Mengulas Kritis IWRM: Menjembatani Diskursus Habermas vs Foucault dalam Tata Kelola Air

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda

16 Mei 2025, 10.37

pixabay.com

Pengantar: Antara Idealisme dan Realitas Tata Kelola Air

Integrated Water Resources Management (IWRM) telah menjadi paradigma utama dalam pengelolaan air sejak pertengahan abad ke-20. Konsep ini menawarkan pengelolaan air secara menyeluruh—mengintegrasikan tanah, air, dan kepentingan sosial ekonomi untuk mendukung pembangunan berkelanjutan. Namun, tulisan Saravanan, McDonald, dan Mollinga (2008) dalam "Critical Review of Integrated Water Resources Management: Moving Beyond Polarised Discourse" mengajak kita menggugat status quo IWRM. Mereka memaparkan bagaimana diskursus idealistik (Habermas) dan realistik (Foucault) tentang IWRM sering terjebak dalam ekstremisme teori yang tidak membumi.

Evolusi IWRM: Dari Rekayasa Teknis ke Ruang Diskusi Demokratis

Awalnya, IWRM diilhami pendekatan teknokratis—bendungan, kanal, dan proyek besar. Namun, seiring waktu, pendekatan ini dikritik karena mengabaikan masyarakat dan dinamika lokal. IWRM kemudian mengambil inspirasi dari rasionalitas komunikatif Habermas: keputusan dibuat melalui diskusi terbuka antar pemangku kepentingan dalam unit hidrologis. Di sinilah muncul konsep ideal speech situation, di mana semua pihak punya suara setara.

Namun, kritik Foucauldian mempertanyakan kemungkinan praktik demokrasi sejati di tengah ketimpangan kekuasaan. Mereka menilai bahwa IWRM adalah medan politik, bukan sekadar proses teknis atau partisipatif.

Mengapa Diskursus IWRM Menjadi Terpolarisasi?

Saravanan et al. menunjukkan bahwa diskusi IWRM terjebak dalam dua kutub:

  • Habermas: Menekankan partisipasi, konsensus, dan rasionalitas deliberatif. Namun, terlalu normatif.
  • Foucault: Menekankan kuasa, konteks, dan strategi dominasi, tetapi sering tanpa solusi praktis.

Artikel ini menyarankan untuk tidak memilih salah satu ekstrem, melainkan menggabungkan keduanya: mengakui konteks kuasa, sambil tetap mendorong dialog dan partisipasi.

Studi Kasus Global: IWRM dalam Praktek

Studi ini membandingkan praktik IWRM di beberapa negara:

  • India: Terjebak tumpang tindih kebijakan sektoral antara Kementerian Pertanian, Kehutanan, dan Lingkungan.
  • Australia: Lebih fleksibel karena sistem federal, tetapi tetap mengalami masalah koordinasi.
  • Zimbabwe & Afrika Selatan: Menekankan partisipasi pasca-reformasi air, namun sering terburu-buru membentuk lembaga baru tanpa kesiapan lokal.
  • Meksiko & Brasil: Membentuk dewan DAS, tetapi dengan mandat yang tidak jelas.

Semua kasus menunjukkan satu hal: tanpa koordinasi antar-lembaga dan kerangka hukum yang jelas, IWRM hanyalah jargon.

Dimensi Partisipasi: Retorika atau Realita?

Banyak negara mengklaim mengadopsi partisipasi dalam IWRM. Namun kenyataannya:

  • Partisipasi sering dikendalikan dari atas (top-down).
  • Lembaga lokal seperti kelompok pengguna air sering tidak memiliki wewenang nyata.
  • Proses konsultatif hanya memperkuat struktur kekuasaan lama.

Di Australia dan India, partisipasi bahkan digunakan untuk menyaring kelompok yang tidak sepaham dengan pemerintah.

Alat Manajemen: Konflik, Akuntabilitas, dan Distribusi

Instrumen IWRM seperti mekanisme resolusi konflik, penentuan harga air, dan distribusi sumber daya tidak cukup tanpa tata kelola yang kuat.

  • Akuntabilitas: Banyak lembaga hanya akuntabel ke atas, bukan ke masyarakat.
  • Koordinasi: Tumpang tindih peran dan wewenang lembaga membuat implementasi kacau.
  • Keadilan: Studi menunjukkan manfaat IWRM cenderung dinikmati kelompok elit, sementara kelompok miskin tersingkir.

Menuju Integrasi Strategis: Jalan Tengah

Saravanan et al. mengusulkan pendekatan interdependensi: mengakui keterbatasan pendekatan normatif dan realistik, lalu menyatukannya. Dengan kata lain:

  • Gunakan analisis kuasa untuk memahami dinamika lokal (Foucault),
  • Tapi tetap mendorong ruang dialog partisipatif (Habermas).

Strategi ini memerlukan:

  • Analisis kontekstual mendalam,
  • Lembaga yang fleksibel namun kuat,
  • Kesadaran bahwa integrasi adalah proses, bukan tujuan statis.

Kesimpulan: IWRM Bukan Nirwana, Tapi Proses Politik Dinamis

Kritik Saravanan, McDonald, dan Mollinga menyoroti pentingnya realisme dalam implementasi IWRM. Mereka mengajak kita untuk tidak melihat IWRM sebagai konsep "nirwana" yang bisa menyelesaikan semua masalah air. Sebaliknya, IWRM harus dipahami sebagai proses negosiasi multi-aktor yang dinamis, penuh konflik, dan sarat konteks.

Dengan merangkul pendekatan strategis yang menggabungkan idealisme dan pragmatisme, IWRM bisa menjadi alat transformasi tata kelola air yang lebih adil dan kontekstual.

Sumber:
Saravanan, V. S., McDonald, G. T., & Mollinga, P. P. (2008). Critical review of integrated water resources management: Moving beyond polarised discourse. ZEF Working Paper Series, No. 29. University of Bonn, Center for Development Research.