Limbah Berbahaya dan Beracun
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025
Penyimpanan bahan berbahaya merupakan salah satu aspek paling krusial dalam industri kimia dan petrokimia. Gudang bahan berbahaya harus dirancang dengan mempertimbangkan risiko kebakaran, ledakan, paparan bahan toksik, serta dampak lingkungan. Paper ini membahas pendekatan desain yang dilakukan oleh Foster Wheeler, perusahaan yang memiliki pengalaman luas dalam merancang fasilitas penyimpanan bahan berbahaya yang aman. Desain gudang ini harus memenuhi berbagai persyaratan regulasi serta mengimplementasikan strategi mitigasi risiko agar aman bagi pekerja dan lingkungan. Paper ini juga membahas studi kasus dari berbagai insiden besar dalam penyimpanan bahan kimia, menunjukkan bahwa sekitar 24% kecelakaan industri terjadi di gudang bahan berbahaya.
Menurut laporan International Labour Organization (ILO), insiden besar yang melibatkan gudang bahan berbahaya telah terjadi selama lebih dari satu abad. Beberapa kasus terkenal yang disoroti dalam paper ini antara lain:
1. Kebakaran Gudang di Renfrew, Skotlandia (1977)
Gudang Braehead Container Clearance Depot mengalami kebakaran besar yang disebabkan oleh penyimpanan natrium klorat dalam kondisi panas tinggi. Insiden ini mengakibatkan ledakan besar yang menghancurkan gudang sepenuhnya.
2. Ledakan di Barking, Essex (1980)
Gudang yang menyimpan 49 ton gas petroleum cair (LPG) serta campuran minyak mudah terbakar meledak setelah terkena percikan listrik dari forklift yang beroperasi di dalamnya.
3. Insiden Sandoz, Swiss (1986)
Sebanyak 30 ton bahan kimia berbahaya yang tersimpan di gudang Sandoz terbakar dan air pemadam kebakaran membawa limbah beracun ke Sungai Rhine, mencemari lebih dari 250 km aliran sungai di empat negara: Swiss, Prancis, Jerman, dan Belanda.
4. Ledakan West Fertilizer, AS (2013)
Gudang pupuk di Texas mengalami ledakan akibat 30 ton amonium nitrat yang disimpan di dalam bangunan kayu tanpa sistem pemadam kebakaran otomatis. Insiden ini menyebabkan 15 kematian dan ratusan korban luka. Insiden-insiden ini menunjukkan bahwa penyimpanan bahan berbahaya tanpa sistem pengamanan yang tepat dapat menyebabkan bencana besar, baik bagi manusia maupun lingkungan.
Menurut Health and Safety Executive (HSE), beberapa faktor utama penyebab kecelakaan di gudang bahan berbahaya meliputi:
Kesalahan desain dan kurangnya kontrol terhadap lingkungan penyimpanan menjadi faktor dominan dalam banyak insiden.
Paper ini membahas metodologi desain yang diterapkan oleh Foster Wheeler untuk memastikan keamanan dalam penyimpanan bahan berbahaya. Gudang harus memiliki daftar lengkap bahan kimia yang disimpan, termasuk informasi tentang status fisik, kemasan, serta metode penanganan yang tepat. Bahan diklasifikasikan berdasarkan standar European CLP (Classification, Labelling, and Packaging Regulation) dan NIOSH Pocket Guide to Chemical Hazards untuk menentukan risiko seperti:
Proses ini melibatkan penilaian terhadap potensi interaksi antara bahan kimia yang dapat menyebabkan reaksi berbahaya, serta dampaknya terhadap fasilitas lain, lingkungan, dan masyarakat sekitar. Beberapa aspek utama dalam desain gudang bahan berbahaya mencakup:
Salah satu contoh desain gudang yang dijelaskan dalam paper ini melibatkan fasilitas yang menangani bahan kimia dalam bentuk padatan dan cairan. Desain ini mencakup:
Paper ini juga mengkaji penerapan desain gudang untuk penyimpanan amonium nitrat, bahan yang sering terlibat dalam ledakan industri. Beberapa aspek penting dalam desain ini meliputi:
Paper ini menegaskan bahwa desain gudang bahan berbahaya harus mempertimbangkan berbagai faktor kompleks yang mencakup karakteristik bahan, regulasi keselamatan, dan sistem mitigasi risiko. Beberapa rekomendasi utama yang diberikan meliputi:
Dengan menerapkan desain yang sesuai, risiko kecelakaan di gudang bahan berbahaya dapat diminimalkan, melindungi pekerja, masyarakat, serta lingkungan sekitar.
Sumber Asli Paper
Benintendi, R., & Round, S. (2019). Design of a Safe Hazardous Materials Warehouse. Foster Wheeler, Symposium Series No. 159, Hazards 24.
Limbah Berbahaya dan Beracun
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025
Pengelolaan limbah berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia merupakan tantangan besar yang memerlukan keterlibatan berbagai pihak, termasuk para ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka dan analisis regulasi yang berlaku di Indonesia. Data dikumpulkan dari peraturan perundang-undangan, standar pengelolaan limbah industri, serta berbagai penelitian sebelumnya yang membahas efektivitas peran tenaga ahli K3 dalam pengelolaan limbah berbahaya.
Studi Kasus dan Data Empiris
Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, limbah B3 didefinisikan sebagai zat yang dapat mencemari dan membahayakan kesehatan manusia serta ekosistem. Regulasi utama yang mengatur limbah B3 antara lain:
Setiap perusahaan yang memiliki lebih dari 100 karyawan atau tingkat risiko tinggi diwajibkan memiliki tenaga ahli K3 yang bertanggung jawab atas pengelolaan limbah B3.
Beberapa peran utama ahli K3 dalam manajemen limbah beracun:
Studi ini mengungkap beberapa kasus pencemaran limbah B3 yang terjadi di Indonesia:
Beberapa tantangan utama dalam pengelolaan limbah B3 di Indonesia:
Berdasarkan temuan penelitian, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan limbah B3 adalah:
1. Peningkatan Regulasi dan Pengawasan
2. Penggunaan Teknologi Ramah Lingkungan
3. Pelatihan dan Sertifikasi bagi Ahli K3
4. Mendorong Prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle)
Pentingnya peran ahli K3 dalam memastikan pengelolaan limbah beracun di Indonesia berjalan sesuai dengan regulasi. Dengan penerapan strategi yang lebih efektif, termasuk peningkatan regulasi, pemanfaatan teknologi, serta pelatihan tenaga kerja, diharapkan risiko pencemaran akibat limbah B3 dapat diminimalkan.
Sumber Artikel: Supriyadi, Hadiyanto, "The Role of Health and Safety Experts in the Management of Hazardous and Toxic Wastes in Indonesia", E3S Web of Conferences, Vol. 31, 2018, pp. 07011.
Limbah Berbahaya dan Beracun
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025
Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dalam industri kesehatan menjadi salah satu isu utama dalam pengelolaan rumah sakit. Pengelolaan limbah ini tidak hanya berpengaruh terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap kesehatan tenaga medis, pasien, pengunjung, dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, rumah sakit harus memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sesuai dengan regulasi yang berlaku. Paper ini mengkaji kesiapan Rumah Sakit X di Banyuwangi dalam menghadapi akreditasi SNARS 1.1 dari aspek manajemen limbah B3. Akreditasi ini mensyaratkan rumah sakit memiliki regulasi yang ketat terhadap pengelolaan limbah berbahaya untuk mendapatkan nilai minimal 80% dalam aspek manajemen fasilitas dan keselamatan (Facility Management and Safety – FMS).
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan studi kasus. Data dikumpulkan melalui:
Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesiapan rumah sakit X dalam pengelolaan limbah B3 hanya mencapai 79,4%, di bawah standar minimal akreditasi SNARS yang mensyaratkan ≥80%. Beberapa aspek utama yang menyebabkan rendahnya kesiapan Rumah Sakit X meliputi:
Rumah sakit X telah memiliki beberapa kebijakan terkait manajemen limbah B3, tetapi masih belum memenuhi standar WHO secara menyeluruh. Contohnya, rumah sakit ini belum memiliki daftar terperinci mengenai jenis, lokasi, dan jumlah limbah B3 yang dikelola. Dalam sebuah wawancara, seorang staf menyatakan bahwa daftar limbah memang ada, tetapi belum diperbarui secara berkala, sehingga banyak data yang tidak akurat. Ketidaksesuaian ini menjadi salah satu faktor rendahnya skor akreditasi rumah sakit.
Beberapa aspek keselamatan telah terpenuhi, misalnya:
Namun, masih ditemukan beberapa alat labelisasi yang sudah usang dan perlu diperbarui untuk memastikan informasi tetap terlihat jelas.
Salah satu temuan kritis dalam penelitian ini adalah tidak adanya laporan tumpahan atau paparan limbah B3 di rumah sakit X. Seorang responden mengungkapkan bahwa rumah sakit hanya melaporkan kecelakaan kerja seperti tertusuk jarum, tetapi tidak mencatat insiden terkait tumpahan limbah beracun. Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran dalam mendokumentasikan potensi bahaya dan mencegah kejadian serupa di masa depan. Rumah sakit X memiliki tempat penyimpanan limbah B3 dengan izin resmi dari Dinas Lingkungan Hidup Banyuwangi, tetapi masih terdapat beberapa kelemahan:
Ketidaksiapan dalam pengelolaan limbah berbahaya dapat menimbulkan dampak serius, baik bagi lingkungan maupun kesehatan manusia. Menurut WHO, 10–25% limbah rumah sakit termasuk dalam kategori limbah infeksius atau beracun yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit seperti Hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV. Selain itu, paparan bahan kimia berbahaya dalam jangka panjang dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan dan gangguan sistem saraf.
Dalam konteks Rumah Sakit X, kegagalan memenuhi standar SNARS berpotensi menghambat akreditasi dan menurunkan citra rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan yang aman dan terpercaya. Agar rumah sakit X dapat memenuhi standar SNARS dan meningkatkan pengelolaan limbah B3, beberapa langkah perbaikan yang disarankan meliputi:
1. Penyempurnaan Regulasi Internal
Rumah sakit perlu mengembangkan regulasi yang lebih spesifik terkait:
2. Peningkatan Sistem Dokumentasi dan Pelaporan
Dokumentasi yang lebih baik diperlukan untuk:
3. Penyediaan Fasilitas yang Memadai
Beberapa fasilitas yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan meliputi:
4. Pelatihan Keselamatan dan Kesadaran Petugas
Pelatihan bagi tenaga medis dan staf rumah sakit sangat penting untuk:
Penelitian ini menunjukkan bahwa Rumah Sakit X belum sepenuhnya siap dalam mengelola limbah B3, dengan nilai kesiapan 79,4%, sedikit di bawah standar SNARS 1.1 sebesar 80%. Faktor utama ketidaksiapan adalah kurangnya regulasi internal, dokumentasi yang tidak memadai, dan minimnya fasilitas keamanan.
Untuk meningkatkan kesiapan dan mencapai standar akreditasi, rumah sakit perlu melengkapi regulasi internal, memperbaiki sistem dokumentasi, serta meningkatkan pelatihan bagi petugas kesehatan. Dengan langkah-langkah ini, risiko kesehatan akibat limbah B3 dapat dikurangi, dan akreditasi SNARS dapat tercapai dengan lebih optimal.
Sumber
Endistasari, P., Marchianti, A. C. N., & Ma’rufi, I. (2023). The Analysis of Readiness on Hazardous and Toxic Materials Management from Occupational Health and Safety Aspects of Hospital X in Banyuwangi in Dealing with SNARS Accreditation. Jember University.
Limbah Berbahaya dan Beracun
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025
Dalam lingkungan akademik, laboratorium memiliki peran penting dalam penelitian dan pembelajaran. Namun, aktivitas laboratorium sering kali menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang berpotensi merusak lingkungan dan kesehatan manusia. Penelitian ini mengidentifikasi berbagai jenis limbah B3 yang dihasilkan oleh laboratorium Fakultas MIPA UNS, termasuk:
Limbah-limbah ini memiliki potensi bahaya yang tinggi, seperti menyebabkan iritasi, kerusakan organ, hingga reaksi eksplosif jika tidak ditangani dengan baik.
Laboratorium telah menerapkan strategi pengurangan limbah dengan membatasi penggunaan bahan kimia serta meminimalkan konsentrasi dan volume zat yang digunakan. Namun, efektivitas strategi ini masih perlu dievaluasi lebih lanjut. Limbah B3 disimpan dalam wadah khusus yang telah diberi label sesuai karakteristik bahannya. Beberapa permasalahan yang diidentifikasi adalah:
Limbah yang telah dikumpulkan diserahkan kepada pihak ketiga, yaitu PT. Arah Environmental Indonesia, untuk dikelola lebih lanjut. Namun, dalam proses ini ditemukan bahwa:
Tantangan dalam Pengelolaan Limbah B3
Rekomendasi untuk Perbaikan
Pengelolaan limbah B3 di Fakultas MIPA UNS telah memiliki sistem yang cukup baik, tetapi masih ada beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki, terutama dalam aspek penyimpanan, edukasi, dan infrastruktur. Dengan perbaikan yang tepat, UNS dapat menjadi model dalam pengelolaan limbah laboratorium yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.
Sumber Artikel:
Wirodimurti, I., Yulia, I.T., Astikasari, L., Aprianto, M.K., Afifah, R. N., & Hermawan, W.G. "An Analysis of Hazardous and Toxic Waste Management (Case Study: Faculty of Mathematics and Natural Sciences Laboratory, Sebelas Maret University)." Journal of Global Environmental Dynamics, 3(1), 2022, 26-33.
Limbah Berbahaya dan Beracun
Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025
Pengelolaan limbah berbahaya dan beracun (B3) di fasilitas kesehatan menjadi isu penting dalam keberlanjutan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Data yang dikumpulkan meliputi proses pengurangan dan pemilahan limbah, penyimpanan, transportasi, serta pengolahan limbah. Hasilnya kemudian dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan regulasi yang ada, seperti Permenkes No. 7 Tahun 2019 dan PP No. 22 Tahun 2021 tentang pengelolaan lingkungan.
Rumah Sakit UNS menghasilkan dua jenis limbah utama:
Karena pandemi COVID-19, rumah sakit juga mengkategorikan limbah menjadi limbah COVID-19 dan non-COVID-19, menyesuaikan dengan standar keamanan yang lebih ketat.
Pengelolaan limbah di Rumah Sakit UNS terdiri dari enam tahap utama:
1. Pemilahan
Limbah dipilah sesuai jenisnya di setiap ruangan perawatan. Sistem pemilahan menggunakan kode warna:
2. Pengemasan
3. Pengumpulan
4. Penyimpanan
5. Transportasi
6. Pengolahan
Analisis dan Temuan Penelitian
Untuk meningkatkan pengelolaan limbah B3 di Rumah Sakit UNS, beberapa langkah dapat diambil:
Pengelolaan limbah B3 di Rumah Sakit UNS telah berjalan sesuai regulasi, meskipun masih memiliki keterbatasan dalam aspek pengolahan mandiri. Dengan perbaikan dalam infrastruktur, regulasi, dan edukasi, sistem ini dapat lebih optimal dalam mengurangi dampak lingkungan serta meningkatkan keselamatan pekerja dan pasien.
Sumber Artikel: Hashfi Hawali Abdul Matin et al., "Hazardous and Toxic Waste Management Analysis at UNS Hospital Indonesia", Waste Technology, Vol. 9(2), 2021, pp. 29-36.