Resensi Kritis IWRM di WS Aceh Meureudu: Mengurai Benang Kusut Pengelolaan Air Terpadu

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda

15 Mei 2025, 11.28

pixabay.com

Pengantar: Air dalam Simpangan Kepentingan

Air adalah kebutuhan fundamental yang semakin terancam oleh perubahan iklim, ledakan populasi, dan ekspansi ekonomi. Terlepas dari kenyataan bahwa wilayah Sungai Aceh Meureudu memiliki curah hujan tahunan hingga 3.000 mm dan cekungan air tanah seluas 708.284 km², akses masyarakat terhadap air bersih masih terbatas. Di sinilah konsep Integrated Water Resources Management (IWRM) menjadi krusial sebagai pendekatan lintas sektor yang menjamin keberlanjutan sumber daya air.

Paper karya Lely Masthura et al. (2023) menawarkan gambaran komprehensif mengenai bagaimana IWRM diimplementasikan di WS Aceh Meureudu, termasuk peran para pemangku kepentingan, benturan regulasi, dan praktik koordinasi kelembagaan yang kerap mandek di tengah jalan.

Apa Itu IWRM dan Mengapa Penting?

IWRM adalah kerangka kerja terpadu yang menggabungkan aspek teknis, lingkungan, sosial, dan kelembagaan dalam pengelolaan air. Fokus utamanya adalah memastikan pemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan tanpa mengorbankan ekosistem. IWRM bertujuan menjembatani kepentingan antara:

  • Sektor pengguna air (rumah tangga, industri, pertanian)
  • Pemangku kepentingan kelembagaan (pemerintah pusat dan daerah)
  • Pengelola lingkungan (konservasi dan mitigasi kerusakan air)

WS Aceh Meureudu, sebagai salah satu wilayah strategis nasional, menjadi medan uji penting implementasi IWRM di Indonesia.

Fakta Lapangan: Krisis Air dalam Kemelimpahan

Kebutuhan vs Ketersediaan:

  • Kebutuhan air bersih WS Aceh Meureudu: 2.917,64 liter/detik
  • Pemenuhan dari PDAM: sangat minim
  • Penggunaan air isi ulang: 78,25% di Pidie Jaya, 65,28% di Sabang

Masalah Kritis:

  • Sumur dalam dan sumur tidak terlindung masih digunakan secara masif
  • Musim kemarau: kekeringan di 14 kecamatan
  • Musim hujan: banjir akibat meluapnya sungai Kr. Aceh, Kr. Baro, dan Kr. Tiro
  • Rasio debit maksimum terhadap minimum (Qmax/Qmin) > 75: indikasi ketimpangan ekstrem

Stakeholder dan Struktur Lembaga: Banyak, Tapi Tak Sinkron

a. Regulator

Lembaga yang bertanggung jawab pada kebijakan: Bappeda, Bapedal, Gubernur, Dinas Teknis

b. Operator

Mengelola pelaksanaan lapangan: Dinas Lingkungan Hidup, BWSSum1, Dinas Pertanian, Dinas Pengairan, dll.

c. Developer

Menangani pembangunan infrastruktur: BWSSum1 dan instansi kehutanan

d. User

Masyarakat, PDAM, dan sektor industri

e. Coordinator

Tim Koordinasi Pengelolaan Sumber Daya Air (TKPSDA) — penghubung semua unsur di atas

Ironisnya, meski semua unsur telah terbentuk, koordinasi antarlembaga masih lemah. Banyak kebijakan TKPSDA tidak dijalankan karena tumpang tindih peraturan dan lemahnya political will sektor-sektor.

Studi Kasus: Tumpang Tindih Kewenangan dan Pajak yang Tak Tertagih

Permasalahan Air Tanah:

  • Izin dikeluarkan oleh Dinas ESDM Provinsi
  • Penarikan pajak air tanah: belum dilakukan karena kabupaten/kota belum memiliki Perbup/Perwal

Akibatnya:

  • Tidak ada kontrol pemanfaatan air tanah secara efektif
  • Ketimpangan kewenangan pusat-daerah

Ini memperlihatkan bagaimana konflik horizontal antarsektor dan konflik vertikal antarjenjang pemerintahan melemahkan efektivitas pengelolaan air.

Opini & Kritik: Paradoks dalam Regulasi dan Implementasi

Kelebihan IWRM:

  • Pendekatan sistemik dan kolaboratif
  • Mampu mengakomodasi kepentingan multipihak

Kekurangan Implementasi:

  • Fragmentasi kewenangan
  • Lemahnya komitmen politik dan pendanaan
  • Koordinasi lintas sektor hanya sebatas formalitas

Perbandingan Praktik Global:

Singapura sukses membangun DTSS (Deep Tunnel Sewerage System) yang mengubah air limbah jadi air siap konsumsi. Indonesia, sebaliknya, masih berjuang memastikan air tidak sekadar tersedia, tetapi juga layak dan merata.

Rekomendasi Praktis

  1. Penguatan TKPSDA sebagai aktor utama dalam harmonisasi lintas sektor
  2. Sinkronisasi regulasi pusat-daerah dengan memperjelas ranah kewenangan
  3. Digitalisasi sistem informasi air untuk pemantauan debit dan kualitas secara real time
  4. Peningkatan literasi air masyarakat untuk mengurangi tekanan permintaan
  5. Evaluasi rutin terhadap kebijakan IWRM berbasis dampak nyata, bukan hanya dokumen

Penutup: Menuju Tata Kelola Air yang Adil dan Efektif

WS Aceh Meureudu menyimpan potensi air yang besar namun belum dikelola secara optimal akibat kendala regulasi, lemahnya koordinasi kelembagaan, dan absennya mekanisme insentif-sanksi yang efektif. IWRM seharusnya tidak berhenti sebagai konsep, tetapi dijalankan sebagai prinsip tata kelola yang menyatukan visi pembangunan dan keberlanjutan lingkungan.

Sumber:
Masthura, L., Wignyosukarto, B. S., Fahriana, N., & Ardhyan, M. Z. (2023). Keterpaduan Lintas Sektoral dalam Pengembangan Kebijakan Integrated Water Resources Management (IWRM) pada Wilayah Sungai Aceh Meureudu Provinsi Aceh. Jurnal Daur Lingkungan, 6(1), 40–47.