Belajar dari Burkina Faso: Implementasi IWRM dan Tantangan Lokal yang Tak Terhindarkan

Dipublikasikan oleh Viskha Dwi Marcella Nanda

20 Mei 2025, 10.23

pixabay.com

Pendahuluan: Krisis Air dan Urgensi Reformasi

Burkina Faso, negara di Afrika Barat yang tergolong semi-kering, telah lama menghadapi tantangan kelangkaan air. Meskipun curah hujan tahunannya setara dengan Prancis, masalah terletak pada manajemen sumber daya yang tidak optimal. Kajian mendalam oleh Ebba Holmström (2019) dari Uppsala University menyajikan studi kasus di dua Komite Lokal Air (CLE) di bawah Agence de l’Eau du Nakanbé, menganalisis penerapan Integrated Water Resources Management (IWRM) atau dalam konteks lokal disebut GIRE.

Apa Itu IWRM dan Mengapa Penting?

IWRM adalah pendekatan holistik untuk mengelola air secara lintas sektor dan partisipatif. Sejak Konferensi Dublin 1992, IWRM menjadi solusi global untuk menyatukan kebijakan, lingkungan, dan partisipasi masyarakat dalam satu kerangka kerja. Burkina Faso menjadi pionir di Afrika Barat dalam mengadopsi prinsip ini. Namun, seperti yang dijelaskan Holmström, tantangan utamanya adalah apakah model global ini cocok untuk konteks lokal?

Pertanyaan Kunci Penelitian

  1. Bagaimana konteks lokal diperhitungkan dalam implementasi top-down IWRM di Burkina Faso?
  2. Apa peran lembaga formal dan informal dalam keberhasilan (atau kegagalan) CLE?

Metodologi: Pendekatan Etnografis dan Komparatif

Holmström melakukan penelitian lapangan selama 10 minggu pada tahun 2019, dengan pendekatan kualitatif melalui wawancara semi-terstruktur dan observasi partisipatif. Fokusnya pada dua CLE: Nilima dan Murundu. Keduanya berada di wilayah yang sama namun berbeda secara ukuran geografis dan dinamika sosial-politik.

Temuan Kunci: Antara Ambisi Global dan Realitas Lokal

1. Waktu Pendanaan Tidak Sinkron dengan Musim Tanam

Contoh nyata konflik sistem global dan lokal adalah soal pendanaan. Dana dari donor internasional seperti Sida dan Danida seringkali terlambat, misalnya cair pada Agustus, padahal aktivitas konservasi seperti "traitement des ravines" (penanganan erosi) idealnya dilakukan di musim kering (Januari–April). Ini adalah contoh klasik dari pendekatan "square pegs in round holes" (Andrews, 2013).

2. Hierarki Budaya Vs Prinsip Subsidiaritas

Meskipun IWRM menekankan prinsip subsidiaritas—pengambilan keputusan di tingkat paling bawah—hierarki budaya Mossi menghambat partisipasi setara. Para anggota CLE enggan mengambil inisiatif tanpa restu atasan. Ini menunjukkan bahwa pendekatan institusional global tidak selaras dengan norma sosial lokal.

3. Lembaga Informal Menyelamatkan Situasi

Dalam beberapa kasus, informalitas justru menjadi penyelamat. Ketika pendanaan formal gagal, Water Agency menyelamatkan CLE Murundu melalui sumber dana alternatif. Menurut Helmke & Levitsky (2004), ini adalah contoh institusi informal substitutif yang bekerja saat institusi formal melemah.

4. Politik Lokal Berpengaruh Besar

CLE Nilima sempat tidak aktif pasca kudeta dan reformasi politik tahun 2014–2016. Kepemimpinan lokal yang merangkap jabatan di pemerintahan memperlambat kerja CLE. Sementara CLE Murundu dipimpin petani lokal yang lebih fokus pada isu air.

Kritik terhadap Pendekatan Donor dan Reformasi Institusional

Studi ini juga mengkritik logika one-size-fits-all dari lembaga donor. Holmström mengutip William Easterly dan Lavagnon Ika yang menyatakan bahwa blueprint development sering gagal karena tidak memperhitungkan realitas lapangan. GIRE dipandang terlalu teknokratik, dan kurang fleksibel terhadap adat lokal serta dinamika politik desa.

Dimensi Sosial dan Budaya: Dua Sistem Hukum yang Paralel

Burkina Faso memiliki sistem hukum ganda: modern (warisan kolonial Prancis) dan tradisional (adat kepala suku). CLE sering kali berada di tengah tarik-menarik ini. Misalnya, kepala suku tetap dihormati meski tidak diakui secara formal dalam struktur CLE, yang menyebabkan tumpang tindih kewenangan dan ambiguitas.

Dampak Perubahan Iklim dan Peran Adaptasi

Burkina Faso menghadapi tantangan besar dari perubahan iklim. Penurunan curah hujan dan peningkatan suhu membuat pengelolaan air menjadi sangat krusial. Dalam konteks ini, Holmström mengutip Cecilia Tortajada (2016), yang menekankan bahwa infrastruktur saja tidak cukup—diperlukan tata kelola adaptif dan responsif terhadap realitas lokal.

Kesimpulan dan Rekomendasi

Studi ini memberi pelajaran penting:

  • Desain reformasi harus mempertimbangkan budaya dan struktur sosial lokal.
  • Lembaga informal perlu diakui secara strategis.
  • Pendekatan donor harus lebih fleksibel dan tidak terlalu normatif.
  • Keterlibatan komunitas sejati hanya mungkin jika mereka memiliki ownership, bukan sekadar menjadi pelaksana.

Opini Penulis:

Holmström berhasil menunjukkan pentingnya pendekatan bottom-up dalam tata kelola air. Penelitiannya menjadi contoh konkret betapa pentingnya kesesuaian antara desain global dan konteks lokal.

Sumber:
Holmström, E. (2019). The Implementation of Integrated Water Resources Management on a Local Level in Burkina Faso. Uppsala University.