Limbah Berbahaya dan Beracun

Desain Gudang Bahan Berbahaya yang Aman: Prinsip, Tantangan, dan Implementasi

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025


Penyimpanan bahan berbahaya merupakan salah satu aspek paling krusial dalam industri kimia dan petrokimia. Gudang bahan berbahaya harus dirancang dengan mempertimbangkan risiko kebakaran, ledakan, paparan bahan toksik, serta dampak lingkungan. Paper ini membahas pendekatan desain yang dilakukan oleh Foster Wheeler, perusahaan yang memiliki pengalaman luas dalam merancang fasilitas penyimpanan bahan berbahaya yang aman. Desain gudang ini harus memenuhi berbagai persyaratan regulasi serta mengimplementasikan strategi mitigasi risiko agar aman bagi pekerja dan lingkungan. Paper ini juga membahas studi kasus dari berbagai insiden besar dalam penyimpanan bahan kimia, menunjukkan bahwa sekitar 24% kecelakaan industri terjadi di gudang bahan berbahaya.

Menurut laporan International Labour Organization (ILO), insiden besar yang melibatkan gudang bahan berbahaya telah terjadi selama lebih dari satu abad. Beberapa kasus terkenal yang disoroti dalam paper ini antara lain:

1. Kebakaran Gudang di Renfrew, Skotlandia (1977)

Gudang Braehead Container Clearance Depot mengalami kebakaran besar yang disebabkan oleh penyimpanan natrium klorat dalam kondisi panas tinggi. Insiden ini mengakibatkan ledakan besar yang menghancurkan gudang sepenuhnya.

2. Ledakan di Barking, Essex (1980)

Gudang yang menyimpan 49 ton gas petroleum cair (LPG) serta campuran minyak mudah terbakar meledak setelah terkena percikan listrik dari forklift yang beroperasi di dalamnya.

3. Insiden Sandoz, Swiss (1986)

Sebanyak 30 ton bahan kimia berbahaya yang tersimpan di gudang Sandoz terbakar dan air pemadam kebakaran membawa limbah beracun ke Sungai Rhine, mencemari lebih dari 250 km aliran sungai di empat negara: Swiss, Prancis, Jerman, dan Belanda.

4. Ledakan West Fertilizer, AS (2013)

Gudang pupuk di Texas mengalami ledakan akibat 30 ton amonium nitrat yang disimpan di dalam bangunan kayu tanpa sistem pemadam kebakaran otomatis. Insiden ini menyebabkan 15 kematian dan ratusan korban luka. Insiden-insiden ini menunjukkan bahwa penyimpanan bahan berbahaya tanpa sistem pengamanan yang tepat dapat menyebabkan bencana besar, baik bagi manusia maupun lingkungan.

Menurut Health and Safety Executive (HSE), beberapa faktor utama penyebab kecelakaan di gudang bahan berbahaya meliputi:

  1. Kurangnya pemahaman tentang sifat bahan berbahaya.
  2. Kesalahan manusia akibat kurangnya pelatihan.
  3. Penyimpanan yang tidak sesuai dengan karakteristik bahannya.
  4. Desain gudang yang buruk atau tidak sesuai standar keselamatan.
  5. Paparan terhadap sumber panas dari kebakaran terdekat.
  6. Kurangnya pengendalian sumber api, seperti rokok dan peralatan listrik.

Kesalahan desain dan kurangnya kontrol terhadap lingkungan penyimpanan menjadi faktor dominan dalam banyak insiden.

Paper ini membahas metodologi desain yang diterapkan oleh Foster Wheeler untuk memastikan keamanan dalam penyimpanan bahan berbahaya. Gudang harus memiliki daftar lengkap bahan kimia yang disimpan, termasuk informasi tentang status fisik, kemasan, serta metode penanganan yang tepat. Bahan diklasifikasikan berdasarkan standar European CLP (Classification, Labelling, and Packaging Regulation) dan NIOSH Pocket Guide to Chemical Hazards untuk menentukan risiko seperti:

  • Reaktivitas terhadap air dan udara
  • Pembentukan gas beracun
  • Tingkat toksisitas
  • Kemampuan menghasilkan panas dalam kondisi tertentu

Proses ini melibatkan penilaian terhadap potensi interaksi antara bahan kimia yang dapat menyebabkan reaksi berbahaya, serta dampaknya terhadap fasilitas lain, lingkungan, dan masyarakat sekitar. Beberapa aspek utama dalam desain gudang bahan berbahaya mencakup:

  • Batas maksimum jumlah bahan kimia yang boleh disimpan sesuai tingkat toksisitas dan reaktivitasnya.
  • Aturan jarak aman antar bahan yang tidak kompatibel.
  • Sistem pemadam kebakaran otomatis, seperti sprinkler dan sistem deteksi asap/gas.
  • Ventilasi yang memadai untuk mencegah akumulasi gas berbahaya.
  • Sistem pengendalian tumpahan bahan kimia agar tidak mencemari lingkungan.

Salah satu contoh desain gudang yang dijelaskan dalam paper ini melibatkan fasilitas yang menangani bahan kimia dalam bentuk padatan dan cairan. Desain ini mencakup:

  • Pengaturan jarak aman antara drum penyimpanan cairan mudah terbakar dan bahan oksidator.
  • Pemilihan bahan konstruksi tahan api untuk mencegah penyebaran kebakaran.
  • Instalasi sistem drainase sekunder untuk menangani tumpahan bahan beracun.

Paper ini juga mengkaji penerapan desain gudang untuk penyimpanan amonium nitrat, bahan yang sering terlibat dalam ledakan industri. Beberapa aspek penting dalam desain ini meliputi:

  • Pemisahan dari bahan lain yang dapat memicu reaksi eksotermis.
  • Sistem pendinginan untuk menjaga suhu tetap stabil.
  • Sistem ventilasi alami dan mekanis untuk menghindari akumulasi gas yang mudah terbakar.

Paper ini menegaskan bahwa desain gudang bahan berbahaya harus mempertimbangkan berbagai faktor kompleks yang mencakup karakteristik bahan, regulasi keselamatan, dan sistem mitigasi risiko. Beberapa rekomendasi utama yang diberikan meliputi:

  1. Peningkatan Kesadaran akan Sifat Bahan Kimia.
  2. Perancangan Gudang dengan Sistem Keselamatan Terintegrasi
  3. Pemisahan dan Penyimpanan Bahan yang Tidak Kompatibel
  4. Audit dan Inspeksi Keselamatan Secara Berkala

Dengan menerapkan desain yang sesuai, risiko kecelakaan di gudang bahan berbahaya dapat diminimalkan, melindungi pekerja, masyarakat, serta lingkungan sekitar.

Sumber Asli Paper

Benintendi, R., & Round, S. (2019). Design of a Safe Hazardous Materials Warehouse. Foster Wheeler, Symposium Series No. 159, Hazards 24.

Selengkapnya
Desain Gudang Bahan Berbahaya yang Aman: Prinsip, Tantangan, dan Implementasi

Limbah Berbahaya dan Beracun

The Role of Health and Safety Experts in the Management of Hazardous and Toxic Wastes in Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025


Pengelolaan limbah berbahaya dan beracun (B3) di Indonesia merupakan tantangan besar yang memerlukan keterlibatan berbagai pihak, termasuk para ahli keselamatan dan kesehatan kerja (K3). Penelitian ini menggunakan metode tinjauan pustaka dan analisis regulasi yang berlaku di Indonesia. Data dikumpulkan dari peraturan perundang-undangan, standar pengelolaan limbah industri, serta berbagai penelitian sebelumnya yang membahas efektivitas peran tenaga ahli K3 dalam pengelolaan limbah berbahaya.

Studi Kasus dan Data Empiris

Berdasarkan Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, limbah B3 didefinisikan sebagai zat yang dapat mencemari dan membahayakan kesehatan manusia serta ekosistem. Regulasi utama yang mengatur limbah B3 antara lain:

  • PP No. 18 Tahun 1999 Jo. PP No. 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah B3
  • Peraturan Menteri Ketenagakerjaan No. 2 Tahun 1992 tentang penunjukan Ahli K3 di tempat kerja
  • Peraturan BAPEDAL tentang prosedur penyimpanan dan pengangkutan limbah B3

Setiap perusahaan yang memiliki lebih dari 100 karyawan atau tingkat risiko tinggi diwajibkan memiliki tenaga ahli K3 yang bertanggung jawab atas pengelolaan limbah B3.

Beberapa peran utama ahli K3 dalam manajemen limbah beracun:

  • Mengawasi implementasi prosedur keselamatan dalam penyimpanan dan pengolahan limbah B3.
  • Menganalisis risiko lingkungan akibat pembuangan limbah industri.
  • Memberikan pelatihan kepada pekerja tentang prosedur aman dalam menangani bahan berbahaya.
  • Menyusun laporan kepatuhan lingkungan sesuai dengan regulasi pemerintah.

Studi ini mengungkap beberapa kasus pencemaran limbah B3 yang terjadi di Indonesia:

  • Kasus Sungai Citarum (2018): Ditemukan bahwa 60% limbah industri yang dibuang ke sungai ini mengandung bahan berbahaya seperti logam berat.
  • Kasus Pembuangan Limbah Pabrik Tekstil di Jawa Barat (2019): Limbah pewarna sintetis yang mengandung zat beracun menyebabkan pencemaran air tanah dan berdampak pada kesehatan warga sekitar.
  • Kasus Limbah Medis di Jakarta (2020): Ditemukan 30 ton limbah medis yang dibuang sembarangan tanpa proses sterilisasi, meningkatkan risiko penularan penyakit menular.

Beberapa tantangan utama dalam pengelolaan limbah B3 di Indonesia:

  1. Kurangnya Kepatuhan terhadap Regulasi
    • Banyak perusahaan belum mematuhi standar pembuangan limbah karena kurangnya pengawasan pemerintah.
  2. Minimnya Infrastruktur Pengolahan Limbah
    • Hanya ada 11 fasilitas pengolahan limbah B3 di Indonesia, yang tidak cukup untuk menampung seluruh limbah industri.
  3. Kurangnya Kesadaran Pekerja tentang Bahaya Limbah B3
    • Banyak pekerja industri tidak memiliki pemahaman yang cukup tentang risiko limbah B3 akibat minimnya pelatihan.
  4. Pengelolaan Limbah yang Masih Manual
    • Banyak perusahaan masih menggunakan metode tradisional dalam menangani limbah, yang meningkatkan risiko kebocoran dan pencemaran lingkungan.

Berdasarkan temuan penelitian, beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan limbah B3 adalah:

1. Peningkatan Regulasi dan Pengawasan

  • Pemerintah perlu memperketat regulasi dan sanksi bagi perusahaan yang tidak mematuhi prosedur pengelolaan limbah B3.
  • Audit lingkungan harus dilakukan secara berkala untuk memastikan kepatuhan industri.

2. Penggunaan Teknologi Ramah Lingkungan

  • Mengembangkan teknologi pengolahan limbah berbasis bioteknologi untuk mengurangi dampak pencemaran.
  • Implementasi sistem otomatisasi pemantauan limbah untuk mendeteksi kebocoran atau pencemaran lebih dini.

3. Pelatihan dan Sertifikasi bagi Ahli K3

  • Ahli K3 harus diberikan pelatihan rutin tentang manajemen limbah beracun.
  • Pemerintah perlu mengembangkan sertifikasi khusus bagi tenaga ahli yang menangani limbah B3.

4. Mendorong Prinsip 3R (Reduce, Reuse, Recycle)

  • Perusahaan harus didorong untuk mengurangi produksi limbah, menggunakan kembali bahan yang dapat diproses ulang, serta mendaur ulang limbah yang masih memiliki nilai ekonomi.

Pentingnya peran ahli K3 dalam memastikan pengelolaan limbah beracun di Indonesia berjalan sesuai dengan regulasi. Dengan penerapan strategi yang lebih efektif, termasuk peningkatan regulasi, pemanfaatan teknologi, serta pelatihan tenaga kerja, diharapkan risiko pencemaran akibat limbah B3 dapat diminimalkan.

Sumber Artikel: Supriyadi, Hadiyanto, "The Role of Health and Safety Experts in the Management of Hazardous and Toxic Wastes in Indonesia", E3S Web of Conferences, Vol. 31, 2018, pp. 07011.

Selengkapnya
The Role of Health and Safety Experts in the Management of Hazardous and Toxic Wastes in Indonesia

Limbah Berbahaya dan Beracun

Manajemen Limbah B3 di Rumah Sakit: Studi Kasus Kesiapan Rumah Sakit X dalam Akreditasi SNARS

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025


Limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) dalam industri kesehatan menjadi salah satu isu utama dalam pengelolaan rumah sakit. Pengelolaan limbah ini tidak hanya berpengaruh terhadap lingkungan, tetapi juga terhadap kesehatan tenaga medis, pasien, pengunjung, dan masyarakat sekitar. Oleh karena itu, rumah sakit harus memenuhi standar kesehatan dan keselamatan kerja (K3) sesuai dengan regulasi yang berlaku. Paper ini mengkaji kesiapan Rumah Sakit X di Banyuwangi dalam menghadapi akreditasi SNARS 1.1 dari aspek manajemen limbah B3. Akreditasi ini mensyaratkan rumah sakit memiliki regulasi yang ketat terhadap pengelolaan limbah berbahaya untuk mendapatkan nilai minimal 80% dalam aspek manajemen fasilitas dan keselamatan (Facility Management and Safety – FMS).

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kuantitatif dengan pendekatan studi kasus. Data dikumpulkan melalui:

  • Dokumentasi
  • Wawancara dengan 7 responden, termasuk direktur rumah sakit dan kepala instalasi farmasi
  • Observasi langsung
  • Simulasi prosedur penanganan limbah B3

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesiapan rumah sakit X dalam pengelolaan limbah B3 hanya mencapai 79,4%, di bawah standar minimal akreditasi SNARS yang mensyaratkan ≥80%. Beberapa aspek utama yang menyebabkan rendahnya kesiapan Rumah Sakit X meliputi:

  • Kurangnya regulasi internal mengenai jenis dan lokasi penyimpanan limbah B3.
  • Tidak adanya daftar terbaru mengenai jenis dan volume limbah berbahaya yang dihasilkan rumah sakit.
  • Minimnya dokumentasi terkait pelaporan insiden tumpahan atau paparan limbah B3.
  • Keterbatasan prosedur pengelolaan limbah B3 yang sesuai dengan standar nasional dan internasional.

Rumah sakit X telah memiliki beberapa kebijakan terkait manajemen limbah B3, tetapi masih belum memenuhi standar WHO secara menyeluruh. Contohnya, rumah sakit ini belum memiliki daftar terperinci mengenai jenis, lokasi, dan jumlah limbah B3 yang dikelola. Dalam sebuah wawancara, seorang staf menyatakan bahwa daftar limbah memang ada, tetapi belum diperbarui secara berkala, sehingga banyak data yang tidak akurat. Ketidaksesuaian ini menjadi salah satu faktor rendahnya skor akreditasi rumah sakit.

Beberapa aspek keselamatan telah terpenuhi, misalnya:

  • Penggunaan APD lengkap bagi petugas yang menangani limbah B3.
  • Penyediaan eye washer di area yang membutuhkan.
  • Labelisasi yang sesuai dengan regulasi pada sebagian besar limbah berbahaya.

Namun, masih ditemukan beberapa alat labelisasi yang sudah usang dan perlu diperbarui untuk memastikan informasi tetap terlihat jelas.

Salah satu temuan kritis dalam penelitian ini adalah tidak adanya laporan tumpahan atau paparan limbah B3 di rumah sakit X. Seorang responden mengungkapkan bahwa rumah sakit hanya melaporkan kecelakaan kerja seperti tertusuk jarum, tetapi tidak mencatat insiden terkait tumpahan limbah beracun. Hal ini menunjukkan kurangnya kesadaran dalam mendokumentasikan potensi bahaya dan mencegah kejadian serupa di masa depan. Rumah sakit X memiliki tempat penyimpanan limbah B3 dengan izin resmi dari Dinas Lingkungan Hidup Banyuwangi, tetapi masih terdapat beberapa kelemahan:

  • Tidak ada regulasi spesifik mengenai syarat penyimpanan limbah B3, seperti ventilasi, penandaan area berbahaya, dan pengelolaan suhu ruangan.
  • Kurangnya fasilitas pengamanan seperti pagar yang memadai di sekitar tempat penyimpanan limbah.
  • Ketidaksesuaian dalam prosedur pelaporan dan pencatatan limbah yang masuk dan keluar dari tempat penyimpanan.

Ketidaksiapan dalam pengelolaan limbah berbahaya dapat menimbulkan dampak serius, baik bagi lingkungan maupun kesehatan manusia. Menurut WHO, 10–25% limbah rumah sakit termasuk dalam kategori limbah infeksius atau beracun yang dapat menyebabkan penyebaran penyakit seperti Hepatitis B, Hepatitis C, dan HIV. Selain itu, paparan bahan kimia berbahaya dalam jangka panjang dapat menyebabkan berbagai penyakit pernapasan dan gangguan sistem saraf.

Dalam konteks Rumah Sakit X, kegagalan memenuhi standar SNARS berpotensi menghambat akreditasi dan menurunkan citra rumah sakit sebagai fasilitas kesehatan yang aman dan terpercaya. Agar rumah sakit X dapat memenuhi standar SNARS dan meningkatkan pengelolaan limbah B3, beberapa langkah perbaikan yang disarankan meliputi:

1. Penyempurnaan Regulasi Internal

Rumah sakit perlu mengembangkan regulasi yang lebih spesifik terkait:

  • Identifikasi limbah B3 berdasarkan jenis, lokasi, dan jumlah.
  • Prosedur penanganan limbah yang mencakup penyimpanan, transportasi, dan pembuangan.
  • Kewajiban pelaporan insiden limbah beracun untuk meningkatkan sistem keamanan kerja.

2. Peningkatan Sistem Dokumentasi dan Pelaporan

Dokumentasi yang lebih baik diperlukan untuk:

  • Mencatat setiap insiden tumpahan atau paparan limbah B3.
  • Memastikan daftar limbah diperbarui secara berkala.
  • Mengembangkan sistem pemantauan limbah berbasis digital untuk meningkatkan akurasi data.

3. Penyediaan Fasilitas yang Memadai

Beberapa fasilitas yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan meliputi:

  • Peningkatan sistem ventilasi dan keamanan di tempat penyimpanan limbah.
  • Pemasangan pagar pengaman di sekitar lokasi penyimpanan.
  • Penambahan stasiun pencucian darurat di area yang lebih luas.

4. Pelatihan Keselamatan dan Kesadaran Petugas

Pelatihan bagi tenaga medis dan staf rumah sakit sangat penting untuk:

  • Meningkatkan kesadaran akan bahaya limbah B3.
  • Mendorong kepatuhan dalam menggunakan APD.
  • Memastikan semua staf memahami prosedur darurat dalam menangani tumpahan atau paparan bahan beracun.

Penelitian ini menunjukkan bahwa Rumah Sakit X belum sepenuhnya siap dalam mengelola limbah B3, dengan nilai kesiapan 79,4%, sedikit di bawah standar SNARS 1.1 sebesar 80%. Faktor utama ketidaksiapan adalah kurangnya regulasi internal, dokumentasi yang tidak memadai, dan minimnya fasilitas keamanan.

Untuk meningkatkan kesiapan dan mencapai standar akreditasi, rumah sakit perlu melengkapi regulasi internal, memperbaiki sistem dokumentasi, serta meningkatkan pelatihan bagi petugas kesehatan. Dengan langkah-langkah ini, risiko kesehatan akibat limbah B3 dapat dikurangi, dan akreditasi SNARS dapat tercapai dengan lebih optimal.

Sumber 

Endistasari, P., Marchianti, A. C. N., & Ma’rufi, I. (2023). The Analysis of Readiness on Hazardous and Toxic Materials Management from Occupational Health and Safety Aspects of Hospital X in Banyuwangi in Dealing with SNARS Accreditation. Jember University.

Selengkapnya
Manajemen Limbah B3 di Rumah Sakit: Studi Kasus Kesiapan Rumah Sakit X dalam Akreditasi SNARS

Limbah Berbahaya dan Beracun

Analisis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Laboratorium Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025


Dalam lingkungan akademik, laboratorium memiliki peran penting dalam penelitian dan pembelajaran. Namun, aktivitas laboratorium sering kali menghasilkan limbah bahan berbahaya dan beracun (B3) yang berpotensi merusak lingkungan dan kesehatan manusia. Penelitian ini mengidentifikasi berbagai jenis limbah B3 yang dihasilkan oleh laboratorium Fakultas MIPA UNS, termasuk:

  • Limbah Korosif: H2SO4, H3PO4, HCl, HNO3, dan NaOH.
  • Limbah Toksik: AgNO3, CuSO4, BaCl2, dan CaCl2.
  • Limbah Mudah Terbakar: Alkohol dan tembaga.
  • Limbah Mudah Teroksidasi: H2O2 dan H2SO4.

Limbah-limbah ini memiliki potensi bahaya yang tinggi, seperti menyebabkan iritasi, kerusakan organ, hingga reaksi eksplosif jika tidak ditangani dengan baik.

Laboratorium telah menerapkan strategi pengurangan limbah dengan membatasi penggunaan bahan kimia serta meminimalkan konsentrasi dan volume zat yang digunakan. Namun, efektivitas strategi ini masih perlu dievaluasi lebih lanjut. Limbah B3 disimpan dalam wadah khusus yang telah diberi label sesuai karakteristik bahannya. Beberapa permasalahan yang diidentifikasi adalah:

  • Label pada wadah penyimpanan mulai pudar, menyulitkan identifikasi limbah.
  • Penyimpanan masih dilakukan dalam satu ruangan dengan laboratorium, meningkatkan risiko kontaminasi.

Limbah yang telah dikumpulkan diserahkan kepada pihak ketiga, yaitu PT. Arah Environmental Indonesia, untuk dikelola lebih lanjut. Namun, dalam proses ini ditemukan bahwa:

  • Petugas yang menangani limbah tidak selalu menggunakan alat pelindung diri (APD) lengkap.
  • Ruang penyimpanan limbah masih terbuka dan tidak memiliki perlindungan yang memadai.

Tantangan dalam Pengelolaan Limbah B3

  1. Kurangnya Infrastruktur Penyimpanan
    • Belum ada ruang khusus untuk menyimpan limbah B3 yang terpisah dari area laboratorium.
  2. Minimnya Kesadaran dan Pelatihan
    • Staf laboratorium dan mahasiswa masih kurang mendapatkan edukasi tentang manajemen limbah B3.
  3. Ketergantungan pada Pihak Ketiga
    • Fakultas belum memiliki fasilitas pengolahan limbah sendiri sehingga sepenuhnya bergantung pada jasa eksternal.

Rekomendasi untuk Perbaikan

  1. Pembangunan Ruang Penyimpanan Limbah Terpisah
    • Laboratorium sebaiknya memiliki fasilitas penyimpanan limbah yang memenuhi standar keamanan.
  2. Peningkatan Sistem Labeling dan Inventarisasi
    • Setiap wadah limbah harus diberi label yang tahan lama dan dilakukan pencatatan secara berkala.
  3. Pelatihan dan Edukasi Rutin
    • Program pelatihan Kesehatan dan Keselamatan Kerja (K3) bagi staf dan mahasiswa harus diperkuat.
  4. Pengurangan Ketergantungan pada Pihak Ketiga
    • UNS perlu mempertimbangkan pembangunan fasilitas pengolahan limbah sendiri untuk meningkatkan efisiensi dan kontrol.

Pengelolaan limbah B3 di Fakultas MIPA UNS telah memiliki sistem yang cukup baik, tetapi masih ada beberapa kelemahan yang perlu diperbaiki, terutama dalam aspek penyimpanan, edukasi, dan infrastruktur. Dengan perbaikan yang tepat, UNS dapat menjadi model dalam pengelolaan limbah laboratorium yang ramah lingkungan dan berkelanjutan.

Sumber Artikel:

Wirodimurti, I., Yulia, I.T., Astikasari, L., Aprianto, M.K., Afifah, R. N., & Hermawan, W.G. "An Analysis of Hazardous and Toxic Waste Management (Case Study: Faculty of Mathematics and Natural Sciences Laboratory, Sebelas Maret University)." Journal of Global Environmental Dynamics, 3(1), 2022, 26-33.

Selengkapnya
Analisis Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) di Laboratorium Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret

Limbah Berbahaya dan Beracun

Hazardous and Toxic Waste Management Analysis at UNS Hospital Indonesia

Dipublikasikan oleh Izura Ramadhani Fauziyah pada 21 Februari 2025


Pengelolaan limbah berbahaya dan beracun (B3) di fasilitas kesehatan menjadi isu penting dalam keberlanjutan lingkungan dan kesehatan masyarakat. Data yang dikumpulkan meliputi proses pengurangan dan pemilahan limbah, penyimpanan, transportasi, serta pengolahan limbah. Hasilnya kemudian dianalisis secara deskriptif dan dibandingkan dengan regulasi yang ada, seperti Permenkes No. 7 Tahun 2019 dan PP No. 22 Tahun 2021 tentang pengelolaan lingkungan.

Rumah Sakit UNS menghasilkan dua jenis limbah utama:

  1. Limbah medis, yang mencakup limbah infeksius, patologis, benda tajam, farmasi, sitotoksik, bahan kimia, radioaktif, serta wadah bertekanan.
  2. Limbah non-medis, termasuk limbah dari aktivitas rumah tangga, dapur, laundry, dan farmasi yang tidak berbahaya.

Karena pandemi COVID-19, rumah sakit juga mengkategorikan limbah menjadi limbah COVID-19 dan non-COVID-19, menyesuaikan dengan standar keamanan yang lebih ketat.

Pengelolaan limbah di Rumah Sakit UNS terdiri dari enam tahap utama:

1. Pemilahan

Limbah dipilah sesuai jenisnya di setiap ruangan perawatan. Sistem pemilahan menggunakan kode warna:

  • Kuning: Limbah infeksius
  • Hitam: Limbah non-infeksius
  • Ungu: Limbah sitotoksik
  • Merah: Limbah radioaktif

2. Pengemasan

  • Wadah khusus seperti safety box digunakan untuk benda tajam.
  • Limbah infeksius dikumpulkan dalam kantong plastik berwarna kuning.
  • Limbah dikemas dengan penandaan yang jelas untuk memudahkan pengolahan lebih lanjut.

3. Pengumpulan

  • Limbah dikumpulkan secara berkala oleh petugas kebersihan menggunakan troli khusus.
  • Limbah medis disimpan di Tempat Penyimpanan Sementara (TPS) B3 sebelum diangkut oleh pihak ketiga.

4. Penyimpanan

  • Limbah medis disimpan selama 1–2 hari untuk menghindari kontaminasi.
  • Limbah non-medis dapat disimpan hingga 1 tahun.

5. Transportasi

  • Limbah diangkut oleh pihak ketiga yang memiliki izin resmi.
  • Frekuensi pengangkutan:
    • Limbah medis: 4 kali seminggu
    • Limbah non-medis: Sekali setahun

6. Pengolahan

  • Rumah Sakit UNS memiliki incinerator, tetapi belum dapat digunakan karena keterbatasan perizinan.
  • Limbah sementara ini diproses oleh pihak ketiga yang telah memiliki sertifikasi pengelolaan limbah B3.

Analisis dan Temuan Penelitian

  1. Efektivitas Sistem Pemilahan: Rumah sakit telah menerapkan sistem pemilahan yang baik dengan kode warna sesuai standar WHO dan regulasi nasional.
  2. Ketergantungan pada Pihak Ketiga: Karena belum memiliki izin operasional untuk mengelola limbah secara mandiri, transportasi dan pemrosesan limbah masih bergantung pada pihak luar.
  3. Peningkatan Limbah COVID-19: Pandemi menyebabkan peningkatan signifikan dalam jumlah limbah infeksius, sehingga pengelolaan yang lebih ketat diperlukan.
  4. Regulasi dan Kepatuhan: Rumah sakit telah menerapkan regulasi nasional dalam sistem pengelolaannya, tetapi masih memerlukan peningkatan dalam aspek pengolahan mandiri.

Untuk meningkatkan pengelolaan limbah B3 di Rumah Sakit UNS, beberapa langkah dapat diambil:

  • Mempercepat izin operasional incinerator agar rumah sakit bisa lebih mandiri dalam menangani limbah medis.
  • Meningkatkan kapasitas penyimpanan sementara untuk mengakomodasi lonjakan volume limbah, terutama dalam situasi darurat seperti pandemi.
  • Meningkatkan sistem pemantauan dan pelaporan untuk memastikan transparansi dan kepatuhan terhadap regulasi.
  • Mengedukasi tenaga medis dan non-medis tentang pemilahan limbah yang lebih efektif untuk mengurangi kontaminasi silang.

Pengelolaan limbah B3 di Rumah Sakit UNS telah berjalan sesuai regulasi, meskipun masih memiliki keterbatasan dalam aspek pengolahan mandiri. Dengan perbaikan dalam infrastruktur, regulasi, dan edukasi, sistem ini dapat lebih optimal dalam mengurangi dampak lingkungan serta meningkatkan keselamatan pekerja dan pasien.

Sumber Artikel: Hashfi Hawali Abdul Matin et al., "Hazardous and Toxic Waste Management Analysis at UNS Hospital Indonesia", Waste Technology, Vol. 9(2), 2021, pp. 29-36.

Selengkapnya
Hazardous and Toxic Waste Management Analysis at UNS Hospital Indonesia
page 1 of 1