Manajemen Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 26 Mei 2025
Memahami IWRM Lewat Lensa Jaringan Kebijakan
Integrated Water Resources Management (IWRM) telah lama diusung sebagai pendekatan ideal dalam pengelolaan air global. Namun, dalam praktiknya, implementasi IWRM di negara-negara berkembang kerap tertatih, termasuk di Bangladesh. Dalam disertasinya, Ubaydur Rahaman Siddiki (2022) mengusulkan pendekatan inovatif dengan memanfaatkan Policy Network Analysis (PNA) sebagai alat bedah untuk menilai bagaimana kebijakan dan proyek air dibentuk, diterapkan, dan—sering kali—gagal. Artikel ini meresensi dan memperluas tesis Siddiki dalam bahasa yang komunikatif, memperkaya dengan studi kasus dan tren global, serta menawarkan opini kritis yang membumi.
IWRM: Konsep Global, Tantangan Lokal
IWRM, menurut definisi Global Water Partnership (2000), adalah proses yang mempromosikan pengelolaan dan pengembangan air, tanah, dan sumber daya lainnya secara terkoordinasi untuk memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem vital. Di atas kertas, IWRM menjanjikan harmoni. Namun dalam praktiknya, khususnya di Bangladesh:
Policy Network Analysis: Membongkar Simpul Masalah
Siddiki mengangkat PNA sebagai alat diagnosis kebijakan yang melihat:
Temuan Utama:
Studi Kasus: Proyek WMIP sebagai Cermin Kerapuhan Sistem
WMIP adalah proyek besar yang didanai ADB dan Bank Dunia, ditujukan untuk mereformasi kelembagaan air di Bangladesh. Namun:
Kritik tambahan: WMIP mencerminkan bias top-down yang masih kental dalam proyek air, yang seringkali mengabaikan indigenous knowledge atau praktik lokal.
Menghubungkan dengan Praktik Global: Apa yang Bisa Dipelajari?
Indonesia
Kasus Indonesia dalam menangani penurunan muka tanah di Jakarta juga mencerminkan pentingnya kolaborasi antarlembaga dan partisipasi warga. Tanpa data spasial terbuka dan mekanisme feedback dari masyarakat, kebijakan larangan sumur bor tidak efektif.
Iran (Danau Urmia)
Restorasi danau Urmia melibatkan model hidrologi partisipatif dan monitoring satelit. Bangladesh bisa belajar dari bagaimana integrasi sains dan partisipasi masyarakat dapat menjadi dasar kebijakan.
Menuju Solusi: Rekomendasi Kunci
Dampak Praktis dan Industri
Kritik Akademik dan Potensi Lanjutan
Meskipun komprehensif, penelitian ini masih fokus pada dua kasus (Water Act dan WMIP). Akan lebih kuat bila diperluas ke wilayah lain seperti Chittagong atau permukiman pesisir. Selain itu, pendekatan PNA bisa digabungkan dengan metode kuantitatif seperti Social Network Analysis (SNA) untuk menghasilkan peta interaksi yang lebih konkret.
Kesimpulan: IWRM Tak Cukup Hanya "Terintegrasi" di Atas Kertas
Siddiki berhasil membedah kenapa IWRM seringkali gagal bukan karena niat, melainkan karena desain kebijakan yang eksklusif, jaringan aktor yang timpang, serta implementasi yang tidak konsisten. Melalui PNA, ia menunjukkan bahwa solusi ada di balik interaksi manusia, bukan hanya dalam dokumen strategis.
Bottom line: Reformasi kebijakan air harus mulai dari "jaringan," bukan hanya "peraturan."
Sumber: Siddiki, U. R. (2022). Understanding Integrated Water Resources Management using Policy Network Analysis: Implications for Bangladesh. University of Canberra.
Manajemen Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 22 Mei 2025
Mengapa “Praktikal IWRM” Penting Sekarang?
Lonjakan populasi, urbanisasi, dan iklim ekstrem membuat konflik air kian kompleks. Konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) sudah diakui secara global, namun pertanyaannya: bagaimana menjalankannya di lapangan? Paper Kenji Nagata dkk. (2022) menjawab lewat pendekatan Practical IWRM—formula konkrit yang teruji di Sudan, Bolivia, Indonesia, dan Iran. Artikel ini mengulas temuan tersebut, menambahkan data terbaru, kritik, serta peluang implementasi di Indonesia dan kawasan Global South.
Dari Definisi Abstrak ke Aksi Nyata
IWRM—Konsep Besar, Eksekusi Sulit
Practical IWRM—Tiga Pilar Aksi
Pendekatan ini berfokus pada konsensus sosial sebagai inti IWRM, bukan sekadar infrastruktur.
Studi Kasus & Insight Tambahan
Sudan – Air Tanah Bara Basin: Menjaga “Tabungan” di Gurun
Opini: Tanpa skema tarif air tanah progresif dan pembatasan sumur irigasi, council baru riskan jadi “macan kertas”.
Bolivia – Cochabamba: Dari “Water War” ke Dialog
Indonesia – Jakarta: Kota Raksasa yang Terus Tenggelam
Iran – Danau Urmia: Menyelamatkan Laut Garam yang Sekarat
Analisis Kritis & Perbandingan Penelitian Lain
Rekomendasi Praktis bagi Pembuat Kebijakan
Dampak Industri & Tren Masa Depan
Kesimpulan – IWRM sebagai “Proses”, Bukan “Proyek”
Paper Nagata dkk. memecah kebuntuan IWRM dengan resep Practical. Kuncinya: (1) data objektif, (2) kemitraan setara, (3) siklus pembelajaran cepat. Keberhasilan awal di empat negara menunjukkan model ini skalabel, meski perlu penyesuaian kebijakan fiskal dan jaminan keadilan sosial.
Bottom line: Integrasi sumber daya air bukan tujuan akhir, melainkan perjalanan kolektif lintas generasi.
Sumber: Nagata, K., Shoji, I., Arima, T., Otsuka, T., Kato, K., Matsubayashi, M., & Omura, M. (2022). Practicality of integrated water resources management (IWRM) in different contexts. International Journal of Water Resources Development, 38(5), 897-919.
Manajemen Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 20 Mei 2025
Pendahuluan: Krisis Air dan Urgensi Reformasi
Burkina Faso, negara di Afrika Barat yang tergolong semi-kering, telah lama menghadapi tantangan kelangkaan air. Meskipun curah hujan tahunannya setara dengan Prancis, masalah terletak pada manajemen sumber daya yang tidak optimal. Kajian mendalam oleh Ebba Holmström (2019) dari Uppsala University menyajikan studi kasus di dua Komite Lokal Air (CLE) di bawah Agence de l’Eau du Nakanbé, menganalisis penerapan Integrated Water Resources Management (IWRM) atau dalam konteks lokal disebut GIRE.
Apa Itu IWRM dan Mengapa Penting?
IWRM adalah pendekatan holistik untuk mengelola air secara lintas sektor dan partisipatif. Sejak Konferensi Dublin 1992, IWRM menjadi solusi global untuk menyatukan kebijakan, lingkungan, dan partisipasi masyarakat dalam satu kerangka kerja. Burkina Faso menjadi pionir di Afrika Barat dalam mengadopsi prinsip ini. Namun, seperti yang dijelaskan Holmström, tantangan utamanya adalah apakah model global ini cocok untuk konteks lokal?
Pertanyaan Kunci Penelitian
Metodologi: Pendekatan Etnografis dan Komparatif
Holmström melakukan penelitian lapangan selama 10 minggu pada tahun 2019, dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara semi-terstruktur dan observasi partisipatif. Fokusnya pada dua CLE: Nilima dan Murundu. Keduanya berada di wilayah yang sama namun berbeda secara ukuran geografis dan dinamika sosial-politik.
Temuan Kunci: Antara Ambisi Global dan Realitas Lokal
1. Waktu Pendanaan Tidak Sinkron dengan Musim Tanam
Contoh nyata konflik sistem global dan lokal adalah soal pendanaan. Dana dari donor internasional seperti Sida dan Danida seringkali terlambat, misalnya cair pada Agustus, padahal aktivitas konservasi seperti "traitement des ravines" (penanganan erosi) idealnya dilakukan di musim kering (Januari–April). Ini adalah contoh klasik dari pendekatan "square pegs in round holes" (Andrews, 2013).
2. Hierarki Budaya Vs Prinsip Subsidiaritas
Meskipun IWRM menekankan prinsip subsidiaritas—pengambilan keputusan di tingkat paling bawah—hierarki budaya Mossi menghambat partisipasi setara. Para anggota CLE enggan mengambil inisiatif tanpa restu atasan. Ini menunjukkan bahwa pendekatan institusional global tidak selaras dengan norma sosial lokal.
3. Lembaga Informal Menyelamatkan Situasi
Dalam beberapa kasus, informalitas justru menjadi penyelamat. Ketika pendanaan formal gagal, Water Agency menyelamatkan CLE Murundu melalui sumber dana alternatif. Menurut Helmke & Levitsky (2004), ini adalah contoh institusi informal substitutif yang bekerja saat institusi formal melemah.
4. Politik Lokal Berpengaruh Besar
CLE Nilima sempat tidak aktif pasca kudeta dan reformasi politik tahun 2014–2016. Kepemimpinan lokal yang merangkap jabatan di pemerintahan memperlambat kerja CLE. Sementara CLE Murundu dipimpin petani lokal yang lebih fokus pada isu air.
Kritik terhadap Pendekatan Donor dan Reformasi Institusional
Studi ini juga mengkritik logika one-size-fits-all dari lembaga donor. Holmström mengutip William Easterly dan Lavagnon Ika yang menyatakan bahwa blueprint development sering gagal karena tidak memperhitungkan realitas lapangan. GIRE dipandang terlalu teknokratik, dan kurang fleksibel terhadap adat lokal serta dinamika politik desa.
Dimensi Sosial dan Budaya: Dua Sistem Hukum yang Paralel
Burkina Faso memiliki sistem hukum ganda: modern (warisan kolonial Prancis) dan tradisional (adat kepala suku). CLE sering kali berada di tengah tarik-menarik ini. Misalnya, kepala suku tetap dihormati meski tidak diakui secara formal dalam struktur CLE, yang menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan ambiguitas.
Dampak Perubahan Iklim dan Peran Adaptasi
Burkina Faso menghadapi tantangan besar dari perubahan iklim. Penurunan curah hujan dan peningkatan suhu membuat pengelolaan air menjadi sangat krusial. Dalam konteks ini, Holmström mengutip Cecilia Tortajada (2016), yang menekankan bahwa infrastruktur saja tidak cukup—diperlukan tata kelola adaptif dan responsif terhadap realitas lokal.
Kesimpulan dan Rekomendasi
Studi ini memberi pelajaran penting:
Opini Penulis:
Holmström berhasil menunjukkan pentingnya pendekatan bottom-up dalam tata kelola air. Penelitiannya menjadi contoh konkret betapa pentingnya kesesuaian antara desain global dan konteks lokal.
Sumber:
Holmström, E. (2019). The Implementation of Integrated Water Resources Management on a Local Level in Burkina Faso. Uppsala University.
Manajemen Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 16 Mei 2025
Pengantar: Antara Idealisme dan Realitas Tata Kelola Air
Integrated Water Resources Management (IWRM) telah menjadi paradigma utama dalam pengelolaan air sejak pertengahan abad ke-20. Konsep ini menawarkan pengelolaan air secara menyeluruh—mengintegrasikan tanah, air, dan kepentingan sosial ekonomi untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Namun, tulisan Saravanan, McDonald, dan Mollinga (2008) dalam "Critical Review of Integrated Water Resources Management: Moving Beyond Polarised Discourse" mengajak kita menggugat status quo IWRM. Mereka memaparkan bagaimana diskursus idealistik (Habermas) dan realistik (Foucault) tentang IWRM sering terjebak dalam ekstremisme teori yang tidak membumi.
Evolusi IWRM: Dari Rekayasa Teknis ke Ruang Diskusi Demokratis
Awalnya, IWRM diilhami pendekatan teknokratis—bendungan, kanal, dan proyek besar. Namun, seiring waktu, pendekatan ini dikritik karena mengabaikan masyarakat dan dinamika lokal. IWRM kemudian mengambil inspirasi dari rasionalitas komunikatif Habermas: keputusan dibuat melalui diskusi terbuka antar pemangku kepentingan dalam unit hidrologis. Di sinilah muncul konsep ideal speech situation, di mana semua pihak punya suara setara.
Namun, kritik Foucauldian mempertanyakan kemungkinan praktik demokrasi sejati di tengah ketimpangan kekuasaan. Mereka menilai bahwa IWRM adalah medan politik, bukan sekadar proses teknis atau partisipatif.
Mengapa Diskursus IWRM Menjadi Terpolarisasi?
Saravanan et al. menunjukkan bahwa diskusi IWRM terjebak dalam dua kutub:
Artikel ini menyarankan untuk tidak memilih salah satu ekstrem, melainkan menggabungkan keduanya: mengakui konteks kuasa, sambil tetap mendorong dialog dan partisipasi.
Studi Kasus Global: IWRM dalam Praktek
Studi ini membandingkan praktik IWRM di beberapa negara:
Semua kasus menunjukkan satu hal: tanpa koordinasi antar-lembaga dan kerangka hukum yang jelas, IWRM hanyalah jargon.
Dimensi Partisipasi: Retorika atau Realita?
Banyak negara mengklaim mengadopsi partisipasi dalam IWRM. Namun kenyataannya:
Di Australia dan India, partisipasi bahkan digunakan untuk menyaring kelompok yang tidak sepaham dengan pemerintah.
Alat Manajemen: Konflik, Akuntabilitas, dan Distribusi
Instrumen IWRM seperti mekanisme resolusi konflik, penentuan harga air, dan distribusi sumber daya tidak cukup tanpa tata kelola yang kuat.
Menuju Integrasi Strategis: Jalan Tengah
Saravanan et al. mengusulkan pendekatan interdependensi: mengakui keterbatasan pendekatan normatif dan realistik, lalu menyatukannya. Dengan kata lain:
Strategi ini memerlukan:
Kesimpulan: IWRM Bukan Nirwana, Tapi Proses Politik Dinamis
Kritik Saravanan, McDonald, dan Mollinga menyoroti pentingnya realisme dalam implementasi IWRM. Mereka mengajak kita untuk tidak melihat IWRM sebagai konsep "nirwana" yang bisa menyelesaikan semua masalah air. Sebaliknya, IWRM harus dipahami sebagai proses negosiasi multi-aktor yang dinamis, penuh konflik, dan sarat konteks.
Dengan merangkul pendekatan strategis yang menggabungkan idealisme dan pragmatisme, IWRM bisa menjadi alat transformasi tata kelola air yang lebih adil dan kontekstual.
Sumber:
Saravanan, V. S., McDonald, G. T., & Mollinga, P. P. (2008). Critical review of integrated water resources management: Moving beyond polarised discourse. ZEF Working Paper Series, No. 29. University of Bonn, Center for Development Research.
Manajemen Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 15 Mei 2025
Pengantar: Air dalam Simpangan Kepentingan
Air adalah kebutuhan fundamental yang semakin terancam oleh perubahan iklim, ledakan populasi, dan ekspansi ekonomi. Terlepas dari kenyataan bahwa wilayah Sungai Aceh Meureudu memiliki curah hujan tahunan hingga 3.000 mm dan cekungan air tanah seluas 708.284 km², akses masyarakat terhadap air bersih masih terbatas. Di sinilah konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) menjadi krusial sebagai pendekatan lintas sektor yang menjamin keberlanjutan sumber daya air.
Paper karya Lely Masthura et al. (2023) menawarkan gambaran komprehensif mengenai bagaimana IWRM diimplementasikan di WS Aceh Meureudu, termasuk peran para pemangku kepentingan, benturan regulasi, dan praktik koordinasi kelembagaan yang kerap mandek di tengah jalan.
Apa Itu IWRM dan Mengapa Penting?
IWRM adalah kerangka kerja terpadu yang menggabungkan aspek teknis, lingkungan, sosial, dan kelembagaan dalam pengelolaan air. Fokus utamanya adalah memastikan pemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan tanpa mengorbankan ekosistem. IWRM bertujuan menjembatani kepentingan antara:
WS Aceh Meureudu, sebagai salah satu wilayah strategis nasional, menjadi medan uji penting implementasi IWRM di Indonesia.
Fakta Lapangan: Krisis Air dalam Kemelimpahan
Kebutuhan vs Ketersediaan:
Masalah Kritis:
Stakeholder dan Struktur Lembaga: Banyak, Tapi Tak Sinkron
a. Regulator
Lembaga yang bertanggung jawab pada kebijakan: Bappeda, Bapedal, Gubernur, Dinas Teknis
b. Operator
Mengelola pelaksanaan lapangan: Dinas Lingkungan Hidup, BWSSum1, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, dll.
c. Developer
Menangani pembangunan infrastruktur: BWSSum1 dan instansi kehutanan
d. User
Masyarakat, PDAM, dan sektor industri
e. Coordinator
Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) — penghubung semua unsur di atas
Ironisnya, meski semua unsur telah terbentuk, koordinasi antarlembaga masih lemah. Banyak kebijakan TKPSDA tidak dijalankan karena tumpang tindih peraturan dan lemahnya political will sektor-sektor.
Studi Kasus: Tumpang Tindih Kewenangan dan Pajak yang Tak Tertagih
Permasalahan Air Tanah:
Akibatnya:
Ini memperlihatkan bagaimana konflik horizontal antarsektor dan konflik vertikal antarjenjang pemerintahan melemahkan efektivitas pengelolaan air.
Opini & Kritik: Paradoks dalam Regulasi dan Implementasi
Kelebihan IWRM:
Kekurangan Implementasi:
Perbandingan Praktik Global:
Singapura sukses membangun DTSS (Deep Tunnel Sewerage System) yang mengubah air limbah jadi air siap konsumsi. Indonesia, sebaliknya, masih berjuang memastikan air tidak sekadar tersedia, tetapi juga layak dan merata.
Rekomendasi Praktis
Penutup: Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Efektif
WS Aceh Meureudu menyimpan potensi air yang besar namun belum dikelola secara optimal akibat kendala regulasi, lemahnya koordinasi kelembagaan, dan absennya mekanisme insentif-sanksi yang efektif. IWRM seharusnya tidak berhenti sebagai konsep, tetapi dijalankan sebagai prinsip tata kelola yang menyatukan visi pembangunan dan keberlanjutan lingkungan.
Sumber:
Masthura, L., Wignyosukarto, B. S., Fahriana, N., & Ardhyan, M. Z. (2023). Keterpaduan Lintas Sektoral dalam Pengembangan Kebijakan Integrated Water Resources Management (IWRM) pada Wilayah Sungai Aceh Meureudu Provinsi Aceh. Jurnal Daur Lingkungan, 6(1), 40–47.
Manajemen Air
Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda pada 15 Mei 2025
Pendahuluan: Saat Air Bukan Lagi Hak, tapi Tantangan
Air bersih adalah hak dasar manusia, namun semakin langka karena tekanan populasi, polusi, dan perubahan iklim. Di sinilah konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) atau Pengelolaan Sumber Daya Air Terpadu hadir sebagai solusi strategis. Paper Integrated Water Resources Management dari GWP Technical Advisory Committee (2000) merupakan salah satu dokumen dasar yang menjabarkan prinsip, tantangan, dan cara implementasi IWRM secara komprehensif.
Apa Itu IWRM?
IWRM adalah proses yang mendorong pengelolaan dan pengembangan air, tanah, dan sumber daya terkait secara terkoordinasi. Tujuannya adalah memaksimalkan kesejahteraan ekonomi dan sosial secara adil tanpa mengorbankan keberlanjutan ekosistem vital.
Empat Prinsip Dublin yang Mendasari IWRM:
Tantangan Global dalam Pengelolaan Air
1. Kesenjangan Akses
Sekitar 20% populasi dunia tidak memiliki akses air minum aman, dan 50% tidak memiliki sanitasi memadai. Kondisi ini berdampak pada kesehatan, produktivitas, dan ketimpangan sosial.
2. Persaingan Kebutuhan
Dengan lebih dari 70% air digunakan untuk irigasi, meningkatnya populasi dan permintaan pangan memicu konflik antar sektor: pertanian vs domestik vs industri vs ekosistem.
3. Polusi & Krisis Ekosistem
Limbah pertanian dan industri mencemari air permukaan dan tanah. Kualitas air menurun drastis di banyak wilayah, mengancam biodiversitas dan kesehatan manusia.
4. Variabilitas Iklim
Variasi musiman dan tahunan hujan memperparah krisis air, terutama di negara berkembang. Ketidakpastian iklim menambah risiko kekeringan dan banjir ekstrem.
Implementasi IWRM: Bukan Teori, Tapi Aksi Nyata
Paper ini tidak hanya memberi kerangka konseptual, tetapi juga peta jalan implementasi melalui tiga elemen kunci:
1. Lingkungan Pendukung (Enabling Environment)
Termasuk kebijakan nasional, peraturan hukum, dan sistem informasi. Pemerintah perlu menciptakan kondisi agar semua aktor dapat berperan aktif dan bertanggung jawab.
2. Peran Kelembagaan
Pembagian peran di berbagai level harus jelas. Mulai dari lembaga pusat pembuat kebijakan hingga komunitas lokal pelaksana lapangan. Koordinasi lintas sektor mutlak diperlukan.
3. Instrumen Manajerial
Studi Kasus Nyata: Tamil Nadu, India
Dalam basin Sungai Vaigai di India, IWRM diterapkan dengan menggabungkan partisipasi masyarakat, teknologi pendukung pengambilan keputusan (decision support system), dan dialog antar sektor. Model ini terbukti membantu meredakan konflik antara pengguna air hulu dan hilir serta lintas sektor (pertanian vs perkotaan).
Analisis Kritis & Tambahan Opini
Paper ini merupakan fondasi penting bagi negara-negara berkembang yang ingin mengadopsi IWRM. Namun ada beberapa hal yang perlu diperkuat:
Perbandingan dengan Pendekatan Lain
Berbeda dari pendekatan sektoral, IWRM menyatukan semua aspek air—kuantitas, kualitas, sumber daya, dan pemakai—dalam satu sistem. Ini memberikan efisiensi dan keadilan jangka panjang.
Relevansi IWRM di Era Perubahan Iklim
Di tengah ancaman iklim dan pertumbuhan penduduk, IWRM menjadi alat vital untuk:
Kesimpulan: Saatnya Mengintegrasikan, Bukan Memisahkan
IWRM bukan sekadar pendekatan teknokratik, melainkan paradigma baru yang menempatkan air sebagai hak, tanggung jawab bersama, dan aset ekonomi. Paper ini menjadi pedoman penting bagi pembuat kebijakan, akademisi, dan pelaku lapangan yang ingin mengelola air secara efisien, adil, dan berkelanjutan.
Sumber
Global Water Partnership. (2000). Integrated Water Resources Management. TAC Background Papers No. 4.