Strategi Global Mengurangi Residivisme: Pendekatan Rehabilitatif, Komunitas, dan Kolaboratif dalam Sistem Peradilan Pidana

Dipublikasikan oleh Dewi Sulistiowati

18 Juni 2025, 09.10

pixabay.com

Pendahuluan

Mengurangi angka residivisme atau reoffending menjadi prioritas dalam upaya membangun masyarakat yang aman, inklusif, dan berkelanjutan. Dalam Fourteenth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice (Kyoto Congress 2021), Workshop 2 bertema "Reducing Reoffending: Identifying Risks and Developing Solutions" menyajikan pendekatan terpadu untuk menghadapi tantangan residivisme melalui rehabilitasi narapidana, alternatif hukuman non-penjara, dan kerja sama multipihak.

Laporan ini disusun oleh UNAFEI (United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders), bekerja sama dengan Thailand Institute of Justice (TIJ) dan UNODC. Dalam praktiknya, pendekatan ini menekankan pentingnya intervensi berbasis bukti, lingkungan penjara yang mendukung rehabilitasi, serta keterlibatan komunitas.

1. Mengapa Mengurangi Residivisme Itu Penting?

Residivisme, atau mengulangi tindak pidana setelah menjalani hukuman, bukan hanya memperbesar beban sistem peradilan, tetapi juga mengancam keamanan masyarakat dan membebani anggaran negara. Penurunan angka residivisme menjadi salah satu indikator keberhasilan sistem hukum pidana yang manusiawi dan efektif. Dalam konteks Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (TPB), terutama TPB 16, rehabilitasi pelaku kejahatan berkontribusi pada masyarakat yang damai, adil, dan inklusif.

2. Membangun Lingkungan Penjara yang Rehabilitatif

Penjara yang penuh kekerasan, penyalahgunaan narkoba, dan pelanggaran HAM justru memperburuk kecenderungan kriminal para narapidana. Oleh karena itu, penjara harus menjadi tempat yang mendukung transformasi ke arah yang lebih baik. Salah satu pendekatan yang dibahas adalah risk-needs-responsivity framework (RNR), yang menilai risiko dan kebutuhan spesifik tiap narapidana.

Misalnya, Namibia Correctional Service menerapkan program berbasis bukti yang disesuaikan dengan konteks lokal. Di sisi lain, Norwegia menerapkan prinsip normalization, yaitu memperlakukan kehidupan di dalam penjara semirip mungkin dengan kehidupan di masyarakat. Para petugas penjara bukan hanya penjaga, tetapi juga fasilitator rehabilitasi yang dilatih membangun hubungan prososial dengan warga binaan.

Studi menunjukkan bahwa pendidikan dan pelatihan vokasional di penjara mampu menurunkan risiko residivisme dan meningkatkan peluang kerja pasca-bebas. UNODC bahkan meluncurkan program pelatihan daring interaktif berbasis Nelson Mandela Rules untuk memperkuat peran petugas penjara dalam rehabilitasi.

3. Studi Kasus Global: Mengurangi Kepadatan Penjara

Salah satu contoh sukses adalah Kazakhstan, yang berhasil menurunkan rasio penghuni penjara menjadi 194 per 100.000 penduduk dan menutup delapan penjara dalam satu dekade terakhir. Reformasi hukum pidana yang mengedepankan hukuman non-penjara serta pengurangan masa tahanan menjadi kunci keberhasilan ini.

Sementara itu, Argentina membentuk Corruption Prevention Service untuk menangani korupsi di lingkungan lembaga pemasyarakatan, demi menjamin transparansi dalam pelaksanaan program rehabilitasi.

4. Mengutamakan Alternatif Hukuman: Pendekatan Berbasis Komunitas

Alternatif hukuman seperti probation, parole, mediasi korban-pelaku, serta diversi untuk pengguna narkoba terbukti lebih efektif dalam mendorong reintegrasi sosial. Pendekatan ini juga lebih hemat biaya daripada pemenjaraan.

Sebagai contoh, di Austria, program mediasi korban-pelaku menunjukkan hasil signifikan, di mana 84% peserta tidak mengulangi pelanggaran hukum setelahnya. Di Filipina, pendekatan berbasis komunitas di tingkat barangay berhasil membentuk jaringan dukungan sosial bagi pelaku dan korban.

Namun demikian, penting untuk menghindari fenomena “net-widening”, yakni penggunaan pengawasan berlebihan terhadap pelanggar risiko rendah yang justru bisa meningkatkan peluang residivisme.

5. Peran Teknologi dalam Rehabilitasi

Teknologi juga memainkan peran strategis, terutama dalam menyambungkan narapidana dengan dunia luar. Di Kyrgyzstan, penggunaan aplikasi Skype memungkinkan keluarga melakukan kunjungan virtual, mengurangi tekanan logistik dan biaya.

Sementara di Singapura, pengembangan aplikasi seluler membantu mantan narapidana mencari pekerjaan, mengakses layanan konseling, dan membangun kembali kehidupan sosial secara bertahap.

6. Kolaborasi Multipihak: Kunci Keberlanjutan Reintegrasi

Rehabilitasi tidak bisa dijalankan oleh sistem hukum pidana saja. Pendekatan multipihak melibatkan pemerintah, LSM, masyarakat sipil, dunia usaha, dan keluarga. Misalnya, di Jepang, program volunteer probation officers melibatkan masyarakat langsung dalam membina mantan narapidana secara sukarela dan terstruktur.

UNODC juga menyoroti pentingnya pelatihan gender-sensitif dan responsif budaya untuk petugas rehabilitasi, serta program khusus untuk perempuan dan remaja pelaku pelanggaran hukum.

7. Kritik dan Tantangan

Meskipun strategi ini terdengar ideal, ada beberapa tantangan nyata di lapangan:

  • Overcrowding masih menjadi isu besar di 121 negara.
  • Pendekatan rehabilitatif bisa gagal jika tidak disertai reformasi manajemen penjara dan pemantauan eksternal.
  • Ketersediaan data yang andal mengenai tingkat residivisme masih minim secara global.
  • Tidak semua negara punya kapasitas atau kemauan politik untuk mendorong pendekatan alternatif.

Di sisi lain, pendekatan ini menyelaraskan antara keadilan sosial, penghematan biaya, dan perlindungan hak asasi manusia.

Kesimpulan

Mengurangi residivisme bukan hanya urusan sistem hukum pidana, tetapi sebuah misi kemanusiaan lintas sektor. Diperlukan kombinasi antara evidence-based practices, inovasi teknologi, kerja sama multipihak, dan keberpihakan terhadap rehabilitasi dibanding penghukuman semata. Jika berhasil diimplementasikan, pendekatan ini dapat mengubah penjara menjadi tempat harapan, bukan ketakutan; dan reintegrasi menjadi proses manusiawi, bukan sanksi berkepanjangan.

Sumber : United Nations Asia and Far East Institute for the Prevention of Crime and the Treatment of Offenders (UNAFEI). (2021). Reducing Reoffending: Identifying Risks and Developing Solutions. Report of the Fourteenth United Nations Congress on Crime Prevention and Criminal Justice, Kyoto, Japan.