  • Volume pekerjaan yang melenceng dari rencana

Hal ini menegaskan pentingnya sertifikasi dan pelatihan SDM, serta kontrol kualitas yang kuat.

4. Risiko Sumber Daya

  • Keterlambatan pembayaran oleh owner
  • Kekurangan pekerja dan keahlian teknis
  • Ketidaksiapan alat dan material

Dalam tren industri, penggunaan metode Just-in-Time (JIT) seringkali menjadi pisau bermata dua. Tanpa dukungan sistem logistik dan procurement yang kuat, metode ini justru meningkatkan risiko keterlambatan.

5. Risiko Lingkungan

Risiko ini bersifat eksternal:

  • Bencana alam
  • Kerusuhan
  • Hari libur adat yang tidak terduga

Proyek yang berada di wilayah dengan aktivitas adat tinggi seperti Bali memang membutuhkan analisis sosial-budaya sebagai bagian dari feasibility study dan perencanaan awal.

Berdasarkan skala kemungkinan (likelihood) dan dampak (consequences), risiko-risiko diklasifikasikan sebagai berikut:

  • 36% risiko tinggi (17 risiko)
  • 25% risiko ekstrem (12 risiko)
  • 29% risiko rendah
  • 10% risiko sedang

Risiko yang masuk kategori ekstrem memerlukan tindakan langsung, sementara risiko tinggi harus menjadi fokus perhatian manajemen tingkat atas.

Strategi Mitigasi: Apa Saja yang Bisa Dilakukan?

Penulis menawarkan berbagai tindakan mitigasi berbasis hasil wawancara dan best practices, seperti:

  • Perencanaan
  • Dokumen & Kontrak
  • Pelaksanaan
  • Sumber Daya
  • Lingkungan

Pendekatan ini tidak hanya reaktif, tetapi juga proaktif dan partisipatif, sesuai dengan prinsip manajemen risiko modern.

 

 

Kritik & Opini: Apakah Sudah Cukup?

Secara umum, artikel ini menyajikan struktur risiko yang solid. Namun, ada beberapa catatan:

  • Kurangnya integrasi digital: Tidak ada pembahasan terkait penggunaan software manajemen proyek (misalnya Primavera, MS Project, BIM).
  • Tidak membedakan bobot risiko per stakeholder: Risiko yang signifikan bagi kontraktor belum tentu krusial bagi pemilik proyek.
  • Tidak dijelaskan eskalasi risiko secara dinamis: Misalnya, bagaimana risiko minor bisa meningkat jika tidak diatasi sejak awal.

Sebagai perbandingan, penelitian oleh Sukirno (2015) menekankan bahwa risiko desain dan perubahan spesifikasi dapat meningkat drastis akibat kelalaian komunikasi dalam tim proyek.

Hubungan dengan Tren Global

Penelitian ini relevan dengan tren global konstruksi yang mengedepankan:

  • Sustainability dan adaptive scheduling
  • Manajemen risiko berbasis digital dan AI
  • Kolaborasi antar pihak (contractor, client, consultant) melalui platform terintegrasi

Misalnya, implementasi Building Information Modeling (BIM) dengan fitur 4D dan 5D memungkinkan perencanaan dan pemantauan risiko yang lebih akurat dan real-time. Dalam konteks proyek seperti The Himana Condotel, BIM dapat membantu memvisualisasikan dampak keterlambatan terhadap seluruh urutan kerja.

Penelitian ini menunjukkan bahwa:

  • Identifikasi risiko sejak awal adalah kunci dalam mengurangi keterlambatan
  • Risiko dominan perlu ditindaklanjuti dengan mitigasi praktis dan terukur
  • Koordinasi lintas fungsi dan perencanaan detail sangat krusial untuk menjaga proyek tetap on-track

Namun, untuk proyek-proyek ke depan, perlu dipertimbangkan pendekatan berbasis digital serta peran stakeholder yang lebih partisipatif dalam proses manajemen risiko.

Saran Strategis untuk Praktisi Konstruksi

  • Terapkan software manajemen proyek dan risk tracking
  • Kembangkan SOP mitigasi berdasarkan jenis risiko (internal vs eksternal)
  • Perkuat pelatihan SDM terutama dalam hal manajemen perubahan dan K3
  • Bangun relasi kuat dengan komunitas lokal guna meminimalkan gangguan eksternal

Referensi Asli Artikel:

Ni Made Sintya Rani & Ni Kadek Sri Ebtha Yuni. (2021). Analisis Faktor Risiko terhadap Keterlambatan Proyek Konstruksi The Himana Condotel. PADURAKSA: Volume 10, Nomor 1, Juni 2021. P-ISSN: 2303-2693, E-ISSN: 2581-2939.

 

Selengkapnya
Strategi Mitigasi Risiko Keterlambatan Proyek Konstruksi The Himana Condotel

Manajemen Risiko

Strategi Manajemen Risiko Finansial dalam Proyek Infrastruktur Berskala Besar: Perspektif Empiris dan Praktis

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 Mei 2025


Dengan proyeksi kebutuhan investasi global mencapai USD 94 triliun hingga tahun 2040, proyek infrastruktur memegang peranan vital dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan pembangunan berkelanjutan. Namun, proyek-proyek besar ini juga menjadi ladang subur bagi berbagai jenis risiko finansial. Data dari penelitian ini menunjukkan bahwa sekitar 72% proyek mengalami cost overrun atau pembengkakan biaya, yang disebabkan oleh estimasi awal yang tidak akurat, fluktuasi harga material, dan dinamika pasar global.

Penelitian ini menggabungkan dua pendekatan utama: survei terhadap 150 profesional (70 manajer keuangan, 50 manajer proyek, dan 30 analis risiko) dan analisis mendalam terhadap laporan keuangan enam proyek infrastruktur besar seperti London Crossrail dan California High-Speed Rail. Para responden memiliki pengalaman minimal lima tahun dan berasal dari proyek sektor transportasi, energi, dan pengembangan perkotaan, yang didanai oleh sumber publik, swasta, atau skema kemitraan publik-swasta (PPP).

Analisis laporan keuangan mencakup metrik penting seperti rasio cost overrun, debt-to-equity ratio, dan sensitivitas terhadap fluktuasi mata uang. Proyek-proyek yang dikaji memiliki nilai minimal USD 500 juta, dan laporan keuangannya telah diaudit untuk memastikan validitas data.

Jenis Risiko Finansial yang Ditemukan

Penelitian ini mengidentifikasi tujuh jenis risiko utama:

  • Cost overrun (72%) dengan rating dampak 4.5/5. Sebanyak 60% responden menyebutkan bahwa hal ini disebabkan oleh estimasi awal yang terlalu optimis.
  • Kendala pendanaan (64%) dengan dampak tinggi. Proyek dengan sumber dana tunggal lebih rentan terhadap gangguan pembiayaan.
  • Fluktuasi mata uang (48%), terutama pada proyek dengan lebih dari 20% pengeluaran dalam mata uang asing.
  • Perubahan regulasi (50%) yang menyebabkan keterlambatan dan biaya tambahan.
  • Variasi suku bunga (45%), khususnya pada proyek yang bergantung pada pembiayaan jangka panjang.
  • Volatilitas harga material (58%), terutama pada baja dan semen.
  • Risiko kredit (38%), banyak terjadi dalam proyek dengan banyak subkontraktor.

Studi Kasus dan Temuan Kuantitatif

Analisis statistik menunjukkan bahwa:

  • Korelasi kuat antara skala proyek dan frekuensi cost overrun (R² = 0.72).
  • Ketergantungan pada pendanaan tunggal signifikan secara statistik terhadap peningkatan risiko (p < 0.05).
  • Proyek dengan pengeluaran luar negeri >20% memiliki risiko tinggi terhadap fluktuasi mata uang (R² = 0.68).
  • Keterlambatan meningkat 45% karena perubahan regulasi, terutama di negara berkembang.
  • Variabilitas suku bunga berdampak negatif 20% terhadap pengembalian proyek.
  • Proyek tanpa klausul eskalasi harga menghadapi tekanan berat dari kenaikan harga material (p < 0.05).
  • Risiko kredit meningkat seiring bertambahnya jumlah subkontraktor (R² = 0.52).

Efektivitas Strategi Manajemen Risiko yang Umum Digunakan

Strategi yang digunakan oleh proyek-proyek yang dianalisis meliputi hedging, dana kontinjensi, dan skema PPP. Namun, penelitian ini menemukan bahwa strategi tersebut belum cukup efektif. Contohnya, dana kontinjensi seringkali tidak cukup besar untuk menutup pembengkakan biaya besar, dan mekanisme hedging belum menjangkau fluktuasi kompleks seperti suku bunga majemuk atau kebijakan fiskal mendadak.

Model manajemen risiko yang lebih responsif diperlukan, termasuk pendekatan berbasis data waktu nyata dan teknologi seperti analitik prediktif dan machine learning. Peneliti menyarankan penerapan kerangka kerja manajemen risiko finansial yang menyeluruh, dengan pelibatan aktif seluruh pemangku kepentingan sejak tahap perencanaan.

Pembelajaran dari Implementasi Strategis

Penelitian ini mengusulkan solusi spesifik yang relevan dengan dinamika proyek infrastruktur:

  • Diversifikasi sumber pendanaan untuk menghindari ketergantungan pada satu entitas pembiayaan.
  • Penggunaan kontrak fleksibel dengan klausul penyesuaian harga untuk mengantisipasi volatilitas material.
  • Pemanfaatan instrumen derivatif seperti currency swaps dan interest rate options.
  • Penguatan manajemen hubungan pemangku kepentingan untuk menghindari konflik kepentingan dan meningkatkan respons terhadap perubahan regulasi.
  • Pelatihan berkelanjutan untuk manajer risiko agar dapat mengadopsi teknologi terbaru dalam pemodelan dan mitigasi risiko.

Relevansi Teoritis: Integrasi Financial Risk Theory dan Agency Theory

Kerangka analisis artikel ini didasarkan pada Financial Risk Theory dan Agency Theory. Yang pertama menyoroti pentingnya mengenali risiko seperti pasar, kredit, operasional, dan likuiditas. Yang kedua menggarisbawahi perlunya sistem berbagi risiko yang adil antar pihak proyek, agar konflik kepentingan tidak menghambat kelancaran eksekusi.

Dalam konteks proyek multinasional, teori ini sangat relevan karena perbedaan regulasi dan ekspektasi antar pihak memerlukan mekanisme yang mampu menyelaraskan tujuan secara transparan dan akuntabel.

Implikasi untuk Kebijakan dan Riset Masa Depan

Temuan dari studi ini menjadi masukan penting bagi pembuat kebijakan, terutama dalam menyusun regulasi untuk proyek infrastruktur jangka panjang. Kebijakan fiskal harus mendukung fleksibilitas anggaran untuk dana darurat, sementara sistem lelang proyek harus mengintegrasikan kriteria kemampuan manajemen risiko finansial.

Untuk penelitian ke depan, penulis merekomendasikan:

  • Studi longitudinal untuk memantau efektivitas strategi risiko dalam siklus proyek.
  • Eksplorasi peran AI dan data besar dalam manajemen risiko.
  • Analisis korelasi antara keterlibatan pemangku kepentingan dan keberhasilan mitigasi risiko.
  • Pembandingan antara metode manajemen risiko pada model proyek berbeda (Scrum vs Waterfall).

Kesimpulan

Artikel ini mengisi celah penting dalam literatur akademik dengan menyediakan analisis komprehensif tentang manajemen risiko finansial dalam proyek infrastruktur besar. Dengan mengombinasikan data empirik dari survei profesional dan laporan keuangan nyata, serta memperkuat dengan kerangka teori yang mapan, penelitian ini tidak hanya relevan bagi akademisi tetapi juga praktisi proyek, pembuat kebijakan, dan investor.

Pengelolaan risiko finansial tidak bisa lagi bersifat reaktif dan parsial. Harus ada pendekatan holistik, dinamis, dan berbasis data untuk mengantisipasi dan mengatasi tantangan yang terus berkembang di era ketidakpastian global.

Sumber asli:

Chauhan, B., Dhanya, K. A., Soni, R., Bamini, J., Joy, A. J., & Chakraborty, S. (2025). Risk Management Strategies in Large-Scale Infrastructure Projects: A Financial Perspective. Journal of Infrastructure, Policy and Development, 9(1), 10731.

 

Selengkapnya
Strategi Manajemen Risiko Finansial dalam Proyek Infrastruktur Berskala Besar: Perspektif Empiris dan Praktis

Manajemen Risiko

Strategi Manajemen Risiko Finansial dalam Proyek Infrastruktur Skala Besar – Perspektif Keuangan

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 22 Mei 2025


Kontribusi penting terhadap literatur manajemen risiko, dengan menekankan pentingnya memahami dan mengelola risiko finansial dalam proyek infrastruktur berskala besar. Berikut resensi lengkap artikel ini yang disusun secara SEO-friendly dan mudah dipindai oleh pembaca.

Investasi infrastruktur global diperkirakan akan mencapai US$94 triliun hingga tahun 2040, didorong oleh urbanisasi, pertumbuhan penduduk, dan transisi menuju pembangunan berkelanjutan. Proyek-proyek ini penting karena selain meningkatkan layanan publik, juga mampu menciptakan lapangan kerja dan menggerakkan perekonomian.

Namun, proyek-proyek infrastruktur seringkali mengalami kegagalan dari sisi keuangan, seperti pembengkakan biaya, ketidakpastian pendanaan, fluktuasi mata uang, hingga perubahan kebijakan regulasi. Studi ini menunjukkan bahwa sekitar 30% proyek infrastruktur mengalami pembengkakan anggaran (cost overrun) — sejalan dengan temuan Flyvbjerg et al. (2002).

Penelitian ini berfokus pada tiga pertanyaan utama:

  1. Apa saja risiko finansial yang paling mempengaruhi keberhasilan proyek infrastruktur?
  2. Faktor risiko apa yang paling signifikan dalam proyek infrastruktur skala besar?
  3. Strategi manajemen risiko apa yang paling efektif?

Penulis mengembangkan tiga hipotesis:

  • Cost overrun, ketidakpastian pendanaan, dan volatilitas harga material adalah risiko utama.
  • Strategi saat ini seperti dana kontinjensi, hedging, dan PPP masih belum cukup efektif.
  • Pendekatan berbasis data real-time dan keterlibatan pemangku kepentingan dapat meningkatkan manajemen risiko.

Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif berbasis survei dan analisis laporan keuangan. Data dikumpulkan dari 150 profesional (manajer keuangan, manajer proyek, dan analis risiko) dari proyek-proyek besar di Eropa dan Amerika Utara. Selain itu, laporan keuangan dari enam proyek infrastruktur senilai lebih dari USD 500 juta — seperti London Crossrail dan California High-Speed Rail — dianalisis.

Teknik analisis meliputi:

  • Statistik deskriptif dan inferensial untuk data survei.
  • Analisis rasio keuangan seperti cost overrun ratio dan debt-to-equity ratio.
  • Uji regresi, chi-square, dan simulasi Monte Carlo untuk mengevaluasi korelasi antara faktor risiko dan kinerja proyek.

Hasil Penelitian: Risiko Finansial Utama

Penelitian mengidentifikasi tujuh risiko keuangan utama berikut:

  1. Cost Overrun (terjadi di 72% proyek, rating dampak 4.5 dari 5)
  2. Funding Challenges (64% proyek, dampak 4.0)
  3. Material Price Volatility (58% proyek, dampak 3.9)
  4. Currency Fluctuations (48% proyek, dampak 3.8)
  5. Regulatory Changes (50% proyek, dampak 3.5)
  6. Interest Rate Variability (45% proyek, dampak 3.2)
  7. Credit Risk (38% proyek, dampak 3.1)

Studi kasus menunjukkan bahwa proyek dengan lebih dari 20% pengeluaran dalam mata uang asing sangat rentan terhadap fluktuasi nilai tukar (R² = 0.68). Selain itu, proyek yang didanai dari satu sumber memiliki risiko pendanaan yang lebih tinggi (signifikansi p < 0.05). Penggunaan banyak subkontraktor meningkatkan risiko kredit secara signifikan (R² = 0.52).

Analisis Strategi Manajemen Risiko

Penulis mengevaluasi strategi manajemen risiko yang umum digunakan seperti:

  • Dana kontinjensi, yang sering kali tidak cukup dalam menghadapi kenaikan harga material.
  • Public-Private Partnerships (PPP), yang membantu mendistribusikan risiko, namun kerap gagal mengatasi risiko pasar seperti volatilitas mata uang.
  • Hedging, strategi perlindungan nilai tukar yang berguna tetapi terbatas pada proyek yang memiliki kapasitas finansial kuat.

Temuan menarik dari laporan keuangan menunjukkan bahwa proyek-proyek yang menerapkan klausul eskalasi harga dalam kontrak berhasil menekan dampak kenaikan harga material — ini menunjukkan bahwa fleksibilitas kontrak merupakan elemen penting dalam manajemen risiko.

Implikasi Praktis

Penelitian ini menyarankan beberapa pendekatan manajemen risiko finansial yang lebih canggih dan kontekstual:

  • Diversifikasi sumber pendanaan untuk mengurangi ketergantungan pada satu kanal pembiayaan.
  • Penggunaan teknologi prediktif seperti machine learning untuk mendeteksi risiko sejak dini.
  • Penerapan real-time risk assessment agar keputusan dapat dibuat cepat sebelum risiko berkembang.
  • Keterlibatan pemangku kepentingan sejak tahap awal proyek, guna menyelaraskan ekspektasi dan pembagian risiko.

Kritik dan Saran

Salah satu kekuatan artikel ini adalah kombinasi data survei dan laporan keuangan yang memberikan wawasan empiris yang kuat. Namun, beberapa keterbatasan tetap ada, seperti keterwakilan geografis yang terbatas pada Eropa dan Amerika Utara. Selain itu, risiko non-finansial seperti politik dan lingkungan tidak dibahas secara mendalam.

Ke depan, studi longitudinal dapat dilakukan untuk mengamati bagaimana strategi manajemen risiko berkembang dalam jangka panjang. Penelitian lanjutan juga bisa menjajaki integrasi metodologi manajemen proyek (seperti Agile atau Waterfall) dengan pendekatan manajemen risiko finansial.

Keterkaitan dengan Tren Global

Temuan artikel ini sangat relevan dengan tren global dalam infrastruktur. Misalnya, di tengah ketidakpastian ekonomi pasca-pandemi dan fluktuasi pasar global, proyek infrastruktur menghadapi tekanan besar dalam pembiayaan. Di Indonesia, proyek-proyek seperti Ibu Kota Nusantara (IKN) juga menghadapi tantangan serupa, mulai dari biaya tinggi hingga ketidakpastian pembiayaan.

Penerapan strategi seperti diversifikasi pendanaan dan fleksibilitas kontrak sangat sesuai untuk konteks Indonesia. Selain itu, pendekatan berbasis data bisa diterapkan melalui pemanfaatan platform digital dan sistem ERP yang semakin berkembang di sektor konstruksi nasional.

Kesimpulan

Artikel “Risk Management Strategies in Large-Scale Infrastructure Projects: A Financial Perspective” memberikan kontribusi signifikan dalam memperkuat pemahaman kita tentang pentingnya manajemen risiko finansial dalam proyek infrastruktur. Dengan dukungan data empiris, artikel ini merekomendasikan strategi baru berbasis teknologi dan kolaborasi multi-pihak sebagai solusi atas risiko-risiko yang selama ini menghambat keberhasilan proyek infrastruktur besar.

Untuk para profesional, pembuat kebijakan, dan investor di sektor infrastruktur, temuan dalam artikel ini sangat layak dijadikan referensi dalam menyusun kebijakan risiko yang adaptif, proaktif, dan berbasis data. Di masa depan, hanya proyek-proyek yang memiliki kerangka manajemen risiko kuat dan dinamis yang dapat bertahan dan memberikan manfaat ekonomi dan sosial yang maksimal.

Sumber asli:
Chauhan B, K. A. Dhanya, Soni R, Bamini J, Joy A.J., Chakraborty S. (2025). Risk management strategies in large-scale infrastructure projects: A financial perspective. Journal of Infrastructure, Policy and Development, 9(1): 10731.

 

Selengkapnya
Strategi Manajemen Risiko Finansial dalam Proyek Infrastruktur Skala Besar – Perspektif Keuangan
« First Previous page 6 of 9 Next Last »