Membedah Peran Stakeholder Internal dalam Runtuhnya Bangunan di Lagos: Fakta, Faktor, dan Solusi

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

18 Juni 2025, 09.10

pixabay.com

Pendahuluan

Bangunan runtuh bukan sekadar kegagalan teknis, melainkan krisis multidimensi yang mencerminkan lemahnya tata kelola proyek konstruksi. Kota Lagos, Nigeria, menjadi salah satu lokasi dengan tingkat keruntuhan bangunan tertinggi di Afrika Barat. Penelitian oleh Adenuga, Osuizugbo, dan Imoesi (2022) secara khusus menyelidiki kontribusi para pemangku kepentingan internal (stakeholder internal) dalam insiden-insiden tersebut.

Dengan metode survei persepsi, studi ini mengungkap faktor-faktor signifikan dari pihak-pihak internal seperti klien, arsitek, insinyur struktur, kontraktor, dan quantity surveyor yang berperan dalam runtuhnya bangunan. Selain mengidentifikasi penyebab utama, studi ini juga menawarkan remedi konkrit dan terukur untuk mencegah tragedi serupa di masa depan.

Mengapa Stakeholder Internal Penting?

Stakeholder internal adalah pihak yang terlibat langsung dalam proses desain, pembangunan, dan pengawasan proyek, termasuk:

  • Klien (pemilik proyek)
  • Konsultan (arsitek, insinyur)
  • Kontraktor utama dan subkontraktor
  • Quantity surveyor
  • Pemasok material

Mereka memiliki kontrol penuh atas keputusan dan sumber daya proyek, dan karena itu, tanggung jawab langsung terhadap keberhasilan atau kegagalan proyek.

Metodologi Penelitian

  • Jenis penelitian: Survei kuantitatif
  • Lokasi: Lagos, Nigeria
  • Jumlah responden: 87 dari total 127 kuesioner yang disebar (respon rate 68,5%)
  • Profesi responden: 62,1% insinyur, 19,5% kontraktor bangunan, 10,3% quantity surveyor, sisanya arsitek
  • Pengalaman kerja: 82,7% responden memiliki pengalaman kerja di atas 11 tahun
  • Analisis data: Statistik deskriptif dan inferensial (uji t satu sampel dengan SPSS v20)

Temuan Utama: Faktor Kontribusi Stakeholder Internal

Dari 49 faktor yang dianalisis, 12 faktor memiliki skor rata-rata di atas 4 (sangat signifikan). Berikut adalah 5 faktor tertinggi menurut skor rata-rata (MS):

  1. Kurangnya perhitungan biaya siklus hidup (life cycle cost) utilitas: MS = 4.18
  2. Kurangnya integrasi dan koordinasi elemen desain: MS = 4.11
  3. Kegagalan mempertimbangkan kemudahan pembangunan dan perawatan: MS = 4.10
  4. Tidak adanya supervisi dan inspeksi kualitas di lapangan: MS = 4.10
  5. Tidak dilakukannya inspeksi penyimpanan material di lokasi proyek: MS = 4.10

Studi Kasus: Kegagalan Konstruksi dalam Angka

Studi ini tidak membahas bangunan spesifik, tapi menggambarkan pola sistemik dari:

  • Kegagalan desain: Banyak bangunan tidak mempertimbangkan kemudahan perawatan jangka panjang
  • Lemahnya dokumentasi: Tidak adanya pelaporan tertulis dari kontraktor pelaksana
  • Intervensi klien yang merugikan: Klien seringkali memaksakan batas waktu atau anggaran tak realistis
  • Penerapan praktik "potong jalan": Akibat tekanan waktu dan minimnya pengawasan

Siapa Bertanggung Jawab?

Penelitian membagi tanggung jawab pada masing-masing pihak:

Klien:

  • Tidak memahami kebutuhan teknis proyek
  • Kurang dana dan suka menunda pembayaran
  • Menunjuk kontraktor/tukang berdasarkan relasi, bukan kompetensi

Arsitek:

  • Gagal mengoordinasikan elemen desain
  • Dokumentasi buruk dan tidak sesuai standar zonasi

Insinyur Struktur:

  • Tidak melakukan uji tanah
  • Mengabaikan uji kekuatan beton
  • Tidak membuat gambar awal dan estimasi peralatan

Kontraktor:

  • Tidak menyusun jadwal kerja
  • Tidak memverifikasi kualitas pekerja
  • Mengabaikan metode konstruksi dan perawatan bangunan

Quantity Surveyor:

  • Tidak mengkaji biaya penggunaan dan pemeliharaan bangunan
  • Gagal membuat anggaran yang akurat
  • Tidak melakukan evaluasi rutin atas pekerjaan

Analisis: Masalah Sistemik dan Budaya

Masalahnya tidak hanya teknis, tetapi sistemik dan budaya:

  • Korupsi: Banyak profesional menerima suap atau ditekan untuk "menyesuaikan" laporan
  • Kurangnya edukasi publik: Masyarakat sering mengandalkan tukang tanpa lisensi karena biaya lebih murah
  • Remunerasi rendah: Profesional konstruksi dipaksa "berhemat" dengan menurunkan kualitas
  • Dokumentasi buruk: Ketidaktahuan akan pentingnya dokumen teknis dan pelaporan proyek

Solusi: Apa yang Bisa Dilakukan?

Penelitian ini juga menyajikan 26 solusi utama. Berikut adalah 5 solusi dengan skor rata-rata tertinggi:

  1. Klien tidak boleh menekan profesional internal: MS = 4.56
  2. Klien harus menyediakan dana yang cukup: MS = 4.54
  3. Semua pihak harus menolak suap dan korupsi: MS = 4.46
  4. Etika profesi harus ditegakkan oleh semua pihak: MS = 4.44
  5. Pemeriksaan material sebelum digunakan wajib dilakukan: MS = 4.44

Rekomendasi Tambahan

  • Sosialisasi ke masyarakat luas soal peran profesional dan bahaya menggunakan "tukang asal"
  • Pembaharuan regulasi dan kode bangunan nasional agar lebih ketat dan terukur
  • Kampanye transparansi proyek dan dokumentasi digital sejak tahap awal
  • Sertifikasi ulang periodik bagi profesional, khususnya yang terlibat dalam proyek-proyek publik
  • Insentif bagi kontraktor dan konsultan dengan rekam jejak baik

Kesimpulan

Bangunan tidak runtuh begitu saja. Di balik setiap insiden, ada kelalaian kolektif dari pihak-pihak internal. Penelitian ini memperlihatkan bahwa stakeholder internal—klien, konsultan, kontraktor, hingga quantity surveyor—memiliki kontribusi nyata terhadap maraknya insiden bangunan runtuh di Lagos. Bukan hanya karena keterbatasan teknis, tapi juga karena kurangnya komitmen terhadap etika, standar profesional, dan tanggung jawab jangka panjang.

Namun harapan tetap ada. Dengan kombinasi reformasi struktural, edukasi publik, serta penegakan standar profesional, tragedi bisa dicegah dan kepercayaan masyarakat pada industri konstruksi bisa dipulihkan. Penelitian ini tidak hanya relevan untuk Nigeria, tetapi juga bagi negara-negara berkembang lain yang menghadapi persoalan serupa.

Sumber asli:
Adenuga, O. A., Osuizugbo, I. C., & Imoesi, I. B. (2022). Internal Stakeholders’ Contribution to Building Collapse in Lagos State, Nigeria: A Perceptual Survey. Civil and Sustainable Urban Engineering, 2(2), 67–81. https://doi.org/10.53623/csue.v2i2.118