Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 30 Mei 2025
Korupsi dalam Proyek Konstruksi: Masalah Lama, Wajah Baru
Proyek konstruksi di Indonesia, terutama yang dibiayai oleh pemerintah, telah lama menjadi ladang subur bagi praktik korupsi. Tidak hanya merugikan negara secara finansial, tetapi juga membahayakan keselamatan publik karena berdampak pada kualitas bangunan dan infrastruktur. Paper karya Felix Hidayat dan Sherly Mulyanto mengangkat urgensi isu ini dengan pendekatan empiris, menganalisis 15 kasus nyata yang ditangani Mahkamah Agung. Hasilnya memberikan gambaran konkret tentang anatomi korupsi yang sistemik—mulai dari pola, aktor, hingga besaran kerugian.
Mengapa Sektor Konstruksi Rentan Terhadap Korupsi?
Sektor konstruksi memiliki karakteristik unik: melibatkan anggaran besar, jangka waktu yang panjang, serta banyak pihak dengan kepentingan yang tumpang tindih. Kombinasi inilah yang menciptakan celah besar bagi praktik manipulasi, baik di tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga pelaporan.
Data dari Transparency International tahun 2014 menunjukkan Indonesia menempati peringkat ke-107 dari 175 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Bandingkan dengan Singapura di peringkat 7 dan Malaysia di peringkat 52. Artinya, korupsi di Indonesia tidak hanya akut, tetapi juga bersifat struktural, terutama di proyek-proyek pemerintah yang melibatkan kontraktor swasta.
Metodologi: Grounded Theory sebagai Alat Bedah Kasus
Penelitian ini menggunakan pendekatan grounded theory, yaitu teknik analisis kualitatif melalui proses open coding, axial coding, dan selective coding. Data utama diambil dari situs resmi Mahkamah Agung RI, yaitu www.putusan.mahkamahagung.go.id, dengan fokus pada kasus-kasus korupsi yang melibatkan proyek konstruksi.
Analisis dilakukan terhadap 15 kasus nyata yang mewakili beragam jenis proyek infrastruktur, dengan karakteristik yang beragam dalam hal lokasi, jenis proyek, nilai kontrak, dan tahapan proyek saat korupsi terjadi.
Karakteristik Proyek Konstruksi yang Terlibat Korupsi
Dari 15 kasus yang dianalisis, ditemukan pola-pola umum yang menjadi ciri khas proyek-proyek yang rawan korupsi:
Pelaksana swasta, pemberi kerja pemerintah: Pola ini mendominasi. Sebagian besar proyek adalah milik instansi pemerintah yang menunjuk kontraktor swasta melalui lelang atau penunjukan langsung.
Proyek infrastruktur di Jawa dan Sumatera: Lokasi proyek paling sering berada di dua pulau ini, meskipun nilai kerugian terbesar justru ditemukan di wilayah terpencil seperti Papua dan Nusa Tenggara.
Nilai kontrak tinggi dan waktu pengerjaan singkat: Rata-rata nilai proyek sebesar USD 195.000 dengan durasi pelaksanaan sekitar 166 hari, menciptakan tekanan waktu yang tinggi dan peluang untuk manipulasi.
Vulnerabilitas: Di Mana Korupsi Paling Sering Terjadi?
Penelitian ini membagi tahap proyek ke dalam tiga fase:
1. Pra-konstruksi: Tahap perencanaan, penganggaran, dan pengadaan.
2. Konstruksi: Tahap pelaksanaan fisik di lapangan.
3. Pasca-konstruksi: Tahap pemeliharaan dan audit.
Dari ketiganya, fase konstruksi merupakan fase paling rentan, terutama karena:
Pola Korupsi: Volume Kerja Fiktif dan Peran Pejabat Pembuat Komitmen (PPK)
Dari hasil analisis, ditemukan pola korupsi yang berulang:
Studi Kasus: Kerusakan Jalan dan Proyek Gagal di Wilayah Terpencil
Salah satu contoh nyata ditemukan di Papua, di mana kerugian mencapai hingga 80% dari nilai kontrak. Ini disebabkan oleh kombinasi faktor eksternal seperti sulitnya akses material, intervensi masyarakat adat, serta lemahnya pengawasan dari pusat.
Sebaliknya, proyek di kota besar seperti Jakarta atau Surabaya cenderung mengalami penyimpangan dalam bentuk "penggelembungan harga" atau mark-up biaya non-fisik.
Kerugian Finansial dan Dampak Hukum
Besaran kerugian dalam kasus-kasus korupsi yang diteliti bervariasi dari 16,7% hingga 33,4% dari nilai proyek, dengan satu kasus ekstrem mencapai 80%. Dari segi hukum:
Hal ini memunculkan pertanyaan besar tentang efek jera dan proporsionalitas hukuman terhadap kerugian negara yang ditimbulkan.
Dampak Korupsi: Dari Bangunan Runtuh hingga Hilangnya Kepercayaan
Korupsi dalam proyek konstruksi tidak hanya soal uang, tetapi juga menyangkut nyawa dan kualitas hidup masyarakat. Dari 15 kasus yang diteliti:
Opini Kritis: Apakah Sistem Lelang Transparan Cukup?
Selama ini, pemerintah telah menerapkan e-procurement dan tender terbuka. Namun, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa meskipun prosedur formal telah diperbaiki, substansi pengawasan dan akuntabilitas tetap lemah. Lelang yang terlihat "transparan" bisa jadi hanya formalitas belaka ketika dokumen dan laporan dipalsukan.
Kelemahan Sistemik: Pengawasan Lemah dan Insentif Salah Kaprah
Beberapa kelemahan yang diidentifikasi dari studi ini antara lain:
Rekomendasi dan Solusi Strategis
1. Reformasi Proses Seleksi PPK dan Pengawas: Mereka harus melalui pelatihan dan sertifikasi integritas serta teknis.
2. Audit Independen dan Forensik Konstruksi: Audit harus berbasis inspeksi lapangan, bukan hanya pada dokumen.
3. Sistem Blacklist Kontraktor Nasional: Semua kontraktor dan konsultan yang terlibat kasus hukum harus dilarang mengikuti tender selama minimal 5 tahun.
4. Pelibatan Masyarakat dan Teknologi: Gunakan drone, AI, dan pelibatan LSM untuk memantau progres proyek secara real time.
Kesimpulan: Korupsi Bukan Sekadar Pelanggaran, Tapi Krisis Sistemik
Makalah ini berhasil membongkar kerangka sistemik dari praktik korupsi di sektor konstruksi Indonesia. Korupsi bukan hanya akibat moral individu, tetapi hasil dari sistem yang membiarkan celah hukum, lemahnya pengawasan, dan minimnya efek jera. Dibutuhkan perubahan menyeluruh, dari proses tender, pelatihan SDM, hingga reformasi hukum, untuk mengubah wajah sektor konstruksi dari ladang korupsi menjadi pilar pembangunan berkelanjutan.
Referensi:
Felix Hidayat & Sherly Mulyanto. (2017). Analysis Characteristic of Corruption in Construction Project in Indonesia. MATEC Web of Conferences, SICEST 2016. DOI: 10.1051/matecconf/201710105018
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan: Pentingnya Peran CPM dalam Proyek Publik
Dalam proyek konstruksi sektor publik, keberhasilan tidak hanya ditentukan oleh kualitas rancangan atau besarnya anggaran, tetapi juga oleh kualitas manajemen proyek dari sisi pemilik proyek atau klien. Peran Client Project Manager (CPM) menjadi sangat vital karena mereka bertanggung jawab langsung dalam perencanaan, pengawasan, pengendalian biaya, dan jaminan mutu proyek. Namun, realitas di lapangan menunjukkan bahwa kompetensi CPM kerap kali belum sejalan dengan tuntutan kompleksitas proyek yang mereka tangani.
Penelitian oleh Kartika Puspa Negara ini bertujuan mengisi kekosongan pengetahuan mengenai kondisi aktual kompetensi CPM di Indonesia, hambatan pengembangannya, dan strategi untuk memperkuat peran mereka di masa depan melalui sebuah kerangka kerja yang komprehensif.
Metodologi dan Pendekatan Penelitian
Penelitian menggunakan pendekatan mixed method—menggabungkan survei kuantitatif dan wawancara kualitatif. Survei dilakukan terhadap 147 CPM di tiga provinsi Indonesia, sedangkan 12 wawancara mendalam dilakukan dengan informan ahli yang relevan. Hasil dari kedua pendekatan ini kemudian dianalisis untuk mengidentifikasi gap antara kompetensi aktual dan kompetensi yang diharapkan atau diprioritaskan.
Delapan Kompetensi Utama yang Harus Diprioritaskan
Dari hasil penelitian, delapan kompetensi inti yang paling urgen dikembangkan oleh CPM Indonesia adalah sebagai berikut:
Teamwork
Kemampuan bekerja sama lintas tim dan stakeholder menjadi krusial dalam proyek multi-pihak. CPM harus mampu menjembatani antara konsultan, kontraktor, dan pemilik proyek.
Decision Making
Proyek publik memerlukan pengambilan keputusan cepat dan tepat. CPM dengan pengambilan keputusan yang lemah rentan menimbulkan keterlambatan dan pembengkakan biaya.
Technical Area
CPM tidak selalu memiliki latar belakang teknik, namun mereka tetap perlu memahami aspek teknis untuk bisa mengelola proyek konstruksi secara menyeluruh.
Leadership
Kemampuan memimpin tim proyek dan menjaga arah kerja tim menjadi faktor penting keberhasilan manajemen proyek.
Quality Management
CPM berperan menjaga standar mutu pekerjaan melalui pengawasan dan validasi proses kerja, bukan hanya sebagai pengawas administratif.
Cost Management
Kemampuan menyusun dan mengontrol anggaran proyek membantu mencegah pemborosan dan inefisiensi anggaran negara.
Integrity
Etika kerja dan integritas tinggi sangat diperlukan karena posisi CPM berhubungan dengan pengelolaan dana publik.
Problem Solving
Kemampuan menghadapi masalah teknis dan non-teknis di lapangan menjadi keterampilan yang wajib dimiliki.
Hambatan Utama dalam Pengembangan Kompetensi CPM
Penelitian ini mengidentifikasi sepuluh hambatan utama dalam pengembangan kompetensi CPM sektor publik di Indonesia, antara lain:
Beban kerja berlapis, banyak CPM juga menjabat sebagai kepala bidang lain
Rendahnya partisipasi dalam pelatihan karena waktu dan biaya
Tidak adanya jalur karier atau skema pengembangan yang jelas untuk posisi CPM
Minimnya fasilitasi teknologi digital seperti e-learning
Budaya kerja yang tidak mendorong pengembangan diri
Lemahnya dokumentasi dan berbagi pengetahuan dari proyek sebelumnya
Minimnya dukungan dari atasan atau manajemen puncak
Sebagian besar CPM menangani lebih dari tiga proyek sekaligus, menyebabkan keterbatasan waktu untuk pelatihan dan refleksi kompetensi.
Kerangka Kerja Pengembangan Kompetensi CPM
Kartika Puspa Negara menyusun sebuah framework pengembangan CPM dengan lima elemen strategis:
Metode pelatihan dan pengembangan: Perlu sistem pelatihan berbasis kebutuhan nyata dan variasi metode (klasikal, mentoring, on-the-job).
Standarisasi jalur menjadi CPM: Ada kebutuhan mendesak untuk membuat jalur karier yang jelas dan sistematis, dimulai dari proyek kecil hingga kompleks.
Sistem manajemen pengetahuan: Harus ada sistem dokumentasi pelajaran proyek dan forum pertukaran pengetahuan antarsesama CPM.
Budaya belajar: Pemerintah dan instansi harus menciptakan lingkungan kerja yang mendukung pembelajaran berkelanjutan dan reward sharing knowledge.
Dukungan sistemik: Dibutuhkan dukungan regulasi, anggaran, dan peran aktif manajemen untuk mewujudkan sistem pengembangan kompetensi ini.
Framework ini dapat dijadikan panduan nasional dalam pelatihan dan pengembangan CPM sektor publik.
Opini dan Nilai Tambah
Kelebihan studi ini:
Pendekatan gabungan (survei + wawancara) memberikan validitas tinggi
Fokus pada posisi CPM dari sisi klien, berbeda dengan banyak studi yang fokus pada kontraktor
Solusi konkret dalam bentuk framework
Kritik terhadap penelitian:
Wilayah studi hanya mencakup tiga provinsi sehingga generalisasi nasional masih terbatas
Tidak mencakup CPM sektor swasta, padahal mereka juga berperan penting
Framework belum diuji di lapangan (masih berupa rencana konseptual)
Perbandingan dengan studi lain:
Sebagian besar studi luar negeri (seperti Hwang & Ng, 2013) menyarankan bahwa CPM harus fokus pada aspek teknis. Namun, dalam konteks Indonesia, penelitian ini menunjukkan bahwa aspek non-teknis (leadership, integrity, teamwork) justru lebih krusial karena struktur birokrasi dan kompleksitas tata kelola proyek pemerintah.
Implikasi Praktis dan Rekomendasi
Untuk memaksimalkan implementasi dari temuan ini, beberapa langkah bisa diambil:
Pemerintah pusat dan daerah: Gunakan framework ini sebagai acuan dalam pengembangan pelatihan dan sistem karier CPM.
Lembaga pelatihan dan universitas: Sesuaikan kurikulum pelatihan CPM agar fokus pada delapan kompetensi inti.
CPM individu: Aktiflah mencari pelatihan tambahan, dokumentasikan pembelajaran proyek, dan terlibat dalam komunitas profesi.
Kesimpulan
Tesis ini berhasil menyajikan potret komprehensif kondisi aktual CPM di sektor publik Indonesia. Dengan menggabungkan data lapangan dan rekomendasi strategis, Kartika Puspa Negara tidak hanya mengidentifikasi permasalahan, tetapi juga merumuskan kerangka kerja sebagai solusi nasional.
Ke depan, jika framework ini diimplementasikan secara konsisten, maka kualitas manajemen proyek publik di Indonesia akan meningkat, yang pada akhirnya berdampak pada efisiensi anggaran negara dan kualitas layanan infrastruktur kepada masyarakat.
Sumber
Negara, K. P. (2022). Client Construction Project Manager Competency in Indonesia. Tesis, Queensland University of Technology.
Tersedia di: https://doi.org/10.5204/thesis.eprints.151987
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi Indonesia, meski menjadi tulang punggung pembangunan infrastruktur, ternyata tumbuh lebih lambat dibandingkan sektor lainnya. Paper karya Dewi Larasati ZR dan Watanabe Tsunemi (Kochi University of Technology) mengungkap akar masalahnya: inefisiensi proyek, fragmentasi hubungan antar-pihak, dan ketidakmampuan mengelola perubahan. Analisis ini didukung data lapangan dan studi literatur, menawarkan solusi seperti manajemen rantai pasok dan relational contracting.
Analisis Kondisi Industri Konstruksi Indonesia
1. Karakteristik Proyek Konstruksi yang Unik
Industri konstruksi memiliki ciri khas yang kompleks:
Produk unik (setiap proyek berbeda).
Organisasi sementara (tim dibubarkan setelah proyek selesai).
Ketergantungan pada lokasi (faktor geografis dan regulasi lokal).
Tingkat ketidakpastian tinggi (perubahan desain, cuaca, pasokan material).
Menurut Smith (1999), perubahan adalah hal yang tak terhindarkan dalam konstruksi. Namun, di Indonesia, perubahan sering berujung pada konflik, penundaan, dan pembengkakan biaya.
2. Data Kritis yang Menggambarkan Masalah
Keterampilan pekerja: Hanya 67% dari standar optimal (Kaming, 2003).
Pemborosan material: 30% bahan konstruksi terbuang sia-sia (Alwi, 2003).
Persebaran perusahaan: 70% perusahaan besar terkonsentrasi di Jawa, memicu kompetisi tidak sehat (BCI, 2006).
Alokasi anggaran: 60% dana habis di fase desain, hanya 40% untuk konstruksi (Gambar 5). Ini menunjukkan lemahnya integrasi antar-fase proyek.
3. Penyebab Utama Inefisiensi
Hubungan tradisional antar-pihak: Kontrak kaku yang tidak fleksibel terhadap perubahan.
Rantai pasok terfragmentasi: Setiap kontraktor mengelola pemasok sendiri, meningkatkan biaya logistik.
Regulasi tidak mendukung: Proses pengadaan proyek rumit dan tidak transparan.
Strategi Peningkatan Daya Saing
1. Manajemen Rantai Pasok Terintegrasi
Penelitian Susilawati (2005) menunjukkan bahwa efisiensi rantai pasok bisa mengurangi pemborosan hingga 20%. Contoh sukses dari Jepang:
Sistem Just-In-Time: Material datang tepat waktu, minimalkan penyimpanan.
Kolaborasi dengan pemasok lokal: Kurangi ketergantungan pada pasokan dari luar pulau.
2. Relational Contracting
Mekanisme kontrak yang lebih fleksibel, seperti alliancing project, bisa mengurangi konflik. Contoh: Proyek infrastruktur di Australia yang menggunakan model ini mengalami penurunan dispute hingga 40% (Sakkal, 2005).
3. Peningkatan Keterampilan Tenaga Kerja
Pelatihan berbasis kompetensi.
Sertifikasi profesi konstruksi.
4. Adopsi Teknologi
Building Information Modeling (BIM): Meminimalkan kesalahan desain.
Software manajemen proyek: Pantau progres real-time.
Kritik dan Rekomendasi
Kelemahan Paper: Tidak membahas peran pemerintah secara mendalam, padahal regulasi adalah kunci.
Peluang Riset Lanjutan: Perlunya studi kasus penerapan relational contracting di Indonesia.
Tren Global: Industri 4.0 di konstruksi (IoT, AI) belum diangkat dalam paper.
Kesimpulan
Industri konstruksi Indonesia membutuhkan transformasi sistemik:
Integrasi rantai pasok.
Kontrak kolaboratif.
Peningkatan SDM.
Dengan belajar dari praktik terbaik global, Indonesia bisa mengejar ketertinggalan dan bersaing di pasar internasional.
Sumber:
Dewi Larasati ZR & Watanabe Tsunemi (2007). Evaluation Study on Existing Condition of Indonesian Construction Industry. Kochi University of Technology.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 28 Mei 2025
Pendahuluan
Industri konstruksi Indonesia menghadapi tantangan besar dalam hal efisiensi. Penelitian oleh Alwi, Hampson, dan Mohamed (2002) berjudul Factors Influencing Contractor Performance in Indonesia: A Study of Non Value-Adding Activities mengungkap bahwa aktivitas non-nilai tambah (pemborosan) menjadi penyebab utama rendahnya produktivitas. Studi ini menganalisis data dari 99 responden di 46 perusahaan kontraktor, mengidentifikasi faktor-faktor kritis seperti perbaikan pekerjaan finishing, keterlambatan material, dan perubahan desain. Temuan ini tidak hanya relevan bagi akademisi tetapi juga praktisi yang ingin meningkatkan kinerja proyek.
Analisis Temuan Utama
1. Aktivitas Non-Nilai Tambah yang Dominan
Penelitian ini mengklasifikasikan pemborosan dalam konstruksi menjadi lima kategori utama:
Perbaikan pekerjaan finishing (skor tertinggi: 0.97 pada Weighted Index).
Menunggu material (0.88).
Keterlambatan jadwal (0.86).
Contoh nyata:
Perbaikan finishing sering terjadi karena kurangnya keterampilan tenaga kerja atau kesalahan struktural yang memengaruhi pekerjaan akhir.
Menunggu material disebabkan oleh manajemen logistik yang buruk, baik dari pemasok maupun tata letak situs.
2. Penyebab Pemborosan
Faktor utama yang memicu pemborosan:
Perubahan desain (Level Index: 0.723).
Lambatnya pengambilan keputusan (0.717).
Kurangnya keterampilan tenaga kerja (0.714).
Studi Kasus:
Proyek apartemen di Jakarta mengalami keterlambatan 3 bulan akibat perubahan desain yang tidak terantisipasi.
Penggunaan material tidak sesuai spesifikasi menyebabkan pembongkaran ulang, menambah biaya 15%.
3. Perbedaan antara Perusahaan ISO 9000 dan Non-ISO
Perusahaan ISO 9000 lebih baik dalam menangani perbaikan struktural (skor 0.82 vs. 0.55 pada non-ISO).
Perusahaan non-ISO lebih sering mengalami pemborosan material (skor 1.01 vs. 0.65 pada ISO).
Solusi dan Rekomendasi
1. Penerapan Konsep Lean Construction
Just-In-Time (JIT): Meminimalkan penumpukan material di lokasi.
Peningkatan kolaborasi dengan pemasok: Menggunakan sistem informasi terintegrasi untuk memantau pasokan.
2. Pelatihan Tenaga Kerja
Program sertifikasi keterampilan untuk pekerja, terutama di bidang finishing dan struktur.
Kolaborasi dengan lembaga pelatihan seperti BLK (Balai Latihan Kerja).
3. Penggunaan Teknologi
BIM (Building Information Modeling): Meminimalkan kesalahan desain sejak awal.
Software manajemen proyek: Memantau progres dan mengidentifikasi potensi pemborosan.
4. Perbaikan Proses Kontrak
Relational Contracting: Mengganti kontrak tradisional dengan model kolaboratif untuk mengurangi konflik.
Kritik dan Nilai Tambah
Kelebihan Penelitian:
Data lapangan yang komprehensif dengan responden dari berbagai jenis perusahaan.
Metodologi jelas dengan penggunaan Importance Index untuk mengukur dampak pemborosan.
Kekurangan:
Tidak membahas peran pemerintah dalam regulasi pengadaan material.
Contoh kasus terbatas pada proyek besar, kurang mencakup UMKM konstruksi.
Perbandingan dengan Tren Global:
Di Jepang, penerapan Lean Construction mengurangi pemborosan hingga 30%.
Singapura menggunakan sistem Prefabricated Prefinished Volumetric Construction (PPVC) untuk meminimalkan kesalahan di lapangan.
Kesimpulan
Penelitian ini memberikan peta jalan untuk meningkatkan efisiensi industri konstruksi Indonesia dengan fokus pada:
Eliminasi pemborosan melalui manajemen material dan tenaga kerja.
Adopsi teknologi untuk akurasi desain dan pengawasan proyek.
Kolaborasi antar-pihak untuk mengurangi konflik dan keterlambatan.
Dengan implementasi rekomendasi ini, industri konstruksi Indonesia bisa lebih kompetitif di tingkat global.
Sumber:
Alwi, S., Hampson, K., & Mohamed, S. (2002). Factors Influencing Contractor Performance in Indonesia: A Study of Non Value-Adding Activities. Proceeding of the International Conference on Advancement in Design, Construction, and Maintenance of Building Structures, Bali.
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 27 Mei 2025
Pendahuluan
Seiring dengan akselerasi pembangunan infrastruktur di Indonesia, model kontrak EPC (Engineering, Procurement, and Construction) menjadi pilihan utama berbagai proyek strategis nasional. Namun, tingginya angka klaim dan sengketa yang muncul dalam implementasinya mengindikasikan adanya persoalan fundamental dalam pemahaman dan pelaksanaan kontrak tersebut. Paper yang ditulis oleh Iskandar, Sarwono Hardjomuljadi, dan Hendrik Sulistio (2021), dan dipublikasikan di jurnal Review of International Geographical Education (RIGEO), mengulas faktor-faktor dominan penyebab sengketa dan klaim dalam kontrak EPC infrastruktur di Indonesia.
Latar Belakang dan Urgensi Studi
Proyek-proyek besar seperti LRT, jalan tol, pembangkit listrik, hingga kereta cepat, kebanyakan menggunakan model kontrak EPC. Meski model ini menawarkan efisiensi melalui pembayaran lumpsum, kenyataannya banyak proyek menghadapi masalah karena perbedaan persepsi antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Tidak hanya berdampak finansial, namun sengketa ini memperlambat penyelesaian proyek dan memperburuk reputasi pelaku industri.
Metodologi Penelitian
Penelitian ini berbasis data primer melalui kuesioner dan wawancara dengan 116 responden yang terdiri dari pemilik proyek, kontraktor, konsultan, dan auditor. Instrumen penelitian divalidasi menggunakan SPSS v23 dengan pendekatan uji validitas dan reliabilitas. Variabel diuji menggunakan indeks Relative Importance Index (RII) untuk mengukur bobot pengaruh terhadap penyebab klaim dan sengketa.
Temuan Utama Penelitian
1. Perbedaan Persepsi Antar Pihak
Terdapat perbedaan persepsi signifikan antara pengguna jasa dan penyedia layanan. Mayoritas kontraktor menilai pihak lain sebagai penyebab utama sengketa, sedangkan auditor mengkritisi lemahnya pelaksanaan kontrak.
2. Tiga Faktor Utama Penyebab Sengketa
Berdasarkan hasil RII konsolidasi dari seluruh responden, tiga faktor utama penyebab sengketa adalah:
3. Temuan Khusus Berdasarkan Kelompok Responden
4. Studi Kasus Tambahan
Sebagai ilustrasi, proyek pembangkit listrik di Sumatera mengalami klaim sebesar 10% dari nilai kontrak akibat keterlambatan dokumen desain dari konsultan. Dalam hal ini, kontraktor menggugat perpanjangan waktu (EOT) dan kompensasi biaya, yang menimbulkan sengketa hingga ke tingkat arbitrase.
Analisis dan Opini
Penelitian ini memberikan gambaran menyeluruh mengenai kompleksitas implementasi kontrak EPC. Fakta bahwa pemahaman kontrak masih minim dan proses administrasi tidak dijalankan dengan disiplin menjadi akar masalah utama. Ketiadaan standar baku nasional untuk implementasi kontrak EPC menambah kerumitan.
Menariknya, penelitian ini juga mengungkap bahwa pendekatan "saling menyalahkan" menjadi budaya dalam proyek, di mana tiap pihak merasa tidak bersalah. Ini menunjukkan pentingnya pelatihan kontraktual dan komunikasi lintas pihak sejak awal proyek.
Jika dibandingkan dengan studi internasional seperti yang dilakukan oleh Du et al. (2016) dan Tang et al. (2020), proyek EPC di Indonesia cenderung lebih rentan terhadap sengketa karena aspek pengawasan dan pendampingan hukum yang lemah.
Implikasi Praktis
Penelitian ini menyarankan langkah-langkah preventif yang dapat diambil oleh berbagai pihak:
Kesimpulan
Kontrak EPC memiliki potensi untuk menyederhanakan pelaksanaan proyek besar, namun risiko sengketa tetap tinggi bila administrasi, pemahaman kontrak, dan koordinasi tidak dijalankan dengan benar. Tiga faktor dominan yang menyebabkan sengketa—yaitu administrasi kontrak, serah terima lahan, dan interpretasi kontrak—perlu mendapat perhatian khusus. Penelitian ini menjadi acuan penting untuk memperkuat ekosistem manajemen konstruksi di Indonesia.
Sumber:
Iskandar, Hardjomuljadi, S., & Sulistio, H. (2021). The Most Influencing Factors on the Causes of Construction Claims and Disputes in the EPC Contract Model of Infrastructure Projects in Indonesia. Review of International Geographical Education (RIGEO), 11(2), 80–91. https://doi.org/10.48047/rigeo.11.02.07
Konstruksi
Dipublikasikan oleh Wafa Nailul Izza pada 26 Mei 2025
Pendahuluan
Proyek konstruksi memainkan peranan vital dalam pertumbuhan ekonomi, khususnya di negara berkembang. Namun, efektivitas implementasinya kerap terganggu oleh masalah keterlambatan, pembengkakan biaya, hingga dampak lingkungan. Dalam paper berjudul "The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries" karya Joseph Makori, disajikan kerangka teoritis untuk mengevaluasi kinerja proyek konstruksi berdasarkan enam indikator utama: waktu, biaya, kualitas, keselamatan, minimnya sengketa, dan dampak lingkungan. Artikel ini tidak hanya menyuguhkan analisis literatur, tetapi juga membangun proposisi hubungan antara faktor keberhasilan dan kinerja proyek secara menyeluruh.
Menggugat Paradigma Tradisional: Dari Segitiga Besi ke Pendekatan Holistik
Selama beberapa dekade, evaluasi proyek konstruksi hanya berpusat pada tiga elemen klasik: waktu, biaya, dan kualitas, yang dikenal dengan sebutan "iron triangle." Namun pendekatan ini dianggap terlalu sempit. Penelitian Makori mendorong evolusi paradigma dengan menambahkan indikator keselamatan, minim sengketa, dan dampak lingkungan sebagai metrik penting dalam menilai keberhasilan proyek. Hal ini sejalan dengan pendekatan keberlanjutan dan peningkatan kepuasan masyarakat dalam proyek publik.
Kerangka Evaluasi: KPI dan Faktor Keberhasilan Kritis (CSF)
Penelitian ini menyusun enam Key Performance Indicators (KPI):
1. Waktu penyelesaian
2. Biaya proyek
3. Kualitas bangunan
4. Keselamatan kerja
5. Minim sengketa di lokasi
6. Dampak terhadap lingkungan
Untuk mengukur KPI ini, ditetapkan pula enam Critical Success Factors (CSF):
Faktor terkait proyek (lokasi, ukuran, kompleksitas)
Faktor terkait klien (pengalaman, kemampuan membayar)
Faktor konsultan (kejelasan desain, dokumen proyek)
Faktor kontraktor (keterampilan teknis, pengelolaan lokasi)
Faktor rantai pasok (material, tenaga kerja, alat)
Faktor eksternal (kondisi ekonomi, cuaca, kebijakan publik)
Studi Kasus: Survei Pakar dan Penerapan Lapangan
Makori menguji kerangka teoritis ini melalui survei kepada lima pakar di Kenya yang terdiri dari akademisi, kontraktor, dan pejabat publik. Hasilnya, seluruh KPI dan CSF dianggap relevan. Menariknya, indikator kepuasan masyarakat akhirnya dikesampingkan karena dipandang lebih sebagai akibat dari performa proyek, bukan ukuran langsungnya.
Di tahap lanjutan, kerangka kerja diuji pada 12 responden dari 10 proyek berbeda di Busia County, Kenya. Hasilnya menunjukkan bahwa para pelaku proyek memahami pentingnya KPI dan CSF, namun klasifikasi antar faktor masih tumpang tindih.
Analisis Kritis: Kekuatan dan Keterbatasan Pendekatan Makori
Nilai Tambah:
Komprehensif dan relevan: Menggabungkan dimensi keberlanjutan dan sosial yang selama ini diabaikan.
Adaptif terhadap konteks lokal: Dengan studi kasus di Kenya, kerangka ini dapat direplikasi pada konteks negara berkembang lain seperti Indonesia.
Struktur sistematis: Diagram hubungan antar faktor (lihat Gambar 1 dalam paper) memudahkan pemetaan penyebab dan akibat.
Keterbatasan:
Kurangnya pengujian empiris: Meskipun kerangka kerja solid, validitasnya belum diuji secara statistik.
Potensi tumpang tindih antar CSF: Sejumlah faktor bisa masuk ke lebih dari satu kategori, yang dapat menimbulkan kebingungan saat implementasi.
Tidak ada data kuantitatif: Penelitian masih dalam tahap teoritis dan survei terbatas.
Perbandingan dengan Penelitian Sejenis
Berbeda dengan penelitian Atkinson (1999) yang juga menggugat model "iron triangle" namun tidak menyertakan dimensi lingkungan, Makori melangkah lebih jauh dengan menjadikan dampak lingkungan dan sengketa sebagai variabel utama. Sementara itu, penelitian oleh Chan dan Tam (2000) memetakan penyebab keterlambatan dan penurunan kualitas, tetapi tidak menyusun kerangka evaluasi seperti yang dilakukan Makori.
Implikasi Praktis untuk Industri Konstruksi
Bagi manajer proyek, kerangka ini dapat dijadikan panduan komprehensif untuk:
Penutup: Arah Baru Evaluasi Kinerja Proyek Konstruksi
Makori memberikan kontribusi penting terhadap literatur manajemen proyek di negara berkembang. Dengan menggabungkan KPI tradisional dan kontemporer serta menetapkan hubungan sistemik antara CSF dan KPI, kerangka ini dapat menjadi fondasi bagi sistem evaluasi proyek yang lebih adil, berkelanjutan, dan akuntabel.
Sumber:
Makori, Joseph. The Changing Face of Performance Evaluation among Construction Projects in Developing Countries. International Scientific Conference on Economic, Social and Environmental Sustainability, Malta, 2023. Tersedia di: https://www.issbs.si/press/